“Kupu-kupu malam itu telah pergi untuk selama-lamanya”. Itulah sebuah gaya bahasa yang
sering kita dengar atau kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Gaya bahasa tersebut adalah
metafora, sebuah gaya bahasa yang membandingkan benda yang satu dengan benda lain
karena memiliki sifat yang sama atau hampir sama.
————————————————————————————————
Metafora Arsitektur
Gaya bahasa metafora ternyata dipakai juga dalam dunia arsitektur. Hal ini disebabkan
karena arsitektur juga merupakan sebuah bahasa. Sebuah bahasa yang digunakan oleh sesama
arsitek untuk menciptakan ‘percakapan’ arsitektural. Ada 2 jenis arsitek yang dibicarakan
dalam konteks ini. Pertama, arsitek sebagai pihak yang merencanakan dan merancang sebuah
komunikasi (bangunan). Dan kedua, ‘arsitek’ sebagai pihak yang melihat sebuah karya
arsitektur dan kemudian merancang sebuah komunikasi apresiasi melalui pemahamannya
sendiri (menciptakan arsitektur pemikiran).
Lalu kita akan bertanya, seperti apa metafora dalam arsitektur? Jika perwujudan gaya bahasa
metafora dapat kita nikmati melalui komunikasi audio dan visual. Maka, metafora dalam
arsitektur dapat kita nikmati melalui sebuah proses pemikiran yang arsitektural. Metafora
dalam arsitektur dibangun melalui perwujudan konsep desain. Melalui pengejewantahan
desain, konsep tersebut ‘dipindahkan’ ke dalam ruang tiga dimensi. Tekstur, bentuk dan
warna dirancang untuk menghasilkan kualitas visual ruang yang unik, meliputi lantai,
dinding, atap dan sebagainya. Ruang-ruang unik inilah yang kemudian membawa makna-
makna khusus sebagai ekspresi metaforik.
Itulah metafora dalam arsitektur. Sebuah gaya bahasa arsitektur yang membawa,
memindahkan dan menerjemahkan kiasan suatu obyek ke dalam bentuk bangunan (ruang tiga
dimensi). Anthony C. Antoniades dalam bukunya, “Poetic of Architecture : Theory of
Design” , mengidentifikasi metafora arsitektur ke dalam 3 kategori, yakni metafora
abstrak (intangible metaphor), metafora konkrit (tangible metaphor) danmetafora kombinasi.
Adanya klasifikasi ini mempermudah kita untuk lebih memahami metafora dalam arsitektur.
Metafora abstrak dapat kita lihat pada beberapa karya arsitek Jepang. Salah satu arsitek
tersebut adalahKisho Kurokawa. Kisho Kurokawa mengangkat konsep simbiosis dalam
karya-karyanya. Kisho Kurokawa mencoba ‘membawa’ elemen sejarah dan budaya pada
engawa (tempat peralihan sebagai “ruang antara” pada bangunan: antara alam dan buatan,
antara masa lalu dan masa depan). Konsep ini diterapkan pada salah satu karya Kisho
Kurokawa yaitu Nagoya City Art Museum. Sejarah dan budaya adalah sesuatu obyek yang
abstrak dan tidak dapat dibendakan (intangible). Oleh karena itu, karya Kisho Kurokawa ini
tergolong pada metafora abstrak.
Stasiun TGV yang terletak di Lyon, Perancis, adalah salah satu contoh karya arsitektur yang
menggunakan gaya bahasa metafora konkrit karena menggunakan kiasan obyek benda nyata
(tangible). Stasiun TGV ini dirancang oleh Santiago Calatrava, seorang arsitek kelahiran
Spanyol. Melalui pendekatan tektonika struktur,Santiago Calatrava merancang Stasiun TGV
dengan konsep metafora seekor burung. Bentuk Stasiun TGV ini didesain menyerupai seekor
burung. Bagian depan bangunan ini runcing seperti bentuk paruh burung. Dan sisi-sisi
bangunannya pun dirancang menyerupai bentuk sayap burung.
EX Plaza Indonesia
Selain dapat dikategorikan berdasarkan kiasan obyeknya, sebuah karya arsitektur bisa
memiliki multi-interpretasi bahasa metafora bagi yang melihatnya. Sydney Opera
House adalah salah satu contohnya. Sydney Opera House dirancang oleh Jørn Utzon, seorang
arsitek kelahiran Denmark. Setiap orang yang melihat karya arsitektur ini, akan menghasilkan
berbagai macam interpretasi sesuai dengan pikiran masing-masing. Ada yang berpendapat
bahwa konsep metafora Sydney Opera House berasal dari cangkang siput atau kerang. Ada
pula yang berpendapat, karya arsitektur ini adalah kiasan layar kapal yang sedang
terkembang. Dan ada pula yang berpendapat, bagaikan bunga yang sedang mekar.
Tags: Architect
ektur Metafora (Metaphor Architecture)
Metafora merupakan bagian dari gaya bahasa yang digunakan untuk menjelaskan sesuatu melalui
persamaan dan perbandingan.
Metafora berasal dari bahasa latin, yaitu “Methapherein” yang terdiri dari 2 buah kata yaitu
“metha” yang berarti: setelah, melewati dan “pherein” yang berarti: membawa.
Secara etimologis diartikan sebagai pemakaian kata-kata bukan arti sebenarnya, melainkan sebagai
lukisan yang berdasarkan persamaan dan perbandingan.
Pada awal tahun 1970-an muncul ide untuk mengkaitkan arsitektur dengan bahasa, menurut Charles
Jenks dalam bukunya “The Language of Post Modern” dimana Arsitektur dikaitkan dengan gaya
bahasa, antara lain dengan cara metafora.
Pengertian Metafora dalam Arsitektur adalah kiasan atau ungkapan bentuk, diwujudkan dalam
bangunan dengan harapan akan menimbulkan tanggapan dari orang yang menikmati atau memakai
karyanya.
Arsitektur yang Berdasarkan Prinsip-prinsip Metafora
1. Mencoba atau berusaha memindahkan keterangan dari suatu subjek ke subjek lain.
2. Mencoba atau berusaha untuk melihat suatu subjek seakan-akan sesuatu hal yang lain.
3. Mengganti fokus penelitian atau penyelidikan area konsentrasi atau penyelidikan lainnya
(dengan harapan jika dibandingkan atau melebihi perluasan kita dapat menjelaskan subjek
yang sedang dipikirkan dengan cara baru).
Sebagai salah satu cara atau metode sebagai perwujudan kreativitas Arsitektural, yakni sebagai
berikut :
1. Memungkinkan untuk melihat suatu karya Arsitektural dari sudut pandang yang lain.
2. Mempengaruhi untuk timbulnya berbagai interprestasi pengamat.
3. Mempengaruhi pengertian terhadap sesuatu hal yang kemudian dianggap menjadi hal yang
tidak dapat dimengerti ataupun belum sama sekali ada pengertiannya
4. Dapat menghasilkan Arsitektur yang lebih ekspresif.
1. Intangible methaphors, (metafora yang tidak dapat diraba) metafora yang berangkat dari
suatu konsep, ide, hakikat manusia dan nilai-nilai seperti : individualisme, naturalisme,
komunikasi, tradisi dan budaya.
