Anda di halaman 1dari 15

APLIKASI FARMAKOEKONOMI PADA PENYAKIT SISTEM PENCERNAAN

(DEMAM TIFOID)
Al-ustadzah apt. Nadia Iha Fatihah, M.Clin,Pharm.

Disusun Oleh :
Nadiatul Siti Munawarroh (3920187181429)
Nidya Rahma Kumala (3920187181430)
Nurul Binti Aprilia (3920187181433)
Nurul Maharani Putri (3920187181434)

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS DARUSSALAM GONTOR
NGAWI
2021
A. Penentuan Topik

Indonesia termasuk salah satu dari tujuh negara di Asia yang endemik terhadap
demam tifoid. Dari semua kasus demam tifoid di Indonesia dengan rata-rata kejadian
sebanyak 900.000 kasus pertahun didominasi oleh pasien dengan usia 3-19 tahun sebesar
91%. Penyakit demam tifoid merupakan infeksi akut pada usus halus yang disebabkan oleh
bakteri Salmonella typhi dengan gejala demam lebih dari satu minggu. Terapi utama
pengobatan demam tifoid yaitu menggunakan antibiotik, yang dapat menyebabkan resistensi.
Sehingga dibutuhkan studi terkait penggunaan antibiotik pada pasien demam tifoid.

Farmakoekonomi merupakan ilmu yang mempelajari tentang pengukuran biaya


dihubungkan dengan penggunaan obat dalam perawatan kesehatan. Tujuan farmakoekonomi
adalah membandingkan suatu obat berbeda yang digunakan pada pengobatan dengan kondisi
yang sama atau dapat juga sebaliknya, yaitu membandingkan pengobatan yang berbeda pada
kondisi yang berbeda. Hasil dari farmakoekonomi tersebut dapat sebagai acuan atau
membantu para pembuat kebijakan dalam menentukan pilihan atas alternatif pengobatan
yang tersedia sehingga pelayanan kesehatan menjadi lebih efisien dan ekonomis.

Terdapat beberapa metode farmakoekonomi, yaitu cost minimization analysis, cost


effectiveness analysis, cost utility analysis, dan cost benefit analysis. Pada penelitian ini
menggunakan analisis dari berbagai literatur review sebelumnya, yang menerapkan metode
Cost Effectiveness Analysis dan Cost Minimization Analysis dari pasien demam tifoid di
berbagai Rumah Sakit

B. Latar Belakang

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik dan bersifat akut yang disebabkan
oleh Salmonella typhi dan ditandai dengan panas yang berkepanjangan. Indonesia termasuk
salah satu dari tujuh negara di Asia yang endemik terhadap demam tifoid. Negara lain yang
endemik terhadap demam tifoid adalah Banglades, Cina, India, Laos, Nepal dan Pakistan.
Dari semua kasus demam tifoid di Indonesia dengan rata-rata kejadian sebanyak 900.000
kasus pertahun didominasi oleh pasien dengan usia 3-19 tahun sebesar 91%. Berdasarkan
Profil Kesehatan Indonesia tahun 2011 demam tifoid termasuk sepuluh penyakit terbanyak
pada pasien rawat inap di rumah sakit dengan prevalensi sebesar 5,13%. Penyakit ini

1
termasuk ke dalam kategori penyakit dengan Case Fatality Rate (CFR) tertinggi yaitu sebesar
0,67%. CFR demam tifoid pada tahun 2009 sebesar 1,25%. Pemberian antibiotik empiris
yang tepat pada pasien demam tifoid dapat mencegah adanya komplikasi dan mengurangi
angka kematian. Beberapa antibiotik yang bisa digunakan dalam pengobatan demam tifoid
adalah kloramfenikol, ampisilin, amoksisilin, dan kotrimoksazol. Antibiotik lain yang dapat
digunakan adalah floroquinolon, azitromisin, dan seftriakson. Penelitian farmakoekonomi
telah dilakukan pada kasus demam tifoid di tiga rumah sakit yaitu RS. Samarinda Medika
Citra (SMC), RS. Sanglah Denpasar, RS. Daerah Kanjuruhan Kepanjen dengan
menggunakan beberapa antibiotik untuk terapi demam tifoid.

