Anda di halaman 1dari 31

Kasus Lapindo: 12

Tahun Semburan
Lumpur Ancam
Kesehatan Warga
30/05/2018
 Petrus Riski

Aksi aktivis Walhi Jawa Timur memperingati 12 Lumpur Lapindo di tanggul


lumpur Lapindo, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, 29 Mei 2018. (Foto:
VOA/Petrus Riski)
Tepat 12 tahun lalu, 29 Mei 2018, luapan lumpur Lapindo
menggenangi pemukiman. Ribuan warga terpaksa
meninggalkan rumah dan desa, kehilangan pekerjaan
sebagai petani dan buruh pabrik. Selain belum jelas kapan
lumpur akan berhenti, warga menghadapi risiko kesehatan
akibat zat berbahaya dari asap semburan lumpur.
Dua spanduk besar bertuliskan ‘Apa Yang Terjadi Pada Tubuh Kami?’
dan ‘Dimana Tanggung Jawab Negara?’ membentang di atas tanggul
lumpur Lapindo di titik 25 dekat pusat semburan lumpur.

Aktivis lingkungan dari Walhi Jawa Timur dan sejumlah warga


penyintas lumpur Lapindo, menggelar aksi peringatan 12 Tahun
Tragedi Lumpur Lapindo. Selain doa bersama, warga penyintas juga
menunjukkan foto rontgen dan hasil pemeriksaan kesehatan, sebagai
bukti adanya persoalan serius yang harus segera ditangani oleh
pemerintah.

Penelitian yang dilakukan Walhi Jawa Timur pada 2008-2016


menyebutkan adanya kandungan logam berat dan PAH (polycyclic
Aromatic Hydrocarbon) hingga 2.000 kali di atas ambang batas
normal, di sekitar semburan lumpur Lapindo.

Menurut Program Lingkungan PBB (UNEP), PAH adalah senyawa


organik berbahaya yang bersifat karsinogen, yang dapat memicu
kanker. Logam berat juga mengkontaminasi sumur warga di desa-
desa di Kecamatan Tanggulangin dan Desa Glagaharum di
Kecamatan Porong.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi)


Jawa Timur, Rere Christanto, mengatakan kandungan logam berat
dan hidrokarbon yang sangat tinggi itu dapat dipastikan berbahaya
bagi kesehatan manusia yang tinggal di sekitar tanggul lumpur
Lapindo.

Menurut Rere, hasil pemeriksaan medi menunjukkan 80 persen


warga mengalami abnormalitas kondisi tubuh, antara lain tekanan
darah yang tinggi, level gula darah yang tinggi, maupun kekakuan
pada jantung dan paru-paru.

“Nah, kalau kemudian dia disambungkan dengan level logam berat,


dari tiga jenis yang kita temukan, dua logam berat dan satu
hidrokarbon, timbal, cadmium dan PAH. Kalau kemudian dilihat
memang memberikan dampak yang sejalan dengan apa yang
dirasakan warga,” papar Rere.

“Cadmium dan timbal misalnya, dia mengganggu darah, ginjal dan


jantung. Kalau cadmium dia mengganggu sampai ke level paru-paru.
Nah, tiga jenis penyakit yang juga muncul di warga adalah tingginya
gula darah, kemudian kesulitan bernapas, dan serangan jantung,”
ujarnya.

Warga penyintas lumpur Lapindo, Rokhim, mengungkapkan saat


masih tinggal di sekitar tanggul lumpur, dirinya bersama keluarga
sering menghirup bau menyengat dan kurang sedap yang terbawa
oleh angin. Bahkan saat sudah pindah agak jauh dari pusat
semburan, bau tidak sedap masih sesekali tercium saat angin
berhembus kencang.

“Teman-teman yang ada di wilayah sekitar ini, jadi mulai dari timur
itu Desa Glagaharum, Sentul dan sekitarnya, ini setiap hari selalu
menghirup udara yang tidak sehat, dan ini tidak ada penanganan
yang, dari pemerintah tidak ada sama sekali,” kata Rokhim.

“Dulu saya selalu pusing-pusing, makanya saya pindah ini


menghindari dari hal-hal soal udara yang tidak sehat. Kadang-
kadang dua minggu itu mesti ada (bau), kalau udara ke Selatan itu
mesti bau di sana.”

Kondisi lingkungan yang tercemar dapat mempengaruhi kesehatan


warga. Berdasarkan pemeriksaan kesehatan yang telah dilakukan
sebelumnya terhadap 20 orang penyintas secara acak, ditemukan 10
orang atau 50 persen mengalami kelainan pada pemeriksaan darah
dan urin. Sedangkan 4 orang penyintas atau 20 persen mengalami
kelainan pada pemeriksaan toraks.

Temuan ini menguatkan penelitian sebelumnya oleh Balai Besar


Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Menular
(BTKL PPM) pada 2010, yaitu 81 persen sampel warga di Desa
Besuki, Glagaharum, Gempolsari, Kali Tengah, mengalami gangguan
restriksi paru-paru.

Rokhim serta warga penyintas yang lain berharap pemerintah segera


mengambil langkah penanganan dengan melakukan pemeriksaan
kesehatan lengkap terhadap warga yang tinggal di sekeliling tanggul
lumpur, yang tidak masuk dalam peta area terdampak yang
dikeluarkan pemerintah.

“Mestinya bagaimana warga itu satu minggu sekali atau satu bulan
sekali, itu bisa diperiksa, di check up, bagaimana kondisi kesehatan
di sekitar asap semburan lumpur Lapindo. Warga itu tidak tahu di
dalam tubuhnya itu seperti apa sekarang, dari sisi dia bernapas
menghirup udara yang sehat itu tiap hari. Bayangkan kalau ini satu
tahun, dua tahun, ini dua belas tahun. Itu belum ada penanganan
sama sekali,” kata Rokhim.

Warga berdoa di dekat pusat semburan di titik 25. Sebelum lumpur


menyembur 12 tahun lalu, lokasi tersebut adalah desa tempat tinggal warga di
Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, 29 Mei 2018. (Foto: VOA/Petrus
Riski).
Rere Christanto mendesak pemerintah melakukan kajian dan
pemetaan tingkat kerawanan bencana, serta dampak pencemaran
udara dan air dari semburan lumpur Lapindo yang telah menyembur
selama 12 tahun. Jaminan kesehatan penuh harus diberikan negara
kepada warga yang tidak terdampak langsung semburan lumpur, tapi
ikut merasakan imbas dari semburan berupa pencemaran air dan
udara yang dipakai untuk bernafas.

“Membuat peta kerawanan bencana, seberapa jauh wilayah racun ini


kemudian menyebar dari semburan lumpur Lapindo. Kedua,
memastikan adanya jaminan kesehatan kepada wilayah yang
terdampak itu, karena apa, karena dia terimbas langsung. Kalau
wilayahnya rusak, lingkungannya rusak akibat logam berat dan PAH,
maka kesehatannya akan menurun. Maka harus dibuat suatu
mekanisme untuk memberikan jaminan kesehatan, sehingga ketika
kemudian mereka sakit akibat dari racun-racun yang mereka hirup
dari semburan lumpur Lapindo, mereka tidak harus keluar uang lagi
untuk membiayai rumah sakit dan sebagainya,” kata Rere.

Selain persoalan kesehatan, masalah pemulihan ekonomi dan sosial


budaya perlu mendapat perhatian pemerintah. Harwati, warga
penyintas lumpur Lapindo mendesak pemerintah tidak hanya
mengurusi masalah ganti rugi tanah dan bangunan warga terdampak,
tapi juga persoalan ekonomi dan sosial warga yang berubah pasca
semburan lumpur Lapindo.