2. Tangible methaphors (metafora yang nyata), Metafora yang berangkat dari hal-hal visual
serta spesifikasi / karakter tertentu dari sebuah benda seperti sebuah rumah adalah puri
atau istana, maka wujud rumah menyerupai istana.
3. Combined methaphors (metafora kombinasi), merupakan penggabungan kategori 1 dan
kategori 2 dengan membandingkan suatu objek visual dengan yang lain dimana mempunyai
persamaan nilai konsep dengan objek visualnya. Dapat dipakai sebagai acuan kreativitas
perancangan
Metafora mengidentifikasikan hubungan antara benda dimana hubungan tersebut lebih bersifat
abstrak daripada nyata serta mengidentifikasikan pola hubungan sejajar. Dengan metafora seorang
perancang dapat berkreasi dan bermain-main dengan imajinasinya untuk diwujudkan dalam bentuk
karya arsitektur.
Metafora dapat mendorong arsitek untuk memeriksa sekumpulan pertanyaan yang muncul dari
tema rancangan dan seiring dengan timbulnya interpretasi baru. Karya –karya arsitektur dari arsitek
terkenal yang menggunakan metoda rancang metafora,hasil karyanya cenderung mempunyai
langgam Postmodern.
Pengertian metafora secara umum berdasarkan Oxford Learner’s Dictionary :
A figure of speech denoting by a word or phrase usually one kind of object or idea in
place of another to suggest a likeness between them
A figure of speech in which a term is transferred from the object it ordinarily designates
to on object it may designate only by implicit comparison or analogies
A figure of speech in which a name or quality is attributed to something to which it is not
literally applicable
The use of words to indicate something different from the literal meaning
Suatu cara memahami suatu hal, seolah hal tersebut sebagai suatu hal yang lain sehingga dapat
mempelajari pemahaman yang lebih baik dari suatu topik dalam pembahasan. Dengan kata lain
menerangkan suatu subyek dengan subyek lain, mencoba untuk melihat suatu subyek sebagai suatu
yang lain.
yang termasuk dalam kategori ini misalnya suatu konsep, sebuah ide, kondisi
manusia atau kualitas-kualitas khusus (individual, naturalistis, komunitas, tradisi dan
budaya)
Dimana secara konsep dan visual saling mengisi sebagai unsur-unsur awal dan
visualisasi sebagai pernyataan untuk mendapatkan kebaikan kualitas dan dasar.
Transforming : figure of speech in which a name of description term is transferred to some object
different from. Dan juga menurutnya pada metafora pada arsitektur adalah merupakan salah satu
metod kreatifitas yang ada dalam desain spektrum perancang.
Metafora berasal dari bahasa Yunani metapherein, berasal dari kata ‘meta’ yang berarti
memindahkan atau menurunkan, dan ‘pherein’ yang berarti mengandung atau memuat. Jadi
secara etimologi, metafora dapat diartikan sebagai pemindahan makna yang dikandungnya
kepada obyek atau konsep lain sehingga makna tersebut terkandung pada obyek yang
dikenakan baik melalui perbandingan langsung maupun analogi. Penggunaan metafora ini
pada umumnya terdapat dalam suatu tata bahasa, di mana kemudian suatu kalimat tertentu
jika dimaknai secara denotatif maka akan terlihat mengandung makna yang tidak sesuai tetapi
jika dipahami secara konotatif akan menyampaikan makna lain yang sesuai dengan konteks
yang sedang dibicarakan. Namun tentu saja, tanpa konteks terkait, kalimat yang sama tetap
dapat dipahami sebagai sesuatu yang bermakna denotatif. Namun dengan demikian, ia tidak
memegang peranan sebagai sebuah metafora.
Seperti yang dinyatakan Karatani, arsitektur dapat dipahami sebagai suatu bentuk komunikasi
yang selalu terkait dengan hal-hal lain di luar dirinya. Sebagai suatu bentuk komunikasi,
arsitektur sering dikaitkan dengan suatu sistem bahasa. Dengan pemahaman bahwa arsitektur
sering sekali dipahami sebagai suatu sistem bahasa yang menyampaikan makna tertentu,
maka metafora juga menjadi suatu hal yang sering dipakai sebagai pendekatan mendisain
arsitektur, terutama dalam proses menemukan bentuk geometrinya.
Pendekatan metafora dalam mendisain biasanya dilakukan dengan analogi. Dalam mencari
bentuk arsitektur ketika merancang, tidak jarang kita akan menggunakan analogi dari sebuah
benda untuk diterjemahkan ke dalam bentuk-bentuk arsitektur. Dengan melakukan ini, kita
seolah memindahkan karakter pada benda yang sebelumnya ke dalam arsitektur, sehingga
bentuk arsitektur yang muncul adalah penggambaran dari karakteristik tersebut. Metode ini
dilakukan dengan mengambil suatu makna tertentu yang akan ‘dibawa’ oleh suatu bentuk
arsitektur. Seringkali kemudian, bentuk arsitektural yang muncul melambangkan makna yang
dikenakan padanya tersebut.
Dalam studio perancangan dulu, seringkali ada yang mengambil suatu obyek tertentu untuk
dijadikan dasar dalam pencarian dan pengolahan bentuk arsitektural. Obyek tersebut
direfleksikan karakternya ke dalam bentuk arsitektur yang akan dihasilkan nantinya.
Misalnya bunga dengan karakternya yang sedang mekar (blossoming) dan lalu hal itu
diterjemahkan ke dalam sebuah bentuk geometri dengan menampilkan geometri yang seolah-
olah menggambarkan setangkai bunga yang mekar, atau karakter perempuan yang anggun
diterjemahkan ke dalam bentuk yang meliuk-liuk yang dianggap elegan dan menggambarkan
karakter feminin. Metafora seperti inilah yang kemudian sering disebut ekspresi dalam
arsitektur. Bentuk-bentuk arsitektur tertentu mengekspresikan suatu makna yang sengaja
dilekatkan padanya melalui analogi dengan obyek lain.
Seringkali, dalam menghasilkan bentuk arsitektur, metafora ini digunakan secara literal. Ini
menyebabkan arsitektur yang dihasilkan tidak lagi sebuah ‘ekspresi’, tetapi benar-benar
penggambaran dari obyek yang dianalogikan dengannya. Ini dapat dilihat dari beberapa
bangunan yang memiliki bentuk-bentuk iconic sebagai berikut:
a .) Home Office of The Longaberger Company, Amerika Serikat
Obyek yang dijadikan sebagai awal penggalian ide bentuk benar-benar dihadirkan secara
literal dalam bentuk bangunannya. Lalu apakah ini, sebenarnya, bernilai metafora?
