Anda di halaman 1dari 10

AKUNTABILITAS DAN ETIKA

Apakah yang dimaksud dengan accountability (akuntabilitas)? Accountability adalah


konsep yang memiliki beberapa makna. Terminologi ini sering digunakan dengan beberapa
konsep seperti answerability, responsibility, liability dan terminology lain yang berkaitan
dengan "the expectation of account-giving" (harapan pemberi mandat dengan pelaksana
mandat). Dengan demikian, accountability mencakup harapan atau asumsi perilaku hubungan
antara pemberi dan penerima mandat.
Dalam konteks politik, accountability adalah merupakan faktor yang vital untuk
mewujudkan good governance. Akuntabilitas memiliki konsep yang lebih luas dari sekadar
transparansi (transparency) karena akuntabilitas memungkinkan adanya 'negative feedback'
setelah keputusan atau tindakan diambil, sedangkan transparansi juga memungkinkan 'negative
feedback" tapi sebelum dan selama keputusan atau tindakan diambil. Dengan demikian,
akuntabilitas memiliki fungsi yang amat penting untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan
fasilitas, sarana, dan anggaran publik oleh suatu institusi.
Institusi publik merupakan organisasi yang beroperasi pada lingkungan dinamis,
sehingga memiliki keterkaitan dengan berbagai pihak lain seperti kelompok kepentingan,
kelompok profesi, kelompok bisnis, partai politik, dan masyarakat secara umum. Oleh karena
itu, pelaksanaan tugas institusi publik tidak akan mungkin terlepas dari pengaruh dari berbagai
pihak itu, dan sebagai akibatnya institusi publik harus memperhitungkan secara cermat segala
aspek kinerjanya yang bersinggungan dengan kelompok yang ada di sekelilingnya.
Lain daripada itu, karena bagaimanapun adanya mandat institusi publik berasal dari
proses politik, dan bertugas untuk memenuhi preferensi politik masyarakat, maka institusi
publik dalam menyelenggarakan pemerintahan akan senantiasa berkaitan dengan persoalan
politik. Segala hal yang meliputi cara pilihan kebijakan ditetapkan, cara kebijakan dilaksanakan
dan didelegasikan, bagaimana kewenangan diberikan, dan bagaimana program dilaksanakan
adalah sepenuhnya berdasarkan pada kontekstualitas politik. Dalam kaitan ini, Fredrickson
(1989: 12) berpendapat bahwa:
"effectiveness as a public administrator is predicated on both an understanding of
politics and of the political process and an ability to manage public programmes in a political
context" (efektivitas kerja seorang administrator publik senantiasa didasarkan pada dua hal: (1)
pemahaman akan politik dan proses politik, serta (2) kemampuan mengelola program publik
dalam sebuah konteks politik).
Sejalan dengan hal tersebut, maka berbagai macam bentuk pertanggungjawaban politik
(political accountability) atau pertanggungjawaban publik (public accountability) dari institusi
publik menjadi sangat diperlukan, karena tindakan pemerintah pada hakikatnya adalah
tindakan yang harus mencerminkan kehendak dan keinginan rakyat setidaknya yang tercermin
melalui suara dalam lembaga perwakilan. Untuk mewujudkan hal ini, sebagaimana dikatakan
oleh Donahue (1989: 222), usaha pencapaian tujuan publik harus disertai oleh adanya struktur
disain yang prima dalam mekanisme akuntabilitas, sehingga dapat memberikan jaminan
kepada warga negara bahwa tindakan yang terbaik akan selalu dipersembahkan oleh para
penyelenggara negara.
Asas akuntabilitas publik pada prinsipnya menggariskan bahwa siapa pun adanya,
apakah dia perseorangan maupun lembaga, yang diberikan wewenang oleh publik, memakai
dan menggunakan fasilitas dan dana yang berasal dari publik, serta melakukan tugas yang
berpengaruh kepada kehidupan publik, maka dia harus bisa memberikan pertanggungjawaban
kepada publik terhadap segala sesuatu yang mereka gunakan (Moncrieffe, 2001, p. 27). Tanpa
adanya pertanggungjawaban, maka kekuasaan institusi publik akan sangat mungkin untuk
menjadi omnipotent (berkuasa sangat mutlak), omnipresent (menguasai segala hal), dan
ominous (sangat jahat/menyebalkan) bagi masyarakat. Akuntabilitas diperlukan untuk
