Selain tarif MFN, WTO juga memberikan preferensi khusus bagi negara berkembang
yang dikenal sebagai Generalized System of Preferences (GSP). GSP mendorong negara maju
untuk memberikan preferensi tarif khusus bagi negara-negara berkembang meskipun
kenyataannya melanggar prinsip MFN. Indonesia saat ini banyak diuntungkan dari preferensi
tarif berdasarkan GSP WTO yang diberikan antara lain oleh Amerika Serikat, Australia, dan Uni
Eropa. WTO juga memberikan aturan main perdagangan bebas yang jelas dan transparan,
termasuk mekanisme penyelesaian sengketa, sehingga negara dapat lebih leluasa menjalankan
kegiatan perdagangan dengan hambatan yang minimal. Untuk itu, WTO jelas memberikan
manfaat besar bagi Indonesia sehingga tidak mengherankan apabila Produk Domestik Bruto
(PDB) Indonesia meningkat lebih dari 90 persen sejak bergabung dengan WTO pada tahun 2001.
Kita sering mendengar bahwa Pasar Bebas Mengharuskan Indonesia Membuka Pasar
Sebebas-bebasnya untuk Asing. Tentunya klaim ini jelas tidak berdasar. Tidak ada satu pun
negara yang melakukan liberalisasi atas seluruh sektor perdagangan dan investasi tanpa tarif dan
hambatan. Sebagai negara anggota WTO, Indonesia masih menerapkan tarif MFN rata-rata
sebesar 8,1 persen untuk perdagangan barang.1 Amerika Serikat yang merupakan negara
kapitalis sekalipun masih menerapkan tarif MFN sebesar 3,4 persen. Hambatan sektor jasa
bahkan lebih restriktif. Dalam indikator services trade restrictiveness index (STRI) yang
dikeluarkan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), Indonesia
termasuk negara yang paling restriktif menutup sektor jasa dengan rata-rata indeks pembatasan
sebesar 0,54.2 Sangat jauh dibandingkan dengan negara-negara OECD lainnya yang telah di
bawah 0,2. Hal yang sama juga terjadi di sektor penanaman modal asing. Indonesia masih
memberlakukan pembatasan kepemilikan asing pada banyak sektor penanaman modal
berdasarkan Daftar Negatif Investasi (DNI) dan peraturan-peraturan terkait lainnya.3 Dengan
demikian, pasar bebas masih memberikan fleksibilitas bagi negara secara selektif
meliberalisasikan/menutup sektor perdagangan dan investasi untuk asing.
Apakah Pasar Bebas Menyebabkan Defisit Transaksi Berjalan Indonesia? Sejak tahun
2012, Indonesia terus mengalami defisit transaksi berjalan atau yang disebut current account
deficit (CAD). Beberapa kalangan berpandangan bahwa defisit terjadi akibat Indonesia
menganut sistem pasar bebas. Ini tidak sepenuhnya benar. Secara umum, Indonesia menikmati
peningkatan surplus perdagangan barang untuk sektor non-migas. Namun demikian,
peningkatan tersebut tidak sebanding dengan tingginya impor migas yang didorong oleh
1
https://www.wto.org/english/res_e/statis_e/daily_update_e/tariff_profiles/ID_E.PDF
2
https://www1.compareyourcountry.org/service-trade-restrictions?cr=oecd&lg=en&page=0
3
https://www3.investindonesia.go.id/id/artikel-investasi/detail/daftar-negatif-investasi-di-indonesia
3
konsumsi bahan bakar minyak dalam negeri sehingga terjadi defisit.4 Tingginya konsumsi BBM
disebabkan oleh meningkatnya jumlah kendaraan bermotor dan juga kebijakan populis yang
tidak mau menaikkan harga BBM meskipun harga minyak dunia telah naik. Sedangkan kita
mengetahui bahwa pengenaan tarif produk migas pada dasarnya telah rendah dengan atau tanpa
perjanjian perdagangan bebas. Oleh karena itu, impor BBM terjadi bukan karena adanya
perdagangan bebas melainkan lonjakan permintaan konsumsi dalam negeri. Selain itu, defisit
juga disebabkan resesi global akibat pandemi Covid-19 sejak 2020 lalu. Untuk itu, solusi terbaik
adalah Indonesia perlu untuk meningkatkan ekspor antara lain melalui perluasan pasar dengan
membuat lebih banyak FTA dengan negara-negara dan tentunya dengan peningkatan daya saing
dan diversifikasi ekspor Indonesia.
