Anda di halaman 1dari 3

Kampung sawah pelung

Banyak yang bilang kalau dia adalah gadis ayu yang tinggal di ujung kampung sawah
pelung. Walau beberapa kali tuan Van Henler sengaja datang untuk berkunjung, aku tetap
setia tinggal di pojok semak semak menunggu dia pergi.

Cahyanti namanya gadis ayu yang hendak dijodohkan dengan si bajingan Van Henler pemilik
dua gundik, satu istri. Belum juga puas dengan gundik dua yang terpikat jauh dengan
usianya, kini dia sudah mendekati cahyanti gadis yang pertama kali aku merasakan cinta pada
nya.

Diam diam aku mencintainya saat kami pertama berjumpa di kali, hendak akan ia terjatuh ke
sungai tempo hari lalu. Haji Nariman bin Santani adalah nama ayahnya yang lekat dengan
agama, amat terpandang di kampung pelung, dia terpandang juga bermartabat, kakanya
Abdul Nurohman kepercayaan menir konslër seorang jerman tulen yang pernah tinggal di
Penjaringan.

Aku bukanlah siapapun, kere, miskin dan tak bertuan, pernah sekali aku ikut mayor Vleenk
sewaktu dia punya pabrik gula di kemayoran. Dia menggaji ku dengan sangat buruk, tukang
korupsi duit atasanya dan banyak sumpah serapah yang menempel padanya sehingga dia
bangkrut.

Aku dengar dia dikirim ke luar jawa, siapa peduli. Bicara Haji Nariman memang keluarga
tersohor, anak semata wayangnya yang cantik bukan kepalang, ditambah luwes pada orang
dan penjajakan kehidupanya yang baik membuat lelaki mana yang tak terpukau.

Namun jika disandingkan dengan pria bangkotan macam Van Henler, bedebah sialan itu
harus berhadapan dengan ku. Sepucuk surat dari Luwik menleer seorang penjahat kelas
wahid di negeri kincir angin itu tiba di pos kota. Dengan nama samaran Malande dia
menyamar kabur ke Hindia Belanda seorang diri.

Aku masuk ke sebuah klub yang suka mempertikaikan kelas satu dan kelas bawah, lebih
pantas kusebut mencela kelas bawah. Klub yang di beri nama Boze bond ini memberikan
padaku angin sumpek yang gila, hampas aku masuk kesini.

Dalam surat yang kuambil tadi siang, aku harus menemui Lanser Alen mark warga blasteran
Amerika - Belanda. Pria berhidung mancung dan mata biru terang itu tak ku lihat berada di
klub rasis itu.

Yang ku dapat hanyalah perlakuan rasis, penghinaan untuku kata kata kasar dan ejekan yang
membuatku ingin memberikan mereka satu atau dua pelajaran berharga.

Dengan sepeda ini aku mengayuh menuju jalan besar melewati Burgemeesters kantoor,
disana aku berhenti tak jauh dari taman sekitar kantor ada pedagang menjajakan nasi liwet,
dan soto ayam. Hilir mudik nya warga tak ramai disini karena memang kota ini cukup sepi,
hanya terlihat postbode sibuk mengantar kan surat.

Pedangang menghormati ku karena aku memakai pakaian mewah seperti mereka, yah, seperti
si pirang dan si jangkung yang ceria ketika lewat depan warungnya mengendarai sepeda. Dia
pikir aku orang kaya, yang bejibun dunia karena baju yang sebenarnya biasa biasa saja
menurutku.

Aku tidak menanggapi pujian itu, biarkan, aku tetap menyantap makanan dengan nikmat
walau sesekali tertawa ketika pemilik lapak berguyon. Aku merogoh uang tunai, nampak
dompet mewah tergambar ratu belanda menghiasi dompet pemberian sobatku Landerst yang
almarhum bulan lalu.

Semakin menambah pamor ku dihadapan pedagang kecil ini, keyakinanya tak terbantahkan
lagi, siapa yang punya dompet sebagus itu kalau bukan anak seorang tuan pemilik harta
bejibun?

Aku kembali membuka sepucuk surat setelah selesai makan, dibaca di bulak - balik tulisan
tangan yang berasal dari Rotterdam. Pencarian ku belum usai menemukan si Lanser Alan
Mark yang dimana dia saat ini masih misterius.

