Anda di halaman 1dari 8

Nama : Elis Delviyanti

Kelas : S13A

NIM : 12120035

Mata Kuliah : Farmakoekonomi

JURNAL 1

JUDUL JURNAL Kajian Farmakoekonomi Penggunaan Obat Antihipertensi


pada Pasien Hipertensi yang Dirawat di RSUD Kota
Tasikmalaya
TUJUAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui biaya paling
minimal untuk mengobati penyakit hipertensi yang dirawat di
RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya. Taoal sebanyak 100
pasien bersedia untuk mengikuti penelitian, namun
berdasarakan criteria inklusi, didapatkan sebanyak 32 orang
pasien yang memenuhi criteria inkluisi yang ditetepkan oleh
peneliti.
JENIS BIAYA Pada penelitian ini, CMA dibandingkan antara masing-
masing golongan obat antihipertensi yang diberikan kepada
pasien. Analisa dilakukan anatar golongan obat ACEI dengan
ARB, lalu golongan ACEI dengan CCB, kemudian ACEI
dengan B-Bloker, ARB dengan CCB, ARB dengan B-
Bloker, dan CCB dengan B-Bloker. Datas hasil perhitungan
CMA disajikan sebagai berikut : ACEI sebesar Rp
1,320.397.5; ARB sebesar Rp 1,113.380.5; CCB sebesar Rp
435,230.5; dan B-Bloker sebesar Rp 556,411.5. dari data
tersebut bisa dilihat bahwa biaya terbesar didapatkan ketika
menggunakan obat golongan ACEI, dan biaya paling kecil
ketika menggunakan obat golongan CCB.
Beberapa faktor yang mempengaruhi tingginya biaya dalam
penggunaan ACEI adalah lamanya pasien ketika dirawat
dirumah sakit. Salah satu pasien yang dirawat mendapatkan
lama perawatan selama 20 hari, sehingga meningkatkan biaya
lama perawatan, biaya kunjungan dokter, dan obat penunjang
lainnya. Namun bilsa dilihat secara harga obat, harga obat
ACEI lebih murah dibandingkan dengan golongan ARB yang
merupakan golongan obat dengan harga paling tinggi.
Tingginya harga obat ini juga yang menimbulkan
peningkatan biaya total dari pasien yang menggunakan
golongan ARB, meskipun lama rawat pasien yang
menggunakan oabt ARB lebih pendek bila dibandingkan
dengan obat golongan lain, terutama ACEI.
Obat golongan CCB merupakan obat paling cost minimal
dibandingkan obat hipertensi golongan lain. Secara
penggunaan, amlodipine merupakan obat yang paling banyak
digunakan, namun amlodipine ini termasuk paling cost
minimal.
OUTCOME pada table penggunaan obat dapat dilihat bahwa obat yang
paling banyak digunakan adalah golongan calcium channel
blocker yaitu amlodipine, diikuti oleh golongan angiotensin
converting enzyme yaitu ramipril, dan golongan angiotensin
reseptor blocker yaitu candesartan.
Penggunaan obat hipertensi ini selaras dengan hasil penelitian
lain, bahwa saat ini yang paling banyak digunakan adalah
golongan calcium channel blocker (Priatmojo et al, 2014;
Juwita et al, 2018; Khotimah dan Musnelina, 2016; Rustiani
et al 2014). Kelebihan dalam penggunaan obat golongan ini
dibandingkan dengan golongan lain diantaranya adalah
penggunaan hanya 1 kali sehari sehingga meningkatkan
kepatuhan pasien dalam konsumsi obat dan mampu
mengontrol tekanan darah selama 24 jam (Tiwaskar etal,
2018). Kemudian dapat menurunkan resiko efek samping bila
konsumsi malam hari (Tiwaskar et al, 2018; Zhang dan
Hintze, 1998) . penelitian lain menunjukan CCB mampu
menurukan resiko aterosklerosis dengan cara menghambat
terjadinya kerusakan lipid bilayer pembuluh darah oleh
oksidan (TIwaskar et al, 2018; Zhang dan Hintze, 1998).
Obat terbanyak kedua adalah golongan Angiotensin
Converting Enzyme, yaitu ramipril. Obat ini merupakan pro-
drug, dan dimetabolisme di hepar menjadi ramiprilat.
Ramipril terbukti lebih menguntungkan bila diberikan pada
pasien dengan komplikasi diabetes mellitus. Penelitian yang
dilakukan oleh Lal dan Guta (1999) yang dipresentasikan
pada International Congress on Frontiers in Pharmacology
and Therapeutics on 21st Century menunjukan bahwa
ramipril secara signifikan membantu mengontrol gula darah
pasien pada pemeriksaan gula darah acak dan 2 jam post
prandial, namun tidak berpengaruh terhadap kadar serum
insulin dan kadar lipid darah secara signifikan.
Golongan obat ketiga tertinggi penggunaannya adalah
golongan angiotensin reseptor blockers yaitu candesartan.
Dari beberapa penelitian membuktikan bahwa candesartan
meruapakan obat dengan benefit tinggi bila diberikan kepada
pasien hipertensi dengan komplikasi gangguan ginjal karena
obat ini terbukti menurunkan kadar albuminuria pada pasien
(Okura et al, 2012; Ichihara et al, 2006).
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa
KESIMPULAN golongan calcium channel blocker merupakan obat yang
paling cost minimalization dibandingkan dengan golongan
obat antihipertensi lainnya.

