Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PRAKTIKUM

MEKANIKA FLUIDA I – TL 2201


MODUL 02
ALIRAN BERUBAH BERATURAN

Nama Praktikan : David Darren Wiraatmaja


NIM : 15321039
Kelompok/Shift : 5/B
Tanggal Praktikum : Kamis, 2 Februari 2023
Tanggal Pengumpulan : Sabtu, 11 Februari 2023
PJ Modul : 1. Aryaputra Gandewa Kartasasmita (15319094)
2. Wahyu Sasangka Jati (15320063)
Asisten yang Bertugas : 1. Talitha Ardilla Haryanto (15320095)
2. Adelia Paramesti Z (15320114)

PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2022
I. TUJUAN PRAKTIKUM
I.1. Menentukan fenomena perubahan atau kadar momentum aliran
I.2. Menentukan nilai debit aktual aliran pada aliran fluida
I.3. Menentukan kecepatan aliran pada aliran fluida
I.4. Menentukan nilai koefisien Manning (n) pada aliran fluida
I.5. Menentukan nilai bilangan Reynolds (NRE) dan bilangan Froude (NFR)

II. DATA AWAL


II.1 Suhu Awal : 25o C
II.2 Suhu Akhir : 25o C
II.3 Massa Beban : 2,5 𝑘𝑔
II.4 Lebar Saluran : 0,075 𝑚
II.5 Panjang Ambang : 0,115 𝑚
II.5 Lebar Ambang : 0,075 𝑚
II.5 Tinggi Ambang : 0,025 𝑚

Tabel II.1 Data Awal Pengamatan Jarak di Hulu dan Hilir Saluran
Variasi Jarak Dari Titik 0 (m)
Debit x1 x2 x3 x4 x5 x6 x7 x8
1 0,3 0,431 0,534 0,589 0,649 0,703 1,041 1,295
2 0,3 0,403 0,528 0,584 0,633 0,698 1,111 1,411
3 0,3 0,404 0,515 0,577 0,634 0,67 0,871 1,299
(Sumber : Set Data Awal Modul 02 Shift 5B)

Tabel II.2 Data Awal Pengukuran Waktu dan Kedalaman Tiap Variasi

Variasi Waktu (s) Kedalaman Saluran (m)


debit t1 t2 t3 tavg
y1 y2 y3 y4 y5 y7y6 y8
0,04 0,04
1 19,56 19,21 19 19,26 7 68 0,0447 0,0389 0,0317 0,004 0,0141 0,0212
0,05 0,05
2 10,09 9,5 11 10,20 75 74 0,0585 0,0449 0,039 0,0149 0,0233 0,0334
0,06 0,06
3 6,28 6,44 6,5 6,41 73 81 0,063 0,0523 0,0467 0,0182 0,0282 0,0416
(Sumber : Set Data Awal Modul 02 Shift 5B)
Tabel II.3 Data Awal untuk Perhitungan Kemiringan Saluran
Kedalaman titik 1 (YS1) 0,0746 m

Kedalaman titik 2 (YS2) 0,0742 m

Jarak antar titik (Xs) 2,65 m


(Sumber : Set Data Awal Modul 02 Shift 5B)

Tabel II.4 Data Suhu (oC) terhadap Densitas Air (𝑘𝑔/𝑚3 )

Suhu (oC) Densitas air (𝒌𝒈/𝒎𝟑 )

0 999,8

5 1000

10 999,7

15 999,1

20 998,2

25 997

30 995,7

40 992,2

50 988

60 983,2

70 977,8

80 971,8

90 965,3
(Sumber: Schaum's Outline of Fluid Mechanics Science, 2008)

Tabel II.5 Data Suhu (oC) terhadap Viskositas Kinematis Air (Ns/m2)
Suhu (oC) Viskositas Kinematis Air (Ns/m2)

0 1,787

5 1,519

10 1,307
Suhu (oC) Viskositas Kinematis Air (Ns/m2)

15 1,140

20 1,004

30 0,801

40 0,658

50 0,553

60 0,475

70 0,413

80 0,365

90 0,326

100 0,294
(Sumber: Engineering Toolbox, 2003)

III. PENGOLAHAN DATA


III.1. Menentukan Densitas Air (air)
Pada Tabel II.4 diketahui terdapat data perubahan massa jenis air
terhadap suhu. Data pada tabel tersebut akan diolah dengan cara regresi
kuadratik sehingga didapatkan grafik sebagai berikut :

Gambar III.1 Grafik Perubahan Densitas Air terhadap Suhu

Grafik hasil diatas didapatkan setelah data diregresikan secara


kuadratik dengan sumbu-x pada grafik menunjukkan suhu dan sumbu-y
menunjukkan densitas. Diketahui bahwa persamaan umum dari regresi
kuadratik adalah Y = A + Bx + Cx2. Maka didapatkan nilai A, B, dan C
dari hasil regresi kuadratik ini yaitu A = 1000,6 ; B = -0,0675 ; C = -
0,0036. Dapat dilihat terdapat nilai R2 pada grafik ini yang merupakan
sebuah nilai yang mengindikasi besarnya pengaruh nilai di sumbu x
terhadap nilai di sumbu y dengan nilai maksimum 1. Pada grafik ini R2
memiliki nilai 0,9992 yang hampir mendekati 1, oleh karena itu dapat
diketahui bahwa suhu memiliki pengaruh yang besar terhadap besarnya
nilai massa jenis.
Selanjutnya hasil koefisien A, B, dan C akan disubsitusikan pada
persamaan umum regresi kuadratik sehingga diperoleh persamaan Y =
1000,6 – 0.0675x – 0.0036x2. Diketahui variabel x menyatakan suhu,
maka x dapat disubstitusikan dengan keadaan suhu rata-rata air. Dapat
25+25 o
diketahui suhu rata-rata air adalah C = 25 oC. Maka nilai 25 akan
2

disubstitusikan pada variabel x persamaan regresi kuadratik, sehingga


didapat massa jenis (y) sebesar 996,6625 kg/m3.

