Anda di halaman 1dari 49

LAPORAN PRAKTIKUM

MEKANIKA FLUIDA II – TL2201


MODUL 04
ALIRAN DI ATAS AMBANG LEBAR DAN TAJAM

Nama Praktikan : Nasywa Dhiya Kamila


NIM : 15321115
Kelompok/Shift : 4B
Tanggal Praktikum : Kamis, 2 Maret 2023
Tanggal Pengumpulan : Kamis, 16 Maret 2023
PJ Modul : 1. Adjis Pramono (15319032)
2. Muhammad Fadhil Abbas (15320111)
Asisten yang Bertugas : 1. Adjis Pramono (15319032)
2. Muhammad Fadhil Abbas (15320111)

PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2023
ALIRAN DI ATAS AMBANG LEBAR
I. Tujuan
I.1 Menentukan debit aliran menggunakan ambang lebar sebagai alat ukur
I.2 Menentukan nilai koefisien discharge (Cd), energi spesifik (ES),
ketinggian kritis (yc), dan bilangan Froude (NFR) untuk menentukan
karakteristik aliran
I.3 Menentukan hubungan tinggi muka air di atas ambang lebar terhadap debit
air yang melimpah di atas ambang
I.4 Menentukan karakteristik aliran yang melalui ambang lebar
I.5 Menentukan pengaplikasian ambang lebar di bidang Teknik Lingkungan
II. Data Awal
Data awal yang diperoleh pada praktikum adalah sebagai berikut.
II.1 Data Awal Pendukung Praktikum
Tabel II.1 Data Awal Pengukuran Parameter Pendukung Praktikum
Massa beban 2.5 kg
Suhu awal 25℃
Suhu akhir 27℃
Lebar saluran 0,077 m
Tinggi Ambang 0,028 m
Lebar saluran 0,075 m
Lebar Ambang 0,075 m
II.2 Data Pengukuran Waktu Saluran Tiap Variasi
Tabel II.2 Data Pengukuran Waktu Saluran Tiap Variasi
Waktu (s)
Debit
𝐭𝟏 𝐭𝟐 𝐭𝟑 tavg
1 4 3,56 3,91 3,82
2 14,28 14,53 15,06 14,62
3 5,22 4,57 5,15 4,98

II.3 Data Pengamatan Jarak dan Ketinggian Pofil Aliran pada Titik Tertentu
Tabel II.3 Data Pengamatan Jarak dan Ketinggian Profil Aliran pada Titik
Tertentu
Variasi Debit Titik Jarak (m) Ketinggian (m)
1 1,15 0,0795
2 1,36 0,0797
3 1,58 0,0757
4 1,63 0,065
1
5 1,68 0,0558
6 1,77 0,0257
7 2,23 0,033
8 2,61 0,0523
1 1,17 0,0505
2 1,38 0,0506
3 1,84 0,0474
4 1,9 0,041
2
5 1,95 0,0368
6 2,1 0,0098
7 2,36 0,0236
8 2,74 0,0246
1 1,13 0,0743
2 1,34 0,0745
3 1,81 0,0719
4 1,85 0,0588
3
5 1,9 0,0516
6 1,99 0,023
7 2,64 0,041
8 3,16 0,0436
II.4 Data Temperatur Air terhadap Densitas Air
Tabel II.4 Data Temperatur (℃) terhadap Densitas Air (kg/m3 )
Temperatur (℃) Densitas Air (𝐤𝐠/𝐦𝟑 )
0 999,9
5 1000,0
Temperatur (℃) Densitas Air (𝐤𝐠/𝐦𝟑 )
10 999,7
15 999,1
20 998,2
30 995,7
40 992,2
50 988,1
60 983,2
70 977,8
80 971,8
90 965,3
100 958,4
(Sumber : Finnemore, E. J dan J.B. Franzini, 2002)
II.5 Data Temperatur Air terhadap Viskositas Kinematis Air
Tabel II.5 Data Temperatur (℃) terhadap Viskositas KinematisAir (m2 /s)
Temperatur (℃) Viskositas Kinematis Air (𝐦𝟐 /𝐬)
0 1,787E-6
5 1,519E-6
10 1,307E-6
20 1,004E-6
30 8,009E-7
40 6,580E-7
50 5,534E-7
60 4,745E-7
70 4,134E-7
80 3,650E-7
90 3,260E-7
100 2,940E-7
(Sumber : Shaughnessy & Ira, 2005)
III. Pengolahan Data
III.1 Pengolahan Data Massa Jenis Air Berdasarkan Suhu (𝜌)
Pada percobaan modul 4, dilakukan pengukuran suhu awal dan suhu
akhir untuk menentukan nilai densitas. Dari pengukuran tersebut, didapatkan
suhu awal air sebesar 25°C dan suhu akhir air sebesar 27°C. Kemudian nilai
kedua suhu tersebut dirata-ratakan dengan persamaan sebagai berikut.
Tawal + Takhir
Tavg =
2
Dengan keterangan, Tavg adalah suhu rata-rata (℃), Tawal adalah suhu awal
(℃), dan Takhir adalah suhu akhir (℃). Maka, suhu rata-rata yang dihitung
menggunakan persamaan di atas sebesar :
Tawal + Takhir
Tavg =
2
25℃ + 27℃
Tavg =
2
Tavg = 26℃
Diperlukan regresi untuk menentukan nilai densitas air yang dinyatakan
dengan sumbu-y dan temperature yang dinyatakan dengan sumbu-x. Data yang
akan diregresikan dapat dilihat pada Tabel II.4. Regresi tersebut dapat dilihat
Gambar III.1 Regresi tersebut menghasilkan persamaan sebagai berikut.

1010
Densitas Air (kg/m^3)

1000 y = -0,415x + 1005,1


990 R² = 0,9511
980
970
960
950
0 20 40 60 80 100 120
Temperatur (C)

Gambar III.1 Grafik Perubahan Densitas Air (kg/m3 ) terhadap Temperatur


(℃)
y = −0,415x + 1005,1
Temperatur rata-rata air hasil percobaan sebesar 27(℃) disubstitusikan ke
dalam persamaan sebagai nilai x.
y = −0,415x + 1005,1
y = −0,415(26 ℃) + 1005,1
y = 996,8584kg/m3
Maka, massa jenis (𝜌) dari fluida yang berupa air tersebut adalah
996,8584 kg/m3 .
III.2 Pengolahan Data Viskositas Kinematis Air (𝜇𝑘 )
Pada percobaan modul 4, pengukuran suhu awal dan suhu akhir saat
praktikum berpengaruh terhadap viskositas fluida. Suhu berpengaruh terhadap
jarak antar molekul. Semakin tinggi suhu fluida, maka jarak antar molekul air
akan semakin lebar. Oleh karena itu, saat suhu tinggi, volume fluida akan
meningkat dan viskositas pun mengecil akibat peningkatan keenceran dari
fluida tersebut.
Berdasarkan Tabel II.5, grafik viskositas kinematis air terhadap
temperatur direpresentasikan pada grafik di bawah ini.

2,00E-06
Kinematis (m2/s)

y = 2E-10x2 - 3E-08x + 2E-06


1,50E-06 R² = 0,983
Viskositas

1,00E-06
5,00E-07
0,00E+00
0 50 100 150
Temperatur (˚C

Gambar III.2 Grafik Perubahan Viskositas Kinematis Air (m2 /s) terhadap
Temperatur (℃)
Pada Subbab III.1 telah dihitung suhu rata-rata air yaitu sebesar 26℃. Setelah
data suhu rata-rata dan persamaan y = (2 × 10−10 )𝑥 2 − (3 × 10−8 )𝑥 +
(2 × 10−6 ) pada Gambar III.2 diketahui, maka viskositas kinematis air
berdasarkan temperatur dapat dicari dengan mensubstitusi suhu rata-rata
sebagai variable x dan viskositas kinematis sebagai nilai variable y ke dalam
persamaan pada Gambar III.2.
y = (2 × 10−10 )𝑥 2 − (3 × 10−8 )𝑥 + (2 × 10−6 )
y = (2 × 10−10 )(26℃)2 − (3 × 10−8 )(26℃) + (2 × 10−6 )
y = 0,0000013552 m2 /s
Maka, nilai viskositas kinematis air sebesar 0,0000013552 m2 /s.
III.3 Pengolahan Data Volume Air (m3 )
Berikut adalah persamaan untuk mendapatkan volume air.
mair mair
ρair = maka Vair =
Vair 𝜌𝑎𝑖𝑟

Dengan keterangan, 𝜌𝑎𝑖𝑟 menyatakan massa jenis air (kg/m3 ), Vair


ialah volume air (m3 ), dan mair ialah massa air (kg). Dengan menggunakan
prinsip tuas kesetimbangan, massa air akan sama dengan 3 kali massa beban,
sehingga massa air ialah 7,5 kg. Dengan demikian, diperoleh volume air
sebagai berikut.
7.5 kg
Vair = = 0,007523636 m3
kg
996,8584 3
m
Diperoleh volume air yang digunakan pada percobaan sebesar
0,007523636 m3 .
III.4 Pengolahan Data Debit Aktual Aliran Fluida (Q akt )
Dalam menentukan besar debit aliran, akan digunakan pengukuran
berbasis massa dengan prinsip hydraulic bench. Untuk menentukan debit aliran
tersebut digunakan penurunan persamaan sebagai berikut.
mair
ρair = sehingga mair = ρair × Vair
vair
V
Vair = Q × tavg sehingga Q = t air
avg

