Anda di halaman 1dari 6

SUMBER REFERENSI TUGAS NEWS REVIEW Oleh: Anastasia Winayanti Keikutsertaan Indonesia dalam ACFTA Jumat, 9 April 2010

| 03:47 WIB Perjanjian Perdagangan Bebas Intra-ASEAN dalam skema Common Effective Preferential Tariff-ASEAN Free Trade Agreement (CEPT-AFTA) dimulai sejak tahun 1992. Kemudian dalam rangka pembentukan ASEAN Economic Community 2015, dijadikan ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA). Adapun Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA) ditandatangani pada 29 November 2004. Keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kesepakatan perjanjian perdagangan bebas tidak dapat dicegah ataupun dibatalkan walaupun sektor industri manufaktur mengaku belum cukup siap. Namun, lazimnya di dalam kesepakatan perjanjian perdagangan bebas terdapat klausul-klausul yang memberi kesempatan para pihak memodifikasi dan penundaan konsesi sementara dalam rangka memperbaiki posisi daya saingnya. Untuk pengamanan industri manufaktur dalam negeri menghadapi implementasi berbagai kesepakatan perjanjian perdagangan bebas, diperlukan langkah terkoordinasi lintas kementerian dan melibatkan perwakilan dunia usaha (Kadin dan asosiasi) yang mencerminkan Indonesia Incorporated. Khusus untuk kasus ACFTA dan CEPT-AFTA, Indonesia tetap sepakat dengan program penurunan tarif sesuai jadwal, di mana untuk kategori produk dalam Normal Track (NT1) ACFTA dan Inclusion List (IL) CEPT-AFTA untuk ASEAN, bea masuknya telah 0 persen per 1 Januari 2010. Namun, terdapat sejumlah pos tarif yang belum siap dihapuskan tarif bea masuknya. Penundaan sejumlah 228 pos tarif untuk ACFTA dimungkinkan didasarkan pada Artikel 6 perjanjian ACFTA dan sejumlah 227 pos tarif untuk CEPT-AFTA didasarkan pada Artikel 23 ATIGA. Pemerintah telah mengoordinasikan langkah-langkah secara komprehensif, holistik, dan tersistem meliputi pembicaraan ulang, pembentukan tim, dan strategi yang akan diambil. Dalam pembicaraan ulang, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perdagangan, telah menyampaikan surat kepada Sekjen ASEAN, yang isinya mengenai Indonesia akan tetap melaksanakan komitmen (FTA) sesuai jadwal, tetapi terdapat sektor industri tertentu yang menghadapi ancaman pelemahan daya saing. Dalam kerangka CEPT-AFTA, jumlah produk yang dijadwalkan tarifnya menjadi 0 persen tahun 2010 sebanyak 1.696 pos tarif sehingga total jumlah tarif yang sudah menjadi 0 persen adalah 8.654 pos tarif. Saat ini kerja sama CEPT-AFTA hanya untuk perdagangan barang, sedangkan untuk kerja sama investasi belum tercapai kesepakatan. Saat ini Indonesia sedang mengusulkan penundaan untuk 227 pos tarif HS (harmonisasi) ke negaranegara ASEAN melalui Sekretariat ASEAN. Sementara itu, CEPT-AFTA merupakan komponen utama menuju diberlakukannya ASEAN Economic Community (AEC) mulai 1 Januari 2015. Latar belakang perjanjian perdagangan bebas ASEAN dengan China (ACFTA) didasarkan pada perjanjian komprehensif kerja sama ekonomi ASEAN China tahun 2002. (gun) http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/04/09/03474252/Keikutsertaan.Indonesia.dalam.ACFTA

