Anda di halaman 1dari 82

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................1

BAB I.......................................................................................................................4

PENDAHULUAN...................................................................................................4

A. LATAR BELAKANG.................................................................................4

B. PERMASALAHAN.....................................................................................7

C. TUJUAN PENELITIAN..............................................................................7

D. MANFAAT PENELITIAN..........................................................................8

E. METODE PENELITIAN.............................................................................8

F. KERANGKA KONSEPSIONAL................................................................9

G. SISTEMATIKA PENULISAN..................................................................11

BAB II....................................................................................................................13

TINJAUAN PUSTAKA TENTANG HUKUM KEIMIGRASIAN DI


INDONESIA..........................................................................................................13

A. PENGATURAN TENTANG WNA DI INDONESIA..............................13

B. TINDAK PIDANA KEIMIGRASIAN MENURUT PERATURAN


PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA....................................................15

C. PERATURAN PENGAWASAN ORANG ASING DI INDONESIA......19

D. PERATURAN UU NO. 6 TAHUN 2011 KEIMIGRASIAN/UU


KEIMIGRASIAN...............................................................................................26

BAB III..................................................................................................................45

KASUS POSISI DAN AMAR PUTUSAN NOMOR 292/PID.SUS/2021/PN.BTM


................................................................................................................................45

A. GAMBARAN UMUM TENTANG KASUS............................................45


B. GAMBARAN UMUM PEMALSUAN DOKUMEN................................46

C. GAMBARAN UMUM PUTUSAN...........................................................48

D. AMAR PUTUSAN....................................................................................51

BAB IV..................................................................................................................53

PERMASALAHAN HUKUM DALAM IMIGRASI............................................53

A. BAGAIMANA TERJADINYA TINDAK PIDANA KEIMIGRASIAN


YANG DILAKUKAN OLEH WNA MYANMAR...........................................53
DAFTAR TABEL
Table 1 Perbandingan Visa dengan Izin Tinggal di Indonesia........................12
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan negara berdaulat dengan penduduk yang mempunyai
kedudukan khusus, serta kriteria tertentu untuk mendapatkan status sebagai Warga
Negara Indonesia (WNI). Berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945) dinyatakan bahwa
WNI adalah penduduk yang terdiri dari bangsa Indonesia dan bangsa lain yang
disahkan Undang-Undang1. Penduduk yang mendiami suatu negara bisa dibagi
menjadi beberapa bagian, yaitu2:
1. Warga Negara atau staatsburgers;
2. Orang asing yang bukan merupakan penduduk asli dalam suatu wilayah
negara atau niet-ingezetenen;
3. Orang yang bukan WNI;
4. Orang Indonesia yang melepaskan status kewarganegaraan Indonesia; dan
5. Orang asing yang sedang berada di wilayah Indonesia atau Warga Negara
Asing (WNA).

Indonesia negara yang sangat besar dengan pemandangan alam yang


indah, sehingga daya tariknya mendorong wisatawan asing untuk berdatangan.
Berkembangnya informasi dan teknologi global membuat akses ke negara-negara
menjadi semakin mudah. Tentunya hal ini beririsan langsung dengan
perkembangan sektor pariwisata di Indonesia, tentunya sangat menguntungkan
bagi pendapatan dan kemajuan ekonomi negara ini. Meskipun pada tahun 2020,
seluruh negara di dunia terdampak wabah Covid-19 pemerintah tetap berusaha
agar sektor pariwisata Indonesia semakin berkembang. Kinerja pemerintah tidak
sia-sia, berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Imigrasi menyumbang
Rp1.421.429.862.286 pada tahun 20213. Tentunya angka ini bisa lebih besar
apabila Indonesia tidak dilanda wabah Covid-19. Semester pertama tahun 2021
masih diberlakukan Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI (Permenkumham)
No. 26 Tahun 2020 jo. Permenkumham No. 27 Tahun 2021 yang membatasi jenis
visa dan izin tinggal yang digunakan orang asing untuk masuk ke Indonesia.
1
Pasal 26 ayat (1) UUD 1945: “yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia dan orang-orang bangsa
lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara”
2
M. Firmansyah, “Kewarganegaraan Republik Indonesia dan Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia
Berdasarkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2006,” (Skripsi Universitas Sumatera Utara, Sumatera Utara, 2013), hlm. 19.
3
Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, “Imigrasi Sumbang 1,4 T
Pendapatan Negara Sepanjang Tahun 2021,” https://www.imigrasi.go.id/id/2022/01/05/imigrasi-sumbang-14-t-pendapatan-
negara-sepanjang-tahun-2021/, diakses pada 4 Maret 2022.
Terkait dengan kehadiran WNA ke Indonesia, perlu adanya pengaturan
dan kebijakan keimigrasian. Untuk meningkatkan kedatangan WNA, Indonesia
mengadakan perjanjian bebas visa dengan beberapa negara. Pemberian bebas visa
didasari oleh alasan-alasan, yaitu kunjungan singkat transit menuju ke negara lain,
transit berwisata, adanya tugas pemerintahan, kegiatan sosial budaya, atau usaha
dan urusan pekerjaan melalui akses Pelabuhan, Bandar Udara atau tempat lain
yang ditetapkan oleh Kementerian Hukum dan HAM4. Pemberian izin bebas visa
tentunya memberikan dampak yang positif dengan semakin mudah dan banyak
orang asing datang ke Indonesia, akan tetapi kebijakan ini menimbulkan dampak
negatif pula. Dengan semakin mudahnya akses keluar dan masuk Indonesia, maka
pelanggaran yang terjadi juga semakin besar. Penyalahgunaan izin bagi WNA
untuk datang ke Indonesia membuka kesempatan bagi mereka untuk mencari
pekerjaan dan mencari keuntungan pribadi. Sebagai instansi yang berwenang
untuk memeriksa sega perizinan masuk dan penolakan orang asing, maka Imigrasi
perlu cermat untuk membuat kebijakan seperti ini. Untuk mencegah dan
menghindari pelanggaran keimigrasian di Indonesia, pemerintah membentuk UU
No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian atau UU Keimigrasian.

UU Keimigrasian dibentuk sebagai pengawasan datangnya WNA ke


Indonesia. Dalam Pasal 8 UU Keimigrasian, diatur terkait bahwa WNA yang
datang ke Indonesia wajib melengkapi dokumen-dokumen agar bisa masuk ke
Indonesia5. WNA yang datang memiliki dokumen terkait dan izin dari Imigrasi
memiliki batas waktu sesuai ketentuan perundang-undangan. Apabila WNA yang
masuk dan berada di Wilayah Indonesia tidak memilik Dokumen Perjalanan dan
Visa, maka melanggar ketentuan Pasal 113 atau Pasal 119 UU Keimigrasian.
Akan tetapi, hingga saat ini masih banyak WNA yang melanggar peraturan
perundang-undangan di Indonesia terkait dengan keimigrasian. Pada tahun 2020
tercatat sebanyak 5.105 orang asing mendapatkan sanksi atas pelanggaran
ketentuan Keimigrasian di Indonesia6. Banyak diantaranya tidak memiliki izin
tinggal dan dokumen untuk masuk dengan sah ke wilayah Indonesia.

Dengan bertambahnya kasus WNA yang memasuki wilayah Indonesia


tanpa adanya dokumen-dokumen yang sah dan izin tinggal, maka diperlukan
penegakan hukum keimigrasian. Dengan adanya pelanggaran dan celah hukum di
Indonesia, maka penulis tertarik untuk mengulas terkait dengan kasus ini.
Direktorat Jenderal Imigrasi yang mengemban tugas dan melakukan pengawasan
terhadap WNA yang akan masuk ke Indonesia masih belum bisa menuntaskan
pengawasan secara maksimal bagi WNA yang masuk secara illegal. Untuk itu
4
Luh P. Sudini, “Peranan Visa On Arrival (VOA) Bagi Orang Asing yang Datang ke Indonesia,” Jurnal Hukum dan
Pembangunan Vol. 38 No. 3 (2008), hlm. 336.
5
Pasal 8 UU Keimigrasian:
1) “Setiap orang yang masuk atau keluar Wilayah Indonesia wajib memiliki Dokumen Perjalanan yang sah dan masih
berlaku.”
2) “Setiap Orang Asing yang masuk Wilayah Indonesia wajib memiliki Visa yang sah dan masih berlaku, kecuali
ditentukan lain berdasarkan Undang-Undang ini dan perjanjian internasional.”
6
Edi Suwiknyo, “Otoritas Imigrasi Deportasi 1.582 Orang Asing Selama 2020,”
https://kabar24.bisnis.com/read/20210126/16/1348089/otoritas-imigrasi-deportasi-1582-oran g-asing-selama-2020, diakses
pada 4 Maret 2022.
penulis akan mengkaji lebih lanjut terkait dengan penyebab banyaknya
pelanggaran UU Keimigrasian oleh WNA yang datang ke Indonesia.

Berkaitan dengan permasalahan diatas penulis akan melakukan kajian


terhadap WNA yang melakukan pelanggaran izin tinggal di Indonesia. Penelitian
ini akan dikaji lebih dalam dengan bentuk penulisan skripsi berjudul: “Penegakan
Hukum Tindak Pidana Keimigrasian Bagi Warga Negara Asing (WNA) Berupa
Pemalsuan Dokumen Keimigrasian Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2011 tentang Keimigrasian (Studi Putusan Pengadilan Negeri Batam No.
292/Pid.Sus/2021/PN BTM”.

B. PERMASALAHAN
Berdasarkan latar belakang yang telah ditulis sebelumnya dan untuk
membahas permasalahan utama yang lebih jelas, penulis merumuskan pokok
permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut dalam penelitian ini, yaitu;
1. Bagaimana terjadinya tindak pidana keimigrasian yang dilakukan oleh Warga
Negara Myanmar?
2. Bagaimana peran kantor keimigrasian dalam pengawasan Warga Negara
Asing di Batam?
3. Bagaimana penegakan hukum terhadap tindak pidana keimigrasian yang
dilakukan oleh Warga Negara Myanmar?

C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisa bagaimana
terjadinya pelanggaran ketentuan UU Keimigrasian, khususnya terkait dengan
pemalsuan dokumen izin tinggal di Indonesia Penelitian ini diharapkan dapat
menggagas suatu kerangka hukum yang ideal untuk mencegah terjadinya
pelanggaran UU Keimigrasian. Hasil dari penelitian ini diharapkan menjadi batu
loncatan berkembangnya kebijakan terkait Imigrasi di Indonesia dan tercapai
kerangka hukum serta instrumen untuk bisa mendukung kegiatan tersebut agar
dapat berjalan lebih efektif dan efisien.

Berdasarkan pokok permasalahan yang telah ditulis dan diuraikan, maka


tujuan penelitian secara khusus adalah:
1. Mengetahui proses terjadinya tindak pidana keimigrasian yang dilakukan oleh
Warga Negara Myanmar.
2. Mengetahui peran kantor keimigrasian dalam pengawasan Warga Negara
Asing di Batam.
3. Menganalisa penegakan hukum terhadap tindak pidana keimigrasian yang
dilakukan oleh Warga Negara Myanmar.

D. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan bisa memberikan manfaat dalam segi teoritis
maupun praktis, yaitu:
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih kepada pemahaman
teoritis mengenai bagaimana hukum dapat memberikan iklim kebijakan yang
kondusif bagi Imigrasi oleh Pemerintah untuk dapat memberikan pengawasan
secara maksimal terhadap keluar masuknya penduduk asing ke wilayah
Indonesia. Pemaparan dalam tulisan ini dapat memberikan pengetahuan
secara komprehensif dan kesadaran kepada pembaca bahwa pengawasan
merupakan hal yang penting untuk memberantas pelanggaran keimigrasian di
Indonesia.
2. Manfaat Praktis
Memberikan masukan kepada pembuat kebijakan atau pemerintah dan
praktisi hukum untuk bisa membuat kebijakan-kebijakan lebih efektif dengan
adanya kasus pelanggaran Imigrasi di Indonesia terutama terkait pemalsuan
dokumen yang dilakukan oleh warga negara asing.

E. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
yuridis normatif7. Penulisan skripsi ini berfokus pada prinsip, konsep, norma
hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku atau
pernah berlaku di Indonesia maupun yurisdiksi negara lain, terkait dengan
Keimigrasian. Dalam penelitian ini, akan dikaji peraturan-peraturan, buku-buku,
dan hasil penelitian yang telah ada terhadap kebijakan Keimigrasian di Indonesia.
Sehingga, penulis dapat mengetahui dan dapat menjawab atas permasalahan pada
perumusan masalah.

7
Hukum normatif menurut Hans Kelsen adalah perwujudan dari fungsi pejabat hukum, diciptakan oleh pejabat hukum,
diterapkan oleh mereka dan harus dipatuhi oleh subjek hukum. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perihal
Kaedah Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 42.
Data yang diolah dengan metode ini adalah data sekunder, yaitu data yang
diperoleh dari kepustakaan. Data yang dapat digunakan dalam penelitian ini
terbagi menjadi bahan hukum primer, sekunder, dan tersier sebagai berikut:
a. Bahan hukum primer, yakni bahan-bahan yang isinya mempunyai kekuatan
mengikat kepada masyarakat yaitu peraturan perundang-undangan. Dimana
dalam penelitian ini, peraturan perundang-undangan yang digunakan
mencakup tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Putusan No.
292/Pid.Sus/2021/PN BTM, UU Keimigrasian, Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2021 tentang Perubahan
Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013 tentang Peraturan
Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, Permenkumham
No. 27 Tahun 2021 tentang Pembatasan Orang Asing Masuk ke Wilayah
Indonesia Dalam Masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat
Darurat, Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 3013 tentang Peraturan
Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, dan Peraturan
Presiden No. 21 Tahun 2016 tentang Bebas Visa Kunjungan.
b. Bahan hukum sekunder, yakni bahan-bahan hukum yang isinya menjelaskan
mengenai bahan hukum primer seperti halnya buku-buku dan jurnal ilmiah
mengenai Keimigrasian dan kebijakan-kebijakan terkait8.
c. Bahan hukum tersier, yakni bahan-bahan yang memberikan petunjuk,
menunjang, menjelaskan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti
halnya kamus hukum dan cambridge dictionary9.

F. KERANGKA KONSEPSIONAL
Dalam penelitian ini akan digunakan beberapa istilah-istilah, yang
pengertiannya adalah sebagai berikut:
1. Dengan hadirnya globalisasi akan perjalanan dari suatu negara ke negara lain
semakin dimudahkan. Kebebasan pergerakan manusia untuk berpindah ke
wilayah lain merupakan hak dasar dan dijamin dalam konstitusi, yaitu Pasal
28 huruf E UUD 1945. Pasal tersebut mengatur bahwa warga negara
diberikan kebebasan untuk memilih tempat tinggalnya dan berhak kembali ke

8
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1984), hlm. 52.
9
Ibid
negara asalnya. Secara yuridis, definisi Keimigrasian diatur dalam UU
Keimigrasian, yaitu “hal ihwal lalu lintas orang yang masuk atau keluar
Wilayah Indonesia serta pengawasannya dalam rangka menjaga tegaknya
kedaulatan negara10.”
2. Warga Negara Asing adalah orang yang bukan warga negara Indonesia11.
3. Syarat masuk ke wilayah Indonesia diatur dalam Pasal UU Keimigrasian,
yakni setiap orang yang masuk ke dalam wilayah Indonesia diwajibkan
memiliki dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang,
serta memuat identitas pemiliknya atau memiliki surat perjalanan yang masih
berlaku12.
4. Pengawasan terkait Keimigrasian dilakukan oleh Menteri sebagaimana diatur
dalam Pasal 66 UU Keimigrasian. Pengawasan Keimigrasian meliputi13:
a. pengawasan terhadap warga negara Indonesia yang memohon dokumen
perjalanan, keluar atau masuk Wilayah Indonesia, dan yang berada di
luar Wilayah Indonesia; dan
b. pengawasan terhadap lalu lintas Orang Asing yang masuk atau keluar
Wilayah Indonesia serta pengawasan terhadap keberadaan dan kegiatan
Orang Asing di Wilayah Indonesia.
5. Izin keberadaan WNA di Indonesia terdiri dari14:
a. Setiap Orang Asing yang berada di Wilayah Indonesia wajib memiliki
Izin Tinggal.
b. Izin Tinggal diberikan kepada Orang Asing sesuai dengan Visa yang
dimilikinya.
c. Izin Tinggal terdiri atas: Izin Tinggal diplomatik; Izin Tinggal dinas; Izin
Tinggal kunjungan; Izin Tinggal terbatas; dan Izin Tinggal Tetap.

G. SISTEMATIKA PENULISAN
Penelitian ini akan dilaporkan dalam suatu sistematika sebagai berikut:

10
Indonesia, Undang-Undang Keimigrasian, UU No. 6 Tahun 2011, LN No. 52 Tahun 2011, TLN No. 5216, Ps. 1 angka 1.
11
Indonesia, Undang-Undang Keimigrasian, ps. 1 angka 9.
12
Indonesia, Undang-Undang Keimigrasian, ps. 8.
13
Indonesia, Undang-Undang Keimigrasian, ps. 66
14
Indonesia, Undang-Undang Keimigrasian, ps. 48 ayat (1) – (3)
BAB 1 PENDAHULUAN
Bab ini berisi uraian mengenai latar belakang
dari penelitian, pokok permasalahan, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, metode
penelitian kerangka konsepsional/teori, dan
sistematika penulisan.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA TENTANG


HUKUM KEIMIGRASIAN DI
INDONESIA
Bab ini berisi tentang tinjauan pustaka
tentang hukum keimigrasian Indonesia,
pengertian umum WNA, dokumen, serta
syarat-syarat untuk bisa masuk dan
mendapatkan izin tinggal yang sah di
wilayah Indonesia. Disamping itu akan diulas
terkait dengan pengawasan WNA serta
lembaga-lembaga yang bertanggung jawab
atas pengawasan tersebut.

BAB 3 PERAN KANTOR KEIMIGRASIAN


DALAM PENGAWASAN WARGA
NEGARA ASING DI BATAM
Pada bab ketiga akan diulas terkait dengan
peran dan tanggung jawab kantor
keimigrasian di Batam dalam pengawasan
terhadap masuknya warga negara asing di
wilayah Indonesia dan pemalsuan dokumen
yang dilakukan oleh warga negara asing.

BAB 4 PENEGAKAN HUKUM TINDAK


PIDANA KEIMIGRASIAN DALAM
PUTUSAN NO. 292/PID.SUS/2021/PN
BTM
Bab ini akan menganalisis dan mengolah
data-data yang telah ditemukan dari Bab 2
dan Bab 3, yaitu ketentuan yang mengatur
terkait keimigrasian dan implementasinya
pada Putusan No. 292/Pid.Sus/2021/PN
BTM.

BAB 5 PENUTUP
Dalam bab ini, seluruh pembahasan dan hasil
analisis pada bab-bab sebelumnya akan
disimpulkan dan penulis akan memberikan
saran sebagai hasil dari penelitian ini.
Kesimpulan pada bab ini menjadi rangkuman
dan mencapai tujuan penelitian, sementara
saran yang dikemukakan diharapkan dapat
mencapai kegunaan teoritis dan praktis
sebagaimana tertulis pada bab pendahuluan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA TENTANG HUKUM KEIMIGRASIAN
DI INDONESIA

A. PENGATURAN TENTANG WNA DI INDONESIA


Kebijakan Masuknya Warga Negara Asing atau WNA ke Indonesia
Visa dan Izin tinggal merupakan 2 (dua) hal yang sangat esensial apabila
WNA datang ke Indonesia untuk sementara waktu. Ada perbedaan yang cukup
signifikan antara kedua dokumen tersebut, yaitu:
1. Visa merupakan dokumen yang menjadi bukti WNA meperoleh izin untuk
masuk ke Indonesia. Terdapat beberapa jenis visa yang mempengaruhi
tenggak waktu diiziinkan WNA singgah di Indonesia.
2. Izin tinggal diberikan apabila WNA sudah mempunyai visa dan sudah di
Indonesia. Izin keberadaan WNA di Indonesia terdiri dari15:
 Setiap Orang Asing yang berada di Wilayah Indonesia wajib memiliki
Izin Tinggal.
 Izin Tinggal diberikan kepada Orang Asing sesuai dengan Visa yang
dimilikinya.
 Izin Tinggal terdiri atas: Izin Tinggal diplomatik; Izin Tinggal dinas; Izin
Tinggal kunjungan; Izin Tinggal terbatas; dan Izin Tinggal Tetap.
Table 2.1
Perbandingan Visa dengan Izin Tinggal di Indonesia
Perbandingan Visa Izin Tinggal
Alur Proses Persetujuan Pengajuan dan proses Permohonan dapat
persetujuan dilakukan dilakukan secara daring,
secara daring namun tetap harus ke
kantor imigrasi untuk
pengambilan data
biometrik
Akses Lalu Lintas WNA Hanya bisa digunakan 1 Pemegang Izin Tinggal
(satu) kali pada jangka bisa masuk atau keluar
waktu tertentu, kecuali Indonesia kapanpun
Visa kunjungan
beberapa kali perjalanan
Fasilitas Akses mencakup seluruh Pemilik Izin Tinggal
15
Indonesia, Undang-Undang Keimigrasian, ps. 48 ayat (1) – (3).
wilayah Indonesia Terbatas dapat
mengajukan Surat
Keterangan Tempat
Tinggal, pemegang Izin
Tinggal Tetap dapat
mengajukan pembuatan
KTP
Pengajuan Visa Hanya bisa diajukan Sudah punya visa dan
untuk WNA yang ada di Indonesia
pertama kali ke
Indonesia
Sumber: Direktorat Jendral Imigrasi16
Sejak adanya Pandemi Covid-19 di Indonesia, terdapat beberapa regulasi
untuk membatasi kunjungan WNA ke Indonesia dengan tujuan menanggulangi
dan mengatasi persebaran virus Covid-19. Sejak 6 April 2022, masuknya WNA
ASEAN ke Indonesia semakin dipermudah untuk membangun dan mendukung
pariwisata di Indonesia yang selama 2 (dua) tahun terakhir terhambat karena
pandemi. Hal ini diatur dalam Surat Edara Direktur Jenderal Imigrasi Nomor IMI-
0549.GR.01.01 mengenai Kemudahan Keimigrasian dalam Rangka Mendukung
Pariwisata Berkelanjutan Pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 19.
B. TINDAK PIDANA KEIMIGRASIAN MENURUT PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
Undang-Undang yang mengatur terkait dengan keimigrasian pertama kali
dibentuk dan disahkan pada tahun 1992, yaitu Undang-Undang No. 9 Tahun 1992
atau UU Keimigrasian 1992. Latar belakang dibentuknya UU Keimigrasian 1992
karena pada saat itu terdapat beberapa peraturan pemerintah kolonial yang tidak
dapat mengakomodasi kebutuhan masyarakat Indonesia pada saat itu. Dalam UU
Keimigrasian 1992 masih terdapat beberapa kebijakan pemerintah kolonial yang
turut disertakan. Hal ini tentunya menimbulkan permasalahan oleh karena
berlakunya ketentuan Pasal 2 Aturan Peralihan UUD 194517 yang menyebabkan
menjadi tumpang tindih dengan peraturan yang lainnya.
Fungsi dibentuknya UU Keimigrasian 1992 selain untuk menyelaraskan
dengan kebutuhan masyarakat Indonesia pada saat itu, ialah:
1. Perlu diatur terkait lalu lintas serta kebijakan masuk dan keluarnya orang
asing ke wilayah Indonesia; dan
2. Pengawasan terhadap orang asing yang berada dalam wilayah Indonesia.
Pelayanan pengawasan pada saat itu bersifat selektif. Tidak semua orang
asing bisa masuk ke wilayah Indonesia, hanya orang asing yang tidak
mengganggu keamanan serta ketertiban di Indonesia yang bisa masuk ke
16
Direktorat Jenderal Imigrasi, “Perbedaan Visa dan Izin Tinggal,”https://www.imigrasi.go.id/id/2021/08/10/4-perbedaan-
visa-dan-izin-tinggal-yang-harus-diketahui/ diakses pada 25 April 2022.
17
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Ps. 2 Aturan Peralihan.
dalam wilayah Indonesia. Maka dari itu, sebelum bisa masuk ke dalam
wilayah Indonesia, alasan dan tujuan orang asing untuk singgah harus jelas.
“Terhadap orang asing, pelayanan dan pengawasan di bidang keimigrasian
dilaksanakan berdasarkan prinsip yang bersifat selektif (selective policy).
Berdasarkan prinsip ini, hanya orang-orang asing yang dapat memberikan
manfaat bagi kesejahteraan rakyat, bangsa dan Negara Republik Indonesia
serta tidak membahayakan keamanan dan ketertiban serta tidak
bermusuhan baik terhadap rakyat, maupun Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
yang diizinkan masuk atau ke luar wilayah Indonesia.”18

