Jakarta - Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengakui telah mengeluarkan izin alokasi impor
beras di tahun 2013 dari Vietnam. Izin impor yang dikeluarkan Kemendag sepanjang tahun 2013
yaitu 2 jenis yaitu beras basmati dan japonica, bukan beras medium seperti yang diduga ilegal yang
ditemukan di Pasar Cipinang.
Data Kemendag ada 16.832 ton alokasi impor yang dikeluarkan sebanyak 1.835 ton adalah beras
basmati yang diberikan kepada 50 importir swasta atas rekomendasi impor oleh Kementerian
Pertanian. Sedangkan untuk beras japonica dengan total impor sebanyak 14.997 ton itu diberikan
kepada 114 importir.
"Beras khusus tadi hanya diimpor pengusaha. Untuk basmati itu kurang lebih 50 perusahaan
importir yang diberikan rekomendasi oleh kementan dan untuk beras Japonica yang jumlahnya
14.997 ton itu diberikan kepada 114 importir. Itu sudah memang dikeluarkan oleh Kemendag," kata
Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag Bachrul Chairi saat ditemui di Kantor Kementerian
Perdagangan Jalan Ridwan Rais Jakarta Pusat, Senin (27/01/2014).
Bachrul tak merinci apakah masing-masing importir hanya mendapatkan alokasi 1 jenis beras atau
juga mendapat alokasi impor dua jenis beras sekaligus. Namun yang ada di lapangan justru
ditemukan beras medium asal Vietnam yang dilarang diimpor oleh pelaku swasta, kecuali Perum
Bulog.
Ia menjelaskan berdasarkan Permendag nomor 12 tahun 2008, izin impor untuk beras khusus
tersebut setelah mendapatkan rekomendasi dari Ditjen P2HP, Kementerian Pertanian dimana
didalam rekomendasi tersebut telah memuat jenis beras khusus dan jumlah yang boleh diimpor.
Selain itu, setiap realisasi impor diwajibkan untuk dilakukan penelusuran teknis di pelabuhan asal
terlebih dahulu oleh pihak Surveyor (Wajib LS).
"Terkait adanya dugaan kebocoran masuknya beras dengan kualitas rendah, saat ini sedang
dilakukan pendalaman secara intensif dengan melibatkan pihak-pihak terkait," katanya.
Pihak Kemendag belum membuka siapa saja perusahaan yang diduga mengimpor beras ilegal asal
Vietnam yang ditemukan di Pasar induk Cipinang, Jakarta Timur.
"Lebih lanjutnya kita sedang melakukan pendalaman, kalau memang benar itu dimasukan dengan
perizinan kita sudah melakukan pemeriksaan internal dan nanti akan kita lakukan bersama
pemeriksaan eksternalnya dan lain-lain. Sehingga kita harapkan segera bisa kita tahu di mana
terjadi," katanya
Pemerintah – dalam hal ini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Kementerian Perdagangan,
Kementerian Pertanian dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) -- sedang
melakukan investigasi terkait kasus beras impor ilegal dari Vietnam yang masuk ke pasar-
pasar.
Jumlah beras ilegal dari Vietnam diperkirakan mencapai sekitar 15 ribu ton, menurut data
dari Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi).
Namun ia menegaskan, DPR akan terus menelusuri masuknya beras impor tersebut karena
selain melanggar hukum, juga merugikan petani dan pedagang beras lokal karena harga beras
turun akibat stok berlebih.
“Yang jadi masalah, kode untuk beras khusus dan beras medium itu nomornya sama. Akibat
dari nomornya sama, Bea Cukai meloloskan keluar ke pasar dan sekarang sudah habis, sudah
hilang itu di pasar. Mau dicari sudah tidak ada. Yang mungkin terjadi, pertama, importir
menyalahgunakan izin. Kedua, bisa saja ini konspirasi antara importir dengan pejabat di
Kementerian Perdagangan, karena harganya murah, karena Vietnam mau panen, gudangnya
harus dicuci.”
Siswono mengkritik langkah Gita Wirjawan yang mundur sebagai Menteri Perdagangan pada
31 Januari 2014, sebelum kasus ini tuntas.
“Saya bisa memahami bahwa karena pak Gita mencalonkan presiden di (Partai) Demokrat,
dia ingin konsentrasi di sana untuk memenangkan pencalonan itu. Tapi yang paling ideal
memang meninggalkan satu tempat dalam suasana yang tidak ada masalah. Pernyataan wakil
menteri perdagangan terlalu cepat untuk mengatakan tidak ada masalah, sebab masih ada
peluang terjadinya konspirasi antara pejabat perdagangan dengan importirnya,” ujarnya.
“Selama 2013 tidak ada rekomendasi beras khusus medium dan tidak ada izin,” ujarnya.
“Apakah importir ini yang menyalahgunakan izin beras khusus tersebut, atau ada hal lain,
nah ini yang sedang ditelusuri, jadi kita tunggu saja sampai nanti ada kejelasan,” ujarnya.
Kementerian Pertanian mencatat pada 2013 produksi beras nasional mengalami surplus
sebesar 5 juta ton, karena stok yang ada sebesar 39 juta ton sementara kebutuhan nasional
sebesar 34 juta ton.
Beras medium adalah jenis beras yang juga diproduksi petani lokal dan impor diizinkan jika
stok terbatas.
Impor beras medium hanya boleh dilakukan oleh Badan Urusan Logistik (Bulog) setelah
mendapat izin melalui rapat koordinasi seluruh kementerian terkait. Dalam kasus beras impor
ilegal dari Vietnam, Bulog juga menyatakan tidak melakukan impor beras medium sepanjang
tahun 2013.
Jumlah importir beras saat ini sebanyak 58 dan hanya dizinkan mengimpor beras khusus yang
tidak diproduksi di Indonesia.
Jakarta - Sejumlah pedagang meminta aparat kepolisian mengusut pihak yang bermain dalam kasus
impor beras Vietnam. Namun, polisi memiliki jawaban soal ini. Apa kata Polri?
\\"Masalah ekspor-impor diatur kepabeanan, seharusnya kewenangannya ada di Bea Cukai,\\" kata
Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dit Tipid Eksus) Bareskrim Polri, Brigjen Arief Sulistyo, di
Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (27\/1\/2013).
Disinggung apakah kemungkinan masuknya beras asal Vietnam tersebut karena adanya oknum Bea
Cukai yang \\\'bermain\\\', Arief memilih tidak menjawabnya. Dia menegaskan sekali lagi bila
persoalan tersebut merupakan kewenangan Bea Cukai seperti termaktun di Undang-undang
Kepabeanan (UU No 17\/2006).
Catatan detikcom, terdapat kasus serupa terkait penyelundupan barang-barang ilegal dari China dan
membanjiri pasar Indonesia. Baru-baru ini dit Tipid Eksus menyidik kasus suap dan pencucian uang
yang melibatkan dua oknum pegawai Bea Cukai di Entikong, Kalbar, Syafrudin dan Langen Projo.
Kasus ini juga melibatkan seorang importir, Hery Liwoto. Sebagai importir, Hery menyuap oknum
Bea Cukai agar barang yang dia selundupkan dapat dengan mulus masuk ke Indonesia.
Pengungkapan ini sendiri berdasarkan penyelidikan terkait transaksi mencurigakan dan rekening
gendut pejabat Bea Cukai di Kalbar.