Jika melihat dalam konteks bahasa, suatu kalimat yang bermakna metaforikal biasanya akan
membuka kemungkinan terhadap interpretasi dan pengekpresian lainnya di samping jika ia
dicoba untuk dipahami secara denotatif (literal). Misalnya jika sebuah kalimat menyatakan
‘kakek tua itu banyak makan garam’, tentu saja ia dapat bermakna baik secara literal maupun
metaforikal. Secara literal, ia dipahami sebagaimana kalimat itu hadir, seorang kakek tua
benar-benar mengkonsumsi garam dalam jumlah banyak, namun secara metaforikal, ia akan
dipahami sebagai suatu ekspresi yang menyatakan bahwa kakek tua yang dimaksud memiliki
banyak pengalaman hidup (‘banyak makan garam’).
Jika ini direfleksikan dalam arsitektur, maka jika kita melihat contoh-contoh bangunan di
atas, kita akan langsung dapat memahaminya sebagai ekspresi yang literal. Misalnya pada
bangunan ketiga, bangunan tersebut adalah sebuah gedung perpustakaan di Connecticut, dan
lalu untuk menyatakan bahwa fungsi tersebutlah yang ditampungnya dalam gedung itu, kita
akan langsung dapat membacanya dari tampak bangunan tersebut. Tidak ada lagi ruang
tersisa untuk interpretasi dan pemaknaan lainnya dari bentuk yang ia tampilkan.
Arsitek seperti Frank Gehry juga kerap menggunakan metafora dalam proses pencapaian
bentuk geometrinya. Salah satu contohnya adalah Guggenheim di Bilbao. Bentuk bangunan
ini sering diinterpretasikan sebagai seekor ikan, walaupun ia tidak secara eksplisit tergambar
seperti itu. Namun konteks kota Bilbao yang berada di antara dua sungai dan tapak
Guggenheim sendiri yang berada di tepi air menjadi salah satu faktor yang mengundang
orang-orang untuk berinterpretasi mengenai gambaran ‘ikan’ tersebut.
Mungkin kita harus melihat bagaimana arsitek Jepang Tadao Ando memanfaatkan metafora
dalam menggagas tidak hanya shape tetapi form secara keseluruhan. Ia menggunakan analogi
metaforikal untuk mengolah suasana dan kualitas ruang dalam bangunannya. Analogi yang
digunakan berasal dari upacara minum teh Jepang yang disebut ‘sukiya’, di mana orang yang
mengikuti upacara tersebut akan duduk dalam keheningan yang memungkinkan untuk
mengantarkannya pada sebuah kontemplasi. Di sini kualitas silent dan contemplative adalah
dua hal yang paling utama yang digarisbawahi Ando. Oleh karena itu, Ando merefleksikan
kualitas ini ke dalam ruang-ruang yang dirancangnya. Hal ini dapat dilihat dalam karya-karya
arsitektural Ando yang banyak mengesankan keheningan (silence), sehingga arsitektur Ando
sering disebut sebagai architecture of silence. Kesan hening tersebut diwujudkan Ando dalam
form arsitektural dengan menggunakan material beton ekspos yang berkesan diam, dan
memanfaatkan pencahayaan natural yang memperkuat kesan hening tersebut dengan hanya
memasukkan beberapa berkas cahaya saja ke ruang dalamnya. Ini dapat dilihat pada karya
Ando seperti Church of the Light.
Dari sini kita dapat melihat analogi metaforikal kemudian tdak hanya dapat digunakan untuk
membentuk shape, tetapi lebih jauh ke dalam, untuk menghasilkan kualitas ruang dan form
yang membentuknya.
Selain Ando, arsitek yang banyak menggunakan metode metafora ini adalah arsitek Spanyol
Santiago Calatrava. Calatrava sering menggunakan metafora tubuh makhluk hidup sebagai
basis perancangannya. Ini kemudian ia terapkan dalam sistem struktur yang sering menjadi
karakter rancangan arsitektural Calatrava.
Dari sini kita dapat melihat bagaimana metafora juga dapat digunakan untuk mempelajari
suatu sistem yang kemudian diterapkan dalam disain arsitektur. Analogi yang dilakukan
Calatrava berdasar pada sistem tubuh makhluk hidup dapat ia manfaatkan untuk
menghasilkan tidak hanya sebatas shape tetapi sistem yang membentuknya, dalam hal ini
yang Calatrava wujudkan dalam sistem struktur.
Dari contoh-contoh di atas, kita dapat melihat bagaimana metafora dapat digunakan dalam
menemukan dan menghasilkan geometri sebuah arsitektur. Penggunaan metafora sering
direduksi hingga hanya berupa analogi langsung yang kadang lebih bersifat literal dan bahkan
simbolisasi langsung dari obyek yang digunakan sebagai pemicu gagasan, yang kemudian
menghasilkan bentuk-bentuk yang langsung terlihat sebagai obyek yang dimetaforakan.
Padahal, pendekatan metafora ini seharusnya dapat digunakan untuk menghasilkan arsitektur
yang lebih kaya dari pada hanya di permukaan seperti itu. Metafora, sebagai sebuah
pendekatan mendisain, akan lebih baik jika dipahami sebagai sebuah penggalian yang dalam
terhadap sebuah konsep yang akan digunakan sebagai basis dalam merancang, sehingga
arsitektur yang dihasilkan nantinya tidak sebatas di permukaan, tetapi lebih dalam, metafora
tersebut juga membentuk ruang-ruangnya.
Daftar Pustaka :
Francesco Dal Co, Ed. (1995). Tadao Ando: Complete Works. London: Phaidon Press
http://en.wikipedia.org/wiki/Church_of_the_Light
http://en.wikipedia.org/wiki/Santiago_Calatrava
http://en.wikipedia.org/wiki/Guggenheim_Museum_Bilbao
http://en.wikipedia.org/wiki/Bilbao
http://secret-architecture.blogspot.com/2008/12/arsitektur-terunik-di-dunia.html
About these ads
Comments (4)
4 Comments »
1. Representasi arsitektur tidak hanya mengenai bagaimana bentuk arsitektural itu hadir,
namun juga dari mana ide itu kemudian muncul. Mencoba memahami kembali
metafora berdasarkan yang dikemukakan Henny. Bagaimana rancangan arsitektur
yang mencoba me-‘metaforkan’ hal-hal yang bersifat abstrak? Seperti memetaforkan
sebuah memori/cerita mengenai kondisi sosial budaya manusia, atau sebuah
perjalanan sejarah yang si arsitek belum pernah melihat atau mengalaminya. Ataukah
memang metafora selalu mengacu pada yang terwujud secara fisik, atau yang terlihat?
Dan bisa jadi wujud fisik yang terjadi pun tetap akan membuka wacana bebas akan
interpretasi yang muncul, dan tidak terkotak-kotakkan secara kaku ?