Satu Semester CAFTA, Pasar Elektronik Didominasi Impor SENIN, 05 JULI 2010 | 12:25 WIB TEMPO Interaktif, Jakarta - Ketua Gabungan Elektronik Indonesia (Gabel) Ali Soebroto Oentrayo memprediksi pasar elektronik di dalam negeri semakin didominasi oleh produk impor paska diberlakukannya perjanjian perdagangan bebas Asean-Cina (Cina-ASEAN Free Trade AgreementCAFTA). "Impor cenderung meningkat karena bea masuk nol dan tidak ada non-tariff barrier," katanya ketika dihubungi hari ini. Pasar elektronik di dalam negeri, lanjutnya, sebetulnya sudah didomonasi oleh pemain global meskipun produksi dilakukan di Indonesia. Hanya 30 persen dari produk elektronik di dalam negeri yang diproduksi oleh produsen lokal. Tahun lalu pemerintah menargetkan komposisi ini meningkat menjadi 75 persen pada lima tahun mendatang. "Tapi dengan AC-FTA saya rasa sulit. Bahkan produsen lokal bisa bertahan saja sudah sangat baik sekali," terangnya. Penjualan produk elektronik tahun ini diperkirakan naik 10 persen dibandingkan tahun lalu. Ali optimis peningkatan penjualan ini bisa dicapai seiring kondisi ekonomi yang semakin membaik. Namun ia tidak yakin peningkatan penjualan itu diikuti dengan peningkatan jumlah produksi di dalam negeri. Pasalnya tidak ada regulasi yang diterapkan pemerintah untuk membatasi arus barang impor setelah perjanjian perdagangan bebas dijalankan. Menurut Ali yang bakal tertekan adalah produsen lokal. Jika produk impor terus membanjir dengan harga yang lebih murah dikuatirkan produsen lokal akan beralih menjadi importir dengan pertimbangan lebih menguntungkan dibanding memproduksi sendiri. Sebaliknya jika lebih banyak hambatan non-tarif diterapkan, industri lokal akan tumbuh. Jika barrier rendah, produsen lebih memilih berdagang. Sebelumnya Gabel sudah meminta pemerintah agar menerapkan aturan pelabelan dan SNI (standar nasional Indonesia) untuk produk-produk elektronik impor. Aturan SNI dianggap paling efektif untuk membatasi impor. "Kalau SNI masih butuh waktu lama sekali. Label sekarang boleh ditempel padahal kalau aturannya harus dicetak tinggi sekali pengaruhnya untuk meningkatkan hambatan impor," katanya. KARTIKA CANDRA http://www.tempointeraktif.com/hg/bisnis/2010/07/05/brk,20100705-261000,id.html

11 Januari 2010 Perdagangan Bebas Tersingkir di Negeri Sendiri Perjanjian perdagangan bebas ASEAN-Cina yang berlaku sejak 1 Januari lalu mulai membuat cemas banyak pengusaha. Pengalaman buruk di sektor hortikultura agaknya masih menghantui para pebisnis di sektor lain. Sejak dibuka bebas pada 2007-dengan bea masuk nol persen-produk impor praktis menguasai pasar tradi-sional dan supermarket Indonesia. "Lihat saja di supermarket, buah-buahan yang dijual kira-kira 85 persen adalah impor," kata Ketua Harian Dewan Hortikultura Nasional Benny Kusbini. Arus produk hasil perkebunan ke Indonesia memang makin deras belakangan ini. Di salah satu gudang penyimpanan pangan segar di daerah Sunter, Jakarta Utara, misalnya, si empunya gudang menawarkan berbagai jenis buah impor. Ada pir, jeruk, kelengkeng, anggur tanpa biji. Sofian, sang tamu, mencari anggur. Tak berapa lama, peti kayu berukuran kira-kira 90 x 60 sentimeter berpindah tangan. "Lumayan, satu peti anggur berisi belasan kilogram harganya sekitar Rp 100 ribu," katanya. Gudang penyimpanan ini seperti pasar grosir, tapi hanya menjual buah impor. Pembeli mulai berdatangan pukul 9 pagi. Pada akhir pekan dan menjelang hari raya lebih ramai. Tak sampai pukul 12 siang barang sudah habis. Pembeli biasanya dari retail besar, pedagang kelas menengah dan kecil, pemilik warung, sampai konsumen biasa. Pangan dalam gudang penyimpanan itu langsung dibawa dari pelabuhan. Buah dan sayur biasanya diangkut kapal dengan kontainer khusus yang memiliki alat pendingin. Di