JURNAL 2
JUDUL JURNAL ANALISIS FARMAKOEKONOMI PENGGUNAAN
AMLODIPIN, KOMBINASI AMLODIPIN/VALSARTAN,
DAN KOMBINASI AMLODIPIN/TELMISARTAN PADA
PASIEN PENYAKIT GINJAL DIABETIK DI RUANG
RAWAT INAP LONTARA RSUP DR WAHIDIN
SUDIROHUSODO
TUJUAN Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik
dengan pendekatan kohort retrospektif dan prospektif
menggunakan studi perbandingan (comparative study) yang
bertujuan untuk mendapatkan perbandingan biaya minimal,
dan efektivitas-biaya antara penggunaan amlodipin,
kombinasi amlodipin/valsartan dan kombinasi
amlodipin/telmisartan pada pasien hipertensi dengan penyakit
ginjal diabetik di instalasi rawat inap Lontara 1 RSUP dr.
Wahidin Sudirohusodo Makassar periode bulan Juli sampai
Desember 2019.
JENIS BIAYA Penelitian ini menggunakan metode Analisis Minimalisasi-
Biaya (Cost-Minimization Analysis), dan Analisis
Efektivitas-Total biaya pelayanan kesehatan yang paling
tinggi terdapat pada penggunaan kombinasi
amlodipin/valsartan dengan rerata biaya total pengobatan
yaitu Rp 2.550.552,11,- dengan simpangan baku Rp
302.731,79, selanjutnya pada penggunaan kombinasi
amlodipin/telmisartan dengan rerata biaya total Rp
2.184.448,- dengan simpangan baku Rp 235.970,41 dan
paling rendah pada penggunaan amlodipin yaitu Rp
2.178.758,- dan simpangan baku Rp 163.305,40. Dalam
perhitungan farmakoekonomi khususnya dalam penelitian ini,
biaya yang dianalisis berdasarkan perspektif rumah sakit,
yaitu semua biaya pelayanan kesehatan, bukan hanya fokus
terhadap harga obat anti hipertensi saja, tapi juga biaya obat
lain dan biaya perawatan kesehatan seperti biaya tenaga
medis serta biaya penunjang kesehatan lainnya. Setelah
dilakukan uji normalitas data, diperoleh nilai p<0,05 yang
berarti data tidak terdistribusi secara normal, sehingga
dilakukan uji lanjutan dengan Kruskal-Wallis untuk analisis
beda rerata. Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,773
yang artinya tidak terdapat perbedaan yang signifikan secara
statistik mengenai total biaya pada penggunaan obat
amlodipin tunggal, kombinasi amlodipin/valsartan, dan
kombinasi amlodipin/telmisartan.
OUTCOME Efektivitas pengobatan berdasarkan perhitungan penurunan
tekanan darah terhadap penurunan risiko kerusakan ginjal
pada pasien penyakit ginjal diabetik dan nilai proteinuria
yang diperoleh diatas memiliki hasil yang sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Ameen et al. (2016). Ameen
et al. melakukan penelitian randomized clinical trial pada 140
pasien dan menyimpulkan bahwa kombinasi
amlodipin/valsartan secara signifikan menurunkan nilai
albuminuria pada penyakit ginjal, diabetik maupun non-
diabetik, dan mengurangi perkembangan penyakit jika
dibandingkan dengan pengobatan secara monoterapi. Hasil
yang sama didapatkan oleh Galle et al. (2008) yang
melaporkan bahwa valsartan dan telmisartan menghasilkan
penurunan nilai laju ekskresi protein urin dalam 24 jam dan
efek renoprotektif yang tidak berbeda secara signifikan
(20,21).
Penggunaan amlodipin tunggal pada pasien penyakit ginjal
KESIMPULAN diabetik lebih murah jika dibandingkan dengan rerata biaya
total pengobatan kelompok amlodipin/valsartan dan
kombinasi amlodipin/telmisartan. pengobatan menggunakan
kombinasi amlodipin/valsartan memberikan kontribusi
efektivitas yang paling baik terhadap perbaikan fungsi ginjal
pada pasien penyakit ginjal diabetik dan penurunan nilai
proteinuria, namun berdasarkan analisis efektivitas-biaya,
amlodipin lebih cost-effective atau memiliki biaya paling
efektif dibandingkan kelompok kombinasi
amlodipin/valsartan, dan kombinasi amlodipin/telmisartan.

JURNAL 3

JUDUL JURNAL ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA TERAPI


PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PROFILAKSIS
CEFAZOLINE DAN AMOXICILLIN PADA KASUS
BEDAH SESAR DI RSUD JOMBANG TAHUN 2017.
TUJUAN Mengetahui efektivitas biaya pada penggunaan antibiotik
profilaksis amoxicillin dan cefazolin pada kasus bedah sesar
di RSUD Jombang tahun2017.
JENIS BIAYA Analisis biaya yang dilakukan pada penelitian ini
menggunakan sudut pandang provider (rumah sakit) sehingga
berdasarkan hasil dari analisis ini dapat diketahui komponen
dan besarnya biaya terapi yang dikeluarkan dari setiap pasien
bedah sesar yang mendapatkan antibiotik profilaksis
cefazolin dan amoxicillin. Komponen biaya medik langsung
dalam penelitian ini meliputi biaya penggunaan antibiotik
profilaksis, biaya terapi penunjang, biaya perawatan pasien.
OUTCOME Analisis efektivitas biaya dalam penelitian ini ditinjau dari
perspektif rumah sakit. Menilai keefektifan suatu terapi
dengan cara membandingkan keberhasilan dari outcome
terapi dengan biaya yang diperlukan. Outcome terapi
dinyatakan sebagai probabilitas. Outcome diukur dengan
mempertimbangkan target yang diinginkan untuk pasien
bedah sesar yaitu pasien sembuh tanpa terjadi infeksi luka
operasi pasca bedah sesar serta dengan memperhatikan
muncul dan tidaknya efek samping. Dari hasil penelitian
menunjukkan bahwa jumlah probabilitas sembuh tanpa
infeksi luka operasi (ILO) pada pemberian cefazolin lebih
besar dibandingkan dengan amoxicillin yaitu (96,3%)
sedangkan amoxicillin (88,9%). Sedangkan angka
probabilitas dari outcome munculnya efek samping pada
pasien dengan pemberian antibiotik profilaksis amoxicillin
lebih tinggi dibandingkan dengan cefazolin yaitu (11,1%)
pada amoxicillin dan pada cefazolin sebesar (7,4%). Hasil
penelitian ini senada dengan penelitian yang pernah
dilakukan oleh malik (2016) tentang perbandingan efektifitas
terapi penggunaan antibiotik profilaksis amoxicillin
dengancefazolin yaitu angka terjadinya infeksi pasca operasi
bedah sesar untuk pasien dengan pemberian amoxicillin lebih
tinggi dibandingkan dengan cefazolin, yaitu 5% untuk
amoxicillin dan 3% untuk cefazolin dari total pasien
sebanyak 122 orang. Selain itu pada penelitian yang
dilakukan oleh Ibrahim (2011) menunjukkan bahwa jumlah
kejadian munculnya efek samping pada amoxicillin berupa
nausea, vomiting, itching dan dizziness sebanyak 22 %
sedangkan pada golongan sefalosporin sebesar 17 %.
Berdasarkan hasil penelitian analisis efektivitas biaya terapi
KESIMPULAN pada penggunaan antibiotik profilaksis cefazolin dan
amoxicillin pada kasus bedah sesar di RSUD Jombang
tahun 2017 dapat disimpulkan bahwa pada penggunaan terapi
cefazolin lebih cost-effective daripada amoxicillin.

JURNAL 4

JUDUL JURNAL Analisis Efektivitas Biaya Antara Penggunaan Siprofloksasin


dan kotrimoksazol Pada Pasien Infeksi Saluran Kemih di
Rumah Sakit Universitas Hasanuddin Makassar.
TUJUAN Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas
biaya antara penggunaan siprofloksasin dan kotrimoksazol
pada pengobatan ISK di Rumah Sakit Universitas
Hasanuddin Makassar pada periode Januari-Desember 2018
dan periode Januari-Juni 2019.
JENIS BIAYA Penelitian dilakukan dengan analisis biaya dari sudut
pandang rumah sakit. Analisis dilakukan untuk mengetahui
komponen dan besar biaya terapi pasien infeksi saluran
kemih dalam biaya medik langsung dan biaya total terapi
setiap kelompok terapi. Komponen biaya medik langsung
meliputi: biaya antibiotik, biaya obat non antibiotik, biaya
laboratorium, biaya konsultasi dokter, dan biaya rawat inap.
Menunjukkan komponen biaya medik langsung pada pasien
infeksi saluran kemih dengan jenis pembiayaan BPJS rawat
inap di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin Makassar
sebagai berikut: Biaya yang digunakan untuk membayar obat
yang digunakan pada pasien ISK selama perawatan. Biaya ini
dihitung berdasarkan pada harga satuan antibiotik injeksi
dikalikan dengan jumlah penggunaan per hari selama
perawatan. Tabel 3 tersebut menunjukkan total biaya
pemakaian antibiotik siprofloksasin lebih tinggi yaitu Rp.
942.354,32 dibandingkan antibiotik kotrimoksazol Rp.
11.136,00. Tingginya harga antibiotik siprofloksasin
dipengaruhi oleh perbedaan harga obatnya, injeksi
siprofloksasin infus dengan harga RP. 14.000 per botol
diberikan setiap 1x24 jam dan siprofloksasin 500 mg tablet
dengan harga Rp.412 Per tablet diberikan 2x24 jam
sedangkan kotrimoksazol 480 mg tablet dengan harga Rp.165
per tablet diberikan setiap 2x24 jam. Biaya obat non
antibiotik merupakan biaya pembelian obat lain diluar
antibiotik siprofloksasin dan kotrimoksazol yang digunakan
pasien untuk mengurangi keluhan atau gejala yang
dialaminya seperti: demam, nyeri dan lain-lain. Tabel 3
tersebut menunjukkan total biaya pemakaian obat tambahan
siprofloksasin lebih tinggi yaitu Rp. 6.813.797 dibandingkan
kotrimoksazol Rp 728.876 Tingginya biaya obat tambahan
pada kelompok siprofloksasin karena beberapa pasien
memerlukan obat lain untuk mengurangi keluhan atau gejala
yang dialami. Selain antibiotik diberikan beberapa obat untuk
menunjang kesembuhan pasien yaitu dengan memberikan
parasetamol untuk meringankan rasa sakit saat buang air
kecil (Soenarjo, 2015). Ranitidin untuk menurunkan sekresi
asam lambung yang meningkat dengan cara menghambat
reseptor histamin 2 (Setiabudy, 2011). Diberikan NaCl 0,9%
untuk mengembalikan keseimbangan elektrolit pada dehidrasi
akibat mual muntah (Schwartz, 2000). Biaya yang diperlukan
sebagai faktor penunjang seperti laboratorium dan
pengambilan spesimen. Tabel 3 tersebut menunjukkan total
biaya diagnosik kelompok siprofloksasin lebih tinggi yaitu
sebesar Rp 4.031.600 dibandingkan kotrimoksazol Rp
862.900,00. Tingginya biaya diagnostik pada kelompok
siprofloksasin karena terdapat beberapa pasien mendapatkan
uji tambahan seperti uji SGOT.
OUTCOME Efektivitas antibiotik adalah pengukuran keberhasilan
penggunaan antibiotik pada pasien, guna, meningkatkan, taraf
hidup dari pasien. Efektivitas penggunaan antibiotik sendiri
dapat dilihat berdasarkan parameter keberhasilan dalam
menyembuhkan pasien infeksi saluran kemih seperti
pengamatan nilai leukosit dalam urine. Berdasarkan obat-
obatan yang digunakan pada terapi Infeksi Saluran Kemih
(ISK) di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin Makassar
terdapat berbagai macam variasi antibiotik yang digunakan
pada pasien. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan
didapatkan bahwa antibiotik golongan fluoroquinolon yaitu
siprofloksasin dan antibiotik golongan Trimethoprim-
Sulfamethoxazol, yaitu kotrimoksazol yang banyak
digunakan sebagai terapi.
Berdasarkan dari penelitian yang telah dilakukan dapat
KESIMPULAN disimpulkan golongan antibitiotik kotrimoksazol memiliki
biaya yang lebih efektif (Cost-Effective) dibandingkan
dengan antibiotik siprofloksasin. Perlu dilakukan penelitian
serupa dengan lokasi dan obat antibiotik yang berbeda agar
diketahui perbandingan biaya efektivitas antara antibiotik di
daerah lain sehingga menambah referensi dalam pemilihan
antibiotik yang efektif dari segi biaya dan efektifitas terapi.
Hasil penelitian ini bisa dijadikan salah satu bahan
pertimbangan dalam memilih terapi antibiotik untuk pasien
rawat inap infeksi saluran kemih dilihat dari segi efektivitas
terapi dan biaya yang digunakan.

JURNAL 5

JUDUL Analisis Efektivitas Biaya Penggunaan Antibiotik pada Pasien


JURNAL Community-acquired Pneumonia di RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung.
TUJUAN Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis nilai cost-
effectiveness kombinasi antibiotik azitromisin-seftriakson dan
kombinasi azitromisin-sefotaksim pada pengobatan CAP di
RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung serta menganalisis faktor
yang paling berpengaruh terhadap nilai cost-effectiveness.
JENIS BIAYA Nilai cost-effectiveness kelompok A dan B Total biaya yang
diperlukan pada kelompok A adalah Rp9.914.513 (payer
perspective) dan Rp6.903.169 (healthcare perspective),
sedangkan total biaya pada kelompok B adalah Rp8.717.343
(payer perspective) dan Rp4227.714 (healthcare perspective).
Kelompok A dapat menurunkan 3.320 sel leukosit/mm3, lebih
tinggi jika dibandingkan kelompok B yang dapat menurunkan
3.055 sel leukosit/mm3 (Tabel 2). Nilai ACER kelompok A dari
payer dan healthcare perspective secara berturut-turut adalah
Rp2.987 dan Rp2.080 per penurunan 1 sel leukosit/mm3,
sedangkan kelompok B adalah Rp2.853 dan Rp 1.184 per
penurunan 1 sel leukosit/mm3. Hasil perhitungan ICERB →A
baik dari payer maupun healthcare perspective berturut-turut
adalah Rp4.531 dan Rp22.379.
OUTCOME Hasil analisis sensitivitas akan menunjukkan lower limit yaitu
ICER-25% dan upper limit yaitu ICER+25%. Semakin panjang
rentang /besar selisih antara lower dan upper limit artinya
semakin besar pengaruhnya terhadap nilai ICER. Parameter
yang memiliki rentang Pasien CAP yang dirawat di rumah sakit
paling banyak adalah pasien usia >60 tahun.19 Di Vietnam,
insiden CAP pada pasien usia >75 tahun mencapai 6,95 per
1.000 jiwa/tahun,20 sedangkan di Thailand, insiden CAP pada
pasien >70 tahun mencapai 1,5 per 1.000 jiwa/tahun.21 Di
Spanyol dan Jerman, insiden CAP yang terjadi pada pasien usia
>65 tahun mencapai 76–140 kasus per jiwa/tahun.22,23.
Tidak ada perbedaan yang signifikan pada efektivitas
KESIMPULAN (penurunan leukosit) dan total biaya medik antara kombinasi
azitromisin- seftriakson dan azitromisin-sefotaksim, meskipun
nilai ACER azitromisin-sefotaksim lebih rendah jika
dibandingkan azitromisin- seftriakson. Berdasarkan hasil uji
analisis sensitivitas, penurunan leukosit dan biaya rawat inap
merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap nilai ICER.

Anda mungkin juga menyukai