3. @nurulislami metafora tidak selalu harus berangkat dari obyek fisik kok. dan
memang ada yang namanya metafora abstrak seperti yang sudah dikemukakan
datunpaksi, yang idenya bisa berawal dari satu konsep tak berwujud. namun tetap saja
kan, selama kita berbicara arsitektur, hasil yang [harusnya] muncul adalah apa yang
terlihat/memiliki wujud. namun justru itu poin yang saya soroti di sini, apa pun ide
awalnya, baik itu metafora abstrak maupun metafora konkrit atau kombinasinya, akan
lebih baik kalau itu tidak hanya pada permukaan atau hanya membentuk fasad
maupun massa, namun sampai ke dalam ruangnya, sehingga ketika orang-orang
menggunakan/berada dalam karya arsitektur tersebut, mereka dapat memahami ide
obyek/konsep yang digunakan sebagai ide dalam merancang ruang tersebut. jadi
misalnya ketika seseorang berawal dar ide tentang ‘pertumbuhan’, akan lebih baik
kalau konsep ini tidak hanya dihadirkan melalui simbolisasi bentuk massa yang
menggambarkan proses pertumbuhan, tapi ketika manusia bergerak di dalamnya dan
mengalami ruangnya, ia dapat merasakan esensi ‘pertumbuhan’ itu. saya pikir
memang bagian ini yang membuat arsitektur ketika dikaitkan dengan metode
metafora menjadi sulit, tapi menjadikannya lebih menarik.
2. Saluran-saluran transformasi
Untuk mencapai keempat moda transformasi diatas ada beberapa saluran yang dapat dilalui, yaitu :
a. Material
Penggunaan material bangunan dipilih berdasarkan konsekuensi bahwa material tersebut dapat
system struktur dan penataan fungsi. Konsekuensi ini menimbulkan suatu penataan dan struktur
yang berdasar material, misalnya system modular. Namun pemilihan bahan juga dapat
mempengaruhi tampilan arsitektur, misalnya mengenai tekstur pada eksterior maupun interior, detil
finishing dan sebagainya.
Namun begitu pemilihan material ini cenderung memilih yang paling gampang didapatkan di daerah
tempat karya tersebut dibuat.
Kriteria saluran transformasi ini adalah :
Tema : Material
Transformasi : - Penggunaan teknologi
- Eksplorasi sifat bahan
Alat : Bidang permukaan, tampak, massa
Tampilan visual : - Penonjolan tekstur bahan
- Penonjolan system konstruksi
- Penampilan sifat bahan
b. Pemalihan
Berdasarkan strategi pembentukannya, terdapat tiga macam transformasi, pertama adalah strategi
tradisional sebagai evolusi progresif dari sebuah bentuk melalui penyesuaian langkah demi langkah
terhadap batasan-batasan eksternal, internal dan artistic.
Pembentukan kedua adalah dengan peminjaman dari objek-objek lain dan mempelajari property
dua dan tiga dimensinya sambil terus menerus mencari kedalaman interpretasi dengan
memperhatikan kelayakan aplikasi dan validitasnya. Transformasi peminjaman ini adalah
pemindahan rupa dan dapat pula dikualifikasikan sebagai metaphor rupa.
Pembentukan yang ketiga adalah dekonstruksi atau dekomposisi, yaitu sebuah proses dimana
susunan yang ada dipisahkan untuk mencari cara baru dalam kombinasinya dan menimbulkan
sebuah kesatuan baru dan tatanan baru dengan strategi structural dan komposisi yang berbeda.
Dalam melakukan transformasi ada empat tahapan yang dilalui untuk dapat mengakomodasi
kepentingan perancang dan klien. Pertama pernyataan visual dari keragaman pendekatan
konseptual terhadap permasalahan melalui semua dokumen. Kedua, evolusi terhadap ide-ide untuk
dapat memilih yang paling memuaskan semua pihak sebagai alternative optimal dan dijadikan dasar
untuk transformasi berikutnya. Ketiga adalah transformasi alternative sebagai optimalisasi dari
keseluruhan dan bagian-bagian sebuah objek. Terakhir adalah mengkomunikasikan hasil akhir dari
suatu transformasi kepada orang lain sehingga dapat dibaca dan dipahami, kemudian diterima dan
dibangun.
Kriteria saluran transformasi adalah :
Tema : Fungsi, bentuk
Transformasi : Evolusi tradisional, pemecahan (break), pengirisan
(cut), pembagian (segment), penambahan (addition), pergeseran (friction), pengumpulan
( accumulation), penumpukan (stracking), penembusan (penetration), penjalinan (interlacking),
pertautan (meshing), peminjaman, pemindahan rupa, dekonstruksi.
Alat : Massa, bentuk permukaan, detil
Tampilan visual : - simetri-asimetri
- Regular- irregular
c. Eksotik dan multicultural
Eksotik memiliki dua pengertian, pertama adalah eksotik dalam hal fisik dan yang kedua adalah
eksotik dalam metafisik. Eksotik secara fisik mempunyai konotasi geografik, yaitu berkaitan dengan
suatu tempat yang berada di luar lingkungan seseorang, semakin jauh semakin kuat daya eksotiknya.
Sedangkan eksotik metafisik memiliki eksotik konotasi negatif. Eksotik metafisik untuk menjaga
sesuatu dari kejauhan, mengacaukan pikiran, menghilangkan orientasi atau membuat rusak pribadi
seseorang. Oleh karena itu dalam karya rancangan harus dapat memuat pemahaman tentang
masyarakat, iklim, material, metode konstruksi dan teknik-teknik yang terdapat dalam tempat asing
yang dirancang tersebut.
Kriteria saluran transformasi ini adalah :
Tema : Keganjilan fenomena, pertautan budaya, sejarah
Transformasi : Peniruan, perpaduan
Alat : Site, material, detil
Tampilan visual : Suasana, symbol
d. Kompleksitas dan kontradiksi
Dalam kompleksitas dan kontradiksi bahan mentah yang ditransformasikan dapat bermula dari
aspek kesejarahan ataupun seni-seni popular. Sedangkan alat yang digunakan akan lebih sering
menggunakan elemen-elemen yang biasa dikenal atau elemen-elemen konvensional.
Secara sederhana kompleksitas arsitektur ditandai dengan adanya penggunaan elemen-elemen baik
itu dalam wujud bidang, bentuk, warna atau kegunaan atau yang lain yang beraneka. Penggunaan ini
merupakan penggunaan secara bersama-sama untuk membentuk sebuah komposisi tanpa
menghilangkan sifat asli dari elemen-elemen dasar tersebut. Namun jika elemen-elemen dasar
tersebut telah mampu melebur menjadi suatu bentuk jadian yang berubah dari sifat dasarnya, maka
bukan sekedar kompleksitas yang terjadi terjadi tetapi lebih merupakan sebuah kontradiksi.
Bentuk-bentuk transformasi yang memungkinkan antara lain merupakan penerapan kaidah-kaidah
tersebut. Seperti adanya kompleksitas bentuk atau both-and dan kompleksitas fungsi atau double
function.
