Tahun Semburan
Lumpur Ancam
Kesehatan Warga
30/05/2018
Petrus Riski
“Teman-teman yang ada di wilayah sekitar ini, jadi mulai dari timur
itu Desa Glagaharum, Sentul dan sekitarnya, ini setiap hari selalu
menghirup udara yang tidak sehat, dan ini tidak ada penanganan
yang, dari pemerintah tidak ada sama sekali,” kata Rokhim.
“Mestinya bagaimana warga itu satu minggu sekali atau satu bulan
sekali, itu bisa diperiksa, di check up, bagaimana kondisi kesehatan
di sekitar asap semburan lumpur Lapindo. Warga itu tidak tahu di
dalam tubuhnya itu seperti apa sekarang, dari sisi dia bernapas
menghirup udara yang sehat itu tiap hari. Bayangkan kalau ini satu
tahun, dua tahun, ini dua belas tahun. Itu belum ada penanganan
sama sekali,” kata Rokhim.
Foto/Net
RMOL. Sudah 11 tahun berlalu sejak semburan pertama lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa
Timur. Pemenuhan hak-hak korban masih belum tuntas.
BE RITA TE RK AIT
Rumah Reyot Tanpa Ada Toilet, Bekas Kandang Ayam Jadi Dapur
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur, Rere Christanto
menuturkan, dalam kasus lumpur Lapindo yang masih luput dari publik adalah fakta bahwa
penggantian kerugian yang diderita korban telah direduksi menjadi sebatas ‘jual-beli’ tanah dan
bangunan antara warga-korban dengan Lapindo atau pemerintah.
"Penggunaan mekanisme 'jual-beli' tanah dan bangunan sebagai model 'ganti-rugi' bagi para korban
justru memunculkan persoalan sosial baru karena pemerintah hanya memperhitungkan kerugian
materiil dan mengabaikan hilangnya hak-hak korban yang lain pasca keluarnya semburan lumpur
panas Lapindo," katanya.
Menurut Rere, salah satu persoalan yang dilupakan adalah fakta degradasi kondisi lingkungan di
wilayah semburan lumpur Lapindo. Penelitian WALHI pada tahun 2008 menyimpulkan, tanah dan air
di area sekitar lumpur panas mengandung Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) hingga dua ribu kali
di atas ambang batas normal. Padahal PAH adalah senyawa organik yang berbahaya dan bersifat
karsiogenik atau memicu kanker.
Pada 2016, penelitian logam berat yang dilakukan WALHI Jawa Timur menunjukkan level Timbal (Pb)
dan Cadmium (Cd) pada air sungai Porong mencapai angka 10 kali diatas ambang batas yang
diperbolehkan di lingkungan.
"Bukan hanya di air saja, level tinggi logam berat juga ditemukan dalam tubuh biota di sungai Porong
yang dijadikan buangan untuk semburan lumpur Lapindo," katanya.
Tak hanya itu, sejumlah penelitian menemukan adanya kandungan logam berat Timbal dan Cadmium
di atas ambang batas yang diperbolehkan dalam tubuh ikan di tambak dan sungai Porong.
Besaran angka kontaminasi logam berat dalam tubuh ikan ini sangat mengkhawatirkan, mengingat
bahwa ikan-ikan dari wilayah Porong dan sekitarnya masih dikonsumsi oleh warga dengan bebas.
Selain soal lingkungan dan kesehatan, problem lainnya yang membelit korban lumpur Lapindo adalah
persoalan dampak sosial.
"Jika kita tilik bencana lumpur Lapindo, maka sulit ditemukan angka pasti berapa orang yang menjadi
korban. Padahal dalam kejadian bencana, keberadaan korban dengan segala atributnya seperti
jumlah korban, merupakan hal yang normal dilaporkan. Namun hal ini tidak pernah berlaku pada
kasus Lapindo," sebut Rere.
Sejak awal kasus lumpur Lapindo, tidak pernah ada jumlah pasti yang dikeluarkan oleh otoritas
setempat terkait berapa jumlah korban. WALHI Jatim, lanjut Rere, menuntut pemerintah berani
menggunakan kekuasaannya untuk memaksa Lapindo mengembalikan hak-hak rakyat yang telah
terenggut pasca melubernya lumpur panas.