Pada tahun 1983, Indonesia mengeluarkan kebijakan keimigrasian, yaitu


dengan menerapkan sistem bebas visa terhadap 48 negara. Tentunya hal ini
bersifat sangat kontradiktif dengan UU Keimigrasian 1992 terkait kebijakan
selective policy. Pada akhirnya pada tahun 2011 dibentuk perubahan, yakni
Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian atau UU Keimigrasian.
Adanya perkembangan dan pergeseran politik hukum di Indonesia menjadi salah
satu faktor utama diperlukan perkembangan pengaturan terkait keimigrasian.
Selain itu, jenis kejahatan transnasional dan modus orang asing yang
menyebabkan kerugian bagi Indonesia sudah sangat bervariasi. Oleh karena itu,
diperlukan kebijakan untuk menunjang serta mengatasi permasalahan yang sedang
berkembang dengan tujuan menjamin perlindungan bagi masyarakat Indonesia19.
“Di pihak lain, pengawasan terhadap Orang Asing perlu lebih ditingkatkan
sejalan dengan meningkatnya kejahatan internasional atau tindak pidana
transnasional, seperti perdagangan orang, Penyelundupan Manusia, dan
tindak pidana narkotika yang banyak dilakukan oleh sindikat kejahatan
internasional yang terorganisasi. Para pelaku kejahatan tersebut ternyata tidak
dapat dipidana berdasarkan Undang-Undang Keimigrasian yang lama karena
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tidak mengatur ancaman pidana bagi
orang yang mengorganisasi kejahatan internasional. Mereka yang dapat
dipidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 adalah mereka
yang diorganisasi sebagai korban untuk masuk Wilayah Indonesia secara
tidak sah… beberapa hal yang menjadi pertimbangan untuk memperbarui
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, yakni:
a. letak geografis Wilayah Indonesia dengan kompleksitas permasalahan
lalu lintas antarnegara terkait erat dengan aspek kedaulatan negara dalam
hubungan dengan negara lain;

18
Indonesia, Undang-Undang Keimigrasian, UU No. 9 Tahun 1992, LN No. 33 Tahun 1992, TLN No. 3473, Paragaraf 6
Penjelasan Umum.
19
Jazim Hamidi dan Charles Christian, Hukum Keimigrasian Bagi Orang Asing di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2015), hlm. 23.
b. adanya perjanjian internasional atau konvensi internasional yang
berdampak langsung atau tidak langsung terhadap pelaksanaan Fungsi
Keimigrasian;
c. meningkatnya kejahatan internasional dan transnasional, seperti imigran
gelap, Penyelundupan Manusia, perdagangan orang, terorisme, narkotika,
dan pencucian uang;
d. pengaturan mengenai Deteni dan batas waktu terdeteni belum dilakukan
secara komprehensif;
e. Fungsi Keimigrasian yang spesifik dan bersifat universal dalam
pelaksanaannya memerlukan pendekatan sistematis dengan
memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi yang modern, dan
memerlukan penempatan struktur Kantor Imigrasi dan Rumah Detensi
Imigrasi sebagai unit pelaksana teknis berada di bawah Direktorat
Jenderal Imigrasi;
f. perubahan sistem kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia berkaitan dengan pelaksanaan Fungsi Keimigrasian,
antara lain mengenai berkewarganegaraan ganda terbatas;
g. hak kedaulatan negara dalam penerapan prinsip timbal balik
(resiprositas) mengenai pemberian Visa terhadap Orang Asing;
h. kesepakatan dalam rangka harmonisasi dan standardisasi sistem dan jenis
pengamanan surat perjalanan secara internasional, khususnya Regional
Asean Plus dan juga upaya penyelarasan atau harmonisasi tindakan atau
ancaman pidana terhadap para pelaku sindikat yang mengorganisasi
perdagangan orang dan Penyelundupan Manusia;
i. penegakan hukum Keimigrasian belum efektif sehingga kebijakan
pemidanaan perlu mencantumkan pidana minimum terhadap tindak
pidana Penyelundupan Manusia;
j. memperluas subjek pelaku tindak pidana Keimigrasian, sehingga
mencakup tidak hanya orang perseorangan tetapi juga Korporasi serta
Penjamin masuknya Orang Asing ke Wilayah Indonesia yang melanggar
ketentuan Keimigrasian; dan
k. penerapan sanksi pidana yang lebih berat terhadap Orang Asing yang
melanggar peraturan di bidang Keimigrasian karena selama ini belum
menimbulkan efek jera.”20

Maka dari itu, pentingnya peningkatan terhadap pengawasan orang asing


dan konsekuensi kerugian yang dapat ditimbulkan menyebabkan UU
Keimigrasian 1992 tidak dapat mengakomodasi lagi kebutuhan masyarakat saat
20
Indonesia, Undang-Undang Keimigrasian, Paragaraf 5 Penjelasan Umum.
ini. Untuk menghindari terjadinya pelanggaran dan menjamin perlindungan
terhadap Warga Negara Indonesia, dibentuk Tim Pengawasan Orang Asing atau
TIMPORA. UU Keimigrasian mengatur terkait dengan pengawasan orang asing
dalam Bab VI UU Keimigrasian dan terdapat peraturan teknis yang mengatur
lebih lanjut terkait dengan pengawasan orang asing. Pasal 66 UU Keimigrasian
mengatur terkait pengawasan WNA yang meliputi21:
1. pengawasan terhadap warga negara Indonesia yang memohon dokumen
perjalanan, keluar atau masuk Wilayah Indonesia, dan yang berada di luar
Wilayah Indonesia; dan
2. pengawasan terhadap lalu lintas Orang Asing yang masuk atau keluar
Wilayah Indonesia serta pengawasan terhadap keberadaan dan kegiatan
Orang Asing di Wilayah Indonesia.

Berdasarkan hasil kajian tahun 2017 dari Balitbangkumham, ditemukan


fakta bahwa tidak ada konsep yang jelas terkait dengan mekanisme pengawasan
orang asing dan masih belum bisa diimplementasikaan dengan baik. Hal ini
dibuktikan dengan peraturan perundangan dibawahnya mengatur pengawasan
administratif secara lebih rinci dibanding pengawasan kegiatan orang asing di
Indonesia22. Tentunya hal ini sangat merugikan Indonesia, bukan hanya bagi
negara namun juga masyarakatnya. Salah satu bentuk kerugian nyata dari
perspektif ekonomi adalah pencurian sumber daya genetik di Indonesia.
Seringkali orang asing masuk ke Indonesia dengan visa biasa, bukan visa
penelitian. Setelah melakukan penelitian di Indonesia, peneliti asing tersebut
memanfaatkan tumbuhan dan mengelola menjadi produk obat-obatan yang
diperjualbelikan. Tentunya peristiwa tersebut merupakan bukti nyata dari
kurangnya pengawasan kegiatan orang asing di Indonesia. Maka dari itu, untuk
meningkatkan pengawasan keimigrasian, Direktorat Imigrasi melakukan beberapa
rencana dan strategi, yaitu:23
1. Integrated Border Management System atau IBMS yang bertujuan agar
pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam melakukan pengawasan di darat,
laut, dan udara bisa saling berkomunikasi dengan baik untuk mengawasi
perbatasan Indonesia.
2. Border Control Management atau BCM yang bertujuan untuk memanfaatkan
teknologi dalam melakukan pengawasan dan pencegahan masuknya orang
asing secara melawan hukum. Pengawasan bukan hanya untuk mengawasi
21
Indonesia, Undang-Undang Keimigrasian, ps. 66.
22
Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Optimalisasi Peran
TIMPORA dalam Pengawasan dan Penindakan Orang Asing, (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2017), hlm. 88.
23
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Laporan Akhir
Analisis dan Evaluasi Hukum terkait Keimigrasian, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2020), hlm. 30.
orang asing yang masuk ke Indonesia, melainkan juga memberikan
pembatasan mengenai barang-barang yang boleh dan tidak boleh dibawa
masuk oleh orang asing ke Indonesia.

C. PERATURAN PENGAWASAN ORANG ASING DI INDONESIA


Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian sebagaimana telah
diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun
2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun
2013 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 6 Tahun 2011
tentang Keimigrasian atau PP No. 31 Tahun 2013
PP No. 31 Tahun Tahun 2013 merupakan salah satu peraturan turunan UU
Keimigrasian. PP ini mengatur lebih lanjut terkait dengan pembatasan masuknya
orang asing di Indonesia dan terkait dengan izin tinggal, serta pengawasan WNA
yang singgah. Prinsip dari UU Keimigrasian dengan PP No. 31 Tahun Tahun
2013 sama, yaitu tetap lebih terbuka terhadap masuknya WNA ke Indonesia, akan
tetapi menekankan prinsip kehati-hatian dalam pelaksanaannya. Sebagai salah
satu contoh, dalam Pasal 109 huruf f jo.158 huruf c PP No. 31 Tahun Tahun 2013,
Pejabat Imigrasi dapat menolak permohonan visa WNA dan perpanjangan izin
dalam hal WNA tersebut dapat membahayakan keselamatan umum masyarakat
Indonesia24.
Tentunya hal ini berkorelasi dengan keadaan yang terjadi saat ini. Sejak
masa pandemi, masuknya WNA dibatasi oleh pemerintah meskipun secara
berkala lalu lintas keluar masuknya WNA maupun WNI ke Indonesia semakin
dilonggarkan apabila pandemi semakin dapat diatasi dan dikendalikan oleh
pemerintah.
Pembatasan WNA ke Indonesia juga berkorelasi secara langsung terhadap
pencegahan organisasi kejahatan transnasional di Indonesia atau TOC. Untuk
menanggulangi TOC, pemerintah Indonesia tidak dapat bekerja sendiri melainkan
harus dilakukan komunikasi antarnegara untuk menanggulangi hal ini. Pertukaran
komunikasi yang dilakukan adalah dengan saling membagikan data dan
melakukan forum dikusi untuk mengatasi hal ini. Salah satu bentuk kebijakan dan
pengaturan untuk mencegah TOC diatur dalam Pasal 127 ayat 1 PP No. 31 Tahun
Tahun 2013, yaitu sebelum petugas keimigrasian dapat memberikan izin tinggal
24
Indonesia, Peraturan Pemerintah Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 tentang
Keimigrasian, Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 2013, LN No. 68 Tahun 2013, TLN No. 5409, Ps. 109 huruf f jo. PS.
158 huruf c.
“Pasal 109:
Pejabat Dinas Luar Negeri atau Pejabat Imigrasi dapat menolak permohonan pemberian Visa kepada Orang Asing, dalam
hal: f. menderita penyakit menular, gangguan jiwa, atau hal lain yang dapat membahayakan kesehatan atau ketertiban
umum;
Pasal 158
Pejabat Imigrasi dapat menolak permohonan pemberian atau perpanjangan Izin Tinggal kunjungan, Izin Tinggal terbatas,
dan Izin Tinggal Tetap dalam hal: c. menderita gangguan jiwa atau penyakit menular yang membahayakan kesehatan
umum atau diduga melakukan perbuatan yang melanggar norma kesusilaan yang berlaku di Indonesia”
kepada WNA dan melakukan kegiatan di Indonesia, petugas keimigrasian harus
memastikan bahwa orang yang akan masuk tidak membahayakan atau
mengancam keselamatan masyarakat Indonesia dengan melakukan penelitian latar
belakang WNA melalui media elektronik atau dalam bentuk yang lainnya25.
PP No. 31 Tahun Tahun 2013 juga mengatur lebh lanjut terkait dengan
TIMPORA dalam Pasal 19426. PP No. 31 Tahun Tahun 2013 mengeluarkan
kebijakan bahwa TIMPORA dibentuk bukan hanya di daerah provinsi saja, akan
tetapi setiap daerah harus mempunyai TIMPORA. Saat ini pembentukan
TIMPORA di Indonesia sudah mencakup 94% daerah di Indonesia27. Salah satu
tugas TIMPORA bukan hanya melakukan pengawasan terhadap WNA, melainkan
menerima aduan yang diterima dari masyarakat. Saat ini sudah ada sistem
terintegrasi bagi masyarakat untuk menyampaikan aduan atau pelaporan apabila
terjadi tindakan oleh seseorang yang melanggar ketentuan hukum UU
Keimigrasian.

PERATURAN PRESIDEN NO. 21 TAHUN 2016 TENTANG BEBAS VISA


KUNJUNGAN
Tujuan pembebasan visa kunjungan 169 negara di dunia adalah untuk
menarik lebih banyak orang ke Indonesia yang akan berdampak langsung
terhadap pertumbuhan ekonomi dan kemajuan wisata di Indonesia28. Meskipun
adanya kelonggaran terhadap masuknya WNA ke Indonesia, pejabat keimigrasian
tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam melaksanakan tugasnya.
Dengan adanya kebijakan pembebasan visa di Indonesia diharapkan akan semakin
banyak WNA yang menjadikan Indonesia sebagai tujuan utama destinasi wisata,
pendidikan, maupun pekerjaan.
Akan tetapi, seringkali masih timbul permasalahan karena adanya
kebijakan ini. Berdasarkan hasil kajian, kebijakan bebas visa seringkali
menyebabkan penyalahgunaan izin tinggal dan izin kerja WNA di Indonesia.
Kebijakan ini juga tidak harmoni dengan UU Keimigrasian yang mengutamakan
prinsip kehati-hatian. Permasalahan utama yang seringkali muncul adalah terkait
dengan pekerja asing illegal29. PP Bebas Visa Kunjungan tidak memberikan batas
terkait dengan tujuan WNA masuk ke Indonesia, misalkan untuk kepentingan
jurnalistik atau pekerjaan. Tentunya hal ini bisa sangat merugikan Indonesia
dengan semakin banyaknya tenaga kerja asing yang berkerja secara illegal di
Indonesia, atau lebih parahnya banyak peneliti asing yang tidak mempunyai izin
untuk meneliti di Indonesia. Hasil penelitian yang seharusnya bisa turut
25
Pasal 127 ayat 1: “Untuk memperoleh Izin Tinggal dinas dengan maksud bertempat tinggal di Wilayah Indonesia, Orang
Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 ayat (1) harus mengajukan permohonan kepada Menteri Luar Negeri atau
pejabat yang ditunjuk dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diberikannya Tanda Masuk oleh Pejabat Imigrasi
di Tempat Pemeriksaan Imigrasi.”
26
Pasal 194: “Untuk melakukan pengawasan Keimigrasian secara terkoordinasi terhadap kegiatan Orang Asing di Wilayah
Indonesia, Menteri membentuk tim pengawasan Orang Asing.”
27
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Laporan Akhir
Analisis dan Evaluasi, hlm. 142.
28
Universitas Gadjah Mada, “Cegah Biopiracy, Pemerintah Diminta Perketat Izin Peneliti Asing,”
https://ugm.ac.id/id/berita/18978-cegah-biopiracy-pemerintah-diminta-perketat-izin- peneliti-asing, diakses pada 25 April
2022.
29
Navey Varida, “Penegakan Hukum terhadap Tenaga Kerja Asing Ilegal di Indonesia,” Jurnal Penelitian Hukum de Jure
Vol 19 No. 1 (2018), hlm. 116.
menguntungkan bagi penduduk lokal dan masyarakat Indonesia, disalahgunakan
oleh orang lain. Sejak dikeluarkannya PP Bebas Visa, WNA yang paling sering
singgah ke Indonesia dan memberikan kontribusi bagi devisa negara adalah
negara yang sejak awal sudah mendapatkan fasilitas bebas visa dari Indonesia,
sehingga kebijakan ini kurang menguntungkan.30

PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA NOMOR


21 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA NOMOR 27 TAHUN
2014 TENTANG PROSEDUR TEKNIS PEMBERIAN, PERPANJANGAN,
PENOLAKAN, PEMBATALAN DAN BERAKHIRNYA IZIN TINGGAL
KUNJUNGAN, IZIN TINGGAL TERBATAS, DAN IZIN TINGGAL
TETAP SERTA PENGECUALIAN DARI KEWAJIBAN MEMILIKI IZIN
TINGGAL
Perubahan kebijakan dari Peraturan sebelumnya sangat dipengaruhi oleh
banyaknya WNA yang tertarik untuk bekerja di Indonesia. Dengan perkembangan
yang ada saat ini dan arus globalisasi yang semakin mendukung lalu lintas
perpindahan manusia, maka bukan sesuatu yang asing lagi untuk bekerja di negara
lain. Tentunya banyak pertimbangan yang perlu diperhatikan secara matang dari
pemerintah dari segi ekonomi maupun sosial untuk menghadapi masalah ini.
Banyak dampak positik maupun negatif yang dapat muncul. Contohnya adalah
WNA yang bekerja di Indonesia tentunya akan menambah devisa, serta
pendapatan bagi negara. Namun disisi lain masih banyak penduduk Indonesia
yang membutuhkan pekerjaan, sedangkan lapangan pekerjaan semakin sedikit
ditambah lagi masuknya WNA ke Indonesia. Selain itu, tentunya masuk WNA ke
Indonesia terkadang menambah permasalahan bagi petugas keimigrasian,
terutama apabila terjadi aktivitas illegal. Maka dari itu, Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia mengeluarkan kebijakan terkait prosedur teknis pemberian
izin tinggal di Indonesia.

PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA NOMOR


4 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENGAWASAN
KEIMIGRASIAN
Terkait dengan pengawasan WNA di Indonesia merupakan tugas dari
Direktorat Jenderal Keimigrasian Indonesia. Pengawasan dalam hal ini meliputi31:
1. Pengawasan terhadap warga negara Indonesia yang memohon dokumen
perjalanan, keluar atau masuk Wilayah Indonesia, dan yang berada di luar
Wilayah Indonesia; dan

30
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, “Efektivitas Penerapan Kebijakan Bebas Visa
Kunjungan Dikaitkan dengan Selective Policy Keimigrasian Indonesia,” https://jabar.kemenkumham.go.id/pusat-
informasi/artikel/efektivitas-penerapan-kebijakan-bebas-visa-kunjungan-dikaitkan-dengan-selective-policy-keimigrasian-
indonesia-erdian, diakses pada 26 April 2022.
31
Indonesia, Undang-Undang Keimigrasian, ps. 66.
2. Pengawasan terhadap lalu lintas Orang Asing yang masuk atau keluar
Wilayah Indonesia serta pengawasan terhadap keberadaan dan kegiatan
Orang Asing di Wilayah Indonesia.

Pasal 2 Peraturan Menteri No. 4 Tahun 2017 mengatur sebagai berikut32:


1) “Pengawasan keimigrasian meliputi:
a. Pengawasan terhadap WNI; dan
b. Pengawasan terhadap orang asing
2) Pengawasan Keimigrasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Pengawasan administrative; dan
b. Pengawasan lapangan”

Berbeda halnya dengan UU Keimigrasian, Peraturan Menteri No. 4 Tahun


2017 tidak mengatur secara rinci dan jelas terkait dengan pengawasan secara
administratif dan lapangan. Tentunya hal ini menjadi penting oleh karena menjadi
poin penting dalam usaha pencegahan praktik perdagangan manusia, imigran
gelap, dan narkotika, serta kejahatan transnasional lainnya. Pasal 20 Peraturan
Menteri No. 4 Tahun 2017 mengatur sebagai berikut33:
“Pengawasan lapangan terhadap WNI yang mengajukan permohonan
DPRI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a dilakukan dalam hal
terdapat keraguan mengenai: a. keterangan/hasil wawancara pemohon; b.
keabsahan dokumen persyaratan yang dilampirkan; dan c.
kewarganegaraannya.”
Meski Pasal ini sudah menjelaskan secara singkat terkait dengan bentuk
pengawasan lapangan, namun tidak dijabarkan secara rinci terkait dengan ruang
lingkup permohonan DPRI dan sejauhmana dokumen-dokumen yang dapat
diperiksa oleh DPRI, serta cara untuk memvalidasinya.
Permasalahan kedua dalam Peraturan Menteri No. 4 Tahun 2017 ini ialah
terkait dengan laporan pengawasan oleh pejabar imigrasi. Hingga saat ini, belum
diatur terkait pengawasan pejabat imigrasi yang dapat menginput ke dalam sistem
SIMKIM atau Sistem Informasi Manajemen Keimigrasian. Apabila seluruh sistem
bisa terintegrasi dan pelaporan bisa diinput atau dimasukkan ke dalam sistem
tersebut, maka tentunya akan memudahkan kinerja antar lembaga untuk mengatasi
permasalahan terkait dengan keimigrasian.

32
Indonesia, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang Tata Cara Pengawasan
Keimigrasian, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 4 Tahun 2017, BN. 641
Tahun 2017, Ps. 2.
33
Indonesia, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang Tata Cara Pengawasan
Keimigrasian, Ps. 20.
PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA NOMOR
50 TAHUN 2016 TENTANG TIM PENGAWASAN ORANG ASING
Berdasarkan Peraturan Menteri No. 50 Tahun 2016, tugas dan fungsi
TIMPORA adalah34:
“Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Tim Pora
mempunyai fungsi:
a. koordinasi dan pertukaran data dan informasi;
b. pengumpulan informasi dan data keberadaan Orang Asing secara berjenjang
dari tingkat desa atau kelurahan sampai dengan provinsi;
c. analisa dan evaluasi terhadap data/informasi yang berkaitan dengan
pelaksanaan Pengawasan Orang Asing serta membuat peta Pengawasan
Orang Asing
d. penyelesaian permasalahan keberadaan dan kegiatan Orang Asing;
e. pelaksanaan dan pengaturan hubungan serta kerja sama dalam rangka
Pengawasan Orang Asing;
f. penyusunan rencana operasi gabungan yang bersifat khusus atau insidental
termasuk rencana operasi mandiri setiap instansi anggota Tim Pora; dan
g. pelaksanaan fungsi lain yang ditetapkan oleh Ketua Tim Pora berkaitan
dengan Pengawasan Orang Asing.”

