Anda di halaman 1dari 45

Memahami Metafora Arsitektur

by giri on Jul 14, 2010 • 8:48 pm No Comments

“Kupu-kupu malam itu telah pergi untuk selama-lamanya”. Itulah sebuah gaya bahasa yang
sering kita dengar atau kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Gaya bahasa tersebut adalah
metafora, sebuah gaya bahasa yang membandingkan benda yang satu dengan benda lain
karena memiliki sifat yang sama atau hampir sama.

————————————————————————————————

Metafora Arsitektur

Gaya bahasa metafora ternyata dipakai juga dalam dunia arsitektur. Hal ini disebabkan
karena arsitektur juga merupakan sebuah bahasa. Sebuah bahasa yang digunakan oleh sesama
arsitek untuk menciptakan ‘percakapan’ arsitektural. Ada 2 jenis arsitek yang dibicarakan
dalam konteks ini. Pertama, arsitek sebagai pihak yang merencanakan dan merancang sebuah
komunikasi (bangunan). Dan kedua, ‘arsitek’ sebagai pihak yang melihat sebuah karya
arsitektur dan kemudian merancang sebuah komunikasi apresiasi melalui pemahamannya
sendiri (menciptakan arsitektur pemikiran).

Lalu kita akan bertanya, seperti apa metafora dalam arsitektur? Jika perwujudan gaya bahasa
metafora dapat kita nikmati melalui komunikasi audio dan visual. Maka, metafora dalam
arsitektur dapat kita nikmati melalui sebuah proses pemikiran yang arsitektural. Metafora
dalam arsitektur dibangun melalui perwujudan konsep desain. Melalui pengejewantahan
desain, konsep tersebut ‘dipindahkan’ ke dalam ruang tiga dimensi. Tekstur, bentuk dan
warna dirancang untuk menghasilkan kualitas visual ruang yang unik, meliputi lantai,
dinding, atap dan sebagainya. Ruang-ruang unik inilah yang kemudian membawa makna-
makna khusus sebagai ekspresi metaforik.

Itulah metafora dalam arsitektur. Sebuah gaya bahasa arsitektur yang membawa,
memindahkan dan menerjemahkan kiasan suatu obyek ke dalam bentuk bangunan (ruang tiga
dimensi). Anthony C. Antoniades dalam bukunya, “Poetic of Architecture : Theory of
Design” , mengidentifikasi metafora arsitektur ke dalam 3 kategori, yakni metafora
abstrak (intangible metaphor), metafora konkrit (tangible metaphor) danmetafora kombinasi.
Adanya klasifikasi ini mempermudah kita untuk lebih memahami metafora dalam arsitektur.

Metafora abstrak dapat kita lihat pada beberapa karya arsitek Jepang. Salah satu arsitek
tersebut adalahKisho Kurokawa. Kisho Kurokawa mengangkat konsep simbiosis dalam
karya-karyanya. Kisho Kurokawa mencoba ‘membawa’ elemen sejarah dan budaya pada
engawa (tempat peralihan sebagai “ruang antara” pada bangunan: antara alam dan buatan,
antara masa lalu dan masa depan). Konsep ini diterapkan pada salah satu karya Kisho
Kurokawa yaitu Nagoya City Art Museum. Sejarah dan budaya adalah sesuatu obyek yang
abstrak dan tidak dapat dibendakan (intangible). Oleh karena itu, karya Kisho Kurokawa ini
tergolong pada metafora abstrak.

Stasiun TGV yang terletak di Lyon, Perancis, adalah salah satu contoh karya arsitektur yang
menggunakan gaya bahasa metafora konkrit karena menggunakan kiasan obyek benda nyata
(tangible). Stasiun TGV ini dirancang oleh Santiago Calatrava, seorang arsitek kelahiran
Spanyol. Melalui pendekatan tektonika struktur,Santiago Calatrava merancang Stasiun TGV
dengan konsep metafora seekor burung. Bentuk Stasiun TGV ini didesain menyerupai seekor
burung. Bagian depan bangunan ini runcing seperti bentuk paruh burung. Dan sisi-sisi
bangunannya pun dirancang menyerupai bentuk sayap burung.

Stasiun TGV Lyon

(gambar Stasiun TGV diunduh dari http://cnci.org.za)

Untuk metafora kombinasi, dapat kita lihat pada E.X Plaza Indonesia, karya Budiman


Hendropurnomo (DCM). Dalam buku “Indonesian Architecture Now”, Imelda Akmal
menulis bahwa gubahan massa E.X yang terdiri atas lima buah kotak dengan posisi miring
adalah hasil ekspresi dari gaya kinetik mobil-mobil yang sedang bergerak dengan kecepatan
tinggi dan merespon gaya sentrifugal dari Bundaran Hotel Indonesia yang padat. Kolom-
kolom penyangga diibaratkan dengan ban-ban mobil, sedangkan beberapa lapis dinding
melengkung sebagai kiasan garis-garis ban yang menggesek aspal. Dari konsep-konsep
tersebut, gaya kinetik merupakan sebuah obyek yang abstrak (intangible). Kita tidak dapat
melihat gaya kinetik secara visual. Akan tetapi, ban-ban mobil merupakan obyek yang dapat
kita lihat secara visual (tangible). Perpaduan antara gaya kinetik (obyek abstrak) dan ban-ban
mobil (konkrit) inilah yang menghasilkan metafora kombinasi.

EX Plaza Indonesia

Selain dapat dikategorikan berdasarkan kiasan obyeknya, sebuah karya arsitektur bisa
memiliki multi-interpretasi bahasa metafora bagi yang melihatnya. Sydney Opera
House adalah salah satu contohnya. Sydney Opera House dirancang oleh Jørn Utzon, seorang
arsitek kelahiran Denmark. Setiap orang yang melihat karya arsitektur ini, akan menghasilkan
berbagai macam interpretasi sesuai dengan pikiran masing-masing. Ada yang berpendapat
bahwa konsep metafora Sydney Opera House berasal dari cangkang siput atau kerang. Ada
pula yang berpendapat, karya arsitektur ini adalah kiasan layar kapal yang sedang
terkembang. Dan ada pula yang berpendapat, bagaikan bunga yang sedang mekar.

Sydney Opera House


Itulah keunikan metafora dalam arsitektur. Setiap orang ‘bebas’ mengapresiasi dan
menginterpretasikan sebuah karya arsitektur. Tidak ada yang bisa dikatakan ‘salah’. Arsitek
pun dituntut untuk bisa memperhatikan bagaimana masyarakat ‘membaca’ karyanya.
Metafora dalam arsitektur memberikan sebuah perspektif baru bagi arsitek dan orang awan
untuk menikmati karya arsitektur. Melalui perwujudan kualitas visual, kita dapat menikmati
metafora dalam arsitektur…

Tags: Architect
ektur Metafora (Metaphor Architecture)

Arsitektur Metafora (Metaphor Architecture)


digg

Metafora merupakan bagian dari gaya bahasa yang digunakan untuk menjelaskan sesuatu melalui
persamaan dan perbandingan.

Metafora berasal dari bahasa latin, yaitu “Methapherein” yang terdiri dari 2 buah kata yaitu
“metha” yang berarti: setelah, melewati dan “pherein” yang berarti: membawa.

Secara etimologis diartikan sebagai pemakaian kata-kata bukan arti sebenarnya, melainkan sebagai
lukisan yang berdasarkan persamaan dan perbandingan.

Pada awal tahun 1970-an muncul ide untuk mengkaitkan arsitektur dengan bahasa, menurut Charles
Jenks dalam bukunya “The Language of Post Modern” dimana Arsitektur dikaitkan dengan gaya
bahasa, antara lain dengan cara metafora.

Pengertian Metafora dalam Arsitektur adalah kiasan atau ungkapan bentuk, diwujudkan dalam
bangunan dengan harapan akan menimbulkan tanggapan dari orang yang menikmati atau memakai
karyanya.
Arsitektur yang Berdasarkan Prinsip-prinsip Metafora

1. Mencoba atau berusaha memindahkan keterangan dari suatu subjek ke subjek lain.
2. Mencoba atau berusaha untuk melihat suatu subjek seakan-akan sesuatu hal yang lain.
3. Mengganti fokus penelitian atau penyelidikan area konsentrasi atau penyelidikan lainnya
(dengan harapan jika dibandingkan atau melebihi perluasan kita dapat menjelaskan subjek
yang sedang dipikirkan dengan cara baru).

Kegunaan Penerapan Metafora dalam Arsitektur

Sebagai salah satu cara atau metode sebagai perwujudan kreativitas Arsitektural, yakni sebagai
berikut :

1. Memungkinkan untuk melihat suatu karya Arsitektural dari sudut pandang yang lain.
2. Mempengaruhi untuk timbulnya berbagai interprestasi pengamat.
3. Mempengaruhi pengertian terhadap sesuatu hal yang kemudian dianggap menjadi hal yang
tidak dapat dimengerti ataupun belum sama sekali ada pengertiannya
4. Dapat menghasilkan Arsitektur yang lebih ekspresif.

Kategori Metafora dalam Arsitektur

1. Intangible methaphors, (metafora yang tidak dapat diraba) metafora yang berangkat dari
suatu konsep, ide, hakikat manusia dan nilai-nilai seperti : individualisme, naturalisme,
komunikasi, tradisi dan budaya.
2. Tangible methaphors (metafora yang nyata), Metafora yang berangkat dari hal-hal visual
serta spesifikasi / karakter tertentu dari sebuah benda seperti sebuah rumah adalah puri
atau istana, maka wujud rumah menyerupai istana.
3. Combined methaphors (metafora kombinasi), merupakan penggabungan kategori 1 dan
kategori 2 dengan membandingkan suatu objek visual dengan yang lain dimana mempunyai
persamaan nilai konsep dengan objek visualnya. Dapat dipakai sebagai acuan kreativitas
perancangan

METAFORA (definisi dalam arsitektur)

Posted by calonarsitek pada Oktober 22, 2008

Metafora mengidentifikasikan hubungan antara benda dimana hubungan tersebut lebih bersifat
abstrak daripada nyata serta mengidentifikasikan pola hubungan sejajar. Dengan metafora seorang
perancang dapat berkreasi dan bermain-main dengan imajinasinya untuk diwujudkan dalam bentuk
karya  arsitektur.

Metafora dapat mendorong arsitek untuk memeriksa sekumpulan pertanyaan yang muncul dari
tema rancangan dan seiring dengan timbulnya interpretasi baru. Karya –karya arsitektur dari arsitek
terkenal yang menggunakan metoda rancang metafora,hasil karyanya cenderung mempunyai
langgam Postmodern.

 
Pengertian metafora secara umum berdasarkan Oxford Learner’s Dictionary :

A figure of speech denoting by a word or phrase usually one kind of object or idea in
place of another to suggest a likeness between them

A figure of speech in which a term is transferred from the object it ordinarily designates
to on object it may designate only by implicit comparison or analogies

A figure of speech in which a name or quality is attributed to something to which it is not
literally applicable

The use of words to indicate something different from the literal meaning

Menurut Anthony C. Antoniades, 1990 dalam ”Poethic of Architecture”

Suatu cara memahami suatu hal, seolah hal tersebut sebagai suatu hal yang lain sehingga dapat
mempelajari pemahaman yang lebih baik dari suatu topik dalam pembahasan. Dengan kata lain
menerangkan suatu subyek dengan subyek lain, mencoba untuk melihat suatu subyek sebagai suatu
yang lain.

            Ada tiga kategori dari metafora

intangible Metaphor (metafora yang tidak diraba)

yang termasuk dalam kategori ini misalnya suatu konsep,     sebuah ide, kondisi
manusia atau kualitas-kualitas khusus (individual, naturalistis, komunitas, tradisi dan
budaya)

Tangible Metaphors (metafora yang dapat diraba)

Dapat dirasakan dari suatu karakter visual atau material

Combined Metaphors (penggabungan antara keduanya)

Dimana secara konsep dan visual saling mengisi sebagai    unsur-unsur awal dan
visualisasi sebagai pernyataan untuk     mendapatkan kebaikan kualitas dan dasar.