Kriteri saluran transformasi ini adalah :
Tema : Elemen bangunan sejarah, seni popular
Transformasi : Pembaruan, pengironian
Alat : - Elemen-elemen bangunan konvensional
- Elemen-elemen yang telah biasa dikenal
Tampilan visual : Simbolik
e. Historicism dan preseden
Batasan kreasi pada bangunan dalam bingkai historicism adalah perolehan pengetahuan dari
budaya, teknologi dan filosofi. Penggunaan historicism harus meliputi referensi sejarah yang benar.
Preseden dari waktu yang telah lewat mungkin tidak lagi relevan dengan budaya sekarang atau
dengan faktor lain di jaman sekarang. Untuk itu setiap budaya harus diposisikan dalam bingkai waktu
tertentu. Walaupun begitu menghindari preseden dalam waktu tertentu akan dapat menghilangkan
proses desain pada kesempatan evolusi yang baik. Untuk itu perlu dihindari karya-karya yang
bersifat tiruan dan jiplakan supaya terhindar pula dari karya-karya yang berapresiasi rendah.
Sekalipun karya yang dihasilkan akan bersifat eklektik namun hal ini dapat dicapai dengan unsure-
unsur kontekstual dengan mempertimbangkan makna primordialnya. Penggunaan aspek budaya,
teknologi dan filosofi dimana harus memiliki referensi sejarah yang benar dan preseden yang tepat.
Kriteria saluran transformasi ini adalah :
Tema : Bangunan sejarah, artefak
Transformasi : Evolusi
Alat : Denah, tampak, suasana
Tampilan visual : Eklektik, kontekstual, primordial
4. Tampilan visual
Seorang pengamat akan menginterpretasi suatu tempat sebagai mana yang dimiliki oleh tempat
tersebut. Interpretasi ini sebagian besar sesuai dengan bentuk visual yang ditampilkan oleh tempat
tersebut. Sehingga ketika makna ini mendukung tanggapan, maka tempat tersebut dikatakan
memiliki kualitas yang disebut kecocokan visual ( Bantley dalam rahmatia 2009 ).
Kecocokan visual suatu tempat dapat diperkuat suatu pemberian interpretasi lingkungan dengan
dukungan dari tiga tingkatan yang berbeda. Pertama, dengan dukungan sifatnya yang mudah dibaca,
baik dalam hal bentuk maupun guna. Kedua, dengan dukungan keragamannya. Sedangkan yang
ketiga adalah dengan dukungan lingkungan yang menawarkan pilihan aktifitas baik dalam skala
besar maupun kecil.
Detil tampilan dari keragaman bangunan hendaknya dapat membantu pembacaan mengenai apa
yang terjadi dengan pembuatan image suatu lingkungan agar terlihat cocok sebagaimana latar
masing-masing pengguna atau pengamat. Sedangkan mengenai tawaran aktifitas, haruslah mampu
memperkuat potensi tawaran pilihan ini dengan memperlihatkan kesesuaian untuk seluruh
pengguna. Sedangkan cirri-ciri visual lebih mengacu pada kualitas typology arsitektural.
Berdasarkan dari uraian teori transformasi, saluran transformasi yang sesuai dengan pokok latar
belakang yang menerima material baru dan menjadikan sejarah sebagai titik berangkat adalah
saluran transformasi material dan pemalihan dengan pengaplikasiannya pada detil bangunan.
Oleh:
Nasbahry Couto & Harmaini Darwis
Karya arsitektur dapat meningkatkan persepsi (kesan) tentang tempat, bentuk dan
atau budaya. Sebab, melalui karya arsitektur dapat diekspresikan identitas budaya
bangsa atau sub kultur. Karenanya, arsitektur itu penting untuk menunjukkan
keberadaan komunitas, bangsa atau etnik, budaya lokal, atau tradisi setempat.
Umumnya kesan seperti ini dicari oleh pengunjung yang datang ke sebuah tempat
tertentu di dunia. Dia akan bertanya “dimana ini?”, apa keunikannya dan seterusnya.
Indonesia memang kaya dengan arsitektur lokal yang berbahan kayu, hal ini dapat
dilihat dari karya-karya arsitektur lokal di Indonesia. Sedangkan pengembangan
mutunya ditentukan oleh standar konstruksi dan keputusan untuk pengembangan
bentuk keunikannya. Dari beberapa penelitian dan juga pembahasan tentang
arsitektur lokal, ternyata arsitektur khas itu dapat diekspresikan bukan hanya dari
atap atau kulit luar bangunan. Banyak pilihan lain untuk mengekspresikan suasana
lokal itu. Misalnya, melalui suasana lingkungan lokal, perkembangan gaya lokal yang
banyak ragamnya itu, elemen-elemen bangunan, atau melalui prinsip eklektik
dengan mengambil unsur-unsur yang dianggap penting dari unsur bangunan tradisi
lokal. Regionalisme dalam arsitektur itu banyak pilihan. Ungkapan regionalisme itu
seyogyanya berkembang dalam berbagai jalur. Oleh sebab itu taksonomi
regionalisme arsitektur harus dipahami guna untuk merancang bentuk arsitektur
lokal itu.Tulisan ini mencoba untuk mengkaji kecendrungan arsitektur di Sumatera
Barat yang mengikuti dua jalur, yaitu (1) yang berorientasi ke masa lampau, dan (2)
yang berorientasi ke masa kini. Dalam hal ini terlihat bahwa, pelaku arsitektur
regionalisme sangat berperan dalam meujudkan arsitektur regional itu. Pelaku itu
baik perancang, pengambil keputusan, pembangun (steakholder), masyarakat,
adalah kekuatan yang mengarahkan, merekayasa, dan melestarikan arsitektur lokal
itu, dan atau sebaliknya justru merusak kesan yang ingin disampaikan melalui
ungkapan arsitektur region itu.
A. Pendahuluan
Arsitektur adalah suatu bidang seni-sosial (Anderson, Lawren B.,2002), sebab
pengembangannya tidak semata oleh individu, tetapi oleh masyarakat. Hal ini
menonjol sekali terlihat dari contoh-contoh praktik arsitektur baik di Sumatera Barat,
maupun Indonesia, dimana peran masyarakat menonjol dalam menentukan bentuk-
bentuk arsitektur. Hal ini dapat berbeda dengan arsitektur yang dikembangkan
semata oleh kekuatan ekonomi kapitalis. Dimana peran sosial direduksi oleh
kekuatan-kekuatan individu perancang liwat perusahaan besar atau multi-nasional.
Model yang terakhir ini dapat saja terjadi di Indonesia. Dimana steakholder dari luar
komunitas juga berperan dalam merancang dan mentukan arsitektur regional.