Berbekal analisa transaksi keuangan itulah penyidik dapat menjerat ketiganya dengan pasal korupsi
dan kejahatan pencucian uang. Adapun Langen Projo. Menjabat Kepala Bidang Penindakan dan
Penyidakan (P2) Bea Cukai Kanwil Riau dan Sumatera Barat sejak Mei 2012 sampai sekarang.
Dia sebelumnya menjabat sebagai Kepala Kantor Pelayanan dan Pengawasan Bea Cukai Entikong
dari Juli 2008 sampai Januari 2011, dan Kepala Bidang Penindakan dan Penyidikan Kanwil Bea Cukai
Kalimantan Barat dari 11 Januari 2011 sampai Mei 2011.
Sementara Syafruddin adalah bekas anak buah Langen Projo. Dia menyamarkan belasan miliar yang
diduga hasil suap di rekening yang mengatasnamakan pembantunya.
Kasuspun mencuat saat sejumlah menteri ekonomi melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke Pasar
Induk Cipinang untuk meninjau pasokan beras. Saat itu Wakil Menteri Perdagangan Bayu
Krisnamurthi yang ikut hadir tiba-tiba dihadang oleh pedagang beras di sinilah kasus mulai mencuat.
Kasus ini semakin besar karena melibatkan banyak instansi yang secara langsung dan tidak langsung
terlibat. Berikut detikFinance sajikan kronologi drama panjang rembesan beras medium impor di
Pasar Induk Cipinang, Jakarta Timur, Rabu (5/02/2014).
Kacau, Beras Impor Ilegal dari Vietnam Banjiri Indonesia
Oleh Sahlan Ake pada hari Minggu, 13 Mar 2016 - 16:25:23 WIB
Bahkan, ia meminta aparat kepolisian mendalami kasus ini sampai ke sejumlah pelosok wilayah
Indonesia.
"Ya ini kan masalah supply (penawaran) demand (permintaan), ketika beras itu diserahkan kepada
mekanisme pasar seperti sekarang ini, maka semua tergantung pelaku dagang," kata Firman dalam
pesan tertulisnya, Minggu (13/3/2016).
Politisi Golkar ini mengatakan, ketika barangnya dikuasai pedagang, kemudian supply demand-nya
juga dikendalikan pedagang, maka ketika kebutuhan pasar meningkat pasti akan terjadi gejolak
harga.
"Anehnya adalah, ketika pemerintah mengumumkan bahwa panen raya ini sudah surplus, tapi
kenapa harga di pasaran masih tinggi," tandasnya.(yn)
Merdeka.com - Kementerian Keuangan belum mendapat laporan dari Ditjen Bea Cukai terkait
temuan beras impor Vietnam yang menyalahi aturan. Terutama, persoalan kode pabean (HS Code)
yang sama antara beras jenis premium dan medium.
Adanya kesamaan kode pabean membuat peluang importir mengakali dokumen pelabuhan.
Namun, Wakil Menteri Perdagangan, Bayu Krisnamurthi mengungkapkan semua
klasifikasi komoditas, ditetapkan oleh Kementerian Keuangan.
Menanggapi hal tersebut, Menteri keuangan, Chatib Basri mengaku masih akan
mengecek kode pabean sebagai izin impor beras pihak swasta. "Saya baru mau minta
Pak Agung Kuswandono (Dirjen Bea Cukai)," ujar Chatib di kantornya, Jakarta, Rabu
(29/1).
Hal itu harus ditanyakan terlebih dahulu ke Bea Cukai. Diakuinya, tidak mudah
mengenali jenis beras dengan kode pabean dalam skala besar.
"Saya mesti tanya Bea Cukai, kadang-kadang persoalan di lapangan itu, HS kan kode
statistik tapi kalau barangnya mirip bagaimana? itu enggak gampang, apalagi kalau
sudah ton," ungkapnya.
"Penetapan HS code ditetapkan bea cukai, Kemendag hanya mengikuti. Kan (HS code
beras) diubah dari sistem 2009 di 2012, kita ikut mengubah ketetapan HS merujuk
keputusan Kemenkeu," kata Bayu selepas mengisi seminar Artajasa di Jakarta, Rabu
(29/1).
Sebelumnya, Bea Cukai mengakui importasi 16.900 ton beras sepanjang 2013, rentan
disusupi beras ilegal. Diduga importir memanfaatkan kesamaan kode HS antara beras
khusus dan beras medium. Dalam data otoritas pabean, kode kedua jenis beras berbeda
harga itu sama-sama 1006.30.99.00.
"Masuknya beras impor yang biasa diimpor Bulog, diduga menggunakan Surat
Persetujuan Impor yang diperuntukkan bagi importasi beras khusus, seperti Japonica
dan Basmati," kata Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan Bea Cukai
Susiwijono kemarin.
Bea Cukai, Kemendag, dan Kementerian Pertanian langsung membahas persoalan ini
dua hari lalu. Hasilnya, setiap pihak berusaha mengatasi kelemahan sistem masing-
masing.
Setelah sebelumnya berkukuh tak ada impor beras sepanjang 2013, kini Bayu melunak.
Dia membenarkan bahwa ada aktivitas pengiriman beras dari Vietnam, tapi dia
berkeras pihaknya cuma mengikuti rekomendasi Kementerian Pertanian. Itupun
praktik yang sudah lama dilakukan.
"Dilihat dari prosedurnya kan sama saja (seperti tahun-tahun sebelumnya), yang boleh
impor hanya beras khusus," kata Bayu.
Untuk mengurangi potensi penyimpangan, Bayu mendukung langkah bea cukai yang
memperketat pengawasan impor beras. Nantinya, cuma Badan Urusan Logistik (Bulog)
yang dapat kemudahan pabean.
"Saya mendukung langkah bea cukai, bahwa sekarang mereka akan melakukan
pemeriksaan fisik untuk beras," ujarnya.
Di sisi lain, akibat terkuaknya kasus beras impor ini Kementerian Pertanian bakal
menerbitkan rekomendasi impor beras dengan kelengkapan persyaratan lebih sulit.
Mencakup persyaratan kemasan, jaminan suplai, sampai merek barang.
Sedangkan Ditjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag berjanji akan
menyempurnakan usulan data kode HS supaya beras khusus dan beras medium asal
luar negeri mudah dibedakan. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12 Tahun 2008
juga disempurnakan, dengan mencantumkan kriteria beras khusus bagi importir
swasta secara lebih komprehensif.
"Investigasi sudah berjalan, dalam waktu singkat kita sampaikan, kita lakukan pendalaman
sampai ke importir, kita akan sampaikan," ujar Wakil Menteri Perdagangan, Bayu
Krisnamurthi di Kantornya, Jakarta, Jumat (31/1).
Ditemui terpisah Dirjen perdagangan luar negeri, Bachrul Chairi mengaku selama ini banyak
yang mengatakan beras impor asal Vietnam merupakan beras premium. Menurul Bachrul
beras tersebut adalah beras khusus yang diatur importasinya berdasarkan rekomendasi
Kementerian Pertanian.
Sejauh ini, pihaknya sudah menemukan indikasi pelanggaran dari tiga importir, meski bisa
lebih banyak lagi yang terlibat. "Kasih saya hari Senin lah tuntasnya. Untuk importir
kemungkinan masih nambah, tapi mengerucutnya jadi tiga," ucapnya.
Menurutnya, tiga importir tersebut ditengarai terlibat impor ilegal karena berbagai alasan.
Salah satunya izin untuk impor dipakai oleh orang lain. Temuan lain, Bachrul mengatakan
ada pihak sengaja mengungkapkan kasus ini karena kalah bersaing dengan salah satu
perusahaan yang diduga menyelewengkan izin.