“Soal pemulihan ekonomi, dari dampak sosial, karena dampak sosial


itu sebenarnya sangat lebar sekali kalau kita tarik, sampai perceraian
pun di sini sangat besar, dikarenakan dari hasil uang ganti rugi itu,
belum semuanya tuntas,” kata Harwati.

Warga penyintas meminta Presiden Joko Widodo memperhatikan


persoalan sosial, ekonomi dan kesehatan masyarakat yang masih
tinggal di sekitar tanggul lumpur. Sejak bertemu warga penyintas di
atas tanggul saat kampanye pada 2014 lalu, Joko Widodo dinilai baru
dapat menyelesaikan persoalan pembayaran ganti rugi material yang
dialami warga, belum memberi ganti rugi dan pemulihan kondisi
masyarakat secara non-material.
Kasus Lumpur Lapindo Sisakan 'Seribu' Masalah
SABTU, 03 JUNI 2017, 09:07 WIB

Foto/Net

RMOL. Sudah 11 tahun berlalu sejak semburan pertama lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa
Timur. Pemenuhan hak-hak korban masih belum tuntas.

BE RITA TE RK AIT

 Hentikan Eksploitasi Kawasan Danau Toba

 Rumah Reyot Tanpa Ada Toilet, Bekas Kandang Ayam Jadi Dapur

 SMS Penipuan Tetap Saja Meneror Ponsel Warga

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur, Rere Christanto
menuturkan, dalam kasus lumpur Lapindo yang masih luput dari publik adalah fakta bahwa
penggantian kerugian yang diderita korban telah direduksi menjadi sebatas ‘jual-beli’ tanah dan
bangunan antara warga-korban dengan Lapindo atau pemerintah.

"Penggunaan mekanisme 'jual-beli' tanah dan bangunan sebagai model 'ganti-rugi' bagi para korban
justru memunculkan persoalan sosial baru karena pemerintah hanya memperhitungkan kerugian
materiil dan mengabaikan hilangnya hak-hak korban yang lain pasca keluarnya semburan lumpur
panas Lapindo," katanya.
Menurut Rere, salah satu persoalan yang dilupakan adalah fakta degradasi kondisi lingkungan di
wilayah semburan lumpur Lapindo. Penelitian WALHI pada tahun 2008 menyimpulkan, tanah dan air
di area sekitar lumpur panas mengandung Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) hingga dua ribu kali
di atas ambang batas normal. Padahal PAH adalah senyawa organik yang berbahaya dan bersifat
karsiogenik atau memicu kanker.

Pada 2016, penelitian logam berat yang dilakukan WALHI Jawa Timur menunjukkan level Timbal (Pb)
dan Cadmium (Cd) pada air sungai Porong mencapai angka 10 kali diatas ambang batas yang
diperbolehkan di lingkungan.

"Bukan hanya di air saja, level tinggi logam berat juga ditemukan dalam tubuh biota di sungai Porong
yang dijadikan buangan untuk semburan lumpur Lapindo," katanya.

Tak hanya itu, sejumlah penelitian menemukan adanya kandungan logam berat Timbal dan Cadmium
di atas ambang batas yang diperbolehkan dalam tubuh ikan di tambak dan sungai Porong.

Besaran angka kontaminasi logam berat dalam tubuh ikan ini sangat mengkhawatirkan, mengingat
bahwa ikan-ikan dari wilayah Porong dan sekitarnya masih dikonsumsi oleh warga dengan bebas.

Selain soal lingkungan dan kesehatan, problem lainnya yang membelit korban lumpur Lapindo adalah
persoalan dampak sosial.
"Jika kita tilik bencana lumpur Lapindo, maka sulit ditemukan angka pasti berapa orang yang menjadi
korban. Padahal dalam kejadian bencana, keberadaan korban dengan segala atributnya seperti
jumlah korban, merupakan hal yang normal dilaporkan. Namun hal ini tidak pernah berlaku pada
kasus Lapindo," sebut Rere.

Sejak awal kasus lumpur Lapindo, tidak pernah ada jumlah pasti yang dikeluarkan oleh otoritas
setempat terkait berapa jumlah korban. WALHI Jatim, lanjut Rere, menuntut pemerintah berani
menggunakan kekuasaannya untuk memaksa Lapindo mengembalikan hak-hak rakyat yang telah
terenggut pasca melubernya lumpur panas.

Sementara itu, berdasarkan Audit HAM atas Tanggung Jawab Negara dan Perusahaan dalam Upaya
Pemulihan Korban Bencana Lumpur Lapindo 2006-2017 yang dilakukan Komnas HAM, pemerintah
gagal menyelesaikan kasus lumpur Lapindo. Terlebih dengan dibubarkannya Badan Penanggulangan
Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 21 tahun 2017.

Komisioner Komnas HAM, M Nurkhoiron mengatakan, pasca dibubarkannya BPLS, pihaknya


merekomendasikan pemerintah mengubah leading sector penanganan bencana lumpur Lapindo dari
urusan infrastruktur menjadi urusan geologi dan drilling petroleum.

BACA J U G A

 Cuma Pegang Kartu BPJS, Warga Jadi Waswas ke RS

"Negara harus mengambil langkah-langkah tegas dan efektif untuk memulihkan hak-hak korban
bencana," tandasnya. ***
Editor: Arry Kurniawan
Multidimensionalitas Kasus Lumpur
Lapindo
Oleh: Anton Novenanto*
SUDUT PANDANG

21 Maret 2017, 14:09:55 WIB


PADA 2 Maret 2017, Presiden Jokowi menerbitkan Perpres 21/2017 tentang
pembubaran Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). BPLS sudah bekerja 10
tahun, ditandai dengan penerbitan Perpres 14/2007 pada 5 April 2007. Tugas dan fungsi
BPLS akan dilanjutkan Pusat Pengendalian Lumpur Sidoarjo (PPLS) di bawah Dirjen
Sumber Daya Air Kementerian PUPR.

Lumpur Lapindo adalah kasus ekologis paling kontroversial di Indonesia. Penelitian


independen menyimpulkan, semburan lumpur panas pada 29 Mei 2006 itu buah
keteledoran Lapindo dalam mengebor Sumur Banjar Panji 1 di Desa Renokenongo,
Porong. Sayangnya, pemerintah cenderung berpihak kepada hasil penelitian yang
didanai perusahaan yang berpendapat bahwa semburan lumpur dipicu oleh gempa bumi
27 Mei 2006.

Apa pun penyebabnya, lumpur Lapindo telah menghasilkan dampak multidimensi pada
lingkungan, kesehatan masyarakat, dan sosial.

Pada dimensi lingkungan, warga yang tinggal di sekitar semburan mengeluhkan


penurunan kualitas air sumur. Air yang sebelumnya bisa dikonsumsi sekarang hanya
bisa digunakan untuk mandi, cuci, dan kakus. Untuk masak dan minum, warga harus
mengeluarkan uang lebih karena harus membeli air bersih dari wilayah lain.