memastikan bahwa hubungan antara pemberi hak dan wewenang (rakyat) dengan yang diberi
hak dan wewenang berlangsung secara adil. Apabila misalnya rakyat tidak memenuhi
kewajiban membayar pajak atau tidak taat perundangan mereka akan dihukum, maka apabila
institusi publik tidak atau lalai menjalankan kewajiban sesuai dengan keinginan rakyat maka
mereka juga harus diberikan sanksi.
Pada model manajemen publik klasik, akuntabilitas dilaksanakan utamanya hanya
melalui proses hubungan dengan partai politik (di parlemen) dan kemudian partai politik
bertanggung jawab kepada rakyat melalui pemilu. Model akuntabilitas semacam ini telah
dipandang tidak lagi rasional karena setidaknya dua hal: pertama, hubungan antara institusi
publik dengan partai yang berkuasa sering kali bersifat sangat formalistik, sehingga standar
penilaian parlemen terhadap institusi publik hanyalah berpatokan pada laporan-laporan
dokumentatif dan tidak menyentuh pada esensi masalah yang ada pada kehidupan riil
masyarakat. Proses akuntabilitas semacam ini terlalu menekankan pada ada tidaknya kesalahan
administratif (detection of fraud) saja, bukan pada bagaimana pencapaian hasil dilaksanakan
(accountability for achievements) yang akhirnya menyebabkan institusi publik selalu bekerja
dengan budaya dan perilaku risk averse (menghindari risiko), daripada membangun budaya
dan perilaku kerja yang risk-taking (menghadapi risiko). Lagi pula, proses akuntabilitas
semacam itu juga scope-nya sangat terbatas (tidak mencakup masalah yang sifatnya detail)
karena legislatif bersidang hanya dalam waktuwaktu tertentu dan pemilu diselenggarakan
dalam periode tahunan. Akuntabilitas yang diberikan sangat bersifat umum (general), sehingga
titik tanggung jawab pada masing masing aparat dan pejabat menjadi tidak begitu jelas, dan
hal ini menyebabkan birokrat selalu dapat menghindar dari tanggung jawab personal dalam
mencapai tujuan organisasi secara keseluruhan. Kedua, walaupun institusi publik harus
dilaksanakan melalui mekanisme pemilu, institusi publik juga harus bertanggung jawab
langsung kepada masyarakat terhadap kinerja yang mereka lakukan. Tuntutan akan perhatian
terhadap pelanggan (client focus), kebutuhan publik akan pelayanan yang cepat, dan
transparan, mengharuskan institusi publik perlu membuat mekanisme akuntabilitas langsung
kepada rakyat agar tugasnya dapat dijalankan secara efisien.
Oleh karena itu, pada saat sekarang perlu dikembangkan pola akuntabilitas yang
memiliki dua dimensi (Moncrieffe, 2001, p. 27), yakni: (1) ex-post facto accountability
(akuntabilitas normatif), dan (2) ex-ante accountability (akuntabilitas positif).
Ex-post facto (akuntabilitas normatif) pada prinsipnya mengharuskan pejabat dan
lembaga publik untuk bertanggung jawab atas kewenangan yang ada pada mereka (answering
for the use of authority) melalui norma hukum, monitoring system, mekanisme anggaran, dan
juga pemilu. Proses akuntabilitas memerlukan mekanisme penilaian (appraisal mechanism)
melalui lembaga publik lain yang independen (seperti institusi auditor dan kejaksaan) yang
diberikan hak untuk memeriksa setiap lembaga publik terhadap rasionalitas kinerja yang
dilakukan oleh institusi publik. Dalam kaitan ini, O'Donnell (1999) mengatakan bahwa:
"there should be 'state agencies that are legally enabled and empowered, and factually
willing and capable to undertake actions that span from routine overseeing to criminal sanctions
or impeachment, in relation to actions or omissions by other agents or agencies of the state that
may, in principle or presumably, be qualified as unlawful'. (harus ada badan negara yang secara
legal dapat dan diberikan kewenangan, sungguh-sungguh mau dan mampu untuk melakukan
tindakan yang menjangkau pengawasan rutin sampai dengan sanksi kriminal atau pemecatan,
dalam kaitan kepada tindakan pelanggaran yang dilakukan olah lembaga lain yang terbukti atau
dapat diasumsikan terkategorisasikan melawan hukum).