"Ini kan kompetisi ini lah hebatnya kompetisi. Jadi tiga itu dua ditengarai kemungkinan salah
persepsi soal izin, satu itu izinnya dipakai orang," jelasnya.
Jika terbukti bersalah, Bachrul menjamin sanksinya pencabutan izin importir tersebut. Jika
bea cukai atau kepolisian hendak melanjutkan aspek pidana, dia mempersilakan.
"Dari perdagangan, izin langsung dicabut. Kalau yang lain kasih sanksi pidana silakan. Tapi
kewenangan kita administrasi," tegasnya.
Merdeka.com - Masyarakat akhir tahun lalu dihebohkan dengan kasus impor beras terlarang dari
Vietnam.Di saat pemerintah mengklaim tidak mengimpor beras selama 2013, ternyata mencuat
temuan beras impor, walaupun dalihnya untuk premium.
Kasus beras ini masih menggantung dan sedang di periksa jenis beras yang datang dari
Negeri Paman Ho tersebut.
Belajar dari kejadian ini, Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian
Pertanian, Emilia Harahap mengatakan untuk tahun ini pemerintah tidak akan mengimpor
beras premium.
Hal ini dilakukan karena kasus pendatangan pangan pokok asal Vietnam masih dalam proses.
Kementan mengaku belum mengeluarkan rekomendasi terhadap total kebutuhan beras
premium setahun ke depan.
"2014 kita tunda dulu dan kita sudah diskusi dengan Kemendag juga. Semua di benahi dulu,
impotirnya yang mana dulu. Kita koordinasi terus dan kita tunda dulu," ucap Emilia di
kantornya, Jakarta, Jumat (14/2).
Jenis beras premium yang tidak akan diimpor dulu adalah Thai Hom Mali, Japonica serta
Basmati. Emilia tidak menyebut sampai kapan impor ini akan distop. Beras-beras semacam
itu biasanya untuk konsumen tertentu, misalnya orang asing, industri atau penderita diabetes.
"Kita harapkan secepatnya (keluar rekomendasi), jangan sampai ada industri atau restoran
yang terganggu," kata Emilia.
Kementerian Perdagangan belum lama mengaku yakin tak melakukan pelanggaran soal
impor 16.900 ton beras impor asal Vietnam tahun lalu, karena sudah sesuai prosedur. Belum
tuntas masalah yang bermula dari laporan pedagang Cipinang itu, muncul kasus baru.
Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan malah menemukan temuan anyar yang
berpotensi melanggar. Modusnya, importir mengajukan izin impor beras Thai Hom Mali dari
Thailand dengan kode pabean 1006.30.40.00, tetapi yang datang justru beras wangi Vietnam
seharusnya memakai pos tarif 1006.30.99.00.
Beras yang bermasalah karena beda antara izin dan realisasi ini sejumlah melampaui 800 ton.
Ada tiga importir yang tercatat bermasalah, yakni CV PS (mendatangkan 200 ton), CV KFI
(400 ton), dan PT TML (200 ton). [ard]
"Keterangan dari pakar beras IPB diperoleh hasil bahwa beras yang berasal dari PBIC yang
ditenggarai beras medium dapat dipastikan adalah beras premium," ungkap keterangan tertulis,
Ditjen Bea Cukai Kemenkeu, Ditjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag, dan Ditjen P2HP
Kementerian Pertanian di Jakarta, Kamis (20/2/2014).
Pemerintah juga mengakui, adanya dugaan terjadinya kesalahan dan pelanggaran dalam
pelaksanaan impor beras yang diangkut dalam 32 kontainer di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Ke-
32 kontainer tersebut ditemukan pada saat kunjungan Menteri Keuangan Chatib Basri pada 7
Februari lalu.
Dengan adanya persoalan seputar impor beras tersebut, pemerintah mengaku telah berupaya
melakukan penyempurnaan dan sistem penanganan importasi beras yang lebih baik. Seluruh upaya
ini ditempuh sebagai tindakan preventif pemerintah agar kasus yang sama tak terulang kembali.
Dalam kesepakatan yang dibuat ketiga institusi tersebut, diperoleh pemahaman agar ada upaya
memperketat persyaratan perijinan impor beras. Salah satunya adalah dengan menyempurnakan
ketentuan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 12/M-DAG/PER/4/2008.
"Untuk mendapatkan penetapan sebagai IT dan IP harus terlebih dahulu melakukan verifikasi
lapangan," ungkap keterangan tersebut.
Aktivitas impor beras juga bakal lebih diperketat dengan mewajibkan rekomendasi dan persetujuan
Impor sebagai satu kesatuan. Importir beras diantaranya harus mencantumkan nama, alamat, jenis
beras, surat kemurnian varietas, volume beras per pelabuhan tujuan, tingkat kepecahan, serta pos
tarif/HS.
Importir juga harus mencantumkan merek kemasan, negara asal, pelabuhan muat, pelabuhan
tujuan, masa berlaku rekomendasi dan persetujuan impor.
Tak hanya importir, penyempurnaan ketentuan impor juga diberlakukan bagi perusahaan surveyor
yang wajib melakukan verifikasi terhadap semua data yang ada dalam rekomendasi dan persetujuan
impor. "Pihak Surveyor wajib melakukan verivikasi atau penelusuran teknis negara asal," ungkap
laporan tersebut.
Pada bagian lain, pemerintah juga sepakat untuk melakukan otomasi sistem terhadap rekomendasi
dan perijinan impor melalui portal INSW (Indonesia National Single Window). Dengan fasilitas ini,
seluruh proses perijinan dan pelayanan impor diharapkan bisa berlangsung dengan cepat,
transparan dan akuntabel.
Sementara untuk menyelesaikan semua permasalahan dan potensi masalah dalam wilayah
operasional, pemerintah sepakat untuk membuat forum pembahasan yang melibatkan lima intansi
terkait.(Shd)
Pemerintah memutuskan kasus beras impor asal Vietnam yang merembes ke Pasar Induk Beras
Cipinang (PBIC) Jakarta telah selesai. Tiga institusi pemerintah yaitu Kementerian Perdagangan,
Kementerian Pertanian, dan Kementerian Keuangan membantah jika beras temuan tersebut
berkualitas medium.
"Keterangan dari pakar beras IPB diperoleh hasil bahwa beras yang berasal dari PBIC yang
ditenggarai beras medium dapat dipastikan adalah beras premium," ungkap keterangan tertulis,
Ditjen Bea Cukai Kemenkeu, Ditjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag, dan Ditjen P2HP
Kementerian Pertanian di Jakarta, Kamis (20/2/2014).
Pemerintah juga mengakui, adanya dugaan terjadinya kesalahan dan pelanggaran dalam
pelaksanaan impor beras yang diangkut dalam 32 kontainer di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Ke-
32 kontainer tersebut ditemukan pada saat kunjungan Menteri Keuangan Chatib Basri pada 7
Februari lalu.
Dengan adanya persoalan seputar impor beras tersebut, pemerintah mengaku telah berupaya
melakukan penyempurnaan dan sistem penanganan importasi beras yang lebih baik. Seluruh upaya
ini ditempuh sebagai tindakan preventif pemerintah agar kasus yang sama tak terulang kembali.
Dalam kesepakatan yang dibuat ketiga institusi tersebut, diperoleh pemahaman agar ada upaya
memperketat persyaratan perijinan impor beras. Salah satunya adalah dengan menyempurnakan
ketentuan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 12/M-DAG/PER/4/2008.