Menurut James C. Snyder, dan Anthony J. Cattanese dalam “Introduction of Architecture”

Metafora mengidentifikasikan pola-pola yang mungkin terjadi dari hubungan-hubungan paralel


dengan melihat keabstrakannya, berbeda dengan analogi yang melihat secara literal

Menurut Charles Jenks, dalam ”The Language of Post Modern Architecture”


Metafora sebagai kode yang ditangkap pada suatu saat oleh pengamat dari suatu obyek dengan
mengandalkan obyek lain dan bagaimana melihat suatu bangunan sebagai suatu yang lain karena
adanya kemiripan.

Menurut Geoffrey Broadbent, 1995 dalam buku “Design in Architecture”

Transforming : figure of speech in which a name of description term is transferred to some object
different from. Dan juga menurutnya pada metafora pada arsitektur adalah merupakan salah satu
metod kreatifitas yang ada dalam desain spektrum perancang.

About these ads

Metafora Sebagai Pendekatan dalam Mencapai Geometri

Filed under: contemporary theories — notjusthenny @ 23:58


Tags: meaning, metaphor, methods

“Architecture, in other words, is a form of communication, and this communication is


conditioned to take place without common rules because it takes place with the other.”
(Karatani, 1995, p.127)

Metafora berasal dari bahasa Yunani metapherein, berasal dari kata ‘meta’ yang berarti
memindahkan atau menurunkan, dan ‘pherein’ yang berarti mengandung atau memuat. Jadi
secara etimologi, metafora dapat diartikan sebagai pemindahan makna yang dikandungnya
kepada obyek atau konsep lain sehingga makna tersebut terkandung pada obyek yang
dikenakan baik melalui perbandingan langsung maupun analogi. Penggunaan metafora ini
pada umumnya terdapat dalam suatu tata bahasa, di mana kemudian suatu kalimat tertentu
jika dimaknai secara denotatif maka akan terlihat mengandung makna yang tidak sesuai tetapi
jika dipahami secara konotatif akan menyampaikan makna lain yang sesuai dengan konteks
yang sedang dibicarakan. Namun tentu saja, tanpa konteks terkait, kalimat yang sama tetap
dapat dipahami sebagai sesuatu yang bermakna denotatif. Namun dengan demikian, ia tidak
memegang peranan sebagai sebuah metafora.

Seperti yang dinyatakan Karatani, arsitektur dapat dipahami sebagai suatu bentuk komunikasi
yang selalu terkait dengan hal-hal lain di luar dirinya. Sebagai suatu bentuk komunikasi,
arsitektur sering dikaitkan dengan suatu sistem bahasa. Dengan pemahaman bahwa arsitektur
sering sekali dipahami sebagai suatu sistem  bahasa yang menyampaikan makna tertentu,
maka metafora juga menjadi suatu hal yang sering dipakai sebagai pendekatan mendisain
arsitektur, terutama dalam proses menemukan bentuk geometrinya.

Pendekatan metafora dalam mendisain biasanya dilakukan dengan analogi. Dalam mencari
bentuk arsitektur ketika merancang, tidak jarang kita akan menggunakan analogi dari sebuah
benda untuk diterjemahkan ke dalam bentuk-bentuk arsitektur. Dengan melakukan ini, kita
seolah memindahkan karakter pada benda yang sebelumnya ke dalam arsitektur, sehingga
bentuk arsitektur yang muncul adalah penggambaran dari karakteristik tersebut. Metode ini
dilakukan dengan mengambil suatu makna tertentu yang akan ‘dibawa’ oleh suatu bentuk
arsitektur. Seringkali kemudian, bentuk arsitektural yang muncul melambangkan makna yang
dikenakan padanya tersebut.

Dalam studio perancangan dulu, seringkali ada yang mengambil suatu obyek tertentu untuk
dijadikan dasar dalam pencarian dan pengolahan bentuk arsitektural. Obyek tersebut
direfleksikan karakternya ke dalam bentuk arsitektur yang akan dihasilkan nantinya.
Misalnya bunga dengan karakternya yang sedang mekar (blossoming) dan lalu hal itu
diterjemahkan ke dalam sebuah bentuk geometri dengan menampilkan geometri yang seolah-
olah menggambarkan setangkai bunga yang mekar, atau karakter perempuan yang anggun
diterjemahkan ke dalam bentuk yang meliuk-liuk yang dianggap elegan dan menggambarkan
karakter feminin. Metafora seperti inilah yang kemudian sering disebut ekspresi dalam
arsitektur. Bentuk-bentuk arsitektur tertentu mengekspresikan suatu makna yang sengaja
dilekatkan padanya melalui analogi dengan obyek lain.

Seringkali, dalam menghasilkan bentuk arsitektur, metafora ini digunakan secara literal. Ini
menyebabkan arsitektur yang dihasilkan tidak lagi sebuah ‘ekspresi’, tetapi benar-benar
penggambaran dari obyek yang dianalogikan dengannya. Ini dapat dilihat dari beberapa
bangunan yang memiliki bentuk-bentuk iconic sebagai berikut:
a .)     Home Office of The Longaberger Company, Amerika Serikat

b.)     Gedung Piano, An Hui, China

c.)     Kansas City Library, Amerika Serikat

Obyek yang dijadikan sebagai awal penggalian ide bentuk benar-benar dihadirkan secara
literal dalam bentuk bangunannya. Lalu apakah ini, sebenarnya, bernilai metafora?

Jika melihat dalam konteks bahasa, suatu kalimat yang bermakna metaforikal biasanya akan
membuka kemungkinan terhadap interpretasi dan pengekpresian lainnya di samping jika ia
dicoba untuk dipahami secara denotatif (literal). Misalnya jika sebuah kalimat menyatakan
‘kakek tua itu banyak makan garam’, tentu saja ia dapat bermakna baik secara literal maupun
metaforikal. Secara literal, ia dipahami sebagaimana kalimat itu hadir, seorang kakek tua
benar-benar mengkonsumsi garam dalam jumlah banyak, namun secara metaforikal, ia akan
dipahami sebagai suatu ekspresi yang menyatakan bahwa kakek tua yang dimaksud memiliki
banyak pengalaman hidup (‘banyak makan garam’).

Jika ini direfleksikan dalam arsitektur, maka jika kita melihat contoh-contoh bangunan di
atas, kita akan langsung dapat memahaminya sebagai ekspresi yang literal. Misalnya pada
bangunan ketiga, bangunan tersebut adalah sebuah gedung perpustakaan di Connecticut, dan
lalu untuk menyatakan bahwa fungsi tersebutlah yang ditampungnya dalam gedung itu, kita
akan langsung dapat membacanya dari tampak bangunan tersebut. Tidak ada lagi ruang
tersisa untuk interpretasi dan pemaknaan lainnya dari bentuk yang ia tampilkan.

Arsitek seperti Frank Gehry juga kerap menggunakan metafora dalam proses pencapaian
bentuk geometrinya. Salah satu contohnya adalah Guggenheim di Bilbao. Bentuk bangunan
ini sering diinterpretasikan  sebagai seekor ikan, walaupun ia tidak secara eksplisit tergambar
seperti itu. Namun konteks kota Bilbao yang berada di antara dua sungai dan tapak
Guggenheim sendiri yang berada di tepi air menjadi salah satu faktor yang mengundang
orang-orang untuk berinterpretasi mengenai gambaran ‘ikan’ tersebut.

Guggenheim Museum, Bilbao


Sejauh ini, metafora kemudian hanya sebatas digunakan untuk menemukan bentuk luar
(shape). Apakah hanya sedemikian jauh metafora dapat digunakan dalam mendisain, untuk
mencari bentuk fisik?

Mungkin kita harus melihat bagaimana arsitek Jepang Tadao Ando memanfaatkan metafora
dalam menggagas tidak hanya shape tetapi form secara keseluruhan. Ia menggunakan analogi
metaforikal untuk mengolah suasana dan kualitas ruang dalam bangunannya. Analogi yang
digunakan berasal dari upacara minum teh Jepang yang disebut ‘sukiya’, di mana orang yang
mengikuti upacara tersebut akan duduk dalam keheningan yang memungkinkan untuk
mengantarkannya pada sebuah kontemplasi. Di sini kualitas silent dan contemplative adalah
dua hal yang paling utama yang digarisbawahi Ando. Oleh karena itu, Ando merefleksikan
kualitas ini ke dalam ruang-ruang yang dirancangnya. Hal ini dapat dilihat dalam karya-karya
arsitektural Ando yang banyak mengesankan keheningan (silence), sehingga arsitektur Ando
sering disebut sebagai architecture of silence. Kesan hening tersebut diwujudkan Ando dalam
form arsitektural dengan menggunakan material beton ekspos yang berkesan diam, dan
memanfaatkan pencahayaan natural yang memperkuat kesan hening tersebut dengan hanya
memasukkan beberapa berkas cahaya saja ke ruang dalamnya. Ini dapat dilihat pada karya
Ando seperti Church of the Light.

Church of the Light, Osaka.

Dari sini kita dapat melihat analogi metaforikal kemudian tdak hanya dapat digunakan untuk
membentuk shape, tetapi lebih jauh ke dalam, untuk menghasilkan kualitas ruang dan form
yang membentuknya.

Selain Ando, arsitek yang banyak menggunakan metode metafora ini adalah arsitek Spanyol
Santiago Calatrava. Calatrava sering menggunakan metafora tubuh makhluk hidup sebagai
basis perancangannya. Ini kemudian ia terapkan dalam sistem struktur yang sering menjadi
karakter rancangan arsitektural Calatrava.

Dari sini kita dapat melihat bagaimana metafora juga dapat digunakan untuk mempelajari
suatu sistem yang kemudian diterapkan dalam disain arsitektur. Analogi yang dilakukan
Calatrava berdasar pada  sistem tubuh makhluk hidup dapat ia manfaatkan untuk
menghasilkan tidak hanya sebatas shape tetapi sistem yang membentuknya, dalam hal ini
yang Calatrava wujudkan dalam sistem struktur.

Karya arsitektural Calatrava:

a.)     Milwaukee Art Museum

b.)   Chords Bridge

Dari contoh-contoh di atas, kita dapat melihat bagaimana metafora dapat digunakan dalam
menemukan dan menghasilkan geometri sebuah arsitektur. Penggunaan metafora sering
direduksi hingga hanya berupa analogi langsung yang kadang lebih bersifat literal dan bahkan
simbolisasi langsung dari obyek yang digunakan sebagai pemicu gagasan, yang kemudian
menghasilkan bentuk-bentuk yang langsung terlihat sebagai obyek yang dimetaforakan.
Padahal, pendekatan metafora ini seharusnya dapat digunakan untuk menghasilkan arsitektur
yang lebih kaya dari pada hanya di permukaan seperti itu. Metafora, sebagai sebuah
pendekatan mendisain, akan lebih baik jika dipahami sebagai sebuah penggalian yang dalam
terhadap sebuah konsep yang akan digunakan sebagai basis dalam merancang, sehingga
arsitektur yang dihasilkan nantinya tidak sebatas di permukaan, tetapi lebih dalam, metafora
tersebut juga membentuk ruang-ruangnya.