Dalam kaitan ini, model akuntabilitas bersifat bottom up, di mana unit yang ada di
struktur bawah bertanggung jawab kepada unit yang berada di atasnya, baik dalam konteks
kelembagaan internal dari institusi publik (agent) maupun politik (principal). Model
akuntabilitas ini merupakan kebalikan dari sistem monitoring dan kontrol di mana unit atasan
bertanggung jawab untuk mengawasi unit yang ada di bawahnya. Box 11. 1 adalah merupakan
model akuntabilitas secara ex-post facto:
Sedangkan prinsip ex-ante (positive) accountability pada intinya mengharuskan pejabat
publik untuk selalu merepresentasikan keinginan rakyat dalam setiap pelaksanaan kebijakan
yang mereka ambil. Mereka harus selalu mengonsultasikan secara terus menerus setiap
tindakan pada publik, memberikan alternatif pilihan/solusi (preference), memberikan
penjelasan dan informasi yang lengkap, dan juga menyediakan mekanisme bagi publik untuk
memberikan saran atau mengecek kualitas kebijakan para pejabat serta merevisinya bila
dipandang perlu.
Dalam perspektif ini, akuntabilitas tidak hanya diukur dari aspek legalitas formal
menurut dokumentasi laporan dan pemenuhan prosedur administrasi, melainkan yang lebih
penting adalah apakah setiap kebijakan dan tindakan institusi publik secara etik, moral, dan
material telah memenuhi kehendak rakyat yang membayar mereka melalui pajak dan
memberikan kewenangan pada mereka untuk mengelola negara. Box 12.2 memberikan
gambaran model akuntabilitas secara ex-ante.
Untuk mewujudkan dua prinsip akuntabilitas ini, beberapa negara telah menerapkan
akuntabilitas publik yang lebih progresif dengan mengikutsertakan rakyat (clients) dalam
menentukan penilaian pegawai, menguji calon pejabat, melakukan promosi, dan mengevaluasi
anggaran pada unit-unit institusi publik. Di banyak negara maju misalnya, penilaian, promosi,
dan kontrak terhadap seorang pegawai publik selalu didasarkan pada pendapat dan penilaian
masyarakat selaku client. Bila pengguna jasa berpendapat bahwa seorang pegawai telah bekerja
dengan baik, memiliki reputasi dan kemampuan manajerial, dan memiliki kapasitas yang cukup
sebagai seorang pegawai, maka sang pegawai biasanya akan mendapatkan kesempatan yang
lebih besar untuk dipertahankan sebagai pegawai, dipromosikan, dan diberikan tunjangan yang
lebih tinggi.
Proses akuntabilitas dapat dilaksanakan dengan berbagai macam cara, tergantung pada
pokok tujuan yang hendak dicapai. Berikut adalah beberapa konsepsi tentang media (cara) yang
dapat ditempuh dalam mewujudkan akuntabilitas institusi publik (lihat Box 11.3).