Aktivitas impor beras juga bakal lebih diperketat dengan mewajibkan rekomendasi dan persetujuan
Impor sebagai satu kesatuan. Importir beras diantaranya harus mencantumkan nama, alamat, jenis
beras, surat kemurnian varietas, volume beras per pelabuhan tujuan, tingkat kepecahan, serta pos
tarif/HS.
Importir juga harus mencantumkan merek kemasan, negara asal, pelabuhan muat, pelabuhan
tujuan, masa berlaku rekomendasi dan persetujuan impor.
Tak hanya importir, penyempurnaan ketentuan impor juga diberlakukan bagi perusahaan surveyor
yang wajib melakukan verifikasi terhadap semua data yang ada dalam rekomendasi dan persetujuan
impor. "Pihak Surveyor wajib melakukan verivikasi atau penelusuran teknis negara asal," ungkap
laporan tersebut.
Pada bagian lain, pemerintah juga sepakat untuk melakukan otomasi sistem terhadap rekomendasi
dan perijinan impor melalui portal INSW (Indonesia National Single Window). Dengan fasilitas ini,
seluruh proses perijinan dan pelayanan impor diharapkan bisa berlangsung dengan cepat,
transparan dan akuntabel.
Sementara untuk menyelesaikan semua permasalahan dan potensi masalah dalam wilayah
operasional, pemerintah sepakat untuk membuat forum pembahasan yang melibatkan lima intansi
terkait.(Shd)
Tempo.co
Senin, 10 Februari 2014 06:56 WIB
Ia mengatakan dari penyidikan harus dilihat apakah pelanggaran aturan ini menimbulkan
kerugian negara atau tidak. Ia mengatakan dari sisi Bea Cukai saja dimungkinkan adanya
kerugian negara berupa penerimaan pajak. "Paling enggak pajak, tidak pernah dilampirkan,"
kata dia.
Ads by Kiosked
Romli menilai dalam kasus tersebut pasti ada unsur kelalaian yang menimbulkan kerugian
negara. Ditambah menurut undang-undang baik keuangan, perbendaharaan dan pemeriksaan,
untuk hal seperti ini baik disengaja atau melawan hukum harus mendapatkan sanksi
administratif. (Lihat juga: Bea-Cukai Tahan 800 Ton Beras Vietnam)
Jika dalam pemeriksaan audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan, kata Romli, kemudian
ditemukan adanya unsur pidana, baik penggelapan, pemalsuan dokumen maupun unsur
korupsi, maka BPK wajib melaporkan temuan tersebut kepada pihak terkait, baik Kepolisian
ataupun Komisi Pemberantasan Korupsi.
Ia mengatakan jika ditemukan tindak pidana korupsi, maka BPK harus segera melaporkan
temuan tersebut kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Adapun jika ditemukan adanya
tindak pidana pemalsuan dokumen, maka pelaporan harus dilakukan ke Kepolisian. “Pelaku
impor juga perlu mendapatkan sanksi administrasi, baik itu pencabutan izin impor ataupun
memasukan importir tersebut dalam daftar hitam,” kata Romli. (Berita terkait : KPK: Tata
Niaga Beras Memang Bermasalah)
Ia mengatakan sanksi keras perlu diberikan baik kepada perorangan pelaku (pejabat) maupun
kepada koorporasi pelaku kecurangan. "Harusnya satu paket itu. Kalau cuma orang atau
pejabatnya, sedangkan koorporasinya tetap, ya sama saja, akan berulang kembali. Harus ada
efek jera," kata dia.
Tempo.co
Minggu, 9 Februari 2014 07:13 WIB
"Kita tentunya dalam pengumpulan data selalu apa kata undang-undang, sudah jelas
dikatakan di situ. Kita patuh pada Peraturan Menteri Peradagangan Nomor 12 tahun 2008,
juncto Peraturan Menteri Perdagangan No 6 tahun 2012," kata Hadi Purnomo Ketua BPK
usai menjadi pembicara dalam diskusi Kedaulatan Pangan, Sabtu, 8 Februari 2014.
Ia mengatakan jelas sekali dalam peraturan tersebut bahwa Harmonized System (HS) yang
tercantum ada 10 nomor untuk beras. "Jelas sekali disitu bahwa HS yang tercantum ada 10
untuk beras, antara lain 1006.10 ; 1006.20 ; 1006.30 ; 1006.40 dan lainnya," kata Hadi.
Ia mengatakan yang diubah di Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 tahun 2012 hanyalah
peruntukkan untuk beras medium yaitu 1006.30.90.00, kode tersebut diubah menjadi 99 pada
nomer belakang, selain itu kode HS lainnya tetap. Ia mengatakan informasi HS tersebut
secara jelas tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12 Tahun
2008.
Ia mengatakan BPK akan mengacu pada undang-undang dalam kaitannya pemeriksaan audit
terhadap kasus tersebut. "Perubahan itu hanya satu nomer, lain-lain tetap."
Ia mengatakan berdasarkan peraturan tersebut perbedaan klasifikasi beras jenis premium dan
medium jelas sekali telah ada. Ia mengatakan dengan berpedoman pada peraturan yang telah
ada, BPK akan menyandingkan data yang dimiliki dengan fakta-fakta temuan dalam
pemeriksaan. "Tapi yang jelas kita sudah tahu pemetaannya."
Tempo.co
Jumat, 7 Februari 2014 18:41 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Aparat Bea-Cukai menahan 800 ton beras impor asal Vietnam di
Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Menurut Direktur Jenderal Bea-Cukai Kementerian
Keuangan Agung Kuswandono, komoditas tersebut ditahan karena tidak sesuai dengan
dokumen impornya. "Barang tersebut masuk dalam dua pekan terakhir," kata Agung di
Pelabuhan Tanjung Priok, Jumat, 7 Februari 2014.
Beras itu dikemas dalam kemasan karung 25 kilogram. Beras yang diangkut dalam 32 peti
kemas tersebut didatangkan tiga perusahaan, yakni CV PS dengan 200 ton, CV KFI 400 ton,
dan PT TML 200 ton.
Menurut Agung, dalam dokumen impor disebutkan ketiga perusahaan mendatangkan beras
Thai Hom Mali dengan kode pos tarif 1006.30.40.00. Namun setelah diperiksa di jalur merah,
diduga beras tersebut berjenis fragrant rice atau beras wangi. Hal ini diketahui dari karung
kemasan bertuliskan Eagle Brand AAA dengan isi fragrant rice vietnam.
Ads by Kiosked
Untuk memastikan jenisnya, Bea-Cukai membawa sampel beras tersebut untuk diteliti di
laboratorium Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Subang, Jawa Barat. Menurut Agung,
dugaan pelanggaran dokumen akan terbukti jika hasil pemeriksaan menunjukkan beras
tersebut bukan berjenis Thai Hom Mali. "Selanjutnya, penanganan kami serahkan kepada
Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian."
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan dugaan
pelanggaran ini ditemukan setelah Bea-Cukai mengubah mekanisme pemeriksaan beras. Pada
29 Januari 2014, Bea-Cukai menetapkan beras sebagai komoditas high risk yang harus
diperiksa di jalur merah. Sebelumnya, beras impor bisa melenggang di jalur hijau tanpa
pemeriksaan karena masuk kriteria low risk.
Beras impor asal Vietnam menjadi perhatian setelah ada pengaduan dari pedagang Pasar
Induk Cipinang. Pedagang menduga ada importir yang mencampur beras Vietnam dengan
kemasan beras medium IR-64, yang seharusnya hanya didatangkan oleh Perum Bulog. Di
pasaran dunia, beras Thai Hom Mali dijual US$ 1.120 per ton. Sedangkan beras wangi asal
Vietnam dijual US$ 550 per ton.
