Anda di halaman 1dari 6

Big Case 3:

Indonesian Flour Monopoly (before)-Oligopoly


(now)

Pangsa Terigu Impor Naik, Produsen Resah


Besar Kecil Normal
TEMPO Interaktif, Jakarta - Peningkatan pangsa pasar terigu impor membuat
produsen terigu lokal resah. Meski selama tahun lalu industri terigu nasional
tumbuh sampai 10,5 persen, namun pertumbuhan ini lebih banyak dinikmati
oleh terigu impor."Pertumbuhan terigu impor sampai 18,8 persen," kata
Direktur Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) Ratna Sari
Loppies di Jakarta, Jumat (5/3). Dengan pertumbuhan pangsa pasar terigu
impor dalam negeri menjadi 17,37 persen, naik dari 2009 yang tercatat 16,24
persen.Volume penyerapan terigu nasional selama 2010 lebih dari 4,3 juta
metrik ton. Sedangkan terigu impor sebesar 762.515 metrik ton. Peningkatan
pangsa impor, menurut Ratna, dipicu oleh buruknya perlindungan pemerintah
untuk industri di dalam negeri.Ratna mengaitkan persoalan ini dengan belum
ditetapkannya bea masuk anti dumping terhadap impor dari Turki. Komisi anti
dumping Indonesia (KADI) memang menemukan indikasi dumping yang
dilakukan Turki. Akibatnya harga terigu yang di jual di Indonesia lebih murah
dibanding terigu lokal.Harga terigu nasional rata-rata di kisaran Rp 117.700-
Rp 156.200 setiap 25 kilogram. Sedangkan harga terigu Turki di pasar
domestik Rp 106.000-Rp 113.000 per 25 kilogram (satu sak), atau Rp 4.200-
Rp 4.400 tiap kilogram. Impor terigu Turki juga naik dari 382.145 metrik ton
pada 2009 menjadi 475.000 metrik ton, atau setara dengan 62,20 total impor
terigu.Pemerintah diharap kembali menerapkan kebijakan yang disebut smart
barrier. Beberapa kebijakan itu sudah dilaksanakan seperti penerapan
standar nasional Indonesia (SNI) wajib untuk terigu impor, pengenaan bea
masuk 5 persen dan BMAD. Importir terigu asal India, Cina, dan Uni Emirat
Arab sejak 2006 dikenai bea masuk antidumping.Kebijakan tersebut terbukti
memicu pertumbuhan industri terigu. "Pada 2004 hanya ada empat produsen
terigu di dalam negeri," kata Ratna. Tapi saat ini telah berkembang menjadi
14 industri dan akan bertambah lagi tujuh industri yang akan beroperasi.Tak
hanya industri terigu yang tumbuh, namun industri turunannya seperti biskuit
dan mi instan. Hal ini juga memicu peningkatan ekspor untuk produk turunan
terigu karena pasokan bahan baku dalam negeri mencukupi. Selain itu
kebijakan ini juga memicu industri melakukan ekspansi ke sektor industri
turunan.

MONOPOLI BOGASARI HARUS DIPANGKAS (IMPOR


TERIGU)

Mengacu data Asosiasi Pengusaha Tepung Terigu Indonesia


(Aptindo), Bogasari menguasai sekitar 60% pasar tepung terigu.
Bahkan, penguasaannya mencapai 75% jika dikonsolidasikan
dengan perusahaan afiliasinya. Ini menunjukkan pasar tepung
terigu praktis dimonopoli karena pemain utama menguasai hampir
80% pangsa pasar.

Sebelumnya,KPPU menilai rekomendasi Komite Anti Dumping


Indonesia (KADI) tentang pengenaan bea masuk anti dumping
(BMAD) untuk impor tepung terigu dari Turki membuat posisi
pemain utama lokal, Bogasari, makin dominan.

Ketua Tim Monitoring KPPU khusus monopoli tepung terigu Didik


Akhmadi mengungkapkan KPPU menengarai pelaku dominan pasar
terigu mengembangkan merek dagang yang dikhususkan untuk
berhadapan dengan produk impor. Lalu, setelah produk impor bisa
diatasi, Bogasari kembali membesarkan produknya dengan menjual
harga sekitar 20-25% lebih tinggi.