C. Analisis Jurnal
a. Tujuan
1. Cost-Effectiveness Analysis Kloramfenikol Dan Seftriakson Untuk Pengobatan
Demam Tifoid Pada Pasien Dewasa Di Rumah Sakit Sanglah Denpasar, Artikel
Penelitian Fakultas Farmasi, Universitas Surabaya, Media Pharmaceutica Indonesia
Vol. 2 No. 2, Desember 2018. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
membandingkan efektivitas biaya kloramfenikol dan seftriakson yang diberikan
kepada pasien dewasa yang didiagnosis demam tifoid di Rumah Sakit Sanglah
Denpasar, analisis biaya dilakukan dengan menggunakan metode cost-effectiveness
grid dan costeffectiveness ratio (ACER).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas biaya antibiotik
seftriakson, ampisilin, ciprofloxacin dari pasien demam tifoid di Rumah Sakit
Samarinda Medika Citra (SMC). Metodepengumpulan data dilakukan secara
retrospektif berdasarakan catatan rekam medis pasien demam tifoid yang di rawat
inap periode Januari hingga Desember 2017. Data efektivitas biaya pengobatan
antibiotik dianalisis dengan nilai ACER.
2. Analisis Efektivitas Biaya Penggunaan Antibiotik pada Pasien Demam Tifoid di
RS SMC Periode 2017, Jurnal Sains Kesehatan Universitas Mulawarman Samarinda.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas biaya antibiotik
seftriakson, ampisilin, ciprofloxacin dari pasien demam tifoid di Rumah Sakit
Samarinda Medika Citra (SMC). Metodepengumpulan data dilakukan secara
retrospektif berdasarakan catatan rekam medis pasien demam tifoid yang di rawat

2
inap periode Januari hingga Desember 2017. Data efektivitas biaya pengobatan
antibiotik dianalisis dengan nilai ACER.
3. Analisis Cost-Minimization Penggunaan Sefotaksim, Seftriakson dan
Levofloksasin pada Pasien Demam Tifoid dengan Status Pembayaran Umum dan
Jaminan Kesehatan Nasional: Penelitian dilaksanakan di Rumah Sakit Daerah
Kanjuruhan Kepanjen, Universitas Brawijaya, Pharmaceutical Journal of Indonesia
2018. Penelitian bertujuan melakukan cost-minimization analysis (CMA) terhadap
antibiotik sefotaksim, seftriakson, levofloksasin dengan perspektif penyedia layanan
kesehatan pada pasien status pembayaran umum dan Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN).
b. Metode
Pada jurnal 1 Cost-Effectiveness Analysis Kloramfenikol Dan Seftriakson Untuk
Pengobatan Demam Tifoid Pada Pasien Dewasa Di Rumah Sakit Sanglah Denpasar,
metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah CEA (Cost-Effectiveness
Analysis) yang mana pengumpulan data dilakuakan secara retrospektif dengan
mengambil data biaya rumah sakit dan data rekam medis pasien demam tifoid di
RSUP sanglah Denpasar yang akan digunakan sebagai sampel penelitian. Analisis
data yaitu dengan membandingkan biaya medis langsung dengan efektivitas
pengobatan antara setiap kelompok (kelompok kloramfenikol dan kelompok
seftriakson) sehingga nantinya diperoleh pengobatan yang cost-effective dengan
metode Average Cost-Effectiveness Ratio (ACER).
Pada jurnal 2 Analisis Efektivitas Biaya Penggunaan Antibiotik pada Pasien
Demam Tifoid di RS SMC Periode 2017, Jurnal Sains Kesehatan Universitas
Mulawarman Samarinda. Metode yang digunakan yaitu CEA (Cost-Effectiveness
Analysis) yang mana penelitian ini dilakukan secara retrospektif dengan mengambil
data dari rekam medik pasien rawat inap penderita demam tifoid di RS Samarinda
Medika Citra pada periode Januari hingga Desember 2017. Data dikumpulkan
berdasarkan kriteria inklusi yaitu mempunyai hasil uji laboratorium yang
menandakan positif demam tifoid, menggunakan antibiotik, dan pasien memiliki data
rekam medik yang lengkap. Data yang didapatkan dianalisis secara deskriptif.