Ruang lingkup pengawasan WNA dalam Peraturan Menteri No. 50 Tahun


2016 mencakup pemantauan lokasi dan kegiatan TKA, pemerian kerja dengan
cara verifikasi dokumen yang didapatkan dari dokumen imigrasi, laporan
masyarakat, media massa, dokumen perizinan pemerintahan terkait, serta hasil
wawancara pemberi kerja. Analisa peraturan yang masih belum diatur dalam
Peraturan Menteri No. 50 Tahun 2016 terkait kebijakan teknis untuk melakukan
kerja sama antar kementerian dan lembaga dengan SIMKIM. Padahal, tujuan
dibentuknya SIMKIM adalah35:
a. “untuk memudahkan pengawasan yang menjamin kemudahan, kenyamanan
dan kepastian pada masyarakat;
b. memberikan pelayanan yang menjamin kemudahan, kenamanan dan
kepastian pada masyarakat;
34
Indonesia, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang Tim Pengawasan Orang
Asing, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 50 Tahun 2016, BN. 2060
Tahun 2016, Ps. 15 ayat (2)
35
Lia Atma Rahmawati dan Dyah Hariani, “Analisis Penerapan E-Government pada Sistem
Informasi Manajemen Keimigrasian (SIMKIM) di Kantor Imigrasi Kelas 1 Kota Semarang,”
Journal of Public Policy and Management Review (2019), hlm. 2.
c. memfasilitasi kebutuhan data dan informasi keimigrasian yang dibutuhkan
oleh instansi-instansi terkait;
d. mempermudah dalam pengawasan kinerja pegawai.”

Perlu adanya optimalisasi untuk antar lembaga pemerintah melakukan


sinergi dalam memudahkan pelaporan serta upaya untuk mencegah terjadi
pelanggaran keimigrasian. Tujuannya adalah untuk memudahkan masyarakat
dalam melakukan pelaporan dan bagi TIMPORA dalam menyelesaikan serta
melaksanakan tugasnya secara maksimal.

D. PERATURAN UU NO. 6 TAHUN 2011 KEIMIGRASIAN/UU


KEIMIGRASIAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang yang masuk atau keluar
Wilayah Indonesia serta pengawasannya dalam rangka menjaga tegaknya
kedaulatan negara.
2. Wilayah Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Wilayah
Indonesia adalah seluruh wilayah Indonesia serta zona tertentu yang
ditetapkan berdasarkan undang-undang.
3. Fungsi Keimigrasian adalah bagian dari urusan pemerintahan negara dalam
memberikan pelayanan Keimigrasian, penegakan hukum, keamanan negara,
dan fasilitator pembangunan kesejahteraan masyarakat.
4. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang hukum dan hak asasi manusia.
5. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Imigrasi.
6. Direktorat Jenderal Imigrasi adalah unsur pelaksana tugas dan fungsi
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia di bidang Keimigrasian.
7. Pejabat Imigrasi adalah pegawai yang telah melalui pendidikan khusus
Keimigrasian dan memiliki keahlian teknis Keimigrasian serta memiliki
wewenang untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab berdasarkan
Undang-Undang ini.
8. Penyidik Pegawai Negeri Sipil Keimigrasian yang selanjutnya disebut dengan
PPNS Keimigrasian adalah Pejabat Imigrasi yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk melakukan penyidikan tindak pidana Keimigrasian.
9. Orang Asing adalah orang yang bukan warga negara Indonesia.
10. Sistem Informasi Manajemen Keimigrasian adalah sistem teknologi informasi
dan komunikasi yang digunakan untuk mengumpulkan, mengolah dan
menyajikan informasi guna mendukung operasional, manajemen, dan
pengambilan keputusan dalam melaksanakan Fungsi Keimigrasian.
11. Kantor Imigrasi adalah unit pelaksana teknis yang menjalankan Fungsi
Keimigrasian di daerah kabupaten, kota, atau kecamatan.
12. Tempat Pemeriksaan Imigrasi adalah tempat pemeriksaan di pelabuhan laut,
bandar udara, pos lintas batas, atau tempat lain sebagai tempat masuk dan
keluar Wilayah Indonesia.
13. Dokumen Perjalanan adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pejabat
yang berwenang dari suatu negara, Perserikatan Bangsa-Bangsa, atau
organisasi internasional lainnya untuk melakukan perjalanan antarnegara
yang memuat identitas pemegangnya.
14. Dokumen Keimigrasian adalah Dokumen Perjalanan Republik Indonesia, dan
Izin Tinggal yang dikeluarkan oleh Pejabat Imigrasi atau pejabat dinas luar
negeri.
15. Dokumen Perjalanan Republik Indonesia adalah Paspor Republik Indonesia
dan Surat Perjalanan Laksana Paspor Republik Indonesia.
16. Paspor Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Paspor adalah dokumen
yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia kepada warga negara
Indonesia untuk melakukan perjalanan antarnegara yang berlaku selama
jangka waktu tertentu.
17. Surat Perjalanan Laksana Paspor Republik Indonesia yang selanjutnya
disebut Surat Perjalanan Laksana 2 / 36 www.hukumonline.com Paspor
adalah dokumen pengganti paspor yang diberikan dalam keadaan tertentu
yang berlaku selama jangka waktu tertentu.
18. Visa Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Visa adalah keterangan
tertulis yang diberikan oleh pejabat yang berwenang di Perwakilan Republik
Indonesia atau di tempat lain yang ditetapkan oleh Pemerintah Republik
Indonesia yang memuat persetujuan bagi Orang Asing untuk melakukan
perjalanan ke Wilayah Indonesia dan menjadi dasar untuk pemberian Izin
Tinggal.
19. Tanda Masuk adalah tanda tertentu berupa cap yang dibubuhkan pada
Dokumen Perjalanan warga negara Indonesia dan Orang Asing, baik manual
maupun elektronik, yang diberikan oleh Pejabat Imigrasi sebagai tanda bahwa
yang bersangkutan masuk Wilayah Indonesia.
20. Tanda Keluar adalah tanda tertentu berupa cap yang dibubuhkan pada
Dokumen Perjalanan warga negara Indonesia dan Orang Asing, baik manual
maupun elektronik, yang diberikan oleh Pejabat Imigrasi sebagai tanda bahwa
yang bersangkutan keluar Wilayah Indonesia.
21. Izin Tinggal adalah izin yang diberikan kepada Orang Asing oleh Pejabat
Imigrasi atau pejabat dinas luar negeri untuk berada di Wilayah Indonesia.
22. Pernyataan Integrasi adalah pernyataan Orang Asing kepada Pemerintah
Republik Indonesia sebagai salah satu syarat memperoleh Izin Tinggal Tetap.
23. Izin Tinggal Tetap adalah izin yang diberikan kepada Orang Asing tertentu
untuk bertempat tinggal dan menetap di Wilayah Indonesia sebagai penduduk
Indonesia.
24. Izin Masuk Kembali adalah izin tertulis yang diberikan oleh Pejabat Imigrasi
kepada Orang Asing pemegang Izin Tinggal terbatas dan Izin Tinggal Tetap
untuk masuk kembali ke Wilayah Indonesia.
25. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
26. Penjamin adalah orang atau Korporasi yang bertanggung jawab atas
keberadaan dan kegiatan Orang Asing selama berada di Wilayah Indonesia.
27. Alat Angkut adalah kapal laut, pesawat udara, atau sarana transportasi lain
yang lazim digunakan, baik untuk mengangkut orang maupun barang.
28. Pencegahan adalah larangan sementara terhadap orang untuk keluar dari
Wilayah Indonesia berdasarkan alasan Keimigrasian atau alasan lain yang
ditentukan oleh undang-undang.
29. Penangkalan adalah larangan terhadap Orang Asing untuk masuk Wilayah
Indonesia berdasarkan alasan Keimigrasian.
30. Intelijen Keimigrasian adalah kegiatan penyelidikan Keimigrasian dan
pengamanan Keimigrasian dalam rangka proses penyajian informasi melalui
analisis guna menetapkan perkiraan keadaan Keimigrasian yang dihadapi atau
yang akan dihadapi.
31. Tindakan Administratif Keimigrasian adalah sanksi administratif yang
ditetapkan Pejabat Imigrasi terhadap Orang Asing di luar proses peradilan.
32. Penyelundupan Manusia adalah perbuatan yang bertujuan mencari
keuntungan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk diri sendiri
atau untuk orang lain yang membawa seseorang atau kelompok orang, baik
secara terorganisasi maupun tidak terorganisasi, atau memerintahkan orang
lain untuk membawa seseorang atau kelompok orang, baik secara
terorganisasi maupun tidak terorganisasi, yang tidak memiliki hak secara sah
untuk memasuki Wilayah Indonesia atau keluar Wilayah Indonesia dan/atau
masuk wilayah negara lain yang orang tersebut tidak memiliki hak untuk
memasuki wilayah tersebut secara sah, baik dengan menggunakan dokumen
sah maupun dokumen palsu, atau tanpa menggunakan Dokumen Perjalanan,
baik melalui pemeriksaan imigrasi maupun tidak.
33. Rumah Detensi Imigrasi adalah unit pelaksana teknis yang menjalankan
Fungsi Keimigrasian sebagai tempat penampungan sementara bagi Orang
Asing yang dikenai Tindakan Administratif Keimigrasian.
34. Ruang Detensi Imigrasi adalah tempat penampungan sementara bagi Orang
Asing yang dikenai Tindakan Administratif Keimigrasian yang berada di
Direktorat Jenderal Imigrasi dan Kantor Imigrasi.
35. Deteni adalah Orang Asing penghuni Rumah Detensi Imigrasi atau Ruang
Detensi Imigrasi yang telah mendapatkan keputusan pendetensian dari
Pejabat Imigrasi.
36. Deportasi adalah tindakan paksa mengeluarkan Orang Asing dari Wilayah
Indonesia.
37. Penanggung Jawab Alat Angkut adalah pemilik, pengurus, agen, nakhoda,
kapten kapal, kapten pilot, atau pengemudi alat angkut yang bersangkutan.
38. Penumpang adalah setiap orang yang berada di atas alat angkut, kecuali awak
alat angkut.
39. Perwakilan Republik Indonesia adalah Kedutaan Besar Republik Indonesia,
Konsulat Jenderal Republik Indonesia, dan Konsulat Republik Indonesia.

Pasal 2
Setiap warga negara Indonesia berhak melakukan perjalanan keluar dan masuk
Wilayah Indonesia.
BAB II
PELAKSANAAN FUNGSI KEIMIGRASIAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 3
1) Untuk melaksanakan Fungsi Keimigrasian, Pemerintah menetapkan kebijakan
Keimigrasian.
2) Kebijakan Keimigrasian dilaksanakan oleh Menteri.
3) Fungsi Keimigrasian di sepanjang garis perbatasan Wilayah Indonesia
dilaksanakan oleh Pejabat Imigrasi yang meliputi Tempat Pemeriksaan
Imigrasi dan pos lintas batas.

Pasal 4
1) Untuk melaksanakan Fungsi Keimigrasian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3, dapat dibentuk Kantor Imigrasi di kabupaten, kota, atau kecamatan.
2) Di setiap wilayah kerja Kantor Imigrasi dapat dibentuk Tempat Pemeriksaan
Imigrasi.
3) Pembentukan Tempat Pemeriksaan Imigrasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri.
4) Selain Kantor Imigrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dibentuk
Rumah Detensi Imigrasi di ibu kota negara, provinsi, kabupaten, atau kota.
5) Kantor Imigrasi dan Rumah Detensi Imigrasi merupakan unit pelaksana
teknis yang berada di bawah Direktorat Jenderal Imigrasi.

Pasal 5
Fungsi Keimigrasian di setiap Perwakilan Republik Indonesia atau tempat lain di
luar negeri dilaksanakan oleh Pejabat Imigrasi dan/atau pejabat dinas luar negeri
yang ditunjuk.
Pasal 6
Pemerintah dapat melakukan kerja sama internasional di bidang Keimigrasian
dengan negara lain dan/atau dengan badan atau organisasi internasional
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua Sistem
Informasi Manajemen Keimigrasian
Pasal 7
1) Direktur Jenderal bertanggung jawab menyusun dan mengelola Sistem
Informasi Manajemen Keimigrasian sebagai sarana pelaksanaan Fungsi
Keimigrasian di dalam atau di luar Wilayah Indonesia.
2) Sistem Informasi Manajemen Keimigrasian dapat diakses oleh instansi
dan/atau lembaga pemerintahan terkait sesuai dengan tugas dan fungsinya.

BAB III
MASUK DAN KELUAR WILAYAH INDONESIA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 8
1) Setiap orang yang masuk atau keluar Wilayah Indonesia wajib memiliki
Dokumen Perjalanan yang sah dan masih berlaku.
2) Setiap Orang Asing yang masuk Wilayah Indonesia wajib memiliki Visa
yang sah dan masih berlaku, kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-
Undang ini dan perjanjian internasional.

Pasal 9
1) Setiap orang yang masuk atau keluar Wilayah Indonesia wajib melalui
pemeriksaan yang dilakukan oleh Pejabat Imigrasi di Tempat Pemeriksaan
Imigrasi.
2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pemeriksaan
dokumen perjalanan dan/atau identitas diri yang sah.
3) Dalam hal terdapat keraguan atas keabsahan Dokumen Perjalanan dan/atau
identitas diri seseorang, Pejabat Imigrasi berwenang untuk melakukan
penggeledahan terhadap badan dan barang bawaan dan dapat dilanjutkan
dengan proses penyelidikan Keimigrasian.

Bagian Kedua
Masuk Wilayah Indonesia
Pasal 10
Orang Asing yang telah memenuhi persyaratan dapat masuk Wilayah Indonesia
setelah mendapatkan Tanda Masuk.
Pasal 11
1) Dalam keadaan darurat Pejabat Imigrasi dapat memberikan Tanda Masuk
yang bersifat darurat kepada Orang Asing.
2) Tanda Masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sebagai Izin
Tinggal kunjungan dalam jangka waktu tertentu.

Pasal 12
Menteri berwenang melarang Orang Asing berada di daerah tertentu di Wilayah
Indonesia.
Pasal 13
1) Pejabat Imigrasi menolak Orang Asing masuk Wilayah Indonesia dalam hal
orang asing tersebut:
a. namanya tercantum dalam daftar Penangkalan;
b. tidak memiliki Dokumen Perjalanan yang sah dan berlaku;
c. memiliki dokumen Keimigrasian yang palsu;
d. tidak memiliki Visa, kecuali yang dibebaskan dari kewajiban memiliki
Visa;
e. telah memberi keterangan yang tidak benar dalam memperoleh Visa;
f. menderita penyakit menular yang membahayakan kesehatan umum;
g. terlibat kejahatan internasional dan tindak pidana transnasional yang
terorganisasi;
h. termasuk dalam daftar pencarian orang untuk ditangkap dari suatu negara
asing;
i. terlibat dalam kegiatan makar terhadap Pemerintah Republik Indonesia;
atau
j. termasuk dalam jaringan praktik atau kegiatan prostitusi, perdagangan
orang, dan penyelundupan manusia.
2) Orang Asing yang ditolak masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditempatkan dalam pengawasan sementara menunggu proses pemulangan
yang bersangkutan.

Pasal 14
1) Setiap warga negara Indonesia tidak dapat ditolak masuk Wilayah Indonesia.
2) Dalam hal terdapat keraguan terhadap dokumen perjalanan seorang warga
negara Indonesia dan/atau status kewarganegaraannya, yang bersangkutan
harus memberikan bukti lain yang sah dan meyakinkan yang menunjukkan
bahwa yang bersangkutan adalah warga negara Indonesia.
3) Dalam rangka melengkapi bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (2), yang
bersangkutan dapat ditempatkan dalam Rumah Detensi Imigrasi atau Ruang
Detensi Imigrasi.
KETENTUAN PIDANA
Pasal 113
Setiap orang yang dengan sengaja masuk atau keluar Wilayah Indonesia yang
tidak melalui pemeriksaan oleh Pejabat Imigrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 114
1) Penanggung Jawab Alat Angkut yang masuk atau keluar Wilayah Indonesia
dengan alat angkutnya yang tidak melalui Tempat Pemeriksaan Imigrasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
2) Penanggung Jawab Alat Angkut yang sengaja menurunkan atau menaikkan
penumpang yang tidak melalui pemeriksaan Pejabat Imigrasi atau petugas
pemeriksa pendaratan di Tempat Pemeriksaan Imigrasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah).

Pasal 115
Setiap Penanggung Jawab Alat Angkut yang tidak membayar biaya beban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4) dan Pasal 79 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 116
Setiap Orang Asing yang tidak melakukan kewajibannya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 71 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau
pidana denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
Pasal 117
Pemilik atau pengurus tempat penginapan yang tidak memberikan keterangan atau
tidak memberikan data Orang Asing yang menginap di rumah atau di tempat
penginapannya setelah diminta oleh Pejabat Imigrasi yang bertugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3
(tiga) bulan atau pidana denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima
juta rupiah).
Pasal 118
Setiap Penjamin yang dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar atau
tidak memenuhi jaminan yang diberikannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
63 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 119
1) Setiap Orang Asing yang masuk dan/atau berada di Wilayah Indonesia yang
tidak memiliki Dokumen Perjalanan dan Visa yang sah dan masih berlaku
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
2) Setiap Orang Asing yang dengan sengaja menggunakan Dokumen Perjalanan,
tetapi diketahui atau patut diduga bahwa Dokumen Perjalanan itu palsu atau
dipalsukan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 120
1) Setiap orang yang melakukan perbuatan yang bertujuan mencari keuntungan,
baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk diri sendiri atau untuk
orang lain dengan membawa seseorang atau kelompok orang, baik secara
terorganisasi maupun tidak terorganisasi, atau memerintahkan orang lain
untuk membawa seseorang atau kelompok orang, baik secara terorganisasi
maupun tidak terorganisasi, yang tidak memiliki hak secara sah untuk
memasuki Wilayah Indonesia atau keluar dari Wilayah Indonesia dan/atau
masuk wilayah negara lain, yang orang tersebut tidak memiliki hak untuk
memasuki wilayah tersebut secara sah, baik dengan menggunakan dokumen
sah maupun dokumen palsu, atau tanpa menggunakan Dokumen Perjalanan,
baik melalui pemeriksaan imigrasi maupun tidak, dipidana karena
Penyelundupan Manusia dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
2) Percobaan untuk melakukan tindak pidana Penyelundupan Manusia dipidana
dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 121
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah): a. setiap orang yang
dengan sengaja membuat palsu atau memalsukan Visa atau Tanda Masuk atau
Izin Tinggal dengan maksud untuk digunakan bagi dirinya sendiri atau orang lain
untuk masuk atau keluar atau berada di Wilayah Indonesia; b. setiap Orang Asing
yang dengan sengaja menggunakan Visa atau Tanda Masuk atau Izin Tinggal
palsu atau yang dipalsukan untuk masuk atau keluar atau berada di Wilayah
Indonesia.
Pasal 122
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda
paling paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah): a. setiap Orang
Asing yang dengan sengaja menyalahgunakan atau melakukan kegiatan yang
tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian Izin Tinggal yang diberikan
kepadanya; b. setiap orang yang menyuruh atau memberikan kesempatan kepada
Orang Asing menyalahgunakan atau melakukan kegiatan yang tidak sesuai
dengan maksud atau tujuan pemberian Izin Tinggal yang diberikan kepadanya.

Pasal 123
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah):
a. setiap orang yang dengan sengaja memberikan surat atau data palsu atau yang
dipalsukan atau keterangan tidak benar dengan maksud untuk memperoleh
Visa atau Izin Tinggal bagi dirinya sendiri atau orang lain;
b. setiap Orang Asing yang dengan sengaja menggunakan Visa atau Izin
Tinggal sebagaimana dimaksud dalam huruf a untuk masuk dan/atau berada
di Wilayah Indonesia.

Pasal 124
Setiap orang yang dengan sengaja menyembunyikan atau melindungi atau
memberi pemondokan atau memberikan penghidupan atau memberikan pekerjaan
kepada Orang Asing yang diketahui atau patut diduga:
a. berada di Wilayah Indonesia secara tidak sah dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah);
b. Izin Tinggalnya habis berlaku dipidana dengan pidana kurungan paling lama
3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh
lima juta rupiah).

Pasal 125
Setiap Orang Asing yang tanpa izin berada di daerah tertentu yang telah
dinyatakan terlarang bagi Orang Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48
ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau
pidana denda Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 126
Setiap orang yang dengan sengaja:
a. menggunakan Dokumen Perjalanan Republik Indonesia untuk masuk atau
keluar Wilayah Indonesia, tetapi diketahui atau patut diduga bahwa Dokumen
Perjalanan Republik Indonesia itu palsu atau dipalsukan dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
b. menggunakan Dokumen Perjalanan Republik Indonesia orang lain atau yang
sudah dicabut atau yang dinyatakan batal untuk masuk atau keluar Wilayah
Indonesia atau menyerahkan kepada orang lain Dokumen Perjalanan
Republik Indonesia yang diberikan kepadanya atau milik orang lain dengan
maksud digunakan secara tanpa hak dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah);
c. memberikan data yang tidak sah atau keterangan yang tidak benar untuk
memperoleh Dokumen Perjalanan Republik Indonesia bagi dirinya sendiri
atau orang lain dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
d. memiliki atau menggunakan secara melawan hukum 2 (dua) atau lebih
Dokumen Perjalanan Republik Indonesia yang sejenis dan semuanya masih
berlaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
e. memalsukan Dokumen Perjalanan Republik Indonesia atau membuat
Dokumen Perjalanan Republik Indonesia palsu dengan maksud untuk
digunakan bagi dirinya sendiri atau orang lain dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 127
Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum menyimpan Dokumen
Perjalanan Republik Indonesia palsu atau dipalsukan dengan maksud untuk
digunakan bagi dirinya sendiri atau orang lain dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
Pasal 128
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah):
a. setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum mencetak,
mempunyai, menyimpan, atau memperdagangkan blanko Dokumen
Perjalanan Republik Indonesia atau blanko dokumen keimigrasian lainnya;
b. setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum membuat,
mempunyai, menyimpan, atau memperdagangkan cap atau alat lain yang
digunakan untuk mengesahkan Dokumen Perjalanan Republik Indonesia atau
dokumen keimigrasian lainnya.

Pasal 129
Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum untuk kepentingan diri
sendiri atau orang lain merusak, mengubah, menambah, mengurangi, atau
menghilangkan, baik sebagian maupun seluruhnya, keterangan atau cap yang
terdapat dalam Dokumen Perjalanan Republik Indonesia atau Dokumen
Keimigrasian lainnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 130
Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum menguasai Dokumen
Perjalanan atau Dokumen Keimigrasian lainnya milik orang lain dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 131
Setiap orang yang dengan sengaja tanpa hak dan melawan hukum memiliki,
menyimpan, merusak, menghilangkan, mengubah, menggandakan, menggunakan
dan atau mengakses data Keimigrasian, baik secara manual maupun elektronik,
untuk kepentingan diri sendiri atau orang lain dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
Pasal 132
Pejabat Imigrasi atau pejabat lain yang ditunjuk yang dengan sengaja dan
melawan hukum memberikan Dokumen Perjalanan Republik Indonesia dan/atau
memberikan atau memperpanjang Dokumen Keimigrasian kepada seseorang yang
diketahuinya tidak berhak dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh)
tahun.
Pasal 133
Pejabat Imigrasi atau pejabat lain:
a. membiarkan seseorang melakukan tindak pidana Keimigrasian sebagaimana
dimaksud Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123,
Pasal 126, Pasal 127, Pasal 128, Pasal 129, Pasal 131, Pasal 132, Pasal 133
huruf b, Pasal 134 huruf b, dan Pasal 135 yang patut diketahui olehnya
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun;
b. dengan sengaja membocorkan data Keimigrasian yang bersifat rahasia kepada
pihak yang tidak berhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) dan
Pasal 68 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun;
c. dengan sengaja tidak menjalankan prosedur operasi standar yang berlaku
dalam proses pemeriksaan pemberangkatan atau kedatangan di Tempat
Pemeriksaan Imigrasi yang mengakibatkan masuknya Orang Asing ke
Wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) atau
keluarnya orang dari Wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun;
d. dengan sengaja dan melawan hukum tidak menjalankan prosedur operasi
standar penjagaan Deteni di Rumah Detensi Imigrasi atau Ruang Detensi
Imigrasi yang mengakibatkan Deteni melarikan diri dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun;
e. dengan sengaja dan melawan hukum tidak memasukkan data ke dalam Sistem
Informasi Manajemen Keimigrasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan.