Untuk memenuhi prinsip akuntabilitas, seorang aparatur harus memenuhi standar


profesionalisme, dalam arti seorang aparat tidak bisa dikatakan bertanggung jawab apabila dia
tidak profesional dalam menjalankan tugas. Persoalan yang muncul adalah, tolok ukur apa yang
bisa dipakai untuk menilai profesionalitas aparatur institusi publik? Karena tanpa adanya tolok
ukur, maka akan sulit bagi kita untuk meminta aparatur bekerja dengan benar sesuai harapan.
Seperti yang dikatakan Langford (1991: 22):
"...we cannot expect to build strong ethical cultures in our public sector organizations
if there is no clarity or consensus about what behaviour we are trying to reinforce and what
behavior we are trying to restrain. When we aren't agreed on what the right thing is, it's awfully
hard to get us to do it" (kita tidak bisa berharap untuk membangun kultur etik dalam organisasi
publik kita apabila tidak ada kejelasan atau konsensus tentang perilaku apa yang kita coba
untuk ditegakkan. Ketika kita tidak setuju tentang apa yang benar, adalah sangat sulit bagi kita
untuk dapat mewujudkannya”
Apa yang ditetapkan pemerintah New Zealand dalam mendefinisikan profesionalitas
pada tahun 1994 (Boston, et al, 1996: 321) dapat kita jadikan contoh untuk menyusun standar
profesionalitas PNS. Beberapa kriteria pegawai/pejabat publik yang profesional tersebut
adalah:
1. taat dan memegang teguh hukum,
2. melaksanakan kewajiban kepada pemerintah yang sedang berkuasa dengan tanpa
meninggalkan imparsialitas politik,
3. menguasai ilmu pengetahuan dan kemampuan yang sesuai dengan bidang tugasnya,
4. memberikan pelayanan, dan mencapai tujuan institusi dengan efisien, dan memenuhi
prosedur responsibilitas keuangan,
5. memperlihatkan pribadi yang bertanggung jawab, berintegritas, dan komit terhadap
kepentingan publik,
6. menguasai bidang tugas, selalu siap dimintai saran terhadap masalah yang berkaitan
dengan tugasnya, dan mampu membuat keputusan yang analitis, integratif, dan
berwawasan ke depan,
7. menghormati manusia lain baik di dalam maupun di luar institusinya,
8. menawarkan nasihat kebijakan dengan gigih, ulet, dan bebas dari pamrih yang
subjektif,
9. meningkatkan pencapaian nilai-nilai dan tujuan utama institusi, serta selalu
mengevaluasi apakah organisasinya telah berjalan pada nilai dan tugas yang
diamanatkan.

Sebaliknya, aparat yang tidak profesional memiliki ciri:


• bekerja sembrono, ngawur, dan semaunya sendiri,
• mengizinkan tindakan dinas dipengaruhi oleh hubungan dan kepentingan individu, atau
menuruti kemauan suatu kelompok secara subjektif,
• mempromosikan kepentingan politik ataupun agenda personal.

Tentu saja, bagi aparatur yang bekerja secara tidak profeisonal dianggap tidak
memenuhi asas akuntabilitas, dan karenanya mereka harus dikenakan sanksi yang bertingkat
sesuai dengan kesalahan yang mereka lakukan.