III.2. Menentukan Viskositas Kinematis Air (𝝆𝒂𝒊𝒓 )


Pada Tabel II.5 diketahui terdapat data perubahan viskositas
kinematis air terhadap suhu. Data pada tabel tersebut akan diolah dengan
cara regresi kuadratik sehingga didapatkan grafik sebagai berikut :

Gambar III.2 Grafik Perubahan Viskositas Air terhadap Suhu


Grafik hasil diatas didapatkan setelah data diregresikan secara
kuadratik dengan sumbu-x pada grafik menunjukkan suhu dan sumbu-y
menunjukkan viskositas kinematis air. Diketahui bahwa persamaan umum
dari regresi kuadratik adalah Y = A + Bx + Cx2. Maka didapatkan nilai A,
B, dan C dari hasil regresi kuadratik ini yaitu A = 1,94 x 10-6 ; B = - 3,23 x
10-8 ; C = 1,65 x 10-10. Dapat dilihat terdapat nilai R2 pada grafik ini yang
merupakan sebuah nilai yang mengindikasi besarnya pengaruh nilai di
sumbu x terhadap nilai di sumbu y dengan nilai maksimum 1. Pada grafik
ini R2 memiliki nilai 0,891 yang cukup mendekati nilai 1, oleh karena itu
dapat diketahui bahwa suhu memiliki pengaruh yang besar terhadap
besarnya nilai viskositas kinematis air.
Selanjutnya hasil koefisien A, B, dan C akan disubsitusikan pada
persamaan umum regresi kuadratik sehingga diperoleh persamaan Y =
0,00000194 – 0,0000000323x + 0,000000000165x2. Diketahui variabel x
menyatakan suhu, maka x dapat disubstitusikan dengan keadaan suhu rata-
25+25 o
rata air. Dapat diketahui suhu rata-rata air adalah C = 25 oC. Maka
2

nilai 25 akan disubstitusikan pada variabel x persamaan regresi kuadratik,


sehingga nilai viskositas kinematis air (y) sebesar 9,6375 x 10-7 m2/s.

III.3. Menentukan Kedalaman Rata-Rata (yavg)


Terdapat pengukuran kedalaman aliran pada percobaan ini
sebanyak delapan kali pada setiap variasi debit di hulu dan hilir. Nilai
kedalaman aliran yang akan dipakai adalah kedalaman aliran rata-rata dari
pengukuran, oleh karena itu yavg didapat menggunakan rumus yavg = (y1 +
y2 + y3 + .. + y8)/8 dimana y1, y2, y3, sampai y8 merupakan hasil pengukuran
pertama, kedua, ketiga, sampai kedelapan secara berturut-turut. Sehingga
kedalaman rata-rata pada hulu variasi pertama akan didapatkan hasil
sebagai berikut :

0,047 𝑚 + 0,0468 𝑚 + 0,0447 𝑚 + … +0,0212 𝑚


yavg 1 = 8

yavg 1 = 0,03105 m
Nilai dari kedalaman rata-rata di hulu variasi lainnya dapat dicari
menggunakan cara sama.

III.4. Menentukan Luas Penampang Saluran (A)


Nilai dari luas penampang saluran dapat dicari dari data yang
sudah diketahui. Luas penampang memiliki nilai sebanding dengan nilai
rata-rata dari kedalaman aliran dikali dengan lebar saluran. Oleh karena
itu, nilai luas penampang saluran (A) untuk titik 1 variasi debit pertama
akan didapatkan hasil sebagai berikut :
A=𝑦x𝑏
A = 0,047 m x 0,075 m
A = 0,0035 m2

Nilai dari luas penampang pada titik lainnya juga variasi lainnya
dapat dicari menggunakan cara yang sama.

III.5. Menentukan Keliling Basah Saluran (P)


Pada saluran terbuka, keliling basah (P) dapat ditentukan dengan
persamaan sesuai bentuk penampangnya. Pada praktikum ini, penampang
saluran yang digunakan berbentuk persegi panjang dengan gambaran
sebagai berikut :

Gambar III.3 Ilustrasi Keliling Basah Persegi Panjang


(Sumber : Kacv.net, 2020)

Untuk menghitung keliling basah (P), dapat digunakan nilai lebar


saluran dikali dengan 2 kali nilai y yang nilai kedalaman titik. Oleh karena
itu, nilai keliling basah saluran (P) untuk titik 1 variasi debit pertama akan
didapatkan hasil sebagai berikut :
P = 2𝑦 + 𝑏
P = 2 x 0,047 m + 0,075 m
P = 0,169 m

Nilai dari keliling basah pada titik lainnya serta variasi lainnya dapat
dicari menggunakan cara yang sama.

III.6. Menentukan Jari-Jari Hidrolis (R)


Untuk aliran yang menggunakan wadah terbuka, jari-jari hidrolis
(R) ditentukan berdasarkan bentuk penampangnya. Pada percobaan kali
ini, bentuk penampang yang digunakan adalah persegi panjang dengan y
sebagai kedalaman aliran dan b sebagai lebar penampang. Nilai dari jari-
jari hidrolis (R) sebanding dengan nilai luas penampang dibagi dengan
nilai keliling basah saluran. Oleh karena itu, nilai jari-jari hidrolis (R)
untuk titik 1 variasi debit pertama akan didapatkan hasil sebagai berikut :
R=A/P
R = 0,0035 m / 0,169 m
R = 0,021 m

Nilai dari jari-jari hidrolis titik lainnya serta variasi lainnya dapat
dicari menggunakan cara yang sama.