Daftar Pustaka :

Karatani, Kojin. (1995). Architecture as Metaphor. Cambridge: MIT Press

Francesco Dal Co, Ed. (1995). Tadao Ando: Complete Works. London: Phaidon Press

http://en.wikipedia.org/wiki/Church_of_the_Light

http://en.wikipedia.org/wiki/Santiago_Calatrava

http://en.wikipedia.org/wiki/Guggenheim_Museum_Bilbao

http://en.wikipedia.org/wiki/Bilbao

http://secret-architecture.blogspot.com/2008/12/arsitektur-terunik-di-dunia.html
About these ads

Comments (4)

4 Comments »

1. Representasi arsitektur tidak hanya mengenai bagaimana bentuk arsitektural itu hadir,
namun juga dari mana ide itu kemudian muncul. Mencoba memahami kembali
metafora berdasarkan yang dikemukakan Henny. Bagaimana rancangan arsitektur
yang mencoba me-‘metaforkan’ hal-hal yang bersifat abstrak? Seperti memetaforkan
sebuah memori/cerita mengenai kondisi sosial budaya manusia, atau sebuah
perjalanan sejarah yang si arsitek belum pernah melihat atau mengalaminya. Ataukah
memang metafora selalu mengacu pada yang terwujud secara fisik, atau yang terlihat?

Comment by nurulislami — June 2, 2010 @ 00:07

2. Mohon dikoreksi ya kalau tidak sesuai konteks:


Kalau pendeketannya seperti ini, Anthony C. Antoniades dalam bukunya, “Poetic of
Architecture : Theory of Design” , mengidentifikasi metafora arsitektur ke dalam 3
kategori, yakni metafora abstrak (intangible metaphor)seperti yang terjadi pada Kisho
Kurokawa saat mengangkat konsep simbiosis dalam karya-karyanya. Kisho
Kurokawa mencoba ‘membawa’ elemen sejarah dan budaya pada engawa (tempat
peralihan sebagai “ruang antara” pada bangunan: antara alam dan buatan, antara masa
lalu dan masa depan) , yang kedua metafora konkrit (tangible metaphor) dan terakhir
metafora kombinasi.

Dan bisa jadi wujud fisik yang terjadi pun tetap akan membuka wacana bebas akan
interpretasi yang muncul, dan tidak terkotak-kotakkan secara kaku ?

Comment by datunpaksi — June 2, 2010 @ 01:56

3. @nurulislami metafora tidak selalu harus berangkat dari obyek fisik kok. dan
memang ada yang namanya metafora abstrak seperti yang sudah dikemukakan
datunpaksi, yang idenya bisa berawal dari satu konsep tak berwujud. namun tetap saja
kan, selama kita berbicara arsitektur, hasil yang [harusnya] muncul adalah apa yang
terlihat/memiliki wujud. namun justru itu poin yang saya soroti di sini, apa pun ide
awalnya, baik itu metafora abstrak maupun metafora konkrit atau kombinasinya, akan
lebih baik kalau itu tidak hanya pada permukaan atau hanya membentuk fasad
maupun massa, namun sampai ke dalam ruangnya, sehingga ketika orang-orang
menggunakan/berada dalam karya arsitektur tersebut, mereka dapat memahami ide
obyek/konsep yang digunakan sebagai ide dalam merancang ruang tersebut. jadi
misalnya ketika seseorang berawal dar ide tentang ‘pertumbuhan’, akan lebih baik
kalau konsep ini tidak hanya dihadirkan melalui simbolisasi bentuk massa yang
menggambarkan proses pertumbuhan, tapi ketika manusia bergerak di dalamnya dan
mengalami ruangnya, ia dapat merasakan esensi ‘pertumbuhan’ itu. saya pikir
memang bagian ini yang membuat arsitektur ketika dikaitkan dengan metode
metafora menjadi sulit, tapi menjadikannya lebih menarik.

Comment by notjusthenny — June 9, 2010 @ 16:44


4. mohon saran disini saya ingin bertanya tentang pemahaman teori metafor secara
abstrak,disini yang saya mau tanyakan adalah tentang tugas akhir planetarium saya
apa bisa dengan menggunakan tema piring terbang yang belum jelas kebenaranya/
validasi dari benda tersebut untuk dipakai sebagai rana perancangan
nantinya.reverensi yang saya tau seperti museum yang di buat kurokawa akan tetapi
beliau tidak mengambil wujud benda tapi filosofi jadi tidak bisa dibuat
pembanding……… sebelumnya mohon maaf kalau tidak sesuai konteks……terima
kasih

Comment by heni — September 24, 2010 @ 14:10

RSS feed for comments on this post.

Rabu, 12 Januari 2011


Teori Transformasi
1. Pengertian transformasi dalam arsitektur
Transformasi dapat diartikan sebagai perubahan bentuk yaitu perubahan bentuk dari deep structure
yang merupakan struktur mata terdalam sebagai isi struktur tersebut ke surface structure yang
merupakan struktur tampilan berupa struktur material yang terlihat. Menrut Josef Prijotomo dalam
Rahmatia 2002, apabila di indonesiakan kata Transformasi dapat disepadankan dengan kata
pemalihan, yang artinya perubahan dari benda asal menjadi benda jadiannya. Baik perubahan yang
sudah tidak memiliki atau memperlihatkan kesamaan atau keserupaan dengan benda asalnya,
maupun perubahan yang benda jadiannya masih menunjukan petunjuk benda asalnya.
Adapun kategori transformasi dalam desain yaitu :
a. Desain pragmatic
Desain pragmatic menggunakan bahan dasar material, seperti tanah, batu, batang pohon, ranting-
ranting, bambu kulit binatang atau kadang salju. Proses yang dilakukan dengan cara trial and error
hingga memunculkan suatu bentuk yang terlihat melayani tujuan desainer. Kebanyakan bentuk
bangunan sepertinya dimulai dari cara ini. Desain ini digunakan dalam desain dengan material baru.
Usaha besar-besaran adalah contoh yang sangat baik dan usaha ini masih digunakan ketika akan
menggunakan bahan material baru, seperti plastic air houses dan struktur suspension. Baru pada
akhir-akhir ini, setelah dua decade desain pragmatic, dasar-dasar teori untuk desain struktur
semacam mulai muncul. Dengan demikian suatu desain akan mengalami transformasi pragmatic
ketika desain tersebut memiliki kriteri dengan menggunakan bahan material sebagai dasar
pengolahan bentuk desainnya atau sebagai raw materialnya.
b. Desain typologic
Desain topologic dimulai dari mental image yang telah fiks dari bentuk-bnetuk bangunan yang telah
dikenal sebagai solusi terbaik untuk penggunaan material yang telah dikenal sebagai solusi terbaik
untuk penggunaan material yang didapat di sebagian tempat dengan bagian iklimnya, rumah yang
mewujudkan gaya hidup, mekanisme arsitektur primitive dan vernakuler tetapi masih digunakan
oleh arsitek-arsitek yang kurang dikenal dalam mengikuti desain-desain dari form givers. Desain ini
juga menyertakan fakta budaya sebagai bagian mental image. Sering digunakan penggunaan budaya
primitif seperti legenda, tradisi yang menggambarkan adaptasi mutual dengan menempatkannya
diantara way of life dan bentuk bangunan.
Dengan demikian suatu desain akan mengalami transformasi typologic ketika desain tersebut
memiliki kaitan budaya suatu daerah, memberikan image tentang daerah atau budaya tertentu.
c. Desain Analogical
Desain analogical menggambarkan visual analogi ke dalam solusi permasalahan desain seseorang.
Ada alas an simbolik untuk ini, analogi juga memperlihatkan mekanisme arsitektur yang kreatif. Pada
abad ke-20 sangat banyak arsitektur yang digambarkan pada lukisan dan sculpture sebagai sumber
analogi, tetapi analogi dapat juga menjadi gambaran seseorang (personal analogy) dan konsep
abstract filosophical (sebagai sebuah hadirnya keasyikan yang tidak ditentukan).
Desain analogi memerlukan penggunaan beberapa medium sebagai sebuah gambaran untuk
menerjemahkan keaslian kedalam bentuk-bentuk barunya. Beberapa desain analogi seperti gambar,
model atau program computer akan mengambil alih dari desainer dan mempengaruhi jalan
desainnya.
Dengan demikian suatu desain akan mengalami transformasi analogical ketika desain tersebut
memiiki kriteria penggambarantentang sesuatu hal. Hal ini dapat berupa benda, watak atau
kejadian.
d. Desain Canonic
Desain canonic (geometri) didasari dari grid-grid dan axis dari gambaran desain awal. Hal ini
menjadikan usaha untuk menyamai atau melebihi pekerjaan-pekerjaan besar dari system-
sistemproporsi. Tinjauan bentuk-bentuk mengenai seni dan desain yang dapat disokong oleh
system-sistem proporsional ini diterima dari Geometri Greek (Phytagoras) dan filsuf klasik (seperti
Plato). Pada abad kedua puluh ini banyak desain yang berdasar pada persepsi serupa, seperti system
modular, koordinasi dimensional, bangunan bersistem fabrikasi. Namun teknik baru matematikal
bnayak disukai oleh para desainer untuk mendorong lebih lanjut ketertarikan ini.
Sehingga suatu desain akan mengalami transformasi canonic ketika desain tersebut menggunakan
pendekatan geometrical sebagai raw materialnya baik itu dalam system konvensional maupun
system komputasi.