Kemudian, menurut prinsip tuas kesetimbangan, massa air sama dengan


tiga kali massa beban. Dengan demikian, debit aliran dapat dihitung dengan
persamaan berikut.
3 × mbeban
Q=
tavg × 𝜌𝑎𝑖𝑟
Dengan keterangan, Q ialah debit aktual (m3 /s), Vair adalah volume
air (m3 ), mair ialah massa air kg, mbeban ialah massa beban (kg) dan tavg ialah
waktu rata-rata. Diketahui bahwa besar massa beban adalah 2.5 kg sehingga
massa air sebesar 7,5 kg. Kemudian, untuk variasi pertama diketahui tavg
sebesar 3,823 s dan 𝜌𝑎𝑖𝑟 sebesar 996,8584 kg/m3 . Dengan demikian,
diperoleh debit dari aliran variasi pertama sebagai berikut.
3 × mbeban
Q=
tavg × 𝜌𝑎𝑖𝑟
3 × 2,5 kg
Q=
3,823 s × 996,8584kg/m3
Q = 0,00196782 m3 /s
Diperoleh nilai Q sebesar 0,00196782 m3 /s untuk variasi debit pertama.
Kemudian, untuk variasi lain dilakukan dengan langkah yang sama. Hasil
perhitungan untuk Q tiap variasinya dilampirkan pada Data Akhir.
III.5 Pengolahan Data Luas Penampang Basah (A)
Luas penampang basah dapat diperoleh melalui persamaan sebagai
berikut.
A = b × yi
Dengan keterangan, A menyatakan luas penampang basah (m2 ), b menyatakan
lebar saluran (m), dan yi menyatakan ketinggian aliran pada titik ke-i (m).
Diketahui bahwa besar lebar saluran ialah 0,077 m dan besar y1 untuk variasi
debit pertama ialah 0,0795 m. Dengan demikian, diperoleh luas penampang
basah dari aliran variasi pertama sebagai berikut.
A1 = b × y1
A1 = 0,077 m × 0,0795 m
A1 = 0,0059625 m2
Diperoleh nilai luas penampang basah titik 1 (A1 ) variasi debit pertama sebesar
0,0059625 m2 . Kemudian, untuk titik dan variasi debit lain akan didapatkan
luas penampang basah dengan langkah yang sama. Hasil perhitungan untuk
kedalaman rata-rata tiap variasinya dilampirkan pada Data Akhir.
III.6 Pengolahan Data y’
Nilai y’ untuk titik 1, 2, 6, 7, dan 8 pada setiap variasi bernilai sama
dengan ketinggian terukur y. Sedangkan y’ pada titik 3, 4, dan 5 tiap variasi
ditentukan dengan persamaan berikut.
y′ = y − tinggi ambang
Dengan keterangan, y ialah ketinggian air pada titik (m), y’ ialah ketinggian
aliran pada titik 3, 4, dan 5. Dengan demikian, diperoleh y’ titik ke-3 variasi
debit pertama sebagai berikut.
y′ = (0,0757 − 0,028) m = 0,0477 m
Dengan langkah kerja yang sama, akan diperoleh nilai y’ untuk masing-masing
titik pengukuran variasi 1, 2, dan 3. Hasil perhitungan dilampirkan pada Data
Akhir.
III.7 Pengolahan Data Kecepatan Aliran (v)
Pada percobaan kali ini, untuk menghitung kecepatan aliran (v) dapat
menggunakan persamaan debit sebagai berikut.
Q akt
v=
A
Dengan v menunjukkan kecepatan aliran (m/s), Q akt menyatakan debit
aktual air (m3 /s) dan A menunjukan luas penampang (m2 ). Dengan demikian,
jika nilai-nilai tersebut disubstitusi ke persamaan di atas akan menghasilkan
nilai kecepatan alisan untuk variasi debit pertama sebagai berikut.
Q akt
v=
A
0,001967821 m3 /s
v=
0,0059625 m2
v = 0,3300329 m/s
Diperoleh nilai v titik 1 sebesar 0,3300329 m/s untuk variasi debit
pertama. Kemudian, untuk titik dan variasi lain dilakukan dengan langkah yang
sama. Hasil perhitungan v tiap variasinya dilampirkan pada Data Akhir.
III.8 Pengolahan Data Bilangan Froude Aliran Fluida (NFR )
Bilangan Froude pada aliran fluida dapat ditentukan melalui persamaan
berikut.
vi
NFRi =
√g × yi
Dengan keterangan, NFR menyatakan bilangan Froude, v menyatakan
kecepatan aliran (m/s), g menyatakan percepatan gravitasi (m/s 2 ), dan yi
menyatakan ketinggian pada titik ke-i (m). Diketahui bahwa pada titik 1 variasi
pertama, g sebesar 9,81 m/s 2, v sebesar 0,3300329 m/s , dan yi sebesar
0,0759 m. Dengan demikian, diperoleh besar bilangan Reynolds variasi debit
pertama sebagai berikut.
vi
NFRi =
√g × yi
0,3300329 m/s
NFRi =
√9,81 m/s 2 × 0,0759 m
NFRi = 0,373713828
Diperoleh nilai NFR sebesar 0,373713828 untuk titik 1 variasi debit pertama.
Kemudian, untuk variasi lain dilakukan dengan langkah yang sama. Hasil
perhitungan NFR untuk tiap variasinya dilampirkan pada Data Akhir.
III.9 Pengolahan Data Energi Spesifik (Es )
Energi spesifik pada aliran fluida dapat ditentukan melalui persamaan
berikut.
vi2
Es = yi +
2g
Dengan keterangan, Es menyatakan energi spesifik (m), yi menyatakan
kedalaman titik ke-i (m), vi menyatakan kecepatan aliran air pada kedalaman
titik ke-i (m/s), dan g menyatakan percepatan gravitasi (m/s 2) sebesar
9,81 m/s 2 . Untuk titik 1 variasi debit pertama dengan kedalaman sebesar
0,0759 m dan v sebesar 0,3300329 m/s disubstitusikan ke persamaan di atas
sebagai berikut.
vi2
Es = yi +
2g
(0,3300329 m/s)2
Es = 0,0759 m +
2(9,81 m/s 2 )
Es = 0,085051565 m
Diperoleh nilai Es sebesar 0,085051565 m untuk titik 1 variasi debit pertama.
Kemudian, untuk variasi lain dilakukan dengan langkah yang sama. Hasil
perhitungan Es untuk tiap variasinya dilampirkan pada Data Akhir.
III.10 Pengolahan Data Ketinggian Kritis (yc )
Besar ketinggian kritis dapat diperoleh menggunakan persamaan
berikut.

3 𝑄𝑖2
𝑦𝑐𝑖 = √
𝑔 × 𝑏2

Dengan keterangan, 𝑦𝑐𝑖 menyatakan ketinggian kritis pada variasi ke-


i (m), 𝑄𝑖 menyatakan debit aliran variasi ke-i (m3 /s), b menyatakan lebar
saluran (m), dan g menyatakan percepatan gravitasi sebesar 9,81 m/s 2 .
Diketahui besar lebar saluran ialah 0,077 m dan besar debit variasi pertama
ialah 0,001967821 m3 /s. Dengan demikian, ketinggian kritis variasi debit
pertama dapat diperoleh sebagai berikut.

3 𝑄𝑖2
𝑦𝑐𝑖 = √
𝑔 × 𝑏2

3 (0,001967821 m3 /s)2
𝑦𝑐𝑖 = √
9,81 m/s 2 × (0,077 m)2

𝑦𝑐𝑖 = 0,041247083 m
Diperoleh besar ketinggian kritis pada variasi debit pertama sebesar
0,041247083 m. Kemudian, untuk variasi lain dilakukan dengan langkah
yang sama. Hasil perhitungan 𝑦𝑐𝑖 untuk tiap variasinya dilampirkan pada Data
Akhir.
III.11 Pengolahan Data Ketinggian Di Atas Ambang (hu )
Besar ketinggian di atas ambang (hu ) dapat diperoleh menggunakan
persamaan berikut.
𝑦1′ + 𝑦2′
hu = − tinggi ambang
2
Dengan keterangan, hu menyatakan ketinggian di atas ambang (m),
y1 ′ menyatakan y’ di titik 1 (m), dan y2 ′ menyatakan y’ di titik 2 (m). Dengan
demikian, ketinggian di atas ambang dapat diperoleh sebagai berikut.
𝑦1′ + 𝑦2′
hu = − tinggi ambang
2
(0,0797 + 0,0795)m
hu = − 0,028 m
2
hu = 0,0516 m
Nilai hu variasi pertama sebesar 0,0516 m, sementara untuk variasi debit
lainnya dilakukan cara yang sama. Hasil perhitungan dilampirkan pada Data
Akhir.
III.12 Pengolahan Data Debit Teoritis Aliran Fluida (Q teo )
Besar debit teoritis dapat ditentukan melalui persamaan berikut.
Q teo = 1,705 × b × (hu )3/2
Dengan keterangan, b ialah lebar saluran (m), hu merupakan ketinggian di atas
ambang (m), Q teo merupakan debit teoritis (m3 /s). Dengan demikian,
diperoleh debit teoritis sebagai berikut.
Q teo = 1,705 × 0,077 m × (0,0516 m)3/2 = 0,001498857 m3 /s
Untuk variasi kedua sampai ketiga dapat dihitung dengan menggunakan
langkah yang sama. Hasil perhitungan tersebut dapat dilihat di Data Akhir.
III.13 Pengolahan Data Koefisien Discharge (Cd)
Koefisien discharge didapat dengan menggunakan persamaan berikut.
Q akt
Cd =
Q teo
Q akt telah dijelaskan pada subbab sebelumnya. Koefisien discharge untuk
debit variasi pertama adalah sebagai berikut.
m3
0,001967821 s
Cd = = 1,313
m3
0,001498857 s

Nilai untuk Cd variasi pertama adalah 1,313. Untuk variasi kedua sampai
ketiga dapat dihitung dengan menggunakan langkah yang sama. Hasil
perhitungan dapat dilihat pada Data Akhir.
IV. Data Akhir
Tabel IV.1 Data Hasil Perhitungan Parameter Praktikum Aliran Di Atas
Ambang Lebar (1) Variasi Debit 1

𝐦𝟑 Yc(m)
Titik y(m) y’(m) V(𝐦𝟑 ) 𝐐𝐚𝐤𝐭( ) A(𝐦𝟐 ) v(m/s) 𝐍𝐅𝐑 ES(m)
𝐬

1 0,0795 0,0795 0,00596 0,33 0,374 0,0851

2 0,0797 0,0797 0,00597 0,329 0,372 0,0852

3 0,0757 0,0477 0,00357 0,55 0,638 0,0631


0,0075 0,001967 0,04125
4 0,065 0,037 0,00277 0,71 0,888 0,0626

5 0,0558 0,0278 0,00208 0,94 1,275 0,0732

6 0,0257 0,0257 0,00192 1,021 2,033 0,0789


𝐦𝟑 Yc(m)
Titik y(m) y’(m) V(𝐦𝟑 ) 𝐐𝐚𝐤𝐭( ) A(𝐦𝟐 ) v(m/s) 𝐍𝐅𝐑 ES(m)
𝐬
7 0,033 0,033 0,00247 0,795 1,397 0,0652
0,0075 0,001967 0,04125
8 0,0523 0,0523 0,00392 0,502 0,7003 0,0651
Tabel IV.2 Data Hasil Perhitungan Parameter Praktikum Aliran Di Atas
Ambang Lebar (1) Variasi Debit 2