"Terimakasih, mas … " (Ucap pedagang)

Aku berpamitan pada pedagang dengan senyum yang seolah dipaksa kan, jujur saja aku
jarang senyum. Daripada aku pusing mencari keberadaan si Lanser lebih baik aku pulang ke
markas, berupa sebuah perkumpulan pengangguran yang sedikit memiliki rutinitas penting.

"Selamat datang tuan meneer, sekarang kau sudah menjadi Belanda."

Tawa dari seorang teman seolah mengejek diri ini yang berpenampilan eropa.

"Baju almarhum Landerst itu rupanya yang kau pakai." (Ucap Sutikno)

Disini hanya perkumpulan lima orang yang biasa - biasa saja, aku adalah Djamal pemuda
yang sudah mendekati usia dewasa yang tergoda pada ayu nya wajah anak haji itu.

"Mari kita makan, kawan." (Ucap Sutikno)

"Kau saja yang makan." (Jawabku)

Tentulah aku kenyang, dan mustahil perutku harus ditumpahi lagi makanan, kepala ku
terpikir oleh si Lanser yang sulit ditemukan.

"Mana yang lain?" (Ucapku)

"Biasa, tuh … lagi keluar." (Jawab Sutikno)

"Kau tau Djamal, si juragan Doyang yang di kampung asem, mati, malam tadi." (Ucapnya)

Aku tak terlalu terkejut, dia memang luka parah saat itu. Aku kembali bertanya perihal
Lanser pada Sutikno, dia berkata dua hari lalu dia kesini, namun kedatanganya jarang sejak
Landerst meninggal. Keyakinan Sutikno berpikir dia masih terpukul atas kepergian kawan
baiknya itu.
"Toh, mereka sama sama wong bule,to?"
(Ucap sutikno)

Aku pamit padanya yang sedang mengunyah ubi rebus, dia hanya terdiam saat aku hendak
mencari si Lanser. Keluar dari perkampungan desa, terus mengayuh sepedah ke arah
kompleks perumahan orang - orang kaya, didapati oleh diriku rumah si Henler.

Dia terkaya disini, wah bukan main gundukan harta calon menantu Haji Nariman ini, yang
sebenarnya usia tak jauh beda dengan Haji Nariman itu sendiri.

Aku hanya mengelengkan kepala pada perumahan yang dijaga dua beveiliging.
Betapa mewah sekali rumah itu, aku berhenti di depan rumah yang jaraknya cukup jauh,
terpesona oleh kemegahan karya seniman arsitek eropa ini.

Walaupun dua penjaga itu melihatku di kejauhan mereka jelas tak akan curiga karena aku
memakai baju ini, dia pikir aku tamu atau orang terhormat yang sedang tersesat.

Untuk lebih menguatkan kesanku pada nya, lebih baik aku hampiri mereka berdua di tepi
sana.

"Apakah benar rumah mister khonler?"

Sengaja aku salahkan praduga ku.

"Maaf tuan, ini kediaman dari mister Van Henler, apa alamat yang anda tuju?"

"Boleh kami melihatnya?" (Ucap penjaga itu)

Aku tentu tak mau merepotkan diriku lebih jauh, aku mencari cara baik untuk mengeles yang
kudapat dari bangsawan pribumi yang bersekongkol ramah dengan sekelas Van
Henler. Bertambah lah yakin kedua penjaga ini bahwa aku orang terpandang, dia juga
berbinar ketika ku beri uang hadiah sekedar pemanis perkenalan, untuk membeli rokok.

"Terimakasih tuan yang terhormat." (Ucap mereka berdua)

Mengayuh sekali lagi, nampaknya keberadaan ku di sekitar kota tak banyak membantu dalam
pencarian si Lanser itu. Orang yang paling misterius lebih tertutup dari almarhum Landerst,
semasa hidupnya dia tak merepotkan, mudah ditemukan saat dibutuhkan, beda dengan si
tengik ini, dia sulit untuk ditemukan.

Sepeda ku berhenti di samping segerombolan ibu - ibu yang jenaka, mereka merumpi perihal
keluarga Haji Nariman. Pagelaran acara perkawinan akan digelar seminggu lagi, bangkotan
Henler dengan gadis lugu yang ayu itu.

Mendadak jantung ini terasa hancur berkeping - keping, kepingan kenangan terasa tercuat
begitu sakit.

Anda mungkin juga menyukai