Kita juga sering mendengar bahwa Liberalisasi Ekonomi Sama dengan Menjual
Indonesia kepada Asing dan ‘Aseng’. Menurut saya ini tidak benar. Kontribusi investasi terhadap
PDB Indonesia memang saat ini menjadi kedua terbesar setelah konsumsi yakni sebesar 32,6
persen (2016). Namun apabila ditelusuri lebih jauh, komposisi penanaman modal asing
langsung/foreign direct investment (FDI) dalam PDB Indonesia masih sangat rendah yakni
sebesar 16 persen. Dibandingkan rata-rata kontribusi FDI dalam PDB negara-negara ASEAN
yang sudah menyentuh 66%, penguasaan asing di dalam perekonomian Indonesia adalah
termasuk yang terendah. Meskipun demikian, hal tersebut telah memberikan sentimen negatif
masyarakat Indonesia terhadap investasi asing dan bahkan menjadi salah satu jargon kampanye
kelompok populis untuk menyerang kebijakan pemerintah. Sentimen tersebut sebenarnya dapat
dipahami jika melihat tipe FDI yang masuk ke Indonesia umumnya hanya mengincar pasar
domestik dan bersaing dengan kompetitor lokal (domestic market seeking investment) serta tidak
berorientasi ekspor melainkan banyak yang hanya mengeruk sumber daya alam Indonesia
(natural resources seeking investment). FDI tipe ini memang lebih banyak menimbulkan banyak
pro dan kontra ketimbang manfaat bagi masyarakat Indonesia. Namun bagaimana seandainya
jika perusahaan Apple memutuskan untuk memindahkan pabrik manufakturnya dari Cina ke
Indonesia? Membawa modal triliunan rupiah, menyerap banyak tenaga kerja Indonesia,
menumbuhkan geliat industri lokal melalui permintaan bahan baku serta meningkatkan ekspor
produk smartphone Apple yang ‘made in Indonesia’. Apakah masyarakat Indonesia masih
mengecam keberadaan FDI yang dikenal dengan nama efficiency seeking investment ini? Tentu
tidak! Negara-negara justru berlomba untuk mendapatkan FDI jenis ini dan bahkan bersedia
membayar melalui kebijakan insentif perpajakan. Sayangnya, FDI jenis ini tidak akan mau
4
https://ekonomi.bisnis.com/read/20210415/9/1381645/defisit-transaksi-berjalan-diramal-melebar-jadi-188-
persen-pdb-tahun-ini#:~:text=Defisit%20transaksi%20berjalan%20(current%20account,dari%20PDB%20di%
20tahun%20ini.&text=Pada%20kuartal%20I%2F2021%2C%20menurutnya,0%2C5%20persen%20dari%20PDB.
4
datang ke negara yang iklim perdagangan dan investasinya masih belum mendukung meskipun
insentifnya besar. Mengapa? Bayangkan jika pemilik Apple berencana membangun pabrik
manufaktur di Indonesia dan langsung diwajibkan untuk membeli bahan baku dari industri lokal
guna memenuhi aturan lokal content atau tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) sebesar 30
persen. Nyatanya, kewajiban TKDN dapat menyebabkan biaya produksi menjadi lebih mahal
karena harga bahan baku lokal lebih mahal daripada bahan baku impor. Akibatnya, harga produk
smartphone yang diproduksi di Indonesia menjadi lebih mahal dan tidak kompetitif untuk
diekspor karena harganya kalah bersaing dengan smartphone yang diproduksi di China.
Kemudian ketika ingin memasarkan produk smartphone, Apple membutuhkan akses pasar ke
seluruh dunia. Hal tersebut juga sulit didapat karena Indonesia belum memiliki banyak perjanjian
perdagangan bebas yang dapat mengurangi tarif bea masuk impor produk smartphone.
Akibatnya, perusahaan smartphone seperti Samsung lebih memilih Vietnam yang lebih agresif
memperluas akses pasar dengan membuat FTA dengan Uni Eropa dan CP-TPP.5 Indonesia
membutuhkan investasi asing untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi serta daya saing
industri. Namun untuk dapat menarik investasi jenis tersebut, Indonesia wajib untuk terlebih
dahulu membuka diri bagi investor asing, khususnya yang berorientasi ekspor, melalui
penghapusan berbagai hambatan perdagangan dan investasi.