𝐦𝟑 Yc(m)
Titik y(m) y’(m) V(𝐦𝟑 ) 𝐐𝐚𝐤𝐭( ) A(𝐦𝟐 ) v(m/s) 𝐍𝐅𝐑 ES(m)
𝐬

1 0,0505 0,0795 0,00379 0,1358 0,1930 0,0514

2 0,0506 0,0797 0,00380 0,1356 0,1924 0,0515

3 0,0474 0,0477 0,00146 0,3536 0,5186 0,0258

4 0,041 0,037 0,00098 0,5277 0,8321 0,0272


0,0075 0,00051 0,01687
5 0,0368 0,0278 0,00066 0,7795 1,2974 0,0398

5 0,0098 0,0257 0,00074 0,7000 2,2576 0,0348

6 0,0236 0,033 0,00177 0,2907 0,6041 0,0279

7 0,0246 0,0523 0,00185 0,2789 0,5677 0,0286

Tabel IV.3 Data Hasil Perhitungan Parameter Praktikum Aliran Di Atas


Ambang Lebar (1) Variasi Debit 3

𝐦𝟑 Yc(m)
Titik y(m) y’(m) V(𝐦𝟑 ) 𝐐𝐚𝐤𝐭( ) A(𝐦𝟐 ) v(m/s) 𝐍𝐅𝐑 ES(m)
𝐬

1 0,0743 0,0743 0,0056 0,2711 0,3176 0,0780

2 0,0745 0,0745 0,0056 0,2704 0,3163 0,0782


0,0075 0,00051 0,03458
3 0,0719 0,0439 0,0033 0,4589 0,5464 0,0546

4 0,0588 0,0308 0,0023 0,6540 0,8611 0,0526


𝐦𝟑 Yc(m)
Titik y(m) y’(m) V(𝐦𝟑 ) 𝐐𝐚𝐤𝐭( ) A(𝐦𝟐 ) v(m/s) 𝐍𝐅𝐑 ES(m)
𝐬
5 0,0516 0,0236 0,0018 0,8535 1,1997 0,0607

6 0,023 0,023 0,0017 0,8758 1,8438 0,0621


0,0075 0,00051 0,03458
7 0,041 0,041 0,0031 0,4913 0,7747 0,0533

8 0,0436 0,0436 0,0033 0,4620 0,7064 0,0545

Tabel IV.4 Data Hasil Perhitungan Parameter Praktikum Aliran Di Atas


Ambang Lebar

𝐦𝟑 𝐦𝟑 Cd
Variasi 𝐡𝐮(m) 𝐐𝐭𝐞𝐨 ( ) 𝐐𝐚𝐤𝐭( )
𝐬 𝐬
1 0,0516 0,001498 0,001968 1,31288

2 0,02255 0,000433 0,0005145 1,18816

3 0,0464 0,001278 0,001511 1,18205

V. Analisis A
V.1 Analisis Cara Kerja
Langkah pertama yang dilakukan adalah menyalakan hydraulic bench
dengan menekan tombol on. Kemudian, alat ukur dikalibrasi dengan membuat
pengukuran dari dasar saluran. Hal ini ditujukan agar acuan nol pada alat ukur
berada di dasar saluran dan pengukuran bernilai akurat. Selanjutnya,
dinyalakan pompa hydraulic bench untuk memulai percobaan. Lalu valve
diputar untuk mengatur debit. Debit air yang masuk pada model open channel
diatur agar tidak tumpah. Kemudian, temperature awal diukur untuk kemudian
dirata-ratakan dengan temperatur akhir percobaan untuk perhitungan densitas.
Setelah air stabil menggenangi open channel, ambang lebar dipasang pada
saluran. Kemudian, ketika posisi gelombang air sudah tidak berubah-ubah,
diletakkan tanda pada saluran untuk menandai titik pengukuran. Titik ini
terbagi menjadi 2 titik sebelum ambang, tiga titik di atas ambang, dua titik
setelah ambang, dan satu titik saat aliran kembali stabil di hilir. Delapan titik
ini diukur ketinggiannya menggunakan jangka sorong yang sudah dikalibrasi .
Kemudian, jarak antar delapan titik tersebut juga diukur dengan meteran.
Di sisi lain, tangka hydraulic bench dikosongkan terlebih dahulu dengan
menurunkan cam lever. Pengosongan tangki ini dilakukan karena tuas
berhubungan dengan bak penampungnya. Jika tidak dikosongkan, akan ada air
yang tertampung di bak tersebut, sehingga pengukuran waktu kurang akurat.
Setelah kosong, cam lever dinaikkan untuk mengisi tangka. Tepat ketika beam
bergerak naik, beban segera dipasang dan stopwatch dinyalakan. Lalu, ketika
beam kembali ke keadaan setimbang, stopwatch secera dimatikan. Pada keadaan ini,
berat air pada measuring tank telah mencapai 7,5 kg. Percobaan untuk variasi debit
aliran dilakukan sebanyak tiga kali untuk mendapatkan debit yang akurat. Sebelum
percobaan dilanjutkan, measuring tank yang awalnya berisi air harus dikosongkan
terlebih dahulu dengan menurunkan cam lever.
Dilakukan hal yang sama untuk mendapatkan waktu, ketinggian delapan titik,
serta jarak delapan titik dengan ujung hulu saluran untuk dua variasi lainnya. Variasi
debit diatur dengan memutar valve. Setelah itu, panjang, lebar, dan tinggi dari ambang
lebar diukur dan dicatat. Setelah data diperoleh, hydraulic bench dimatikan dan
temperatur akhir diukur.

V.2 Analisis Grafik


V.2.1 Kedalaman (y) terhadap Jarak Antar Titik (x)

0,1
0,08
Kedalaman (m)

0,06
Variasi 1
0,04
Variasi 2
0,02 Variasi 3

0
0 2 4
Jarak (m)

Gambar V.1 Grafik Profil Aliran


Pada grafik, terlihat bahwa terdapat kesamaan profil aliran pada variasi
debit ke-1 hingga ke-3, sehingga aliran dapat dikategorikan sebagai aliran
seragam. Dari ketiga variasi, variasi kesatu berada di urutan teratas yang
menunjukkan bahwa debit terbesar berada di variasi kesatu, kemudian diikuti
variai ketiga dan variasi kedua. Dari delapan titik, titik pertama adalah titik
dengan ketinggian terbesar dan aliran bersifat subkritis karena belum
terpengaruh oleh ambang lebar. Pada titik ke-2 hingga ke-3 terjadi penurunan
ketinggian secara tidak signifikan. Setelah titik ke-3 hingga ke-6 terjadi
penurunan ketinggian yang signifikan karena adanya ambang batas yang
menyebabkan aliran fluida terhambat dan luas penampang berkurang tiba-tiba.
Penurunan ketinggian terjadi pada titik ke-6 yang dibuktikan dengan meninjau
𝑑𝑦 𝑆0 −𝑆𝑓 𝑑𝑦
persamaan = 2 . Dari persamaan tersebut, berbanding terbalik
𝑑𝑥 1−𝑁𝐹𝑅 𝑑𝑥

dengan bilangan Froude. Maka, dapat disimpulkan semakin besar penurunan


ketinggian, bilangan Froude akan semakin besar sehingga aliran akan menuju
superkritis. Kemudian, setelah titik ke-7, ketinggian mulai meningkat yang
menunjukkan adanya loncatan hidrolis yang terjadi karena perubahan dari
aliran superkiritis menjadi aliran subkritis dan meningkatnya energi potensial
sehingga bilangan Froude menurun. Pada titik ke-8 aliran sudah stabil karena
aliran air bersifat subkritis dan juga terdapat peningkatan kedalaman karena
berada di hilir saluran.
3
2
V.2.2 Debit Aktual (Qakt ) terhadap b(hu )

0,0025
0,002 y = 2,1391x
R² = 0,9973
0,0015
Qakt

0,001
0,0005
0
0 0,0002 0,0004 0,0006 0,0008 0,001
b.hu^3/2

3
Gambar V.2 Grafik Qakt terhadap b(h2u )
Pada Gambar V.2 didapatkan persamaan y = 2,139 x dan R2 sebesar
0,9973. R2 merupakan suatu nilai yang memperlihatkan seberapa besar
varianel independent (eksogen) memengaruhi variable dependen (endogen)
(Ghozali, 2016). Nilai R2 tersebut menunjukkan 99,73% debit aktual
3
dipengaruhi oleh b(h2u ) dan 0,27% menunjukkan pengaruh variable di luar
persamaan regresi power atau disebut juga variabel ketidaktelitian. Dari nilai
R2 didapat nilai R atau koefisien korelasi. Koefisien korelasi menunjukkan
hubungan antara dua variabel saling berkaitan atau tidak. Pada percobaan ini
didapatkan besar koefisien korelasi (R) yaitu 0,9986. Oleh karena koefisien
korelasi yang didapatkan mendekati nilai 1 dan positif, maka korelasi antara
3
2
debit aktual terhadap b(hu ) kuat dan berbanding lurus.
3
Pada persamaaan, x menunjukkan b(h2u )dan y debit aktual. Maka,
persamaan dapat dinyatakan sebagai berikut.
3
Q akt = 2,139 b(h2u )
Persamaan di atas dapat dihubungkan denga persamaan debit berikut
untuk didapatkan nilai koefisien discharge aktual.
3
Q = Cd × Cv × 1,705 × b(h2u )
2,139 = 1,705 × Cd
2,139
Cd = = 1,254545455
1,705
Koefisien discharge teoritis didapatkan melalui persamaan dari literatur
(Osman Arkan, 2006), yaitu :
v2
hu +
2g
Cdteo = 0,93 + 0,1 ( )
Lb

Dengan v menunjukkan kecepatan aliran di titik ke-1 dan Lb


menunjukkan panjang ambang lebar. Koefisien discharge teoritis untuk variasi
debit pertama yaitu :
(0,33 m/𝑠)2
0,0516 m +
2 × 9,81 m/s 2
Cdteo = 0,93 + 0,1 ( ) = 0,988983835
0,116 m

Akibat adanya perbedaan antara nilai pangkat teoritis dan aktual, maka
terdapat galat yang dihitung dengan persamaan sebagai berikut.
Cd Teoritis − Cd aktual 0,9889 − 1,2545
Galat = | | × 100% = | | × 100% = 26,86%
Nilai Teoritis 0,9889
Untuk variasi selanjutnya, akan diperoleh menggunakan persamaan yang sama.
Hasilnya tertera pada tabel di bawah ini.
Tabel V.1 Hasil Cd Aktual, Cd Teoritis, dan Galat
Variasi Cd Aktual Cd Teoritis Galat (%) Keterangan
Galat di atas 10%,
1 0,9889 26,86 sehingga kurang
akurat
Galat di atas 10%,
2 1,2545 0,9554 31,31 sehingga kurang
akurat
Galat di atas 10%,
3 0,9819 27,76 sehingga kurang
akurat
V.2.3 Grafik Ketinggian y’ Terhadap Bilangan Froude

0,09
0,08
y = 0,0382x-0,697 Variasi 1
0,07
R² = 0,9696 Variasi 2
0,06
y= 0,0139x-0,757 Variasi 3
0,05 R² = 0,9723
y'(m)