pelabuhan, Bea-Cukai mengecek dokumen, dan Badan Karantina melakukan pengecekan fisik. Jika lulus pemeriksaan, pemilik kontainer akan membawanya ke gudang penyimpanan. Salah satunya gudang penyimpanan yang dikunjungi Sofian tadi. Meskipun perdagangan bebas dengan Cina telah dibuka pada 1 Januari lalu, arus barang dari negara itu belum begitu banyak. Di Pelabuhan Tanjung Priok, sepanjang 1 Januari sampai 6 Januari lalu, baru merapat satu kapal dari Cina. Kapal itu mengangkut 450 kontainer, berisi barang keras, antara lain tekstil. "Arus impor dari Cina biasa saja, memang sudah tinggi sejak dulu," kata Asisten Manajer Pelayanan Pelanggan dan Humas PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) Hambar Wiyadi. Di sektor pangan segar, impor dari Cina berupa jeruk, anggur, apel, ba-wang merah, bawang putih, dan wortel. Benny mengaku waswas terhadap -kualitas buah Cina. Ia pernah me-ngunjungi gudang penyimpanan pa-ngan di Negeri Tirai Bambu itu. "Ada gudang dengan pendingin yang bisa menyimpan apel supaya awet sampai lebih dari setahun," ujarnya. Menurut Benny, Badan Karantina mesti memastikan produk layak konsumsi dan tidak mengandung zat berbahaya. Menghadapi perdagangan bebas, Benny mengaku sektor hortikultura tidak siap. Daya kompetisi produk kurang. Produktivitas perkebunan di Indonesia masih rendah dan bersifat musiman. Infrastruktur pendukung minim, biaya transportasi tinggi. Petani harus membawa hasil panen ke kota melalui jalanan rusak, sehingga produk pertanian itu pun rusak karena terguncang-guncang di dalam kendaraan. Kredit perbankan juga sulit mengucur. Membatasi impor juga jelas tak mungkin. Sebab, produksi beberapa komoditas tertentu belum mampu memenuhi kebutuhan domestik. Bawang putih, misalnya, justru mengimpor dari Cina. Produksi domestik sangat rendah, tahun lalu sekitar 10 ribu ton. Itu semua, kata Benny, akibat pengembangan bidang pertanian yang tidak jelas. Padahal, apabila pemerintah serius menggarap, Indonesia punya peluang besar memanfaatkan persetujuan perdagangan 3

bebas ini untuk mengekspor buah-buahan. Buah tropis bisa menjadi unggulan ekspor, misalnya mangga, manggis, nanas, pisang, rambutan, dan salak. Sayang, produksinya masih rendah. Berdasarkan data Departemen Pertanian, pada 2007, produksi mangga 1,8 juta ton, rambutan 705 ribu ton, dan salak 805 ribu ton. "Mangga diminati di Cina. Jepang juga," kata Benny. Kini justru Malaysia dan Thailand yang sukses memanfaatkan potensi pasar ini dengan mengekspor mangga ke Cina dan Jepang. Padahal, kata dia, Malaysia mengembangkan mangga dari bibit mangga arum manis Indonesia. Tak hanya keok di pasar ekspor, pasar domestik pun menjadi sasaran empuk produk hortikultura dari Cina dan negara ASEAN, terutama Thailand, kendati pintu masuknya sudah dibatasi di pelabuhan tertentu. Beberapa buah impor menggempur produk lokal sejenis, sehingga petani mengeluh. Misalnya, jeruk impor dari Cina masuk ke wilayah penghasil jeruk lokal di Pontianak, mangga impor Thailand ke Probolinggo. Harga buah lokal pun jatuh. Nieke Indrietta Impor Buah (ton) http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/01/11/EB/mbm.20100111.EB132463.id.html 11 Januari 2010 Meriah di Pasar Murah PEREMPUAN itu turut berdesakan di antara pe-ngunjung sebuah gerai telepon seluler di Roxy Mas, Jakarta, Rabu pekan lalu. Dengan bayi dalam gendongannya, tangan Linda sibuk memencet papan ponsel berdesain qwerty. Ia sedang