III.7. Menentukan Nilai Debit Aktual (Qaktual)


Nilai dari debit aktual air dapat dicari dari data yang sudah
diketahui. Debit aktual memiliki nilai sebanding dengan nilai volume air
(m3) dibagi dengan waktu rata-rata (s). Nilai dari volume air sebanding
dengan massa air (kg) dibagi dengan densitas air (kg/m3) , dan massa air
sebanding dengan massa beban (kg) dikali tiga. Oleh karena itu,
pengukuran debit aktual ini dilakukan pada semua variasi percobaan. Pada
variasi pertama akan didapatkan hasil sebagai berikut :
𝑉 𝑎𝑖𝑟
Qaktual 1 = 𝑡 𝑎𝑣𝑔
𝑚 𝑎𝑖𝑟
Qaktual 1 = 𝑡 𝑎𝑣𝑔 𝑥 𝜌
𝑎𝑖𝑟

3 𝑥 𝑚 𝑏𝑒𝑏𝑎𝑛
Qaktual 1 = 𝑡 𝑎𝑣𝑔 𝑥 𝜌𝑎𝑖𝑟
3 𝑥 2,5 𝑘𝑔
Qaktual 1 = 19,26 𝑠 𝑥 996,6625 𝑘𝑔/m3

Qaktual 1 = 0,00039 m3/s

Nilai dari debit aktual variasi lainnya dapat dicari menggunakan


cara yang sama.

III.8. Menentukan Kecepatan Aliran Air (v)


Nilai kecepatan aliran air pada percobaan ini diperoleh dengan
membagi debit aktual (Qaktual) dengan luas penampang saluran (A) yang
dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut. Oleh karena itu, nilai
kecepatan aliran air untuk titik 1 variasi debit pertama akan didapatkan
hasil sebagai berikut :
v = Qaktual / A
v = (0,00039 m3/s) / (0,0035 m2)
v = 0,111 m/s

Nilai dari kecepatan aliran pada titik lainnya serta variasi lainnya
dapat dicari menggunakan cara yang sama.

III.9. Menentukan Nilai Kemiringan Saluran / Slope (S)


Nilai slope (S) pada percobaan ini dapat diperoleh dengan
membagi nilai selisih kedalaman titik1 dan titik 2 dengan nilai jarak antar
titik. Oleh karena itu, nilai slope akan didapatkan hasil sebagai berikut :

S = ∆y / ∆x
S = (0,0746 m – 0,0742 m) / (2,65 m)
S = 0,000151
III.10. Menentukan Nilai Koefisien Manning (n) Aliran Fluida
Nilai koefisien Manning (n) air pada percobaan ini sebanding
dengan nilai akar kemiringan saluran (S) dikali dengan nila jari-jari
hidrolis (R) pangkat 2/3 dibagi dengan nilai kecepatan aliran (v). Oleh
karena itu, nilai koefisien Manning untuk titik 1 variasi debit pertama akan
didapatkan hasil sebagai berikut :
n = (S1/2 x R2/3) / v
n = (0,01229 x 0,076) / 0,111
n = 0,0084
Nilai koefisien Manning pada titik lain serta variasi lainnya dapat
dicari menggunakan cara yang sama.

III.11. Menentukan Nilai Bilangan Reynolds (Re) Aliran Fluida


Nilai bilangan Reynolds sebanding dengan nilai diameter pipa (D)
dikali kecepatan aliran (𝑣) dibagi dengan viskositas kinematis fluida (v).
Oleh karena itu, nilai bilangan Reynolds pipa besar pada variasi pertama
dapat dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut :
𝐷𝑣
𝑅𝑒 =
𝜐
( 0,0128 ) 𝑥 ( 0,2667 )
𝑅𝑒 =
1,375 x 10−6
𝑅𝑒 = 2491,56

Nilai dari bilangan Reynolds pada titik lain dan variasi lainnya
dapat dicari menggunakan cara sama.

III.12. Menentukan Nilai Bilangan Froude (Fr) Aliran Fluida


Nilai bilangan Froude sebanding dengan nilai kecepatan aliran (𝑣)
dibagi dengan akar perkalian percepatan gravitasi (g) dengan kedalaman
aktual saluran (yaktual) . Oleh karena itu, nilai bilangan Froude pada titik 1
variasi pertama dapat dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut :
𝜐
𝐹𝑟 =
√𝑔 𝑥 𝑦 𝑎𝑘𝑡𝑢𝑎𝑙
0,111
𝐹𝑟 =
√9,81 𝑥 0,047
𝐹𝑟 = 0,163
Nilai dari bilangan Froude pada titik lain dan variasi lainnya dapat
dicari menggunakan cara sama.

III.13. Menentukan Energi Spesifik (ES)


Nilai Energi Spesifik sebanding dengan nilai kedalaman aktual
saluran (yaktual) ditambah dengan nilai kecepatan aliran (𝑣) kuadrat dibagi
dengan 2 kali besar nilai percepatan gravitasi (g). Oleh karena itu, nilai
energi spesifik pada titik 1 variasi pertama dapat dihitung menggunakan
persamaan sebagai berikut :
ES = yaktual + v2/2g
ES = 0,047 + 0,1112 / (2 x 9,81)
ES = 0,048
Nilai dari Energi Spesifik pada titik lain dan variasi lainnya dapat
dicari menggunakan cara sama.

III.14. Menentukan Slope Spesifik (Sf)


Nilai Slope Spesifik sebanding dengan nilai koefisien manning (n)
kuadrat dikali dengan nilai kecepatan aliran (𝑣) kuadrat kemudian dibagi
dengan nilai jari-jari hidrolis (R) pangkat 4/3. Oleh karena itu, nilai Slope
Spesifik pada titik 1 variasi pertama dapat dihitung menggunakan
persamaan sebagai berikut : n2
n2 𝑥 𝑣 2
Sf = 𝑅 4/3
0,00842 𝑥 0,1112
Sf = 0,0214/3

Sf = 0,000151
Nilai dari Slope Spesifik pada titik lain dan variasi lainnya dapat
dicari menggunakan cara sama.
III.15. Menentukan Nilai dy/dx
Nilai bilangan dy/dx sebanding dengan nilai selisih slope (S)
dengan slope spesifik (Sf) dibagi dengan nilai 1 dikurangi bilangan Froude
(NFR) . Oleh karena itu, nilai dy/dx pada titik 1 variasi pertama dapat
dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut :
𝑑𝑦 𝑆−𝑆𝑓
= 1−𝑁𝐹𝑟
𝑑𝑥
𝑑𝑦 0,000151−0,000151
=
𝑑𝑥 1−0,163
𝑑𝑦
=0
𝑑𝑥

Nilai dari dy/dx pada titik lain dan variasi lainnya dapat dicari
menggunakan cara sama.