Linear (Variasi 1 )
0,04 y = 0,0313x-0,722 Power (Variasi 1 )
0,03 R² = 0,9689
Linear (Variasi 2)
0,02
Power (Variasi 2)
0,01
Linear (Variasi 3)
0
Power (Variasi 3)
-0,010,00 1,00 2,00 3,00
Fr

Gambar V.3 Grafik Ketinggian y’ terhadap Bilangan Froude


Nilai R2 merupakan koefisien determinasi yang menunjukkan besarnya
pengaruh variabel bebas (sumbu-x) terhadap variabel terikat (sumbu-y) (Hair,
Jr., Joseph F., et. Al. (2011)). Baik untuk variasi pertama, kedua, maupun ketiga,
nilai R2 secara berurut adalah 0,9696; 0,9723; dan 0,9689. Dapat disimpulkan
bahwa ketiga nilai mendekati 1, maka ketinggian y’ berkorelasi lurus atau
berbanding lurus dengan hubungan yang sangat kuat.
Dari grafik tersebut, persamaan yang dihasilkan dari grafik menggunakan
regresi power pada variasi 1 ialah y = 0,0382x −0,697, variasi kedua y =
0,0139x −0,757, dan variasi ketiga ialah y = 0,0313x −0,722 . Dengan demikian,
dapat ditentukan hubungan antara ketinggian dengan nilai dari bilangan Froude
berdasarkan persamaan di bawah ini.
v Q
NFR = =
√𝑔𝑦 by√𝑔𝑦
2
3 Q3
y2 = 2 2 1
3
NFR × b 3 × 𝑔3
Maka, didapatkan hubungan sebagai berikut.
2
−( )
y≈ NFR3
Nilai pangkat pada persamaan di atas merupakan nilai pangkat teoritis dan nilai
pangkat pada persamaan regresi power merupakan nilai pangkat aktual. Terdapat
perbedaan antara nilai pangkat teoritis dan aktual sehingga akan dicarai nilai
galat menggunakan persamaan berikut.
Nilai Teoritis − Nilai Aktual
Galat = | | × 100%
Nilai Teoritis
Untuk variasi debit pertama, yaitu :
2
(− 3) − (−0,697)
Galat = | | × 100% = 4,55%
−2/3

Dengan langkah yang sama, galat pada variasi debit kedua dan ketiga dapat
dihilat pada Tabel V.2
Tabel V.2 Hasil Perhitungan Galat
Variasi Galat (%) Keterangan
Galat di bawah 10%, perhitungan
1 4,55
dinilai akurat
Galat di atas 10%, perhitungan
2 13,55
dinilai kurang akurat
Variasi Galat (%) Keterangan
Galat di bawah 10%, perhitungan
3 8,3
dinilai akurat
V.2.4 Grafik Ketinggian y’ Terhadap Energi Spesifik (ES)

Gambar V.4 Grafik Ketinggian y’ Terhadap Energi Spesifik (ES)


Untuk menentukan kedalaman kritis (yc) aktual dapat ditentukan berdasarkan
nilai ordinat (sumbu-y) pada perpotongan antara garis yang menghubungkan
titik-titik pada grafik dengan garis 𝑦 = 2/3 𝐸𝑆. Berdasarkan Gambar V.4,
didapat nilai kedalaman kritis aktual variasi debit pertama sebesar 0.063,
variasi debit kedua sebesar 0.026, dan variasi debit ketiga sebesar 0.053.
Sedangkan, nilai kedalaman kritis secara teoritis ketiga variasi debit dapat
dilihat pada Tabel IV.1 sampai Tabel IV.3. Oleh karena terdapat perbedaan
antara nilai aktual dan nilai teoritis, maka terdapat galat yang dapat dihitung
dengan persamaan berikut.
Nilai Teoritis − Nilai Aktual
Galat = | | × 100%
Nilai Teoritis
Dengan mensubstitusi nilai kedalaman pada persamaan di atas, didapatkan
hasil perhitungan sebagai berikut.
Tabel V.3 Hasil Perhitungan Galat
Variasi Galat (%) Keterangan
Galat di atas 10%, perhitungan
1 52,74
dinilai kurang akurat
Galat di atas 10%, perhitungan
2 273,55
dinilai kurang akurat
Galat di atas 10%, perhitungan
3 82,17
dinilai kurang akurat
Dari grafik tersebut juga dapat ditentukan kondisi kekritisan aliran. Titik-titik
yang berada di atas garis 𝑦 = 2/3 𝐸𝑆, yaitu titik ke-1, titik ke-2, titik ke-3, dan
titik ke-8 merupakan aliran subkritis. Pada titik ke-1, ke-2, dan ke-3 belum ada
pengaruh dari ambang dan energi potensial makasimum. Sedangkan titik ke-8
telah kembali stabil. Kemudian, titik-titik yang berada di bawah garis 𝑦 = 2/3
𝐸𝑆, yaitu titik ke-5, titik ke-6 dan titik ke-7 merupakan aliran superkritis karena
pengaruh ambang. Pada ketiga titik tersebut, terjadi kenaikan energi kinetic dan
penurunan energi potensial. Untuk titik ke-4 pada ketiga variasi debit
merupakan keadaan kritis.
V.3 Penurunan Rumus Debit Teoritis
Persamaan kedalaman terhadap titik kritis adalah sebagai berikut.
vc = √g × yc
2
yc = E𝑆
3 2
Apabila kedua persamaan di atas disubstitusikan ke dalam persamaan
kontinuitas, persamaan tersebut akan menjadi seperti berikut.
Q=A×v
Q = b × yc × √𝑔 × yc

2 2
Q = b × ES2 × √𝑔 × ES2
3 3

Telah diketahui persamaan energi spesifik sebelumnya, yaitu :


v2
ES2 = h + ( )=H
2g
Maka,
2
yc = H
3
Untuk mendapatkan nilai debit pada ambang lebar, digunakan persamaan
kontinuitas berikut.

2 2𝑔 3
Q= × √ × b × (hu )2
3 3
3
Q = 1,705 × b × (hu )2
Dengan memperhitungkan velocity correction factor (Cv) dan discharge
coefficient (Cd), maka persamaan akan menjadi seperti berikut.
3
Q = Cd × Cv × 1,705 × b × (hu )2
V.4 Analisis Kesalahan
Galat disebabkan oleh kesalahan dalam percobaan. Di bawah ini
merupakan beberapa dalam percobaan yang praktikan laksanakan.
1. Ketidaktepatan pembacaan nilai ketinggian pada alat pengukur
ketinggian yang berupa jangka sorong. Hal ini disebabkan oleh
kurangnya ketelitian praktikan dalam membaca ketinggian pada
masing-masing titik dikarenakan alat tersebut memiliki skala yang kecil
dan angka yang kurang terlihat. Hal ini dapat memengaruhi perhitungan
baik luas permukaan, keliling basah, jari-jari hidrolis, dan slope saluran
mengingat dalam mencari besaran tersebut dibutuhkan ketinggian air
pada enam titik.
2. Ketidaktepatan dalam peletakkan jarum jangka sorong. Idealnya, ketika
melakukan perhitungan ketinggian muka air, jarum jangka sorong
berada di atas permukaan air. Namun, sangat mungkin terjadi praktikan
meletakkan jarum tersebut tidak tepat di atas pemrukaan air. Dengan
demikian, dalam pembacaan kedalaman pun dapat berbeda sehingga
data kurang akurat.
3. Ketidaktepatan pembacaan waktu oleh praktikan. Seharusnya waktu
dihitung ketika beban diletakkan hingga beban terangkat. Namun, ada
kemungkinan praktikan lalai dan menghitung waktu tidak tepat beban
terangkat sehingga mengakibatkan besar debit yang terhitung.
4. Ketidaktepatan pembacaan nilai jarak pada meteran. Hal ini disebabkan
kurang stabilnya praktikan dalam memegang meteran sehingga
perhitungan slope tidak akurat yang berdampak pada koefisien Chezy
dan koefisien Manning.
VI. Analisis B
1. Bendungan

Gambar V.1 Ilustrasi Bendungan


(Sumber : www.kompas.com)

Bendung adalah suatu bangunan air dengan kelengkapan yang dibangun


melintang sungai yang sengaja dibuat untuk meninggikan taraf muka air
atau mendapatkan tinggi terjun. Berdasarkan Standar Nasional
Indonesia/SNI 03- 2401-1991 tentang Pedoman Perencanaan Hidrologi
Dan Hidraulik Untuk Bangunan Di Sungai adalah bangunan ini dapat
didesain dan dibangun sebagai bangunan tetap, bendung gerak, atau
kombinasinya, dan harus dapat berfungsi untuk mengendalikan aliran dan
angkutan muatan di sungai sedemikian sehingga dengan menaikkan muka
airnya, air dapat dimanfaatkan secara efisien sesuai dengan kebutuhannya.
Prinsip ambang lebar digunakan pada bendungan untuk meninggikan
muka air sungai dan mengalirkan Sebagian aliran sungai yang ada kea rah
tepi kanan dan tepi kiri sungai untuk kemudian dialirkan ke dalam saluran
melalui sebuah bangunan pengambilan jaringan irigasi.
2. Saluran irigasi
Sistem irigasi menggunakan ambang karena kita perlu menjaga ketinggi air
pada hulu supaya stabil berada di ketinggian tertentu pada hulunya. Selain
itu kita jadi dapat mengetahui bahwa loncatan hidrolis bisa mengelurkan
udara dari water supply dan saluran pembuangan limbah untuk mencegah
terjadinya air locking sepanjang saluran.