Pasal 134
Setiap Deteni yang dengan sengaja:
a. membuat, memiliki, menggunakan, dan/atau mendistribusikan senjata
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun;
b. melarikan diri dari Rumah Detensi Imigrasi atau Ruang Detensi Imigrasi
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.

Pasal 135
Setiap orang yang melakukan perkawinan semu dengan tujuan untuk memperoleh
Dokumen Keimigrasian dan/atau untuk memperoleh status kewarganegaraan
Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 136
1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114, Pasal 116,
Pasal 117, Pasal 118, Pasal 120, Pasal 124, Pasal 128, dan Pasal 129
dilakukan oleh Korporasi, pidana dijatuhkan kepada pengurus dan
korporasinya.
2) Penjatuhan pidana terhadap Korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan
besarnya pidana denda tersebut 3 (tiga) kali lipat dari setiap pidana denda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Ketentuan pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 113, Pasal 119, Pasal 121 huruf b, Pasal 123 huruf b,
dan Pasal 126 huruf a dan huruf b tidak diberlakukan terhadap korban
perdagangan orang dan Penyelundupan Manusia.

TINDAKAN ADMINISTRATIF KEIMIGRASIAN


Pasal 75
1) Pejabat Imigrasi berwenang melakukan Tindakan Administratif Keimigrasian
terhadap Orang Asing yang berada di Wilayah Indonesia yang melakukan
kegiatan berbahaya dan patut diduga membahayakan keamanan dan
ketertiban umum atau tidak menghormati atau tidak menaati peraturan
perundangundangan.
2) Tindakan Administratif Keimigrasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berupa:
a. pencantuman dalam daftar Pencegahan atau Penangkalan;
b. pembatasan, perubahan, atau pembatalan Izin Tinggal;
c. larangan untuk berada di satu atau beberapa tempat tertentu di Wilayah
Indonesia;
d. keharusan untuk bertempat tinggal di suatu tempat tertentu di Wilayah
Indonesia;
e. pengenaan biaya beban; dan/atau
f. Deportasi dari Wilayah Indonesia.
3) Tindakan Administratif Keimigrasian berupa Deportasi dapat juga dilakukan
terhadap Orang Asing yang berada di Wilayah Indonesia karena berusaha
menghindarkan diri dari ancaman dan pelaksanaan hukuman di negara
asalnya.
Pasal 76 Keputusan mengenai Tindakan Administratif Keimigrasian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) dan ayat (3) dilakukan secara
tertulis dan harus disertai dengan alasan.
Pasal 77
(1) Orang Asing yang dikenai Tindakan Administratif Keimigrasian dapat
mengajukan keberatan kepada Menteri.
(2) Menteri dapat mengabulkan atau menolak keberatan yang diajukan Orang
Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan Keputusan Menteri.
(3) Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat final.
4) Pengajuan keberatan yang diajukan oleh Orang Asing tidak menunda
pelaksanaan Tindakan Administratif Keimigrasian terhadap yang
bersangkutan.
Pasal 78
(1) Orang Asing pemegang Izin Tinggal yang telah berakhir masa berlakunya
dan masih berada dalam Wilayah Indonesia kurang dari 60 (enam puluh) hari
dari batas waktu Izin Tinggal dikenai biaya beban sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Orang Asing yang tidak membayar biaya beban sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikenai Tindakan Administratif Keimigrasian berupa Deportasi
dan Penangkalan.
(3) Orang Asing pemegang Izin Tinggal yang telah berakhir masa berlakunya
dan masih berada dalam Wilayah Indonesia lebih dari 60 (enam puluh) hari
dari batas waktu Izin Tinggal dikenai Tindakan Administratif Keimigrasian
berupa Deportasi dan Penangkalan.
Pasal 79
Penanggung Jawab Alat Angkut yang tidak memenuhi kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dikenai biaya beban.
Pasal 80
Biaya beban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4) dan Pasal 79
merupakan salah satu Penerimaan Negara Bukan Pajak di bidang
Keimigrasian
BAB III
KASUS POSISI DAN AMAR PUTUSAN NOMOR
292/PID.SUS/2021/PN.BTM
A. GAMBARAN UMUM TENTANG KASUS
Pada tanggal 16 Agustus 2020 sekira pukul 00.30 Wib, saksi Iwan Ibrahim
(anggota TNI) yang telah melakukan pendalaman informasi terhadap Terdakwa
MYAT THIT Als MUHAMMAD yang merupakan Warga Negara Asing yang
masuk ke Wilayah Indonesia tanpa dokumen perjalanan dan visa yang sah dan
masih berlaku, melakukan Penangkapan terhadap Terdakwa di Pantai Stress, Batu
Ampar Kota Batam dan ketika diintrogasi Terdakwa mengaku
berkewarganegaraan Myanmar selanjutnya saksi Iwan Ibrahim menyerahkan
Terdakwa kepada pihak Imigrasi Kelas I khusus TPI Batam.
Pada saat di periksa oleh pihak Imigrasi Kelas I khusus TPI Batam
Terdakwa tidak memiliki paspor berkewarganegaraan Myanmar serta tidak
memiliki izin tinggal selama berada di Batam dan yang masuk dan/atau berada di
Wilayah Indonesia yang tidak memiliki dokumen perjalanan dan visa yang sah
dan masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8; dimaksud dengan
Wilayah Negara Republik Indonesia adalah seluruh wilayah Indonesia serta zona
tertentu yang ditetapkan berdasarkan undang-undang; Dokumen Perjalanan
Republik Indonesia adalah Paspor Republik Indonesia dan Surat Perjalanan
Laksana Paspor Republik Indonesia; dengan Visa Republik Indonesia yang
selanjutnya disebut Visa adalah keterangan tertulis yang diberikan oleh pejabat
yang berwenang di Perwakilan Republik Indonesia atau di tempat lain yang
ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia yang memuat persetujuan bagi
Orang Asing untuk melakukan perjalanan ke Wilayah Indonesia dan menjadi
dasar untuk pemberian Izin Tinggal;
IDENTITAS TERDAKWA
1. Nama lengkap: Myat Thit Als Muhammad;
2. Tempat lahir: Myanmar;
3. Umur/Tanggal lahir: 41 Tahun / 31 Desember 1979;
4. Jenis kelamin: Laki-laki;
5. Kebangsaan: Myanmar;
6. Tempat tinggal: Tengah dalam masa Pendentesian di Ruman, Detensi
Imigrasi Pusat Tanjung Pinang – Kota Batam;
7. Agama: Islam;
8. Pekerjaan: Buruh Harian Lepas;

Berdasarkan keterangan Ahli Edward Robert Silitonga setiap orang asing


yang masuk ke Indonesia wajib memiliki dokumen perjalanan yang sah dan masih
berlaku serta memiliki visa yang sah dan masih berlaku kecuali ditentukan lain
berdasarkan Undang-Undang dan perjanjian dalam Pasal 8 ayat (1) dan (2)
Undang-Undang Nomor 6 tahun 2011 tentang keimigrasian serta wajib melalui
pemeriksaan yang dilakukan oleh Pejabat Imigrasi di tempat Pemeriksaan
Imigrasi sebagaiman diatur dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-undang Nomor 6 tahun
2011 tentang Keimigrasian; berdasarkan surat dari Keduataan Besar Myanmar
pada tanggal 27 Oktober 2020 terhadap Terdakwa adalah benar merupakan Warga
Negara Myanmar; Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana
dalam Pasal 119 Ayat (1) UU RI No. 06 Tahun 2011 tentang Keimigrasian;

B. GAMBARAN UMUM PEMALSUAN DOKUMEN


Terdakwa MYAT THIT Als MUHAMMAD pada hari kamis tanggal 18
Februari 2021 atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam bulan Februari tahun
2021 atau setidak-tidaknya masih ditahun 2021, bertempat di Kantor Imigrasi
Kelas I Khusus TPI Batam, Jalan Engku Putri No. 03 Batam Centre, Kota Batam
atau setidak-tidaknya di tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum
Pengadilan Negeri Batam yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini,
yang masuk dan/atau berada di Wilayah Indonesia yang tidak memiliki dokumen
perjalanan dan visa yang sah dan masih berlaku, perbuatan para Terdakwa
dilakukan dengan cara sebagai berikut:
Bermula dari Iwan Ibrahim (anggota TNI) yang telah melakukan introgasi pada
seorang warga negara asing pada tanggal 3 Maret 2021 sampai dengan tanggal 22
Maret 2021; pendalaman informasi terhadap Terdakwa MYAT THIT alias
MUHAMMAD yang merupakan Warga Negara Asing yang masuk ke Wilayah
Indonesia Tanpa Dokumen Perjalanan dan Visa yang sah dan masih berlaku,
melakukan Penangkapan terhadap Terdakwa di Pantai Stress, Batu Ampar Kota
Batam dan ketika diintrogasi Terdakwa mengaku berkewarganegaraan Myanmar
selanjutnya saksi Iwan Ibrahim menyerahkan Terdakwa kepada pihak Imigrasi
Kelas I khusus TPI Batam.
Pada saat di periksa oleh pihak Imigrasi Kelas I khusus TPI Batam
Terdakwa tidak memiliki Paspor berkewarganegaraan Myanmar serta tidak
PENDALAM INFOMASI tanggal 23 Maret 2021 sampai dengan tanggal 1 Mei
2021; Terdakwa mengaku pertama kali masuk Ke Wilayah Indonesia pada sekira
tahun 2000, pada saat sedang diatas kapal Pukat Harimau dari Thailand Terdakwa
bersama rekan-rekannya ditangkap oleh Polisi Air dan Udara Indonesia Di Pulau
Sambu Belakang Padang kemudian Terdakwa dan rekan-rekannya dibawa ke Pos
Polisi Belakang Padang kemudian Terdakwa diperiksa ditempat tersebut dan
setelah selesai diperiksa Terdakwa dibawa ke Pos Polisi Selat Beliah karimun dan
tinggal selama 3 (tiga) bulan di Pos Polisi tersebut namun ketika Terdakwa
mendengar akan ada proses pemulangan Terdakwa kabur dari Pos Polisi Selat
Beliah karimun.
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta hukum yang terungkap setelah
kaburnya terdakwa Iwan Ibrahim dan Mahadi melakukan penangakapan kembali
pada tanggal 29 April 2021 sampai dengan tanggal 18 Mei 2021 kemudia
menetapkan barang bukti berupa:
 Kartu Tanda Penduduk dengan NIK 2102053112790008 a.n. Muhammad
diterbitkan Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten
Karimun Provinsi Kepulauan Riau tanggal 13 Juni 2013 berlaku s.d. 31
Desember 2018
 Paspor Republik Indonesia Nomor C6530566 a.n. Muhammad diterbitkan
Kantor Imigrasi Kelas II TPI Tanjung Balai Karimun tanggal 16 Maret
2020 berlaku s.d. 16 Maret 2025; Keberadaan barang yang disita di kantor
Imigrasi Kelas I Khusus Batam;
 Kartu Keluarga Nomor 2102052506090004 diterbitkan Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Karimun tanggal 20 Juli
2018; Keberadaan barang yang disita di Batu Besar Kampung Tengah
RT.002 Rw.004 Nomor 74 Kelurahan Batu Bsar, Kecamanatan Nongsa,
Kota Batam; Dirampas untuk dimusnahkan
 Kutipan Akta Nikah Nomor 167/14/X/2008 tanggal 20 Oktober 2008
diterbitkan Kantor Urusan Agama Kecamatan Tebing, Kabupaten
Karimun Provinsi Kepulauan Riau a.n. Muhammad dan Nani Marni;

C. GAMBARAN UMUM PUTUSAN


Berdasarkan keterangan Ahli Edward Robert Silitonga setiap orang asing
yang masuk ke Indonesia wajib memiliki Dokumen Perjalanan yang sah dan
masih berlaku serta memiliki visa yang sah dan masih berlaku kecuali ditentukan
lain berdasarkan Undang-Undang dan perjanjian dalam Pasal 8 ayat (1) dan (2)
Undang-Undang Nomor 6 tahun 2011 tentang keimigrasian serta wajib melalui
pemeriksaan yang dilakukan oleh Pejabat Imigrasi di tempat Pemeriksaan
Imigrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-undang Nomor 6
tahun 2011 tentang Keimigrasian; berdasarkan surat dari Keduataan Besar
Myanmar pada tanggal 27 Oktober 2020 terhadap Terdakwa adalah benar
merupakan Warga Negara Myanmar.
Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal
119 Ayat (1) UU RI No. 06 Tahun 2011 tentang Keimigrasian; Bahwa ketentuan
Pasal 1 ayat 9 Undang-undang RI Nomor 06 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian
menentukan bahwa:
“Orang Asing adalah orang yang bukan warga Negara Indonesia”
Bahwa dalam ilmu hukum pidana Indonesia yang dimaksud dengan “Setiap
orang” menunjuk kepada “personlijk (orang)” selaku subjek hukum yang dapat
dibebani pertanggung jawaban pidana.
Menimbang, bahwa berdasarkan pengertian di atas, Majelis Hakim
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “setiap orang asing” dalam perkara a
quo, adalah “Orang per orangan yang merupakan warga negara asing sebagai
pendukung hak dan kewajiban yang atas perbuatan pidananya, ia dapat dimintai
pertanggungjawaban
Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan Saksi-saksi dan keterangan
Terdakwa serta dihubungkan dengan Barang bukti yang satu sama lain telah
saling bersesuaian, Majelis Hakim berpendapat, bahwa dengan dihadapkannya
Terdakwa ke persidangan yang identitasnya telah dibenarkan oleh Terdakwa dan
Saksi-saksi, maka yang dimaksud dengan unsur “Setiap orang asing” dalam
perkara a quo, menunjuk kepada diri Terdakwa Myat Thit Als Muhammad sendiri
dan bukan orang lain, dengan demikian unsur “Setiap orang” ini telah terpenuhi
dalam diri Terdakwa.
Berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan ternyata bahwa
pada tanggal 16 Agustus 2020, sekitar pukul 00.30 Wib, saksi Iwan Ibrahim
(anggota TNI) yang telah melakukan pendalaman informasi terhadap Terdakwa
MYAT THIT Als MUHAMMAD yang merupakan Warga Negara Asing yang
masuk ke Wilayah Indonesia Tanpa Dokumen Perjalanan dan Visa yang sah dan
masih berlaku, melakukan Penangkapan terhadap Terdakwa di Pantai Stress, Batu
Ampar Kota Batam dan ketika diintrogasi Terdakwa mengaku
berkewarganegaraan Myanmar selanjutnya saksi Iwan Ibrahim menyerahkan
Terdakwa kepada pihak Imigrasi Kelas I khusus TPI Batam;
Bahwa wujud perbuatan pidana materiel yang dilakukan
BERDASARKAN FAKTA SECARA SAH tuntutan jaksa:
1. Menyatakan Terdakwa MYAT THIT Als MUHAMMAD bersalah secara sah
dan meyakinkan melakukan tindak pidana “yang masuk dan/atau berada di
Wilayah Indonesia yang tidak memiliki Dokumen Perjalanan dan Visa yang
sah dan masih berlaku”, sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 119
Ayat (1) UU RI No. 06 Tahun 2011 tentang Keimigrasian;
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa MYAT THIT Als MUHAMMAD
dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dikurangi selama Terdakwa
berada dalam tahanan sementara, dengan perintah agar Terdakwa tetap
ditahan;
3. Menjatuhkan pidana denda terhadap terdakwa sebesar Rp.50.000.000-, (lima
puluh juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan Kurungan;
4. Menetapkan barang bukti berupa:
- Kartu Tanda Penduduk dengan NIK 2102053112790008 a.n. Muhammad
diterbitkan Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten
Karimun Provinsi Kepulauan Riau tanggal 13 Juni 2013 berlaku s.d. 31
Desember 2018
- Paspor Republik Indonesia Nomor C6530566 a.n. Muhammad diterbitkan
Kantor Imigrasi Kelas II TPI Tanjung Balai Karimun tanggal 16 Maret
2020 berlaku s.d. 16 Maret 2025; Keberadaan barang yang disita di kantor
Imigrasi Kelas I Khusus Batam
- Kartu Keluarga Nomor 2102052506090004 diterbitkan Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Karimun tanggal 20 Juli
2018;
- Keberadaan barang yang disita di Batu Besar Kampung Tengah RT.002
Rw.004 Nomor 74 Kelurahan Batu Bsar, Kecamanatan Nongsa, Kota
Batam; Dirampas untuk dimusnahkan;
5. Menetapkan supaya Terdakwa dibebani biaya perkara sebesar Rp. 5.000,-
(lima ribu rupiah
D. AMAR PUTUSAN
1) Menyatakan Terdakwa Myat Thit Als Muhammad telah terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “orang asing yang
masuk di Wilayah Indonesia yang tidak memiliki Dokumen Perjalanan
dan Visa yang sah dan masih berlaku”
2) Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana
penjara selama 10 (sepuluh) bulan dan denda sebesar Rp. 50.000.000,-
(lima puluh juta rupiah), dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak
dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan
3) Menetapkan masa penangkapan dan masa penahanan yang telah dijalani
Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari lamanya pidana yang dijatuhkan
tersebut
4) Menetapkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan
5) Menetapkan Barang bukti berupa
- Kartu Tanda Penduduk dengan NIK 2102053112790008 a.n.
Muhammad diterbitkan Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan
Sipil Kabupaten Karimun Provinsi Kepulauan Riau tanggal 13 Juni
2013 berlaku s.d. 31 Desember 2018
- Paspor Republik Indonesia Nomor C6530566 a.n. Muhammad
diterbitkan Kantor Imigrasi Kelas II TPI Tanjung Balai Karimun
tanggal 16 Maret 2020 berlaku s.d. 16 Maret 2025; Keberadaan
barang yang disita di kantor Imigrasi Kelas I Khusus Batam.
- Kartu Keluarga Nomor 2102052506090004 diterbitkan Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Karimun tanggal 20
Juli 2018
- Keberadaan barang yang disita di Batu Besar Kampung Tengah
RT.002 Rw.004 Nomor 74 Kelurahan Batu Bsar, Kecamanatan
Nongsa, Kota Batam; Dimusnahkan
- Kutipan Akta Nikah Nomor 167/14/X/2008 tanggal 20 Oktober 2008
diterbitkan Kantor Urusan Agama Kecamatan Tebing, Kabupaten
Karimun Provinsi Kepulauan Riau a.n. Muhammad dan Nani Marni;
Dikembalikan kepada saksi Nani Marni;
6) Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa sebesar Rp. 5.000,- (lima
ribu rupiah)
BAB IV
PERMASALAHAN HUKUM DALAM IMIGRASI
A. BAGAIMANA TERJADINYA TINDAK PIDANA KEIMIGRASIAN
YANG DILAKUKAN OLEH WNA MYANMAR

Bahwa permasalahan pada hari Minggu tanggal 16 Agustus 2020, Anggota


BAIS Satgas Pajajaran Kepri menyerahkan 01 (satu) Orang Asing yang diduga
berkewarganegaraan Myanmar ke Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Batam,
yang tidak memiliki Dokumen Perjalanan dan Visa yang masih berlaku dijelaskan
Orang Asing yang masuk dan atau berada di wilayah Indonesia tanpa Dokumen
Perjalanan dan Visa yang sah dan masih berlaku merupakan pelanggaran
Keimigrasian berupa tindak pidana Keimigrasian, sebagaimana diatur dalam Pasal
119 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian;

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (1)


UndangUndang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian;
- Bahwa Ahli menjelaskan :
a) Keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang yang masuk atau
keluar Wilayah;
b) Indonesia serta pengawasannya dalam rangka menjaga
tegaknya kedaulatan negara;
c) Wilayah Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disebut
Wilayah Indonesia adalah seluruh wilayah Indonesia serta zona tertentu
yang ditetapkan berdasarkan undang-undang;
d) Pejabat Imigrasi adalah pegawai yang telah melalui pendidikan
khusus Keimigrasian dan memiliki keahlian teknis Keimigrasian serta
memiliki wewenang;
e) untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab berdasarkan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011;
f) Orang Asing adalah orang yang bukan warga negara Indonesia;
g) Tempat Pemeriksaan Imigrasi adalah tempat pemeriksaan di
pelabuhan laut, bandar udara, pos lintas batas, atau tempat lain sebagai
tempat masuk dan keluar Wilayah Indonesia;
h) Dokumen Perjalanan adalah dokumen resmi yang dikeluarkan
oleh pejabat yang berwenang dari suatu negara, Perserikatan Bangsa-Bangsa, atau organisasi
internasional lainnya untuk melakukan perjalanan antarnegara yang memuat identitas
pemegangnya;
i) Visa Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Visa adalah
keterangan tertulis yang diberikan oleh pejabat yang berwenang di
Perwakilan Republik Indonesia atau di tempat lain yang ditetapkan oleh
Pemerintah Republik Indonesia yang memuat persetujuan bagi Orang
Asing untuk melakukan perjalanan ke Wilayah Indonesia dan menjadi
dasar untuk pemberian Izin Tinggal;
j) Tanda Masuk adalah tanda tertentu berupa cap yang
dibubuhkan pada Dokumen Perjalanan warga negara Indonesia dan
Orang Asing, baik manual maupun elektronik, yang diberikan oleh
Pejabat Imigrasi sebagai tanda bahwa yang bersangkutan masuk
Wilayah Indonesia;
k) Izin Tinggal adalah izin yang diberikan kepada Orang Asing oleh
Pejabat Imigrasi atau pejabat dinas luar negeri untuk berada di Wilayah
Indonesia;

Bahwa Kewajiban Orang Asing di wilayah Indonesia adalah Wajib memiliki


Dokumen Perjalanan yang sah dan masih berlaku serta memiliki Visa yang sah
dan masih berlaku, kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-Undang dan
perjanjian dalam Pasal 8 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011
tentang Keimigrasian
Pasal 8
1) Setiap orang yang masuk atau keluar Wilayah Indonesia wajib
memiliki Dokumen Perjalanan yang sah dan masih berlaku.
2) Setiap Orang Asing yang masuk Wilayah Indonesia wajib memiliki Visa
yang sah dan masih berlaku, kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-
Undang ini dan perjanjian internasional.

serta untuk masuk ke wilayah Indonesia Wajib melalui pemeriksaan yang


dilakukan oleh Pejabat Imigrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi, sebagaimana
diatur dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang
Keimigrasian.
Pasal 9
1) Setiap orang yang masuk atau keluar Wilayah Indonesia wajib melalui
pemeriksaan yang dilakukan oleh Pejabat Imigrasi di Tempat Pemeriksaan
Imigrasi.
2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pemeriksaan
dokumen perjalanan dan/atau identitas diri yang sah.
4) Dalam hal terdapat keraguan atas keabsahan Dokumen Perjalanan dan/atau
identitas diri seseorang, Pejabat Imigrasi berwenang untuk melakukan
penggeledahan terhadap badan dan barang bawaan dan dapat dilanjutkan
dengan proses penyelidikan Keimigrasian.
Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 119
Ayat (1) UU RI No. 06 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.