2. Saluran-saluran transformasi
Untuk mencapai keempat moda transformasi diatas ada beberapa saluran yang dapat dilalui, yaitu :
a. Material
Penggunaan material bangunan dipilih berdasarkan konsekuensi bahwa material tersebut dapat
system struktur dan penataan fungsi. Konsekuensi ini menimbulkan suatu penataan dan struktur
yang berdasar material, misalnya system modular. Namun pemilihan bahan juga dapat
mempengaruhi tampilan arsitektur, misalnya mengenai tekstur pada eksterior maupun interior, detil
finishing dan sebagainya.
Namun begitu pemilihan material ini cenderung memilih yang paling gampang didapatkan di daerah
tempat karya tersebut dibuat.
Kriteria saluran transformasi ini adalah :
Tema : Material
Transformasi : - Penggunaan teknologi
- Eksplorasi sifat bahan
Alat : Bidang permukaan, tampak, massa
Tampilan visual : - Penonjolan tekstur bahan
- Penonjolan system konstruksi
- Penampilan sifat bahan
b. Pemalihan
Berdasarkan strategi pembentukannya, terdapat tiga macam transformasi, pertama adalah strategi
tradisional sebagai evolusi progresif dari sebuah bentuk melalui penyesuaian langkah demi langkah
terhadap batasan-batasan eksternal, internal dan artistic.
Pembentukan kedua adalah dengan peminjaman dari objek-objek lain dan mempelajari property
dua dan tiga dimensinya sambil terus menerus mencari kedalaman interpretasi dengan
memperhatikan kelayakan aplikasi dan validitasnya. Transformasi peminjaman ini adalah
pemindahan rupa dan dapat pula dikualifikasikan sebagai metaphor rupa.
Pembentukan yang ketiga adalah dekonstruksi atau dekomposisi, yaitu sebuah proses dimana
susunan yang ada dipisahkan untuk mencari cara baru dalam kombinasinya dan menimbulkan
sebuah kesatuan baru dan tatanan baru dengan strategi structural dan komposisi yang berbeda.
Dalam melakukan transformasi ada empat tahapan yang dilalui untuk dapat mengakomodasi
kepentingan perancang dan klien. Pertama pernyataan visual dari keragaman pendekatan
konseptual terhadap permasalahan melalui semua dokumen. Kedua, evolusi terhadap ide-ide untuk
dapat memilih yang paling memuaskan semua pihak sebagai alternative optimal dan dijadikan dasar
untuk transformasi berikutnya. Ketiga adalah transformasi alternative sebagai optimalisasi dari
keseluruhan dan bagian-bagian sebuah objek. Terakhir adalah mengkomunikasikan hasil akhir dari
suatu transformasi kepada orang lain sehingga dapat dibaca dan dipahami, kemudian diterima dan
dibangun.
Kriteria saluran transformasi adalah :
Tema : Fungsi, bentuk
Transformasi : Evolusi tradisional, pemecahan (break), pengirisan
(cut), pembagian (segment), penambahan (addition), pergeseran (friction), pengumpulan
( accumulation), penumpukan (stracking), penembusan (penetration), penjalinan (interlacking),
pertautan (meshing), peminjaman, pemindahan rupa, dekonstruksi.
Alat : Massa, bentuk permukaan, detil
Tampilan visual : - simetri-asimetri
- Regular- irregular
c. Eksotik dan multicultural
Eksotik memiliki dua pengertian, pertama adalah eksotik dalam hal fisik dan yang kedua adalah
eksotik dalam metafisik. Eksotik secara fisik mempunyai konotasi geografik, yaitu berkaitan dengan
suatu tempat yang berada di luar lingkungan seseorang, semakin jauh semakin kuat daya eksotiknya.
Sedangkan eksotik metafisik memiliki eksotik konotasi negatif. Eksotik metafisik untuk menjaga
sesuatu dari kejauhan, mengacaukan pikiran, menghilangkan orientasi atau membuat rusak pribadi
seseorang. Oleh karena itu dalam karya rancangan harus dapat memuat pemahaman tentang
masyarakat, iklim, material, metode konstruksi dan teknik-teknik yang terdapat dalam tempat asing
yang dirancang tersebut.
Kriteria saluran transformasi ini adalah :
Tema : Keganjilan fenomena, pertautan budaya, sejarah
Transformasi : Peniruan, perpaduan
Alat : Site, material, detil
Tampilan visual : Suasana, symbol
d. Kompleksitas dan kontradiksi
Dalam kompleksitas dan kontradiksi bahan mentah yang ditransformasikan dapat bermula dari
aspek kesejarahan ataupun seni-seni popular. Sedangkan alat yang digunakan akan lebih sering
menggunakan elemen-elemen yang biasa dikenal atau elemen-elemen konvensional.
Secara sederhana kompleksitas arsitektur ditandai dengan adanya penggunaan elemen-elemen baik
itu dalam wujud bidang, bentuk, warna atau kegunaan atau yang lain yang beraneka. Penggunaan ini
merupakan penggunaan secara bersama-sama untuk membentuk sebuah komposisi tanpa
menghilangkan sifat asli dari elemen-elemen dasar tersebut. Namun jika elemen-elemen dasar
tersebut telah mampu melebur menjadi suatu bentuk jadian yang berubah dari sifat dasarnya, maka
bukan sekedar kompleksitas yang terjadi terjadi tetapi lebih merupakan sebuah kontradiksi.
Bentuk-bentuk transformasi yang memungkinkan antara lain merupakan penerapan kaidah-kaidah
tersebut. Seperti adanya kompleksitas bentuk atau both-and dan kompleksitas fungsi atau double
function.
Kriteri saluran transformasi ini adalah :
Tema : Elemen bangunan sejarah, seni popular
Transformasi : Pembaruan, pengironian
Alat : - Elemen-elemen bangunan konvensional
- Elemen-elemen yang telah biasa dikenal
Tampilan visual : Simbolik
e. Historicism dan preseden
Batasan kreasi pada bangunan dalam bingkai historicism adalah perolehan pengetahuan dari
budaya, teknologi dan filosofi. Penggunaan historicism harus meliputi referensi sejarah yang benar.
Preseden dari waktu yang telah lewat mungkin tidak lagi relevan dengan budaya sekarang atau
dengan faktor lain di jaman sekarang. Untuk itu setiap budaya harus diposisikan dalam bingkai waktu
tertentu. Walaupun begitu menghindari preseden dalam waktu tertentu akan dapat menghilangkan
proses desain pada kesempatan evolusi yang baik. Untuk itu perlu dihindari karya-karya yang
bersifat tiruan dan jiplakan supaya terhindar pula dari karya-karya yang berapresiasi rendah.
Sekalipun karya yang dihasilkan akan bersifat eklektik namun hal ini dapat dicapai dengan unsure-
unsur kontekstual dengan mempertimbangkan makna primordialnya. Penggunaan aspek budaya,
teknologi dan filosofi dimana harus memiliki referensi sejarah yang benar dan preseden yang tepat.
Kriteria saluran transformasi ini adalah :
Tema : Bangunan sejarah, artefak
Transformasi : Evolusi
Alat : Denah, tampak, suasana
Tampilan visual : Eklektik, kontekstual, primordial

f. Imagery, Mimesis, Literality


Terdapat sebuah dugaan dalam Arsitektur bahwa peniruan tidak dapat menciptakan kreatifitas.
Peniruan adalah sebuah konsep peminjaman dan asal mula, telah melalui controversial sejarah
dalam arsitektur.
Kreatifitas dalam interpretasi literal, yaitu mitasi dengan dasar imajinasi spesifik tidak dapat dilarang,
yang perlu diantisipasi adalah seorang Arsitek salah memperkirakan potensi perasaan untuk
merasakan dan melihat konsep-konsep diluar interpretasi yang dimaksud karena pada kenyataannya
apa yang terlihat sering menutupi apa sebenarnya.
Tidak dapat disangkal bahwa kemungkinan eksplorasi desain dapat melalui imitasi, derivasi sampai
eklektisasi. Karya yang baik akan mengangkat arsitektur ke tingkat mimetic art yang lain sebagai
bagian yang esensial dalam hidup dan membuang literality dan devirasi yang dangkal.
Krieteria saluran transformasi ini adalah :
Tema : Elemen morfologi, style
Transformasi : Peniruan, peminjaman, derivasi
Alat : Massa, tampak
Tampilan visual : - Kemiripan visual
- Penonjolan makna haarfiah
g. Metaphora
Kekuatan metaphor akan menjadi bantuan dasar bagi imajinasi karena memungkinkan untuk
pengujian dan pengembangan imajinasi dan fantasi perancang. Dengan demikian metaphora ini
akan menjadi resep tambahan yang memperluas dan memperdalam kemampuan fantasi dan
imajinasi perancang.
Secara luas metaphora dapat dikategorikan dalam tiga hal : pertama, metaphora yang tidak dapat
diraba, yaitu penciptaan konsep, ide, kondisi manusia atau jumlah kasus. Kedua adalah metaphora
yang dapat diraba yaitu mengacu pada beberapa visual atau sifat material seperti sebuah rumah
yang berupa kastil. Sedangkan yang ketiga adalah metaphora kombinasi dari keduanya yaitu antara
konsep dan visual saling tumpang tindih sebagai resep dari titik awal dan visual digunakan untuk
mengawasi nilai.
Dari ketiga metaphora tersebut dapat dibedakan lebih jauh lagi didasarkan pada kekuatan masing-
masing situasi dengan tujuan dari evaluasi kritik atau latar belakang tujuan desain.
Kriteria saluran transformasi ini adalah :
Tema : Apa saja
Transformasi : Pengkiasan / Metaphora
Alat : - Tidak dapat diraba ( ide, konsep, kondisi manusia)
- Dapat diraba (tampilan visual, material)
- Kombinasi
Tampilan visual : Kemiripan visual, simbolik
h. Paradoks
Paradoks sesungguhnya merupakan sebuah saluran untuk keabadian. Paradoks adalah saluran yang
paling diminati untuk kreativitas. Berdasarkan sejarah paradoks telah dikembangkan sebagai sebuah
arti untuk mengkritik dan untuk menggambarkan sebuah titik kritis yang menyarankan jalan
alternatif dalam menjalankan sesuatu. Hal ini diartikan sebagai tingkatan yang ironis yang
didalamnya berisi humor dan pada saat subjek menjadi duniawi, seringkali seperti mencari Tuhan.
Kriteria saluran transformasi ini adalah :
Tema : Pemikiran prasangka
Transformasi : Pembalikan, pembelokan, dekonstruksi
Alat : Massa, tampak, denah
Tampilan visual : di luar pandangan umum manusia
i. Geometri
Berkaitan dengan kreatifitas arsitektural geometri memiliki daya tarik tersendiri. Dimulai dari Plato
yang merupakan tokoh pertama yang mengungkapkan unsur kepastian dan hokum-hukum yang
mengatur zat padat sebagai zat padat Platonik. Sementara yang lain masih menunjukan kelemahan
manusiawi yang seringkali terlupakaan dan tidak seorangpun mengetahui siapa yang menemukan
garis agung dan bentuk terbalik.
Bentuk-bentuk geometri tertentu dapat menghasilkan struktur dan simbolisme karena pembahasan
segi estetika bukan pada bentuk mana yang paling tepat tetapi mengenai kehalusan penerapannya.
Elemen-elemen bangunan yang kelihatan. Sub elemen ketinggian, kesesuaian dan ketidaksesuaian
setiap bagian dengan keseluruhan bangunan mendapat perhatian dalam porsi yang besar. Geometri
menawarkan kesiapannya untuk melayani kreatifitas yang kuat karena tidak peduli apa yang terjadi.
Kriteria saluran transformasi ini adalah :
Tema : Bentuk-bentuk geometri
Transformasi : Peningkatan dimensi, pemejalan, pengosongan
Alat : Massa
Tampilan visual : Grid monotonic, blank box, bidang dan volume
j. Poetry dan literature
Apresiasi terhadap suatu karya dan variasi konsep dari grup satu ke grup lain, dari budaya satu
kebudaya lain akan berbeda dalam mental image, kolektif memori dan perilaku. Watak negative dan
positif penerima dari poetry dan literature akan sangat berguna sebagai makna untuk rangsangan
idea atau aspirasi arsitektural. Sehingga rangsangan aspirasi dari poetry dan literature ini secara
umum dapat dibedakan menjadi dua. Pertama inspirasi langsung yaitu interpretasi literal dari
penggambaran lingkaran kerja literature . kedua adalah kasus inspirasi ketika arsitek di ilhami oleh
suatu bacaan yang dia baca dan termotifasi untuk menulis. Arsitek mencatat ide-idenya dan
menjadikannya tulisan secara sistematik baik dalam wujud fiksi, puisi ataupun easy yang sebelum
atau sesudahnya telah dilanjutkan untuk catatan pribadi ataupun untuk dipublikasikan.
Kriteri saluran transformasi ini adalah :
Tema : Cerita, struktur, bahasa suatu poetry atau leteratur
Transformasi : Penggambaran, pengkiasan
Alat : Tampak, massa, situasi
Tampilan visual : Penekanan wujud dan bentuk

3. Kaitan moda dan saluran transformasi


Moda transformasi adalah penggolongan umum mengetahui makna yang disalurkan dalam
arsitektur. Sedangkan saluran transformasi lebih merupakan saluran kreatifitas untuk mencapai
wujud karya arsitektur yang termuat oleh makna yang dimaksud.
Moda transformasi dapat dilaksanakan untuk memenuhi maksud tujuannya dalam menyampaikan
makna (deep structure ) ke dalam tampilan karya arsitektur (surface structure) dengan memulai
saluran-saluran transformasi yang kriterianya tergolong dalam moda tersebut. Adapun saluran moda
untuk mengubah struktur dari deep structure ke dalam surface structure sehingga terwujud karya
arsitektur adalah :
a. Moda Pragmatik, dengan saluran material
b. Moda Typologic, dengan saluran pemalihan, eksotik dan multicultural, kompleksitas dan
kontradiksi
c. Moda Analogic, dengan saluran historicism dan preseden, imagery, mimesis dan literality,
metaphor, paradoks, poetry dan literature
d. Moda Canonic, dengan saluran geometri

4. Tampilan visual
Seorang pengamat akan menginterpretasi suatu tempat sebagai mana yang dimiliki oleh tempat
tersebut. Interpretasi ini sebagian besar sesuai dengan bentuk visual yang ditampilkan oleh tempat
tersebut. Sehingga ketika makna ini mendukung tanggapan, maka tempat tersebut dikatakan
memiliki kualitas yang disebut kecocokan visual ( Bantley dalam rahmatia 2009 ).
Kecocokan visual suatu tempat dapat diperkuat suatu pemberian interpretasi lingkungan dengan
dukungan dari tiga tingkatan yang berbeda. Pertama, dengan dukungan sifatnya yang mudah dibaca,
baik dalam hal bentuk maupun guna. Kedua, dengan dukungan keragamannya. Sedangkan yang
ketiga adalah dengan dukungan lingkungan yang menawarkan pilihan aktifitas baik dalam skala
besar maupun kecil.
Detil tampilan dari keragaman bangunan hendaknya dapat membantu pembacaan mengenai apa
yang terjadi dengan pembuatan image suatu lingkungan agar terlihat cocok sebagaimana latar
masing-masing pengguna atau pengamat. Sedangkan mengenai tawaran aktifitas, haruslah mampu
memperkuat potensi tawaran pilihan ini dengan memperlihatkan kesesuaian untuk seluruh
pengguna. Sedangkan cirri-ciri visual lebih mengacu pada kualitas typology arsitektural.
Berdasarkan dari uraian teori transformasi, saluran transformasi yang sesuai dengan pokok latar
belakang yang menerima material baru dan menjadikan sejarah sebagai titik berangkat adalah
saluran transformasi material dan pemalihan dengan pengaplikasiannya pada detil bangunan.