Gambar V.2 Ilustrasi Irigasi


(Sumber : www.adb.com)

VII. Kesimpulan
1. Debit aliran pada saluran yang menggunakan ambang lebar tertera pada
Tabel IV.1 hingga Tabel IV.3.
2. Nilai koefisien discharge (Cd), energi spesifik (ES), ketinggian kritis (yc),
dan bilangan Froude (NFR) tertera pada Tabel IV.1 hingga Tabel IV.3.
3. Semakin besar debit air, semakin besar ketinggian di atas ambang lebar. Hal
tersebut dapat dilihat dari persamaan berikut:
3
2 2𝑔
Qteo = × √ × b × h2u
3 3

4. Karakteristik aliran yang melalui ambang lebar dapat dilihat pada Bagian
V.2.
5. Pengaplikasian ambang lebar di bidang TL ialah saluran irigasi dan bendung
bangunan.
ALIRAN DI ATAS AMBANG TAJAM
I. Tujuan
I.1 Menentukan debit aliran menggunakan ambang tajam sebagai alat ukur
I.2 Menentukan nilai koefisien discharge (Cd), energi spesifik (ES),
ketinggian kritis (yc), dan bilangan Froude (NFR) untuk menentukan
karakteristik aliran
I.3 Menentukan hubungan tinggi muka air di atas ambang tajam terhadap
debit air yang melimpah di atas ambang
I.4 Menentukan karakteristik aliran yang melalui ambang tajam
I.5 Menentukan pengaplikasian ambang tajam di bidang Teknik Lingkungan
II. Data Awal
Data awal yang diperoleh pada praktikum adalah sebagai berikut.
II.1 Data Awal Pendukung Praktikum
Tabel II.1 Data Awal Pengukuran Parameter Pendukung Praktikum
Massa beban 2.5 kg
Suhu awal 25℃
Suhu akhir 27℃
Lebar saluran 0,077 m
Tinggi Ambang 0,028 m
Lebar saluran 0,075 m
Lebar Ambang 0,075 m
II.2 Data Pengukuran Waktu Saluran Tiap Variasi
Tabel II.2 Data Pengukuran Waktu Saluran Tiap Variasi
Waktu (s)
Debit
𝐭𝟏 𝐭𝟐 𝐭𝟑 tavg
1 4 3,56 3,91 3,82
2 14,28 14,53 15,06 14,62
3 5,22 4,57 5,15 4,98

II.3 Data Pengamatan Jarak dan Ketinggian Pofil Aliran pada Titik Tertentu
Tabel II.3 Data Pengamatan Jarak dan Ketinggian Profil Aliran pada Titik
Tertentu
Variasi Debit Titik Jarak (m) Ketinggian (m)
1 1,15 0,0996
2 1,36 0,0985
3 1,93 0,0921
4 1,932 0,0915
1
5 1,944 0,0894
6 3,72 0,0302
7 3,8 0,0454
8 3,99 0,0434
1 1,17 0,0742
2 1,38 0,0742
3 1,93 0,0664
4 1,94 0,0611
2
5 1,95 0,0589
6 2,45 0,0106
7 2,52 0,0254
8 3,18 0,031
1 1,13 0,0946
2 1,835 0,0885
3 1,845 0,0869
4 1,855 0,0846
3
5 1,95 0,0187
6 3,44 0,0168
7 3,52 0,0401
8 3,84 0,0389
II.4 Data Temperatur Air terhadap Densitas Air
Tabel II.4 Data Temperatur (℃) terhadap Densitas Air (kg/m3 )
Temperatur (℃) Densitas Air (𝐤𝐠/𝐦𝟑 )
0 999,9
5 1000,0
Temperatur (℃) Densitas Air (𝐤𝐠/𝐦𝟑 )
10 999,7
15 999,1
20 998,2
30 995,7
40 992,2
50 988,1
60 983,2
70 977,8
80 971,8
90 965,3
100 958,4
(Sumber : Finnemore, E. J dan J.B. Franzini, 2002)
II.5 Data Temperatur Air terhadap Viskositas Kinematis Air
Tabel II.5 Data Temperatur (℃) terhadap Viskositas KinematisAir (m2 /s)
Temperatur (℃) Viskositas Kinematis Air (𝐦𝟐 /𝐬)
0 1,787E-6
5 1,519E-6
10 1,307E-6
20 1,004E-6
30 8,009E-7
40 6,580E-7
50 5,534E-7
60 4,745E-7
70 4,134E-7
80 3,650E-7
90 3,260E-7
100 2,940E-7
(Sumber : Shaughnessy & Ira, 2005)
III. Pengolahan Data
III.1 Pengolahan Data Massa Jenis Air Berdasarkan Suhu (𝜌)
Pada percobaan modul 4, dilakukan pengukuran suhu awal dan suhu
akhir untuk menentukan nilai densitas. Dari pengukuran tersebut, didapatkan
suhu awal air sebesar 25°C dan suhu akhir air sebesar 27°C. Kemudian nilai
kedua suhu tersebut dirata-ratakan dengan persamaan sebagai berikut.
Tawal + Takhir
Tavg =
2
Dengan keterangan, Tavg adalah suhu rata-rata (℃), Tawal adalah suhu awal
(℃), dan Takhir adalah suhu akhir (℃). Maka, suhu rata-rata yang dihitung
menggunakan persamaan di atas sebesar :
Tawal + Takhir
Tavg =
2
25℃ + 27℃
Tavg =
2
Tavg = 26℃
Diperlukan regresi untuk menentukan nilai densitas air yang dinyatakan
dengan sumbu-y dan temperature yang dinyatakan dengan sumbu-x. Data yang
akan diregresikan dapat dilihat pada Tabel II.4. Regresi tersebut dapat dilihat
Gambar III.1 Regresi tersebut menghasilkan persamaan sebagai berikut.

1010
Densitas Air (kg/m^3)

1000 y = -0,415x + 1005,1


990 R² = 0,9511
980
970
960
950
0 20 40 60 80 100 120
Temperatur (C)

Gambar III.1 Grafik Perubahan Densitas Air (kg/m3 ) terhadap Temperatur


(℃)
y = −0,415x + 1005,1
Temperatur rata-rata air hasil percobaan sebesar 27(℃) disubstitusikan ke
dalam persamaan sebagai nilai x.
y = −0,415x + 1005,1
y = −0,415(26 ℃) + 1005,1
y = 996,8584kg/m3
Maka, massa jenis (𝜌) dari fluida yang berupa air tersebut adalah
996,8584 kg/m3 .
III.2 Pengolahan Data Viskositas Kinematis Air (𝜇𝑘 )
Pada percobaan modul 4, pengukuran suhu awal dan suhu akhir saat
praktikum berpengaruh terhadap viskositas fluida. Suhu berpengaruh terhadap
jarak antar molekul. Semakin tinggi suhu fluida, maka jarak antar molekul air
akan semakin lebar. Oleh karena itu, saat suhu tinggi, volume fluida akan
meningkat dan viskositas pun mengecil akibat peningkatan keenceran dari
fluida tersebut.
Berdasarkan Tabel II.5, grafik viskositas kinematis air terhadap
temperatur direpresentasikan pada grafik di bawah ini.

2,00E-06
Kinematis (m2/s)

y = 2E-10x2 - 3E-08x + 2E-06


1,50E-06 R² = 0,983
Viskositas

1,00E-06
5,00E-07
0,00E+00
0 50 100 150
Temperatur (˚C

Gambar III.2 Grafik Perubahan Viskositas Kinematis Air (m2 /s) terhadap
Temperatur (℃)
Pada Subbab III.1 telah dihitung suhu rata-rata air yaitu sebesar 26℃. Setelah
data suhu rata-rata dan persamaan y = (2 × 10−10 )𝑥 2 − (3 × 10−8 )𝑥 +
(2 × 10−6 ) pada Gambar III.2 diketahui, maka viskositas kinematis air
berdasarkan temperatur dapat dicari dengan mensubstitusi suhu rata-rata
sebagai variable x dan viskositas kinematis sebagai nilai variable y ke dalam
persamaan pada Gambar III.2.
y = (2 × 10−10 )𝑥 2 − (3 × 10−8 )𝑥 + (2 × 10−6 )
y = (2 × 10−10 )(26℃)2 − (3 × 10−8 )(26℃) + (2 × 10−6 )
y = 0,0000013552 m2 /s
Maka, nilai viskositas kinematis air sebesar 0,0000013552 m2 /s.
III.3 Pengolahan Data Volume Air (m3 )
Berikut adalah persamaan untuk mendapatkan volume air.
mair mair
ρair = maka Vair =
Vair 𝜌𝑎𝑖𝑟

Dengan keterangan, 𝜌𝑎𝑖𝑟 menyatakan massa jenis air (kg/m3 ), Vair


ialah volume air (m3 ), dan mair ialah massa air (kg). Dengan menggunakan
prinsip tuas kesetimbangan, massa air akan sama dengan 3 kali massa beban,
sehingga massa air ialah 7,5 kg. Dengan demikian, diperoleh volume air
sebagai berikut.
7.5 kg
Vair = = 0,007523636 m3
kg
996,8584 3
m
Diperoleh volume air yang digunakan pada percobaan sebesar
0,007523636 m3 .
III.4 Pengolahan Data Debit Aktual Aliran Fluida (Q akt )
Dalam menentukan besar debit aliran, akan digunakan pengukuran
berbasis massa dengan prinsip hydraulic bench. Untuk menentukan debit aliran
tersebut digunakan penurunan persamaan sebagai berikut.
mair
ρair = sehingga mair = ρair × Vair
vair
V
Vair = Q × tavg sehingga Q = t air
avg