Kententuan pidana
Pasal 113
Setiap orang yang dengan sengaja masuk atau keluar Wilayah Indonesia yang
tidak melalui pemeriksaan oleh Pejabat Imigrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 119
3) Setiap Orang Asing yang masuk dan/atau berada di Wilayah Indonesia yang
tidak memiliki Dokumen Perjalanan dan Visa yang sah dan masih berlaku
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
4) Setiap Orang Asing yang dengan sengaja menggunakan Dokumen Perjalanan,
tetapi diketahui atau patut diduga bahwa Dokumen Perjalanan itu palsu atau
dipalsukan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 126
Setiap orang yang dengan sengaja:
f. menggunakan Dokumen Perjalanan Republik Indonesia untuk masuk atau
keluar Wilayah Indonesia, tetapi diketahui atau patut diduga bahwa Dokumen
Perjalanan Republik Indonesia itu palsu atau dipalsukan dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
g. menggunakan Dokumen Perjalanan Republik Indonesia orang lain atau yang
sudah dicabut atau yang dinyatakan batal untuk masuk atau keluar Wilayah
Indonesia atau menyerahkan kepada orang lain Dokumen Perjalanan
Republik Indonesia yang diberikan kepadanya atau milik orang lain dengan
maksud digunakan secara tanpa hak dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah);
h. memberikan data yang tidak sah atau keterangan yang tidak benar untuk
memperoleh Dokumen Perjalanan Republik Indonesia bagi dirinya sendiri
atau orang lain dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
i. memiliki atau menggunakan secara melawan hukum 2 (dua) atau lebih
Dokumen Perjalanan Republik Indonesia yang sejenis dan semuanya masih
berlaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
j. memalsukan Dokumen Perjalanan Republik Indonesia atau membuat
Dokumen Perjalanan Republik Indonesia palsu dengan maksud untuk
digunakan bagi dirinya sendiri atau orang lain dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

a. SEBAGAIMANA pada tanggal 16 Agustus 2020 sekira pukul 00.30 Wib,


saksi Iwan Ibrahim (anggota TNI) yang telah melakukan pendalaman
informasi terhadap Terdakwa MYAT THIT Als MUHAMMAD yang
merupakan Warga Negara Asing yang masuk ke Wilayah Indonesia Tanpa
Dokumen Perjalanan dan Visa yang sah dan masih berlaku, melakukan
Penangkapan terhadap Terdakwa di Pantai Stress, Batu Ampar Kota Batam
dan ketika diintrogasi Terdakwa mengaku berkewarganegaraan Myanmar
selanjutnya saksi Iwan Ibrahim menyerahkan Terdakwa kepada pihak
Imigrasi Kelas I khusus TPI Batam.

b. Bahwa pada saat di periksa oleh pihak Imigrasi Kelas I khusus TPI Batam
Terdakwa tidak memiliki Paspor berkewarganegaraan Myanmar serta tidak
memiliki izin Tinggal selama berada di Batam dan Terdakwa mengaku
pertama kali masuk Ke Wilayah Indonesia pada sekira tahun 2000, pada saat
sedang diatas kapal Pukat Harimau dari Thailand Terdakwa bersama rekan-
rekannya ditangkap Oleh Polisi Air dan Udara Indonesia Di Pulau Sambu
Belakang Padang kemudian Terdakwa dan rekan-rekannya dibawa ke Pos
Polisi Belakang Padang kemudian Terdakwa diperiksa ditempat tersebut dan
setelah selesai diperiksa Terdakwa dibawa ke Pos Polisi Selat Beliah karimun
dan tinggal selama 3 (tiga) bulan di Pos Polisi tersebut namun ketika
Terdakwa mendengar akan ada proses pemulangan Terdakwa kabur dari Pos
Polisi Selat Beliah karimun

c. Berdasarkan keterangan Ahli Edward Robert Silitonga setiap orang asing


yang masuk ke Indonesia wajib memiliki Dokumen Perjalanan yang sah dan
masih berlaku serta memiliki visa yang sah dan masih berlaku kecuali
ditentukan lain berdasarkan Undang-undang dan perjanjian dalam Pasal 8
ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 6 tahun 2011 tentang keimigrasian
serta wajib melalui pemeriksaan yang dilakukan oleh Pejabat Imigrasi DI
tempat Pemeriksaan Imigrasi sebagaiman diatur dalam Pasal 9 ayat (1)
Undang-undang Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian.
d. Bahwa berdasarkan surat dari Keduataan Besar Myanmar pada tanggal 27
Oktober 2020 terhadap Terdakwa adalah benar merupakan Warga Negara
Myanmar
e.Bahwa atas Surat Dakwaan tersebut Terdakwa menyatakan telah mengerti
akan maksudnya namun melalui Penasihat Hukumnya, Terdakwa
mengajukan Eksepsi/Keberatan dan atas Eksepsi/Keberatan tersebut, Majelis
Hakim telah menjatuhkan Putusan Sela, tanggal 21 Juni 2021 yang amarnya
adalah sebagai berikut:
1. Menolak Eksepsi/Keberatan dari Penasihat Hukum Terdakwa untuk
seluruhnya
2. Menyatakan melanjutkan pemeriksaan perkara Pidana Nomor
292/Pid.Sus/2021/PN Btm. atas nama Terdakwa MYAT THIT Als
MUHAMMAD
3. Menangguhkan biaya perkara hingga Putusan akhir;
Bagaimana peran kantor keimigrasian dalam pengawasan Warga
Negara Asing di Batam?

Berdasarkan hasil kajian tahun 2017 dari Balitbangkumham,


ditemukan fakta bahwa tidak ada konsep yang jelas terkait dengan
mekanisme pengawasan orang asing dan masih belum bisa
diimplementasikaan dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan peraturan
perundangan dibawahnya mengatur pengawasan administratif secara
lebih rinci dibanding pengawasan kegiatan orang asing di Indonesia .
Tentunya hal ini sangat merugikan Indonesia, bukan hanya bagi negara
namun juga masyarakatnya. Salah satu bentuk kerugian nyata dari
perspektif ekonomi adalah pencurian sumber daya genetik di
Indonesia. Seringkali orang asing masuk ke Indonesia dengan visa
biasa, bukan visa penelitian.
UU Keimigrasian dibentuk sebagai pengawasan datangnya WNA ke
Indonesia. Dalam Pasal 8 UU Keimigrasian, diatur terkait bahwa
WNA yang datang ke Indonesia wajib melengkapi dokumen-dokumen
agar bisa masuk ke Indonesia . WNA yang datang memiliki dokumen
terkait dan izin dari Imigrasi memiliki batas waktu sesuai ketentuan
perundang-undangan. Apabila WNA yang masuk dan berada di
Wilayah Indonesia tidak memilik Dokumen Perjalanan dan Visa, maka
melanggar ketentuan Pasal 113 atau Pasal 119 UU Keimigrasian. Akan
tetapi, hingga saat ini masih banyak WNA yang melanggar peraturan
perundang-undangan di Indonesia terkait dengan keimigrasian. Pada
tahun 2020 tercatat sebanyak 5.105 orang asing mendapatkan sanksi
atas pelanggaran ketentuan Keimigrasian di Indonesia . Banyak
diantaranya tidak memiliki izin tinggal dan dokumen untuk masuk
dengan sah ke wilayah Indonesia.

Dengan bertambahnya kasus WNA yang memasuki wilayah


Indonesia tanpa adanya dokumen-dokumen yang sah dan izin tinggal,
maka diperlukan penegakan hukum keimigrasian. Dengan adanya
pelanggaran dan celah hukum di Indonesia, maka penulis tertarik
untuk mengulas terkait dengan kasus ini. Direktorat Jenderal Imigrasi
yang mengemban tugas dan melakukan pengawasan terhadap WNA
yang akan masuk ke Indonesia masih belum bisa menuntaskan
pengawasan secara maksimal bagi WNA yang masuk secara illegal.

Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Batam merupakan Unit Pelaksana


Teknis (UPT) di Lingkungan Kantor Wilayah Kementerian Hukum
dan HAM Kepulauan Riau, yang mempunyai tugas melaksanakan
sebagian tugas pokok dan fungsi Kementerian Hukum dan HAM RI di
bidang keimigrasian khususnya di wilayah Kepulauan Riau.
Untuk melaksanakan tugas tersebut Kantor Imigrasi Kelas I Khusus
Batam mempunyai fungsi :

Melaksanakan tugas keimigrasian di bidang informasi dan sarana


komunikasi keimigrasian
Melaksanakan tugas keimigrasian di bidang lalu lintas keimigrasian
Melaksanakan tugas keimigrasian di bidang status keimigrasian
Melaksanakan tugas keimigrasian di bidang pengawasan dan
penindakan keimigrasian
Melaksanakan tugas keimigrasian di bidang pendaratan dan izin masuk
keimigrasian

Indonesia merupakan negara berdaulat dengan penduduk yang


mempunyai kedudukan khusus, serta kriteria tertentu untuk
mendapatkan status sebagai Warga Negara Indonesia (WNI).
Berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945) dinyatakan bahwa WNI
adalah penduduk yang terdiri dari bangsa Indonesia dan bangsa lain
yang disahkan Undang-Undang . Penduduk yang mendiami suatu
negara bisa dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu :
1. Warga Negara atau staatsburgers;
2. Orang asing yang bukan merupakan penduduk asli dalam suatu
wilayah negara atau niet-ingezetenen;
3. Orang yang bukan WNI;
4. Orang Indonesia yang melepaskan status kewarganegaraan
Indonesia; dan
5. Orang asing yang sedang berada di wilayah Indonesia atau Warga
Negara Asing (WNA).

Indonesia negara yang sangat besar dengan pemandangan alam


yang indah, sehingga daya tariknya mendorong wisatawan asing untuk
berdatangan. Berkembangnya informasi dan teknologi global membuat
akses ke negara-negara menjadi semakin mudah. Tentunya hal ini
beririsan langsung dengan perkembangan sektor pariwisata di
Indonesia, tentunya sangat menguntungkan bagi pendapatan dan
kemajuan ekonomi negara ini. Meskipun pada tahun 2020, seluruh
negara di dunia terdampak wabah Covid-19 pemerintah tetap berusaha
agar sektor pariwisata Indonesia semakin berkembang. Kinerja
pemerintah tidak sia-sia, berdasarkan data dari Direktorat Jenderal
Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia, Imigrasi menyumbang Rp1.421.429.862.286 pada tahun
2021 . Tentunya angka ini bisa lebih besar apabila Indonesia tidak
dilanda wabah Covid-19. Semester pertama tahun 2021 masih
diberlakukan Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI
(Permenkumham) No. 26 Tahun 2020 jo. Permenkumham No. 27
Tahun 2021 yang membatasi jenis visa dan izin tinggal yang
digunakan orang asing untuk masuk ke Indonesia.

Terkait dengan kehadiran WNA ke Indonesia, perlu adanya


pengaturan dan kebijakan keimigrasian. Untuk meningkatkan
kedatangan WNA, Indonesia mengadakan perjanjian bebas visa
dengan beberapa negara. Pemberian bebas visa didasari oleh alasan-
alasan, yaitu kunjungan singkat transit menuju ke negara lain, transit
berwisata, adanya tugas pemerintahan, kegiatan sosial budaya, atau
usaha dan urusan pekerjaan melalui akses Pelabuhan, Bandar Udara
atau tempat lain yang ditetapkan oleh Kementerian Hukum dan HAM .
Pemberian izin bebas visa tentunya memberikan dampak yang positif
dengan semakin mudah dan banyak orang asing datang ke Indonesia,
akan tetapi kebijakan ini menimbulkan dampak negatif pula. Dengan
semakin mudahnya akses keluar dan masuk Indonesia, maka
pelanggaran yang terjadi juga semakin besar. Penyalahgunaan izin bagi
WNA untuk datang ke Indonesia membuka kesempatan bagi mereka
untuk mencari pekerjaan dan mencari keuntungan pribadi. Sebagai
instansi yang berwenang untuk memeriksa sega perizinan masuk dan
penolakan orang asing, maka Imigrasi perlu cermat untuk membuat
kebijakan seperti ini. Untuk mencegah dan menghindari pelanggaran
keimigrasian di Indonesia, pemerintah membentuk UU No. 6 Tahun
2011 tentang Keimigrasian atau UU Keimigrasian.

PENGAWASAN KEIMIGRASIAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 66
(1) Menteri melakukan pengawasan Keimigrasian.
(2) Pengawasan Keimigrasian meliputi:
a. pengawasan terhadap warga negara Indonesia
yang memohon dokumen perjalanan, keluar atau
masuk Wilayah Indonesia, dan yang berada di
luar Wilayah Indonesia; dan
b. pengawasan terhadap lalu lintas Orang Asing
yang masuk atau keluar Wilayah Indonesia serta
pengawasan terhadap keberadaan dan kegiatan
Orang Asing di Wilayah Indonesia.
Pasal 67
(1) Pengawasan Keimigrasian terhadap warga negara
Indonesia dilaksanakan pada saat permohonan
Dokumen Perjalanan, keluar atau masuk, atau
berada di luar Wilayah Indonesia dilakukan dengan:
a. pengumpulan, pengolahan, serta penyajian data
dan informasi;
b. penyusunan . . .
- 29 -
b. penyusunan daftar nama warga negara Indonesia
yang dikenai Pencegahan keluar Wilayah
Indonesia;
c. pemantauan terhadap setiap warga negara
Indonesia yang memohon Dokumen Perjalanan,
keluar atau masuk Wilayah Indonesia, dan yang
berada di luar Wilayah Indonesia; dan
d. pengambilan foto dan sidik jari.
(2) Hasil pengawasan Keimigrasian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan data Keimigrasian
yang dapat ditentukan sebagai data yang bersifat
rahasia.
Pasal 68
(1) Pengawasan Keimigrasian terhadap Orang Asing
dilaksanakan pada saat permohonan Visa, masuk
atau keluar, dan pemberian Izin Tinggal dilakukan
dengan:
a. pengumpulan, pengolahan, serta penyajian data
dan informasi;
b. penyusunan daftar nama Orang Asing yang
dikenai Penangkalan atau Pencegahan;
c. pengawasan terhadap keberadaan dan kegiatan
Orang Asing di Wilayah Indonesia;
d. pengambilan foto dan sidik jari; dan
e. kegiatan lain yang dapat dipertanggungjawabkan
secara hukum.
(2) Hasil pengawasan Keimigrasian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan data Keimigrasian
yang dapat ditentukan sebagai data yang bersifat
rahasia.
Pasal 69
(1) Untuk melakukan pengawasan Keimigrasian terhadap
kegiatan Orang Asing di Wilayah Indonesia, Menteri
membentuk tim pengawasan Orang Asing yang
anggotanya terdiri atas badan atau instansi
pemerintah terkait, baik di pusat maupun di daerah.
(2) Menteri atau Pejabat Imigrasi yang ditunjuk bertindak
selaku ketua tim pengawasan Orang Asing.
Pasal 70 . . .
- 30 -
Pasal 70
(1) Pejabat Imigrasi atau yang ditunjuk dalam rangka
pengawasan Keimigrasian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 67 dan Pasal 68 wajib melakukan:
a. pengumpulan data pelayanan Keimigrasian, baik
warga negara Indonesia maupun warga negara
asing;
b. pengumpulan data lalu lintas, baik warga negara
Indonesia maupun warga negara asing yang
masuk atau keluar Wilayah Indonesia;
c. pengumpulan data warga negara asing yang
telah mendapatkan keputusan pendetensian,
baik di Ruang Detensi Imigrasi di Kantor Imigrasi
maupun di Rumah Detensi Imigrasi; dan
d. pengumpulan data warga negara asing yang
dalam proses penindakan Keimigrasian.
(2) Pengumpulan data sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan dengan memasukkan data pada
Sistem Informasi Manajemen Keimigrasian yang
dibangun dan dikembangkan oleh Direktorat
Jenderal.
Pasal 71
Setiap Orang Asing yang berada di Wilayah Indonesia
wajib:
a. memberikan segala keterangan yang diperlukan
mengenai identitas diri dan/atau keluarganya serta
melaporkan setiap perubahan status sipil,
kewarganegaraan, pekerjaan, Penjamin, atau
perubahan alamatnya kepada Kantor Imigrasi
setempat; atau
b. memperlihatkan dan menyerahkan Dokumen
Perjalanan atau Izin Tinggal yang dimilikinya apabila
diminta oleh Pejabat Imigrasi yang bertugas dalam
rangka pengawasan Keimigrasian.
Pasal 72 . . .
- 31 -
Pasal 72
(1) Pejabat Imigrasi yang bertugas dapat meminta
keterangan dari setiap orang yang memberi
kesempatan menginap kepada Orang Asing mengenai
data Orang Asing yang bersangkutan.
(2) Pemilik atau pengurus tempat penginapan wajib
memberikan data mengenai Orang Asing yang
menginap di tempat penginapannya jika diminta oleh
Pejabat Imigrasi yang bertugas.
Pasal 73
Ketentuan mengenai pengawasan terhadap Orang Asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf b,
huruf c, huruf d, dan huruf e tidak diberlakukan terhadap
Orang Asing yang berada di Wilayah Indonesia dalam
rangka tugas diplomatik.

Sebagaimana diketahui bersama bahwa Corona Virus Disease (Covid-


19) telah meluas dan World Health Organization (WHO) telah
menetapkan coronavirus disease (Covid-19) sebagai Pandemi pada
tanggal 9 Maret 2020.33 Saat ini wabah tersebut telah menginfeksi
lebih dari 152 Negara di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri
berdasarkan situs Kementerian Kesehatan Republik Indonesia hingga
31 Oktober 2020 ada 410.088 orang positif terinfeksi COVID-19.34
Meluasnya pandemi di berbagai penjuru dunia dan meningkatnya
jumlah orang yang terinfeksi virus ini berdampak pada perubahan
kebijakan keimigrasian yang harus diambil oleh setiap negara demi
pencegahan penularan virus tersebut. Indonesia dalam hal ini
Kementerian Hukum dan HAM c.q. Direktorat Jenderal Imigrasi telah
melakukan upaya responsif dan adaptif dalam pencegahan penyebaran
Covid-19 mengambil kebijakan pembatasan sementara masuknya
orang asing ke wilayah Indonesia serta kebijakan pemberian skema
khusus yang memberikan kemudahan izin tinggal bagi orang asing
yang berada di Indonesia dengan menerbitkan beberapa peraturan
pelaksanaan, yaitu:

a. Permenkumham Nomor 3 Tahun 2020 tentang Penghentian


Sementara Bebas Visa Kunjungan, Visa dan Pemberian Izin Tinggal
Keadaan Terpaksa bagi Warga Negara Republik Rakyat Tiongkok
yang berlaku pada tanggal 04 Februari 2020;

b. Permenkumham Nomor 7 Tahun 2020 tentang Pemberian Visa dan


Izin Tinggal Dalam Upaya Pencegahan Masuknya Virus Corona yang
berlaku pada tanggal 28 Februari 2020;

b. Permenkumham Nomor 8 Tahun 2020 tentang Penghentian Sementara Bebas


Visa Kunjungan dan Visa Kunjungan Saat 33 Covid.go.id, “Apa yang dimaksud
dengan pandemi?”, https://covid19.go.id/tanyajawab?search=Apa%20yang
%20dimaksud%20dengan%20pandemi?, diakses tanggal 20 Oktober 2020 34
Kementerian Kesehatan, “Situasi Covid-19 Kondisi 31 Oktober 2020”,
https://www.kemkes.go.id/ (diakses tanggal 31 Oktober 2020) Pusat Analisis dan
Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM | 43
c. Kedatangan serta Pemberian Izin Tinggal Keadaan Terpaksa yang berlaku pada
tanggal 19 Maret 2020
d. d. Permenkumham Nomor 11 Tahun 2020 tentang Pelarangan Sementara Orang
Asing Masuk Wilayah Negara Republik Indonesia yang berlaku pada tanggal 02
April 2020;
e. e. Surat Edaran Nomor IMI-GR-.01.01-2325 Tahun 2020 tentang Pelarangan
Sementara Orang Asing Masuk Wilayah Negara Republik Indonesia (yang
digunakan sebagai pedoman pelaksanaan peraturan Menteri Hukum dan HAM
No. 11/2020);
f. f. Surat Edaran Nomor IMI-GR.01.01-0946 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan
Tugas Dan Fungsi Keimigrasian Dalam Masa Tatanan Normal Baru;
g. g. Surat Edaran Direktur Jenderal Imigrasi No. IMI-GR.01.01-1102 Tahun 2020
tentang Layanan Izin Tinggal Keimigrasian dalam Tatanan Kenormalan Baru.

Setelah melakukan penelitian di Indonesia, peneliti asing


tersebut memanfaatkan tumbuhan dan mengelola menjadi
produk obat-obatan yang diperjualbelikan. Tentunya peristiwa
tersebut merupakan bukti nyata dari kurangnya pengawasan
kegiatan orang asing di Indonesia. Maka dari itu, untuk
meningkatkan pengawasan keimigrasian, Direktorat Imigrasi
melakukan beberapa rencana dan strategi, yaitu:
1. Integrated Border Management System atau IBMS yang
bertujuan agar pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam
melakukan dan udara bisa saling berkomunikasi dengan baik
untuk mengawasi perbatasan Indonesia.
2. Border Control Management atau BCM yang bertujuan untuk
memanfaatkan teknologi dalam melakukan pengawasan dan
pencegahan masuknya orang asing secara melawan hukum.
Pengawasan bukan hanya untuk mengawasi orang asing yang
masuk ke Indonesia, melainkan juga memberikan pembatasan
mengenai barang-barang yang boleh dan tidak boleh dibawa
masuk oleh orang asing ke Indonesia.

Dalam rangka pengawasan keimigrasian, Direktorat Imigrasi


melakukan beberapa hal sebagai berikut: Pertama, Penguatan Border
Control Management (BCM) melalui pembangunan Sistem Teknologi
Informasi dan Manajemen Keimigrasian (SIMKIM) dengan konsep
Integrated Border Management System (IBMS). Dalam hal Lalu Lintas
orang dan barang melewati batas-batas negara, konsep dasar
Border /
perbatasan tidak hanya mencakup batas geografis suatu negara saja,
tetapi istilah border juga mencakup semua titik-titik atau pintu-pintu
keluar masuk di negara tersebut. Baik itu bandara internasional,
pelabuhan internasional, maupun wilayah perbatasan tradisional,
dimana
semua pintu tersebut dapat menjadi jalur perlintasan keluar masuknya
orang dan barang dari dan menuju suatu negara. Selanjutnya, ketika
membahas tentang pergerakan orang melintasi batas negara, maka
perlu
menjadi catatan penting bahwa perlintasan orang melewati batas-
batas
negara tersebut akan selalu disertai dengan, atau diawali oleh, atau
diikuti
oleh adanya perlintasan barang dan uang.