Namun sebelum membahas hal ini timbul pertanyaan, apakah arsitektur regional itu,
apa perbedaannya dengan arsitektur post-moderen, atau apakah bedanya dengan
arsitektur tradisional. Dan bagaimanakah sebenarnya kiprah arsitektur tradisi-
moderen di Sumatera Barat. Untuk menjawab pertanyaan ini memang tidak mudah,
sebab tidak adanya data yang cukup dan menganalisis untuk melihat bagaimana
arsitektur lokal ini menyambung kepada tradisi arsitektur moderen atau yang sering
di katakan sebagai arsitektur moderen yang sifatnya universal. Keunikan arsitektur
lokal yang diangkat menjadi arsitektur moderen memang penting sebab dia berguna
untuk memperlihatkan daya tarik arsitektur berbadasarkan budaya visual lokal.
ARTIKEL TERKAIT
Perbincangan tentang arsitektur tidak dapat dilepaskan dari perbincangan dua kutub
arsitektur yaitu Arsitektur masa lampau (lama) dan Arsitektur masa kini (baru).
Arsitektur masa lampau diwakili oleh arsitektur vernakular, tradisional, maupun
klasik. Arsitektur masa kini diwakili oleh arsitektur modern, post-modern, dan lain-
lainnya.
Munculnya arsitektur modern (baru) yaitu saat adanya usaha untuk mencari hal-hal
yang (inovatif, kreatif) dan tidak lagi untuk mengulangi karya arsitektur masa lampau.
Tetapi ada saatnya, dalam perkembangan arsitektur modern itu timbul usaha untuk
mempertautkan antara yang lama dan yang baru akibat adanya krisis identitas pada
arsitektur moderen. Salah satu sebabnya, gaya arsitektur moderen itu (international
style) umumnya mirip dimana-mana, dia kehilangan identitas budaya. Di New York,
Tokyo, Paris dan kota-kota besar dunia umumnya, muncul bangunan bertipe sama.
Pemikiran untuk menolak gaya internasional ini, kemudian menimbulkan beragam
konsep arsitektur seperti tradisionalisme, regionalisme, dan post-modernisme.
Konsep regionalisme diperkirakan berkembang sekitar tahun 1960 (Jenks, 1977).
Sebagai salah satu perkembangan arsitektur modern yang mempunyai perhatian
besar pada ciri kedaerahan. Aliran pemikiran ini tumbuh terutama di negara
berkembang. Ciri kedaerahan yang dimaksud berkaitan erat dengan budaya
setempat, iklim, dan teknologi pada saatnya (Ozkan, 1985).
Konsep dan prinsip tradisionalisme dalam arsitektur timbul sebagai reaksi terhadap
terputusnya kesinambungan antara arsitektur yang lama dan yang baru. Gagasan
regionalisme merupakan peleburan antara yang lama dan yang baru (Curtis,1985).
Sedangkan gagasan postmodern dalam arsitektur berusaha menghadirkan yang
lama dalam bentuk universal (Jenks, 1977).
2. Taksonomi Regionalisme
Untuk membahas konsep arsitektur region, kita dapat melihat pemikiran Suha Ozkan
yang membagi Regionalisme menjadi dua bagian yaitu sebagai berikut ini.
1. Concrete Regionalism
Regionalisme kongkrit atau yang nyata, adalah semua pendekatan kepada ekspresi
arsitektur regional, kepada bagian-bagiannya, atau seluruh bangunan di daerah
tersebut. Apabila bangunan-bangunan tadi sarat dengan nilai spiritual maupun
simbolisasi yang cocok dengan kultur lokal. Bentuknya baru bangunan tersebut akan
diterima, dengan mengeskpresikan nilai-nilai lokalnya.
Gagasan arsitektur regional bisa berasal dari derivatif, yaitu sekedar mengkopi
bangunan yang asli tetapi tidak sesuai orisinal yang oleh Broadbent dikatakan
sebagai hasil tipologi desain. Kemungkinan lain adalah gagasan transformatif
(perubahan bentuk).
Pola derivatif
Desainer yang bekerja dengan pola derivatif, sebenarnya meniru atau memelihara
bentuk arsitektur tradisi atau vernakular, untuk fungsi bangunan baru atau moderen.
Dalam hal ini kita melihat tiga kecendrungan
Bangunan legislatif pemerintah Karnataka di Bangalore, India Selatan (1954) yang mengambil gaya
Dravida baru, dapat dianggap sebagai pola derivatif-tipologis
Pola transformatif
Gagasan arsitektur regional yang bersifat transformatif, tidak lagi sekedar meniru
bangunan lama. Tetapi berusaha mencari bentuk-bentuk baru, dengan titik tolak
ekspresi bangunan lama baik yang visual maupun abstrak.
Gagasan arsitekur yang bersifat visual dapat dilihat dari usaha pengambilan
elemen-elemen bangunan lama yang yang dianggap baik, menonjol atau ekspresif
untuk di ungkapkan kepada bangunan baru. Pemilihan elemen yang dianggap baik
ini disebut eklektik. Kemudian pastiche, atau mencampur-baurkan beberapa elemen
bangunan baik moderen maupun tradisional, beberapa diantara desain bangunan
seperti ini juga dapat menimbulkan kesan ketidakserasian. Sedangkan
reinterpretatif, adalah menafsirkan kembali bangunan lokal itu dalam versi baru.
Pencarian dan penafsiran bentuk-bentuk arsitektur tradisi ini pernah di kritik oleh
arsitek Jepang Kenzo Tange, yang hanya akan melahirkan monster-monster
arsitektur lokal. Namun tidak dapat disangkal bahwa, pola transformasi adalah salah
satu cara untuk menciptakan arsitektur moderen yang dapat merangsang kreativitas
arsitek untuk menciptakan karya arsitektur baru dan moderen, tetapi masih
memperlihatkan karakter arsitektur lokal dari masa silam. Secara umum, pola
transformasi dapat diartikan perubahan bentuk lama ke bentuk baru
Portland Building.Pencarian bentuk baru melalui sketsa oleh Michael Grafes untuk gedung
Portland building, 1983, di Oregon USA, yang dianggap sebagai monumen bangunan
Posmoderen.
a. Dominan (dominasi)
Sesuatu yang dominan yaitu ada salah satu unsur visual yang menguasai
keseluruhan komposisi. Dominasi dapat dicapai dengan penggunaann warna,
material, maupun obyek-obyek pembentuk komposisi itu sendiri.
b.Pengulangan
Pengulangan di dalam komposisi dapat dilakukan dengan mengulang bentuk,
warna, tekstur, maupun proporsi. Didalam pengulangan dapat dilakukan dengan
berbagai irama atau repetisi agar tidak terjadi kesenadaan (monotone).
c. Kesinambungan dalam komposisi
Kesinambungan atau kemenerusan adalah adanya garis penghubung maya
(imaginer) yang menghubungkan perletakan obyek-obyek pembentuk komposisi.
Jam gadang Bukittinggi, Dahulunya puncak jam gadang dirancang dengan membuat patung ayam
berkokok, setelah kemerdekaan kemudian di ganti dengan gonjong. Bangunan-bangunan seperti ini
sering di kritik dengan “orang Barat berkopiah”. Aspek tempelan yang paling menonjol pada
bangunan moderen adalah “gonjong cula badak”, bentuk ini secara latah dipakai pada supermarket,
kantor dsb. Gambar kiri atas jam gadang seabad yang lalu, kanan adalah jam gadang sekarang.