Lumpur Lapindo telah mengubah sistem ekologis DAS Porong. Pembuangan lumpur ke
Selat Madura melalui Sungai Porong dan sungai-sungai kecil membawa persoalan lain.
Praktik tersebut dikeluhkan para petambak di muara. Angka produksi udang (komoditas
unggulan Kabupaten Sidoarjo) menurun tajam 10 tahun terakhir. Tidak sedikit ikan
produksi tambak dan yang ditemukan di Sungai Porong berbau gas. Endapan lumpur
juga telah membentuk pulau baru seluas 94 hektare hanya dalam waktu 5 (lima) tahun
semburan. Keanekaragaman hayati di kawasan DAS Porong pun cenderung berkurang.

Penurunan kualitas udara juga menjadi perhatian warga. Itu terkait dengan tren penyakit
yang muncul di sekitar kawasan semburan lumpur. Data Puskesmas Porong, misalnya,
menunjukkan lonjakan penderita infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) yang dialami
warga pasca semburan lumpur. Hal itu diduga disebabkan memburuknya kualitas udara
karena debu lumpur ataupun debu lain dari pembangunan bendungan, jalan raya, dan tol
di kawasan itu. Penelitian Walhi (2008) menemukan kandungan gas hidrokarbon di
udara di sekitar semburan yang potensial memicu kanker bila dihirup secara terus-
menerus.

Pada dimensi sosial, lumpur Lapindo memicu perubahan pola ekonomi warga secara
drastis. Warga yang dahulu bekerja di sektor agraris harus berpindah ke sektor-sektor
lain yang bukan keahliannya. Warga yang kehilangan sawah tidak bisa dengan mudah
memperoleh lahan baru. Pabrik-pabrik yang ditutup meninggalkan angka pengangguran
yang tinggi. Domestifikasi perempuan menjadi persoalan serius yang luput dari perhatian
publik. Sekalipun warga sudah mendapat pelunasan atas jual beli aset mereka, yang
lebih mereka butuhkan adalah pekerjaan tetap.
Warga yang sudah pindah harus menghadapi masalah integrasi dengan lingkungan
baru. Tidak jarang mereka menjadi korban pungutan liar para makelar tanah dan aparat
pemerintah lokal saat mengurus kepindahan. Stigma bahwa korban Lapindo adalah
’’orang kaya’’ adalah sumber masalah bagi munculnya batas-batas sosial antara korban
dan bukan korban.

Sayangnya, pemerintah hanya melihat masalah sosial sebatas apakah warga sudah
dibayar lunas atau belum. Pemerintah menentukan wilayah yang harus ’’dibebaskan’’
dan ’’dikosongkan’’. Pemerintah juga mengatur siapa yang berkewajiban membayar:
Lapindo atau pemerintah. Namun, tentang bagaimana warga bisa mendapatkan hunian
baru tidak pernah menjadi perhatian pemerintah. Di lapangan, mekanisme pasarlah yang
lebih menentukan proses tersebut. Sekalipun pemerintah sudah meminjami Lapindo
untuk membayar kekurangan tanggung jawabnya, uang yang cair belum cukup untuk
membeli rumah baru.

Dalam perundangan tentang lumpur Lapindo, tidak ditemukan pernyataan legal-formal


yang menyebutkan fenomena tersebut sebagai ’’bencana’’. Secara kelembagaan,
perwakilan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tidak pernah menjadi
anggota badan pengawas/pelaksana BPLS. Sebelumnya, Tim Nasional Penanggulangan
Lumpur Panas Sidoarjo (Timnas PLPS) bekerja di bawah koordinasi menteri ESDM.
Koordinasi itu dialihkan ke menteri PU pada era BPLS (2007–2017). Kini PPLS, lembaga
penggantinya, berada di bawah kementerian tersebut. Pesan pentingnya adalah
penanganan lumpur Lapindo tidak pernah dilakukan dalam kerangka penanganan dan
mitigasi bencana.

Terlepas dari kekurangannya, BPLS dibentuk sebagai lembaga interdepartemental yang


diharapkan bisa menangani dampak multidimensi dari lumpur Lapindo. BPLS tidak
hanya melakukan tindakan teknis terhadap lumpur. Dia juga bertugas melakukan
penanganan dampak sosial.

Pembubaran lembaga lama dan pembentukan lembaga penggantinya menunjukkan


bagaimana pemerintah menyederhanakan kompleksitas kasus yang multidimensi itu.
Dari soal nomenklatur nama saja, ada persoalan subtansial. Huruf ’’p’’ dalam PPLS
adalah ’’pengendalian’’, bukan lagi ’’penanggulangan’’ (seperti dalam Timnas PLPS dan
BPLS). PPLS berada di bawah Dirjen Sumber Daya Air. Dengan demikian, kegiatannya
tidak akan lebih dari usaha mengendalikan aliran lumpur. Dapat dipastikan dimensi
sosial-kemanusiaan akan semakin direduksi.

Alih-alih meringankan penderitaan warga, pembubaran BPLS dan pembentukan PPLS


justru akan menambah persoalan mereka dalam usahanya berhadapan langsung
dengan dampak multidimensi dari lumpur Lapindo.(*)

*Staf pengajar sosiologi Universitas Brawijaya; meneliti kasus lumpur Lapindo sejak
2008; editor buku Membingkai Lapindo (2013)
Sudah Ditetapkan DPR Bencana Alam, Lapindo
Tak Bisa Dipidana
Utami Diah Kusumawati, CNN Indonesia | Jumat, 29/05/2015 18:32 WIB

Bagikan :

Pusat semburan lumpur Lapindo dan daerah terdampaknya. (Dok. BPLS)


Jakarta, CNN Indonesia -- Sembilan tahun berlalu sejak semburan lumpur pertama kali
muncul di posisi 200 meter barat daya sumur Banjarpanji-1 milik Lapindo Brantas Inc.
pada 29 Mei 2006. Semburan lumpur terus meluas dan menenggelamkan puluhan ribu
rumah, sekolah, kantor pemerintahan, masjid, pabrik, serta sawah penduduk. (Baca: Hari
Ini, Sembilan Tahun Sidoarjo Digempur Lumpur)

Namun tak ada satu pun korporasi atau pengelola dari PT Lapindo Brantas Inc. yang
terkena jeratan hukum. Mahkamah Agung menyatakan kasus lumpur Lapindo sebagai
dampak bencana alam. Pendapat serupa juga dipegang Dewan Perwakilan Rakyat RI.

PILIHAN REDAKSI Putusan


bahwa kasus
 Hari Ini, Sembilan Tahun Sidoarjo Digempur Lumpur Lapindo terjadi
 Dirjen Anggaran Pastikan DPR Setujui Dana Talangan Lapindo akibat bencana
 Utang Lapindo ke Pemerintah Jokowi Harus Lunas dalam 4 Tahun alam itu,
 Sarat Muatan Politik, Abah Ipul Santai Urusi Lapindo 9 Tahun menurut
Deputi Pengendalian Pencemaran Lingkungan Hidup Kementerian Kehutanan dan
Lingkungan Hidup Karliansyah, membuat tindak pindana tak bisa dijeratkan atasnya.
(Baca: Sembilan Tahun Bencana Lapindo, Jokowi Diminta Hukum Pelaku)

"Kami punya UU yang mengatur tentang kejahatan korporasi di bidang lingkungan, baik
sengaja atau tidak sengaja. Namun jika sebuah kasus sudah ditetapkan pemerintah
sebagai bencana alam, aturan pidana menjadi gugur," kata Karliansyah kepada CNN
Indonesia, Jumat (29/5).

Dalam kasus tragedi lumpur Lapindo, Kepolisian Daerah Jawa Timur pernah
menetapkan 13 tersangka, yakni dari pihak PT Energi Mega Persada Tbk, PT Medici
Citra Nusa, PT Tiga Musim Mas Jaya, dan Lapindo Brantas. Namun penyidikan tersebut
dihentikan pada Agustus 2009.