III.16. Menentukan Nilai Yteoritis


Nilai kedalaman teoritis sebanding dengan nilai kedalaman aktual
saluran (yaktual) ditambah dengan nilai dy/dx. Oleh karena itu, nilai
kedalaman teoritis pada titik 1 variasi pertama dapat dihitung
menggunakan persamaan sebagai berikut :
yteoritis = yaktual + dy/dx
yteoritis = 0,047 + 0
yteoritis = 0,047

Nilai dari kedalaman teoritis pada titik lain dan variasi lainnya
dapat dicari menggunakan cara sama.

IV. DATA AKHIR


Dari pengolahan data yang didapatkan menggunakan data awal
pada praktikum modul 02 “Aliran Berubah Beraturan” ini, didapatkan data
yaitu sebagai berikut :
Tabel IV.1 Data Hasil Luas, Perimeter, R, R2/3, Qaktual, v, NRe,NFr Variasi 1
Titik A (m2) P (m) R R2/3 Q v(m/s) NRe NFr
1 0,0035 0,169 0,021 0,076 0,111 2399,4 0,163
2 0,0035 0,169 0,021 0,076 0,111 2405,1 0,164
3 0,0034 0,164 0,020 0,075 0,117 2466,5 0,176
4 0,0029 0,153 0,019 0,071 0,134 2653,8 0,217
5 0,0024 0,138 0,017 0,067 0,00039 0,164 2929,9 0,295
6 0,0003 0,083 0,004 0,024 1,303 4885,5 6,576
7 0,0011 0,103 0,010 0,047 0,370 3929,2 0,994
8 0,0016 0,117 0,014 0,057 0,246 3454,0 0,539

𝑑𝑦
Tabel IV.2 Data Hasil ES, n, R4/3, Sf, 𝑑𝑥 , Yteoritis, Yaktual Variasi 1

Titik ES (m2) n R4/3 Sf dy/dx Yteoritis Yaktual


1 0,048 0,0084 0,0057 0,00015094 0 0,0470000 0,047
2 0,047 0,0084 0,0057 0,00015094 -0,00015513 0,04664487 0,0468
3 0,045 0,0079 0,0056 0,00015094 -0,00015577 0,01954423 0,0197
4 0,040 0,0066 0,0051 0,00015094 -0,00015839 0,01374161 0,0139
5 0,033 0,0050 0,0044 0,00015094 -0,00016531 0,00653469 0,0067
6 0,090 0,0002 0,0006 0,00015094 0,00000357 0,00400357 0,004
7 0,021 0,0016 0,0022 0,00015094 -0,01189190 0,00220810 0,0141
8 0,024 0,0028 0,0032 0,00015094 -0,00021274 0,02098726 0,0212

Tabel IV.3 Data Hasil Luas, Perimeter, R, R2/3, Qaktual, v, NRe,NFr Variasi 2
Titik A (m2) P (m) R R2/3 Q v(m/s) NRe NFr
1 0,0043 0,190 0,023 0,080 0,171 4030,5 0,228
2 0,0043 0,190 0,023 0,080 0,171 4034,7 0,228
3 0,0044 0,192 0,023 0,081 0,168 3988,5 0,222
4 0,0034 0,165 0,020 0,075 0,219 4646,8 0,330
0,00074
5 0,0029 0,153 0,019 0,071 0,252 5005,2 0,408
6 0,0011 0,105 0,011 0,048 0,660 7307,1 1,727
7 0,0017 0,122 0,014 0,059 0,422 6297,6 0,883
8 0,0025 0,142 0,018 0,068 0,295 5400,5 0,515
𝑑𝑦
Tabel IV.4 Data Hasil ES, n, R4/3, Sf, 𝑑𝑥 , Yteoritis, Yaktual Variasi 2

Titik ES (m2) n R4/3 Sf dy/dx Yteoritis Yaktual


1 0,059 0,0058 0,0064 0,00015094 -0,00015921 0,05734079 0,0575
2 0,059 0,0057 0,0064 0,00015094 -0,00015926 0,05724074 0,0574
3 0,060 0,0059 0,0065 0,00015094 -0,00015877 0,03334123 0,0335
4 0,047 0,0042 0,0056 0,00015094 -0,00016942 0,01973058 0,0199
5 0,042 0,0035 0,0051 0,00015094 -0,00018107 0,01381893 0,014
6 0,037 0,0009 0,0023 0,00015094 0,00007608 0,01497608 0,0149
7 0,032 0,0017 0,0035 0,00015094 -0,00068719 0,02261281 0,0233
8 0,038 0,0028 0,0046 0,00015094 -0,00020534 0,03319466 0,0334

Tabel IV.5 Data Hasil Luas, Perimeter, R, R2/3, Qaktual, v, NRe,NFr Variasi 3
Titik A (m2) P (m) R R2/3 Q v(m/s) NRe NFr
1 0,0050 0,210 0,024 0,083 0,233 5814,92 0,286
2 0,0051 0,211 0,024 0,084 0,230 5770,87 0,281
3 0,0047 0,201 0,024 0,082 0,249 6063,72 0,316
4 0,0039 0,180 0,022 0,078 0,299 6786,23 0,418
0,00117
5 0,0035 0,168 0,021 0,076 0,335 7237,57 0,495
6 0,0014 0,111 0,012 0,053 0,861 10940,8 2,037
7 0,0021 0,131 0,016 0,064 0,555 9275,55 1,056
8 0,0031 0,158 0,020 0,073 0,376 7704,22 0,589