Posisi Akuntabilitas dalam Manajemen


Selain berkaitan dengan lingkungan eksternal, akuntabilitas juga memiliki kedudukan
yang penting secara internal dalam proses manajemen. Akuntabilitas berfungsi sebagai umpan
balik (feedback) untuk menjamin terlaksananya visi dan tujuan strategis organisasi (lihat Box
12.4).
Secara internal dalam konteks manajemen, pada prinsipnya akuntabilitas dapat
berperan dalam membantu pencapaian visi organisasi. Tegasnya, tujuan dan visi organisasi
hanya dapat dicapai apabila setiap bagian dari suatu organisasi memegang prinsip akuntabilitas
dalam menjalankan tugas. Setiap unit harus dapat melaksanakan tugas dan kewajiban sesuai
dengan job description dan jadwal waktu yang sudah ditentukan dalam kerangka strategis, dan
kemudian harus bertanggung jawab terhadap tercapainya misi (mission accomplishment) dari
organisasinya. Dalam kaitan ini, seorang pemimpin organisasi harus dapat menerjemahkan dan
mendistribusikan beban akuntabilitas yang ada pada dirinya pada unit-unit yang ada di
bawahnya, dan kemudian unit mendistribusikan lagi kepada sub-sub unit.
Secara eksternal, akuntabilitas baru dapat diterima apabila suatu organisasi dapat
menunjukkan tercapainya visi dan misi yang telah ditetapkan dengan persetujuan rakyat (yang
diwakili parlemen), mengingat institusi publik bekerja berdasarkan kontrak sosial (berupa visi
misi) antara dirinya sebagai pengguna anggaran dan pemangku otoritas dengan rakyat yang
memberikan anggaran dan otoritas. Dengan demikian tolak ukur akuntabilitas adalah sejauh
mana institusi publik mampu melaksanakan tugas yang diukur dari baik tidaknya mereka
mengelola manajemen internal.

Akuntabilitas dan etika


Dalam institusi publik, akuntabilitas memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan
etika. Etika adalah istilah yang digunakan untuk merujuk dengan apa yang sering digambarkan
sebagai 'the science of morality'. Dalam pandangan filosofis, perilaku yang etis adalah perilaku
yang 'baik', menyenangkan bagi orang lain, sehingga dalam konteks tertentu etika sering
disebut sebagai moral filosofis.
Peran dari etika dalam kehidupan sosial adalah menciptakan dan memastikan terjadinya
hubungan sosial yang harmonis (harmony of social relation) dalam suatu masyarakat. Etika
menciptakan kenyamanan dalam pertalian sosial, baik antarindividu, antara individu dengan
kelompok, maupun antara kelompok satu dengan kelompok lainnya. Hilangnya etika dalam
pergaulan sosial akan menyebabkan situasi yang anarkis, chaotic (rusuh), dan disorder (tidak
teratur), sehingga kehidupan menjadi tidak nyaman. Keharmonisan itu biasanya disebabkan
adanya rasa saling percaya, sehingga etika pada dasarnya dapat berjalan hanya apabila setiap
orang dapat dipercaya dan saling memercayai.
Di dalam sektor publik, etika berperan menjaga keharmonisan antara rakyat dengan
institusi publik. Etika bekerja manakala institusi publik menjalankan tugas sesuai dengan
mandat yang diberikan, tidak dimanipulasi, tidak disalahgunakan, dan tidak ditelantarkan.
Pelaksanaan prinsip-prinsip etika oleh institusi publik dapat menimbulkan efek yang sangat
baik, yakni munculnya kepercayaan publik (public trust) yang menjadi modal dasar suatu
institusi dalam bekerja. Apabila public trust telah muncul, maka kinerja organisasi publik akan
didukung, dihormati, dan ditaati oleh warga negara. Sebaliknya apabila institusi publik tidak
bekerja berdasarkan prinsip etika, maka yang muncul adalah ketidakpercayaan publik (public
distrust) yang menyebabkan organisasi akan dicemooh, dicurigai, dan tidak dihormati oleh
masyarakat. Menurut McCarthy (1999), ketiadaan etika dapat menyebabkan: 1) weakened
support for government (lemahnya dukungan terhadap pemerintah), 2) distrusted public
officials (ketidakpercayaan terhadap pejabat publik), dan 3) reduced civic engagement
(menghilangkan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan). Dalam kaitan
ini, Institute of Public Administration of Australia dalam "Charter of Public Sector Ethic"
(IPAA, 1994: 15) menyatakan bahwa:
"ethical practice in the public sector will maintain and enhance public trust and
confidence in the system of democratic government, and in the management of public
institution" (pelaksanaan etika dalam sektor publik akan menjaga dan meningkatkan
kepercayaan dan rasa percaya diri masyarakat terhadap sistem pemerintahan demokrasi, dan
juga terhadap manajemen institusi publik).
Apabila akhir-akhir ini kepercayaan dan ketaatan masyarakat terhadap pemerintah
terasa begitu menurun di negara kita, maka barangkali salah satu faktor penyebabnya adalah
karena tidak dilaksanakannya etika dalam pengelolaan manajemen publik. Pejabat dan
kebijakannya banyak yang telah merendahkan nilai-nilai moral dan menyia-nyiakan
kepercayaan yang diberikan rakyat kepada mereka.