Kemudian, menurut prinsip tuas kesetimbangan, massa air sama dengan


tiga kali massa beban. Dengan demikian, debit aliran dapat dihitung dengan
persamaan berikut.
3 × mbeban
Q=
tavg × 𝜌𝑎𝑖𝑟
Dengan keterangan, Q ialah debit aktual (m3 /s), Vair adalah volume
air (m3 ), mair ialah massa air kg, mbeban ialah massa beban (kg) dan tavg ialah
waktu rata-rata. Diketahui bahwa besar massa beban adalah 2.5 kg sehingga
massa air sebesar 7,5 kg. Kemudian, untuk variasi pertama diketahui tavg
sebesar 3,823 s dan 𝜌𝑎𝑖𝑟 sebesar 996,8584 kg/m3 . Dengan demikian,
diperoleh debit dari aliran variasi pertama sebagai berikut.
3 × mbeban
Q=
tavg × 𝜌𝑎𝑖𝑟
3 × 2,5 kg
Q=
3,823 s × 996,8584kg/m3
Q = 0,00196782 m3 /s
Diperoleh nilai Q sebesar 0,00196782 m3 /s untuk variasi debit pertama.
Kemudian, untuk variasi lain dilakukan dengan langkah yang sama. Hasil
perhitungan untuk Q tiap variasinya dilampirkan pada Data Akhir.
III.5 Pengolahan Data Luas Penampang Basah (A)
Luas penampang basah dapat diperoleh melalui persamaan sebagai
berikut.
A = b × yi
Dengan keterangan, A menyatakan luas penampang basah (m2 ), b menyatakan
lebar saluran (m), dan yi menyatakan ketinggian aliran pada titik ke-i (m).
Diketahui bahwa besar lebar saluran ialah 0,077 m dan besar y1 untuk variasi
debit pertama ialah 0,0996 m. Dengan demikian, diperoleh luas penampang
basah dari aliran variasi pertama sebagai berikut.
A1 = b × y1
A1 = 0,077 m × 0,0996 m
A1 = 0,00747 m2
Diperoleh nilai luas penampang basah titik 1 (A1 ) variasi debit pertama sebesar
0,00747 m2 . Kemudian, untuk titik dan variasi debit lain akan didapatkan luas
penampang basah dengan langkah yang sama. Hasil perhitungan untuk
kedalaman rata-rata tiap variasinya dilampirkan pada Data Akhir.
III.6 Pengolahan Data y’
Nilai y’ untuk titik 1, 5, 6, 7, dan 8 pada setiap variasi bernilai sama
dengan ketinggian terukur y. Sedangkan y’ pada titik 3, 4, dan 2 tiap variasi
ditentukan dengan persamaan berikut.
y′ = y − tinggi ambang
Dengan keterangan, y ialah ketinggian air pada titik (m), y’ ialah ketinggian
aliran pada titik 3, 4, dan 5. Dengan demikian, diperoleh y’ titik ke-3 variasi
debit pertama sebagai berikut.
y ′ = (0,0921 − 0,05) m = 0,0421 m
Dengan langkah kerja yang sama, akan diperoleh nilai y’ untuk masing-masing
titik pengukuran variasi 1, 2, dan 3. Hasil perhitungan dilampirkan pada Data
Akhir.
III.7 Pengolahan Data Kecepatan Aliran (v)
Pada percobaan kali ini, untuk menghitung kecepatan aliran (v) dapat
menggunakan persamaan debit sebagai berikut.
Q akt
v=
A
Dengan v menunjukkan kecepatan aliran (m/s), Q akt menyatakan debit
aktual air (m3 /s) dan A menunjukan luas penampang (m2 ). Dengan demikian,
jika nilai-nilai tersebut disubstitusi ke persamaan di atas akan menghasilkan
nilai kecepatan alisan untuk variasi debit pertama sebagai berikut.
Q akt
v=
A
0,001967821 m3 /s
v=
0,00747 m2
v = 0,26343 m/s
Diperoleh nilai v titik 1 sebesar 0,26343 m/s untuk variasi debit
pertama. Kemudian, untuk titik dan variasi lain dilakukan dengan langkah yang
sama. Hasil perhitungan v tiap variasinya dilampirkan pada Data Akhir.
III.8 Pengolahan Data Bilangan Froude Aliran Fluida (NFR )
Bilangan Froude pada aliran fluida dapat ditentukan melalui persamaan
berikut.
vi
NFRi =
√g × yi
Dengan keterangan, NFR menyatakan bilangan Froude, v menyatakan
kecepatan aliran (m/s), g menyatakan percepatan gravitasi (m/s 2 ), dan yi
menyatakan ketinggian pada titik ke-i (m). Diketahui bahwa pada titik 1 variasi
pertama, g sebesar 9,81 m/s 2, v sebesar 0,26343 m/s , dan yi sebesar
0,0996 m. Dengan demikian, diperoleh besar bilangan Reynolds variasi debit
pertama sebagai berikut.
vi
NFRi =
√g × yi
0,26343 m/s
NFRi =
m
√9,81 × 0,0996 m
s2
NFRi = 0,266502233
Diperoleh nilai NFR sebesar 0,266502233 untuk titik 1 variasi debit pertama.
Kemudian, untuk variasi lain dilakukan dengan langkah yang sama. Hasil
perhitungan NFR untuk tiap variasinya dilampirkan pada Data Akhir.
III.9 Pengolahan Data Energi Spesifik (Es )
Energi spesifik pada aliran fluida dapat ditentukan melalui persamaan
berikut.
vi2
Es = yi +
2g
Dengan keterangan, Es menyatakan energi spesifik (m), yi menyatakan
kedalaman titik ke-i (m), vi menyatakan kecepatan aliran air pada kedalaman
titik ke-i (m/s), dan g menyatakan percepatan gravitasi (m/s 2) sebesar
9,81 m/s 2 . Untuk titik 1 variasi debit pertama dengan kedalaman sebesar
0,0996m dan v sebesar 0,26343 m/s disubstitusikan ke persamaan di atas
sebagai berikut.
vi2
Es = yi +
2g
(0,26343m/s)2
Es = 0,0996 m +
2(9,81 m/s 2 )
Es = 0,103137 m
Diperoleh nilai Es sebesar 0,103137 m untuk titik 1 variasi debit pertama.
Kemudian, untuk variasi lain dilakukan dengan langkah yang sama. Hasil
perhitungan Es untuk tiap variasinya dilampirkan pada Data Akhir.
III.10 Pengolahan Data Ketinggian Kritis (yc )
Besar ketinggian kritis dapat diperoleh menggunakan persamaan
berikut.

3 𝑄𝑖2
𝑦𝑐𝑖 = √
𝑔 × 𝑏2

Dengan keterangan, 𝑦𝑐𝑖 menyatakan ketinggian kritis pada variasi ke-


i (m), 𝑄𝑖 menyatakan debit aliran variasi ke-i (m3 /s), b menyatakan lebar
saluran (m), dan g menyatakan percepatan gravitasi sebesar 9,81 m/s 2 .
Diketahui besar lebar saluran ialah 0,077 m dan besar debit variasi pertama
ialah 0,001967821 m3 /s. Dengan demikian, ketinggian kritis variasi debit
pertama dapat diperoleh sebagai berikut.

3 𝑄𝑖2
𝑦𝑐𝑖 = √
𝑔 × 𝑏2

3 (0,001967821 m3 /s)2
𝑦𝑐𝑖 = √
9,81 m/s 2 × (0,077 m)2

𝑦𝑐𝑖 = 0,041247083 m
Diperoleh besar ketinggian kritis pada variasi debit pertama sebesar
0,041247083 m. Kemudian, untuk variasi lain dilakukan dengan langkah
yang sama. Hasil perhitungan 𝑦𝑐𝑖 untuk tiap variasinya dilampirkan pada Data
Akhir.
III.11 Pengolahan Data Ketinggian Di Atas Ambang (hu )
Besar ketinggian di atas ambang (hu ) dapat diperoleh menggunakan
persamaan berikut.
hu = 𝑦′ − tinggi ambang
Dengan keterangan, hu menyatakan ketinggian di atas ambang (m)
dan y1 ′ menyatakan y’ di titik 1 (m). Dengan demikian, ketinggian di atas
ambang dapat diperoleh sebagai berikut.
hu = 𝑦1 ′ − tinggi ambang
hu = 0,0996 m − 0,05 m
hu = 0,0496 m
Nilai hu variasi pertama sebesar 0,0496 m, sementara untuk variasi debit
lainnya dilakukan cara yang sama. Hasil perhitungan dilampirkan pada Data
Akhir.
III.12 Pengolahan Data Debit Teoritis Aliran Fluida (Q teo )
Besar debit teoritis dapat ditentukan melalui persamaan berikut.
2
Q teo = × b × √2gh3u × Cd × Cv
3
Dengan keterangan, b ialah lebar saluran (m), hu merupakan ketinggian di atas
ambang (m), Q teo merupakan debit teoritis (m3 /s). Dengan demikian,
diperoleh debit teoritis sebagai berikut.
2 m
Q teo = × 0,77 m × √2 × (9,81 2 ) (0,0496)3 = 0,0011712537 m3 /s
3 s
Untuk variasi kedua sampai ketiga dapat dihitung dengan menggunakan
langkah yang sama. Hasil perhitungan tersebut dapat dilihat di Data Akhir.
III.13 Pengolahan Data Koefisien Discharge (Cd)
Koefisien discharge didapat dengan menggunakan persamaan berikut.
Q akt
Cd =
Q teo
Q akt telah dijelaskan pada subbab sebelumnya. Koefisien discharge untuk
debit variasi pertama adalah sebagai berikut.
m3
0,001967821 s
Cd = = 1,149067
m3
0,0011712537 s

Nilai untuk Cd variasi pertama adalah 1,149067. Untuk variasi kedua sampai
ketiga dapat dihitung dengan menggunakan langkah yang sama. Hasil
perhitungan dapat dilihat pada Data Akhir.
IV. Data Akhir
Tabel IV.1 Data Hasil Perhitungan Parameter Praktikum Aliran Di Atas
Ambang Lebar (1) Variasi Debit 1

𝐦𝟑 Yc(m)
Titik y(m) y’(m) V(𝐦𝟑 ) 𝐐𝐚𝐤𝐭( ) A(𝐦𝟐 ) v(m/s) 𝐍𝐅𝐑 ES(m)
𝐬

1 0,0996 0,0996 0,00747 0,263 0,266 0,1031

2 0,0985 0,0575 0,0043 0,456 0,464 0,0681

3 0,0921 0,0421 0,0032 0,623 0,655 0,0618


0,0075 0,001967 0,04125
4 0,0915 0,0605 0,0045 0,434 0,457 0,0701

5 0,0894 0,0894 0,0067 0,293 0,313 0,0938

6 0,0302 0,0302 0,0023 0,868 1,596 0,0686


Titik y(m) y’(m) A(𝐦𝟐 ) v(m/s) 𝐍𝐅𝐑 ES(m)

7 0,0454 0,0454 0,0034 0,578 0,866 0,0624

8 0,0434 0,0434 0,0032 0,604 0,926 0,0620


Tabel IV.2 Data Hasil Perhitungan Parameter Praktikum Aliran Di Atas
Ambang Lebar (1) Variasi Debit 2

𝐦𝟑 Yc(m)
Titik y(m) y’(m) V(𝐦𝟑 ) 𝐐𝐚𝐤𝐭( ) A(𝐦𝟐 ) v(m/s) 𝐍𝐅𝐑 ES(m)
𝐬

1 0,0742 0,0742 0,0056 0,0925 0,1084 0,0746

2 0,0742 0,0332 0,0025 0,2066 0,2422 0,0354

3 0,0664 0,0164 0,0012 0,4183 0,5183 0,0253

4 0,0611 0,0301 0,0023 0,2279 0,2944 0,0327


0,0075 0,00051 0,01687
5 0,0589 0,0589 0,0044 0,1165 0,1532 0,0596

6 0,0106 0,0106 0,0008 0,6472 2,0069 0,0319

7 0,0254 0,0254 0,0019 0,2701 0,5410 0,0291

8 0,031 0,031 0,0023 0,2213 0,4013 0,0335


Tabel IV.3 Data Hasil Perhitungan Parameter Praktikum Aliran Di Atas
Ambang Lebar (1) Variasi Debit 3

𝐦𝟑 Yc(m)
Titik y(m) y’(m) V(𝐦𝟑 ) 𝐐𝐚𝐤𝐭( ) A(𝐦𝟐 ) v(m/s) 𝐍𝐅𝐑 ES(m)
𝐬

1 0,0946 0,0946 0,0071 0,2129 0,2210 0,0969

2 0,0885 0,0475 0,0036 0,4241 0,4551 0,0567

3 0,03458
0,0869 0,0369 0,0075 0,00051 0,0028 0,5459 0,5912 0,0521

4 0,0846 0,0536 0,0040 0,3758 0,4125 0,0608

5 0,0187 0,0187 0,0014 1,0772 2,5150 0,0778


Titik y(m) y’(m) A(𝐦𝟐 ) v(m/s) 𝐍𝐅𝐑 ES(m)