3
Pada jurnal 3 Analisis Cost-Minimization Penggunaan Sefotaksim, Seftriakson
dan Levofloksasin pada Pasien Demam Tifoid dengan Status Pembayaran Umum dan
Jaminan Kesehatan Nasional: Penelitian dilaksanakan di Rumah Sakit Daerah
Kanjuruhan Kepanjen. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
metode CMA (Cost-Minimization Analysis ). Data penelitian yang diperoleh adalah
data karakteristik pasien (jenis kelamin dna status pembayaran), hilangnya deman dan
gejala ikutan, penggunaan antibiotik, dan biaya pengobatan pasien. Selanjutnya data
diolah secara farmakoekonomi sehingga diperoleh hasil cost-minimization analysis
(CMA) penggunaan sefotaksim, seftriakson, dan levofloksasin. CMA dilakukan
dengan melihat total biaya pengobatan yang lebih murah secara deskriptif pada pasien
demam tifoid yang mendapatkan terapi sefotaksim, seftriakson, atau levofloksasin

c. Definisi Cost/Outcome
Jurnal 1 :

Biaya yang digunakan dalam penelitian yaitu menggunakan biaya medis langsung
pada pasien demam tifoid dengan biaya perawatan selama di rumah sakit dengan
menggunakan kloramfenikol sebesar Rp 2.555.464,22/pasien dan biaya yang harus dibayar
ketika menggunakan sefriakson sebesar Rp 2.097.170,88/pasien. sehingga dapat disimpulkan
bahwa biaya pengobatan yang lebih tinggi yaitu biaya pengobatan dengan menggunakan
kloramfenikol yaitu dengan biaya sebesar Rp 2.555.464,22/pasien.

4
Nilai Average Cost-Effectiveness Ratio (ACER) kelompok kloramfenikol sebesar Rp.
250.045,42/hari dan kelompok seftriakson sebesar Rp. 491.140,72/hari untuk lama rawat
inap, sedangkan untuk hilangnya demam nilai ACER yang diperoleh sebesar Rp.
742.867,51/hari pada kelompok koramfenikol dan Rp. 866.599,54/hari pada kelompok
seftriakson. Dapat disimpulkan bahwa kelompok seftriakson lebih cost-effective
dibandingkan dengan kelompok kloramfenikol walaupun biaya harian dari seftriakson lebih
mahal dari pada kloramfenikol. Kelompok seftriakson lebih efektif dengan lama rawat inap
4,27 hari dengan pengeluaran biaya lebih rendah dibandingkan dengan antibiotik
kloramfenikol dengan lama rawat inap 10,22 hari. Penentuan posisi alternatif pengobatan
demam tifoid berdasarkan diagram efektivitas biaya diketahui posisi seftriakson terletak pada
kuadran II yang artinya seftriakson memiliki efektivitas tinggi dengan biaya yang rendah
dibandingkan dengan kloramfenikol.

Jurnal 2 :

5
6
TABEL 1:
Jumlah pasien yang didapatkan yaitu sebanyak 79 pasien. tiga obat antibiotik
terbanyak yang digunakan yaitu seftriakson sebanyak 45 pasien (56,96%), ampisilin
sebanyak 22 pasien (27,85%) dan Ciprofloxacin sebanyak 12 pasien (15,19%).
TABEL 2:
Total biaya medis yang paling besar yaitu terdapat 45 pasien yang menggunakan
antibiotik seftriakson sebesar Rp. 107.377.528 dengan biaya medis per pasien sebesar Rp
2.386.167.
Total biaya medis terbesar kedua yaitu sebanyak 12 pasien yang menggunakan
antibiotik ciprofloxacin sebesar Rp 24.540.403 dengan biaya medis per pasien yaitu sebesar
Rp. 2.044.473.
Sedangkan total biaya medis terendah yaitu sebanyak 22 pasien yang menggunakan
antibiotik ampisilin sebesar Rp. 37.702.187 dengan biaya medis per pasien sebesar Rp.
1.713.735.