𝑑𝑦
Tabel IV.6 Data Hasil ES, n, R4/3, Sf, 𝑑𝑥 , Yteoritis, Yaktual Variasi 3

Titik ES (m2) n R4/3 Sf dy/dx Yteoritis Yaktual


1 0,048 0,0084 0,0057 0,00015094 0 0,0470000 0,047
2 0,047 0,0084 0,0057 0,00015094 -0,00015513 0,04664487 0,0468
3 0,045 0,0079 0,0056 0,00015094 -0,00015577 0,01954423 0,0197
4 0,040 0,0066 0,0051 0,00015094 -0,00015839 0,01374161 0,0139
5 0,033 0,0050 0,0044 0,00015094 -0,00016531 0,00653469 0,0067
6 0,090 0,0002 0,0006 0,00015094 0,00000357 0,00400357 0,004
7 0,021 0,0016 0,0022 0,00015094 -0,01189190 0,00220810 0,0141
8 0,024 0,0028 0,0032 0,00015094 -0,00021274 0,02098726 0,0212
V. ANALISIS A
V.1 Analisis Cara Kerja
Percobaan modul ini diawali dengan pengukuran suhu awal fluida
dengan menggunakan termometer sekitar 1 menit. Pengukuran suhu ini
digunakan dalam mencari nilai kekentalan kinematis fluida (viskositas)
dan massa jenis fluida (densitas). Setelah suhu diukur, langkah selanjutnya
yang dilakukan dalam percobaan ini adalah menghubungkan hydraulic
bench ke sumber listrik. Kemudian hydraulic bench dinyalakan dengan
menekan tombol power button. Setelah itu, valve bench ditutup, lalu
pompa dinyalakan, periksa apakah terjadi kebocoran dalam saluran atau di
bagian lainnya. Lalu, drain valve ditutup dalam weight tank dengan cara
memutar tuas cam lever. Tujuan ditutupnya drain valve agar saluran keluar
air tertutup dari weight tank sehingga air yang masuk mengisi weight tank.
Kemudian valve bench dibuka maka air akan mengalir ke weight tank dan
kembali ke bench. Siapkan stopwatch untuk menghitung berapa waktu
yang diperlukan hingga tuas terangkat kembali. Setelah beberapa saat, tuas
beban akan terangkat dan beban langsung diletakan di tuas tersebut, saat
beban tuas terangkat stopwatch dinyalakan. Setelah beberapa saat, tuas
beban akan kembali terangkat dan stopwatch segera dihentikan.
Kemudian, kalibrasi alat pengukur kedalaman. Tujuannya adalah
agar dicapai ketelitian pengukuran atau dengan kata lain untuk
memastikan akurasi alat ukur kedalaman tersebut. Pada percobaan ini
harus diukur lebar saluran terbuka dan kemiringan saluran pada hydraulic
bench. Kemiringan saluran diukur dengan ditutupnya pintu air di hilir,
tetapi aliran air dimatikan, lalu diambil dua titik masing-masing di hulu
dan di hilir untuk ditentukan kedalamannya sehingga kemiringan saluran
dapat diketahui dengan membagi selisih kedalaman di hulu dan hilir
dengan panjang saluran terbuka. Kemudian di antara hulu dan hilir
masukkan 1 buah ambang pada saluran. Ambang ini digunakan untuk
mengetahui dan menganalisis perbandingan profil aliran saat sebelum
adanya ambang batas yang disimpan pada saluran dan sesudah melewati
ambang tersebut Lalu, ukur kedalaman 8 titik sepanjang saluran, yaitu 2
titik di hulu, 3 titik diatas ambang, 1 titik diantara ambang dan hilir, dan 2
titik di hilir dengan menggunakan alat pengukur kedalaman yang
menggunakan prinsip jangka sorong. Percobaan dilakukan sebanyak 3
variasi debit agar didapatkan hasil yang akurat serta representatif dengan
setiap kali variasi debit dilakukan 3 kali pengukuran waktu. Pengukuran
suhu dilakukan sekali lagi untuk mendapat suhu akhir. Ketika pengukuran
sudah selesai dilaksanakan, valve ditutup lalu pompa air dimatikan.
Selanjutnya hydraulic bench dimatikan dengan mencabut fitting stop
kontak sumber listrik. Terakhir, ukur kembali suhu akhir fluida.

V.2 Analisis Grafik


Berdasarkan data yang sudah diolah dan didapatkan, maka dapat
dibuat analisis grafik sebagai berikut :
V.2.1 Analisis Grafik yaktual dan yteoritis terhadap x
Berdasarkan data kedalaman aktual (yaktual) dan kedalaman
teoritis Grafik (yteoritis) dan jarak antar titik (x) pada saluran, diperoleh
grafik perbandingan sebagai berikut :
0.08
yaktual (m)

0.06
0.04 Variasi 1
0.02 Variasi 2
0 Variasi 3
0 0.5 1 1.5
x (m)

Gambar V.1 Grafik yaktual terhadap x

0.08
yteoritis(m)

0.06
0.04 Variasi 1
0.02 Variasi 2

0 Variasi 3
0 0.5 1 1.5
x (m)

Gambar V.2 Grafik yteoritis terhadap x


Dari grafik di atas, dapat dilihat bahwa garis-garis pada grafik
tersebut menunjukkan fenomena aliran berubah beraturan saat terjadi
perubahan parameter hidrolis. Pada kedua grafik diatas bisa dilihat
bahwa besar yteoritis dan yaktual tidak memiliki perbedaan. Hal ini dapat
dibuktikan dari nilai 𝑑𝑦/𝑑𝑥 yang sebesar 0 yang artinya bahwa yteoritis =
yaktual sesuai dengan situasi idealnya, dimana besar kedalaman aktual
sama dengan kedalaman teoritis. Secara teoritis, 3 titik pada hulu tidak
akan memiliki perbedaan yang signifikan. Kemudian di titik 4, 5
terjadi perbedaan antara kedua gambar karena di titik itulah terdapat
ambang yang menyebabkan aliran berubah. Saat memasuki ambang,
titik keempat dan kelima memiliki kedalaman yang lebih rendah.
Titik yang paling rendah adalah titik keenam yang disebabkan
oleh adanya terjunan sehingga kecepatan menjadi lebih cepat. Aliran
naik dari titik keenam sampai titik ketujuh. Kemudian, aliran mulai
kembali stabil pada titik ketujuh hingga kedelapan. Di titik ketujuh,
terdapat loncatan hidrolis untuk menyeimbangkan energi yang
disebabkan oleh terjunan. Pada kedua grafik, dapat dilihat bahwa titik
pertama sampai titik ketiga memiliki kedalaman yang relatif datar.
Pada titik keempat hingga keenam, profil aliran mengalami penurunan.
Dari titik keenam hingga kedelapan, profil aliran mulai kembali
mengalami kenaikan. Pada titik 6, terjadi loncatan hidrolis, yakni
perubahan aliran dari superkritis menjadi subkritis. Berdasarkan kedua
grafik yang diperoleh, dapat dikatakan bahwa profil aliran yang
diperoleh sudah sesuai dengan profil aliran secara teoritis.