Sebulan kemudian, September 2009, Sidang Paripurna DPR mengukuhkan penyebab


semburan Lapindo ialah faktor bencana alam. Dengan demikian, tak ada satupun
individu atau institusi dalam Lapindo yang bisa dipidanakan.

Muhammad Yunus, Asisten Deputi Penegakan Hukum Pidana Kementerian Kehutanan


dan LH, menyatakan jika sebuah kasus sudah ditetapkan sebagai bencana alam, maka
tugas institusinya ada pada sektor pembinaan. "Kami mencari tahu harus diapakan agar
dampak lingkungannya tidak makin besar. Misalnya dengan dipasang tanggul atau
upaya perbaikan lingkungan lainnya," kata dia.

Jika sebuah kasus tidak diputuskan sebagai bencana alam, barulah institusinya bisa
memidanakan korporasi dan individu yang terlibat dalam kasus pencemaran lingkungan,
baik sengaja maupun tak disengaja. "Aturan itu tercantum dalam UU Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 116 ayat 1," ujar
Yunus.

Yunus mengutip bunyi UU tersebut, yakni "Apabila tindak pidana dilakukan oleh, untuk,
atau, atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada a.
badan usaha dan/atau b. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana
tersebut, atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana
tersebut."
"Misalnya kasus kebakaran hutan. Tidak ada pernyataan itu bencana alam, maka bisa
dijatuhkan pidana dengan UU ini," ujar Yunus.

Menurut Yunus, setiap perusahaan pertambangan sebenarnya sudah mendapat


informasi mengenai dampak risiko dan langkah pengeboran setiap hendak memulai
kegiatan pertambangan. "Maka kejadian seperti lumpur Lapindo ini sebenarnya bisa
diminimalisasi dampaknya jika perusahaan tidak mengabaikan klausul dalam izin
tersebut," kata dia.

Misalnya mengenai kapasitas pipa penyaluran yang memuat maksimal 100 meter kubik
per jam, Kementerian akan memberikan izin hanya pada angka 75 atau 80 meter kubik
per jam. "Itu untuk menjaga dari risiko. Tapi apakah perusahaan menaati klausul itu?
Makanya bisa terjadi gesekan di pipa yang menyebabkan kebocoran berlanjut-lanjut,"
kata dia.

Baca juga penjelasan Direktur Utama PT Minarak Lapindo Jaya, Andi Darussalam
Tabussala, dalam wawancara dengan CNN Indonesia: Ganti Rugi Korban Lumpur Dibayar
sebelum Lebaran (utd/agk)
Alasan Lapindo Kembali Mengebor Gas
Sidoarjo: Untuk Bayar Utang!
PT Lapindo Brantas berutang pada pemerintah karena tidak mampu membayar ganti
rugi warga korban terdampak luapan lumpur Lapindo, sehingga pembayaran ditangani
pemerintah melalui APBN.

Semburan lumpur Lapindo di sumur gas Banjar Panji, Sidoarjo, Jawa Timur menutup
area lebih dari 600 hektar. (Foto: ANTARA)
KBR, Jakarta - Lapindo Brantas Inc, perusahaan keluarga Aburizal Bakrie,
kembali aktif untuk melakukan pengeboran di Kabupaten Sidoarjo Jawa
Timur.

Pengeboran dilakukan hampir 10 tahun, sejak bencana lumpur Lapindo


menyembur di lokasi pengeboran mereka pada 29 Mei 2006.

Direktur Utama PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) Andi Darussalam Tabussala


mengatakan proses pengeboran sudah diperhitungkan dengan matang
sehingga warga tidak perlu khawatir.

PT Minarak Lapindo Jaya merupakan anak perusahaan PT Lapindo Brantas


yang khusus dibentuk untuk mengurusi pelunasan ganti rugi kepada warga
korban terdampak luapan lumpur Lapindo.

Andi Darussalam mengatakan pengeboran dilakukan agar perusahaan milik


keluarga Bakrie itu bisa mendapatkan dana untuk melunasi utang kepada
pemerintah pusat.

PT Lapindo Brantas berutang pada pemerintah karena tidak mampu


membayar ganti rugi warga korban terdampak luapan lumpur Lapindo,
sehingga pembayaran ditangani pemerintah melalui APBN.

"Pinjaman itu ada klausul yang mengatakan kita harus mengembalikan dalam
jangka waktu empat tahun dan bunga sebesar empat koma sekian persen.
Dari mana kita mendapatkan dana itu untuk mengembalikan kepada
pemerintah kalau kita tidak boleh melakukan pengeboran?" jelas Direktur
Utama PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) Andi Darussalam Tabussala kepada
KBR, Rabu (6/1/2016)

Andi mempertanyakan alasan warga yang menolak aktivitas kembali


pengeboran PT Lapindo Brantas.

"Sekarang muncul ada penolakan dari warga, apa dasarnya warga menolak?
Kejadian kemarin (2006) juga karena kejadian alam," kata Andi.

Andi Darussalam menambahkan, perusahaannya masih berkomitmen


melakukan penyelesaian pembayaran ganti rugi. Meskipun masih ada sekitar
seratusan petak tanah yang belum terbayar karena alasan legalitas dan harga
lahan.

Sebelumnya, pemberian pinjaman kepada Lapindo Brantas Inc. didasarkan


atas Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan
2015 sebagai payung hukum.

Sementara jumlah pinjaman sebesar Rp 781 miliar ditentukan berdasarkan


hasil audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Jumlah pinjaman Rp 781 miliar akan dikembalikan PT Lapindo Brantas Inc
dalam waktu empat tahun.

Aset yang dijaminkan kepada pemerintah mencapai Rp 3.3 triliun. Sejauh ini
jumlah bantuan yang telah diberikan pemerintah pusat kepada korban
semburan lumpur Lapindo sekitar Rp 5,5 triliun.

Menimbulkan Trauma

Sementara itu, LSM Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur meminta
Lapindo Brantas menghentikan pengeboran kembali di lokasi yang tidak jauh
dari semburan.

Direktur Eksekutif Walhi Jatim Oni Mahardika mengatakan seharusnya PT


Minarak Lapindo melakukan tanggung jawabnya menutup semburan terlebih
dahulu sebelum melakukan pengeboran kembali.

Oni mengatakan pengeboran kembali akan membuat masyarakat trauma dan


mengancam kerusakan lingkungan.

"Dari sejak awal kita menduga ada konspirasi dan kepentingan kepemilikan
lahan yang begitu luas dan pembelian lahan yang murah. Kami dari awal
sudah ngomong untuk menghentikan seluruh pengeboran yang dilakukan
oleh PT Lapindo Brantas. Karena, tidak adil. Di satu sisi mereka
membebaskan lahan milik masyarakat tetapi dia tidak bertanggung jawab
menutup semburan lumpur malah tetap melanjutkan pengeboran," jelas
Direktur Eksekutif Walhi Jatim, Oni Mahardika kepada KBR, Rabu (6/1).
Oni Mahardika menduga ada konspirasi dari pemilik Lapindo Brantas untuk
memiliki lahan warga dengan murah dan mudah pasca kejadian melubernya
lumpur.