7
TABEL 4:
Per outcome klinis spesifik yang didapatkan. nilai ACER dari ketiga antibiotik
berdasarkan efektivitas dalam penurunan suhu dimana antibiotik
ciprofloxacin: ACER Rp. 56.135,99 dengan penurunan suhu sebesar 36,42 °C
ampisilin: ACER Rp. 46.695,77 dengan penurunan suhu sebesar 36,70 °C
seftriakson: ACER Rp. 65.302,87 dengan penurunan suhu sebesar 36,54 °C.

TABEL 8:
Penurunan suhu paling baik yaitu pada antbiotik ampisilin dengan penurunan suhu
sebesar 36,70 ºC namun nilai ACER terbesar kedua yaitu Rp. 24.277,92 dibandingkan
ciprofloxacin dan seftriakson.
TABEL 9:
Menunjukkan lamanya rawat inap yang paling cepat dan nilai ACER terkecil yaitu
pada antibiotik ciprofloxacin dengan lamanya rawat inap selama 3,5 hari dengan nilai ACER
sebesar 23.057,14.
Namun apabila dilihat dari segi ekonomi maka dapat direkomendasikan obat
ciprofloxacin karna mempunyai harga obat yang lebih murah dibandingkan dengan antibiotik
lain
TABEL 10:
Menunjukkan posisi perbandingan antara ciprofloxacin terhadap seftriakson berada
dikolom D yang tergolong kolom dominan. Sedangkan seftriakson terhadap ciprofloxacin
pada kolom F yaitu kolom didominasi. Kolom didominasi adalah lawan dari kolom dominan
yang berarti ketika ada suatu perbandingan terapi maka yang digunakan adalah kolom
dominan. Dikarenakan pada kolom didominasi yaitu kolom F mempunyai efektivitas sama
namun mempunyai biaya lebih tinggi sehingga tidak perlu dipertimbangkan sebagai alternatif
pengobatan sedangkan pada kolom D yaitu ciprofloxacin dibandingkan seftriakson
mempunyai biaya lebih rendah dan efektivitas sama sehingga dapat direkomendasikan untuk
dipilih sebagai pilihan pengobatan pasien demam tifoid.\
TABEL 11:
Menunjukkan antibiotik ciprofloxacin terhadap seftriakson berada di kolom dominan
yaitu efektivitas lebih tinggi dan biaya lebih rendah sehingga ciprofloxacin dapat
direkomendasikan melihat dari segi biaya yang lebih ekonomis bagi pasien.
Begitu pula antibiotik seftriakson terhadap ciprofloxacin masuk ke dalam kolom di
dominasi, mempunyai efektivitas lebih rendah dengan biaya yang tinggi sehingga tidak perlu
dijadikan alternative.

8
TABEL 12:
Terlihat bahwa antibiotik ciprofloxacin terhadap seftriakson, mempunyai efektifitas
sama namun biaya lebih rendah sehingga dapat direkomendasikan kepada pasien demam
tifoid yang mempunyai permasalahan dalam segi ekonomi dapat memilih ciprofloxacin
dibandingkan seftriakson. sebaliknya antibiotik seftriakson terhadap ciprofloxacin termasuk
ke dalam yang mempunyai efektivitas sama namun dengan biaya lebih tinggi.
TABEL 13:
Menunjukkan antibiotik ciprofloxacin terhadap seftriakson mempunyai efektivitas
yang sama namun dengan biaya yang lebih rendah, dan ciprofloxacin mempunyai efektivitas
yang lebih tinggi dibandingkan ampisilin dan seftriakson dengan biaya yang lebih rendah
sehingga dapat direkomendasikan sebagai alternatif pengobatan pasien demam tifoid.
Sedangkan antibiotik yang terdapat pada kolom A memerlukan pertimbangan
efektivitas biaya dimana jika suatu intervensi kesehatan yang menawarkan efektivitas lebih
rendah dengan biaya yang lebih rendah pula. Atau sebaliknya pada kolom I menawarkan
efektivitas yang lebih tinggi dengan biaya yang lebih tinggi.
Untuk melakukan pemilihan diperlukan memperhitungkan RIEB (Rasio Inkremental
Efektivitas Biaya). Sehingga kita dapat mempertimbangkan apakah biaya lebih yang harus
dikeluarkan sebanding dengan peningkatan efektivitas yang diperoleh.