Sementara itu, berdasarkan Audit HAM atas Tanggung Jawab Negara dan Perusahaan dalam Upaya
Pemulihan Korban Bencana Lumpur Lapindo 2006-2017 yang dilakukan Komnas HAM, pemerintah
gagal menyelesaikan kasus lumpur Lapindo. Terlebih dengan dibubarkannya Badan Penanggulangan
Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 21 tahun 2017.
BACA J U G A
"Negara harus mengambil langkah-langkah tegas dan efektif untuk memulihkan hak-hak korban
bencana," tandasnya. ***
Editor: Arry Kurniawan
Multidimensionalitas Kasus Lumpur
Lapindo
Oleh: Anton Novenanto*
SUDUT PANDANG
Apa pun penyebabnya, lumpur Lapindo telah menghasilkan dampak multidimensi pada
lingkungan, kesehatan masyarakat, dan sosial.
Lumpur Lapindo telah mengubah sistem ekologis DAS Porong. Pembuangan lumpur ke
Selat Madura melalui Sungai Porong dan sungai-sungai kecil membawa persoalan lain.
Praktik tersebut dikeluhkan para petambak di muara. Angka produksi udang (komoditas
unggulan Kabupaten Sidoarjo) menurun tajam 10 tahun terakhir. Tidak sedikit ikan
produksi tambak dan yang ditemukan di Sungai Porong berbau gas. Endapan lumpur
juga telah membentuk pulau baru seluas 94 hektare hanya dalam waktu 5 (lima) tahun
semburan. Keanekaragaman hayati di kawasan DAS Porong pun cenderung berkurang.
Penurunan kualitas udara juga menjadi perhatian warga. Itu terkait dengan tren penyakit
yang muncul di sekitar kawasan semburan lumpur. Data Puskesmas Porong, misalnya,
menunjukkan lonjakan penderita infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) yang dialami
warga pasca semburan lumpur. Hal itu diduga disebabkan memburuknya kualitas udara
karena debu lumpur ataupun debu lain dari pembangunan bendungan, jalan raya, dan tol
di kawasan itu. Penelitian Walhi (2008) menemukan kandungan gas hidrokarbon di
udara di sekitar semburan yang potensial memicu kanker bila dihirup secara terus-
menerus.
Pada dimensi sosial, lumpur Lapindo memicu perubahan pola ekonomi warga secara
drastis. Warga yang dahulu bekerja di sektor agraris harus berpindah ke sektor-sektor
lain yang bukan keahliannya. Warga yang kehilangan sawah tidak bisa dengan mudah
memperoleh lahan baru. Pabrik-pabrik yang ditutup meninggalkan angka pengangguran
yang tinggi. Domestifikasi perempuan menjadi persoalan serius yang luput dari perhatian
publik. Sekalipun warga sudah mendapat pelunasan atas jual beli aset mereka, yang
lebih mereka butuhkan adalah pekerjaan tetap.
Warga yang sudah pindah harus menghadapi masalah integrasi dengan lingkungan
baru. Tidak jarang mereka menjadi korban pungutan liar para makelar tanah dan aparat
pemerintah lokal saat mengurus kepindahan. Stigma bahwa korban Lapindo adalah
’’orang kaya’’ adalah sumber masalah bagi munculnya batas-batas sosial antara korban
dan bukan korban.
Sayangnya, pemerintah hanya melihat masalah sosial sebatas apakah warga sudah
dibayar lunas atau belum. Pemerintah menentukan wilayah yang harus ’’dibebaskan’’
dan ’’dikosongkan’’. Pemerintah juga mengatur siapa yang berkewajiban membayar:
Lapindo atau pemerintah. Namun, tentang bagaimana warga bisa mendapatkan hunian
baru tidak pernah menjadi perhatian pemerintah. Di lapangan, mekanisme pasarlah yang
lebih menentukan proses tersebut. Sekalipun pemerintah sudah meminjami Lapindo
untuk membayar kekurangan tanggung jawabnya, uang yang cair belum cukup untuk
membeli rumah baru.
*Staf pengajar sosiologi Universitas Brawijaya; meneliti kasus lumpur Lapindo sejak
2008; editor buku Membingkai Lapindo (2013)
Sudah Ditetapkan DPR Bencana Alam, Lapindo
Tak Bisa Dipidana
Utami Diah Kusumawati, CNN Indonesia | Jumat, 29/05/2015 18:32 WIB
Bagikan :
Namun tak ada satu pun korporasi atau pengelola dari PT Lapindo Brantas Inc. yang
terkena jeratan hukum. Mahkamah Agung menyatakan kasus lumpur Lapindo sebagai
dampak bencana alam. Pendapat serupa juga dipegang Dewan Perwakilan Rakyat RI.
