Akuntabilitas Dan Etika
Akuntabilitas Dan Etika
Dalam kaitan ini, model akuntabilitas bersifat bottom up, di mana unit yang ada di
struktur bawah bertanggung jawab kepada unit yang berada di atasnya, baik dalam konteks
kelembagaan internal dari institusi publik (agent) maupun politik (principal). Model
akuntabilitas ini merupakan kebalikan dari sistem monitoring dan kontrol di mana unit atasan
bertanggung jawab untuk mengawasi unit yang ada di bawahnya. Box 11. 1 adalah merupakan
model akuntabilitas secara ex-post facto:
Sedangkan prinsip ex-ante (positive) accountability pada intinya mengharuskan pejabat
publik untuk selalu merepresentasikan keinginan rakyat dalam setiap pelaksanaan kebijakan
yang mereka ambil. Mereka harus selalu mengonsultasikan secara terus menerus setiap
tindakan pada publik, memberikan alternatif pilihan/solusi (preference), memberikan
penjelasan dan informasi yang lengkap, dan juga menyediakan mekanisme bagi publik untuk
memberikan saran atau mengecek kualitas kebijakan para pejabat serta merevisinya bila
dipandang perlu.
Dalam perspektif ini, akuntabilitas tidak hanya diukur dari aspek legalitas formal
menurut dokumentasi laporan dan pemenuhan prosedur administrasi, melainkan yang lebih
penting adalah apakah setiap kebijakan dan tindakan institusi publik secara etik, moral, dan
material telah memenuhi kehendak rakyat yang membayar mereka melalui pajak dan
memberikan kewenangan pada mereka untuk mengelola negara. Box 12.2 memberikan
gambaran model akuntabilitas secara ex-ante.
Untuk mewujudkan dua prinsip akuntabilitas ini, beberapa negara telah menerapkan
akuntabilitas publik yang lebih progresif dengan mengikutsertakan rakyat (clients) dalam
menentukan penilaian pegawai, menguji calon pejabat, melakukan promosi, dan mengevaluasi
anggaran pada unit-unit institusi publik. Di banyak negara maju misalnya, penilaian, promosi,
dan kontrak terhadap seorang pegawai publik selalu didasarkan pada pendapat dan penilaian
masyarakat selaku client. Bila pengguna jasa berpendapat bahwa seorang pegawai telah bekerja
dengan baik, memiliki reputasi dan kemampuan manajerial, dan memiliki kapasitas yang cukup
sebagai seorang pegawai, maka sang pegawai biasanya akan mendapatkan kesempatan yang
lebih besar untuk dipertahankan sebagai pegawai, dipromosikan, dan diberikan tunjangan yang
lebih tinggi.
Proses akuntabilitas dapat dilaksanakan dengan berbagai macam cara, tergantung pada
pokok tujuan yang hendak dicapai. Berikut adalah beberapa konsepsi tentang media (cara) yang
dapat ditempuh dalam mewujudkan akuntabilitas institusi publik (lihat Box 11.3).
Tentu saja, bagi aparatur yang bekerja secara tidak profeisonal dianggap tidak
memenuhi asas akuntabilitas, dan karenanya mereka harus dikenakan sanksi yang bertingkat
sesuai dengan kesalahan yang mereka lakukan.
Infrastruktur etika
Pelaksanaan etika dalam institusi publik adalah merupakan yang rumit dan tidak
mudah, bahkan di negara-negara maju sekalipun. Oleh karena itu, pemerintah perlu menyusun
adanya infrastruktur (kondisi) yang dapat mendukung diterapkannya etika dalam kinerja
institusi publik. Menurut OECD (1997: 5), prasyarat infrastruktur itu di antaranya adalah:
1. Political commitment (adanya komitmen politik);
2. An effective legal framework (adanya frame hukum);
3. Efficient accountability mechanisms (adanya mekanisme akuntabilitas yang efisien);
4. Workable codes of conduct (adanya kode etik yang implementatif);
5. Professional socialization mechanisms (adanya sosialisasi yang professional);
6. Supportive public service conditions (adanya kondisi sistem kerja yang mendukung
7. Determine an ethics coordinating body (membuat lembaga koordinasi etik);
8. Develop an affective civil society (membangun civil society yang efektif).
Political commitment (adanya komitmen politik) adalah komitmen yang dibuat oleh
pemerintah untuk menerapkan etika dalam manajemen publik. Dalam kaitan ini politisi (para
pejabat politik di eksekutif and legislatif harus menyatakan bahwa etika adalah penting. Tidak
hanya itu, mereka juga perlu memberikan contoh dengan tindakan dan membuat pilot project
untuk diketahui masyarakat. Kemudian langkah selanjutnya, mereka perlu memberikan
dukungan pelaksanaannya dengan sumber daya yang mencukupi.
Effective legal framework (adanya frame hukum) berkaitan dengan perlunya hukum
dan peraturan yang mengatur seperangkat perilaku standar bagi institusi publik,). Selain itu,
peraturan tersebut perlu dilaksanakan secara konsisten dengan memberlakukan penghargaan
bagi mereka yang mematuhinya dan memberikan sanksi bagi mereka yang melanggar.
Efficient accountability mechanism (adanya mekanisme akuntabilitas yang efisien),
adalah penerapan prinsip akuntabilitas secara efisien dalam konteks prosedur administratif,
sistem audit, evaluasi kinerja institusi (agency performance evaluations), konsultasi
(consultation) dalam masalah etika, dan mekanisme pengawasan (oversight mechanism).
Workable codes of conduct (adanya kode etik yang implementatif), adalah tersedianya
kode etik yang tidak terlalu sulit dipahami, melainkan dapat dipraktikkan sebagaimana contoh
standar profesionalitas PNS di New Zealand yang telah dikemukakan di muka. Kode etik ini
berisikan antara lain: (1) statement of values (pernyataan tata nilai); (2) roles (peranan); (3)
responsibilities (tanggung jawab); (4) obligation (kewajiban), dan (5) restrictions (larangan).
Professional socialization mechanisms (adanya sosialisasi yang profesional) adalah
berkaitan dengan proses penjelasan prinsip-prinsip etika melalui berbagai macam forum
pendidikan dan training pegawai.
Supportive public service conditions (adanya kondisi sistem kerja yang mendukung)
adalah berkaitan dengan tercukupinya peralatan dan fasilitas untuk menegakkan etika,
pembayaran yang fair dan tepat, serta keamanan bagi siapa saja yang berperan dalam
penegakan etika (misalnya perlindungan terhadap saksi pelapor pelanggaran).
Determine an ethics coordinating body (membuat lembaga koordinasi etik) adalah
berkaitan dengan adanya lembaga yang diberikan kewenangan untuk mengawasi, menerima
laporan, melakukan investigasi, dan menindak terhadap siapa saja yang melanggar etika.
Develop an affective civil society (membangun civil society yang efektif ) adalah
perlunya LSM, organisasi sosial, dan media untuk berperan sebagai pengawas aktivitas
lembaga publik secara aktif dan terus-menerus.