V.2.2 Analisis Grafik Energi Spesifik (ES) terhadap x


Berdasarkan data energi spesifik (ES) dan jarak antar titik (x)
pada saluran, diperoleh grafik perbandingan sebagai berikut :
0.1
0.08

ES (m)
0.06
Variasi 1
0.04
Variasi 2
0.02
0 Variasi 3
0 0.5 1 1.5
x (m)

Gambar V.3 Grafik Energi Spesifik (ES) terhadap x

Pada grafik diatas, dapat diamati bahwa terjadi pengaruh antara


energi spesifik (ES) terhadap jarak antar titik (x). Energi spesifik (ES)
merupakan jumlah kedalaman aliran ditambah dengan tinggi energi
kecepatan. Oleh karena itu, energi spesifik dapat disebut juga sebagai
nilai energi total. Energi spesifik ini terjadi karena dipengaruhi oleh
bilangan Froude, yaitu bilangan yang menentukan terjadinya nilai
maksimum atau minimum energi spesifik.
Dapat dilihat pada grafik, titik pertama dan kedua energi
spesifik hanya berbeda sedikit karena pada aliran belum dipengaruhi
oleh ambang. Pada titik ketiga, ketiga baru saja terkena ambang
sehingga aliran baru mengalami sedikit kenaikan. Kemudian pada titik
keempat dan kelima, energi spesifik terlihat sudah mulai bervariasi, hal
ini karena mulai adanya turbulensi yang membuat air mengalami
kenaikan yang terus naik sampai mencapai puncaknya pada titik
keenam lalu mengalami penurunan di titik ketujuh dan kedelapan.
Energi spesifik terbesar terjadi pada titik keenam untuk tiap variasi
debitnya, karena pada titik ini aliran memiliki sifat superkritis dimana
sebelum terjadi loncatan hidrolis di ketujuh. Sedangkan pada titik
keempat merupakan titik kritis dimana nilai energi spesifik berada
pada tingkat minimum. Hal ini dipengaruhi oleh perubahan energi
kinetik menjadi energi potensial. Pada titik ketujuh dan titik kedelapan
energi spesifik mengalami penurunan pada ketiga variasi. Hal ini
terjadi karena aliran memasuki daerah aliran superkritis setelah melalui
titik 7 dan 8. Energi spesifik muka air memasuki daerah aliran
superkritis saat kecepatan mulai stabil dan kedalaman kembali
meningkat, hal ini dapat terjadi karena adanya pengaruh kecepatan.
Hubungan energi spesifik, kedalaman, dan kecepatan ini dapat dilihat
pada persamaan ES = yaktual + v2/2g.

V.2.3 Analisis Grafik Kecepatan Aliran (v) terhadap x


Berdasarkan data kecepatan aliran (v) dan jarak antar titik (x)
pada saluran, diperoleh grafik perbandingan sebagai berikut :
1.5
v (m/s)

1
Variasi 1
0.5
Variasi 2
0 Variasi 3
0 0.5 1 1.5
x (m)

Gambar V.4 Grafik Kecepatan Aliran (v) terhadap x

Besar kecepatan akan berubah berhubungan langsung dengan


rumusan debit aliran dimana pada saat debit berubah dalam suatu
penampang yang sama akan menyebabkan kecepatan bertambah
dengan pesat begitu pula saat penyempitan luas penampang dalam
suatu debit yang konstan akan menyebabkan perubahan kecepatan.
Dapat dilihat pada grafik, nilai kecepatan pada titik pertama,
kedua, dan ketiga memiliki kecepatan yang relatif lambat dan konstan.
Hal ini dikarenakan pada titik tersebut merupakan bagian hulu saluran
dimana aliran relatif stabil dan aliran keduanya belum dipengaruhi
ambang. Sedangkan pada titik ketiga, keempat, kelima hingga keenam,
terjadi ambang dalam saluran yang meningkatkan turbulensi aliran
sehingga aliran mengalami peningkatan kecepatan, dimana terjadi
perubahan energi potensial menjadi energi kinetik. Kecepatan di titik
keenam bernilai maksimum pada semua variasi debit, hal ini
dikarenakan pada titik tersebut aliran bersifat superkritis sebelum
mengalami loncatan hidrolis. Adanya ambang menyebabkan dasar air
naik, dan mengurangi nilai kedalaman (y). Hubungan antara nilai y dan
kecepatan berbanding terbalik, dimana seolah-olah terjadi penyempitan
saluran. Pada titik ketujuh hingga kedelapan kecepatan aliran kembali
mengalami penurunan akibat ketinggian permukaan bertambah,
sedangkan untuk variasi ketiga titik ketujuh hingga kedelapan
mengalami peningkatan namun tidak terlalu signifikan.