Transformasi bentuk arsitektur regional (kasus Minangkabau) sebenarnya sudah berlangsung sejak
jaman kolonial contoh bangunan mesjid di Sungai Puar Bukittinggi, dan beberapa tempat lainnya di
Sumatera Barat memperlihatkan hal itu. (Sumber: Museum, Aditiawarman , Padang)
Lintasan perkembangan bangunan tradisi Minangkabau. Bangunan tradisi itu pada awalnya sangat
sederhana, kemudian muncul bangunan tradisi elit lokal (kerajaan) dan elit kolonial (petinggi di jaman
kolonial), seperti bangunan beranjung. Bangunan tipe ini banyak yang menjadi contoh bangunan
tradisional moderen, pada hal jenis bangunan ini bukan yang dipakai oleh kebanyakan masyarakat di
nagari-nagari di Minangkabau. Misalnya, museum, kantor gubernur, kantor rektorat UNP Padang
(lama) mengimitasi bangunan tradisi elite yang dimaksud (sumber: Couto, 2008). Keterangan lebih
lengkap baca buku : Budaya visual tradisi Minangkabau, kar.Nasbahry Couto (2008), terbitan UNP
Press.
5. Peran Masyarakat
Peran masyarakat untuk memelihara arsitektur regionalisme dapat dilihat dalam dua
periode. Periode 1) adalah sejak tahun 65-an, dimana Pemda Sumatera Barat
berusaha untuk mengonjongkan bangunan –bangunan moderen di kota –kota
Sumatera Barat. Akibat nya terjadilah tempelan-tempelan yang tidak perlu pada
bangunan moderen yang justru merusak karakter bentuk AMK. Periode 2)
berlangsung sejak tahun 80-an, yaitu sejak diadakannya MTQ ke 13 di kota Padang.
Dimana para arsitek yang berperan untuk mendesain bangunan tidak lagi di bawah
komando politik Pemda, tetapi berusaha untuk mengadakan penelitian, mencari akar
arsitektur lokal (sisa-sisa eksperimen bangunan AML ke AMK dapat dilihat pada
bangunan Mesjid Muhamadiyah dan GOR Haji Salim di Kota Padang), yang di
prakarsai oleh Ir.Ismed Darwis (Alm.)
Bangunan Mesjid Raya (baru) di jalan khatib Sulaiman yang mengambil unsur atap sebagai badan
bangunan mesjid ( usaha untuk mendamaikan unsu adat dengan agama?) sebab bangunan asli
tradisi mesjid bukanlah seperti ini. Dapat dilihat dari gambar di bawah.
Lukisan tentang mesjid di pinggir danau singkarak oleh pelukis Belanda : L. J. (Leo) Eland 1884-
1952. Dilukis pada abad ke 19. Ciri bangunan mesjid asli ini mulai menghilang. Sumber.
http://www.geheugenvannederland.nl
6. Peran Desainer (Perancang) dan Steakholder
Peran arsitek lokal dalam arsitektur regional umumnya kecil dibandingkan dengan
peran arsitek yang berasal dari luar komunitas. Hal ini dapat dipahami karena
bangunan-bangunan AMK yang mengandung AML yang di bangun di perkotaan di
rancang oleh desainer dari luar komunitas.
D. Simpulan
Sampai saat sekarang bagaimana ujud arsitektur lokal itu masih dalam wacana
diskursus, antara lain wacana tentang mana arsitektur bentuk asli dan mana yang
bentuk transformasi. Sebab dalam perjalanan arsitektur lokal itu yang muncul adalah
model-model bangunan (beberapa model), diantaranya adalah bangunan beranjung,
dianggap sebagai model bangunan tradisi Minangkabau yang unggul dalam
bentuknya. Namun dari penelitian, membuktikanbahwa jenis dan bentuk bangunan
seperti ini adalah bangunan khusus, jadi bukan bangunan yang ada pada
masyarakat Minangkabau. Apa yang terjadi di Sumatera Barat, mungkin sama
dengan yang di tempat lain. Dalam hal ini kita dapat mengaca apa yang
diungkapkan oleh Kenzo Tange (arsitek Jepang), bahwa selagi format arsitektur
moderen-tradisional itu disuatu tempat belum ditemukan, yang muncul hanyalah
karya eksperimen, atau dengan perkataan yang lebih tajam lagi, yaitu karya
monster-monster arsitektur.
(a) Pelaku pembangunan (sumber:
http://www.bakinnews.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=3561:menyoal-anggaran-tahap-ii-
pembangunan-mesjid-raya-sumbar-&catid=35:kota-padang&Itemid=56
Kepustakaan
1. Budihardjo, Eko. "Kepekaan Sosio-Kultural Arsitek", dalam Perkembangan
Arsitektur dan Pendidikan Arsitektur di Indonesia, Eko Budihardjo (ed), Gajah
Mada University Press, Yogyakarta, 1997.
2. Couto.1998. Makna dan Unsur-Unsur Visual Pada Bangunan Tradisional
Minangkabau: Suatu Kajian Semiotik (Studi Kasus: Bangunan Rumah
Gadang di Sehiliran "Batang Bengkawas" Kabupaten Tanah Datar Sumatera
Barat). Thesis, (Tidak diterbitkan). Perpustakaan Fakultas Seni Rupa dan
Desain, Institut Teknologi Bandung
3. Couto.2008. Budaya Visual pada Seni dan Tradisi Minangkabau, Padang:
UNP Press
4. Curtis, William, "Regionalism in Architecture", dalam Regionalism in
Architecture, Robert Powel (ed), Concept Media, Singapura, 1985.
5. Darwis, Harmaini. 1981. Sebuah Tinjauan Tentang Arsitektur Moderen
dengan ciri Tradisional Minangkabau (Seminar Jurusan Arsitektur STT-SB,
tidak diterbitkan)
6. ………..& Couto, Nasbahry. 2003. “Peran ilmu sosial dan budaya dalam
arsitektur”, (Seminar Pendidikan Arsitektur, Yogyakarta, 2003 (tidak
diterbitkan)
7. Jenks, Charles.1977. The Language of Post Modern Architecture, Rizzoli,
New York,
8. Koentjaraningrat. 1974.Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan,
Gramedia, Jakarta,
9. Krier, Rob.1988. Architectural Composition, Rizzoli, New York
10. Ozkan, Suha.1988. "Regionalism within Modernism", dalam Regionalism in
Architecture, editor Robert Powel, Concept Media, Singapura
11. Prijotomo, Josef.1988. Pasang Surut Arsitektur Indonesia, CV Ardjun,
Surabaya
12. Wondoamiseno, R.A.1991. Regionalisme dalam Arsitektur Indonesia :
Sebuah Harapan, Yayasan Rupadatu, Yogyakarta
13. Perubahan Bentuk Dalam Arsitektur.
14. Perubahan bentuk dalam arsitektur dibagi menjadi 3, yaitu :
15. 1.Perubahan Dimensi
2.Substractive (perubahan akibat pengurangan)
3.Additive (perubahan akibat penambahan)
16. 1.Perubahan Dimensi.