Diposkan oleh Izzat Arch ST di 00.02

Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook

Masalah Regionalisme dalam Desain Arsitektur

Oleh:
Nasbahry Couto & Harmaini Darwis

Karya arsitektur dapat meningkatkan persepsi (kesan) tentang tempat, bentuk dan
atau budaya. Sebab, melalui karya arsitektur dapat diekspresikan identitas budaya
bangsa atau sub kultur. Karenanya, arsitektur itu penting untuk menunjukkan
keberadaan komunitas, bangsa atau etnik, budaya lokal, atau tradisi setempat.
Umumnya kesan seperti ini dicari oleh pengunjung yang datang ke sebuah tempat
tertentu di dunia. Dia akan bertanya “dimana ini?”, apa keunikannya dan seterusnya.
Indonesia memang kaya dengan arsitektur lokal yang berbahan kayu, hal ini dapat
dilihat dari karya-karya arsitektur lokal di Indonesia. Sedangkan pengembangan
mutunya ditentukan oleh standar konstruksi dan keputusan untuk pengembangan
bentuk keunikannya. Dari beberapa penelitian dan juga pembahasan tentang
arsitektur lokal, ternyata arsitektur khas itu dapat diekspresikan bukan hanya dari
atap atau kulit luar bangunan. Banyak pilihan lain untuk mengekspresikan suasana
lokal itu. Misalnya, melalui suasana lingkungan lokal, perkembangan gaya lokal yang
banyak ragamnya itu, elemen-elemen bangunan, atau melalui prinsip eklektik
dengan mengambil unsur-unsur yang dianggap penting dari unsur bangunan tradisi
lokal. Regionalisme dalam arsitektur itu banyak pilihan. Ungkapan regionalisme itu
seyogyanya berkembang dalam berbagai jalur. Oleh sebab itu taksonomi
regionalisme arsitektur harus dipahami guna untuk merancang bentuk arsitektur
lokal itu.Tulisan ini mencoba untuk mengkaji kecendrungan arsitektur di Sumatera
Barat yang mengikuti dua jalur, yaitu (1) yang berorientasi ke masa lampau, dan (2)
yang berorientasi ke masa kini. Dalam hal ini terlihat bahwa, pelaku arsitektur
regionalisme sangat berperan dalam meujudkan arsitektur regional itu. Pelaku itu
baik perancang, pengambil keputusan, pembangun (steakholder), masyarakat,
adalah kekuatan yang mengarahkan, merekayasa, dan melestarikan  arsitektur lokal
itu, dan atau sebaliknya justru merusak kesan yang ingin disampaikan melalui
ungkapan arsitektur region itu.

A. Pendahuluan
Arsitektur adalah suatu bidang seni-sosial (Anderson, Lawren B.,2002), sebab
pengembangannya tidak semata oleh individu, tetapi oleh masyarakat. Hal ini
menonjol sekali terlihat dari contoh-contoh praktik arsitektur baik di Sumatera Barat,
maupun Indonesia, dimana peran masyarakat menonjol dalam menentukan bentuk-
bentuk arsitektur. Hal ini dapat berbeda dengan arsitektur yang dikembangkan
semata oleh kekuatan ekonomi  kapitalis. Dimana peran sosial direduksi oleh
kekuatan-kekuatan individu perancang liwat perusahaan besar atau multi-nasional.
Model yang terakhir ini dapat saja terjadi di Indonesia. Dimana steakholder  dari luar
komunitas juga  berperan dalam merancang dan mentukan arsitektur regional.
Namun sebelum membahas hal ini timbul pertanyaan, apakah arsitektur regional itu,
apa perbedaannya dengan arsitektur post-moderen, atau apakah bedanya dengan
arsitektur tradisional. Dan bagaimanakah sebenarnya kiprah arsitektur tradisi-
moderen di Sumatera Barat. Untuk menjawab pertanyaan ini memang tidak mudah,
sebab tidak adanya data yang cukup dan menganalisis untuk melihat bagaimana
arsitektur  lokal ini menyambung kepada tradisi arsitektur moderen atau yang sering
di katakan sebagai arsitektur moderen yang sifatnya universal. Keunikan arsitektur
lokal yang diangkat menjadi arsitektur moderen memang penting sebab dia berguna
untuk memperlihatkan daya tarik arsitektur berbadasarkan budaya visual lokal.

ARTIKEL TERKAIT

Naluri dalam Seni


Elemen dasar dan prinsip penyusunan seni rupa dan desain   
Psikologi persepsi pada kawasan Desain Komunikasi Visual
Warisan BudayaMinangkabau yang terlupakan, 
Aspek sosial budaya pada pendidikan arsitektur di Indonesia, 
Budaya visual  pada seni dan tradisi minangkabau
Dampak bencana gempaterhadap lingkungan binaan (arsitektur), 
Desain sederhana dankompleks pada desain grafis,  
Dialog mengenai katavisual dan budaya visual,  
Era revolusi digitaldalam desain grafis, 
Industri kreatif, 
Isyarat BudayaVisual tradisi Minangkabau,  
Kritik arsitektur,rencana gedung DPR baru  Jakarta, 
Kritik Desain antara penelitian dan perancangan, 
Model bisnispemeliharaan bangunan bersejarah, 
Morfologi  bangunan tradisi Minangkabau
Pola pemikiranekliktik pada budaya dan arsitektur minangkabau,  
Sebuah pembelajarantentang desain arsitektur: dari ide ke grafis, 
Sejarah pendidikan desain

Menurut (Dharma, 2009), sumber untuk mengembangkan sifat-sifat khas dalam


arsitektur lokal di Indonesia dapat dicari pada budaya visual suku-suku bangsa di
daerah atau Indonesia. Sedangkan pengembangan mutu ditentukan oleh standar
ilmu arsitektur. Josef Prijotomo (1988) menyatakan bahwa suatu karya arsitektur
dapat dirasakan dan dilihat sebagai karya yang bercorak lokal atau Indonesia bila
karya ini mampu untuk  berikut ini.

1. Membangkitkan perasaan dan suasana ke-Indonesiaan lewat rasa dan


suasana lingkungan visual
2. Menampilkan unsur dan komponen arsitektural yang nyata-nyata nampak
corak      kedaerahannya, tetapi tidak hadir sebagai tempelan atau tambahan 
saja.

Perbincangan tentang arsitektur tidak dapat dilepaskan dari perbincangan dua kutub
arsitektur yaitu Arsitektur masa lampau (lama) dan Arsitektur masa kini (baru).
Arsitektur masa lampau diwakili oleh arsitektur vernakular, tradisional, maupun
klasik. Arsitektur masa kini diwakili oleh arsitektur modern, post-modern, dan lain-
lainnya.

B. Latarbelakang Arsitektur Regionalisme


1. Arsitektur Moderen

Munculnya arsitektur modern (baru) yaitu saat adanya usaha untuk mencari hal-hal
yang (inovatif, kreatif) dan tidak lagi untuk mengulangi karya arsitektur masa lampau.
Tetapi ada saatnya, dalam perkembangan arsitektur modern itu timbul usaha untuk
mempertautkan antara yang lama dan yang baru akibat adanya krisis identitas pada
arsitektur moderen. Salah satu sebabnya, gaya arsitektur moderen itu (international
style) umumnya mirip dimana-mana, dia kehilangan identitas budaya. Di New York,
Tokyo, Paris dan kota-kota besar dunia umumnya, muncul bangunan bertipe sama.
Pemikiran untuk menolak gaya internasional ini, kemudian menimbulkan beragam
konsep arsitektur seperti tradisionalisme, regionalisme, dan post-modernisme.
Konsep regionalisme diperkirakan berkembang sekitar tahun 1960 (Jenks, 1977).
Sebagai salah satu perkembangan arsitektur modern yang mempunyai perhatian
besar pada ciri kedaerahan. Aliran pemikiran ini tumbuh terutama di negara
berkembang. Ciri kedaerahan yang dimaksud berkaitan erat dengan budaya
setempat, iklim, dan teknologi pada saatnya (Ozkan, 1985).
Konsep dan prinsip tradisionalisme dalam arsitektur timbul sebagai reaksi terhadap
terputusnya kesinambungan antara arsitektur yang lama dan yang baru. Gagasan
regionalisme merupakan peleburan antara yang lama dan yang baru (Curtis,1985).
Sedangkan gagasan postmodern dalam arsitektur berusaha menghadirkan yang
lama dalam bentuk universal (Jenks, 1977).

Menurut William Curtis, Regionalisme diharapkan dapat menghasilkan bangunan


yang bersifat abadi, melebur atau menyatu antara yang lama dan yang baru, antara
regional dan universal. Kenzo Tange menjelaskan bahwa Regionalisme selalu
melihat ke belakang, tetapi tidak sekedar menggunakan karakteristik regional untuk
mendekorasi visualisasi bangunan. Jadi dapat dikatakan bahwa arsitektur tradisional
itu termasuk ke dalam lingkup konsep arsitektur  regional. Sedangkan arsitektur
modern masuk dalam lingkup konsep arsitektur yang sifatnya universal. Dengan
demikian maka yang menjadi ciri utama regionalisme adalah menyatunya arsitektur
tadisional dan arsitektur modern.

2. Taksonomi Regionalisme

Untuk membahas konsep arsitektur region, kita dapat melihat pemikiran Suha Ozkan
yang membagi Regionalisme menjadi dua bagian yaitu sebagai berikut ini.

1. Concrete Regionalism
Regionalisme kongkrit atau yang nyata, adalah semua pendekatan kepada ekspresi
arsitektur regional, kepada bagian-bagiannya, atau seluruh bangunan di daerah
tersebut. Apabila bangunan-bangunan tadi sarat dengan nilai spiritual maupun
simbolisasi yang cocok dengan kultur lokal. Bentuknya baru bangunan tersebut akan
diterima, dengan mengeskpresikan nilai-nilai lokalnya.

2.  Abstract Regionalism


Hal yang utama adalah menggabungkan unsur-unsur kwalitas abstrak bangunan,
misalnya massa bangunan, solid dan void, proporsi, sense of space, pencahayaan,
dan prinsip-¬prinsip struktur arsitektur lokal yang telah diolah kembali dalam bentuk
baru. Yang terpenting dari arsitektur regionalisme, adalah cara berpikir  tentang
arsitektur yang tidaklah berjalur tunggal tetapi menyebar kepada berbagai jalur,
seperti yang diperlihatkan pada taksonomi regionalisme sebagai berikut ini.
Taksonomi Regionalisme ( Budihardjo, 1997)

Gagasan arsitektur regional bisa berasal dari derivatif, yaitu sekedar mengkopi
bangunan  yang asli tetapi tidak sesuai orisinal yang oleh Broadbent dikatakan
sebagai hasil tipologi desain. Kemungkinan lain adalah gagasan transformatif
(perubahan bentuk).