V.2.4 Analisis Grafik Bilangan Reynolds (NRe) terhadap x


Berdasarkan data bilangan Reynolds (NRe) dan jarak antar titik
(x) pada saluran, diperoleh grafik perbandingan sebagai berikut :
10000
8000
6000
NRE

Variasi 1
4000
2000 Variasi 2
0 Variasi 3
0 0.5 1 1.5
x (m)

Gambar V.5 Grafik bilangan Reynolds (NRe) terhadap x

Bilangan Reynolds merupakan bilangan yang digunakan untuk


menentukan tipe aliran. Jenis aliran sendiri terbagi menjadi aliran
laminer, transisi, dan turbulen. Pada saluran terbuka, aliran laminer
terjadi apabila bilangan Reynolds (NRE) < 2000, aliran transisi terjadi
apabila bilangan Reynolds (NRE) 2000 < (NRE) < 4000, sedangkan
aliran turbulen terjadi apabila bilangan Reynolds (NRE) > 4000. Dapat
dilihat pada grafik, dapat dilihat bahwa pada variasi debit pertama
sebagian besar ttik aliran termasuk kedalam bagian aliran transisi.
Sedangkan pada variasi kedua dan keriga, hampir semua titik pada
aliran termasuk kedalam aliran turbulen.
Pada titik pertama dan titik kedua bilangan Reynolds relatif
masih datar dan belum dipengaruhi oleh ambang. Pada titik ketiga
hingga titik kelima, bilangan Reynolds terlihat terus mengalami
kenaikan, hal ini dikarenakan kecepatan pada titik-titik tersebut terus
bertambah seiring dengan perubahan energi potensial menjadi energi
kinetic yang terus meningkat. Bilangan Reynolds terbesar berada pada
titik keenam yang merupakan daerah superkritis sebelum terjadinya
loncatan hidrolis. Di titik tersebut aliran turbulen maksimum. Pada
titik ketujuh dan kedelapan terjadi penurunan bilangan Reynolds
karena aliran sudah kembali normal, namun kecepatannya yang masih
bertambah selagi di daerah hilir membuat bilangan Reynoldnya masih
diatas titik pertama dan kedua.

V.2.5 Analisis Grafik Bilangan Froude (NFr) terhadap x


Berdasarkan data bilangan Froude (NFr) dan jarak antar titik (x)
pada saluran, diperoleh grafik perbandingan sebagai berikut :
8

6
NFR

4 Variasi 1

2 Variasi 2

0 Variasi 3
0 0.5 1 1.5
x (m)

Gambar V.6 Grafik bilangan Froude (NFr) terhadap R2/3


Bilangan Froude merupakan bilangan yang memiliki peran
dalam penentuan tipe aliran subkritis, kritis, ataupun superkritis. Pada
saluran terbuka, aliran disebut subkritis jika bilangan Froude NFR < 1.
Sedangkan aliran dengan bilangan Froude NFR > 1 termasuk aliran
superkritis. Kemudian apabila bilangan Froude NFR = 1, aliran
termasuk aliran kritis. Dapat dilihat pada grafik, titik pertama hingga
keempat termasuk jenis aliran subkritis karena memiliki nilai bilangan
Froude rendah karena kecepatannya yang konstan serta kedalaman air
yang cukup dalam. Kenaikan terbesar terjadi pada titik kelima hingga
keenam sehingga bilangan Froudenya tinggi membuat aliran tergolong
superkritis, hal ini dikarenakan kecepatan aliran tinggi serta pengecilan
luas penampang pada saat tepat di titik keenam saat terjadinya
terjunan. Pada titik ketujuh dan kedelapan, aliran mengalami loncatan
hidrolis sehingga kecepatannya menurun dan berpengaruh terhadap
menurunnya bilangan Froude. Penurunan bilangan Froude tidak begitu
berpengaruh terhadap kondisi aliran karena bilangan Froude pada titik
itu sudah lebih dari 1 yang artinya aliran tersebut sudah superkritis.

V.3 Analisis Kesalahan


Dari perhitungan yang telah dilakukan, diperoleh beberapa galat
yang cukup besar antara nilai yang diperoleh dari percobaan dengan nilai
dari literatur. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya kesalahan yang
terjadi selama percobaan berlangsung, diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Kesalahan dalam penggunaan alat ukur kedalaman aliran. Sebelum
menggunakannya untuk mengukur kedalaman aliran, alat tersebut harus
dikalibrasi terlebih dahulu. Selain itu, hanya terdapat 2 alat ukur, sehingga
alat tersebut dipakai bergantian untuk mengukur setiap titik.
2. Kesalahan dalam pengukuran waktu. Pengukuran waktu dimulai saat
lengan hydraulic bench naik dan beban diletakkan. Kenyataannya dalam
percobaan terdapat keterlambatan dalam peletakan beban dan juga
pengukuran waktu. Keterlambatan tersebut akan berpengaruh terhadap
besar debit aktual yang diperoleh.
3. Data percobaan yang kurang valid jika dibandingkan dengan data
teoritis karena pada data teoritis diasumsikan terjadi pada kondisi yang
ideal, sedangkan pada kenyataannya pemenuhan kondisi ideal tersebut
merupakan suatu hal yang sangat sulit terjadi. Tidak terpenuhinya kondisi
ideal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor seperti beberapa variabel
yang diasumsikan tidak ada.
4. Kesalahan dan ketidaktelitian dalam memakai alat. Kesalahan pada alat
pengukur kedalaman dapat membuat alat ukur menjadi kurang terkalibrasi
sehingga hasil yang diperoleh tidak terlalu akurat dan akan berpengaruh
pada besar luas penampang, kemiringan, serta jari-jari hidrolis saluran.
Kesalahan pada temperatur air seperti memegang termometer juga dapat
menjadi faktor terjadinya kesalahan ini. Data temperatur yang tidak akurat
akan berpengaruh pada densitas dan viskositas fluida yang digunakan.
VI. ANALISIS B
Sistem aliran berubah beraturan merupakan salah satu dari prinsip
yang memiliki hubungan erat dengan bidang Teknik Lingkungan. Berikut
merupakan beberapa contoh penerapan yang dapat dilakukan di dalam
keilmuan Teknik Lingkungan :
VI.1 Aerasi Limbah Industri
Proses aerasi merupakan suatu proses yang meningkatkan kontak
antara udara dengan air, proses ini dapat menggunakan ambang dan
prinsip aliran berubah beraturan. Aerasi dilakukan untuk meningkatkan
konsentrasi oksigen di dalam air limbah yang kemudian akan memberikan
banyak manfaat dalam pengolahan limbah yang proses pengolahan
biologisnya memanfaatkan bakteri aerob. Hal ini akan berdampak pada
penurunan konsentrasi zat organik di dalam air limbah. Oksigen pada air
limbah juga diperlukan untuk proses oksidasi senyawa-senyawa kimia di
dalam air limbah dan dapat menghilangkan bau yang tidak sedap.