"Kami punya UU yang mengatur tentang kejahatan korporasi di bidang lingkungan, baik
sengaja atau tidak sengaja. Namun jika sebuah kasus sudah ditetapkan pemerintah
sebagai bencana alam, aturan pidana menjadi gugur," kata Karliansyah kepada CNN
Indonesia, Jumat (29/5).
Dalam kasus tragedi lumpur Lapindo, Kepolisian Daerah Jawa Timur pernah
menetapkan 13 tersangka, yakni dari pihak PT Energi Mega Persada Tbk, PT Medici
Citra Nusa, PT Tiga Musim Mas Jaya, dan Lapindo Brantas. Namun penyidikan tersebut
dihentikan pada Agustus 2009.
Jika sebuah kasus tidak diputuskan sebagai bencana alam, barulah institusinya bisa
memidanakan korporasi dan individu yang terlibat dalam kasus pencemaran lingkungan,
baik sengaja maupun tak disengaja. "Aturan itu tercantum dalam UU Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 116 ayat 1," ujar
Yunus.
Yunus mengutip bunyi UU tersebut, yakni "Apabila tindak pidana dilakukan oleh, untuk,
atau, atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada a.
badan usaha dan/atau b. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana
tersebut, atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana
tersebut."
"Misalnya kasus kebakaran hutan. Tidak ada pernyataan itu bencana alam, maka bisa
dijatuhkan pidana dengan UU ini," ujar Yunus.
Misalnya mengenai kapasitas pipa penyaluran yang memuat maksimal 100 meter kubik
per jam, Kementerian akan memberikan izin hanya pada angka 75 atau 80 meter kubik
per jam. "Itu untuk menjaga dari risiko. Tapi apakah perusahaan menaati klausul itu?
Makanya bisa terjadi gesekan di pipa yang menyebabkan kebocoran berlanjut-lanjut,"
kata dia.
Baca juga penjelasan Direktur Utama PT Minarak Lapindo Jaya, Andi Darussalam
Tabussala, dalam wawancara dengan CNN Indonesia: Ganti Rugi Korban Lumpur Dibayar
sebelum Lebaran (utd/agk)
Alasan Lapindo Kembali Mengebor Gas
Sidoarjo: Untuk Bayar Utang!
PT Lapindo Brantas berutang pada pemerintah karena tidak mampu membayar ganti
rugi warga korban terdampak luapan lumpur Lapindo, sehingga pembayaran ditangani
pemerintah melalui APBN.
Semburan lumpur Lapindo di sumur gas Banjar Panji, Sidoarjo, Jawa Timur menutup
area lebih dari 600 hektar. (Foto: ANTARA)
KBR, Jakarta - Lapindo Brantas Inc, perusahaan keluarga Aburizal Bakrie,
kembali aktif untuk melakukan pengeboran di Kabupaten Sidoarjo Jawa
Timur.
"Pinjaman itu ada klausul yang mengatakan kita harus mengembalikan dalam
jangka waktu empat tahun dan bunga sebesar empat koma sekian persen.
Dari mana kita mendapatkan dana itu untuk mengembalikan kepada
pemerintah kalau kita tidak boleh melakukan pengeboran?" jelas Direktur
Utama PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) Andi Darussalam Tabussala kepada
KBR, Rabu (6/1/2016)
"Sekarang muncul ada penolakan dari warga, apa dasarnya warga menolak?
Kejadian kemarin (2006) juga karena kejadian alam," kata Andi.
Aset yang dijaminkan kepada pemerintah mencapai Rp 3.3 triliun. Sejauh ini
jumlah bantuan yang telah diberikan pemerintah pusat kepada korban
semburan lumpur Lapindo sekitar Rp 5,5 triliun.
Menimbulkan Trauma
Sementara itu, LSM Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur meminta
Lapindo Brantas menghentikan pengeboran kembali di lokasi yang tidak jauh
dari semburan.