Jika kita memandang bahwa kedatangan pasar global merupakan ancaman, bukan
peluang maka menurut penulis ini merupakan pandangan yang salah. Kita tidak akan maju dan
siap masuk ke pasaran internasional. Indonesia memiliki banyak kelebihan untuk dapat bersaing
dalam pasar bebas seperti kondisi politik yang stabil, kebijakan makroekonomi yang baik, sistem
demokrasi yang mendukung, bonus demografi serta tingginya tingkat kepercayaan negara-
negara terhadap pertumbuhan positif ekonomi Indonesia. Sebaliknya, sejarah juga membuktikan
bahwa kebijakan proteksionis justru berdampak buruk bagi perekonomian negara dan bahkan
menjadi penyebab terjadinya perang dunia. Apabila kebijakan ekonomi terus diperbaiki agar
dapat mendukung kegiatan perdagangan dan investasi yang lebih terbuka dan kompetitif, bukan
tidak mungkin kita akan menyalip Amerika Serikat dan India. Lalu mengapa masih takut
menghadapi pasar bebas?
Memang banyak dampak negatif yang ditimbulkan dari adanya perdagangan bebas. Bagi
produsen dalam negeri, Dengan adanya pasar bebas yang mempermudah para importir
5
https://www.economist.com/asia/2018/04/12/why-samsung-of-south-korea-is-the-biggest-firm-in-vietnam
5
membawa semakin banyak aneka ragam pilihan barang impor dari berbagai negara ke Indonesia
maka hal ini menyebabkan terdesaknya posisi para produsen-produsen barang lokal terutama
industri-industri kecil, UMKM, dan industri rumah tangga. Terdesaknya para produsen dalam
negeri disebabkan oleh berpindah seleranya masyarakat yang kemudian mengurangi kuantitas
produksi dan akhirnya berpengaruh pada pendapatan yang diperoleh. Efek lebih lanjutnya adalah
keterdesakan produsen dalam hal pendapatan yang pada akhirnya mungkin akan berisiko pada
kelangsungan usaha tersebut. Kenyataan bahwa dengan adanya pasar bebas maka banyak
produsen dalam negeri yang takut bersaing dengan produk luar dikarenakan ketakutan untuk
kalah dan mengalami kerugian. Hal ini menyebabkan tertekannya kreativitas anak bangsa dan
para wirausahawan untuk berinovasi dan menjual sesuatu di pasaran.
Dengan adanya pasar bebas maka secara perlahan budaya asing mengkulturasi
masyarakat Indonesia sehingga berpindah selera dari barang dalam negeri ke barang impor.
Perpindahan selera ini akan menyebabkan bangsa Indonesia terlena dan terus bergantung pada
produk impor dan beralih ke gaya kehidupan yang konsumtif. Hal ini menyebabkan penurunan
terhadap sektor ekonomi tertentu di Indonesia yang berakibat pada turunnya permintaan
konsumen yang selanjutnya beralih ke penurunan produksi barang lokal.
Selain itu, terdapat juga beberapa dampak negatif dari perdagangan bebas ini, yaitu : a.
Indonesia menjadi ketergantungan dengan negara lain. b. Adanya persaingan antar produk dalam
negeri dan produk luar negeri. c. Apabila kalah persaingan menyebabkan pertumbuhan ekonomi
yang menurun. d. Mendidik masyarakat awam untuk menjadi konsumtif, boros dan hidup
6
https://medium.com/@irawansyah2009/dampak-negatifperdagangan-bebas-internasional-bagi-
indonesia760ed41c540a
6
Kesimpulan
Menurut penulis, Indonesia saat ini siap menghadapi pasar bebas dan tidak perlu takut
menghadapi pasar bebas. Globalisasi yang mewarnai sistem internasional saat ini telah
menciptakan interaksi yang intensif antara Indonesia dan masyarakat internasional bukan hanya
antar pemerintah tetapi juga antar individu. Globalisasi di bidang perdagangan serta lahirnya
pasar bebas telah melahirkan pula pola hubungan yang lintas batas yang mengharuskan adanya
pemahaman terhadap hukum perjanjian internasional. Kawasan perdagangan bebas dan
pelabuhan bebas dapat mendorong kegiatan lalu lintas perdagangan internasional yang
mendatangkan devisa bagi negara serta dapat memberi pengaruh dan manfaat besar bagi
kesejahteraan masyarakat Indonesia. Namun di sisi lain Pemerintah harus menjaga regulasi agar
UMKM maupun sektor unggulan Indonesia tidak tergerus produk asing.