menimbang barang yang hendak dibeli. "Ditawarkan Rp 950 ribu," kata Linda menyebut harga telepon merek Titan seri T 988 itu. Untuk berburu telepon seluler tadi, warga Meruya, Kembangan, Jakarta Barat, itu ditemani dua saudaranya, Ani dan Wati. Menurut Ani, selain ada kerusakan, teleponnya tergolong jadul sehingga hendak diganti dengan model teranyar yang ada fitur untuk Facebook-an. Namun, karena kantongnya paspasan, pilihan pun jatuh pada merek yang harganya terjangkau. Tipe pembeli seperti Ani ternyata banyak. Lihat saja gerai Titan yang tak lebih dari enam meter persegi tadi. Pengunjungnya tak surut-surut sesorean itu. Titan, dengan berbagai variasinya, dijual mulai Rp 300an ribu hingga sejutaan rupiah. Produk asal Cina ini memang menjadi jawaban bagi mereka yang berkantong tipis. Menurut Awi, salah satu koordinator pameran Titan Mobile, perangkat komunikasi asal Negeri Panda itu masuk Indonesia sejak tiga tahun lalu. Seperti telepon Cina lain, penjualan Titan melejit pada pertengahan 2009 se-iring dengan meledaknya demam BlackBerry dengan desain qwerty. Gerai di Roxy itu mampu menjual hingga 150 unit sehari dan lebih dari 200 unit pada hari libur. Namun, kata Awi, ada faktor lain yang lebih menentukan, yaitu harga. Nah, tahun ini konsumen akan makin dimanja karena harga produk Cina bakal kian murah. Sejak awal 2010, kesepakatan perdagangan bebas negara-negara ASEAN dengan Cina (ASEAN-China Free Trade Agreement) diberlakukan. Produk Cina tak lagi dikenai bea masuk 10 persen. "Pasar makin ketat dan harga makin turun," kata Henri Bachri, Promotion Manager PT Sarindo Nusa Pratama, pemegang merek telepon seluler D-One. Ia yakin perdagangan bebas menambah gairah sektor telekomunikasi. Produk Cina membeludak bak air bah dan merajai telepon seluler kelas bawah. Sebenarnya, gejala ini terlihat sejak dua tahun lalu. Data Departemen Perdagangan memperlihatkan, pada 2008, telepon seluler merupakan produk Cina terbesar yang diimpor, senilai US$ 774 juta. Posisi itu tak bergeser pada tahun lalu, dengan nilai US$ 765 juta. 4

Tak hanya di Jakarta, telepon Cina menyebar ke seantero Nusantara. Pameran di sejumlah daerah menunjukkan hal itu. Misalnya pameran di Karebosi Link, Makassar, yang digelar akhir tahun lalu hingga malam tahun baru, yang laris manis. Di Surakarta, 15 merek dagang Cina telah bercokol di Matahari Communication Center. "Kami juga sampai ke Sorong, Jayapura, dan Manado," kata Henri. Menurut Djatmiko Wardoyo, Presiden Direktur Cipta Multi Usaha Perkasa, selain didapat konsumen, berkah tiada tara juga diperoleh para importir. "Margin itu yang akan menambah keuntungan," katanya. Karena itu, di tahun Macan ini Djatmiko berencana turut memasarkan produk Cina. Selama ini, Cipta Multi, yang bergerak di jaringan retail telekomunikasi di bawah Global Teleshop, merupakan distributor besar untuk merek Nokia, BlackBerry, dan iPhone. Menurut dia, langkah tersebut bakal ditempuh karena produk Cina telah menciptakan peluang baru di industri peranti keras telekomunikasi. Namun kelas yang tercipta tetap di level bawah. Sebab, satu-satunya kekuatan produk Cina adalah harga. Bila masuk ke produk di atas Rp 2 juta, ia yakin tak mampu bersaing. Yang tak kalah senang dengan kerja sama antarnegara itu adalah operator telepon. Dalam dua tahun terakhir, para penyedia jasa komunikasi menjalin bisnis yang mesra dengan vendor seluler melalui paketpaket bundling-nya. Misalnya, satu alasan operator Axis memilih kerja sama dengan produk Cina, kata anggota staf pemasaran Axis, Untung, adalah harganya yang murah. Walhasil, peta persaingan sangat mungkin akan bergeser ke bawah. Sebaliknya, pasar produk mahal bakal kian tipis. Muchamad Nafi http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/01/11/EB/mbm.20100111.EB132464.id.html#