Prinsip etika institusi publik


Apa prinsip-prinsip etika dalam sektor publik? Secara umum, sama seperti di sektor
lain, etika berhubungan dengan sikap dan perilaku, seperti: kejujuran (honesty), keterbukaan
(disclosure), keadilan (justice), dan kesetaraan (equity). IPAA (1994) mendefinisikan bahwa
etika dalam sektor publik memiliki 6 prinsip, yakni: 1) impartiality (kenetralan), 2) integrity
(integritas), 3) openness (keterbukaan), 4) service focus (berorientasi untuk melayani), 5)
accountability (akuntabilitas), dan 6) responsiveness (tanggap).
Impartiality (kenetralan) adalah prinsip yang menempatkan institusi publik sebagai
institusi yang menjadi milik dan berdiri di atas semua golongan. Institusi publik harus bisa
memperlakukan semua orang dan kelompok masyarakat secara sederajat, sepanjang mereka
memenuhi ketentuan peraturan yang ditetapkan.
Integrity (integritas) adalah prinsip yang menekankan bahwa institusi publik dijalankan
dengan nilai-nilai kejujuran, kehormatan, dan kebanggaan sebagai alat negara. Institusi publik
tidak boleh melakukan hal-hal tercela, atau mempelopori terjadinya tindak yang tercela.
Integritas juga berarti bahwa institusi publik bersedia melakukan pengabdian dan pengorbanan
dengan menempatkan kepentingan masyarakat di atas kepentingan institusi maupun
perorangan dalam institusi.
Openess (keterbukaan) adalah prinsip yang mendorong institusi publik untuk
senantiasa dapat dilihat, dimonitor, dan diawasi secara apa adanya. Institusi publik, kecuali
yang diatur dalam undang-undang kerahasiaan negara, tidak boleh menghalangi akses bagi
masyarakat untuk melihat kinerja dan proses dalam institusi, tidak boleh melakukan manipulasi
dan rekayasa untuk menutup-nutupi sesuatu.
Service focus (berorientasi pelayanan) adalah prinsip yang memastikan institusi publik
bertugas sebagai institusi yang melayani, memberdayakan, memuliakan, dan mengayomi;
bukan menindas, mengeksploitasi, atau menghinakan masyarakat. Institusi publik berdiri dan
didirikan untuk rakyat, bukan untuk dirinya sendiri.
Accountability (akuntabilitas) adalah prinsip yang menekankan bahwa segala perilaku,
kebijakan, dan kegiatan institusi publik selalu dapat dipertanggungjawabkan dalam kerangka
kepentingan publik. Tidak boleh ada sedikit pun fasilitas, anggaran, dan kewenangan yang
dimiliki, digunakan bagi sesuatu yang bertujuan untuk kepentingan pribadi maupun kelompok.
Responsiveness (tanggap) adalah prinsip yang mengharuskan institusi publik
memandang bahwa keinginan, respons, masukan, kritik, dan evaluasi dari masyarakat sebagai
sesuatu yang dihargai, diperlakukan dengan hormat, dan dijadikan acuan dalam menyusun
langkah kerja selanjutnya.