"Dari sejak awal kita menduga ada konspirasi dan kepentingan kepemilikan
lahan yang begitu luas dan pembelian lahan yang murah. Kami dari awal
sudah ngomong untuk menghentikan seluruh pengeboran yang dilakukan
oleh PT Lapindo Brantas. Karena, tidak adil. Di satu sisi mereka
membebaskan lahan milik masyarakat tetapi dia tidak bertanggung jawab
menutup semburan lumpur malah tetap melanjutkan pengeboran," jelas
Direktur Eksekutif Walhi Jatim, Oni Mahardika kepada KBR, Rabu (6/1).
Oni Mahardika menduga ada konspirasi dari pemilik Lapindo Brantas untuk
memiliki lahan warga dengan murah dan mudah pasca kejadian melubernya
lumpur.
Tempo.co
Warga korban lumpur Lapindo memanjatkan doa untuk keluarga mereka yang telah wafat, di tanggul titik 42 Porong,
Sidoarjo, Jawa Timur, 25 Mei 2017. Warga korban lumpur Lapindo menyambut Ramadan dengan melakukan ziarah
di makam kerabat yang telah tenggelam oleh lumpur. ANTARA/Umarul Faruq
Selain itu, masih ada 19 berkas (Rp 8,9 miliar) milik warga di PAT yang belum
dibayar sama sekali. Menurut Khuluk, hal tersebut terjadi karena masih ada masalah
dalam berkas tersebut. Di antaranya masalah hak waris bagi korban yang telah
meninggal, luasan tanah, dan status tanah kering-basah.
Kuasa hukum pengusaha korban lumpur Lapindo, Mursyid Murdiantoro, tetap akan
melakukan upaya hukum atas keputusan pemerintah yang tidak menanggung
kerugian perusahaan. "Tidak ada langkah lain kecuali langkah hukum," katanya
tanpa menjelaskan detail upaya hukum tersebut.
Tempo.co
Rabu, 26 April 2017 19:43 WIB
0 KOMENTAR
4317
Roboto
TEMPO/Fully Syafi
"Sebenarnya tidak bisa disebut menolak. Dari dulu, pemerintah memang tidak
berpikir untuk menanggung kerugian itu. Yang kami tanggung adalah kerugian
masyarakat," ujar Basuki.
Baca: Pengusaha Korban Lumpur Lapindo Tak Dapat Dana Talangan
Demi bisa mendapat dana bantuan yang berwujud talangan kepada Lapindo
tersebut, beberapa pengusaha bahkan sempat mempermasalahkan dana bantuan
pemerintah ke Mahkamah Konstitusi. Mereka ingin dianggap juga sebagai
masyarakat agar bisa menerima dana bantuan. Namun, upaya itu tidak berlanjut.
"Masa sih perusahaan gak ada asurasnsinya? Jadi, selesaikan saja secara B2B
supaya gak jadi preseden bahwa perusahaan bisa lari ke pemerintah kalau diterpa
musibah," ujar Basuki.
ADVERTISEMENT
"Tapi, ada 19 berkas susulan milik warga dari unsur Rumah Tangga. Itu sudah
diverifikasi oleh BPKP. Untuk itu, kami mengusulkan penambahan alokasi dana
antisipasi sebesar Rp 9,8 miliar," ujar Basuki.
Hal senada disampaikan Gubernur Jawa Timur Soekarwo. Kepada awak media, ia
menyampaikan bahwa pemerintah akan mengupayakan segeala kekurangan
pembayaran, namun tidak untuk pengusaha. "Sementara ini, semuanya ditargetkan
selesai tahun ini," ujar Soekarwo.
Selasa, 26 Juni 2007 08:09
"Minyak kemudian menjadi penentu kekuasaan. Kekuasaan untuk minyak dan minyak
untuk kekuasaan, " tambah aktivis Prodem itu. Yang demikian ini terjadi di Lapindo.
"HOA (Heads of Agreement, Red.) antara Lapindo (PT. Lapindo Brantas Inc.) dengan
Perusahaan Gas Negara (PGN) yang diteken pada tahun 2001, ketika itu ketua KADIN
(Kamar Dagang dan Industri)-nya adalah Aburizal Bakrie sementara Mentamben (Menteri
Pertambangan dan Energi, Red.)-nya adalah SBY," jelasnya. Lapindo inilah yang
menyebabkan banjir lumpur panas di Porong, Sidoarjo yang belum bisa dihentikan sampai
sekarang.
Kasus lumpur Lapindo menurut alumni perminyakan Institut Teknologi Bandung (ITB) ini
penuh konspirasi. "Menurut (surat) perizinan, biaya yang diusulkan Lapindo adalah
sebanyak 6.297.244 USD tetapi pelaksanaanya hanya berkisar 3 juta USD," terangnya.