Editor: Agus Luqman


11 Tahun Lumpur Lapindo, 84 Korban
Belum Dapat Ganti Rugi
Oleh :

Tempo.co

Warga korban lumpur Lapindo memanjatkan doa untuk keluarga mereka yang telah wafat, di tanggul titik 42 Porong,
Sidoarjo, Jawa Timur, 25 Mei 2017. Warga korban lumpur Lapindo menyambut Ramadan dengan melakukan ziarah
di makam kerabat yang telah tenggelam oleh lumpur. ANTARA/Umarul Faruq

TEMPO.CO, Surabaya - Penyelesaian ganti rugi korban lumpur Lapindo di


Sidoarjo, Jawa Timur, hingga kini belum rampung. Pada Senin, 29 Mei 2017, tepat
setelah 11 tahun lumpur panas menyembur, masih ada puluhan korban, baik dari
warga maupun pengusaha, yang belum mendapatkan ganti rugi.
Humas Pusat Pengendalian Lumpur Sidoarjo (PPLS), Khusnul Khuluk, mengatakan
saat ini masih ada 84 berkas warga korban lumpur di dalam peta area terdampak
(PAT) yang belum mendapatkan pelunasan ganti rugi. "Totalnya Rp 54 miliar," kata
Khusnul saat dihubungi Tempo, Senin.

Selain itu, masih ada 19 berkas (Rp 8,9 miliar) milik warga di PAT yang belum
dibayar sama sekali. Menurut Khuluk, hal tersebut terjadi karena masih ada masalah
dalam berkas tersebut. Di antaranya masalah hak waris bagi korban yang telah
meninggal, luasan tanah, dan status tanah kering-basah.

Khuluk mengatakan anggaran untuk pembayaran ganti rugi korban lumpur


Lapindo baru akan diajukan di Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan
(APBN-P) 2017. Adapun untuk ganti rugi pengusaha, kata dia, pemerintah telah
memutuskan tidak menanggung kerugian perusahaan.
Pemerintah menganggap kerugian perusahaan yang berada di dalam PAT harus
diselesaikan secara business-to-business dengan Lapindo. Dengan kata lain,
pemerintah hanya akan menalangi Lapindo untuk pemberian dana bantuan ke
masyarakat biasa di area terdampak, bukan ke pengusaha.
ADVERTISEMENT

Kuasa hukum pengusaha korban lumpur Lapindo, Mursyid Murdiantoro, tetap akan
melakukan upaya hukum atas keputusan pemerintah yang tidak menanggung
kerugian perusahaan. "Tidak ada langkah lain kecuali langkah hukum," katanya
tanpa menjelaskan detail upaya hukum tersebut.

Di peringatan 11 tahun semburan lumpur Lapindo ini, Mursyid berharap negara


hadir secara komprehensif membantu mereka. Dia menyebut ada 27 pengusaha di
PAT yang harus menanggung kerugian senilai Rp 701,68 miliar, terdiri atas Rp
542,75 miliar aset tanah serta Rp 158,92 miliar aset bangunan.
Pemerintah Tak Beri Ganti Rugi
Perusahaan Korban Lumpur Lapindo
Oleh :

Tempo.co
Rabu, 26 April 2017 19:43 WIB

0 KOMENTAR

4317

Roboto


 

TEMPO/Fully Syafi

TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Pekerjaan Umum Basuki Hadimuljono mengatakan


pemerintah memutuskan tidak menanggung kerugian perusahaan yang terdampak
Lumpur Lapindo di Kabupaten Sidoarjo. Keputusan itu disampaikan Basuki usai
rapat terbatas di Istana Kepresidenan, Rabu, 26 April 2017.

"Sebenarnya tidak bisa disebut menolak. Dari dulu, pemerintah memang tidak
berpikir untuk menanggung kerugian itu. Yang kami tanggung adalah kerugian
masyarakat," ujar Basuki.
Baca: Pengusaha Korban Lumpur Lapindo Tak Dapat Dana Talangan

Setidaknya ada 30 pengusaha di dalam area terdampak lumpur Lapindo yang


meminta bantuan dana dari pemerintah untuk mengganti kerugian mereka. Estimasi
kerugian yang mereka derita adalah Rp 701,68 miliar, terdiri atas Rp 542,75 miliar
aset tanah (475,516 meter persegi) serta Rp 158,92 miliar aset bangunan (66,22
meter persegi).

Demi bisa mendapat dana bantuan yang berwujud talangan kepada Lapindo
tersebut, beberapa pengusaha bahkan sempat mempermasalahkan dana bantuan
pemerintah ke Mahkamah Konstitusi. Mereka ingin dianggap juga sebagai
masyarakat agar bisa menerima dana bantuan. Namun, upaya itu tidak berlanjut.

Simak: Pencairan PMN Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo Ditunda


Pemerintah sendiri, sejak awal, menganggap perusahaan korban lumpur tidak pas
untuk dibantu. Bagi pemerintah, kerugian perusahaan yang berada di dalam area
terdampak harus diselesaikan secara business to business dengan Lapindo. Dengan
kata lain, pemerintah hanya akan menalangi Lapindo untuk pemberian dana bantuan
ke masyarakat biasa di area terdampak, bukan ke pengusaha.

Basuki menambahkan, alasan lain pemerintah ogah menalangi Lapindo untuk


membantu pengusaha adalah faktor asuransi. Menurutnya perusahaan-perusahaan di
area terdampak memiliki mesin-mesin dan aset yang sesungguhnya sudah
diasuransikan. Walhasil, jika pemerintah membantu, ditakutkan pemerintah harus
berurusan dengan pihak asuransi juga.

Lihat: Cegah Luberan Lumpur Lapindo, KAI Lakukan Berbagai Cara

"Masa sih perusahaan gak ada asurasnsinya? Jadi, selesaikan saja secara B2B
supaya gak jadi preseden bahwa perusahaan bisa lari ke pemerintah kalau diterpa
musibah," ujar Basuki.

Perihal dana bantuan untuk masyarakat yang di area terdampak, kata


dia, pemerintah masih ada kekurangan pembayaran sekitar Rp 54,3 miliar dari 244
berkas pengajuan. Hal itu dihitung dari alokasi dana bantuan atau talangan untuk
Lapindo sebesar Rp 827,7 miliar dikurangi dana yang sudah dicairkan, yaitu
Rp773,3 miliar untuk 5575 berkas pengajuan.

ADVERTISEMENT

"Tapi, ada 19 berkas susulan milik warga dari unsur Rumah Tangga. Itu sudah
diverifikasi oleh BPKP. Untuk itu, kami mengusulkan penambahan alokasi dana
antisipasi sebesar Rp 9,8 miliar," ujar Basuki.

Baca juga: Tunda Ngebor, Lapindo Tetap Dimintai Kajian Seismik


Basuki optimistis segala kekurangan pembayaran bisa ditangani tahun ini. Kecuali
ada disputedengan warga di area terdampak. "Kalau minta harga naik, nggak bisa.
Kecuali, ada dispute tanah dan sawah kering. Padahal, tanah sudah tenggelam,"
ujarnya.

Hal senada disampaikan Gubernur Jawa Timur Soekarwo. Kepada awak media, ia
menyampaikan bahwa pemerintah akan mengupayakan segeala kekurangan
pembayaran, namun tidak untuk pengusaha. "Sementara ini, semuanya ditargetkan
selesai tahun ini," ujar Soekarwo.
Selasa, 26 Juni 2007 08:09

Konspirasi di Balik Lumpur Lapindo


Jakarta, wahidinstitute.org
Minyak bumi awalnya merupakan komoditas perniagaan, baik di Indonesia maupun di
dunia pada umumnya. Tetapi fungsinya berubah menjadi komoditi perang pada tahun
1867. Ini semakin menjadi-jadi pada tahun 1990 ketika Perang Teluk meletus. Juga saat
negara-negara Arab mengembargo Amerika sehingga harga minyak dunia naik.
Demikian dikatakan Ali Azhar Akbar mengawali presentasi dalam bedah buku karyanya
bertajuk "Konspirasi di Balik Lumpur Lapindo; Dari Aktor Hingga Strategi Kotor," di Aula
The WAHID Institute, Selasa sore (26/06/07).