6 0,0168 0,0168 0,0013 1,1990 2,9535 0,0901

7 0,0401 0,0401 0,0030 0,5023 0,8009 0,0530

8 0,0389 0,0389 0,0029 0,5178 0,8383 0,0526

Tabel IV.4 Data Hasil Perhitungan Parameter Praktikum Aliran Di Atas


Ambang Lebar
𝐦𝟑 𝐦𝟑 Cd
Variasi 𝐡𝐮(m) 𝐐𝐭𝐞𝐨 ( ) 𝐐𝐚𝐤𝐭( )
𝐬 𝐬
1 0,0496 0,001712537 0,001967821 1,149067567

2 0,0242 0,000566959 0,000514495 0,907465125

3 0,0446 0,001376784 0,00151077 1,097318544

V. Analisis A
V.1 Analisis Cara Kerja
Langkah pertama yang dilakukan adalah menyalakan hydraulic bench
dengan menekan tombol on. Kemudian, alat ukur dikalibrasi dengan membuat
pengukuran dari dasar saluran. Hal ini ditujukan agar acuan nol pada alat ukur
berada di dasar saluran dan pengukuran bernilai akurat. Selanjutnya,
dinyalakan pompa hydraulic bench untuk memulai percobaan. Lalu valve
diputar untuk mengatur debit. Debit air yang masuk pada model open channel
diatur agar tidak tumpah. Kemudian, temperature awal diukur untuk kemudian
dirata-ratakan dengan temperatur akhir percobaan untuk perhitungan densitas.
Setelah air stabil menggenangi open channel, ambang tajam dipasang pada
saluran. Kemudian, ketika posisi gelombang air sudah tidak berubah-ubah,
diletakkan tanda pada saluran untuk menandai titik pengukuran. Titik ini
terbagi menjadi 2 titik sebelum ambang, tiga titik di atas ambang, dua titik
setelah ambang, dan satu titik saat aliran kembali stabil di hilir. Delapan titik
ini diukur ketinggiannya menggunakan jangka sorong yang sudah dikalibrasi .
Kemudian, jarak antar delapan titik tersebut juga diukur dengan meteran.
Di sisi lain, tangka hydraulic bench dikosongkan terlebih dahulu dengan
menurunkan cam lever. Pengosongan tangki ini dilakukan karena tuas
berhubungan dengan bak penampungnya. Jika tidak dikosongkan, akan ada air
yang tertampung di bak tersebut, sehingga pengukuran waktu kurang akurat.
Setelah kosong, cam lever dinaikkan untuk mengisi tangka. Tepat ketika beam
bergerak naik, beban segera dipasang dan stopwatch dinyalakan. Lalu, ketika
beam kembali ke keadaan setimbang, stopwatch secera dimatikan. Pada keadaan ini,
berat air pada measuring tank telah mencapai 7,5 kg. Percobaan untuk variasi debit
aliran dilakukan sebanyak tiga kali untuk mendapatkan debit yang akurat. Sebelum
percobaan dilanjutkan, measuring tank yang awalnya berisi air harus dikosongkan
terlebih dahulu dengan menurunkan cam lever.
Dilakukan hal yang sama untuk mendapatkan waktu, ketinggian delapan titik,
serta jarak delapan titik dengan ujung hulu saluran untuk dua variasi lainnya. Variasi
debit diatur dengan memutar valve. Setelah itu, panjang, lebar, dan tinggi dari ambang
lebar diukur dan dicatat. Setelah data diperoleh, hydraulic bench dimatikan dan
temperatur akhir diukur.

V.2 Analisis Grafik


V.2.1 Kedalaman (y) terhadap Jarak Antar Titik (x)

0,12

0,1
Kedalaman (m)

0,08

0,06 Variasi 1
Variasi 2
0,04
Variasi 3
0,02

0
0 1 2 3 4 5
Jarak (m)

Gambar V.1 Grafik Profil Aliran


Pada grafik, terlihat bahwa terdapat kesamaan profil aliran pada variasi
debit ke-1 hingga ke-3, sehingga aliran dapat dikategorikan sebagai aliran
seragam. Dari ketiga variasi, variasi kesatu berada di urutan teratas yang m
enunjukkan bahwa debit terbesar berada di variasi kesatu, kemudian diikuti
variai ketiga dan variasi kedua. Dari delapan titik, titik pertama adalah titik
dengan ketinggian terbesar dan aliran bersifat subkritis karena belum
terpengaruh oleh ambang lebar. Pada titik ke-2 terjadi penurunan ketinggian
secara tidak signifikan. Setelah titik ke-3 hingga ke-4 terjadi penurunan
ketinggian yang signifikan karena adanya ambang tajam yang menyebabkan
aliran fluida terhambat dan luas penampang berkurang tiba-tiba. Penurunan
ketinggian terjadi pada titik ke-5 yang dibuktikan dengan meninjau persamaan
𝑑𝑦 𝑆0 −𝑆𝑓 𝑑𝑦
= 1−𝑁2 . Dari persamaan tersebut, berbanding terbalik dengan bilangan
𝑑𝑥 𝐹𝑅 𝑑𝑥

Froude. Maka, dapat disimpulkan semakin besar penurunan ketinggian,


bilangan Froude akan semakin besar sehingga aliran akan menuju superkritis.
Kemudian, setelah titik ke-7, ketinggian mulai meningkat yang menunjukkan
adanya loncatan hidrolis yang terjadi karena perubahan dari aliran superkiritis
menjadi aliran subkritis dan meningkatnya energi potensial sehingga bilangan
Froude menurun. Pada titik ke-8 aliran sudah stabil karena aliran air bersifat
subkritis dan juga terdapat peningkatan kedalaman karena berada di hilir
saluran.
3
V.2.2 Debit Actuals (Qakt ) terhadap b(h2u )

0,0025
0,002
Qakt (m^3/s)

0,0015
0,001
0,0005 y = 2,5462x - 0,0002
R² = 0,9904
0
0 0,0002 0,0004 0,0006 0,0008 0,001
b.hu(3/2)

3
Gambar V.2 Grafik Qakt terhadap b(h2u )
Pada Gambar V.2 didapatkan persamaan y = 2,5462x-0,0002 dan R2
sebesar 0,9904. R2 merupakan suatu nilai yang memperlihatkan seberapa besar
varianel independent (eksogen) memengaruhi variable dependen (endogen)
(Ghozali, 2016). Nilai R2 tersebut menunjukkan 99,04% debit aktual
3
2
dipengaruhi oleh b(hu ) dan 0,96% menunjukkan pengaruh variable di luar
persamaan regresi power atau disebut juga variabel ketidaktelitian. Dari nilai
R2 didapat nilai R atau koefisien korelasi. Koefisien korelasi menunjukkan
hubungan antara dua variabel saling berkaitan atau tidak. Pada percobaan ini
didapatkan besar koefisien korelasi (R) yaitu 0,9952 Oleh karena koefisien
korelasi yang didapatkan mendekati nilai 1 dan positif, maka korelasi antara
3
debit aktual terhadap b(h2u ) kuat dan berbanding lurus.
3
2
Pada persamaaan, x menunjukkan b(hu )dan y debit aktual. Maka,
persamaan dapat dinyatakan sebagai berikut.
2
Q akt = × b × √2gh3u × Cv × Cd
3
Persamaan di atas dapat ditulis dalam bentuk y=mx. Dengan nilai debit
aktual sebagai y dan nilai b × (hu )3 sebagai x, diperoleh hubungan sebagai
berikut.
y = 2,952 × x × Cdakt
Diperoleh persamaan pada grafik sebagai berikut.
y = 2,5462x − 0,0002
Sehingga,
2,5462
2,5462 = 2,952 × Cd, maka Cdakt = = 0,862533875
2,952

Berdasarkan literatur (Osman Akan, 2006), nilai koefisien discharge


diperoleh dari persamaan berikut, yaitu :
v2
hu + 2g
Cdteo = 0,93 + 0,1 ( )
Lb

Dengan v menunjukkan kecepatan aliran di titik ke-1 dan Lb


menunjukkan panjang ambang lebar. Koefisien discharge teoritis untuk variasi
debit pertama yaitu :
(0,263 m/𝑠)2
0,0496 m +
2 × 9,81 m/s 2
Cdlit1 = 0,93 + 0,1 ( ) = 0,97761377
0,116 m

Akibat adanya perbedaan antara nilai pangkat teoritis dan aktual, maka
terdapat galat yang dihitung dengan persamaan sebagai berikut.
Cd Teoritis − Cd aktual 0,977 − 0,862
Galat = | | × 100% = | | × 100% = 11,7715%
Nilai Teoritis 0,977
Untuk variasi selanjutnya, akan diperoleh menggunakan persamaan yang sama.
Hasilnya tertera pada tabel di bawah ini.
Tabel V.1 Hasil Cd Aktual, Cd Teoritis, dan Galat
Variasi Cd Aktual Cd Teoritis Galat (%) Keterangan
Galat di atas 10%,
1 0,97761377 11,77 sehingga kurang
akurat
Galat di bawah
2 0,862533875 0,952074951 9,405 10%, sehingga
akurat
Galat di atas 10%,
3 0,972034914 11,265 sehingga kurang
akurat
V.2.3 Grafik Ketinggian y’ Terhadap Bilangan Froude

0,12
y = 0,0388x-0,646
0,1 R² = 0,9422 Variasi 1
0,08 y = 0,0149x-0,671 Variasi 2
y'(m)

0,06 R² = 0,949
Variasi 3

0,04 y= 0,0323x-0,616 Linear (Variasi 1)


R² = 0,945
Power (Variasi 1)
0,02
Power (Variasi 2)
0
Power (Variasi 3)
0,00 1,00 2,00 3,00 4,00
Fr