Soal perizinan eksplorasi juga bermasalah. "Kontrak seharusnya selama 6 tahun dan
perpanjangan 4 tahun, yakni tahun 2000 lalu. Tapi sampai sekarang masih terus
berlanjut," tandasnya.
Pengeboran yang mencapai 9.279 kaki yang tidak memakai casing (selubung pengaman)
dinilai pula oleh Ali sebagai konspirasi. "Casing sudah harus dipakai ketika kedalaman
pengeboran 8500 kaki," paparnya. Casing, baginya, sengaja tidak dipakai supaya dapat
menghemat biaya operasional pengeboran minyak.
Akibat hal ini, lumpur meluap hebat. "Ia menelan korban jiwa dan menggenangi 850
hektar lahan, 16.300 unit rumah lebih, 33 unit sekolah, 4 kantor pemerintahan, 29 unit
pabrik, 11 home industry, 11 masjid, 57 musholla, 3 pondok pesantren, 1 panti & 28 TPQ,"
bebernya. Lumpur Lapindo juga menjadikan 21.674 Kepala Keluarga dengan 36.846 jiwa
menjadi pengungsi dan merusak infra struktur yang ada seperti saluran listrik, telepon,
dan irigasi.
Kebohongan publik yang dilakukan oleh Lapindo juga merupakan upaya konspirasi.
"Lumpur Lapindo diklaim sebagai akibat dari gempa Yogya," tambahnya. Ali menjelaskan
bahwa gempa di tempat itu akan berdampak paling jauh di Klaten disertai dengan gambar
lokasi yang cukup meyakinkan.
Konspirasi lainnya adalah soal kelalaian yang disengaja oleh pihak Lapindo. "Biar
menangguk untung," katanya.
Dengan teori konspirasi seperti ini, Ali mengajukan tiga skenario. "Pertama, semburan
lumpur diisukan sebagai bencana Yogya agar memperoleh klaim asuransi. Ini dilakukan
oleh Menkokesra (Aburizal Bakrie, Red.)," urainya.
Kedua, mengamputasi Lapindo agar terlepas dari tanggung jawabnya menanggung ganti
rugi para korban. Ini dilakukan oleh para penegak hukum atau para hakim Pengadilan Tata
Niaga. Dengan kapasitas mereka di bidang itu, Lapindo diputuskan pailit sehingga
dianggap tidak mampu membayar ganti rugi yang dimaksud.
"Ketiga, menggeser Sumur Banjar Panji I (sumber meluapnya lumpur panas, Red.) ke
sumur minyak yang sudah memasuki tahap produksi sehingga biayanya dibebankan
kepada pemerintah. Padahal, sumur tersebut masih dalam taraf eksplorasi sehingga
biayanya dipikul Lapindo," tukasnya. Skenario ketiga ini dilakukan oleh Badan Pelaksana
Minyak dan Gas (BP Migas) dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Menteri ESDM).
Bila skenario yang pertama berjalan, hemat Ali, korban lumpur Lapindo hanya akan
memperoleh santunan, bukan ganti rugi. Karena mereka hanya mendapatkannya dari
Anggaran Perencanaan dan Belanja Negara (APBN). "Bila skenario kedua dan ketiga
dilakukan, mereka tidak mendapatkan santunan dan ganti rugi," jelasnya lagi. Ini karena
skenario kedua mengandaikan kalau ganti rugi diambilkan dari sisa aset Lapindo dan sisa
APBN sehingga jumlahnya sangat sedikit. Jumlah yang sama dengan skenario ketiga.
Hanya saja ditambah dengan sisa Anggaran Perencanaan dan Belanja Daerah (APBD).
Selain Ali, hadir pula S. Indro Tjahyono, Boni Setiawan, dan Harry Ponto sebagai
pembanding.
Menurut Indra, bisnis minyak adalah bisnis elit yang penuh konspirasi di permukaan atau
di bawah tanah. "Bisa membeli atau mengatur negara—minimal menteri atau presiden,"
kata aktivis SKEPPI ini menyinggung Lapindo.
Minyak, menurut aktivis mahasiswa 1977/1978 ini, kemudian diperuntukkan bagi
pertahanan dan pertahanan untuk minyak. "Reformasi bahkan tidak mengubah konspirasi
minyak ini," tandasnya.