Infrastruktur etika
Pelaksanaan etika dalam institusi publik adalah merupakan yang rumit dan tidak
mudah, bahkan di negara-negara maju sekalipun. Oleh karena itu, pemerintah perlu menyusun
adanya infrastruktur (kondisi) yang dapat mendukung diterapkannya etika dalam kinerja
institusi publik. Menurut OECD (1997: 5), prasyarat infrastruktur itu di antaranya adalah:
1. Political commitment (adanya komitmen politik);
2. An effective legal framework (adanya frame hukum);
3. Efficient accountability mechanisms (adanya mekanisme akuntabilitas yang efisien);
4. Workable codes of conduct (adanya kode etik yang implementatif);
5. Professional socialization mechanisms (adanya sosialisasi yang professional);
6. Supportive public service conditions (adanya kondisi sistem kerja yang mendukung
7. Determine an ethics coordinating body (membuat lembaga koordinasi etik);
8. Develop an affective civil society (membangun civil society yang efektif).
Political commitment (adanya komitmen politik) adalah komitmen yang dibuat oleh
pemerintah untuk menerapkan etika dalam manajemen publik. Dalam kaitan ini politisi (para
pejabat politik di eksekutif and legislatif harus menyatakan bahwa etika adalah penting. Tidak
hanya itu, mereka juga perlu memberikan contoh dengan tindakan dan membuat pilot project
untuk diketahui masyarakat. Kemudian langkah selanjutnya, mereka perlu memberikan
dukungan pelaksanaannya dengan sumber daya yang mencukupi.
Effective legal framework (adanya frame hukum) berkaitan dengan perlunya hukum
dan peraturan yang mengatur seperangkat perilaku standar bagi institusi publik,). Selain itu,
peraturan tersebut perlu dilaksanakan secara konsisten dengan memberlakukan penghargaan
bagi mereka yang mematuhinya dan memberikan sanksi bagi mereka yang melanggar.
Efficient accountability mechanism (adanya mekanisme akuntabilitas yang efisien),
adalah penerapan prinsip akuntabilitas secara efisien dalam konteks prosedur administratif,
sistem audit, evaluasi kinerja institusi (agency performance evaluations), konsultasi
(consultation) dalam masalah etika, dan mekanisme pengawasan (oversight mechanism).
Workable codes of conduct (adanya kode etik yang implementatif), adalah tersedianya
kode etik yang tidak terlalu sulit dipahami, melainkan dapat dipraktikkan sebagaimana contoh
standar profesionalitas PNS di New Zealand yang telah dikemukakan di muka. Kode etik ini
berisikan antara lain: (1) statement of values (pernyataan tata nilai); (2) roles (peranan); (3)
responsibilities (tanggung jawab); (4) obligation (kewajiban), dan (5) restrictions (larangan).
Professional socialization mechanisms (adanya sosialisasi yang profesional) adalah
berkaitan dengan proses penjelasan prinsip-prinsip etika melalui berbagai macam forum
pendidikan dan training pegawai.
Supportive public service conditions (adanya kondisi sistem kerja yang mendukung)
adalah berkaitan dengan tercukupinya peralatan dan fasilitas untuk menegakkan etika,
pembayaran yang fair dan tepat, serta keamanan bagi siapa saja yang berperan dalam
penegakan etika (misalnya perlindungan terhadap saksi pelapor pelanggaran).
Determine an ethics coordinating body (membuat lembaga koordinasi etik) adalah
berkaitan dengan adanya lembaga yang diberikan kewenangan untuk mengawasi, menerima
laporan, melakukan investigasi, dan menindak terhadap siapa saja yang melanggar etika.
Develop an affective civil society (membangun civil society yang efektif ) adalah
perlunya LSM, organisasi sosial, dan media untuk berperan sebagai pengawas aktivitas
lembaga publik secara aktif dan terus-menerus.

Anda mungkin juga menyukai