Gambar V.3 Grafik Ketinggian y’ terhadap Bilangan Froude


Nilai R2 merupakan koefisien determinasi yang menunjukkan besarnya
pengaruh variabel bebas (sumbu-x) terhadap variabel terikat (sumbu-y) (Hair,
Jr., Joseph F., et. Al. (2011)). Baik untuk variasi pertama, kedua, maupun ketiga,
nilai R2 secara berurut adalah 0,9422; 0,949; dan 0,945. Dapat disimpulkan
bahwa ketiga nilai mendekati 1, maka ketinggian y’ berkorelasi lurus atau
berbanding lurus dengan hubungan yang sangat kuat.
Dari grafik tersebut, persamaan yang dihasilkan dari grafik menggunakan
regresi power pada variasi 1 ialah y = 0,0388x −0,646 , variasi kedua y =
0,0149x −0,671, dan variasi ketiga ialah y = 0,0323x −0,616 . Dengan demikian,
dapat ditentukan hubungan antara ketinggian dengan nilai dari bilangan Froude
berdasarkan persamaan di bawah ini.
v Q
NFR = =
√𝑔𝑦 by√𝑔𝑦
2
3 Q3
y2 = 2 2 1
3
NFR × b 3 × 𝑔3
Maka, didapatkan hubungan sebagai berikut.
2
−( )
y≈ NFR3
Nilai pangkat pada persamaan di atas merupakan nilai pangkat teoritis dan nilai
pangkat pada persamaan regresi power merupakan nilai pangkat aktual. Terdapat
perbedaan antara nilai pangkat teoritis dan aktual sehingga akan dicarai nilai
galat menggunakan persamaan berikut.
Nilai Teoritis − Nilai Aktual
Galat = | | × 100%
Nilai Teoritis
Untuk variasi debit pertama, yaitu :
2
(− 3) − (−0,646)
Galat = | | × 100% = 4,55%
−2/3

Dengan langkah yang sama, galat pada variasi debit kedua dan ketiga dapat
dihilat pada Tabel V.2
Tabel V.2 Hasil Perhitungan Galat
Variasi Galat (%) Keterangan
Galat di bawah 10%, perhitungan
1 3,1
dinilai akurat
Galat di bawah 10%, perhitungan
2 0,65
dinilai akurat
3 7,6 Galat di bawah 10%, perhitungan
dinilai akurat
V.2.4 Grafik Ketinggian y’ Terhadap Energi Spesifik (ES)

Gambar V.4 Grafik Ketinggian y’ Terhadap Energi Spesifik (ES)


Untuk menentukan kedalaman kritis (yc) aktual dapat ditentukan berdasarkan
nilai ordinat (sumbu-y) pada perpotongan antara garis yang menghubungkan
titik-titik pada grafik dengan garis 𝑦 = 2/3 𝐸𝑆. Berdasarkan Gambar V.4,
didapat nilai kedalaman kritis aktual variasi debit pertama sebesar 0.063,
variasi debit kedua sebesar 0.025, dan variasi debit ketiga sebesar 0.053.
Sedangkan, nilai kedalaman kritis secara teoritis ketiga variasi debit dapat
dilihat pada Tabel IV.1 sampai Tabel IV.3. Oleh karena terdapat perbedaan
antara nilai aktual dan nilai teoritis, maka terdapat galat yang dapat dihitung
dengan persamaan berikut.
Nilai Teoritis − Nilai Aktual
Galat = | | × 100%
Nilai Teoritis
Dengan mensubstitusi nilai kedalaman pada persamaan di atas, didapatkan
hasil perhitungan sebagai berikut.
Tabel V.3 Hasil Perhitungan Galat
Variasi Galat (%) Keterangan
Galat di atas 10%, perhitungan
1 52,74
dinilai kurang akurat
Galat di atas 10%, perhitungan
2 273,55
dinilai kurang akurat
Galat di atas 10%, perhitungan
3 82,17
dinilai kurang akurat
Dari grafik tersebut juga dapat ditentukan kondisi kekritisan aliran. Energi
spesifik terdiri dari tinggi muka air dan tinggi kecepatan. Jadi semakin besar
ketinggian aliran, tinggi kecepatan semakin mengecil. Terdapat dua ketinggian,
jika kedua ketinggian tersebut bernilai sama, maka disebut sebagai ketinggian
kritis. Aliran dengan ketinggian lebih besar dari ketinggian kritis disebut
subkritis, dan sebaliknya disebut superkritis. Untuk variasi pertama dan ketiga,
titik 1, 2, 7, dan 8 merupakan aliran subkritis ditandai dengan posisi titik di atas
𝑦 = 2/3 𝐸𝑆. Sedangkan, titik 3, 4, 5, dan 6 merupakan aliran superkritis yang
berada di bawah garis 𝑦 = 2/3 𝐸𝑆. Untuk variasi kedua, titik 1, 7, dan 8
merupakan aliran subkritis ditandai dengan posisi titik di atas 𝑦 = 2/3 𝐸𝑆.
Sedangkan, titik 2, 3, 4, 5, dan 6 merupakan aliran superkritis yang berada di
bawah garis 𝑦 = 2/3 𝐸𝑆. Aliran subkritis dipengaruhi oleh belum ada pengaruh
dari ambang dan energi potensial maksimum. Sedangkan, aliran superkritis
terjadi akibat kenaikan energi kinetik dan penurunan energi potensial.
V.3 Penurunan Rumus Debit Teoritis
Berdasarkan hukum kekekalan energi, energi di titik 1 akan sama dengan
energi di titik 2 sebagai berikut.
EM1 = EM2
EP1 + EK1 = EP2 + EK 2
1
(m × g × hu ) + 0 = 0 + ( × m × v2 )
2
v = √2 × g × hu
Kemudian, nilai debit ditentukan dengan persamaan kontinuitas, Q = A × v,
yang mana A = b × hu dan v = √2 × g × hu . Dengan demikian,

Q = b × hu × √2 × g × hu
∫ dQ = ∫ b × √2 × g × hu dh
𝐻 1
Q = b × √2g ∫ h2u
0

2 32
Q= bh √2g
3 u
2
Q = × b × √2gh3u
3
Jika memperhatikan velocity correction factor (Cv) dan koefisien discharge
(Cd), persamaan Qteo diubah menjadi sebagai berikut.
2
Q teo = × b × √2gh3u × Cd × Cv
3
V.4 Analisis Kesalahan
Galat disebabkan oleh kesalahan dalam percobaan. Di bawah ini
merupakan beberapa dalam percobaan yang praktikan laksanakan.
Galat disebabkan oleh kesalahan dalam percobaan. Di bawah ini merupakan
beberapa dalam percobaan yang praktikan laksanakan.
1. Ketidaktepatan pembacaan nilai ketinggian pada alat pengukur
ketinggian yang berupa jangka sorong. Hal ini disebabkan oleh
kurangnya ketelitian praktikan dalam membaca ketinggian pada
masing-masing titik dikarenakan alat tersebut memiliki skala yang kecil
dan angka yang kurang terlihat. Hal ini dapat memengaruhi perhitungan
baik luas permukaan, keliling basah, jari-jari hidrolis, dan slope saluran
mengingat dalam mencari besaran tersebut dibutuhkan ketinggian air
pada enam titik.
2. Ketidaktepatan dalam peletakkan jarum jangka sorong. Idealnya, ketika
melakukan perhitungan ketinggian muka air, jarum jangka sorong
berada di atas permukaan air. Namun, sangat mungkin terjadi praktikan
meletakkan jarum tersebut tidak tepat di atas pemrukaan air. Dengan
demikian, dalam pembacaan kedalaman pun dapat berbeda sehingga
data kurang akurat.
3. Ketidaktepatan pembacaan waktu oleh praktikan. Seharusnya waktu
dihitung ketika beban diletakkan hingga beban terangkat. Namun, ada
kemungkinan praktikan lalai dan menghitung waktu tidak tepat beban
terangkat sehingga mengakibatkan besar debit yang terhitung.
4. Ketidaktepatan pembacaan nilai jarak pada meteran. Hal ini disebabkan
kurang stabilnya praktikan dalam memegang meteran sehingga
perhitungan slope tidak akurat yang berdampak pada koefisien Chezy
dan koefisien Manning.
VI. Analisis B
1. Aliran Limpasan Bendungan

Gambar V.1 Ilustrasi Bendungan


(Sumber : www.kompas.com)

Bendung adalah suatu bangunan air dengan kelengkapan yang dibangun


melintang sungai yang sengaja dibuat untuk meninggikan taraf muka air
atau mendapatkan tinggi terjun. Pada bendungan, ambang tajam berfungsi
untuk meredam energi dibawah pelimpah, waduk, dan pintu air sehingga
penggerusan di daerah hilir bisa tercegah. Ambang tajam juga dapat
digunakan untuk menaikkan muka air di hilir untuk menyediakan tinggi
tekan untuk menambahkan berat air pada lantai lindung (apron) untuk
menetralkan tekan angkat (uplift pressure) dan mengurangi ketebalan
lantai lindung.
2. Aerasi
Aerasi merupakan proses pengolahan air limbah dengan menambahkan
oksigen atau udara di dalam air, dengan cara membawa udara dan air
tersebut ke dalam kontak yang dekat. Proses aerasi harus didukung dengan
alat yang memadai dan berkualitas. Dengan adanya penggunaan ambang
pada proses aerasi membantu proses cara kerja alat dalam mengatur debit
aliran air limbah.
Gambar V.2 Ilustrasi Aerasi
(Sumber : www.adb.com)

VII. Kesimpulan
1. Debit aliran pada saluran yang menggunakan ambang lebar tertera pada
Tabel IV.1 hingga Tabel IV.3.
2. Nilai koefisien discharge (Cd), energi spesifik (ES), ketinggian kritis (yc),
dan bilangan Froude (NFR) tertera pada Tabel IV.1 hingga Tabel IV.3.
3. Semakin besar debit air, semakin besar ketinggian di atas ambang lebar. Hal
tersebut dapat dilihat dari persamaan berikut:
2
Q teo = × √2𝑔ℎ𝑢3 × b
3
4. Karakteristik aliran yang melalui ambang lebar dapat dilihat pada Bagian
V.2.
5. Pengaplikasian ambang lebar di bidang TL ialah limpasan bendungan dan
aerasi

VIII. Daftar Pustaka


Arifin. 2019. PLTA - Cara Kerja Pembangkit Listrik Tenaga Air di Indonesia.
https://www.webstudi.site/2019/09/PLTA.html.
Finnemore, E. J. and J. B. Franzini. (2002). Fluid Mechanics with
Engineering Applications. Mc. Graw Hill, New York. Diakses pada 31
Januari 2023.
Hair, Jr., Joseph F., et. al. (2011). Multivariate Data Analysis Fifth Edition.
Diakses pada 31 Januari 2023.
Iqbal, Donny. 2016. Selain Curah Hujan, Ini Penyebab Debit Air DAS
Citarum Meninggi. https://www.mongabay.co.id/
Tim Praktikum Mekanika Fluida TL2201. (2023). Modul Praktikum
Mekanika Fluida II. Bandung: Program Studi Teknik Lingkungan ITB.
UPJ. 2011. Modul V Aliran Melalui Ambang Tajam dan Ambang Lebar. UPJ:
Indonesia
IX. Lampiran
Platform : Microsoft excel untuk data pengolahan dan internet untuk sumber
data lain

Lampiran IX.1 Pengolahan Data (1)

Lampiran IX.2 Pengolahan Data (2)


Lampiran IX.3 Pengolahan Data (3)

Anda mungkin juga menyukai