Bonie Setiawan lebih menyoroti soal korporasi. "Yang berlaku di Indonesia sekarang ini
adalah penguasaha, pengusaha-penguasa," papar pegiat Institute Global Justice ini.
Mereka saling berkoalisi.
Korporasi seperti diatur dalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang penanaman modal diberi
hak. "Inilah supremasi korporasi itu di mana mereka memiliki investor rights,"
sambungnya. Di sisi lain, korporasi tidak dibebani kewajiban sehingga tidak bisa dimintai
pertangung-jawaban bila tersandung corporate crime. "Oleh hukum internasional
sekalipun. Sebab kejahatan itu tidak pernah didefinisikan di dalamnya," tambahnya.
Karena itu, menurut Bonie, masyarakat paling-paling bisa menuntut (dana) Company
Social Responsibility(CSR) termasuk dalam kasus lumpur Lapindo. Ia sendiri merasa
bahwa kasus ini adalah ujian namun akan gagal kita lampaui.
"Kasus lumpur Lapido merupakan kasus ekstrim dari kesewenang-wenangan korporasi,"
pungkasnya mengakhiri presentasi.
Harry Ponto yang advokat mengatakan bahwa ada perlakuan berbeda terhadap kasus ini.
"Dulu pada kasus illegal logging (pembalakan liar, Red.) polisi bertindak seolah tanpa
kompromi. Pelakunya dicecar sampai-sampai tidak bisa berkelit," jelas Sekjen
Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) ini menceritakan pengalaman pribadinya. Ia
dalam hal ini mempertanyakan tindak lanjut dari hasil penelitian para ahli yang sudah
dilakukan di Porong, Sidoarjo.
Hal lain yang menjadi tanya bagi Harry adalah soal inkonsistensi Badan Pengawas Pasar
Modal (Bapepam). "Dulu Bapepam kukuh agar Lapindo tidak menjual atau berafiliasi
dengan perusahaan lain selama belum ada kejelasan siapa yang bertanggung jawab
terhadap penanganan masalah Lapindo. Tetapi sikap ini tidak diteruskan ketika yang
menjualnya adalah Menkokesra," katanya lantang. Menurutnya ini merupakan konspirasi
demi meloloskan satu pihak agar terhindar dari tanggung jawab yang seharusnya
ditunaikan.
Di akhir paparannya, ia menganjurkan agar gugatan tidak bersifat individual. "Gugatan
lebih baik berkelompok agar lebih berhasil," tandasnya. (NS)
Kasus Lumpur Panas Lapindo Dinilai Sebagai
Kejahatan Korporasi
Saifudin – Rabu, 14 Jumadil Akhir 1427 H / 12 Juli 2006 07:59 WIB
Telah satu bulan lebih terjadi kebocoran gas di areal ekplorasi gas PT. Lapindo Brantas
(Lapindo) di Desa Ronokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo. Tapi
sepertinya belum tampak tanda-tanda siapa yang harus bertanggung jawab.
Ivan V. Agung, Manager Pengembangan Hukum dan Litigasi WALHI menilai, dilihat
dari sudut pandang lingkungan hidup, tragedi lumpur panas Lapindo dapat dikategorikan
sebagai kejahatan korporasi, dengan unsur-unsur yang telah ditetapkan dalam Dalam Bab
IX Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU
No.23/1997), telah diatur sanksi pidana (penjara dan denda) terhadap badan hukum yang
melakukan pencemaran.
"Pada pasal 46 UU No.23/1997 dinyatakan bila badan hukum terbukti melakukan tindak
pidana, maka sanksinya dijatuhkan selain terhadap badan hukum, juga terhadap mereka
yang memberi perintah atau yang menjadi pemimpin dalam perbuatan tersebut," tegas
Ivan kepada pers di Jakarta, Selasa (11/7).
Dijelaskannya, kebocoran gas tersebut berupa semburan asap putih dari rekahan tanah,
membumbung tinggi sekitar 10 meter. Semburan gas tersebut disertai keluarnya cairan
lumpur dan meluber ke lahan warga.
Ia menambahkan, hak konsesi eksplorasi pada Blok Brantas PT. Lapindo Brantas
diberikan oleh Pemerintah Pusat sementara izin konsesinya diberikan oleh Pemerintah
Propinsi Jawa Timur yang pada perkembangannya Pemerintah Daerah Sidoarjo malah
memberikan keleluasaan kepada PT. Lapindo Brantas untuk melakukan aktivitasnya
tanpa sadar bahwa Rencana Tata Ruang Kabupaten Sidoarjo tidak kompatibel terhadap
rencana eksplorasi dan eksploitasi tersebut.