Pola derivatif

Desainer yang bekerja dengan pola derivatif, sebenarnya  meniru atau memelihara
bentuk arsitektur tradisi atau vernakular, untuk fungsi bangunan baru atau moderen.
Dalam hal ini kita melihat tiga kecendrungan

1. Tipologis, dimana arsitek berusaha untuk mengelompokkan bangunan


vernakular, kemudian memilih dan membangun salah satu tipe yang
dianggap baik untuk kepentingan baru.
2. Interpretif atau interpretasi, dimana arsitek berusaha untuk menafsirkan
bangunan vernakular kemudian membangunnya untuk kepentingan baru.
3. Konservasi, dimana perancang berusaha untuk mempertahankan bangunan
lama yang masih ada, kemudian menyesuaikannya dengan kepentingan
baru.

Bangunan legislatif pemerintah Karnataka di Bangalore, India Selatan (1954) yang mengambil gaya
Dravida baru, dapat dianggap sebagai pola derivatif-tipologis

Pola transformatif
Gagasan arsitektur regional yang bersifat transformatif, tidak lagi sekedar meniru
bangunan lama. Tetapi berusaha mencari bentuk-bentuk baru, dengan titik tolak
ekspresi bangunan lama baik yang visual maupun abstrak.

Gagasan arsitekur yang bersifat visual dapat dilihat  dari usaha pengambilan 
elemen-elemen bangunan lama yang yang dianggap baik, menonjol atau ekspresif
untuk di ungkapkan kepada bangunan baru. Pemilihan elemen yang dianggap baik
ini disebut eklektik. Kemudian pastiche, atau mencampur-baurkan beberapa elemen
bangunan baik moderen maupun tradisional, beberapa diantara desain bangunan
seperti ini juga dapat menimbulkan kesan ketidakserasian. Sedangkan
reinterpretatif, adalah menafsirkan kembali bangunan lokal itu dalam versi baru.

Pencarian dan penafsiran bentuk-bentuk arsitektur tradisi ini pernah di kritik oleh
arsitek Jepang Kenzo Tange, yang hanya akan melahirkan  monster-monster
arsitektur lokal. Namun tidak dapat disangkal bahwa, pola transformasi adalah salah
satu cara untuk menciptakan arsitektur moderen yang dapat merangsang kreativitas
arsitek untuk menciptakan karya arsitektur baru dan moderen, tetapi masih
memperlihatkan karakter arsitektur lokal dari masa silam. Secara umum, pola
transformasi dapat diartikan  perubahan bentuk  lama ke bentuk baru

Portland Building.Pencarian bentuk baru melalui sketsa oleh Michael Grafes untuk gedung
Portland building, 1983, di Oregon USA, yang dianggap sebagai monumen bangunan
Posmoderen.

3. Perwujudan Konsep Regionalisme 

Menurut Wondoamiseno (1991), kemungkinan-kemungkinan ujud arsitektur


regionalisme dapat dilihat dalam beberapa kecendrungan, yang disebutnya dengan
penyatuan Asitektur Masa Lampau (AML) dan Arsitektur Masa Kini (AMK) dengan
kecendrungan sebagai berikut ini.

a.    Tempelan elemen AML pada AMK


b.    Elemen fisik AML menyatu di dalam AMK
c.    Elemen fisik AML tidak terlihat jelas dalam AMK
d.    Ujud AML mendominasi AMK
e.    Ekspresi ujud AML menyatu di dalam AML

Menurut Wondoamiseno, untuk dapat menyatakan bahwa AML menyatu di dalam


AMK, maka AML dan AMK secara visual harus merupakan kesatuan (unity).
Kesatuan yang dimaksud adalah kesatuan dalam komposisi arsitektur. Kesatuan itu
tidak hanya visual tetapi juga bisa dalam kualitas abstrak, yang dapat dinilai dari
respons manusia terhadap bangunan. Yaitu bagaimana reaksi manusia baik secara
langsung maupun tidak langsung terhadap objek bangunan. Untuk mendapatkan
kesatuan dalam komposisi arsitektur ada tiga syarat utama yaitu adanya :

a. Dominan (dominasi)
Sesuatu yang dominan yaitu ada salah satu unsur visual yang menguasai
keseluruhan komposisi. Dominasi dapat dicapai dengan penggunaann warna,
material, maupun obyek-obyek pembentuk komposisi itu sendiri.
b.Pengulangan
Pengulangan di dalam komposisi dapat dilakukan dengan mengulang bentuk,
warna, tekstur, maupun proporsi. Didalam pengulangan dapat dilakukan dengan
berbagai irama atau repetisi agar tidak terjadi kesenadaan (monotone).
c. Kesinambungan dalam komposisi
Kesinambungan atau kemenerusan adalah adanya garis penghubung maya
(imaginer) yang menghubungkan perletakan obyek-obyek pembentuk komposisi.

C. Kasus Regionalisme Arsitektur di Sumatera Barat


1. Tempelan elemen AML pada AMK
Bangunan moderen yang memperlihatkan tempelan AML pada AMK banyak
terdapat di Sumatera Barat, misalnya di kota Padang dan Bukittinggi. Hal ini terjadi
karena pada awalnya desain bangunan ini di rancang  sebagai bangunan moderen,
kemudian ada paksaan dari Pemda untuk memberi unsur tambahan atap yang
berbentuk gonjong. Akibatnya terjadi ketidakharmonisan bentuk desain yang terjadi.
Diantara tempelan gonjong ini misalnya bangunan Bank Bumi Daya di Kota Padang,
dan kantor Gubernur Sumatera Barat. Bangunan kantor Gubernur. Bangunan ini
dibangun tahun 1968.  memperlihatkan bagaimanaRancangan awal bangunan tanpa
gonjong atau desain arsitektur moderen dari kantor gubernur Sumatera Barat.
Tempelan unsur arsitektur lama ke bangunan moderen (desain arsitektur moderen dan tradisi)Tahun
1968 sebelum di rubah seperti keadaan sekarang, gambar bawah adalah kantor Gubernur Sumatera
Barat (keadaan sekarang), beberapa jendela mulai ditutup (Sumber: penulis: 1980)

Jam gadang Bukittinggi, Dahulunya puncak jam gadang dirancang dengan membuat patung ayam
berkokok, setelah kemerdekaan kemudian di ganti dengan gonjong. Bangunan-bangunan seperti ini
sering di kritik dengan “orang Barat berkopiah”. Aspek tempelan yang paling menonjol pada
bangunan moderen adalah “gonjong cula badak”, bentuk ini secara latah dipakai pada supermarket,
kantor dsb. Gambar kiri atas jam gadang seabad yang lalu, kanan adalah jam gadang sekarang.

 2. Elemen fisik AML menyatu di dalam AMK


Elemen fisik AML akan dapat menyatu dengan AMK apabila sejak awal bangunan
itu dirancang, dengan menafsirkan bentuk-bentuk  AML. Hal ini terlihat misalnya
pada bangunan Hotel Bumi Minang di kota Padang. Namun tetap ada masalah
sebab model bangunan tradisi yang diterapkan adalah yang berasal di daerah
(bagian 1.5). Hal ini dapat dipahami sebab tiap daerah di Minangkabau dahulunya
memiliki ciri khas tersendiri, yang kadang-kadang tidak mewakili keseluruhan daerah
di Minangkabau.
Tempelan usnur arsitektur masa lmpau (AML) menyatu ke bangunan masa kini ( dibangun pada
zaman kolonial) bahan bangunan maupun dekorasinya menunjukkan bangunan jaman
kolonial,kemudian elemen bentuk atap dari arsitektur lama di tempelkan , sekarang bangunan ini
memiliki dua menara pada kedua sudut kiri dan kanan. ( Mesjid di Padang Ganting, kota Padang).
(Sumber: museum, Aditiawarman, Padang)

Transformasi bentuk arsitektur regional (kasus Minangkabau) sebenarnya sudah berlangsung sejak
jaman kolonial contoh bangunan mesjid di Sungai Puar Bukittinggi, dan beberapa tempat lainnya di
Sumatera Barat memperlihatkan hal itu. (Sumber: Museum, Aditiawarman , Padang)

3. Ujud AML mendominasi AMK

Ujud AML mendominasi AMK, jika bangunan itu mencoba mentransformasikan


bentuk-bentuk AML ke AMK, berapa desain bangunan seperti ini misalnya Bank
BPD di jalan pemuda dengan mengambil kemiringan bentuk badan bangunan AML.
Contoh lain adalah  Bank Mandiri  di Imam Bonjol Padang, yang mencoba
mentransformasikan  model bangunan beranjung, ke AMK.
Bangunan Bank BPD, jalan Pemuda Padang, hanya meniru badan bangunan tradisional (sumber:
Couto, 2008)

4. Ekspresi ujud AML menyatu di dalam AML


Ekspresi  ujud AML akan dapat menyatu dengan AMK bila skala, proporsi serta
komposisi bangunan AMK mendekati bangunan AML. Contoh bangunan seperti ini
misalnya bangunan bangunan Bank Indonesia di jalan jendral Sudirman kota
Padang, adalah usaha maksimal arsitek untuk mentransformasikan bentuk-bentuk
arsitektur AML ke AMK. Namun masih memiliki kelemahan, karena ekspresi bentuk
yang terjadi bukanlah sebuah arsitektur “baru”, hal ini disebabkan karakter bentuk
atap bangunan gonjong pada dasarnya sangat kuat  mengandung karakter  AML.
Jadi efek yang ditimbulkan mirip dengan  butir C.1.1 (tempelan AML pada AMK).
Usaha untuk merubah karakter ini nampak dengan merubah material dan warna.
Tetapi tetap saja karakter AML yang sangat kuat itu tidak bisa dieliminir dengan
perubahan material dan warna. Contoh lain adalah Museum Aditiawarman Kota
Padang, pada bangunan ini unsur arsitektur baru menyatu dengan arsitektur lama.

Lintasan perkembangan bangunan tradisi Minangkabau. Bangunan tradisi itu pada awalnya sangat
sederhana, kemudian muncul bangunan tradisi elit lokal (kerajaan) dan elit kolonial (petinggi di jaman
kolonial), seperti bangunan beranjung. Bangunan tipe ini banyak yang menjadi contoh bangunan
tradisional moderen, pada hal jenis bangunan ini bukan yang dipakai oleh kebanyakan masyarakat di
nagari-nagari di Minangkabau. Misalnya, museum, kantor gubernur, kantor rektorat UNP Padang
(lama) mengimitasi bangunan tradisi elite yang dimaksud (sumber: Couto, 2008). Keterangan lebih
lengkap baca buku : Budaya visual tradisi Minangkabau, kar.Nasbahry Couto (2008), terbitan UNP
Press.

5. Peran Masyarakat
Peran masyarakat untuk memelihara arsitektur regionalisme  dapat dilihat dalam dua
periode. Periode 1) adalah sejak tahun 65-an, dimana Pemda Sumatera Barat
berusaha untuk mengonjongkan bangunan –bangunan moderen di kota –kota
Sumatera Barat. Akibat nya terjadilah tempelan-tempelan yang tidak perlu pada
bangunan moderen yang justru merusak karakter bentuk  AMK. Periode 2)
berlangsung sejak tahun 80-an, yaitu sejak diadakannya MTQ ke 13 di kota Padang.
Dimana para arsitek yang berperan untuk mendesain bangunan tidak lagi di bawah
komando politik Pemda, tetapi berusaha untuk mengadakan penelitian, mencari akar
arsitektur lokal (sisa-sisa eksperimen bangunan AML ke AMK dapat dilihat pada
bangunan Mesjid Muhamadiyah dan GOR Haji Salim di Kota Padang), yang di
prakarsai oleh Ir.Ismed Darwis (Alm.)