Di dalam pembahasan tentang 17 Paparan Dr. Ronnie F Sompie


sebagai Narasumber dalam Rapat Kelompok Kerja Analisis dan
Analisis Evaluasi Hukum terkait Keimigrasian di BPHN tanggal 21
April 2020
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN
KEMENKUMHAM | 30
border, perlintasan orang, barang, dan uang/modal merupakan suatu
Kesatuan Integral yang tidak terpisahkan.
Konsep Integrated Border Management System (IBMS)
merupakan Konsep Sistem Manajemen/Pengelolaan Perbatasan
yang
Terintegrasi dengan menggunakan Interkonektifitas (interconnectivity)
antar instansi-instansi terkait dalam Manajemen Perbatasan, baik
darat,
laut maupun udara. Dengan Konsep IBMS ini, Manajemen
Perbatasan,
termasuk aspek Operasional dan Pengawasannya, dilaksanakan
secara
terintegrasi dengan instansi-instansi terkait baik Nasional (Imigrasi,
Bea
Cukai, Karantina, Otoritas Bandara serta Aparat Keamanan terkait)
maupun Internasional (Interpol). Undang-Undang Nomor 43 tahun
2008
tentang Wilayah Negara tidak secara spesifik menjelaskan apa
definisi
atau pemahaman tentang Perbatasan. Namun demikian, disebutkan
pada
Pasal 1 UU tersebut hal mengenai Batas Wilayah Negara, Batas
Wilayah
Yurisdiksi, dan Kawasan Perbatasan.
Perlu diketahui bahwa lalu lintas orang melewati batas negara
tidak sebatas border secara geografis saja (batas wilayah darat, laut
dan
udara) saja, melainkan sebaiknya border juga dipahami meliputi titik-
titik
atau pintu-pintu keluar/masuk wilayah negara tersebut yaitu Bandara
Internasional, Pelabuhan Internasional maupun perbatasan tradisional
dimana pada titik-titik tersebut dilakukan perlintasan keluar masuknya
orang, barang dan uang/permodalan baik yang bisa jadi mendahului,
bersamaan atau mengikuti orang yang melintas masuk/ keluar
wilayah
tersebut.
Fungsi dari penerapan Border Security dan Border Protection ini
sebenarnya sudah selaras dan sejalan dengan asas yang dianut dalam
Undang-Undang Nomor 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara. Border
Security dapat menjadi bagian dari Kebijakan Nasional dalam hal
Pengamanan Perbatasan yang berasaskan Kedaulatan dan Keamanan,
sedangkan Border Protection dapat dituangkan dalam bentuk Program
Aksi Kementerian/Lembaga terkait.
Oleh karena itu, Direktorat Jenderal Imigrasi sepanjang tahun
2014 sampai dengan tahun 2020 telah mengadopsi konsep e-government
melalui inisiatif perjanjian kerja sama dengan 66 instansi terkait serta
pihak pemerintah daerah. Kerja sama tersebut juga memuat lingkup
interkonektivitas dalam pertukaran data dan informasi dalam Sistem
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM | 31
Informasi Manajemen Keimigrasian (SIMKIM) guna peningkatan Kualitas
Pelayanan Publik melalui pembentukan Unit Kerja Kantor (UKK) Imigrasi,
Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA), serta Mall Pelayanan Publik (MPP) di
beberapa daerah yang bertujuan mendekatkan pelayanan keimigrasian
kepada masyarakat yang berdomisili agak jauh dari lokasi kantor-kantor
Imigrasi. Selain dalam peningkatan kualitas pelayanan publik, kerja sama
interkonektivitas pertukaran data dan informasi SIMKIM juga
ditandatangani dengan beberapa instansi guna meningkatkan
pengawasan keimigrasian serta upaya penegakan hukum oleh aparat
terkait seperti POLRI, KPK, KEMENLU, KEMENKEU, BNPT, Komnas HAM,
PPATK, BNN, BAKAMLA, LPSK, BKPM serta instansi lainnya.
Data yang dimiliki SIMKIM terbukti sangat bermanfaat dalam
mendukung pelaksanaan penegakan hukum, tidak hanya oleh Ditjen
Imigrasi, tetapi juga dengan Instansi Penegak Hukum lainnya.
Kedua, Peningkatan koordinasi yang lebih efektif dengan instansi
terkait dalam wadah TIMPORA. Ketiga, Penguatan Sumber Daya
Manusia
Keimigrasian. Selama ini pengembangan SDM yang bersinergi dengan
penataan sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan telah dilaksanakan
oleh Direktorat Jenderal Imigrasi, antara lain dilakukan dengan
penyelenggaraan:
(1) Pembukaan kembali Akademi Imigrasi Tahun 2000,
(2) Pendidikan dan Pelatihan Teknis Keimigrasian, dan
(3) Pendidikan dan
Latihan Penjenjangan. Selain itu program pendidikan luar negeri bagi
pejabat/pegawai imigrasi mulai dilaksanakan yang bersifat akademis
yaitu
Strata S-2 (Magister/Master) dan Strata S-3 (Doktoral/PhD), maupun
shortcourse (diklat singkat).
18 Peraturan perundang-undangan yang mengatur pengendalian dan
pengawasan orang asing dan TKA belum optimal dilaksanakan
terutama
mengenai koordinasi K/L terkait perlu ditingkatkan dikarenakan
pada titik
celah ini dapat berpotensi terjadinya peningkatan pelanggaran
keimigrasian yang dilakukan oleh orang asing dan TKA.
19

18 Balitbangkumham, Upaya Jajaran Keimigrasian dalam


Implementasi Kebijakan Bebas Visa,
(Jakarta: Balitbangkumham, 2016), hlm. 76
19
Ahmad Jazuli, “Eksistensi Tenaga Kerja Asing Di Indonesia
Dalam Perspektif Hukum
Keimigrasian”, JIKH Vol.12 No.1 Maret 2018, hlm. 102
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN
KEMENKUMHAM | 32
Dari sisi SDM Keimigrasian dua aspek yang perlu diperhatikan
adalah aspek kualitas dan aspek kuantitas para penjaga pintu
gerbang
negara ini. Beberapa permasalahan yang ditemukan dari hasil kajian
keimigrasian yang selama ini dilakukan oleh Balitbangkumham
Kementerian Hukum dan HAM antara lain:
a. SDM yang kurang sebanding dengan tingginya perlintasan orang
asing yang masuk karena bebas visa kunjungan dan luasnya
wilayah kerja keimigrasian di Indonesia
b. Kurangnya pengetahuan intelijen petugas imigrasi20
Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh salah satu pemateri
dalam diskusi FGD Pokja di BPHN, yaitu Bapak Sulistiarso (Analis
Keimigrasian Utama) yang menyampaikan beberapa hal yang
menjadi
hambatan atau tantangan yang dihadapi dalam rangka pengawasan
orang asing antara lain: aspek geografis wilayah Indonesia yang luas,
sistem pengawasan yang belum sepenuhnya didukung partisipasi
informasi dari masyarakat, organisasi TIMPORA yang belum optimal,
pengenaan sanksi hukum yang tidak menimbulkan efek jera, serta
integritas, profesionalisme dan semangat kinerja SDM yang belum
sepenuhnya memadai.21
Terkait dengan keberadaan TIMPORA, Pasal 69 UU Keimigrasian
Tahun 2011 merupakan dasar hukum dibentuknya TIMPORA, dimana
Menteri Hukum dan HAM dalam rangka pengawasan keimigrasian
terhadap kegiatan orang asing di wilayah Indonesia membentuk Tim
Pengawasan Orang Asing yang anggotanya terdiri atas badan atau
instansi pemerintah terkait baik di pusat maupun di daerah. Dalam
Penjelasan Pasal disebutkan badan atau instansi pemerintah terkait
antara lain Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri,
Kepolisian, TNI, Kejaksaan Agung, serta Kementerian Tenaga Kerja.

20 Balitbangkumham, Upaya Jajaran Keimigrasian dalam


Implementasi Kebijakan Bebas Visa,
hlm.107
21 Paparan Sulistiarso dalam Forum Group Discusion Kelompok
Kerja Analisis dan Evaluasi Hukum
terkait Keimigrasian di BPHN tanggal 28 Juli 2020
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN
KEMENKUMHAM | 33
Pada tingkat pusat, TIMPORA dibentuk berdasarkan Keputusan
Menteri Hukum dan HAM. Di tingkat provinsi, dibentuk
berdasarkan
Keputusan Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan
HAM yang
diketuai oleh Kepala Divisi Keimigrasian, sementara untuk
tingkat
kabupaten/kota dibentuk berdasarkan Keputusan Kepala Kantor
Imigrasi
yang diketuai secara langsung oleh Kepala Kantor Imigrasi.
TIMPORA bertugas memberikan saran dan pertimbangan
kepada
instansi dan/atau Lembaga pemerintahan terkait, mengenai hal
yang
berkaitan dengan pengawasan orang asing.22 Kewenangan
TIMPORA yang
hanya sebatas memberikan saran dan pertimbangan ini
kemudian juga
dianggap menjadi salah satu penyebab masalah kurang
optimalnya
pengawasan keimigrasian di Indonesia.
Telah terbentuk sekitar 97% TIMPORA di 33 (tiga puluh tiga)
Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM RI, hanya 4
Kantor Imigrasi
baru yang belum memiliki TIMPORA yaitu Kantor Imigrasi Kelas
III Kerinci,
Kantor Imigrasi Kelas III Ketapang, Kantor Imigrasi Kelas III
Bima dan
Kantor Imigrasi Kelas III Palopo.23 TIMPORA dibentuk hingga
tingkat
kecamatan yang terdiri dari berbagai unsur yang diatur di dalam
UU
Keimigrasian Tahun 2011.
Dalam perkembangannya, pengawasan yang dilakukan oleh
keimigrasian juga mencakup pengawasan terhadap WNI yang
akan keluar
wilayah Indonesia. Luasnya ruang lingkup pengawasan yang
dilakukan
oleh TIMPORA yang tidak hanya terbatas pada TKA, tetapi juga
keseluruhan orang asing memerlukan suatu sistem atau
mekanisme kerja
yang jelas dan komprehensif. Saat ini dalam praktiknya
TIMPORA masih
menemukan beberapa kendala atau hambatan dalam
melaksanakan
tugasnya, antara lain:

22 Lihat Pasal 200 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun


2013 Tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian
sebagaimana diubah beberapa kali
terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2020
tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013 Tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-undang
Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian
23 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM,
Optimalisasi Peran Tim Pengawas Orang
Asing (TIMPORA) dalam Pengawasan dan Penindakan Orang
Asing, (Jakarta: Badan Penelitian
dan Pengembangan Hukum dan HAM, 2017), hlm. 12-13
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN
KEMENKUMHAM | 34
a. pembentukan TIMPORA masih sebatas koordinasi, saling
bertukar
informasi dalam bentuk rapat-rapat yang diselenggarakan
secara
periodik, menentukan rencana operasi dan melakukan operasi
lapangan bersama bila dianggap perlu.
b. Kewenangan TIMPORA hanya sebatas memberikan saran
dan
pertimbangan kepada instansi atau Lembaga pemerintahan
terkait mengenai hal yang berkaitan dengan pengawasan orang
asing, serta melakukan operasi gabungan jika diperlukan (Pasal
200 Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang
Keimigrasian)
c. masih adanya ego sektoral mengakibatkan belum optimalnya
pola
koordinasi yang dibangun dalam TIMPORA. Oleh karena itu
perlu
dibangun TIMPORA. Komitmen bersama yang dibangun
tentunya
bukan sekedar seremonial
d. SOP yang ada masih belum maksimal menjadi panduan
operasional yang baik, di dalamnya belum memberikan konsep
dan mekanisme pengawasan yang jelas, rinci dan efektif untuk
menjawab kebutuhan negara dalam pengawasan terhadap
orang
asing termasuk TKA. Selain itu SOP juga harus dapat
menggambarkan pembagian tugas yang jelas di antara anggota
tim, jangan sampai ada anggota tim yang pasif seolah-olah
hanya
ikutan terutama instansi yang tidak mempunyai fungsi
pengawasan kegiatan orang asing24
e. kurangnya pemahaman maupun perbedaan persepsi instansi
pusat dan daerah serta masyarakat yang menganggap
pengawasan orang asing termasuk TKA merupakan tugas
imigrasi
f. Keterbatasan anggaran, SDM yang kompeten, dan sarana
prasarana pendukung termasuk dukungan teknologi informasi

24
Tri Sapto Wahyudi Agung Nugroho, “Optimalisasi Peran
Timpora Pasca Berlakunya Peraturan
Presiden Nomor 21 Tahun 2016 Tentang Bebas Visa
Kunjungan”, JIKH Vol. 11 No. 3 November
2017, hlm. 263 - 285
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN
KEMENKUMHAM | 35
g. Belum terintegrasinya data antara Kementerian/Lembaga
Pusat
dengan Pemerintah Daerah mengenai jumlah, persebaran, dan
alur keluar masuknya TKA di Indonesia25
h. Masih minimnya keterlibatan ataupun dukungan partisipasi
masyarakat dalam pengawasan. Dalam UU Keimigrasian Tahun
2011, keterlibatan masyarakat dalam pengawasan hanya
berupa
memberikan keterangan jika diminta.26 Namun demikian untuk
meningkatkan pelibatan masyarakat (baik perorangan, maupun
instansi) secara aktif, Ditjen Imigrasi meluncurkan aplikasi
Pelaporan Orang Asing (APOA) yang bertujuan untuk
memudahkan masyarakat dalam melaporkan keberadaan dan
kegiatan orang asing sehingga mudah diakses oleh instansi
terkait.
Dari website https://apoa.imigrasi.go.id/ memungkinkan
penginapan, perusahaan dan perorangan untuk melaporkan
terkait keberadaan orang asing. Menu akses dari ketiga sasaran
pengguna APOA ini juga berbeda-beda, dimana untuk
perusahaan
dan penginapan menggunakan akses registrasi, sedangkan
untuk
perorangan hanya sebatas pelaporan. Aplikasi ini menjadi
sarana
keterlibatan masyarakat untuk ikut berperan aktif melaporkan
aktivitas dan keberadaan orang asing di sekitarnya, namun
demikian masih perlu diketahui data pelaporan yang sudah
diterima oleh Ditjen Imigrasi melalui aplikasi ini serta tindak
lanjut
dari pelaporan tersebut, terutama jika ditemukan laporan yang
berisikan permasalahan (seperti adanya pelanggaran hukum).
Hal
ini diperlukan untuk mengetahui sejauh mana efektivitas
layanan
ini terhadap tugas besar dalam pengawasan orang asing.

25
Siaran Pers, Ombudsman: Lemahnya Pengawasan TKA oleh
Tim Pengawasan Orang Asing (Tim
Pora), https://www.ombudsman.go.id/news/r/ombudsman-
lemahnya-pengawasan-tka-olehtim-pengawasan-orang-asing-
tim-pora, (diakses tanggal 21 September 2020)
26
Lihat Pasal 72, Pasal 74, Pasal 106 UU Keimigrasian Tahun
2011. Bandingkan dengan Penjelasan
Umum UU Keimigrasian Tahun 2011 bahwa kepentingan
nasional adalah kepentingan seluruh
rakyat Indonesia sehingga pengawasan terhadap Orang Asing
memerlukan juga partisipasi
masyarakat untuk melaporkan Orang Asing yang diketahui atau
diduga berada di Wilayah
Indonesia secara tidak sah atau menyalahgunakan perizinan di
bidang Keimigrasian. Untuk
meningkatkan partisipasi masyarakat, perlu dilakukan usaha
untuk meningkatkan kesadaran
hukum masyarakat

Di dalam Konsiderans UU Keimigrasian Tahun 1992 menegaskan fungsi


dan peranan keimigrasian dalam hal mengatur lalu lintas orang masuk
atau keluar wilayah Indonesia. Pengaturan dalam UU ini pada prinsipnya
mengatur dua hal, yaitu pengaturan tentang lalu lintas orang keluar,
masuk, dan tinggal dari dan ke dalam wilayah Indonesia dan pengaturan
tentang hal mengenai pengawasan orang asingnya. Sehingga dapat
dikatakan bahwa subyek hukum dari hukum keimigrasian adalah orang
yang masuk atau keluar wilayah Indonesia, dan orang asing yang berada
di wilayah Indonesia. Dalam Penjelasan Umum UU Keimigrasian Tahun
1992 ditegaskan bahwa pelayanan dan pengawasan di bidang
keimigrasian menganut prinsip yang bersifat selektif (selective policy),
dimana hanya orang-orang asing yang dapat memberikan manfaat bagi
kesejahteraan rakyat, bangsa dan Negara Republik Indonesia serta tidak
membahayakan keamanan dan ketertiban serta tidak bermusuhan baik
terhadap rakyat, maupun Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 yang diizinkan masuk
atau ke luar wilayah Indonesia. Prinsip “selective policy” ini dilaksanakan
dengan mengatur secara selektif izin tinggal bagi orang asing yang ada di
Indonesia sesuai dengan maksud dan tujuannya berada di Indonesia.

PELAKSANAAN FUNGSI KEIMIGRASIAN


Bagian Kesatu
Umum
Pasal 3
(1) Untuk melaksanakan Fungsi Keimigrasian,
Pemerintah menetapkan kebijakan Keimigrasian.
(2) Kebijakan Keimigrasian dilaksanakan oleh Menteri.
(3) Fungsi Keimigrasian di sepanjang garis perbatasan
Wilayah Indonesia dilaksanakan oleh Pejabat Imigrasi
yang meliputi Tempat Pemeriksaan Imigrasi dan pos
lintas batas.
Pasal 4 . . .
-7-
Pasal 4
(1) Untuk melaksanakan Fungsi Keimigrasian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dapat
dibentuk Kantor Imigrasi di kabupaten, kota, atau
kecamatan.
(2) Di setiap wilayah kerja Kantor Imigrasi dapat
dibentuk Tempat Pemeriksaan Imigrasi.
(3) Pembentukan Tempat Pemeriksaan Imigrasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
berdasarkan Keputusan Menteri.
(4) Selain Kantor Imigrasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dapat dibentuk Rumah Detensi Imigrasi di
ibu kota negara, provinsi, kabupaten, atau kota.
(5) Kantor Imigrasi dan Rumah Detensi Imigrasi
merupakan unit pelaksana teknis yang berada di
bawah Direktorat Jenderal Imigrasi.
Pasal 5
Fungsi Keimigrasian di setiap Perwakilan Republik
Indonesia atau tempat lain di luar negeri dilaksanakan
oleh Pejabat Imigrasi dan/atau pejabat dinas luar negeri
yang ditunjuk.
Pasal 6
Pemerintah dapat melakukan kerja sama internasional di
bidang Keimigrasian dengan negara lain dan/atau dengan
badan atau organisasi internasional berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

a. Metode yang digunakan dalam melakukan analisis dan evaluasi hukum


terhadap peraturan perundang-undangan adalah didasarkan pada 6 (enam)
dimensi penilaian, yaitu: 1) Dimensi Pancasila; 2) Dimensi Ketepatan Jenis
Peraturan Perundang-undangan; 3) Dimensi Disharmoni Pengaturan; 4)
Dimensi Kejelasan Rumusan; 6 Tim Penyusun Pusat Analisis dan Evaluasi
Hukum Nasional, “Pedoman Evaluasi Peraturan Perundang-undangan,”
(Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2020), hlm. 13-27 Pusat
Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM | 6 5)
Dimensi Kesesuaian Asas Bidang Hukum Peraturan Perundang-Undangan
yang bersangkutan; dan 6) Dimensi Efektivitas Pelaksanaan Peraturan
perundang-undangan. Penilaian masing-masing dimensi dilakukan menurut
variabel dan indikator sebagaimana Instrumen Analisis dan Evaluasi Hukum
dalam Lampiran Pedoman Evaluasi Peraturan Perundang-Undangan Nomor
PHN-HN.01.03-07 Tahun 2020, yang dikeluarkan oleh Badan Pembinaan
Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM. Penjelasan mengenai
keenam dimensi penilaian tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: 1)
Dimensi Pancasila Penilaian ini dilakukan untuk memastikan peraturan
perundangundangan dimaksud sudah sesuai dengan nilai-nilai Pancasila,
yang secara derivatif dijabarkan ke dalam asas-asas umum materi muatan
yang disebutkan dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Asas-asas umum materi muatan yang
harus tercermin atau tidak boleh disimpangi oleh normanorma dalam
peraturan perundang-undangan tersebut meliputi: a. Asas Pengayoman
Materi muatan peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan
perlindungan untuk ketenteraman masyarakat. b. Asas Kemanusiaan Setiap
materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan
pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat
setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional. c. Asas
Kebangsaan Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan
tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pusat Analisis
dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM | 7 d. Asas
Kekeluargaan Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap
pengambilan keputusan. e. Asas Kenusantaraan Setiap materi muatan
peraturan perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan
seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan peraturan perundang-
undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum
nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). f. Asas Bhinneka
Tunggal Ika Materi muatan peraturan perundang-undangan harus
memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi
khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara. g. Asas Keadilan Setiap materi muatan peraturan perundang-
undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap
warga negara. h. Asas Kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak
boleh memuat hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang,
antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. i. Asas
Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau Setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat
melalui jaminan kepastian hukum. j. Asas Keseimbangan, Keserasian dan
Keselarasan Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara
kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara.
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM | 8 2)
Dimensi Ketepatan Jenis Peraturan Perundang-Undangan Peraturan
perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang
tepat sesuai dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan.
Penilaian terhadap dimensi ini dilakukan untuk memastikan bahwa peraturan
perundang-undangan dimaksud sudah sesuai dengan hierarki peraturan
perundang-undangan. Bahwa norma hukum itu berjenjang dalam suatu
hierarki tata susunan, dalam pengertian bahwa suatu norma yang lebih
rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi,
norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang
lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak
dapat ditelusuri lagi lebih lanjut yang berupa norma dasar (grundnorm).
Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (lex superior
derogat legi inferior). Dalam sistem hukum Indonesia peraturan perundang-
undangan juga disusun berjenjang sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 3) Dimensi
Disharmoni Pengaturan Penilaian ini dilakukan dengan pendekatan normatif,
terutama untuk mengetahui adanya potensi disharmoni pengaturan
mengenai: 1) kewenangan, 2) hak, 3) kewajiban, 4) perlindungan, 5)
penegakan hukum, dan 6) definisi dan/atau konsep. Selain pendekatan
normatif, penilaian pada dimensi ini juga dilakukan dengan pendekatan
empiris, dengan meninjau dan menganalisis implementasi PUU, yang
menimbulkan tumpang tindih/disharmoni pada penerapan PUU dimaksud. 4)
Dimensi Kejelasan Rumusan Setiap peraturan perundang-undangan harus
disusun sesuai dengan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan,
dengan memperhatikan sistematika, pilihan kata atau istilah, teknik
penulisan, dengan menggunakan bahasa peraturan perundang-undangan
yang lugas dan pasti, hemat kata, objektif dan menekan rasa subjektif,
membakukan Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN
KEMENKUMHAM | 9 makna kata, ungkapan atau istilah yang digunakan
secara konsisten, memberikan definisi atau batasan artian secara cermat.
Sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam
pelaksanaannya. 5) Dimensi Kesesuaian Asas Bidang Hukum Peraturan
Perundang-Undangan yang Bersangkutan Selain asas umum materi muatan,
sebagaimana dimaksud dalam analisis Dimensi Pancasila, peraturan
perundang-undangan juga harus memenuhi asas-asas hukum yang khusus,
sesuai dengan bidang hukum peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan (sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Oleh
karenanya, analisis pada dimensi ini dilakukan untuk menilai apakah
ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut telah
mencerminkan makna yang terkandung dari asas materi muatan peraturan
perundangundangan, dalam hal ini asas-asas tertentu, sesuai dengan bidang
hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. 6) Dimensi
Efektivitas Pelaksanaan Peraturan Perundang-undangan Setiap
pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai kejelasan
tujuan yang hendak dicapai serta berdaya guna dan berhasil guna. Hal ini
sesuai dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan
sebagaimana diatur dalam Pasal 5 (huruf a dan huruf e) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2019 tentang Perubahan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Penilaian ini perlu
dilakukan untuk melihat sejauh mana manfaat dari pembentukan suatu
peraturan perundang-undangan sesuai dengan yang diharapkan. Penilaian
ini perlu didukung dengan data empiris yang terkait dengan implementasi
peraturan perundangundangan.
Bagaimana penegakan hukum terhadap tindak pidana keimigrasian yang
dilakukan oleh Warga Negara Myanmar?