\\"Masalah ekspor-impor diatur kepabeanan, seharusnya kewenangannya ada di Bea Cukai,\\" kata
Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dit Tipid Eksus) Bareskrim Polri, Brigjen Arief Sulistyo, di
Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (27\/1\/2013).
Disinggung apakah kemungkinan masuknya beras asal Vietnam tersebut karena adanya oknum Bea
Cukai yang \\\'bermain\\\', Arief memilih tidak menjawabnya. Dia menegaskan sekali lagi bila
persoalan tersebut merupakan kewenangan Bea Cukai seperti termaktun di Undang-undang
Kepabeanan (UU No 17\/2006).
Catatan detikcom, terdapat kasus serupa terkait penyelundupan barang-barang ilegal dari China dan
membanjiri pasar Indonesia. Baru-baru ini dit Tipid Eksus menyidik kasus suap dan pencucian uang
yang melibatkan dua oknum pegawai Bea Cukai di Entikong, Kalbar, Syafrudin dan Langen Projo.
Kasus ini juga melibatkan seorang importir, Hery Liwoto. Sebagai importir, Hery menyuap oknum
Bea Cukai agar barang yang dia selundupkan dapat dengan mulus masuk ke Indonesia.
Pengungkapan ini sendiri berdasarkan penyelidikan terkait transaksi mencurigakan dan rekening
gendut pejabat Bea Cukai di Kalbar.
Berbekal analisa transaksi keuangan itulah penyidik dapat menjerat ketiganya dengan pasal korupsi
dan kejahatan pencucian uang. Adapun Langen Projo. Menjabat Kepala Bidang Penindakan dan
Penyidakan (P2) Bea Cukai Kanwil Riau dan Sumatera Barat sejak Mei 2012 sampai sekarang.
Dia sebelumnya menjabat sebagai Kepala Kantor Pelayanan dan Pengawasan Bea Cukai Entikong
dari Juli 2008 sampai Januari 2011, dan Kepala Bidang Penindakan dan Penyidikan Kanwil Bea Cukai
Kalimantan Barat dari 11 Januari 2011 sampai Mei 2011.
Sementara Syafruddin adalah bekas anak buah Langen Projo. Dia menyamarkan belasan miliar yang
diduga hasil suap di rekening yang mengatasnamakan pembantunya.
Luthfi, kepada wartawan di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Kamis 13 Februari 2014
menegaskan akan segera menuntaskan kasus beras impor tersebut.
Kata Luthfi harus ada tindakan tegas untuk menyelesaikan persoalan beras Vietnam ini.
"Harus ada tindakan tegas untuk menemukan mana yang salah dalam pembuatan kebijakan
tersebut."
Namun Luthfi meminta waktu untuk mempelajari kelemahan dari sistem yang ada. Sistem
yang membuat beras premium masuk ke indonesia dengan harga murah.
"Kami akan mengetahui permasalahan dalam waktu singkat dan mempelajari suatu
kelemahan sistem dan kecurangan didalamnya," ujar Luthfi.
Terkait kode importasi, Luthfi yang juga mantan kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal
(BKPM) ini juga tengah mengkaji sistem pengkodean dengan melibatkan instansi yang
terkait.
"Kode pengimporan yang menyebabkan kericuhan akan kami kaji lagi. Semua dilakukan
dengan melibatkan instansi yang terkait," ujar Luthfi.
Genap 27 hari, tidak sampai 1 bulan dari komitmennya ingin menyelesaikan kasus impor
beras Vietnam, pada Selasa 11 Maret 2014, Menteri Perdagangan Muhammad Luthfi
menyatakan Kementerian yang dipimpinnya siap dipersalahkan dalam hal impor beras
Vietnam pada Februari lalu.
“Kalau yang salah dalam persoalan ini, biar salahkan Kementerian Perdagangan," ujar Luthfi
kepada pers, disela pembukaan acara Indonesia International Furniture Expo (IFEX) 2014 di
Jakarta.
Kata Luthfi, berdasarkan surat yang dilayangkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada
Kemendag, ada beberapa masalah yang harus dibereskan.
Pertama terkait kode HS beras (HS code). Seperti diketahui, kode HS untuk beras umum
premium dan medium, dengan beras khusus premium masih sama. Peraturan ini ditetapkan
pada 2012 lalu melalui Peraturan Menteri Keuangan.
Dalam perihal pemisahan HS baru bisa dilakukan dalam jangka waktu 5 tahun sekali.
Kemudian ketika dibuat harus pula dibentuk komitenya. Sehingga tidak bisa secara tiba-tiba
memisahkan kode HS begitu saja. Namun hal ini akan dikoordinasikan dengan Kemenkeu.
“Kemendag akan mengajukan sistem tersebut berdasarkan saran yang diberikan BPK untuk
membenahinya,” ujarnya.
Permasalahan kedua terletak pada surveyor. Pemerintah diharapkan bisa membayar sendiri
surveyor agar tidak terjadi kerancuan. Dalam hal ini berkaitan pula dengan Peraturan Menteri
Perdagangan sehingga harus dilakukan perbaikan. Tetapi untuk menjaga surveyor
independen, Kemendag tentu harus mengajukan dananya pada Kemenkeu. Luthfi
mengatakan, dalam hal ini biaya harus melalui APBN, sehingga tidak bisa diputuskan
sepihak oleh Kemendag.
Permasalahan lain yang disarankan BPK berkaitan dengan peraturan impor. Ada baiknya
Kemendag lebih memperketat, baik jumlah atau peraturan yang berkaitan dengan impor. “Ini
yang akan saya bereskan dalam kesempatan pertama," janji Lutfi.
Ia mengatakan, persoalan memperketat importir segera rampung dalam pekan ini. Dalam
persoalan importir, Kemendag tidak merasa perlu berkoordinasi dengan kementerian lain.
Sedangkan terkait 2 permasalahan lain, Kemendag masih perlu melakukan pembicaraan
dengan pihak terkait.
Sebelum Luthfi membuat pernyatan bersalah diatas, pada Kamis, 20 Februrai 2014, tiga
instansi pemerintah, yaitu Kementerian Perdagangan (Kemendag),Kementerian Pertanian
(Kementan), Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melalui Dirjen Bea Cukai memberikan
keterangan pers secara bersama dengan mengambil tempat di Kantor Pusat Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai di Jakarta Timur.
Pada keterangan pers atas kasus impor beras Vietnam yang mendapat perhatian serius dari
masyarakat, ketiga instansi pemerintah tersebut hanya diwakili oleh pejabat eselon I saja.
Padahal, atas kasus ini, sebelumnya beragam pernyataan,penegasan, dan komitmen dilakukan
oleh Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan, bahkan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK). Tidak ketinggalan anggota DPR tampil berkomentar.
Dari Kemendag, tampil Bachrul Chairi , Dirjen Perdagangan Luar Negeri, lantas Sony Loho,
Plh Dirjen Bea Cukai dan Susiwijono Moegiarso,Direktur Penerimaan dan Peraturan Bea
Cukai tampil mewakili Kemenkeu. Sementara Yusni Emilia Harahap, Dirjen Pengolahan dan
Pemasaran Hasil Pertanian mewakili Kementerian Pertanian.
Intinya, dalam keterangan pers tersebut, ketiga pejabat dari tiga kementerian tersebut, sepakat
mengatakan bahwa kasus beras impor yang menghebohkan itu telah selesai dan ditutup.