“Selain lingkungan fisik yang rusak, kesehatan warga setempat juga terganggu. Lily
Pudjiastuti, anggota tim ahli ITS yang membidangi penanganan lingkungan menyatakan
bahwa lumpur panas di Sidoarjo bisa menyebabkan infeksi saluran pernapasan dan iritasi
kulit,” paparnya.
Selain panas, lanjut Ivan, dari uji laboratorium terdapat kandungan bahan beracun dan
berbahaya (B3) yang melebihi ambang batas. Dalam sampel lumpur yang diambil 5 Juni
dan dianalisis oleh laboratorium uji kualitas air Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Jawa
Timur terdapat fenol, zat kimia yang berbahaya bagi kesehatan. (dina)
Kasus lumpur Lapindo jauh dari rasa keadilan
MakroNasional
Koalisi Gerakan ini terdiri dari aktivius dan LSM Lingkungan antara JATAM, KIARA,
WALHI, Institut Hijau Indonesia, ICEL, Kontras, LBH Masyarakat, Lapis Budaya,
Imparsial, Satu Dunia, WALHI Jatim dan Solidaritas Perempuan.
Dilanjutkan, lumpur Lapindo yang telah meluluhlantakkan 16 desa ini tidak hanya
menimbulkan masalah ganti rugi atau jual beli tanah semata. Untuk memberikan ganti
rugi kepada warga yang berhak, pihak Lapindo selalu berkelit mereka mengalami
kesulitan dan kehabisan dana.
Perilaku ini, sambung dia, jelas merupakan wujud pembangkangan Ical dan kekalahan
negara dalam menindak kejahatan korporasi. Mestinya pemenuhan hak-hak dasar korban
Lumpur Lapindo yang diprioritaskan untuk diselesaikan ketimbang membangun citra dan
berupaya merebut simpati publik.
"Kami masyarakat sipil menyatakan perlawanan terus menerus bahkan setiap bulannya
akan melakukan aksi untuk menuntut penegakan keadilan dan harga diri untuk melawan
dehumanisasi oleh koorporasi dan juga oleh pemerintah," tegasnya serius.
Juga, memaksa dan menuntut Lapindo membayar seluruh kerugian tanpa menggunakan
uang rakyat yakni APBN, dan meminta Pemerintah membawa Lapindo ke Pengadilan
sebagai pelaku kejahatan lingkungan dan pelanggaran HAM berat.
"Kami juga menuntut Medco Energi untuk membuka semua dokumen atau data terkait
dengan Blok Brantas. Dan SBY harus memenuhi janji-janjinya untuk menanggani
Lapindo secara maksimal dan terang benderang," paparnya.
Tuntutan lainnya, meminta seluruh anggota dan pemain tim nasional PSSI untuk menolak
semua pemberian dari Aburizal Bakrie dengan pertimbangan kemanusiaan bahwa hak-
hak korban luapan lumpur Lapindo belum diselesaikan dengan baik.
Selain itu, mengingatkan seluruh masyarakat Indonesia untuk tidak melupakan masalah
lumpur Lapindo, serta tidak terpengaruh opini “ menyesatkan” yang berupaya
mengalihkan tanggung jawab dalam penyelesaian masalah ini, sambungnya.
Kasus Lumpur Lapindo
Sabtu, 16 Pebruari 2008
Nyaris dua tahun sudah tragedi semburan lumpur panas di lokasi pengeboran PT
Lapindo Berantas berjalan tanpa penyelesaian yang tak kunjung jelas. Berbagai
skema penyelesaian yang ada sepertinya belum ada yang mengena di hati para
korban. Unjuk rasa, gugatan secara hukum sampai interpelasi DPR pun terbukti
tidak ampuh membuahkan solusi.
Kamis (14/2), Komnas HAM melansir informasi yang bisa jadi babak baru
penyelesaian tragedi lumpur Sidoarjo. Syafruddin Ngulma Simeuleu, salah
seorang Komisioner, menyatakan bahwa Sidang Paripurna Komnas HAM
telah mengesahkan Laporan Tim Komnas HAM tentang Kasus Lumpur
Lapindomenjadi Laporan Komnas HAM. Tim Komnas HAM tentang Kasus
Lumpur Lapindo adalah bentukan Komnas HAM periode kepemimpinan Abdul
Hakim Garuda Nusantara. Selain dari Komnas HAM, komposisi tim juga
melibatkan kalangan LSM di bidang lingkungan.