''Ada indikasi kesana, apakah itu karena biaya yang tidak efisien
atau karena mereka menetapkan harga yang tinggi.''ungkap Didik.

SELASA, 02 MARET 2010

DPR Minta KPPU Selidiki Monopoli Bogasari


Rabu, 17 Februari 2010
Impor Gandum

JAKARTA – DPR meminta Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)


menyelidiki penguasaan pasar impor gandum dan terigu oleh kelompok
usaha Bogasari untuk memastikan terjadinya praktik monopoli yang
berpotensi merugikan konsumen.

Dewan juga menilai pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) untuk impor
terigu dari Turki justru membuat harga domestik tetap tinggi.

Pejabat sementara (Pjs) Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin)
Indonesia Adi Putra Darmawan Tahir menyatakan KPPU harus mengambil
sikap resmi tentang tudingan penguasaan gandum dan terigu oleh Bogasari.

“Kadin meminta KPPU menyelidiki penguasaan pasar terigu secara resmi,”


papar Adi, yang juga anggota Komisi VI DPR, saat rapat kerja dengan Komisi
Anti Dumping Indonesia (KADI) di Jakarta, Selasa (16/2). Ia menegaskan
KPPU berhak menyelidiki soal penguasaan pasar tersebut dan Kadin serta
Komisi VI menunggu hasilnya.

Nanti di Komisi VI akan kami pertanyakan soal itu,” kata Adi. Menurut
anggota Komisi VI, Hendrawan Supratikno, data Asosiasi Pengusaha Tepung
Terigu Indonesia (Aptindo) menyebutkan Bogasari menguasai 60 persen
pasar tepung terigu.

Bahkan, ia menduga penguasaannya mencapai 75 persen jika


dikonsolidasikan dengan perusahaan afi liasinya. Berdasarkan sinyalemen
dari KPPU, kata Hendrawan, industri tepung terigu praktis dimonopoli
karena pemain utama menguasai hampir 80 persen pangsa pasar.

“Kita percaya monopoli adalah musuh utama, ada social welfare


(kesejahteraan sosial) yang hilang. Monopoli cenderung memproduksi dalam
jumlah yang sedikit dari yang dibutuhkan,” paparnya.

Komisi VI DPR, kemarin, bertemu dengan KADI untuk membahas


rekomendasi KADI tentang BMAD untuk impor gandum dari Turki.

Pasalnya, Turki dituding telah melakukan praktik dumping. Hendrawan


menilai rekomendasi BMAD itu justru berpotensi me rugikan konsumen
dalam negeri.

“Kalau pasar itu berbentuk per saingan maka harga akan cenderung murah
dan menguntungkan konsumen. Kalau monopoli, hanya mengalihkan surplus
konsumen menjadi surplus produsen.

Kami melihat harga terigu dari Turki lebih murah, kenapa tidak,” ungkap
dia. Hendrawan menambahkan pada saat yang sama ada impor tepung terigu
dari Australia, Sri Lanka, dan Selandia Baru tetapi me ngapa Turki yang
dikenakan tuduhan dumping.

“Kita semakin hari semakin bergantung kepada tepung terigu. Kalau harga
tepung terigu lebih rendah seharusnya mas yarakat diuntungkan,” jelasnya.

Hal senada diungkapkan anggota Komisi VI dari Fraksi PAN, Nasril Bahar. Ia
mengungkapkan indikasi lain dalam penyelesaian masalah terigu dari Turki.

“Ada keganjilan dalam rekomendasi KADI. Keberpihakan ke industri lokal


perlu tetapi perlu juga transparansi,” papar dia.

Nasril menjelaskan terjadi disparitas harga yang cukup tinggi antara tepung
terigu dari Turki dan importir dominan. “Konsumen membeli lebih mahal
dari Bogasari. Untuk itu perlu komitmen agar konsumen mendapat harga
yang layak,” jelas Nasril.

Keberpihakan kepada petani susu sapi lokal juga diperlukan berkaitan


dengan implementasi kesepakatan perdagangan bebas ASEANChina atau
ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA).