Bangunan Mesjid Raya (baru) di jalan khatib Sulaiman yang mengambil unsur atap sebagai badan
bangunan mesjid ( usaha untuk mendamaikan unsu adat dengan agama?) sebab bangunan asli
tradisi mesjid bukanlah seperti ini. Dapat dilihat dari gambar di bawah.

Lukisan tentang mesjid di pinggir danau singkarak oleh pelukis Belanda : L. J. (Leo) Eland 1884-
1952. Dilukis pada abad ke 19. Ciri bangunan mesjid asli ini mulai menghilang. Sumber.
http://www.geheugenvannederland.nl
6. Peran Desainer (Perancang) dan Steakholder

Peran arsitek lokal dalam arsitektur regional umumnya kecil dibandingkan dengan
peran arsitek yang berasal dari luar komunitas. Hal ini dapat dipahami karena
bangunan-bangunan AMK yang mengandung AML  yang di bangun di perkotaan di
rancang oleh  desainer dari luar komunitas.

D. Simpulan
Sampai saat sekarang bagaimana ujud arsitektur lokal itu masih dalam wacana
diskursus, antara lain wacana tentang mana arsitektur bentuk asli dan mana yang
bentuk transformasi. Sebab dalam perjalanan arsitektur lokal itu yang muncul adalah
model-model bangunan (beberapa model), diantaranya adalah bangunan beranjung,
dianggap sebagai model bangunan tradisi Minangkabau yang unggul dalam
bentuknya. Namun  dari penelitian, membuktikanbahwa jenis dan bentuk bangunan
seperti ini adalah bangunan khusus, jadi bukan bangunan yang ada pada
masyarakat Minangkabau. Apa yang terjadi di Sumatera Barat, mungkin sama
dengan yang di tempat lain. Dalam hal ini kita dapat mengaca apa yang
diungkapkan oleh Kenzo Tange (arsitek Jepang), bahwa selagi format arsitektur
moderen-tradisional itu disuatu tempat belum ditemukan, yang muncul hanyalah
karya eksperimen, atau dengan perkataan yang lebih tajam lagi, yaitu karya
monster-monster arsitektur.

Khusus mengenai transformasi arsitektur regional (minangkabau), dapat dipastikan


bahwa hal ini tidak hanya terjadi pada jaman setelah kemerdekaan, tetapi sudah
berlangsung sejak jaman kolonial (gambar mesjid Sei.Puar, Bukittinggi)
Yang menjadi masalah adalah bagaimana membangun moderen tetapi
mencerminkan arsitektur regional (khusus daerah Sumatera Barat). Salah satu
masalah adalah, tempelan unsur AML jelas dapat merusak AMK, bukannya menyatu
tetapi sangat kontras sebagai sebuah tempelan AML   yang berbahan dan ukiran
kayu ke bangunan AMK yang berbahan beton dan bertingkat.
Masalah lain dalam penerapan bangunan regionalisme ini adalah jika terdapat
beberapa bangunan bergonjong yang sangat berbeda-beda karakternya  di suatu
lokasi ( kelompok bangunan). Yang terjadi adalah semacam pameran model
bangunan lokal. Hal ini dapat di lihat di sepanjang jalan Khatib Sulaiman di Padang.
Dapat dikatakan sepanjang jalan ini tidak ada pengaturan bentuk bangunan  baik
untuk tujuan AMK maupun AML atau perpaduan antara keduanya.Hal yang sama
dapat  terjadi di beberapa kota di Sumatera Barat, dimana karakter tradisionalnya
hanya merupakan tempelan AML ke AMK.
Usaha untuk mempertahankan ciri arsitektur regional, sering membawa akibat tidak
teraturnya kesan bangunan. Bagunan  bergonjong pada Pasar Raya Padang ini
adalah contoh bahwa bentuk-bentuk gonjong tidak selalu cocok dalam kelompok
bangunan dan tidak serasi dengan bangunan-bangunan umum lainnya.  (sumber,
Couto, 2008)
Dapat dikatakan arsitektur regionalisme itu perlu ditertibkan penerapannya kembali
apakah melalui sebuah peraturan atau kajian akademis, yang tidak hanya
melibatkan para arsitek tetapi juga berbagai ahli lain seperti bidang seni visual, seni
rupa dan kriya. Diantara yang menjadi masalah adalah jika sebuah bangunan
bercorak bangunan regionalisme telah di bangun di suatu tempat, bagaimana desain
bentuk bangunan di sekitarnya harus di desain ? Bagaimanakah penerapan unsur
ornamen tradisi yang asli ? Bagaimanakah pemberian warna yang mengekpersikan
arsitektur lokal, dan sebagainya yang berhubungan dengan regionalisme dalam. Jka
hal ini tuntas setidaknya akan mengurangi praktek asal tempel untuk
mengekspresikan arsitektur regional.

INBOX:  CONTOH PERAN PELAKU ARSITEKTUR REGION

(a) Pelaku pembangunan (sumber:
http://www.bakinnews.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=3561:menyoal-anggaran-tahap-ii-
pembangunan-mesjid-raya-sumbar-&catid=35:kota-padang&Itemid=56

Padang (Sumbar), BAKINNews---Tumpang-tindihnya anggaran tahap II


untuk pembangunan mega proyek Mesjid Raya Sumbar, ternyata telah
menjadi isu tidak sedap yang dialamatkan kepada Panitia Anggaran
(Panggar) di DPRD Sumbar. Hal tersebut dipicu dengan tidak jelasnya
berapa angka-angka yang akan dianggarkan di APBD Sumbar 2011 ini
untuk pembangunan Mesjid Raya tersebut. Diduga dalam pembahasan
anggarannya ditenggarai permainan ala mafia.
Hal tersebut dipicu, ketika diawal pembahasan KUA-PPAS dalam
pengajuan anggaran untuk tahap II pembangunan Mesjid Raya tersebut
ditemukan berbagai versi pada mata anggarannya di APBD Sumbar 2011
ini. Lucunya lagi, Mesjid Raya Sumbar yang katanya akan menghabiskan
dana sebesar Rp. 500 Miliar, dan pada tahap I telah menghabiskan
anggaran sebesar Rp. 103,87 Miliar, kini proyek pembangunan Mesjid
tersebut masih berharap dari APBD Sumbar. (Baca BAKINNews edisi
254-Red).
Permasalahan utama tentang terkuaknya dan amburadulnya
pembahasan anggaran tahap II pembangunan Mesjid Raya tersebut,
menjadi cambuk bagi Martias Tanjung yang baru bergabung di Komisi III
DPRD Sumbar. Ia sangat memperhatikan kinerja dan tugasnya sebagai
fungsi control terhadap pelaksanaan perkerjaan Eksekutif. Kalau
menyangkut Komisi III  otomatis tentu yang berkaitan dengan dengan
berbagai pembangunan, dampak lingkungan, perhubungn dan
sebagainya, jelasnya.
Dalam pembangunan Mesjid Raya Sumbar yang akan dianggarkan di
APBD Sumbar di Tahun 2011 ini,” Saya diprioritaskan oleh fraksi untuk
menyingkapi adanya keganjilan terhadap penggodokan anggarannya
pada tahap II, yang dialokasikan sebesar Rp. 31 Miliar. Padahal,
sebelumnya Gubernur berharap dianggarkan Rp. 16 Miliar. “Saya sangat
menyayangkan dalam merumuskan anggaran tahap II untuk
pembangunan Mesjid itu, Panggar tidak transparansi dengan jumlah
anggaran yang akan disahkan pada APBD Sumbar 2011 ini, ujarnya
beberapa hari yang lalu.
Kesimpang siuran realisasi anggaran pada tahap II di APBD Sumbar
untuk pembangunan Mesjid Raya itu, disingkapi oleh H. Murlis
Muhammad, SH. M.Hum., Pengamat Hukum Tata  Negara, Sabtu (12/2)
kepada Koran ini Ia berujar, persoalan anggaran pembangunan Mesjid
Raya Sumbar ini, kiranya tidak perlu diributkan, asal tak mengganggu
anggaran kebutuhan dasar publik, dikarenakan Mesjid tersebut jika
selesai akan menjadi kebanggaan masyarakat Sumatera Barat (Sumbar)
termasuk yang ada diperantauan.
Bukan itu saja, ujar mantan Camat Lubuk Kilangan Pemko Padang ini
lagi, disamping itu perlu juga disadari, bahwa anggaran masing-masing
SKPD tak mutlak naik setiap tahunnya. Ini artinya bisa saja anggarannya
dihapus bila tidak terlalu penting untuk rakyat. Nah untuk itu, TAPD dan
Panggar di DPRD harus teliti dan jeli menyusun dan membahas RAPBD
sebelum disahkan.
Dalam hal anggaran tahap II untuk Mesjid Raya tersebut hendaknya,
Panggar harus lebih bertangung jawab dalam proses pembebanan
semua anggaran pada APBD, termasuk untuk anggaran lanjutan
pembangunan Mesjid Raya, karena APBD itu direncanakan ditahun
anggaran daerah yang harus dapat diketahui oleh rakyat melalui wakil
rakyat didaerah.
Oleh karena itu, didalam penganggaran tahap II untuk pembangunan
Mesjid yang dibangun saat Gamawan Fauzi sebagai Gurbenur Sumbar,
kita berharap jangan sempat terjadi kongkalikong dalam merumuskan
anggarannya, jika itu terjadi imbasnya tentu akan merugikan keuangan
Negara. Apa lagi pada tahap I pembangunan Mesjid itu telah
menghabiskan dana Ratusan Juta Rupiah lebih yang sebagian diambil
dari APBD Sumbar.
Kita menghimbau kepada panitia anggaran pembangunan Mesjid Raya
tahap II yang disitu bercokol anggota Komisi III agar transparansi ke
publik dalam menggolkan anggaran untuk pembangunan Mesjid itu dari
APBD Sumbar 2011, tujuannya agar tidak menimbulkan image yang
kurang sedap dikemudian hari, ujar Murlis. BIN Yose

b. Contoh masalah pelaku desain bangunan


(sumber: http://bambangsb.blogspot.com/2006/09/sayembara-masjid-
raya-sumbar.html
Sayembara Desain Masjid Raya Propinsi Sumatera Barat
Masyarakat Minangkabau yang sebagian besar adalah penduduk wilayah
Propinsi Sumatera Barat dalam menjalankan kehidupan sosial budayanya
tetap berpegang teguh pada adagium adat basandi syara’, syara’ basandi
kitabullah (ABS-ABK). Oleh karena itu sejak dulu sampai sekarang,
masjid sebagai representasi kehidupan merupakan salah satu ikon
budaya yang penting. Masjid tidak saja dapat dijadikan ukuran dari
keberhasilan masyarakat suatu wilayah/ nagari, tetapi sekali gus menjadi
sebuah kebanggaan masyarakat di nagari tersebut. Itulah sebabnya
sampai sekarang, setiap orang Minangkabau baik yang di kampung
maupun yang di rantau selalu bergairah dan berlomba-lomba
membangun dan memakmurkan masjid. Dengan demikian, masjid
menjadi sentra kegiatan sosial kemasyarakatan. Di dalam adatnya
disebutkan, sebagai salah satu syarat bagi sebuah nagari antara lain
adalah babalai bamusajik. Adanya balai tempat bermusyawarah ninik
mamak dan adanya masjid untuk aktivitas keagamaan dan ilmu
pengetahuan.
Dalam perkembangan berikutnya dengan pesatnya perkembangan kota
dalam wilayah Sumatera Barat, mempunyai dampak tersendiri pula.
Nagari-nagari yang masing-masingnya memiliki masjid kini beralih pula
pada setiap kota mendirikan masjid. Walaupun belum menyeluruh, tetapi
pemerintah telah berusaha ke arah itu, mendorong masyarakat kota
mendirikan mendirikan masjid-masjid yang representatif dengan fasilitas
yang memadai untuk melengkapi sebuah kota. Begitu juga dengan
Padang sebagai ibukota propinsi Sumatera Barat sudah sepatutnya
mempunyai masjid yang representatif dengan fasilitas-fasilitas umat yang
memadai. Dalam konteks inilah gubernur Sumatera Barat mendorong dan
menghimpun potensi masyarakat untuk mendirikan sebuah Masjid Raya
Sumatera Barat.
Pemenang Utama    : Rp. 150.000.000,-
Pemenang Harapan I    : Rp. 75.000.000,-
Pemenang Harapan II     : Rp. 50.000.000,-
Pemenang Harapan III     : Rp. 25.000.000,-

Selengkapnya silahkan buka situsnya di http://www.masjidraya-


sumbar.com/
Kita tunggu para pemenangnya dari keputusan Dewan Juri.