Pelanggaran HAM bahkan secara nyata telah dilakukan pemerintah baik itu
secara sengaja (by commission) maupun dengan cara pembiaran (by
ommission). Pelanggaran HAM secara sengaja dilakukan pemerintah dengan
menerbitkan Perpres No. 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan
Lumpur Sidoarjo (BPLS). Syafruddin memandang Perpres tersebut telah
menghilangkan kewajiban Lapindo untuk membayar ganti rugi kepada korban.
Anehnya, Perpres tersebut justru memberikan hak kepada Lapindo untuk
membeli tanah.
Ini seolah-olah kasus itu (kasus Lapindo-red) tidak ada, yang ada adalah urusan
perdata jual-beli tanah, ujarnya.
Bentuk pengkhianatan
Lebih lanjut, Syafruddin berpendapat skema penggantian kerugian korban
lumpur lapindo dengan proses jual-beli tanah merupakan suatu penghianatan.
Harusnya ganti rugi tanahnya tidak boleh hilang, tandasnya. Sebagai
rekomendasi, Komnas HAM merekomendasikan agar Perpres No. 14 Tahun
2007 segera dicabut dan digantikan dengan aturan yang lebih menjamin hak-hak
korban.
Sebagai langkah tindak lanjut, Komnas HAM membentuk tim baru dengan
mandat khusus. Tim ini ditugaskan untuk melakukan investigasi mengungkap
beberapa kejadian yang terkesan misterius baik saat penetapan lokasi sumur
Banjarpanji 1, saat pekerjaan pengeboran (sebelum insiden luberan lumpur), saat
terjadi insiden dan penangangan dampaknya yang tidak kunjung selesai.
Hal yang mencurigakan menurut Syafruddin adalah tidak diungkapnya catatan
harian pengeboran. Catatan itu menjadi penting karena bisa menentukan status
insiden lumpur Lapindo apakah karena bencana alam atau kesalahan manusia,
Itu tidak diungkap sampai sekarang, jelasnya.
Bagi kami, ini bisa menjadi masukan berharga buat memori banding yang tengah
kami susun, kata Iki Dulagin, salah seorang kuasa hukum WALHI dalam
gugatan terhadap Lapindo. Sebagaimana diketahui, gugatan WALHI kandas di
PN Jakarta Selatan, dan atas putusan tersebut WALHI mengajukan banding.
Kami targetkan akhir bulan ini memori bandingnya siap, tukasnya.
Hanya saja, Iki mengaku pesimis temuan pelanggaran HAM ini akan ditindak
lanjuti dengan proses hukum. Iki merujuk pada pengalaman sebelumnya, dimana
seringkali rekomendasi Komnas HAM diabaikan oleh penegak hukum maupun
politisi. Sebagai contoh, dia menyebut kelanjutan kasus pelanggaran HAM
Semanggi dan Trisakti. Mudah-mudahan, pihak kepolisian mau pro aktif
menggunakan temuan Komnas HAM ini sehingga proses hukumnya menjadi
jelas, harapnya.
Sementara itu, Ketua Badan Pengurus YLBHI Patra M. Zen berpendapat selama
ini Komnas HAM tidak terlalu didengar karena secara kelembagaan Komnas
HAM memiliki kelemahan. Untuk itu, Patra mengatakan perlu ada penambahan
kewenangan yang lebih besar kepada Komnas HAM. Penambahan itu misalnya
dengan memberikan kewenangan penyidikan dan penindakan lebih besar. Figur
komisionernya juga harus yang mumpuni baik secara hukum maupun politik,
tambahnya.
Terlepas dari itu, Patra mendukung rekomendasi Komnas HAM tentang
pencabutan Perpres No. 14 Tahun 2007. Presiden, menurutnya, tidak memiliki
alasan lagi untuk tidak melakukan pencabutan karena Komnas HAM telah
menyatakan Perpres tersebut melanggar HAM. Walaupun judicial review kami
ditolak MA, tetapi sekarang Presiden seharusnya memiliki dasar untuk mencabut
Perpres itu, ujarnya lagi.