"Minyak kemudian menjadi penentu kekuasaan. Kekuasaan untuk minyak dan minyak
untuk kekuasaan, " tambah aktivis Prodem itu. Yang demikian ini terjadi di Lapindo.
"HOA (Heads of Agreement, Red.) antara Lapindo (PT. Lapindo Brantas Inc.) dengan
Perusahaan Gas Negara (PGN) yang diteken pada tahun 2001, ketika itu ketua KADIN
(Kamar Dagang dan Industri)-nya adalah Aburizal Bakrie sementara Mentamben (Menteri
Pertambangan dan Energi, Red.)-nya adalah SBY," jelasnya. Lapindo inilah yang
menyebabkan banjir lumpur panas di Porong, Sidoarjo yang belum bisa dihentikan sampai
sekarang.
Kasus lumpur Lapindo menurut alumni perminyakan Institut Teknologi Bandung (ITB) ini
penuh konspirasi. "Menurut (surat) perizinan, biaya yang diusulkan Lapindo adalah
sebanyak 6.297.244 USD tetapi pelaksanaanya hanya berkisar 3 juta USD," terangnya.
Soal perizinan eksplorasi juga bermasalah. "Kontrak seharusnya selama 6 tahun dan
perpanjangan 4 tahun, yakni tahun 2000 lalu. Tapi sampai sekarang masih terus
berlanjut," tandasnya.
Pengeboran yang mencapai 9.279 kaki yang tidak memakai casing (selubung pengaman)
dinilai pula oleh Ali sebagai konspirasi. "Casing sudah harus dipakai ketika kedalaman
pengeboran 8500 kaki," paparnya. Casing, baginya, sengaja tidak dipakai supaya dapat
menghemat biaya operasional pengeboran minyak.
Akibat hal ini, lumpur meluap hebat. "Ia menelan korban jiwa dan menggenangi 850
hektar lahan, 16.300 unit rumah lebih, 33 unit sekolah, 4 kantor pemerintahan, 29 unit
pabrik, 11 home industry, 11 masjid, 57 musholla, 3 pondok pesantren, 1 panti & 28 TPQ,"
bebernya. Lumpur Lapindo juga menjadikan 21.674 Kepala Keluarga dengan 36.846 jiwa
menjadi pengungsi dan merusak infra struktur yang ada seperti saluran listrik, telepon,
dan irigasi.
Kebohongan publik yang dilakukan oleh Lapindo juga merupakan upaya konspirasi.
"Lumpur Lapindo diklaim sebagai akibat dari gempa Yogya," tambahnya. Ali menjelaskan
bahwa gempa di tempat itu akan berdampak paling jauh di Klaten disertai dengan gambar
lokasi yang cukup meyakinkan.
Konspirasi lainnya adalah soal kelalaian yang disengaja oleh pihak Lapindo. "Biar
menangguk untung," katanya.
Dengan teori konspirasi seperti ini, Ali mengajukan tiga skenario. "Pertama, semburan
lumpur diisukan sebagai bencana Yogya agar memperoleh klaim asuransi. Ini dilakukan
oleh Menkokesra (Aburizal Bakrie, Red.)," urainya.
Kedua, mengamputasi Lapindo agar terlepas dari tanggung jawabnya menanggung ganti
rugi para korban. Ini dilakukan oleh para penegak hukum atau para hakim Pengadilan Tata
Niaga. Dengan kapasitas mereka di bidang itu, Lapindo diputuskan pailit sehingga
dianggap tidak mampu membayar ganti rugi yang dimaksud.
"Ketiga, menggeser Sumur Banjar Panji I (sumber meluapnya lumpur panas, Red.) ke
sumur minyak yang sudah memasuki tahap produksi sehingga biayanya dibebankan
kepada pemerintah. Padahal, sumur tersebut masih dalam taraf eksplorasi sehingga
biayanya dipikul Lapindo," tukasnya. Skenario ketiga ini dilakukan oleh Badan Pelaksana
Minyak dan Gas (BP Migas) dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Menteri ESDM).
Bila skenario yang pertama berjalan, hemat Ali, korban lumpur Lapindo hanya akan
memperoleh santunan, bukan ganti rugi. Karena mereka hanya mendapatkannya dari
Anggaran Perencanaan dan Belanja Negara (APBN). "Bila skenario kedua dan ketiga
dilakukan, mereka tidak mendapatkan santunan dan ganti rugi," jelasnya lagi. Ini karena
skenario kedua mengandaikan kalau ganti rugi diambilkan dari sisa aset Lapindo dan sisa
APBN sehingga jumlahnya sangat sedikit. Jumlah yang sama dengan skenario ketiga.
Hanya saja ditambah dengan sisa Anggaran Perencanaan dan Belanja Daerah (APBD).
Selain Ali, hadir pula S. Indro Tjahyono, Boni Setiawan, dan Harry Ponto sebagai
pembanding.
Menurut Indra, bisnis minyak adalah bisnis elit yang penuh konspirasi di permukaan atau
di bawah tanah. "Bisa membeli atau mengatur negara—minimal menteri atau presiden,"
kata aktivis SKEPPI ini menyinggung Lapindo.
Minyak, menurut aktivis mahasiswa 1977/1978 ini, kemudian diperuntukkan bagi
pertahanan dan pertahanan untuk minyak. "Reformasi bahkan tidak mengubah konspirasi
minyak ini," tandasnya.
Bonie Setiawan lebih menyoroti soal korporasi. "Yang berlaku di Indonesia sekarang ini
adalah penguasaha, pengusaha-penguasa," papar pegiat Institute Global Justice ini.
Mereka saling berkoalisi.
Korporasi seperti diatur dalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang penanaman modal diberi
hak. "Inilah supremasi korporasi itu di mana mereka memiliki investor rights,"
sambungnya. Di sisi lain, korporasi tidak dibebani kewajiban sehingga tidak bisa dimintai
pertangung-jawaban bila tersandung corporate crime. "Oleh hukum internasional
sekalipun. Sebab kejahatan itu tidak pernah didefinisikan di dalamnya," tambahnya.
Karena itu, menurut Bonie, masyarakat paling-paling bisa menuntut (dana) Company
Social Responsibility(CSR) termasuk dalam kasus lumpur Lapindo. Ia sendiri merasa
bahwa kasus ini adalah ujian namun akan gagal kita lampaui.
"Kasus lumpur Lapido merupakan kasus ekstrim dari kesewenang-wenangan korporasi,"
pungkasnya mengakhiri presentasi.
Harry Ponto yang advokat mengatakan bahwa ada perlakuan berbeda terhadap kasus ini.
"Dulu pada kasus illegal logging (pembalakan liar, Red.) polisi bertindak seolah tanpa
kompromi. Pelakunya dicecar sampai-sampai tidak bisa berkelit," jelas Sekjen
Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) ini menceritakan pengalaman pribadinya. Ia
dalam hal ini mempertanyakan tindak lanjut dari hasil penelitian para ahli yang sudah
dilakukan di Porong, Sidoarjo.
Hal lain yang menjadi tanya bagi Harry adalah soal inkonsistensi Badan Pengawas Pasar
Modal (Bapepam). "Dulu Bapepam kukuh agar Lapindo tidak menjual atau berafiliasi
dengan perusahaan lain selama belum ada kejelasan siapa yang bertanggung jawab
terhadap penanganan masalah Lapindo. Tetapi sikap ini tidak diteruskan ketika yang
menjualnya adalah Menkokesra," katanya lantang. Menurutnya ini merupakan konspirasi
demi meloloskan satu pihak agar terhindar dari tanggung jawab yang seharusnya
ditunaikan.
Di akhir paparannya, ia menganjurkan agar gugatan tidak bersifat individual. "Gugatan
lebih baik berkelompok agar lebih berhasil," tandasnya. (NS)
Kasus Lumpur Panas Lapindo Dinilai Sebagai
Kejahatan Korporasi
Saifudin – Rabu, 14 Jumadil Akhir 1427 H / 12 Juli 2006 07:59 WIB

