Anda di halaman 1dari 21

FIQH FARMASI

Dosen pengampu :

Al-Ustadz Nofriyanto, M.Ag.

Disusun oleh :

Nurul Binti Aprilia

3920187181433

Farmasi 6A

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS DARUSSALAM GONTOR

NGAWI

2021
A. KAJIAN ILMIAH PENGOBATAN DALAM ISLAM

Konsep pengobatan dalam islam dibagi menjadi 3 yaitu :

1. Pengobatan konvensional, adalah biasa juga disebut pengobatan modern,


pengobatan ini merupakan cara-cara pengobatan yang dilakukan
berdasarkan penelitian ilmiah dan berdasarkan pengetahuan dari berbagai
aspek. Cara pemeriksaan dan diagnosis penyakit lebih akurat dan
pengobatan yang digunakan hasil dari uji klinis dan memiliki fungsi yang
dapat dibuktikan secara ilmiah.

2. Pengobatan alami, adalah pengobatan dengan menggunakan ramuan alami


yang berasal dari alam atau dengan menggunakan herbal

3. Pengobatan ala nabi adalah pengobatan seperti bekam (hijamah), khitan,


wudhu, dan gurah. Selain itu, ayat-ayat Alquran juga sering kali
digunakan untuk pengobatan. Dikenal juga pengobatan dengan rukiah.
Secara garis besar, Ibnul Qayyim membagi tiga jenis pengobatan nabi,
yakni pengobatan dengan menggunakan obat-obatan alami (natural),
pengobatan dengan menggunakan obat-obatan ilahiah (petunjuk
ketuhanan), serta pengobatan dengan menggabungkan kedua unsur
tersebut.

Rahasia Hidup Sehat Rasululloh, Yaitu :

1. Pola Hidup

Pola hidup sehat ala Rasul yaitu dengan banyak tersenyum dan
tertawa, karena dengan satu menit tertawa kita dapat memperoleh manfaat
sama dengan 45 menit kita berolahraga. Dengan hal ini juga kita dapat
melancarkan aliran darah, meningkatkan kadar oksigen dalam darah,
mengurangi resiko penyakit jantung dan juga dapat digunakan untuk
terapi memijat paru-paru dan jantung. Serta beberapa manfaat lainnya
yaitu menurunkan tekanan darah dan stress, melemaskan otot-otot serta
dapat meningkatkan daya tahan tubuh.
Selain itu pola hidup sehat ala Rosul yaitu menjaga pola tidur dengan
tidur diawal malam dan bangun di 2/3 malam, tidur dengan berbaring ke
kanan serta tidak dalam keadaan yang kenyang dan sebaiknya sebelum
tidur berwudhu terlebih dahulu. Puasa juga mempengaruhi Kesehatan,
dengan kita membiasakan puasa maka akan menjadikan kita sehat.
Beberapa peneliti telah melakukan penelitian tentang puasa, Dr
Muhammad Dawahiri dari Universitas Kairo telah meneliti hubungan
antara puasa dengan penyakit kulit dan dari riset tersebut mendapatkan
hasil ternyata daya tahan kulit terhadap penyakit jauh lebih kuat dan kulit
semakin cerah. Penelitian di Universitas Osaka Jepang, orang yang
berpuasa sel darah putihnya meningkat pada hari ke 7-14, di Osaka Jepang
juga terdapat klinik/sanatorium puasa untuk mengobati penyakit.
Penelitian di Amerika juka membuktikan dengan tikus putih yang
disuntikkan sel kanker dan tikus tersebut dipuasakan ternyata tikus
tersebut sel kankernya tidak berkembang. Dari beberapa penelitian ini
membuktikan bahwa manfaat puasa sangat baik untuk Kesehatan kita.

Selain berpuasa berwudhu, bersiwak, melakukan sunah fitrah dan juga


berolahraga juga dapat menjaga Kesehatan kita. Dengan istinsyaq dapat
menceagah kita dari penyakit hidung. Dan jika kita bersiwak dapat
mencegah caries, sedangkan caries dapat berefek ke beberapa organ
penting dalam tubuh diantaranya yaitu jantung. Bersiwak juga dapat
meningkatkan fungsi pencernaan. Dan kita juga disarankan untuk
melakukan sunah fitrah yaitu khitan, mencukur bulu kemaluan, mencabut
bulu ketiak, memotong kuku dan memendekkan kumis, karena tempat
tersebut adalah sarang dari kuman. Selain itu juga kita harus melakukan
olahraga, sholat juga merupakan olahraga tubuh karena sholat
mengandung 113 gerakan.