9
Jurnal 3 :

10
11
12
Kata kata setelah semua tabel di tampilkan :
Antibiotik yang banyak digunakan pada pasien anak dan dewasa adalah sefotaksim.
Sementara seftriakson dan levofloksasin lebih banyak digunakan pada pasien dewasa.
Hal ini menunjukkan bahwa analisis farmakoekonomi dengan CMA dapat dilakukan
pada penelitian ini dengan melihat total biaya langsung pasien. Berdasarkan prinsip efisiensi
ekonomi, obat yang memberikan nilai terbaik adalah obat yang membutuhkan total biaya
yang rendah selama perawatan untuk mencapai efek yang diinginkan.
Total biaya langsung medis yang dikeluarkan oleh pasien adalah jumlah biaya
perawatan dan biaya obat. Pada pasien anak, Sefotaksim generik memiliki total biaya yang
lebih murah (Rp 1.120.775) daripada sefotaksim paten (Rp 1.656.767) pada status
pembayaran umum dan sefotaksim generik (Rp 1.712.107) pada status pembayaran JKN.
Pada pasien dewasa, sefotaksim (Rp 1.698.057) memiliki biaya yang lebih rendah pada
pasien dengan status pembayaran umum, sedangkan seftriakson (Rp 1.866.525) memiliki
biaya yang lebih rendah pada pasien dengan status pembayaran JKN.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa sefotaksim generik
pada pasien anak dengan status pembayaran umum memberikan biaya yang lebih rendah
(murah), serta Sefotaksim generik pada pasien dewasa dengan status pembayaran umum dan
seftriakson pada pasien dewasa dengan status pembayaran JKN memberikan biaya yang
lebih rendah (murah).

13
d. Hasil Penelitian

Hasil Penelitian jurnal 1 : Cost-effectiveness grid menunjukkan hasil dominant pada


kelompok seftriakson untuk pasien dengan pengobatan demam tifoid. Hasil ACER
menunjukkan bahwa seftriakson memiliki biaya yang rendah dengan efektivitas yang tinggi
berdasarkan lama rawat inap dan hilangnya demam. Hasil analisis menunjukkan terdapat
perbedaan signifikan total biaya antara kelompok kloramfenikol dibandingkan dengan
kelompok seftriakson dalam pengobatan demam tifoid pada pasien dewasa. Hasil penelitian
menunjukkan seftriakson lebih cost-effective dibandingkan dengan kloramfenikol.

Hasil Penelitian jurnal 2 : hasil penelitian :

1. Karakteristik pasien penderita demam tifoid terbanyak diderita oleh perempuan


dengan persentase 53,16 % dan berusia usia 6 hingga 11 tahun dan 26 hingga 35 tahun
dengan persentase sama banyaknya yaitu 17,72 % dengan lama rawat inap 4 hari.

2. Penggunaan antibiotik terbanyak pada pasien demam tifoid yaitu ciprofloxacin,


ampisilin dan seftriakson.

3. Penggunaan antibiotik ampisilin lebih efektif dalam menurunkan suhu demam


sebesar 36,70 ºC dengan biaya Rp. 46.695,77 selama 4,3 hari dengan nilai ACER yaitu Rp.
398.543,00.

Hasil penelitian jurnal 3 : Rata-rata total biaya langsung medis yang lebih murah
ditunjukkan oleh pasien umum dengan sefotaksim generik. Pada pasien dewasa, status
pembayaran umum sefotaksim generik menunjukkan rata-rata total biaya yang lebih murah
dan status pembayaran JKN seftriakson menunjukkan rata-rata total biaya yang lebih murah.

D. Dampak Analisis Terhadap Perkembangan Penyakit Tersebut

Berdasarkan analisa kasus penyakit demam tifoid dengan penerapan aplikasi


farmakoekonomi (CEA dan CMA) memiliki hasil penggunaan sefotaksim sangat berdampak
positif dengan endpoint penyakit mengalami penurunan prevalensi.

14

Anda mungkin juga menyukai