17. Perubahan bentuk dapat terjadi akibat perubahan dimensinya(Ukuran).Dengan ada
perubahan ukuran maka sebuah bentukan dapat berubah menjadi besar, kecil,
memanjang, memendek dan sebagainya.Perubahan dimensi ini bisa dilakukan dengan
cara vertikal, horizontal maupun diagonal.
18. contoh perubahan dimensi arah vertikal :
19.
20. perubahan dimensi arah vertikal
21. conto perubahan dimensi arah horizontal :
22.
23. perubahan dimensi arah horizontal
24. contoh perubahan dimensi arah diagonal :
25.
26. perubahan dimensi arah diagonal
27. 2.Perubahan Subtraktive ( Pengurangan ).
28. Perubahan secara subtraktive yaitu perubahan bentuk dengan cara mengurangi bentuk
itu sendiri melalui pemotongan, pencoakkan dan sebagainya.
29. contoh perubahan subtraktive secara pemotongan :
30.
31. subtraktive melalui pemotongan
32.
33. subtraktive melaui pemotongan
34. contoh perubahan subtraktive melalui pencoakkan :
35.
36. subtraktive melalui pencoakkan
37. 3.Perubahan Additive ( Penambahan ).
38. Perubahan Additive yaitu perubahan bentuk dengan cara penambahan bentuk itu
sendiri melalui penempelan, pengelasan dan sebagainya.
39. contoh:
40.
41.
42. perubhan bentuk secara additive
Jika menilik kembali ke masa lalu, permainan masa kecil menjadi salah satu memori yang
tidak terlupakan. Anak-anak seusia kita, sekitar belasan tahun lalu sudah cukup senang ketika
bisa dimanja hanya oleh sebuah mainan genggam yang bahkan layarnya belum berwarna.
Foto diatas mengingatkan kita tentang bagaimana serunya menghabiskan waktu di depan TV
sambil sibuk memencet tombol-tombol handheld game. Kita fokus untuk menata brick-brick
yang jatuh secara bergantian, memutar-mutar brick untuk menemukan posisi yang paling
sesuai sekaligus mengambil nafas dalam-dalam karena deg-degan atas keterbatasan waktu,
sampai tiba-tiba kesal karena kadang brick-brick yang kita paksa untuk turun lebih cepat
akhirnya tidak jatuh ke tujuan awal. Sebagian dari kita semestinya familiar dengan fitur
mainan utama pada handheld game yang sangat populer sejak awal tahun 1985, yaitu tetris.
Tetris ditemukan oleh Alexey Pajitnov. Tetris menjadi sebuah games yang sangat iconic dan
dianggap sebagai permainan terbaik sepanjang masa. Ketika dulu tetris bisa dinikmati
melalui permainan di handheld game, kini tetris pun dapat dimainkan di komputer,
handphone, sampai IPad. Pada awal kemunculannya, bentuk tetris hanya terdiri dari
beberapa bentuk tetromino dengan warna hitam putih saja. Sesuai dengan perkembangan
zaman dan teknologi, tetris kini sudah memiliki beragam kemasan dan bentuk permainan.
Ketika saya mencoba googling kata “tetris”, yang muncul pada tampilan layar komputer saya
adalah sebagai berikut
Dari gambar diatas kita dapat melihat perkembangan tetris sebagai permainan sepanjang
masa yang sangat kuat dengan karakter bentuk-bentuk geometris yang tersusun rapi dan
membentuk komposisi baru tanpa celah. Meskipun terkesan sederhana, permainan taktik
penumpukan pola tetromino lah yang kemudian membuat orang-orang ketagihan untuk
memainkan tetris.
Saya penasaran mengenai hubungan tetris dan arsitektur. Kemudian saya mencoba
memasukkan keyword “tetris architecture” dan yang muncul pada tampilan layar komputer
saya adalah sebagai berikut
Dari foto diatas kita dapat melihat bahwa memang banyak bangunan dan furniture yang
menggunakan konsep dasar tetris sebagai ide desain. Dari berbagai macam desain bangunan
dan furniture tersebut, saya tertarik dengan sebuah bangunan flat “VM House” di
Copenhagen yang didesain oleh Bjarke Ingels dan Julien De Smedt. Sesuai dengan ide
“tetris”, bangunan flat ini terdiri atas berbagai macam komposisi dari brick-brick yang
disusun sehingga bangunan terlihat solid tanpa celah namun terlihat indah karena paduan
tetromino yang saling bertumpuk dan tersusun dari beragam warna. Bentuk elemen bangunan
yang serupa dengan tetromino pada tetris tidak diulang lebih dari duabelas kali sehingga
keunikan dan ciri khas tetris yang memiliki komposisi acak namun tanpa celah semakin
terlihat menonjol pada bangunan.
Berikut elemen-elemen bentuk pada flat tersebut yang identik dengan bentuk-bentuk brick
atau tetromino pada tetris
Melihat pola perkembangan tetris yang kemudian juga diaplikasikan dalam dunia
arsitektur, saya semakin melihat bahwa ternyata dalam beberapa pembentukan desain
arsitektur terdapat unsur-unsur geometri yang sudah lebih dahulu dikenal dan dengan
berbagai macam pendekatan bentuk geometri yang berbeda-beda. Tetris, sebuah permainan
sederhana yang fenomenal dan dianggap sebagai permainan sepanjang masa pun menjadi ide
sebuah karya arsitektur sehingga menciptakan ruang-ruang yang memiliki beragam
komposisi dan warna. Karya arsitektur tersebut berangkat dari sebuah permainan di layar dua
dimensi, ditransformasikan dalam bentuk tiga dimensi dan menjadi ruang gerak bagi manusia
yang beraktivitas di dalamnya. Menakjubkan!
Sumber Pustaka
Perubahan Dimensi
Suatu bentuk dapat diubah dengan mengganti salah satu atau beberapa
dimensi-dimensinya dan tetap mempertahankan identitasnya sebagai
anggota bagain dari suatu bentuk. contohnya prisma dapat diubah menjadi
bentuk-bentuk kotak serupa dengan mengubah ukuran tinggi, lebar atau
panjangnya. Bentuk tersebut dapat dipadatkan menjadi bentuk bidang pipih
atau direntangkan menjadi suatu bentuk linier.
perubahan dimensi dari bentuk tabung
Suatu bentuk dapat diubah dengan menambah unsure-unsur tertentu kepada volume
bendanya. Sifat proses penambahan serta jumlah dan ukuran relative unsure yang
ditambahkan akan menentukan apakah identitas bentuk asal dapat dipertahankan atau
berubah.