CAFTA kependekan dari China ASEAN Free Trade Arjea, atau Kawasan Perdagangan Bebas TiongkokASEAN, C A F T A ini dimulai diberlakukan pada awal Januari 2010, yang mana arti dari kesepakatan ini, maka barang-barang antar negara-negara di China dan ASEAN akan saling bebas masuk dengan pembebasan tarif hingga nol%. Sejarah dan asal-usul gagasan dibentuknya CAFTA ini pertama sudah disepakati sejak pada November 2001 dalam KTT ASEAN ke-7 di Bandar Sri Begawan-Brunei Darussalam. Ketika itu ASEAN menyetujui pembentukan CAFTA dalam waktu 10 tahun, yang dirumuskan dalam ASEAN-China Framework Agreement on Economic Cooperation yang disahkan pada KTT ASEAN berikutnya di Phnom Penh, Kamboja, pada November 2002. Sejak itu berbagai ulasan bermunculan. Salah satunya dari Sheng Lijun, peneliti dari Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) di Singapura pada tahun 2003. Lijun menulis laporan studi China-ASEAN Free Trade Area: Origins, Development and strategic Motivations. Sheng Lijun menguraikan gagasan China mengenai CAFTA yang dapat ditelusuri kebelakang tahun 1995, ketika justru China untuk pertama kalinya mengusulkan suatu zona ekonomi khusus, yang berupa satu kawasan perdagangan bebas (Free Trade Area/FTA) dengan propinsi selatan China. Selanjutnya perjanjian dagang CAFTA ini ditandatangani menteri-menteri negara Asean dan China pada 2004. Usulan CAFTA ini dimulai dengan proposal yang ditawarkan Hu Jintao (PM CHINA) pada tahun 2001 dan ditandatangani dua tahun kemudian (2004) dalam Asean Summit ke-10 di Vientiane, Lao PDR. Tapi seperti biasa di Indonesia setiap kebijakan selalu menuai berbagai persepsi dan kontroversi publik, bahwa pemberlakuan Persetujuan Perdagangan Bebas China-ASEAN (CAFTA) menimbulkan kecemasan karena akan menggulung industri dalam negeri. PHK massal terbayang dan akhirnya, perekonomian nasional secara keseluruhan terpukul. Meskipun begitu, CAFTA akan tetap dijalankan dengan memberlakukan modifikasi tanpa melanggar ketentuan yang berlaku. Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan dan kalangan pengusaha terus bertemu untuk membuat cara-cara agar industri dalam negeri mampu menghadapi derasnya barang dan jasa buatan China. Keberatan lain dikatakan Sekjen Komando Buruh Revolusioner (Kobar) Syahganda Nainggolan mengatakan "Pemerintah Indonesia harus menolak CAFTA dengan menarik diri dari perjanjian dagang tersebut," oleh karena itu, ia mengharapkan, pemerintah harus meminta maaf kepada buruh atas ketidaksiapan Indonesia memasuki perdagangan CAFTA. "Pemerintah Indonesia harus melibatkan seluruh kekuatan Serikat Buruh dalam perundingan-perundingan yang terkait dengan perdagangan bebas," ujarnya. Sementara dari segi positifnya atau keuntungannya CAFTA ternyata akan memberi keuntungan bagi pebisnis jasa hotel dan pariwisata karena tentu hal itu akan meningkatkan wisata dan tingkat hunian hotel, sebagai dampak meningkatnya kunjungan orang dari luar negeri. SEO, free 7 network Sabtu, 23 Januari 2010 http://www.free-7.net/2010/01/cafta-china-asean-free-trade-area.html

Anda mungkin juga menyukai