2. Pola Makan

Dalam Hadits Riwayat Abu Daud dijelaskan bahwa jika kita makan
kita tidak boleh sampai merasa sampai kenyang dan juga tidak akan
makan apabila tidak merasa lapar. Dari Hadits Riwayat Tirmidzi juga
dijelaskan tempat paling jelek yang diisi oleh manusia adalah perutnya,
cukup dengan makan beberapa suap utnuk menegakkan tulang punggung,
jika dapat melakukan maka sepertiga untuk makan, sepertiga untuk
minum dan sepertiganya untuk bernafas. Sehingga perut kita tidak terlalu
kekenyangan sehingga menimbulkan kita susah gerak dan malas. Hadits
Riwayat Abu Nuaim “Hindarilah perut kenyang karena dapat merusak
agama, menimbulkan penyakit, dan membuat malas dalam ibadah”.
“Hancurkan makananmu dengan dzikir dan sholat serta jangan tidur
setelah makan maka hatimu menjadi keras” (HR Ibnu Sunni, Thabrani,
Baihaqi).

Dari 2 hadits yang telah dijelaskan diatas maka di sungguh sangat


dilarang makan hingga kita merasa kekenyangan, karena dengan kondisi
perut yang kenyang akan membuat kita malas untuk beribadah kepada
Allah dan juga menimbulkan penyakit. Air juga bersifat merekam pesan,
dalam tubuh kita 75% terdiri atas air, otak ada 74,5% air, dalam darah
82% air dan di tulang yang keraspun mengandung 22% air. Agar anak
yang meminumnya saleh,sehat,dan cerdas dan agar suami yang meminum
setia alangkah baiknya jika air yang kita minum sehari-hari di rumah kita
doakan setiap hari. Selain itu air zam-zam juga begitu berkhasiat karena
menyimpan pesan jutaan manusia sejak Nabi Ibrahim a.s.. dan
barangsiapa yang meminum untuk menyembuhkan penyakit maka dia
akan sembuh. Dalam beberapa penelitian yang telah dilakukan kristalan
air yang di bacakan ayat-ayat al-qur’an berubah menjadi kristalan-
kristalan yang indah. Madu dan Habatussauda juga baik untuk menjaga
Kesehatan. HR bukhori mengatakan “Gunakan selalu dua macam obat
yaitu al-qur’an dan madu” dan “Hendaklah kalian mengkonsumsi jintan
hitam, karena jintan hitam mengandung obat untuk segala penyakit
kecuali kematian.” ( HR Bukhari Muslim ).
Dari pusat penelitian dan pengembangan gizi Bogor ditemukan hasi
bahwa memberikan madu secara teratur setiap hari akan menurunkan
tingkat morbiditas (panas dan pilek) dan dapat memperbaiki nafsu makan
balita. Dalam madu juga terkandung antibiotik yang aktif sehingga dapat
melawan pathogen penyakit. Dan penelitan tentang habatussauda
dinyatakan habatussauda dapat meningkatkan system kekebalan tubuh
alamiah. Selanjutnya yaitu bawang putih, dalam hadits Nabi SAW
menjelaskan untuk kita memakan bawang putih dan berobat dengan
bawang putih karena dalam bawang putih mengandung obat untuk 70
penyakit. Makanan selanjutnya yaitu kurma, dalam kurma terdapat
beberapa khasiat salah satunya kandungan zat dalam kurma dapat
membantu kontraksi dalam rahim dan menambah kekuatan dorongan
untuk melahirkan, zat kurma juga baik untuk jantung dan pembuluh darah.
Kalium yang ada pada kurma juga dapat menurunkan resiko serangan
stroke.

3. Sikap

Dalam menjaga Kesehatan kita juga harus menjaga sikap positif yaitu
dengan :
a. Tidak pernah stress
b. Mudah tersenyum
c. Tidak pemarah
d. Tidak berburuk sangka
e. Pasrah sepenuhnya kepada Allah Swt..
f. Sabar dan tawakal
Terapi Pengobatan Nabi :