Gambar VI.1 Sistem Aerasi Pengolahan Limbah


( Sumber : suntzu2107.wordpress.com , 2013 )

VI.2 Bendungan
Bendungan merupakan sebuah pembatas yang dibangun melintasi
sungai yang memiliki tujuan untuk mengubah karakteristik aliran sungai
(aliran air). Bendung ini bermanfaat untuk mencegah banjir, mengukur
debit sungai, dan memperlambat aliran sungai sehingga menjadikan sungai
lebih mudah dilalui. Bendung mengizinkan air meluap melewati bagian
atasnya sehingga aliran air tetap ada dan dalam debit yang sama bahkan
sebelum sungai dibendung.
Gambar VI.2 Bendungan
( Sumber : bobo.grid.id, 2022 )

VII. KESIMPULAN
Kesimpulan pada praktikum modul 02 “Aliran Berubah Beraturan” ini
adalah sebagai berikut :
VII.1 Fenomena perubahan atau kadar momentum aliran praktikum dapat
dibuktikan dengan menghitung nilai bilangan Froude. Bilangan Froude
merupakan perbandingan antara energi kinetik dengan energi potensial
pada proses pengaliran fluida, sehingga jika nilai NFr lebih dari 1, aliran
disebut subkritis. Bila nilai NFr sama dengan 1, aliran disebut kritis.
Sedangkan jika nilai NFr lebih dari 1, aliran disebut superkritis.
VII.2 Nilai debit aktual aliran setiap variasi debit pada percobaan ini
adalah sebagai berikut.
Tabel VII.1 Data Hasil Perhitungan Debit Aktual (Qaktual)
Titik Qaktual Variasi 1 Qaktual Variasi 2 Qaktual Variasi 3
1
2
3
4 0,00039 0,00074 0,00117
5
6
7
8
VII.3 Nilai kecepatan aliran setiap variasi debit pada percobaan ini adalah
sebagai berikut.
Tabel VII.2 Data Hasil Perhitungan Kecepatan Aliran (v)
Titik v Variasi 1 v Variasi 2 v Variasi 3
1 0,111 0,171 0,233
2 0,111 0,171 0,230
3 0,117 0,168 0,249
4 0,134 0,219 0,299
5 0,164 0,252 0,335
6 1,303 0,660 0,861
7 0,370 0,422 0,555
8 0,246 0,295 0,376

VII.4 Nilai koefisien Manning (n) setiap variasi debit pada percobaan ini
adalah sebagai berikut.
Tabel VII.3 Data Hasil Perhitungan Koefisien Manning (n)
Titik n Variasi 1 n Variasi 2 n Variasi 3
1 0,0084 0,0058 0,0044
2 0,0084 0,0057 0,0045
3 0,0079 0,0059 0,0041
4 0,0066 0,0042 0,0032
5 0,0050 0,0035 0,0028
6 0,0002 0,0009 0,0008
7 0,0016 0,0017 0,0014
8 0,0028 0,0028 0,0024

VII.5 Nilai bilangan Reynolds (NRe) dan bilangan Froude (NFr) setiap
variasi debit pada percobaan ini adalah sebagai berikut.
Tabel VII.4 Data Hasil Perhitungan Bilangan Reynolds (NRe)
Titik NRe Variasi 1 NRe Variasi 2 NRe Variasi 3
1 2399,382 4030,468 5814,922
2 2405,075 4034,715 5770,869
3 2466,518 3988,484 6063,719
4 2653,767 4646,777 6786,234
5 2929,882 5005,156 7237,575
6 4885,489 7307,146 10940,822
7 3929,221 6297,606 9275,552
8 3453,966 5400,486 7704,220

Tabel VII.5 Data Hasil Perhitungan Bilangan Froude (NFr)


Titik NFr Variasi 1 NFr Variasi 2 NFr Variasi 3
1 0,163 0,228 0,286
2 0,164 0,228 0,281
3 0,176 0,222 0,316
4 0,217 0,330 0,418
5 0,295 0,408 0,495
6 6,576 1,727 2,037
7 0,994 0,883 1,056
8 0,539 0,515 0,589

VIII. DAFTAR PUSAKA


Eka Putra, I., Sulaiman, S., & Galsha, A. (2017). Analisa Rugi Aliran
(Headlosses) pada Belokan pipa PVC. Pengembangan
Insfrastruktur dan Technopreneurship Untuk Meningkatkan Daya
Saing Bangsa. https://doi.org/10.21063/pimimd4.2017.34-39
Engineering ToolBox, (2003). Water – Dynamic (Absolute) and Kinematic
Viscosity. [online] Available at : https://www.engineeringtoolbox.co
m/water-dynamic-kinematic-viscosityd_596.html
Engineering ToolBox, (2003). Water-Density, Specific Weight and
Thermal Expansion Coefficient. [online] Available at:
https://www.engineer ingtoolbox.com/minor-loss-air-ducts-fittings-
d_208.html
Giles, Ranald V. 1996. Seri Buku Schaum, Mekanika Fluida dan
Hidraulika. Jakarta : Erlangga.
Potter, Merle C. dan David C. Wiggert. 2008. Schaum’s Outline of Fluid
Mechanics Sciences, New York: McGraw-Hill Companies Sakti
Zein. (2017). Pengertian Bedengan dan Saluran Drainase, Fungsi,
Petakan, dan Faktor Pembuatannya. Diambil dari awalilmu.com
https://www.awalilmu.com/2017/09/pengertian-bedengan-dan-
saluran-drainase-fungsi-petakan-dan-faktor-pembuatannya.html

IX. LAMPIRAN

Gambar IX.1 Gambar Spreasheet Data Awal dan Akhir

Gambar IX.2 Gambar Spreasheet Data Referensi


Gambar IX.3 Gambar Excel Grafik 1

Gambar IX.4 Gambar Excel Grafik 2

Gambar IX.5 Gambar Excel Grafik 3


Gambar IX.6 Gambar Excel Grafik 4

Gambar IX.7 Gambar Excel Grafik 5

Gambar IX.8 Gambar Excel Grafik 6

Anda mungkin juga menyukai