“Kesimpulan ini didapat setelah melakukan penelitian oleh para pakar dalam beberapa
tahapan. Sampel beras yang diteliti adalah beras yang dijual di pasar Induk Cipinang
Jakarta,” kata Bachrul Chairi.
Kemudian, Sony Loho pun mengatakan, tidak ada lagi permasalahan soal beras asal Vietnam
di pasar Cipinang. Sementara Susiwijono Moegiarso menjelaskan, data impor yang
sebelumnya disampaikan adalah benar. "Jadi artinya persoalan ini selesai," katanya.
Dan Yusni Emilia Harahap pun mengatakan: “Impor beras itu memang diberikan izin karena
peruntukan bukan untuk masyarakat luas. Kita memberikan kesempatan konsumsi khusus
segmen tertentu," katanya.
Nah, bila menyimak pernyataan ke-empat pejabat yang mewakili tiga instansi pemerintah itu,
kita hanya bisa terdiam sembari bengong dan bertanya: Yang selesai itu apanya? Yang
ditutup itu apanya?
Wajar dan sangat sah rasanya, dibenak publik muncul pertanyaan yang demikian. Bukan apa-
apa. Sebab pada Rabu, 29 Januari 2014, ketika kasus impor ini menghangat di ruang publik,
Menteri Pertanian Suswono meminta kasus ini diusut tuntas. “Saya minta diusut tuntas, agar
diketahui siapa di balik impor beras ilegal itu.”
Jadi, bila merujuk materi penjelasan ketiga pejabat Eselon I dari tiga kementerian diatas,
tentu sangat tidak relevan dan tidak menjawab apa yang sudah ditegaskan Suswono. Apalagi
Menteri Pertanian juga menyatakan Kementeriannya tidak pernah mengeluarkan rekomendasi
impor beras khusus asal Vietnam pada tahun 2013. Bahkan Kementan mengirimkan surat
kepada Menteri Perdagangan guna meminta klarifikasi mengapa ada beras impor asal
Vietnam yang masuk ke pasar.
Menteri Pertanian hanya mengeluarkan rekomendasi impor untuk beras jenis khusus yang
peredarannya tertutup, tidak bebas. Beras jenis khusus ini adalah beras ketan, menir, beras
untuk penderita diabetes, dan beras kebutuhan restoran tertentu.
Kian tidak relevan, manakala disimak pernyataan yang dikeluarkan Susiwijono Moegiarso
sebelumnya. Tepatnya pada Selasa, 28 Januari 2014.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menyatakan, kisruh beras impor salah satunya disebabkan
karena kode barang impor antara beras khusus dan beras umum sama, meskipun jenisnya
berbeda.
"(Ini) disebabkan karena kode HS antara beras khusus dan beras umum pada BTKI 2012
dimasukkan ke dalam satu kode HS yang sama, yaitu 1006.30.99.00," kata Susiwijono
Moegiarso.
Lantas Susiwijono meminta masing-masing instansi terkait harus segera mendalami secara
intensif adanya dugaan kebocoran beras tersebut.
Susiwijono pun membeberkan data impor yang ada di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
(DJBC). Tercatat ada 58 perusahaan importir selain Bulog yang mengimpor beras selama
2013 melalui Tanjung Priok dan Belawan dengan kode HS.
Sebanyak 16.900 ton beras impor itu telah dilengkapi dengan SPI dan laporan surveyor (LS).
Secara teknis, importasi beras dimasukkan dalam komoditas berisiko rendah (low risk)
lantaran sudah diperiksa di negara asal barang.
Kemudian, setelah heboh maraknya beras impor di Pasar Induk Cipinang berharga murah,
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memasukkan kode import beras Premium tersebut
kedalam kategori beresiko tinggi dan melakukan perubahan terhadap kebijakan pengawasan,
semula masuk dalam sistem Portal Indonesia National Single Window (INSW) secara
elektronik, diubah menjadi sistem manual dengan petugas analisis.
Hasilnya, Bea Cukai mendeteksi ada 32 peti kemas berisi 800 ton beras impor kualitas rendah
yang masuk melalui Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Masing-masing diimpor oleh CV.KFI
sebanyak 400 ton, CV.PS sebanyak 200 ton, dan PT.TML sebanyak 200 ton.
Beras tersebut diimpor dengan menggunakan izin beras khusus, Thai Hom Mali yang berasal
dari Thailand, bukan dari Vietnam.
Keseluruhan impor beras dengan Kode HS dimaksud telah dilengkapi dengan Laporan
Surveyor (total sebanyak 83 Dokumen PIB dan 83 Laporan Surveyor) yang telah diterbitkan
dan dikirimkan oleh Kementerian Perdagangan melalui Portal INSW.
Impor beras tersebut juga telah dilengkapi dengan perizinan yang diperlukan berupa SPI
(Surat Persetujuan Impor) dari Kementerian Perdagangan walaupun perizinan tersebut tidak
sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Perdagangan No.06/ M-DAG/PER/2/2012.
Dari keterangan Suswono dan Susiwijono, sangat terang terlihat, bahwa ada pemberian izin
impor yang tidak direkomendasikan. Kemudian ada pelanggaran pemberian SPI (Surat
Persetujuan Impor) yang bertentangan dengan Peraturan Menteri Perdagangan No.06/ M-
DAG/PER/2/2012.
Bukan sebuah rahasia dan sudah jadi pengetahuan umum, bila dalam kasus-kasus seperti ini
ada permainan tangan-tangan yang meraup keuntungan. Dari dua dugaan pelanggaran diatas,
tentu saja bisa berimplikasi pada hilangnya uang negara. Bisa jadi, masuknya bukan ke pos
pendapatan negara, namun dugaan kuatnya masuk ke pos pendapatan oknum-oknum tertentu
yang tentu saja memiliki kekuasaan untuk itu.
Apalagi, pada Jumat 31 Janurai 2014, dengan tanggap Bachrul Chairi menegaskan bahwa
pihaknya telah melakukan pengerucutan terhadap 165 importir beras yang diduga melanggar
izin impor terkait masuknya beras ilegal dari Vietnam.
"Kita sudah mengerucutkan dari 165 importir, sekarang mengerucut jadi tiga. Yang dua itu
kemungkinan salah pemahaman, sementara yang satu kemungkinan izinnya dipakai pihak
lain. Tapi tiga ini belum final, kemungkinan bisa nambah jadi empat atau lima," ungkap
Bachrul kepada wartawan di Gedung Kementerian Perdagangan.
Konkritnya: Apakah dibenarkan, beras yang diajukan dalam rekomendasi berbeda dengan
yang terdapat dalam Surat Persetujuan Impor (SPI). Lantas, apakah dibenarkan, SPI
dikeluarkan tanpa rekomendasi dari Kementan?
“Mestinya Kemendag mengeluarkan SPI sesuai rekomendasi, tanpa memberikan tambahan
kalimat apapun. Dari situ saja sudah ada celah," ujar Suswono, Menteri Pertanian kepada
wartawan di Jakarta, Senin (17/02).
"Mengapa Bea Cukai HS (harmonized system/HS)-nya langsung dinyatakan low risk (LR)
dan tidak high risk (HR)," ujar Hadi Purnomo, Kepala BPK kepada wartawan di Denpasar,
Selasa (04/02).