Telah satu bulan lebih terjadi kebocoran gas di areal ekplorasi gas PT. Lapindo Brantas
(Lapindo) di Desa Ronokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo. Tapi
sepertinya belum tampak tanda-tanda siapa yang harus bertanggung jawab.

Ivan V. Agung, Manager Pengembangan Hukum dan Litigasi WALHI menilai, dilihat
dari sudut pandang lingkungan hidup, tragedi lumpur panas Lapindo dapat dikategorikan
sebagai kejahatan korporasi, dengan unsur-unsur yang telah ditetapkan dalam Dalam Bab
IX Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU
No.23/1997), telah diatur sanksi pidana (penjara dan denda) terhadap badan hukum yang
melakukan pencemaran.

"Pada pasal 46 UU No.23/1997 dinyatakan bila badan hukum terbukti melakukan tindak
pidana, maka sanksinya dijatuhkan selain terhadap badan hukum, juga terhadap mereka
yang memberi perintah atau yang menjadi pemimpin dalam perbuatan tersebut," tegas
Ivan kepada pers di Jakarta, Selasa (11/7).

Dijelaskannya, kebocoran gas tersebut berupa semburan asap putih dari rekahan tanah,
membumbung tinggi sekitar 10 meter. Semburan gas tersebut disertai keluarnya cairan
lumpur dan meluber ke lahan warga.

Ia menambahkan, hak konsesi eksplorasi pada Blok Brantas PT. Lapindo Brantas
diberikan oleh Pemerintah Pusat sementara izin konsesinya diberikan oleh Pemerintah
Propinsi Jawa Timur yang pada perkembangannya Pemerintah Daerah Sidoarjo malah
memberikan keleluasaan kepada PT. Lapindo Brantas untuk melakukan aktivitasnya
tanpa sadar bahwa Rencana Tata Ruang Kabupaten Sidoarjo tidak kompatibel terhadap
rencana eksplorasi dan eksploitasi tersebut.

“Selain lingkungan fisik yang rusak, kesehatan warga setempat juga terganggu. Lily
Pudjiastuti, anggota tim ahli ITS yang membidangi penanganan lingkungan menyatakan
bahwa lumpur panas di Sidoarjo bisa menyebabkan infeksi saluran pernapasan dan iritasi
kulit,” paparnya.

Selain panas, lanjut Ivan, dari uji laboratorium terdapat kandungan bahan beracun dan
berbahaya (B3) yang melebihi ambang batas. Dalam sampel lumpur yang diambil 5 Juni
dan dianalisis oleh laboratorium uji kualitas air Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Jawa
Timur terdapat fenol, zat kimia yang berbahaya bagi kesehatan. (dina)
Kasus lumpur Lapindo jauh dari rasa keadilan

MakroNasional

RABU, 29 DESEMBER 2010 | 17:44 WIB ET

JAKARTA, kabarbisnis.com: Hingga penghujung tahun 2010, kasus lumpur Lapindo


semakin gelap, jauh dari rasa keadilan bahkan menimbulkan kesan kasus lumpur Lapindo
dibiarkan tanpa ada langkah pasti penyelesaian.

Catatan Koalisi Gerakan Menuntut Keadilan Korban Lapindo (KGMKKL) terungkap


adanya 29 fakta turunan akibat ketidakbecusan pemerintah menindak PT. Lapindo
Brantas, ungkap juru bicara Luluk Uliyah dalam keterangannya di Jakarta, Rabu
(29/12/10).

Koalisi Gerakan ini terdiri dari aktivius dan LSM Lingkungan antara JATAM, KIARA,
WALHI, Institut Hijau Indonesia, ICEL, Kontras, LBH Masyarakat, Lapis Budaya,
Imparsial, Satu Dunia, WALHI Jatim dan Solidaritas Perempuan.

Dilanjutkan, lumpur Lapindo yang telah meluluhlantakkan 16 desa ini tidak hanya
menimbulkan masalah ganti rugi atau jual beli tanah semata. Untuk memberikan ganti
rugi kepada warga yang berhak, pihak Lapindo selalu berkelit mereka mengalami
kesulitan dan kehabisan dana.

"Bahkan Bakrie sebagai pihak yang paling bertanggungjawab, justru mengabaikan


kewajiban utamanya untuk menuntaskan kasus Lumpur Lapindo," ungkapnya.

Perilaku ini, sambung dia, jelas merupakan wujud pembangkangan Ical dan kekalahan
negara dalam menindak kejahatan korporasi. Mestinya pemenuhan hak-hak dasar korban
Lumpur Lapindo yang diprioritaskan untuk diselesaikan ketimbang membangun citra dan
berupaya merebut simpati publik.

"Kami masyarakat sipil menyatakan perlawanan terus menerus bahkan setiap bulannya
akan melakukan aksi untuk menuntut penegakan keadilan dan harga diri untuk melawan
dehumanisasi oleh koorporasi dan juga oleh pemerintah," tegasnya serius.

Karenanya, Koalisi Gerakan Menuntut Keadilan Korban Lapindo mendesak agar


pemerintah segera memaksa Lapindo menutup semburan lumpur Lapindo dan melakukan
rehabilitasi atas kerusakan ekosistem dalam skala besar.

Juga, memaksa dan menuntut Lapindo membayar seluruh kerugian tanpa menggunakan
uang rakyat yakni APBN, dan meminta Pemerintah membawa Lapindo ke Pengadilan
sebagai pelaku kejahatan lingkungan dan pelanggaran HAM berat.

"Kami juga menuntut Medco Energi untuk membuka semua dokumen atau data terkait
dengan Blok Brantas. Dan SBY harus memenuhi janji-janjinya untuk menanggani
Lapindo secara maksimal dan terang benderang," paparnya.

Tuntutan lainnya, meminta seluruh anggota dan pemain tim nasional PSSI untuk menolak
semua pemberian dari Aburizal Bakrie dengan pertimbangan kemanusiaan bahwa hak-
hak korban luapan lumpur Lapindo belum diselesaikan dengan baik.