Kepustakaan
1. Budihardjo, Eko. "Kepekaan Sosio-Kultural Arsitek", dalam Perkembangan
Arsitektur dan Pendidikan Arsitektur di Indonesia, Eko Budihardjo (ed), Gajah
Mada University Press, Yogyakarta, 1997.
2. Couto.1998. Makna dan Unsur-Unsur Visual Pada Bangunan Tradisional
Minangkabau: Suatu Kajian Semiotik (Studi Kasus: Bangunan Rumah
Gadang di Sehiliran "Batang Bengkawas"  Kabupaten Tanah Datar Sumatera
Barat). Thesis, (Tidak diterbitkan). Perpustakaan Fakultas Seni Rupa dan
Desain, Institut Teknologi Bandung
3. Couto.2008. Budaya Visual pada Seni dan Tradisi Minangkabau, Padang:
UNP Press
4. Curtis, William, "Regionalism in Architecture", dalam Regionalism in
Architecture,  Robert Powel (ed), Concept Media, Singapura, 1985.
5. Darwis, Harmaini. 1981. Sebuah Tinjauan Tentang Arsitektur Moderen
dengan ciri Tradisional Minangkabau (Seminar Jurusan Arsitektur STT-SB,
tidak diterbitkan)
6. ………..& Couto, Nasbahry. 2003. “Peran ilmu sosial dan budaya dalam
arsitektur”, (Seminar Pendidikan Arsitektur, Yogyakarta, 2003 (tidak
diterbitkan)
7. Jenks, Charles.1977. The Language of Post Modern Architecture, Rizzoli,
New York,
8. Koentjaraningrat. 1974.Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan,
Gramedia, Jakarta,
9. Krier, Rob.1988. Architectural Composition, Rizzoli, New York
10. Ozkan, Suha.1988. "Regionalism within Modernism", dalam Regionalism in
Architecture, editor Robert Powel, Concept Media, Singapura
11. Prijotomo, Josef.1988. Pasang Surut Arsitektur Indonesia, CV Ardjun,
Surabaya
12. Wondoamiseno, R.A.1991. Regionalisme dalam Arsitektur Indonesia :
Sebuah Harapan, Yayasan Rupadatu, Yogyakarta
13. Perubahan Bentuk Dalam Arsitektur.
14. Perubahan bentuk dalam arsitektur dibagi menjadi 3, yaitu :
15. 1.Perubahan Dimensi
2.Substractive (perubahan akibat pengurangan)
3.Additive (perubahan akibat penambahan)
16. 1.Perubahan Dimensi.
17. Perubahan bentuk dapat terjadi akibat perubahan dimensinya(Ukuran).Dengan ada
perubahan ukuran maka sebuah bentukan dapat berubah menjadi besar, kecil,
memanjang, memendek dan sebagainya.Perubahan dimensi ini bisa dilakukan dengan
cara vertikal, horizontal maupun diagonal.
18. contoh perubahan dimensi arah vertikal :

19.
20. perubahan dimensi arah vertikal
21. conto perubahan dimensi arah horizontal :

22.
23. perubahan dimensi arah horizontal
24. contoh perubahan dimensi arah diagonal :

25.
26. perubahan dimensi arah diagonal
27. 2.Perubahan Subtraktive ( Pengurangan ).
28. Perubahan secara subtraktive yaitu perubahan bentuk dengan cara mengurangi bentuk
itu sendiri melalui pemotongan, pencoakkan dan sebagainya.
29. contoh perubahan subtraktive secara pemotongan :
30.
31. subtraktive melalui pemotongan

32.
33. subtraktive melaui pemotongan
34. contoh perubahan subtraktive melalui pencoakkan :

35.
36. subtraktive melalui pencoakkan
37. 3.Perubahan Additive ( Penambahan ).
38. Perubahan Additive yaitu perubahan bentuk dengan cara penambahan bentuk itu
sendiri melalui penempelan, pengelasan dan sebagainya.
39. contoh:

40.

41.
42. perubhan bentuk secara additive

Transformasi dari Permainan Tetris 2 Dimensi menjadi Karya Arsitektur


3 Dimensi
03 Apr
Pada permainan, berbagai macam tetromino yang terdiri dari empat balok akan jatuh.
Tujuan dari permainan ini adalah dengan memanipulasi tetromino yang jatuh, dengan
mengerakannya ke samping atau memutarnya, sehingga akan terbentuk garis horizontal
tanpa celah, ketika sudah terbentuk, tetromino tersebut akan menghilang, sehingga tetromino
diatasnya akan terjatuh. Ketika permainan berlanjut, tetromino tersebut akan jatuh lebih
cepat. Permainan akan berakhir apabila tetromino berikutnya terhalang sehingga tidak bisa
masuk. (www.wikipedia.org)

     Jika menilik kembali ke masa lalu, permainan masa kecil menjadi salah satu memori yang
tidak terlupakan. Anak-anak seusia kita, sekitar belasan tahun lalu sudah cukup senang ketika
bisa dimanja hanya oleh sebuah mainan genggam yang bahkan layarnya belum berwarna.
Foto diatas mengingatkan kita tentang bagaimana serunya menghabiskan waktu di depan TV
sambil sibuk memencet tombol-tombol handheld game. Kita fokus untuk menata brick-brick
yang jatuh secara bergantian, memutar-mutar brick untuk menemukan posisi yang paling
sesuai sekaligus mengambil nafas dalam-dalam karena deg-degan atas keterbatasan waktu,
sampai tiba-tiba kesal karena kadang brick-brick yang kita paksa untuk turun lebih cepat
akhirnya tidak jatuh ke tujuan awal. Sebagian dari kita semestinya familiar dengan fitur
mainan utama pada handheld game yang sangat populer sejak awal tahun 1985, yaitu tetris.
Tetris ditemukan oleh Alexey Pajitnov. Tetris menjadi sebuah games yang sangat iconic dan
dianggap sebagai permainan terbaik sepanjang masa. Ketika dulu tetris bisa dinikmati
melalui permainan di handheld game, kini tetris pun dapat dimainkan di komputer,
handphone, sampai IPad. Pada awal kemunculannya, bentuk tetris hanya terdiri dari
beberapa bentuk tetromino dengan warna hitam putih saja. Sesuai dengan perkembangan
zaman dan teknologi, tetris kini sudah memiliki beragam kemasan dan bentuk permainan.
Ketika saya mencoba googling kata “tetris”, yang muncul pada tampilan layar komputer saya
adalah sebagai berikut
     Dari gambar diatas kita dapat melihat perkembangan tetris sebagai permainan sepanjang
masa yang sangat kuat dengan karakter bentuk-bentuk geometris yang tersusun rapi dan
membentuk komposisi baru tanpa celah. Meskipun terkesan sederhana, permainan taktik
penumpukan pola tetromino lah yang kemudian membuat orang-orang ketagihan untuk
memainkan tetris.

   

     Saya penasaran mengenai hubungan tetris dan arsitektur. Kemudian saya mencoba
memasukkan keyword “tetris architecture” dan yang muncul pada tampilan layar komputer
saya adalah sebagai berikut
     Dari foto diatas kita dapat melihat bahwa memang banyak bangunan dan furniture yang
menggunakan konsep dasar tetris sebagai ide desain. Dari berbagai macam desain bangunan
dan furniture tersebut, saya tertarik dengan sebuah bangunan flat “VM House” di
Copenhagen yang didesain oleh Bjarke Ingels dan Julien De Smedt. Sesuai dengan ide
“tetris”, bangunan flat ini terdiri atas berbagai macam komposisi dari brick-brick yang
disusun sehingga bangunan terlihat solid tanpa celah namun terlihat indah karena paduan
tetromino yang saling bertumpuk dan tersusun dari beragam warna. Bentuk elemen bangunan
yang serupa dengan tetromino pada tetris tidak diulang lebih dari duabelas kali sehingga
keunikan dan ciri khas tetris yang memiliki komposisi acak namun tanpa celah semakin
terlihat menonjol pada bangunan. 
Berikut elemen-elemen bentuk pada flat tersebut yang identik dengan bentuk-bentuk brick
atau tetromino pada tetris
     Melihat pola perkembangan tetris yang kemudian juga diaplikasikan dalam dunia
arsitektur, saya semakin melihat bahwa ternyata dalam beberapa pembentukan desain
arsitektur terdapat unsur-unsur geometri yang sudah lebih dahulu dikenal dan dengan
berbagai macam pendekatan bentuk geometri yang berbeda-beda. Tetris, sebuah permainan
sederhana yang fenomenal dan dianggap sebagai permainan sepanjang masa pun menjadi ide
sebuah karya arsitektur sehingga menciptakan ruang-ruang yang memiliki beragam
komposisi dan warna. Karya arsitektur tersebut berangkat dari sebuah permainan di layar dua
dimensi, ditransformasikan dalam bentuk tiga dimensi dan menjadi ruang gerak bagi manusia
yang beraktivitas di dalamnya. Menakjubkan!

Sumber Pustaka

PERUBAHAN BENTUK DALAM ARSITEKTUR


Perubahan bentuk dan gaya dalam dunia arsitektur, sering didahului dengan perubahan sosial
yang terjadi dalam masyarakatnya . Sigfried Gideon (1971:4) bahkan pernah mengatakan
bahwa: “In each period of transition, religion and social changes are behind the changes in
architectural forms, as well as new inventions and the development of new techniques“.
perubahan bentuk dalam arsitektur dibagi menjadi :

 Perubahan Dimensi

Suatu bentuk dapat diubah dengan mengganti salah satu atau beberapa
dimensi-dimensinya dan tetap mempertahankan identitasnya sebagai
anggota bagain dari suatu bentuk. contohnya prisma dapat diubah menjadi
bentuk-bentuk kotak serupa dengan mengubah ukuran tinggi, lebar atau
panjangnya. Bentuk tersebut dapat dipadatkan menjadi bentuk bidang pipih
atau direntangkan menjadi suatu bentuk linier.
perubahan dimensi dari bentuk tabung

perubahan dimensi dari bentuk bola

 Perubahan dengan Penguranga


Suatu bentuk dapat diubah dengan mengurangi sebagian dari volumnya. Tergantung
dari banyaknya pengurangan, suatu bentuk mampu mempertahankan identitas asalnya
atau diubah menjadi suatu bentuk yang lain sama sekali. Sebagai contoh, sebuah
kubus dapat mempertahankan identitasnya sebagai kubus walaupun sebagian dari
kubus tersebut dihilangkan atau diubah menjadi serangkaian bentuk polyhedron
teratur yang menggambarkan suatu bola.
pengurangan dari bentuk kotak

pengurangan dari bentuk kotak

pengurangan dari bentuk kotak


 Perubahan dengan Penambahan

Suatu bentuk dapat diubah dengan menambah unsure-unsur tertentu kepada volume
bendanya. Sifat proses penambahan serta jumlah dan ukuran relative unsure yang
ditambahkan akan menentukan apakah identitas bentuk asal dapat dipertahankan atau
berubah.

penambahan bentuk limas pada bentuk kotak bangunan

penambahan dengan menggabungkan beberapa


bentukan

Anda mungkin juga menyukai