Kedua, kata Hadi, adanya penyatuan hak dari dua peraturan yang berbeda. Perbedaan
peraturan tersebut berada di Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Tahun 2008 dan
Permendag Tahun 2012. "Yang mana ada penyatuan hak, kok bunyinya ada perbedaan jenis
beras, tapi kok HS-nya jadi satu."
Ketiga, adanya ketidak transparan surveyor luar negeri yang ditunjuk pemerintah. Itu terlihat
dari tidak dicantumkannya segala hal yang berkaitan dengan impor beras Vietnam tersebut
dengan detail. "Mengapa surveyor yang kita bayar di luar negeri oleh pemerintah tidak
dicantumkan perinciannya,” ungkap Hadi.
Pertanyaannya kemudian, bila menyimak semua fakta dan data yang disampaikan para
pejabat diatas, setidaknya memang telah terjadi pelanggaran-pelanggaran dalam kasus impor
beras kali ini. Mengapa belum ada aparat penegak hukum yang aktif bertindak untuk
menangani kasus ini? Apakah karena saling "sibuk" menghadapi adanya agenda perubahan
politik tanggal 9 April 2014 ini? Entahlah.
Sikap heroik Lutfhi yang bersedia kementeriannya dipersalahkan, tentu sah-sah saja. Namun,
bukan berarti bila diketemukan adanya tindak pidana didalam kasus ini terus bisa
dikesampingkan begitu saja.
Publik wajar menjadi gamang. Sebab, kasus impor beras, bukan hanya kali ini saja terjadi.
Beberapa waktu yang lalu juga terjadi kasus impor beras asal Vietnam yang terpenggal-
penggal. Kejaksaan Agung dan Mabes Polri yang menangani kasus ini.
Publik mencatat, ketika itu, Kejaksaan Agung, Kamis (27/07) memeriksa anggota DPR dari
Fraksi Partai Golkar (F-PG), Setya Novanto dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi
dalam impor 60.000 ton beras dari Vietnam.
Setya Novanto diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Direktur PT Hexatama Finindo,
Gordianus Setio Lelono yang merupakan saudara kandungnya.
"Keinginan saya, supaya pemeriksaan impor beras 60 ribu ton itu menjadi terang," ujar
Hendarman Supandji, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus).
Ia menjelaskan, posisi Setya dalam kasus impor beras masih sebagai saksi, tapi ia menolak
menjelaskan lebih pasti soal keterkaitan Setya dalam perkara yang diduga merugikan
keuangan negara sebesar Rp 25,4 miliar itu. "Ya, lihat di pengadilan," kata dia.
Dalam perkara dugaan korupsi impor beras tersebut, penyidik Kejagung sudah menetapkan
tujuh tersangka, yaitu pihak swasta pengimpor beras, Dirut PT Hexatama Finindo, Gordianus
Setio Lelono dan enam lainnya pihak pegawai pemerintah dari Ditjen Bea Cukai.
Perkara atas lima tersangka, yaitu Sumantri, Athan Carina, Wahyono Herwanto, Yamiral
Azis Santoso, dan Shinta Dewi Arini (mantan pejabat dan staf Bea Cukai Priok) saat ini
sedang diperiksa di PN Jakarta Utara.
Sedangkan perkara untuk tersangka mantan pejabat Bea Cukai Sofyan Permana dan
Gordianus, masih disidik oleh penyidik Kejagung.
Setya Novanto, yang diperiksa selama 10 jam sebagai saksi keluar dari Gedung Bundar
Kejaksaan Agung, sekitar pukul 19.30 Wib. Didampingi Penasihat Hukumnya, Yuliono.
Setya Novanto membantah pertanyaan wartawan bahwa dirinya memberi rekomendasi impor
beras tersebut.
Penasihat Hukum Setya Novanto, Yuliono menjelaskan kepada wartawan kliennya ditanyai
oleh penyidik dengan 30 pertanyaan terkait impor beras illegal atas tersangka Sofyan
Permana. Pada intinya, Setya Novanto menjelaskan bahwa kedudukannya selaku pemberi
jaminan pribadi dalam penerbitan L/C yang merupakan jaminan tambahan, kata Yuliono.
Dalam kasus ini, selain Setya Novanto, nama Idrus Marham juga ikut terseret. Menurut salah
satu kuasa hukum Inkud, Handika Hanggowongso, Idrus menjadi saksi dalam tandatangan
perjanjian kerjasama antara pihak Inkud dengan PT Hexatama Finindo.
Nama lain yang disebut ikut melihat penandatangan perjanjian adalah Nurdin Halid, dan
Acmad Soebadio Lamo.
Seperti diketahui, Inkud melaporkan Komisaris utama PT Hexatama Finindo, Setya Novanto,
dan Direktur utamanya, Gordianus Setyo Lelono ke Mabes Polri, beberapa hari lalu.
Pada Februari 2003 sampai Desember 2003, keduanya dengan sengaja memindahkan 60 ribu
ton beras, yang diimpor Inkud dari gudang pabean ke gudang non-pabean.
Setelah itu, keduanya dikatakan menjual beras impor tersebut kepada pihak ketiga. Dari hasil
penjualannya ditampung ke rekening Giro Escrow milik PT Hexatama Finindo di sebuah
bank milik pemerintah.
Keputusan itu diambil karena tidak cukup bukti bagi penyidik untuk mengajukan Gordianus
sebagai pihak yang terlibat dalam perkara dugaan korupsi itu.
"Dia juga tidak tahu perbuatan korupsi itu," kata Kemas Yahya Rahman, Jaksa Agung Muda
Tindak Pidana Khusus yang menggantikan Hendarman Supandji, Selasa (15/1).
Sofjan Permana dan Gordianus Setio Lelono ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi
dalam impor beras ilegal 60.000 ton dari Vietnam sejak tahun 2006. Beras tersebut diimpor
Induk Koperasi Unit Desa (Inkud) bersama PT Hexatama Finindo. Dugaan korupsi terjadi
karena beras dikeluarkan dari kawasan pabean tanpa prosedur yang sesuai serta tidak
menyetorkan bea masuk dan pajak lainnya.
Kemas menolak menyebutkan bukti yang tidak cukup dalam perkara Gordianus. Namun,
menurut dia, dalam impor beras tersebut, Gordianus hanya bertindak sebagai penjamin, tidak
melakukan perbuatan korupsi yang disangkakan.
"Tidak ada desakan dari pihak lain. Penghentian penyidikan murni keputusan penyidik
karena tidak dipenuhinya bukti- bukti korupsi," kata Kemas.
Dalam perkara korupsi impor beras ilegal dari Vietnam, Nurdin Halid dihukum 2,5 tahun
penjara setelah kasasinya ditolak Mahkamah Agung pada tahun 2006.
Pada kasus ini, ada pendapat yang digambarkan jernih dan menarik untuk kembali disimak.
Adalah Noor Johan Nuh, Pengamat Kepabeanan yang merilis dalam situs pribadi http://c-
tinemu.blogspot.com/2006/06/impor-beras-membawa-bencana.html
Impor beras sebanyak 60.000 ton yang melibatkan elite politik kasusnya terus bergulir.
Cukup menarik bila kita menyimak proses hukum terhadap kasus yang melibatkan tokoh elite
politik dan para mantan pejabat Bea Cukai (BC).
Seperti diketahui, setelah hampir delapan bulan tertunda, kasus yang melibatkan Sumantri
(Kepala Kantor Pelayanan Bea Cukai Tipe A khusus Tanjung Priok I), Athan Carina (Kasi
Pencegahan dan Penyidikan/P2), serta Sinta Dewi Arini (Kasi Tempat Penimbunan II),
digulirkan di pengadilan pada 7 Juni lalu. Ketiganya diancam pidana seumur hidup.