Produksi susu lokal dari Vietnam dan China ternyata tidak dikenai Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) sehingga harganya bisa bersaing dengan susu petani
Indonesia yang dikenai pajak. Ini sangat mengkhawatirkan karena ACFTA
bakal mendorong impor susu dari kedua negara itu.
Senin, 11/06/2012 09:53 WIB
Jejak Kemesraan Om Liem dan Pak Harto
Jakarta Soedono Salim atau Liem Sioe Liong alias Om Liem dan Soeharto
dikenal mempunyai kedekatan yang spesial. Keakraban yang bermula saat
keduanya masih berada di Semarang, Jawa Tengah, pada era 1950-an ini
berhasil dibina hingga berakhirnya era Orde Baru sekitar 1998.

Salah satu bukti kedekatan antara Om Liem dan Soeharto adalah berdirinya
sebuah perusahaan pengolahan tepung terigu, PT Bogasari. Om Liem
membangun perusahaan terigu terbesar di Indonesia bersama Sudwikatmono
(sepupu Pak Harto), Ibrahim Risjad, dan Djuhar Sutanto.

Hal ini dijabarkan dalam buku 'How Chinese are Entrepreneurial Strategies of
Ethnic Chinese Business Groups in Southeast Asia? A Multifaceted Analysis
of the Salim Group of Indonesia' karya Marleen Dieleman tahun 2007.

Dalam buku ini Marleen menyebutkan, PT Bogasari menjadi yang terbesar,


karena perusahaan itu mendapatkan hak monopoli untuk melakukan distribusi
terigu dari PT Bulog. Hak monopoli itu membuat keuntungan PT Bogasari
melonjak tajam, namun fasilitas yang diberikan Soeharto tidak gratis.

"26% Keuntungan perusahaan harus diserahkan kepada 'badan amal'. Badan


amal yang dimaksud adalah Harapan Kita dan Dharma Putra," tulis Dieleman.

Selain PT Bogasari, perusahaan lain yang menunjukkan dekatnya hubungan


antara Liem dan Pak Harto dapat dilihat, ketika perusahan lain milik Liem, PT
Waringin dan PT Mega mendapat kemudahan. Melalui dua perusahaan ini,
Om Liem yang mempunyai keahlian bisnis ditambah koneksi politik yang
cukup kuat, berhasil mendapatkan hak monopoli impor cengkeh.

"Sempat disebut-sebut izin dan fasilitas kredit yang diberikan ini semata-mata
karena kedekatan Liem Sioe Liong dengan Soeharto. Monopoli bisnis ini
membuat perusahaan Liem membukukan pendapatan mencapai US$340.000
antara tahun 1968-1970," tulisnya.

Keberhasilan Liem dalam bisnisnya selain karena kehandalan bisnisnya juga


karena kemampuannya untuk memlih partner bisnis. Seperti mengajak
Sudwikatmono dalam membangun PT Bogasari, ia juga sempat menjadikan
anak-anak Pak Harto, seperti Sigit Hardjojudanto, dan Siti Hardjianti Hastuti
Rukmana sebagai partner bisnisnya.

"Dia mempunyai insting yang baik dalam memilih rekan bisnis. Seperti
memilih Sudwikatmono, ia seorang pribumi, sepupunya Soeharto, ini tentu
sangat berpengaruh terhadap bisnisnya," ungkap Dieleman.

Jaringan politik-ekonomi di ring I Soeharto inilah yang kemudian melahirkan


istilah KKN, korupsi, kolusi dan nepotisme. Istilah 'kroni' menjadi populer.

Masa keemasan Soeharto-Liem berakhir saat terjadi kerusuhan massa pada


Mei 1998. Rumah Om Liem di Jl Gunung Sahari dibakar massa yang marah
sembari meneriakinya sebagai kaki tangan Soeharto. Soeharto kemudian
turun pada 21 Mei.

Kemarahan massa mendorong Om Liem pergi ke Singapura. "Bila rumah


Anda telah dibakar, selanjutnya mereka akan mencoba mendapatkan
orangnya," kata anak Om Liem, Anthony Salim, dalam wawancara yang
langka di Singapura, seperti diberitakan New York Times edisi 16 Mei 1999.

"Anda tentunya tidak ingin tertangkap di tengah (kerusuhan) seperti itu,"


imbuhnya.