Keimigrasian di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011


tentang Keimigrasian (UU Keimigrasian Tahun 2011), yang mengganti undang-
undang keimigrasian sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992.
Perihal keimigrasian ini berkaitan erat dengan lalu lintas orang melintasi batas-
batas negara lain yang semakin meningkat di era globalisasi dan perdagangan
bebas dan sekarang ini telah menjadi perhatian negara-negara di dunia termasuk
Indonesia. Hal ini disebabkan karena setiap negara mempunyai kedaulatan untuk
mengatur lalu lintas orang yang akan masuk dan keluar wilayah negaranya.
Mobilitas orang keluar dan masuk dari suatu wilayah negara menimbulkan
berbagai dampak, baik yang menguntungkan maupun yang merugikan
kepentingan dan kehidupan bangsa dan negara. Perdagangan manusia (human
trafficking), penyelundupan manusia (people smuggling), imigran gelap,
peredaran narkotika, dan lain sebagainya merupakan beberapa dampak negatif
yang timbul dari aktivitas perpindahan orang antar wilayah negara. Namun
demikian, perpindahan atau perlintasan orang masuk dan keluar suatu wilayah
negara tidak dapat dihindari mengingat adanya kebutuhan hubungan antara
negara-negara di dunia. Negara memberikan kebebasan bergerak bagi warga
negara dalam kehidupan bersama namun juga membatasi ruang gerak tersebut
karena dalam setiap negara terdapat kekuasaan tertinggi yang harus dihormati dan
ditaati oleh warganegara wilayah tersebut dan warganegara wilayah lain yang
berkaitan dengan kelangsungan kedaulatan wilayah negara.1 Oleh karena itu,
suatu negara dalam rangka melindungi kedaulatan negara, melindungi rakyatnya,
dan menerapkan hukum di negaranya dapat menetapkan ketentuan hukum terkait
pengaturan dan pengawasan lalu lintas manusia yang masuk dan keluar dari
wilayahnya. Dengan demikian, orang asing akan mendapatkan legalitas untuk
melakukan perjalanan, melakukan kegiatan, dan/atau berada di negara lain secara
sah. Perkembangan selanjutnya 1 Cedric Ryngaert, Jurisdiction in International
Law, 2nd ed., (Oxford: Oxford University Press, 2015), hlm. 5. Pusat Analisis dan
Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM | 2 pergerakan atau
migrasi ini juga mencakup pergerakan tenaga kerja asing maupun pekerja migran
Indonesia. Pembahasan migrasi antar negara di sektor ketenagakerjaan setidaknya
perlu dilihat dari dua dimensi hukum yaitu dimensi keimigrasian dan dimensi
ketenagakerjaan. Dimensi keimigrasian muncul dalam hal adanya lalu lintas orang
antar negara dan pengawasan terhadap orang asing, dengan landasan hukumnya
yaitu UU Keimigrasian Tahun 2011. Sedangkan dimensi ketenagakerjaan
dikaitkan dalam hal adanya sumber daya manusia atau tenaga kerja yang
beraktivitas, dapat meliputi pemberian izin bekerja dan juga pelindungan terhadap
pekerja migran Indonesia (PMI, dahulu: Tenaga Kerja Indonesia (TKI)) yang
secara umum keduanya diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan Tahun 2003). Irisan di antara kedua
dimensi tersebut sering kali memunculkan masalah dalam implementasinya.
Misalnya, dalam melakukan tindakan kepada sponsor yang mendatangkan Tenaga
Kerja Asing (TKA) ilegal yang secara eksplisit belum diatur di dalam Undang-
Undang Keimigrasian Tahun 2011 dalam hal penindakannya, sehingga Penyidik
Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Keimigrasian lebih banyak menindak TKA ilegal.
Hal ini tidak menimbulkan efek jera bagi sindikat perdagangan orang yang
memanfaatkan TKA ilegal. Demikian juga UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan belum mengatur secara eksplisit penindakan terhadap
TKA ilegal, sehingga PPNS Kementerian Tenaga Kerja hanya melakukan
penindakan terhadap perusahaan yang mendatangkan dan menyalahgunakan TKA
di Indonesia. Politik hukum perlunya pengawasan TKA adalah bahwa warga
negara asing boleh bekerja di Indonesia tetapi tidak boleh mengurangi hak warga
negara Indonesia itu sendiri untuk mendapatkan pekerjaan yang layak di
negaranya sendiri. Oleh karena itu keberadaan TKA tersebut perlu di kendalikan
dengan dibatasi oleh aturan-aturan yang ada dan hanya bidang pekerjaan tertentu
saja yang diperbolehkan.2 2 Anis Tiana Pottag, “Politik Hukum Pengendalian
Tenaga Kerja Asing Yang Bekerja Di Indonesia”, Media Iuris Vol. 1 No. 2, Juni
2018, hlm. 245 Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN
KEMENKUMHAM | 3 Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh Badan
Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan HAM
(Balitbangkumham) pada tahun 2017 dan 20193 terdapat permasalahan lain yang
paling sering ditemukan. Permasalahan lain tersebut terkait dalam hal irisan
pengaturan antara keimigrasian dan ketenagakerjaan, yaitu: permasalahan
mengenai permasalahan dokumen perjalanan (paspor, visa, dan sebagainya), dan
permasalahan penyalahgunaan izin baik izin tinggal keimigrasian maupun izin
bekerja/Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) untuk orang asing.
Pelanggaran dokumen perjalanan bagi tenaga kerja asing sering ditemui, misalnya
dalam paspor para TKA ini tertulis bahwa izin yang diberikan pemerintah
Indonesia oleh pihak imigrasi adalah untuk bekerja sebagai TKA di Indonesia
dengan jabatan dan waktu tertentu bahkan hanya sebagai turis. Akan tetapi
pelanggaran ini tetap terjadi dikarenakan para perusahaan pengguna sering kali
menyembunyikan tenaga kerja asing ilegal ini. Pencegahan dan Penindakan
terhadap pelanggaran tersebut perlu dilakukan dengan kerja sama Kementerian
dan atau Lembaga (K/L) terkait yang mempunyai kewenangan dan tugas terkait
pencegahan dan penindakan terhadap orang asing maupun TKA. Hal lain yang
juga perlu dicermati adalah mengenai pelaksanaan pelindungan Pekerja Migran
Indonesia (PMI) dimana ditemukan beberapa kasus mereka kerap menjadi korban
Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Hal tersebut telah menjadi perhatian
utama pemerintah Indonesia serta mengundang perhatian dunia internasional.
Pemberian perlindungan PMI ini menuntut sinergi kerja sama antar Kementerian
dan atau Lembaga (K/L) terkait seperti Kementerian Ketenagakerjaan
(Kemenaker), Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), Direktorat
Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Ditjen Imigrasi),
Kepolisian Republik Indonesia (Polri), dan lembaga lainnya. Pola kerja sama yang
dibangun antar K/L ini nyatanya merupakan pekerjaan rumah kita bersama,
karena selama ini Indonesia dikenal sulit membangun pola kerja sama dan
koordinasi yang jelas dan baik antar lembaga pemerintah dengan menanggalkan
ego sektoral masing-masing lembaga. Belum lagi munculnya kewenangan yang
sama pada beberapa lembaga 3 Lihat Nevey Varida Ariani, ”Aspek Hukum
Penegakan Tenaga Kerja Asing Ilegal di Indonesia”, (Jakarta: Balitbang Hukum
dan HAM, Kementerian Hukum dan HAM, 2017) dan Peny Naluria Utami, dkk,
“Refleksi Kritis Fenomena Orang Asing Bekerja Secara Nonprosedural di
Indonesia”, (Jakarta: Balitbang Hukum dan HAM, Kementerian Hukum dan
HAM, 2019) Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN
KEMENKUMHAM | 4 yang menjadi tantangan untuk mencapai tujuan yang
hendak diraih yaitu memberi pelindungan bagi PMI. Di dalam Penjelasan Umum
UU Keimigrasian Tahun 2011 disebutkan peranan penting instansi keimigrasian
dalam rangka pengawasan terhadap orang asing yang perlu lebih ditingkatkan
sejalan dengan meningkatnya tindak pidana transnasional, seperti perdagangan
orang, penyelundupan manusia, dan tindak pidana narkotika yang banyak
dilakukan oleh sindikat kejahatan internasional yang terorganisasi. Lahirnya UU
Keimigrasian Tahun 2011 diharapkan dapat mengatasi berbagai peningkatan
kejahatan transnasional dan lebih memberikan perlindungan terhadap hak asasi
manusia dan memberikan kepastian hukum terhadap orang asing yang masuk,
tinggal, dan melakukan aktivitas di Indonesia.4 Dalam Rancangan Teknokratik
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional IV 2020-2024 Indonesia
Berpenghasilan Menengah – Tinggi yang Sejahtera, Adil, dan
Berkesinambungan5 yang disusun oleh Kementerian PPN/Bappenas salah satu
agenda pembangunan RPJMN IV Tahun 2020-2024 adalah memperkuat stabilitas
politik, hukum, pertahanan dan keamanan (polhukhankam) dan Transformasi
Pelayanan Publik dimana negara wajib terus hadir dalam melindungi segenap
bangsa, memberikan rasa aman serta pelayanan publik yang berkualitas pada
seluruh warga negara dan menegakkan kedaulatan negara. Untuk mendukung hal
ini pada tahun 2020 Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) melalui Pusat
Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional melakukan analisis dan evaluasi hukum
terhadap peraturan perundang-undangan terkait Keimigrasian dengan membentuk
satu kelompok kerja (Pokja). Analisis dan evaluasi hukum merupakan upaya
melakukan penilaian terhadap hukum, dalam hal ini peraturan perundang-
undangan sebagai hukum positif, yang dikaitkan dengan struktur hukum dan
budaya hukum. Di dalam melakukan analisis dan evaluasi hukum, Pokja
melakukan evaluasi terhadap setiap peraturan perundang-undangan yang telah
diinventarisasi dengan menggunakan instrumen penilaian yang dikembangkan
BPHN, yakni Pedoman Evaluasi 4 Lihat Penjelasan Umum UU Keimigrasian
Tahun 2011 5 Kementerian PPN/Bappenas, “Rancangan Teknokratik Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional IV 2020-2024” Pusat Analisis dan
Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM | 5 Peraturan Perundang-
Undangan. 6 Penilaian ini meliputi: Dimensi Pancasila, Dimensi Ketepatan Jenis
Peraturan Perundang-undangan, Dimensi Potensi Disharmoni Pengaturan;
Dimensi Kejelasan Rumusan; Dimensi Kesesuaian Norma dengan Asas Materi
Muatan; dan Dimensi Efektivitas Pelaksanaan Peraturan Perundang-undangan.
Penilaian dilakukan secara komprehensif baik dari tataran normatif maupun
praksis. Hasil analisis dan evaluasi ini dapat menjadi masukan perbaikan yang
objektif terhadap peraturan perundangundangan yang ada dan dengan demikian
diharapkan dapat menjadi bahan pembangunan hukum di Indonesia. B.
Permasalahan Beberapa permasalahan yang hendak dijawab melalui kegiatan
analisis dan evaluasi hukum ini adalah sebagai berikut: 1) Bagaimana hasil
analisis dan evaluasi hukum terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011
tentang Keimigrasian serta peraturan perundangundangan lain terkait jika ditinjau
dari dimensi: pemenuhan nilai Pancasila, ketepatan jenis peraturan perundang-
undangan, disharmoni pengaturan, kejelasan rumusan, kesesuaian asas bidang
hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dan efektivitas
pelaksanaan peraturan perundang-undangan? 2) Bagaimana rekomendasi atas
hasil analisis dan evaluasi hukum yang telah dilakukan terhadap UU Keimigrasian
Tahun 2011 serta peraturan perundang-undangan lain terkait?

Bahwa ia Terdakwa MYAT THIT Als MUHAMMAD pada hari kamis


tanggal 18 Februari 2021 atau setidak – tidaknya pada suatu waktu dalam bulan
Februari tahun 2021 atau setidak – tidaknya masih ditahun 2021, bertempat di
Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Batam, Jalan Engku Putri No. 03 Batam
Centre – Kota Batam atau setidak-tidaknya di tempat lain yang masih termasuk
dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Batam yang berwenang memeriksa
dan mengadili perkara ini, yang masuk dan/atau berada di Wilayah Indonesia
yang tidak memiliki Dokumen Perjalanan dan Visa yang sah dan masih berlaku,
perbuatan para Terdakwa dilakukan dengan cara sebagai berikut :
- Bahwa pada tanggal 16 Agustus 2020 sekira pukul 00.30 Wib, saksi Iwan
Ibrahim (anggota TNI) yang telah melakukan pendalaman informasi terhadap
Terdakwa MYAT THIT Als MUHAMMAD yang merupakan Warga Negara
Asing yang masuk ke Wilayah Indonesia Tanpa Dokumen Perjalanan dan
Visa yang sah dan masih berlaku, melakukan Penangkapan terhadap
Terdakwa di Pantai Stress, Batu Ampar Kota Batam dan ketika diintrogasi
Terdakwa mengaku berkewarganegaraan Myanmar selanjutnya saksi Iwan
Ibrahim menyerahkan Terdakwa kepada pihak Imigrasi Kelas I khusus TPI
Batam;
- Bahwa pada saat di periksa oleh pihak Imigrasi Kelas I khusus TPI Batam
Terdakwa tidak memiliki Paspor berkewarganegaraan Myanmar serta tidak
memiliki izin Tinggal selama berada di Batam dan Terdakwa mengaku
pertama kali masuk Ke Wilayah Indonesia pada sekira tahun 2000, pada saat
sedang diatas kapal Pukat Harimau dari Thailand Terdakwa bersama rekan –
rekannya ditangkap Oleh Polisi Air dan Udara Indonesia Di Pulau Sambu
Belakang Padang kemudian Terdakwa dan rekan – rekannya dibawa ke Pos
Polisi Belakang Padang kemudian Terdakwa diperiksa ditempat tersebut dan
setelah selesai diperiksa Terdakwa dibawa ke Pos Polisi Selat Beliah karimun
dan tinggal selama 3 (tiga) bulan di Pos Polisi tersebut namun ketika
Terdakwa mendengar akan ada proses pemulangan Terdakwa kabur dari Pos
Polisi Selat Beliah karimun;
- Bahwa berdasarkan keterangan Ahli Edward Robert Silitonga setiap orang
asing yang masuk ke Indonesia wajib memiliki Dokumen Perjalanan yang sah
dan masih berlaku serta memiliki visa yang sah dan masih berlaku kecuali
ditentukan lain berdasarkan Undang – undang dan perjanjian dalam Pasal 8
ayat (1) dan (2) Undang – Undang Nomor 6 tahun 2011 tentang keimigrasian serta wajib melalui
pemeriksaan yang dilakukan oleh Pejabat Imigrasi di tempat Pemeriksaan Imigrasi sebagaiman
diatur dalam Pasal 9 ayat (1) Undang – undang Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian;
- Bahwa berdasarkan surat dari Keduataan Besar Myanmar pada tanggal 27
Oktober 2020 terhadap Terdakwa adalah benar merupakan Warga Negara
Myanmar;
Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam
Pasal 119 Ayat (1) UU RI No. 06 Tahun 2011 tentang Keimigrasian;
Menimbang, bahwa atas Surat Dakwaan tersebut Terdakwa menyatakan
telah mengerti akan maksudnya namun melalui Penasihat Hukumnya, Terdakwa
mengajukan Eksepsi/Keberatan dan atas Eksepsi/Keberatan tersebut, Majelis
Hakim telah menjatuhkan Putusan Sela, tanggal 21 Juni 2021 yang amarnya
adalah sebagai berikut :
1. Menolak Eksepsi/Keberatan dari Penasihat Hukum Terdakwa untuk
seluruhnya;
2. Menyatakan melanjutkan pemeriksaan perkara Pidana Nomor
292/Pid.Sus/2021/PN Btm. atas nama Terdakwa MYAT THIT Als
MUHAMMAD;
3. Menangguhkan biaya perkara hingga Putusan akhir serta wajib melalui pemeriksaan
yang dilakukan oleh Pejabat Imigrasi di

Menimbang, bahwa berdasarkan alat bukti dan barang bukti yang


diajukan diperoleh fakta-fakta hukum sebagai berikut:
- Bahwa pada tanggal 16 Agustus 2020, sekitar pukul 00.30 Wib, saksi Iwan
Ibrahim (anggota TNI) yang telah melakukan pendalaman informasi terhadap
Terdakwa MYAT THIT Als MUHAMMAD yang merupakan Warga Negara
Asing yang masuk ke Wilayah Indonesia Tanpa Dokumen Perjalanan dan
Visa yang sah dan masih berlaku, melakukan Penangkapan terhadap
Terdakwa di Pantai Stress, Batu Ampar Kota Batam dan ketika diintrogasi
Terdakwa mengaku berkewarganegaraan Myanmar selanjutnya saksi Iwan
Ibrahim menyerahkan Terdakwa kepada pihak Imigrasi Kelas I khusus TPI
Batam;
- Bahwa pada saat di periksa oleh pihak Imigrasi Kelas I khusus TPI Batam
Terdakwa tidak memiliki Paspor berkewarganegaraan Myanmar serta tidak memiliki izin Tinggal
selama berada di Batam dan Terdakwa mengaku
pertama kali masuk Ke Wilayah Indonesia pada sekira tahun 2000, pada saat
sedang diatas kapal Pukat Harimau dari Thailand Terdakwa bersama rekan –
rekannya ditangkap Oleh Polisi Air dan Udara Indonesia Di Pulau Sambu
Belakang Padang kemudian Terdakwa dan rekan – rekannya dibawa ke Pos
Polisi Belakang Padang kemudian Terdakwa diperiksa ditempat tersebut dan
setelah selesai diperiksa Terdakwa dibawa ke Pos Polisi Selat Beliah karimun
dan tinggal selama 3 (tiga) bulan di Pos Polisi tersebut namun ketika
Terdakwa mendengar akan ada proses pemulangan Terdakwa kabur dari Pos
Polisi Selat Beliah karimun;
- Bahwa berdasarkan keterangan Ahli Edward Robert Silitonga setiap orang
asing yang masuk ke Indonesia wajib memiliki Dokumen Perjalanan yang sah
dan masih berlaku serta memiliki visa yang sah dan masih berlaku kecuali
ditentukan lain berdasarkan Undang – undang dan perjanjian dalam Pasal 8
ayat (1) dan (2) Undang – Undang Nomor 6 tahun 2011 tentang keimigrasian
serta wajib melalui pemeriksaan yang dilakukan oleh Pejabat Imigrasi di
tempat Pemeriksaan Imigrasi sebagaiman diatur dalam Pasal 9 ayat (1)
Undang – undang Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian;
- Bahwa berdasarkan surat dari Keduataan Besar Myanmar pada tanggal 27
Oktober 2020 terhadap Terdakwa adalah benar merupakan Warga Negara
Myanmar;

bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan


mempertimbangkan apakah berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut diatas,
Terdakwa dapat dinyatakan telah melakukan tindak pidana yang didakwakan
kepadanya;
Menimbang, bahwa Terdakwa telah didakwa oleh Penuntut Umum
dengan dakwaan tunggal sebagaimana diatur dalam Pasal 119 Ayat (1) UU RI
No. 06 Tahun 2011 tentang Keimigrasian yang unsur-unsurnya adalah sebagai
berikut :
1. Setiap Orang Asing ;
2. yang masuk dan/atau berada di Wilayah Indonesia yang tidak memiliki
Dokumen Perjalanan dan Visa yang sah dan masih berlaku sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8;
Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan
mempertimbangkan unsur delik tersebut sebagaimana diuraikan di bawah ini ;
Ad.1. Setiap Orang Asing; Menimbang, bahwa dalam mempertimbangkan unsur ini, Majelis
Hakim
perlu mengemukakan beberapa pengertian sebagai berikut :
Bahwa ketentuan Pasal 1 ayat 9 Undang-undang RI Nomor 06 Tahun 2011
Tentang Keimigrasian menentukan bahwa : “Orang Asing adalah orang yang
bukan warga Negara Indonesia” ;
Bahwa dalam ilmu hukum pidana Indonesia yang dimaksud dengan “Setiap
orang” menunjuk kepada “personlijk (orang)” selaku subjek hukum yang dapat
dibebani pertanggung jawaban pidana ;
Menimbang, bahwa berdasarkan pengertian di atas, Majelis Hakim
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “setiap orang asing” dalam perkara
a quo, adalah “Orang per orangan yang merupakan warga negara asing
sebagai pendukung hak dan kewajiban yang atas perbuatan pidananya, ia
dapat dimintai pertanggungjawaban ;
Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan Saksi-saksi dan
keterangan Terdakwa serta dihubungkan dengan Barang bukti yang satu sama
lain telah saling bersesuaian, Majelis Hakim berpendapat, bahwa dengan
dihadapkannya Terdakwa ke persidangan yang identitasnya telah dibenarkan
oleh Terdakwa dan Saksi-saksi, maka yang dimaksud dengan unsur “Setiap
orang asing” dalam perkara a quo, menunjuk kepada diri Terdakwa Myat Thit Als
Muhammad sendiri dan bukan orang lain, dengan demikian unsur “Setiap
orang” ini telah terpenuhi dalam diri Terdakwa ;
Ad.2. yang masuk dan/atau berada di Wilayah Indonesia yang tidak memiliki
Dokumen Perjalanan dan Visa yang sah dan masih berlaku sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8;
Menimbang, bahwa untuk mempertimbangkan unsur ini, penting
dikemukakan beberapa pengertian yaitu :
- Yang dimaksud dengan Wilayah Negara Republik Indonesia adalah seluruh
wilayah Indonesia serta zona tertentu yang ditetapkan berdasarkan undangundang
Yang dimaksud dengan Dokumen Perjalanan Republik Indonesia adalah
Paspor Republik Indonesia dan Surat Perjalanan Laksana Paspor Republik
Indonesia;
- Yang dimaksud dengan Visa Republik Indonesia yang selanjutnya disebut
Visa adalah keterangan tertulis yang diberikan oleh pejabat yang berwenang
di Perwakilan Republik Indonesia atau di tempat lain yang ditetapkan oleh
Pemerintah Republik Indonesia yang memuat persetujuan bagi Orang Asing untuk melakukan
perjalanan ke Wilayah Indonesia dan menjadi dasar untuk
pemberian Izin Tinggal;
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta hukum yang terungkap di
persidangan ternyata bahwa pada tanggal 16 Agustus 2020, sekitar pukul 00.30
Wib, saksi Iwan Ibrahim (anggota TNI) yang telah melakukan pendalaman
informasi terhadap Terdakwa MYAT THIT Als MUHAMMAD yang merupakan
Warga Negara Asing yang masuk ke Wilayah Indonesia Tanpa Dokumen
Perjalanan dan Visa yang sah dan masih berlaku, melakukan Penangkapan
terhadap Terdakwa di Pantai Stress, Batu Ampar Kota Batam dan ketika
diintrogasi Terdakwa mengaku berkewarganegaraan Myanmar selanjutnya saksi
Iwan Ibrahim menyerahkan Terdakwa kepada pihak Imigrasi Kelas I khusus TPI
Batam; Bahwa pada saat di periksa oleh pihak Imigrasi Kelas I khusus TPI Batam
Terdakwa tidak memiliki Paspor berkewarganegaraan Myanmar serta tidak
memiliki izin Tinggal selama berada di Batam dan Terdakwa mengaku
pertama kali masuk Ke Wilayah Indonesia pada sekira tahun 2000, pada saat
sedang diatas kapal Pukat Harimau dari Thailand Terdakwa bersama rekan –
rekannya ditangkap Oleh Polisi Air dan Udara Indonesia Di Pulau Sambu
Belakang Padang kemudian Terdakwa dan rekan – rekannya dibawa ke Pos
Polisi Belakang Padang kemudian Terdakwa diperiksa ditempat tersebut dan
setelah selesai diperiksa Terdakwa dibawa ke Pos Polisi Selat Beliah karimun
dan tinggal selama 3 (tiga) bulan di Pos Polisi tersebut namun ketika
Terdakwa mendengar akan ada proses pemulangan Terdakwa kabur dari Pos
Polisi Selat Beliah karimun;
- Bahwa berdasarkan keterangan Ahli Edward Robert Silitonga setiap orang
asing yang masuk ke Indonesia wajib memiliki Dokumen Perjalanan yang sah
dan masih berlaku serta memiliki visa yang sah dan masih berlaku kecuali
ditentukan lain berdasarkan Undang – undang dan perjanjian dalam Pasal 8
ayat (1) dan (2) Undang – Undang Nomor 6 tahun 2011 tentang keimigrasian
serta wajib melalui pemeriksaan yang dilakukan oleh Pejabat Imigrasi di
tempat Pemeriksaan Imigrasi sebagaiman diatur dalam Pasal 9 ayat (1)
Undang – undang Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian;
- Bahwa berdasarkan surat dari Keduataan Besar Myanmar pada tanggal 27
Oktober 2020 terhadap Terdakwa adalah benar merupakan Warga Negara
Myanmar;
Pengaturan mengenai Penegakan Hukum Keimigrasian Dari hasil diskusi Pokja
dalam rapat-rapat dan FGD yang dilaksanakan dengan mengundang berbagai
narasumber, ditemukan jawaban, penyebab sulitnya bunyi pasal UU Keimigrasian
Tahun 2011 ini untuk diterapkan, antara lain karena keterlibatan Orang Asing
dalam hal kasus keimigrasian, bahwa keterlibatan orang asing, tentu erat pula
kaitannya dengan keterlibatan negara asal orang asing tersebut, kemudian
penegakan hukum keimigrasian juga harus menyesuaikan dengan iklim investasi
di Indonesia, termasuk sektor pariwisata. Beberapa alasan tersebut menyebabkan,
penegak hukum dan petugas imigrasi khususnya, harus mempertimbangkan
pemberlakuan proses acara pidana dan pemberian sanksi yang sesuai, tanpa
berbenturan dengan kepentingan tersebut di atas. Namun pilihan tersebut tentu
menyebabkan bunyi pasal UU Keimigrasian Tahun 2011 kurang dapat diterapkan,
baik dalam hal proses acara pidana, maupun pemberian sanksinya. Jika hal
tersebut terjadi, akan memunculkan beberapa risiko, yaitu: a. Tidak tercapainya
tujuan pembentukan UU Keimigrasian tahun 2011 ini, yaitu efektivitas penegakan
hukum keimigrasian baik bagi perseorangan dan juga korporasi serta penjamin
yang melanggar ketentuan keimigrasian; b. Tidak tercapainya tujuan efek jera
dengan menerapkan sanksi pidana yang lebih berat terhadap orang asing, yang
melanggar peraturan di bidang keimigrasian, hal ini disebabkan pemberian sanksi
minimum pada ketentuan pidana UU Keimigrasian Tahun 2011 membuka
peluang pemberian sanksi yang sangat minimal kepada orang asing, pemberian
sanksi minimal dikarenakan ‘diskresi’ yang sering diputuskan oleh petugas
keimigrasian; Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN
KEMENKUMHAM | 21 c. Pengambilan keputusan pemberian ‘diskresi’ di atas
mengakibatkan kesulitan bagi petugas Imigrasi dan aparat penegak hukum dalam
pelaksanaan tugas, karena adanya ‘dilema’ antara menegakkan hukum atau
kepentingan investasi; d. Tidak dapat berjalannya implementasi dari teori
pemidanaan yang telah dipelajari di dalam perkuliahan, terkait teori tindak pidana
kejahatan dan pelanggaran, diskresi, sanksi pidana dan teori acara pidana. Guna
mencapai efek jera, tidak semata-mata dengan mempergunakan sanksi yang
‘kejam’ seperti pidana penjara dalam jangka waktu yang lama, namun dari jenis
pemberian sanksi yang membuat seseorang enggan untuk melakukan tindak
pidana yang sama. Hal ini terbukti dari pidana pemenjaraan yang belum tentu
memberikan efek jera, namun denda yang besar bisa saja membuat seseorang
tidak melakukan tindak pidana dikarenakan tidak ingin menanggung kerugian
materiil yang besar. Di Tahun 2019 telah terjadi overcapacity/overcrowding di
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) hampir 100%, yang kemudian terjadi
penurunan menjadi 75% hingga Mei 202011, penurunan ini pun dipengaruhi
karena adanya program pembebasan narapidana melalui program asimilasi dan
integrasi dalam rangka penekanan penularan Covid-19 di lingkungan Lapas.
Sehingga dapat dimungkinkan kedepannya kondisi overcapacity masih akan terus
terjadi, sehingga perlu dirumuskan solusi permasalahan overcapacity tersebut.
Salah satu solusi yang dapat dipertimbangkan adalah pemberian pidana alternatif
dalam sistem penal di Indonesia. Setelah melakukan kajian dari penerapan pasal-
pasal ketentuan pidana UU Keimigrasian Tahun 2011 dengan penerapannya di
lapangan, ditemukan fakta bahwa penerapan sanksi administratif lebih banyak
diterapkan kepada pelaku tindak pidana keimigrasian. Berdasarkan data yang
disampaikan oleh peserta FGD Pokja yang berasal dari Sub Direktorat (Subdit)
Pengawasan Keimigrasian perbandingan jumlah 11 Rico Afrido Simanjuntak,
“Napi Dibebaskan, Dirjen PAS: Over Kapasitas di Lapas dan Rutan Turun”,
https://nasional.sindonews.com/read/24525/13/napi-dibebaskan-dirjen-pas-
overkapasitas-di-lapas-dan-rutan-turun-1589187952, (diakses tanggal 1 Oktober
2020) Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM |
22 Tindakan administrasi dan projustitia yang diambil oleh Ditjenim dari Tahun
2017 – 2020 sebagai berikut: TAHUN TINDAKAN ADMINISTRASI
PROJUSTITIA 2017 9.154 273 2018 11.769 146 2019 10.925 155 Juni 2020
2.932 14 TOTAL 34.780 588 Sumber: Paparan Toto Suryanto, Kepala Subdit
Pengawasan Keimigrasian dalam FGD Pokja AEH terkait Keimigrasian, April
2020. Perbandingan jumlah yang jauh antara sanksi administratif dan projustitia,
dikarenakan UU Keimigrasian Tahun 2011 memang membuka peluang pemberian
sanksi administratif, Dalam Pasal 1 angka 31 UU Keimigrasian Tahun 2011
disebutkan, Tindakan Administratif Keimigrasian (TAK) adalah sanksi
administratif yang ditetapkan Pejabat Imigrasi terhadap Orang Asing di luar
proses peradilan. Pasal 75 ayat (1) UU Keimigrasian Tahun 2011 menyebutkan:
Pejabat Imigrasi berwenang melakukan Tindakan Administratif Keimigrasian
terhadap Orang Asing yang berada di Wilayah Indonesia yang melakukan
kegiatan berbahaya dan patut diduga membahayakan keamanan dan ketertiban
umum atau tidak menghormati atau tidak menaati peraturan perundang-undangan.
Bunyi ayat inilah yang memberikan peluang kepada pejabat imigrasi untuk
memberikan ‘diskresi’ karena kategori ‘melakukan kegiatan berbahaya dan patut
diduga membahayakan keamanan’ tidak terdapat pengaturan lebih lanjut.
Contohnya adalah pemberian sanksi administratif dan sanksi pidana pada Kantor
Imigrasi Kelas I TPI Jakarta Utara, dari data tahun 2019, pemberian sanksi
administratif berjumlah 1146 (seribu seratus empat puluh enam) kasus, sementara
pemberian sanksi pidana berjumlah 4 (empat) kasus. Pemberian sanksi
administratif Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN
KEMENKUMHAM | 23 tentu tidak menyalahi UU Keimigrasian Tahun 2011,
namun dapat menjadi masalah dengan ditemukannya contoh data, dari 1146
pemberian sanksi administratif, terdapat 170 pemberian sanksi administratif
berupa deportasi (salah satu bentuk tindakan administratif keimigrasian
berdasarkan Pasal 75 ayat (2) huruf f) pada kasus yang melanggar pasal Pasal 71
huruf b, yang mewajibkan setiap orang asing untuk memberikan segala
keterangan yang diperlukan mengenai identitas diri dan/atau keluarganya serta
melaporkan setiap perubahan status sipil, kewarganegaraan, pekerjaan, Penjamin,
atau perubahan alamatnya kepada Kantor Imigrasi setempat, atau memperlihatkan
dan menyerahkan Dokumen Perjalanan atau Izin Tinggal yang dimilikinya apabila
diminta oleh Pejabat Imigrasi yang bertugas dalam rangka pengawasan
Keimigrasian. Sanksi pidana terhadap tindakan yang melanggar pasal 71 ini
terdapat dalam Pasal 116, yang berbunyi: Setiap Orang Asing yang tidak
melakukan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak
Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah). Bunyi pemidanaan pada Pasal 116
merupakan klasifikasi dari tindak pidana pelanggaran karena memberikan sanksi
pidana kurungan dengan kumulatif denda, sehingga dari bunyi pasal ini jelas
memberikan sanksi pemidanaan kurungan dan denda kepada pelanggar pasal 71
tersebut, dan bukan sanksi administratif seperti tercantum pada pasal 75, karena
bentuk sanksi haruslah secara tegas disebutkan dalam bunyi pasal, dan penegak
hukum tidak diperkenankan memberikan sanksi di luar yang disebutkan pada
pasal, karena hal tersebut akan bertentangan dengan asas legalitas. Alasan lainnya
adalah Tindakan Administratif Keimigrasian dijatuhkan tanpa melalui proses
acara pidana, sehingga jika dikenakan pada pelaku pelanggar pasal 71 di atas, hal
tersebut bertentangan dengan teori acara pidana, dalam Pasal 104 UU
Keimigrasian Tahun 2011 disebutkan, Penyidikan tindak pidana Keimigrasian
dilakukan berdasarkan hukum acara pidana, kemudian pada Pasal 110 Ayat (1)
disebutkan, Terhadap tindak pidana keimigrasian sebagaimana dimaksud Pusat
Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN KEMENKUMHAM | 24 dalam
Pasal 116 dan Pasal 117 diberlakukan acara pemeriksaan singkat sebagaimana
dimaksud dalam hukum acara pidana. Berdasarkan hal tersebut, maka pemberian
TAK kepada pelanggaran keimigrasian, bagi pelanggaran terhadap pasal yang
telah jelas disebutkan bentuk sanksi pidananya tentu tidaklah tepat. Namun
kembali kepada alasan pemberian TAK tersebut, yang tidak lepas dari keadaan
demi menjaga hubungan baik negara dan iklim investasi, tentu hal ini menjadi
dilema. Maka berdasarkan hasil diskusi bersama dengan banyak pihak, perlu
diberikan rekomendasi terkait bentuk pemberian bentuk sanksi pidana, jika
memang bentuk pemidanaan penjara maupun kurungan terkendala untuk
dijatuhkan kepada orang asing, maka sebaiknya diberikan bentuk sanksi pidana
diubah dan diatur sedemikian rupa, merupakan pidana administratif denda sebagai
pidana pokok, dengan bunyi ketentuan yang jelas. Demikian pula pada
pelaksanaan ketentuan beracaranyapun menggunakan acara singkat, agar diatur
secara lebih khusus. 12 Selain persoalan sanksi pidana yang mengalami kendala
dalam pelaksanaannya, penegakan hukum juga melihat sisi hukum acaranya.
Terkait dengan pelaksanaan pencegahan, pada tahun 2011 keluar Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-IX/2011 atas pengujian terhadap ketentuan
Pasal 97 ayat (1) UU Keimigrasian Tahun 2011 yang berbunyi: Jangka waktu
pencegahan berlaku paling lama 6 (enam) bulan dan setiap kali dapat
diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan. MK berpendapat bahwa pada satu sisi
pencegahan ke luar negeri yang tidak dapat dipastikan batas waktunya
sebagaimana diatur dalam Pasal 97 ayat (1) UU Keimigrasian Tahun 2011
khususnya frasa “setiap kali dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan”
dapat menimbulkan 12 Pada dasarnya penjatuhan sanksi denda tidak menyalahi
ketentuan pemidanaan dalam hukum pidana Indonesia, dalam Pasal 10
disebutkan, Pidana terdiri atas: a. pidana pokok, yang terdiri dalam: 1. pidana
mati; 2. pidana penjara; 3. pidana kurungan; 4. pidana denda; 5. pidana tutupan. b.
pidana tambahan, yang terdiri dalam 1. pencabutan hak-hak tertentu; 2.
perampasan barang-barang tertentu; 3. pengumuman putusan hakim. Sehingga,
jenis pidana denda diperkenankan diberlakukan sebagai pidana pokok dan berdiri
sendiri bukan sebagai pidana pengganti. Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum
Nasional, BPHN KEMENKUMHAM | 25 ketidakpastian hukum bagi tersangka
karena tidak dapat memastikan sampai kapan penyidikan berakhir dan sampai
kapan pula pencegahan keluar negeri berakhir. Pada satu sisi juga dapat
menimbulkan kesewenang-wenangan aparat negara, yaitu Jaksa Agung, Menteri
Hukum dan HAM, dan pejabat lainnya yang berwenang untuk melakukan
pencegahan terhadap tersangka tanpa batas waktu. Ketentuan Pasal 16 ayat (1)
huruf b UU Keimigrasian Tahun 2011 yang berbunyi: “Pejabat Imigrasi menolak
orang untuk keluar wilayah Indonesia dalam hal orang tersebut: b. diperlukan
untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan atas permintaan pejabat yang
berwenang”, telah dilakukan pengujian pada tahun yang sama saat terbitnya UU
ini dan telah diputuskan dalam Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor
40/PUUIX/2011. Dalam Keputusan tersebut MK mengabulkan permohonan
pemohon dengan menghilangkan frasa “penyelidikan” dengan pertimbangan
dalam amar putusannya bahwa dalam tahap penyelidikan belum ada kepastian
disidik atau tidak disidik. Belum dilakukan pencarian dan pengumpulan bukti,
baru tahap mengumpulkan informasi. Kalau dalam tahap penyidikan karena
memang dilakukan pencarian dan pengumpulan bukti, wajar bila bisa dilakukan
penolakan untuk bepergian keluar negeri karena ada kemungkinan tersidik
membawa bukti-bukti yang berkaitan dengan tindak pidana keluar negeri sehingga
mempersulit penyidik melakukan pencarian dan pengumpulan bukti untuk
membuat terang tentang pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya.
Mencegah seseorang untuk keluar negeri dalam tahap tersebut dapat
disalahgunakan untuk kepentingan di luar kepentingan penegakan hukum
sehingga melanggar hak seseorang yang dijamin oleh konstitusi yaitu dalam Pasal
28E UUD NRI Tahun 1945. Penyidikan tindak pidana keimigrasian dilakukan
berdasarkan hukum acara pidana, dimana PPNS Keimigrasian menurut Pasal 105
UU Keimigrasian Tahun 2011 diberi kewenangan untuk melaksanakannya. Di
dalam menjalankan proses penyidikan, PPNS melakukan koordinasi dengan
Penyidik Polri. Jenis-jenis pelanggaran tindak pidana keimigrasian yang sering
dilakukan oleh WNI antara lain: Keluar masuk wilayah Indonesia tidak melalui
TPI, memberikan pemondokan atau pekerjaan kepada orang asing secara ilegal,
bertindak selaku sponsor fiktif dalam Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum
Nasional, BPHN KEMENKUMHAM | 26 memberikan jaminan izin tinggal
kepada orang asing, terlibat dalam sindikat perdagangan manusia, memberikan
data yang tidak benar saat mengajukan permohonan paspor. Sedangkan jenis
pelanggaran tindak pidana yang sering dilakukan oleh orang asing antara lain:
melakukan penyalahgunaan izin tinggal, berada di Indonesia dengan
menggunakan sponsor fiktif, masuk ke Indonesia dengan visa/paspor palsu, dan
terlibat dalam jaringan sindikat perdagangan manusia. Bagi orang asing yang
dikenakan Tindakan Administratif Keimigrasian atau menunggu pelaksanaan
deportasi, menurut Pasal 83 UU Keimigrasian Tahun 2011 ditempatkan dalam
Rumah Detensi Imigrasi atau Ruang Detensi Imigrasi. Dalam UU Keimigrasian
Tahun 2011 juga diatur mengenai jangka waktu detensi dalam Pasal 85, dimana
pada ayat (2)-nya jangka waktu pendetensian maksimal 10 (sepuluh) tahun. Tetapi
tidak diatur bagaimana status keimigrasian keberadaan mereka setelah lepas dari
Rumah Detensi Imigrasi.13 Kemudian menurut ayat (3), setelah melampaui
jangka waktu 10 tahun tersebut, orang asing dapat diberikan izin untuk berada di
luar rumah detensi imigrasi. Namun yang menjadi persoalan adalah izin tinggal
apa yang diberikan kepada orang asing tersebut mengingat bahwa setiap orang
asing yang berada di Indonesia diwajibkan memiliki izin tinggal sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 48.14 Memperhatikan, Pasal 119 Ayat (1) UU RI No. 06
Tahun 2011 tentang
Keimigrasian dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana serta ketentuan-ketentuan hukum lain yang
berkaitan dengan perkara ini

Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan di atas, Majelis


Hakim berpendapat, bahwa wujud perbuatan pidana materiel yang dilakukan
Terdakwa dalam perkara a quo adalah perbuatan yang masuk di Wilayah
Indonesia yang tidak memiliki Dokumen Perjalanan dan Visa yang sah dan
masih berlaku ;
Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan Saksi-saksi dan Terdakwa
serta dihubungkan dengan Barang bukti yang satu sama lain telah saling
bersesuaian, ternyata pula bahwa Terdakwa mengetahui betul bahwa sebagai
warga negara asing yang jika masuk ke wilayah Indonesia harus memiliki
dengan Dokumen Perjalanan dan Visa yang sah dan masih berlaku, akan tetapi
Terdakwa tidak memiliki dokumen yang sah dan masih berlaku, maka Majelis
Hakim berpendapat, unsur “yang masuk dan/atau berada di Wilayah Indonesia
yang tidak memiliki Dokumen Perjalanan dan Visa yang sah dan masih berlaku
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8”, telah terpenuhi dalam perbuatan
Terdakwa ;
Menimbang, bahwa oleh karena semua unsur Pasal 119 Ayat (1) UU RI
No. 06 Tahun 2011 tentang Keimigrasian telah terpenuhi, maka Terdakwa telah
terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana “orang asing yang
masuk di Wilayah Indonesia yang tidak memiliki Dokumen Perjalanan dan Visa
yang sah dan masih berlaku” dan sebaliknya Majelis Hakim tidak sependapat
dengan Nota Pembelaan yang diajukan Penasihat Hukum Terdakwa;
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta hukum yang terungkap di
persidangan ternyata pada diri Terdakwa tidak ditemukan alasan pemaaf
(Schulduitsluitingsgronden ) yang dapat menghapuskan kesalahannya, maupun
alasan pembenar (rechtsvaardigingsgronden ) yang dapat menghilangkan sifat
melawan hukum dari perbuatannya, maka Terdakwa haruslah dijatuhi pidana
yang setimpal dengan kesalahannya ;
Menimbang, bahwa mengenai lamanya pidana dan denda serta pidana
kurungan pengganti denda yang akan dijatuhkan terhadap diri Terdakwa,
Majelis Hakim telah sependapat dengan Tuntutan Penuntut Umum sehingga
lamanya pidana dan denda serta pidana kurungan pengganti denda yang akan
dijatuhkan nantinya dipandang telah menimbulkan efek jera dan sesuai dengan
nilai-nilai hukum serta keadilan ;
Menimbang, bahwa dalam perkara ini terhadap Terdakwa telah
dikenakan penangkapan dan penahanan yang sah, maka masa penangkapan
dan penahanan tersebut harus dikurangkan seluruhnya dari pidana yang
dijatuhkan

M E N G A D I L I;
1. Menyatakan Terdakwa Myat Thit Als Muhammad telah terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “orang asing yang
masuk di Wilayah Indonesia yang tidak memiliki Dokumen Perjalanan dan
Visa yang sah dan masih berlaku”;
2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana
penjara selama 10 (sepuluh) bulan dan denda sebesar Rp. 50.000.000,- (lima
puluh juta rupiah), dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar
maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan ;
3. Menetapkan masa penangkapan dan masa penahanan yang telah
dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari lamanya pidana yang
dijatuhkan tersebut ;
4. Menetapkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan ;
5. Menetapkan Barang bukti berupa :
- Kartu Tanda Penduduk dengan NIK 2102053112790008 a.n.
Muhammad diterbitkan Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kabupaten Karimun Provinsi Kepulauan Riau tanggal 13 Juni 2013 berlaku
s.d. 31 Desember 2018;
- Paspor Republik Indonesia Nomor C6530566 a.n. Muhammad
diterbitkan Kantor Imigrasi Kelas II TPI Tanjung Balai Karimun tanggal 16
Maret 2020 berlaku s.d. 16 Maret 2025;
Keberadaan barang yang disita di kantor Imigrasi Kelas I Khusus Batam.
- Kartu Keluarga Nomor 2102052506090004 diterbitkan Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Karimun tanggal 20 Juli
2018;
Keberadaan barang yang disita di Batu Besar Kampung Tengah RT.002
Rw.004 Nomor 74 Kelurahan Batu Bsar, Kecamanatan Nongsa, Kota
Batam;
Dimusnahkan;
- Kutipan Akta Nikah Nomor 167/14/X/2008 tanggal 20 Oktober 2008 diterbitkan Kantor Urusan
Agama Kecamatan Tebing, Kabupaten Karimun
Provinsi Kepulauan Riau a.n. Muhammad dan Nani Marni;
Dikembalikan kepada saksi Nani Marni;
6. Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu
rupiah) ;

Anda mungkin juga menyukai