Sebelumnya, pada 1 Juni, dua pejabat Bea Cukai lainnya, yaitu Wahyono Herwanto (mantan
Kepala Kantor yang menggantikan Sumantri) dan Yamirizal Aziz Santoso (Kasi P2
menggantikan Athan), telah didakwa Tim Jaksa dan diancam 20 tahun penjara dan denda
sebesar-besarnya Rp 1 miliar.
Kelima mantan pejabat Bea Cukai itu dituduh terlibat impor beras 60.000 ton yang dilakukan
Induk Koperasi Unit Desa (Inkud), dan untuk merealisasi impor tersebut menggandeng PT
Hexatama Finindo sebagai pendana.
Yang menarik ternyata Direktur Inkud, Nurdin Halid yang juga kader Golkar dan menjadi
anggota DPR, dan Direktur PT Hexatama, Gordianus Setya Lelono (saudara kandung Setya
Novanto, bendahara Golkar) akhirnya tidak tersentuh hukum.
Pemecahan persidangan menjadi dua juga mengundang pertanyaan, karena kasus yang
dihadapi sama. Dilihat dari tata cara prosedur kepabeanan, sejak beras masuk ke pelabuhan
Tanjung Priok hingga keluar dari gudang berikat, tidak ada keterkaitan dengan Sumantri
sebagai Kepala Kantor dan Athan Carina sebagai Kepala Seksi P2.
Pada April 2003, beras asal Vietnam merapat di Tanjung Priok dan ditimbun di gudang
kawasan berikat di bawah pengawasan Kantor Pelayanan Tanjung Priok I. Saat itu kepala
kantornya Sumantri, dan Kepala Seksi P2 Athan Carina.
Saat itu tidak ada larangan dari Departemen Perindustrian dan Perdagangan atas impor beras
yang dilakukan oleh Inkud dan PT Hexatama. Baru pada Mei 2003, Memperindag Rini
Soewandi mengeluarkan peraturan tata niaga impor beras.
Politisasi
Pada tengah malam buta Rini melakukan sidak dan menemukan tempat penimbunan gula
milik Inkud yang disegel Bea Cukai, dan membuka segelnya (tindakan yang melanggar UU
No 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan). Gula itu dinyatakan ilegal, dan Ketua Inkud Nurdin
Halid dan Muhammad Zein (pejabat Bea Cukai) diminta bertanggung jawab.
Ternyata di pengadilan, Nurdin Halid dibebaskan oleh hakim Pengadilan Jakarta Selatan.
Sedang Muhammad Zein yang secara "logika kepabeanan" tidak ada keterkaitan dengan
impor gula tersebut, terseret menjadi tersangka dan dicopot dari jabatannya di Bea Cukai.
Namun, belakangan Menteri Keuangan merehabilitasi namanya dan dia kembali aktif di Bea
Cukai.
Kasus "gula ilegal" ini, menurut hemat saya, hanya sebagai pertandingan antara partai merah
melawan kuning. Nuansa politik sangat kental, terkonsentrasi untuk memenangi Pemilu
2004, sehingga aparat birokrat yang berkuasa pada waktu itu, dipaksa atau terpaksa, dengan
segala cara menjegal atas indikasi sekecil apapun yang dapat menjadi kerikil bagi tim merah
di pertandingan final.
Kasus-kasus bernuansa politis pun mulai mencuat ke permukaan. Tidak kurang dari mantan
Menteri Agama dan Ketua BPPN dikandangkan, dan Laksamana Sukardi, mantan Menteri
BUMN, pusing tujuh keliling menghadapi pertanyaan dari aparat di gedung bundar. Para
birokrat yang ikut ombak politik waktu itu, kasusnya perlu diselesaikan secara hukum, bukan
politis.
Sebagai ilustrasi, beras 60.000 ton setara 3.000 truk berkapasitas 20 ton. Ini tidak memadai
ditimbun di pelabuhan Tanjung Priok. Karena volume barang masuk ke Tanjung Priok 1.000
- 1.500 kontener per hari.
Pada Oktober 2003 (beras masih di gudang berikat), Sumantri dimutasi ke Kantor Pusat Bea
Cukai, digantikan Wahyono Herwanto. Proses pengeluaran beras pada April 2004. Proses
pengeluaran beras diindikasikan ada kongkalingkong antara aparat Bea Cukai, Inkud dan PT
Hexatama Finindo, dan negara dirugikan Rp 25,4 miliar.
Kerugian itu karena diduga memalsukan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB) dan
Pemberitahuan Impor Barang (PIB) serta data pendukung lain saat Wahyono menjabat
Kepala Kantor Pelayanan. Dia memiliki otoritas tunggal kewenangan dan tanggung jawab
dalam lingkup tugas kepabeanan dan cukai waktu itu.
Anehnya, Sumantri yang sudah dimutasi dan tidak mempunyai kewenangan apapun dalam
proses pengeluaran beras tersebut, dikaitkan dan dijadikan tersangka. Mungkinkah itu bagian
dari riak-riak gelombang badai politik di 2004?
Sementara itu, Nurdin Halid dan Gordianus Setya Lelono sudah dijadikan tersangka. Pada
Agustus 2005, Nurdin divonis 2,5 tahun penjara oleh pengadilan Jakarta Utara karena
terbukti melanggar Tindak Pidana Kepabeanan. Anehnya, Gordianus yang telah menjadi
tersangka dan semestinya bertanggung jawab atas pemalsuan dokumen impor beras itu, tidak
pernah diajukan ke pengadilan dan masih bebas berkeliaran.
Mantan Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Siswono Yudohusodo
bahkan yakin PT Hexatama Finindo sebenarnya adalah otak di balik kasus ini.
Sesuai dengan kewenangan Bea Cukai yang diatur UU No 10 Tahun l995, atas kerugian
negara yang timbul akibat impor beras ini dilakukan penyitaan atas aset Inkud dan PT
Hexatama Finindo. Nilai yang disita sudah lebih dari Rp 30 miliar, berarti memadai untuk
menutupi kerugian negara akibat pemalsuan dokumen kepabeanan.
Berkaca pada bebasnya Neloe cs yang mirip dengan Sumantri cs, hakim akan melihat bahwa
kerugian negara telah tertalangi dari aset Inkud dan PT Hexatama Finindo dari sitaan Bea
Cukai. Beberapa kasus, seperti bebasnya Nurdin Halid dalam kasus gula, pembatalan Surat
Penghentian Penuntutan Perkara (SP3) Pak Harto yang dikeluarkan Jaksa Agung oleh hakim
Pengadilan Jakarta Selatan, merupakan pembelajaran untuk mengasah ketajaman dakwaan,
agar para jaksa lebih tajam dalam pokok perkara.
Dakwaan jaksa kepada para mantan pejabat Bea Cukai dalam kasus tindak pidana
kepabeanan, yakni Pasal 2 Ayat 1 jo Pasal 18 Ayat 1 huruf b, Ayat 3 UU No 31 Tahun l999
sebagaimana telah diubah menjadi UU No 20 Tahun 2001, menurut hemat saya, tidak sesuai
dengan azas hukum kita locus delax spesialis.
Untuk perkara tindak pidana kepabeanan telah diatur "spesial" pada UU No 10 tahun 1995
tentang Kepabeanan. Kita mendukung penuh niat pemerintah memberantas korupsi, tapi
jauhkan dari konspirasi politik, tutup Noor Johan Nuh.
(Dany Tejasukmana)