Di Singapura, Om Liem hidup damai. Kebangkitan bisnisnya di Indonesia


ditangani oleh Anthony Salim dan kerabat lainnya.
Pada tahun 2005, Om Liem masuk daftar orang terkaya nomor 23 di Asia
Tenggara dengan kekayaan 750 juta dolar AS. Media Singapura Asia One
melaporkan, pada tahun itu juga dia menggelar pesta mewah 2 hari untuk
merayakan ulang tahun ke-90. Pesta itu diikuti 2.000 tamu undangan
berlangsung di Hotel Shangri-La Singapura. Diperkirakan pesta itu menelan
ongkos sekitar 2 juta dolar.

Dominasi Bogasari Turun


JAKARTA, KOMPAS.com - Dominasi Bogasari atas pasar tepung terigu di
Indonesia terus menurun dari 90,08 persen pada 1994 menjadi 57 persen
pada 2008 menyusul munculnya industri tepung terigu baru di dalam negeri.
"Liberalisasi perdagangan telah menurunkan tingkat konsentrasi pasar
industri tepung terigu secara cukup signifikan," kata Peneliti senior LPEM-UI
Prof Dr Ine Minara Ruki di Jakarta, Jumat (14/5/2010). Ia menjelaskan
berdasarkan penelitiannya, pangsa pasar perusahaan terbesar di industri
tepung terigu yaitu Bogasari terus mengalami penurunan dari 90,08 pada
1994 menjadi 71,70 persen pada 2002. Perhitungan itu, kata dia, berdasarkan
data nilai total "output" industri dan nilai impor.  "Bahkan menurut Aptindo
(Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia) pada 2008 pangsa pasar
Bogasari sudah sekitar 57 persen," ujarnya.      Ine menilai kebijakan
deregulasi ekonomi dan liberalisasi pedagangan gandum maupun tepung
terigu pada 1998 mengubah struktur industri tepung terigu dari monopoli
menjadi oligopoli asimetris dengan perusahaan dominan. Bogasari, kata dia,
dikelilingi para pesaing kecil yang dalam teori oligopoli disebut "fringe
competitors." Berdasarkan data Aptindo, kata Ine, sepuluh tahun kemudian, 
jumlah pemain yang beroperasi di industri bertambah menjadi 14 perusahaan
dari sebelumnya empat perusahaan.  Bahkan, lanjut dia, jumlah industri
tepung terigu akan bertambah lagi dengan masuknya tiga perusahaan baru.
     "Secara teori, pada industri oligopolistik asimetris, perusahaan dominan
cenderung menjadi penentu harga dan  para pesaing kecil menjadi pengikut,"
katanya. Kondisi itu bisa menyebabkan para pesaing kecil yang rata-rata
biaya produksinya lebih tinggi dibandingkan perusahaan dominan,   sukar
untuk bertahan di industri tersbut. Sebaliknya bila perusahaan dominan
menerapkan harga yang lebih tinggi, kata dia, perusahaan itu akan
menghadapi "the prospect of entry," juga ada risiko pembelinya beralih ke
para pesaing kecilnya tersebut.     "Dalam menghadapi penetrasi terigu impor,
Bogasari tidak memilih strategi menekan harga. Bukti empirik LPEM pada
2003 menunjukkan bahwa pada harga yang relatif lebih tinggi dari harga
tepung terigu impor berkualitas lebih rendah, para pesaing di industri tetap
bertahan, dan perusahaan baru masuk ke industri, serta penetrasi impor
terigu semakin luas. Fenomena ini, menunjukkan validasi teori di atas,"
katanya.

1. This case is related to free market


2. What were/are the characteristics of Indonesian flour
market before and now (at the time of this case)?
3. Why there was monopoly in Indonesian flour
market?
4. What were the impacts of flour monopoly at that
time? Does the monopoly have carried over impact
up to now (at the time of the case and until today)?
a. As now Bogasari is not a monopolist anymore, is
the situation now better by having oligopolistic
flour market?
5. What stakeholders involved in this case? Which one
has to bear the cost most when there was monopoly?
Which one should be the most responsible
stakeholder when there was monopoly?
6. Evaluate whether the decision to make Bogasari as a
monopolist was ethical or not based on utilitarian,
rights, and justice perspectives.
7. What would you recommend to make the situation
better at that time (monopoly) and now (oligopoly)?
8. Do you have similar situation from the same industry
in your home country? If yes, please explain. If not,
try to find similar situation (industry) where
oligopoly/monopoly happens.

Anda mungkin juga menyukai