1. Pengobatan alamiah dengan bahan alam

2. Terapi dengan menggunakan air

3. Bekam
4. Ruqyah
B. HUKUM SYARA’ SEPUTAR VAKSINASI
Untuk memberi hukum syara’ pada vaksinasi perlu ditempuh 3
tahapan yaitu :
1. Memahami fakta vaksinasi
2. Memahami hukum syara’ yang terkait berobat
3. Menerapkan hukum berobat pada fakta vaksinasi
Vaksin adalah bakteri dan virus yang dilemahkan, sedangkan
vaksinasi adalah proses memasukkan vaksin kedalam tubuh manusia dengan
tujuan untuk mendapatkan efek kekebalan terhadap penyakit tertentu.
Sedangakan proses untuk mendapatkan kekebalan tubuh terhadap penyakit
disebut imunisasi. Dalam kata lain vaksinasi dapat juga disebut dengan
imunisasi. Akan tetapi imunisasi lebih umum daripada vaksinasi karena
imunisasi dapat juga diperoleh tanpa vaksinasi. Vaksinasi bagian dari
imunitas sedangkan imunisasi belum tentu vaksinasi karena imunisasi banyak
macamnya.
Para ulama berbeda pendapat dalam mengatakan hukum berobat,
hukum berobat dibagi menjadi 5, yaitu :
a. Wajib
b. Sunnah
c. Mubah
d. Makruh
e. Lebih baik ditinggalkan jika kuat tawakkalnya
Pendapat yang mengatakan berobat hukumnya wajib denga perintah
Rasulullah SAW untuk berobat dan asal hukum perintah adalah wajib. Ini
adalah pendapat dari madzhab Malikiyah, madzhab Syafi’iyah dan Madzhab
Hanabilah.
Pendapat yang mengatakan sunnah/mustahab, sebab ada perintah
Rasulullah SAW untuk berobat dan dibawa kepada hukum sunnah karena ada
hadits yang lain dari Rasulullah SAW yang memerintahkan bersabar dan ini
adalah madzhab Syafi’iyah.
Pendapat ketiga mengatakan mubah/boleh karena terdapat keterangan
dalil-dalil yang sebagiannya menunjukkan perinyah dan sebagiannya lagi
boleh memilih. Ini adalah madzhab Hanafiyah dan salah satu pedapat
madzhab Malikiyah.
Pendapat keempat mengatakan makruh, karena para sahabat bersabar
dengan sakitnya, Imam Qurtubu mengatakan bahwa ini pendapat Ibnu
Mas’ud, Abu Darda dan para Tabi’in.
Pendapat kelima mengatakan lebih baik ditinggalkan bagiyang kuat
tawakkalnya dan lebih baik berobat bagi yang lemah tawakkalnya, perincian
ini dari kalangan madzhab Syafi’iyah.
Pendapat rajih (yang lebih kuat dan terpilih) : Berobat hukumnya
sunnah / mustahab, karena terdapat perintah Rasulullah SAW untuk berobat,
namun ada qarinah (indikasi / petunjuk) yang menunjukkan perintah tersebut
adalah perintah sunnah bukan perintah wajib. Dalil sunnah berobat :

ْ ْ‫ َو َجاءَتِا‬،‫صلَّى ااهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬


: ‫ال‬
َ ‫ فـََق‬،‫اب‬ ِ ‫ ُكْن‬:‫عن اسامة‬
ُ ‫َألعَر‬ َ ‫ت عْن َد النَّ ِيب‬
ُ
‫ِإ‬ ِ ِ ِ ‫يا رسو َل‬
َ‫ فَ َّن ااهللَ َعَّز َو َج َّل مل‬،‫ تَ َد َاو ْوا‬،‫ نـََع ْم يَا عبَ َاد ااهلل‬: ‫ال‬
َ ‫ َأنـَتَ َد َاوى؟ فـََق‬،‫ااهلل‬ ُْ َ َ
‫ اهلَْرم‬: ‫ال‬ ِ ‫ض َع لَهُ ِش فَاءً َغيـَْر َد ٍاء َو‬
َ َ‫ َما ُه َو؟ ق‬:‫ قَالُوا‬.‫اح ٍد‬ َ ‫ض ْع َداءً ِإالَّ َو‬
َ َ‫ي‬
Artinya :
“Aku pernah berada di samping Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam. Lalu
datanglah serombongan Arab dusun. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah,
bolehkah kami berobat?” Beliau menjawab : “Iya, wahai para hamba Allah,
berobatlah, sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah meletakkan sebuah penyakit
melainkan meletakkan pula obatnya, kecuali satu penyakit.” Mereka bertanya :
“Penyakit ap aitu?” Beliau menjawab : “Penyakit tua.” (HR. Ahmad, Al-Bukhori
dalam Al-Adabul Mufrad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi, beliau berkata
bahwa hadits ini hasan shahih).
Dalam hadits diatas dijelaskan bahwa setiapa penyakit pasti ada obatnya
kecuali penyakit tua. Tua merupakan penyakit karena hal tersebut dapat
menyebabkan seseorang meninggal atau berat dalam menjalani hidup.
Dari Usamah bin Syarik RA, ia berkata:
“Saya mengunjungi Nabi SAW dan para sahabatnya, dan di atas kepala mereka
seakan-akan ada burung, maka aku memberi salam lalu duduk, lalu datanglah
orang-orang Arab Badui dari arah ini dan arah itu, lalu mereka berkata: “Wahai
Rasulullah, apakah kami mesti berobat?” Rasulullah SAW menjawab: “Berobatlah
kalian, karena sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla tidaklah menurunkan suatu
penyakit melainkan Allah turunkan pula obatnya, kecuali satu penyakit ketuaan,
yakni kematian.” (HR Abu Dawud).
Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa Nabi Muhammad SAW. bukanlah
memerintahkan berobat itu wajib, tetapi perintah berobat sunnah. Karena ada
petunjuk yang menjelaskan bolehnya tidak berobat. Maka dari itu hukum dari berobat
yaitu sunnah atau mustahab, tidak wajib.
HUKUM BEROBAT DENGAN BENDA-BENDA NAJIS DAN BERBAHAYA
Mencari kesembuhan dari penyakit atau berobat adalah perkara yang
disyariatkan dalam Islam. Tentu obat yang disyariatkan untuk dicari sebagai washilah
kesembuhan adalah obat-obatan yang halal, sebagaimana halalnya makanan. