JUDUL JURNAL Analisis Efektivitas Biaya Antara Penggunaan Siprofloksasin
dan kotrimoksazol Pada Pasien Infeksi Saluran Kemih di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin Makassar TUJUAN Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas biaya antara antibiotik siprofloksasin dan kotrimoksazol yang digunakan untuk pengobatan ISK Rumah Sakit Universitas Hasanuddin Makassar. JENIS BIAYA Analisis efektivitas biaya dilakukan dengan metode perhitungan Average cost-effectiveness ratio (ACER). ACER menggambarkan rata-rata biaya dalam unit mata uang per outcome klinis spesifik yang didapatkan. Data biaya pengobatan langsung yang diperoleh dari pasien infeksi saluran kemih di rumah sakit universitas hasanuddin Makassar selanjutnya digunakan untuk menghitung rasio efektivitas biaya yang dinyatakan dengan ACER (Average cost effectiveness ratio). Perhitungan rasio tersebut, hasilnya akan menunjukkan alternatif terapi antibiotik yang memiliki biaya medis langsung paling rendah per-outcome yang didapat (biaya medis langsung/hari). Berikut adalah hasil perhitungan nilai ACER untuk masing-masing alternatif terapi: Nilai Average Cost-effectivines Ratio (ACER) atau rasio rerata efektivitas biaya dari suatu pilihan beberapa alternative terapi yang memiliki tujuan yang sama adalah rasio dengan nilai terendah (DiPiro et al., 2011). Berdasarkan hasil perhitungan ACER yang ditunjukkan dalam tabel 5, dapat diketahui bahwa nilai ACER yang paling rendah adalah rasio rerata efektifitas biaya dari terapi antibiotik kotrimoksazol yaitu 28.723 sedangkan antibiotik siprofloksasin yaitu 36.239.
Pilihan alternatif terapi yang lebih cost-effective adalah
alternatif terapi dengan nilai ACER yang lebih rendah daripada yang lain (Kemenkes, 2013). Hal ini menunjukkan bahwa antibiotik kotrimoksazol merupakan pilihan terapi antibiotik yang lebih cost-effectife dibandingkan pilihan antibiotik siprofloksasin yang digunakan untuk terapi pasien infeksi saluran kemih di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin Makassar. Perlu ditekankan kembali bahwa analisis farmakoekonomi secara CEA bukan untuk mengetahui pengurangan biaya melainkan pada hal optimasi biaya. Untuk memperkuat hasil perhitungan ACER yang telah diperoleh selanjutnya perbandingan efektivitas biaya antar terapi antibiotik dipetakan dalam tabel perbandingan antibiotik berdasarkan efektivitas biaya yang sesuai dengan Tabel 2.1 dalam pemetaan tersebut akan diketahui antibiotik yang menjadi pilihan utama berdasarkan tinggi rendahnya efektivitas biaya yang diperoleh dibandingkan dengan antibiotik lainnya.
Perbandingan hasil efektivitas biaya antar terapi antibiotik
dikelompokkan sesuai tabel 2.1 yang ditunjukkan dalam tabel berikut ini (Kemenkes, 2013): Berdasarkan Tabel 6, posisi perbandingan antibiotik kotrimoksazol berada di kolom D atau kolom dominan. Hal ini berarti pilihan terapi antibiotik menggunakan antibiotik kotrimoksazol lebih direkomendasikan untuk dipilih sebagai pilihan terapi antibiotik untuk pasien infeksi saluran kemih di Rumah sakit UNHAS. Sedangkan posisi perbandingan antibiotik siprofloksasin berada di kolom F yang tergolong kolom didominasi. Kolom didominasi adalah lawan dari kolom dominan yang berarti ketika ada suatu perbandingan terapi terletak di kolom didominasi sedangkan di kolom dominan juga terdapat perbandingan terapi, maka otomatis yang digunakan adalah perbandingan yang berada dikolom dominan. OUTCOME Efektivitas antibiotik adalah pengukuran keberhasilan penggunaan antibiotik pada pasien, guna, meningkatkan, taraf hidup dari pasien. Efektivitas penggunaan antibiotik sendiri dapat dilihat berdasarkan parameter keberhasilan dalam menyembuhkan pasien infeksi saluran kemih seperti pengamatan nilai leukosit dalam urine. Berdasarkan obat- obatan yang digunakan pada terapi Infeksi Saluran Kemih (ISK) di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin Makassar terdapat berbagai macam variasi antibiotik yang digunakan pada pasien. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan didapatkan bahwa antibiotik golongan fluoroquinolon yaitu siprofloksasin dan antibiotik golongan Trimethoprim- Sulfamethoxazol, yaitu kotrimoksazol yang banyak digunakan sebagai terapi.
Kejadian tanda infeksi yang dialami pasien di Rumah Sakit
UNHAS tahun 2018 dan periode Januari sampai Juni 2019, dilihat dari pemeriksaan laboratorium (peningkatan leukosit). 1. Peningkatan Suhu (Demam) Demam merupakan gejala klinik terpenting untuk mendiagnosis terjadinya infeksi. Suhu tubuh pasien yang terkena infeksi umumnya mengalami kenaikan suhu tubuh > 370Celsius yang terjadi selama 2hari (Rachimhadhi & Wiknjosastro 2010). Demam menjadi penanda bahwa tubuh sedang melakukan perlawanan terhadap agen- agen mikroorganisme (Djunarko & Hendrawati 2011). Peningkatan suhu tubuh tersebut dapat diatasi dengan pemberian antibiotik terapi dengan antibiotik luas secara intravena, dan pasien membaik dalam waktu 48-72 jam. Pasien yang demam dengan suhu tubuh > 37 derajat Celsius diberikan parasetamol dan antibiotik terapi untuk menurunkan suhu tubuh. 2. Peningkatan Leukosit Leukosit merupakan salah satu sel dalam antibiotik imun yang berperan dalam melawan infeksi serta melindungi tubuh dengan memfagosit antibiotik asing dan memproduksi atau mengangkut antibiotik. Nilai normal leukosit di Rumah Sakit UNHAS adalah 4.500-10.000/ μL. Nilai leukosit yang mengalami peningkatan lebih dari normal disebut sebagai leukositosis (KEMENKES RI 2011). Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa semua pasien yang telah mendapatkan terapi antibiotik siprofloksasin dan kotrimoksazol dinyatakan normal karena memiliki nilai leukosit ≤10.000/ μL. Penyebab dari leukositosis antara lain karena adanya infeksi bakteri (khususnya bakteri piogenik, lokal atau generalisata), inflamasi dan nekrosis jaringan, kelainan metabolik, terapi kortikosteroid (menghambat marginasi) (Hoffbrand et al., 2002). Berdasarkan dari penelitian yang telah dilakukan dapat KESIMPULAN disimpulkan golongan antibitiotik kotrimoksazol memiliki biaya yang lebih efektif (Cost-Effective) dibandingkan dengan antibiotik siprofloksasin. Perlu dilakukan penelitian serupa dengan lokasi dan obat antibiotik yang berbeda agar diketahui perbandingan biaya efektivitas antara antibiotik di daerah lain sehingga menambah referensi dalam pemilihan antibiotik yang efektif dari segi biaya dan efektifitas terapi. Hasil penelitian ini bisa dijadikan salah satu bahan pertimbangan dalam memilih terapi antibiotik untuk pasien rawat inap infeksi saluran kemih dilihat dari segi efektivitas terapi dan biaya yang digunakan.
JURNAL 2
JUDUL JURNAL ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA TERAPI
PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PROFILAKSIS CEFAZOLINE DAN AMOXICILLIN PADA KASUS BEDAH SESAR DI RSUD JOMBANG TAHUN 2017 TUJUAN Tujuan dari penelitian adalah untuk Mengetahui efektivitas biaya pada penggunaan antibiotik profilaksis amoxicillin dan cefazolin pada kasus bedah sesar di RSUD Jombang tahun2017. JENIS BIAYA Penelitian yang dilakukan secara observasional analitik dengan menggunakan desain penelitian cross-sectional yang dilakukan secara retrospektif dengan tujuan untuk mengetahui efektivitas biaya penggunaan antibiotik profilaksis pada kasus bedah sesar di RSUD Jombang.
Perhitungan biaya ditinjau dari sisi provider dalam hal ini
adalah rumah sakit terhadap biaya langsung medis (direct medical cost) selama pasien mendapatkan perawatan rawat inap di rumah sakit. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang mendapatkan tindakan bedah sesar tanpa disertai adanya komplikasi yang mendapatkan terapi antibiotik profilaksis cefazolin dan amoxicillin, dengan teknik pengumpulan sampel secara purposive sampling dengan menggunakan lembar pengumpul data. Teknik analisis menggunkan analisa keputusan (Decision Tree). OUTCOME Biaya efek samping merupakan biaya yang diperlukan oleh pasien untuk menanggulangi efek samping yang timbul, dalam hal ini yang termasuk dalam biaya efek samping adalah biaya obat yang digunakan untuk menghilangkan efek samping yang timbul akibat pemberian antibiotik profilaksis diketahui biaya total dan rata efek samping pada penggunaan cefazolin adalah Rp23.563,24 dan rata-ratanya Rp5.890,81 ± Rp2.014,04 sedangkan pada pada penggunaan amoxicillin total biaya efek sampingnya Rp78.497,00 dan rata-ratanya Rp19.624,32 ± Rp14.768,89. Berdasarkan hasil penelitian analisis efektivitas biaya terapi KESIMPULAN pada penggunaan antibiotik profilaksis cefazolin dan amoxicillin pada kasus bedah sesar di RSUD Jombang tahun 2017 dapat disimpulkan bahwa pada penggunaan terapi cefazolin lebih cost-effective daripada amoxicillin.
JURNAL 3
JUDUL JURNAL ANALISIS BIAYA MINIMAL PENGGUNAAN
ANTIHIPERTENSI DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA BONTANG TUJUAN Secara umum analisis efektivitas biaya didefinisikan sebagai tatacara analitis dan matematis yang digunakan untuk membantu dalam memilih suatu tindakan yang akan dilakukan dari berbagai alternatif pendekatan yang ada. JENIS BIAYA Sehingga diperlukan obat-obat yang lebih ekonomis dan efektif dalam pengobatan hipertensi dalam bentuk CMA (Cost-Minimization Analysis).
OUTCOME Analisis yang digunakan untuk menentukan obat yang
memiliki biaya yang paling minimal yang dikeluarkan pasien yaitu dengan metode CMA (Cost Minimization Analysis), dimana jumlah total biaya yang dikeluarkan oleh pasien dibagi dengan jumlah kasus terapi. Berdasarkan hasil dari data penggunaan obat antihipertensi yang paling banyak digunakan di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bontang diperoleh obat antihipertensi kombinasi antara amlodipine 10 mg dengan captopril 25 mg dan amlodipine 5 mg dengan captopril 12,5 mg.
Dilihat dari hasil yang didapat biaya yang dikeluarkan pasien
yang menggunakan amlodipine 5 mg dengan captopril 12,5 mg lebih kecil dibandingkan dengan pasien yang menggunakan amlodipine 10 mg dengan captopril 25 mg. Karakteristik pasien menunjukan pasien perempuan lebih KESIMPULAN banyak terkena hipertensi dibandingkan dengan pasien laki- laki. Antihipertensi yang paling banyak digunakan oleh pasien hipertensi rawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bontang yaitu jenis kombinasi 2 obat antihipertensi yaitu amlodipine 5 mg dengan captopril 12,5 mg dan amlodipine 10 mg dan captopril 25 mg. Dan obat antihipertensi yang memiliki biaya paling minimal yang dianalisis dengan metode CMA (Cost Minimization Analysis) yaitu amlodipin 5 mg dengan Captopril 12,5 mg yaitu sebesar Rp 498.800,00.
JURNAL 4
JUDUL JURNAL Evaluasi Penggunaan Antibiotika Secara Kualitatif dan
Analisis Efektivitas Biaya pada Pasien Pediatri di RSUP Fatmawati Jakarta TUJUAN Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas penggunaan antibiotik dan pengaruh rekomendasi apoteker dalam meningkatkan kualitas penggunaan antibiotik, menurunkan lama rawat dan biaya pengobatan. JENIS BIAYA Analisis efektivitas biaya merupakan teknik analisis ekonomi untuk membandingkan biaya dan hasil terapi relatif dari dua atau lebih intervensi kesehatan. Cost Effectiveness Analysis (CEA) digunakan untuk menentukan apakah suatu obat telah cukup untuk ditawarkan dan digunakan dalam pelayanan kesehatan [10]. Data biaya pasien diambil dari bagian keuangan RSUP Fatmawati, meliputi biaya pengobatan, biaya penunjang, biaya perawatan dan biaya total perawatan. Analisis data dilakukan dengan uji Chi-square untuk mengetahui pengaruh jenis terapi antibiotik, lama pemberian terapi, lama rawat, dan penyakit penyerta terhadap kualitas penggunaan antibiotik. Uji Chi-square juga dilakukan untuk mengetahui hubungan antara rekomendasi dengan lama rawat dan biaya pengobatan. Uji normalitas dilakukan dengan One- Sample Kolmogrov-Smirnov Test, dan dilanjutkan dengan Wilcoxon Signed Ranks Test untuk mengetahui beda kualitas penggunaan antibiotika sebelum dan sesudah diberikan rekomendasi. OUTCOME Berdasarkan hasil uji Pearson Chi-square, rekomendasi mempengaruhi lama rawat (p=0,034), lama rawat mempengaruhi biaya antibiotik (p=0,000), dan total biaya rawat (p=0,000). Hasil uji Kruskal Wallis antara lama rawat terhadap hasil terapi (p=0,012), dan uji Chi square (p=0,005), berdasarkan nilai signifikansi tersebut lama rawat mempunyai pengaruh positif terhadap hasil terapi. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas penggunaan KESIMPULAN antibiotik adalah jenis terapi antibiotik, lama pemberian terapi antibiotik, lama rawat dan penyakit penyerta. Penggunaan antibiotik pada pasien pediatri di RSUP Fatmawati Jakarta tepat dan bijak. Rekomendasi apoteker dapat meningkatkan kualitas penggunaan antibiotik, menurunkan lama rawat dan biaya kesehatan.
JURNAL 5
JUDUL Analisis Efektivitas Biaya Penggunaan Metildopa
JURNAL Dibandingkan dengan Nifedipine Pada Pasien Preeklampsia Rawat Inap Di RSUD H. Abdul Manap Kota Jambi TUJUAN Pengobatan pada penderita hipertensi bertujuan mengontrol tekanan darah pasien sehingga tidak mengganggu fisiologis tubuh dan merusak fungsi organ yang lain (Ristyaning- sih,dkk., 2018). Terapi utama pada hipertensi ibu hamil meliputi metildopa dan nifedipine, kedua obat ini berasal dari golongan yang berbeda. Nifedipine merupakan salah satu golongan calcium channel blocker sedangkan metildopa ter- masuk golongan agonis reseptor alfa (POGI, 2016). Berda- sarkan survei awal, preeklampsia merupakan penyebab resiko tinggi pada ibu hamil dan janin di poli Kebidanan RSUD H. Abdul Manap Kota Jambi serta terjadi peningkatan kasus preeklampsia pada tahun 2018. Selain itu, ditemukan kasus preeklampsia pada berbagai usia ibu hamil. Terapi pada hipertensi ibu hamil harus aman dan tepat, sehingga efek yang diinginkan dapat tercapai. Obat antihipertensi akan terdistribusi ke dalam uterus selanjutnya masuk ke janin, sehingga pengobatan pada preeklampsia membutuhkan perhatian khusus untuk mendapatkan terapi yang efektif dengan biaya yang lebih rasional. JENIS BIAYA Jumlah sampel pada penelitian ini sebanyak 67 pasien. Hasil penelitian dapat dilihat dari nilai ACER. ACER adalah nilai yang menyatakan besaran biaya yang dibutuhkan untuk setiap peningkatan outcome pengobatan. Dari 67 sampel menunjukkan bahwa antihipertensi nifedipine memiliki nilai ACER lebih rendah dari antihipertensi metildopa. Penggunaan obatan tihipertensi yang paling efektif dalam menurunkan darah pada preeklampsi aadalah nifedipine dengan nilai ACER tahun 2016 Rp. 6.948, tahun 2017 Rp. 7.035, dan tahun 2018 Rp. 8.572. OUTCOME Terapi yang diberikan pada pasien preeklampsia umumnya bervariasi tergantung bagaimana kondisi tubuh pasien. Perbedaan kondisi tubuh pasien mengakibatkan biaya medis yang dikeluarkan pasien juga bervariasi, tergantung dari bia- ya obat, biaya rawat inap, biaya visite dokter, biaya askeb, biaya cek laboratorium dan biaya tindakan. Berdasarkan hasil penelitian, pada tahun 2016-2018 biaya rawat inap pasien preeklampsia merupakan biaya medikter besar dibandingkan dengan biaya mediklainnya, dikarenakan penurunan tekanan darah dan jumlah proteinuria mempengaruhi lama rawat pasien. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Musdalipah, melaporkan bahwa biaya rawat inap me- rupakan biaya medik terbesar selama perawatan. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa ditinjau KESIMPULAN dari efektivitas terapi dan biaya pasien preeklampsia, penggunaan antihipertensi nifedipine lebih efektif (cost ef- fective) dari penggunaan antihipertensi metildopa pada tahun 2016-2018 di RSUD H. Abdul Manap Kota Jambi. Dilihat dari nilai ACER pada tahun 2016-2018 secara berurut nifedipine memiliki nilai ACER lebih rendah darimetildopa. Nilai ICER tidak perlu dihitung karena hasil penelitian ini me- nunjukkan hasil penggunaan antihipertensi nifedipine biaya rendah efektivitas tinggi dan metildopa dengan biaya ting- gi efektivitas rendah. serta intervensi alternatif ini masuk di kuadran II (dominan).