Selain itu, mengingatkan seluruh masyarakat Indonesia untuk tidak melupakan masalah
lumpur Lapindo, serta tidak terpengaruh opini “ menyesatkan” yang berupaya
mengalihkan tanggung jawab dalam penyelesaian masalah ini, sambungnya.
Kasus Lumpur Lapindo
Sabtu, 16 Pebruari 2008

Komnas HAM: Pelanggaran


HAM Sudah Terjadi Sebelum
Semburan Lumpur Lapindo
Temuan Tim Komnas HAM akan dijadikan masukan bagi WALHI
dalam mempersiapkan memori banding gugatan perdata terhadap
Lapindo.
Rzk/CRY

Nyaris dua tahun sudah tragedi semburan lumpur panas di lokasi pengeboran PT
Lapindo Berantas berjalan tanpa penyelesaian yang tak kunjung jelas. Berbagai
skema penyelesaian yang ada sepertinya belum ada yang mengena di hati para
korban. Unjuk rasa, gugatan secara hukum sampai interpelasi DPR pun terbukti
tidak ampuh membuahkan solusi.

Kamis (14/2), Komnas HAM melansir informasi yang bisa jadi babak baru
penyelesaian tragedi lumpur Sidoarjo. Syafruddin Ngulma Simeuleu, salah
seorang Komisioner, menyatakan bahwa Sidang Paripurna Komnas HAM
telah mengesahkan Laporan Tim Komnas HAM tentang Kasus Lumpur
Lapindomenjadi Laporan Komnas HAM. Tim Komnas HAM tentang Kasus
Lumpur Lapindo adalah bentukan Komnas HAM periode kepemimpinan Abdul
Hakim Garuda Nusantara. Selain dari Komnas HAM, komposisi tim juga
melibatkan kalangan LSM di bidang lingkungan.

Mengutip laporan tim, Syafruddin menegaskan adanya indikasi pelanggaran


HAM dalam kasus Lapindo. Pelanggaran HAM tersebut bahkan diyakini telah
terjadi sebelum semburan lumpur panas terjadi. Syafruddin menjelaskan bahwa
kawasan pengeboran Lapindo sedianya tidak diperuntukkan kegiatan eksplorasi
minyak dan gas bumi (migas). Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW), kawasan itu justru diproyeksikan untuk perumahan, pertanian dan
pabrik. Jika tiba-tiba menjadi kawasan eksplorasi migas, itu ada apa? cetusnya.

Syafruddin menyayangkan penentuan lokasi pengeboran Lapindo yang tidak


menyertakan masyarakat secara utuh. Ironisnya, masyarakat bahkan mengaku
tidak mengetahui bahwa PT Lapindo Berantas melakukan pengeboran migas.
Padahal, menurut Syafruddin, masyarakat mempunyai hak untuk menentukan
keputusan yang berkaitan dengan kepentingan daerah mereka. Hak atas
informasi yang diatur oleh UU itu, tidak dipenuhi, ujarnya.

Pelanggaran HAM bahkan secara nyata telah dilakukan pemerintah baik itu
secara sengaja (by commission) maupun dengan cara pembiaran (by
ommission). Pelanggaran HAM secara sengaja dilakukan pemerintah dengan
menerbitkan Perpres No. 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan
Lumpur Sidoarjo (BPLS). Syafruddin memandang Perpres tersebut telah
menghilangkan kewajiban Lapindo untuk membayar ganti rugi kepada korban.
Anehnya, Perpres tersebut justru memberikan hak kepada Lapindo untuk
membeli tanah.

Ini seolah-olah kasus itu (kasus Lapindo-red) tidak ada, yang ada adalah urusan
perdata jual-beli tanah, ujarnya.

Bentuk pengkhianatan
Lebih lanjut, Syafruddin berpendapat skema penggantian kerugian korban
lumpur lapindo dengan proses jual-beli tanah merupakan suatu penghianatan.
Harusnya ganti rugi tanahnya tidak boleh hilang, tandasnya. Sebagai
rekomendasi, Komnas HAM merekomendasikan agar Perpres No. 14 Tahun
2007 segera dicabut dan digantikan dengan aturan yang lebih menjamin hak-hak
korban.

Selain pelanggaran HAM, Komnas HAM juga mendapati adanya


ketidakseriusan yang ditunjukkan baik oleh Lapindo maupun pemerintah.
Lapindo dituding tidak serius dalam penanganan dan pengendalian luapan
lumpur serta penyelesaian ganti rugi kepada semua korban. Sementara,
pemerintah terkesan tidak mampu mengambil tindakan tegas dalam memenuhi
dan memulihkan hak-hak warga yang menjadi korban Lumpur Lapindo.

Sebagai langkah tindak lanjut, Komnas HAM membentuk tim baru dengan
mandat khusus. Tim ini ditugaskan untuk melakukan investigasi mengungkap
beberapa kejadian yang terkesan misterius baik saat penetapan lokasi sumur
Banjarpanji 1, saat pekerjaan pengeboran (sebelum insiden luberan lumpur), saat
terjadi insiden dan penangangan dampaknya yang tidak kunjung selesai.
Hal yang mencurigakan menurut Syafruddin adalah tidak diungkapnya catatan
harian pengeboran. Catatan itu menjadi penting karena bisa menentukan status
insiden lumpur Lapindo apakah karena bencana alam atau kesalahan manusia,
Itu tidak diungkap sampai sekarang, jelasnya.

Bahan memori banding


Perkembangan dari Komnas HAM langsung disambut positif oleh kalangan
LSM. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) memandang temuan Tim
Komnas HAM sebagai langkah maju dalam penuntasan kasus Lapindo. Laporan
tim semakin menegaskan bahwa benar telah terjadi pelanggaran HAM dalam
kasus yang telah menyengsarakan masyarakat di kurang lebih delapan desa di
Sidoarjo.

Bagi kami, ini bisa menjadi masukan berharga buat memori banding yang tengah
kami susun, kata Iki Dulagin, salah seorang kuasa hukum WALHI dalam
gugatan terhadap Lapindo. Sebagaimana diketahui, gugatan WALHI kandas di
PN Jakarta Selatan, dan atas putusan tersebut WALHI mengajukan banding.
Kami targetkan akhir bulan ini memori bandingnya siap, tukasnya.

Hanya saja, Iki mengaku pesimis temuan pelanggaran HAM ini akan ditindak
lanjuti dengan proses hukum. Iki merujuk pada pengalaman sebelumnya, dimana
seringkali rekomendasi Komnas HAM diabaikan oleh penegak hukum maupun
politisi. Sebagai contoh, dia menyebut kelanjutan kasus pelanggaran HAM
Semanggi dan Trisakti. Mudah-mudahan, pihak kepolisian mau pro aktif
menggunakan temuan Komnas HAM ini sehingga proses hukumnya menjadi
jelas, harapnya.

Sementara itu, Ketua Badan Pengurus YLBHI Patra M. Zen berpendapat selama
ini Komnas HAM tidak terlalu didengar karena secara kelembagaan Komnas
HAM memiliki kelemahan. Untuk itu, Patra mengatakan perlu ada penambahan
kewenangan yang lebih besar kepada Komnas HAM. Penambahan itu misalnya
dengan memberikan kewenangan penyidikan dan penindakan lebih besar. Figur
komisionernya juga harus yang mumpuni baik secara hukum maupun politik,
tambahnya.
Terlepas dari itu, Patra mendukung rekomendasi Komnas HAM tentang
pencabutan Perpres No. 14 Tahun 2007. Presiden, menurutnya, tidak memiliki
alasan lagi untuk tidak melakukan pencabutan karena Komnas HAM telah
menyatakan Perpres tersebut melanggar HAM. Walaupun judicial review kami
ditolak MA, tetapi sekarang Presiden seharusnya memiliki dasar untuk mencabut
Perpres itu, ujarnya lagi.

Anda mungkin juga menyukai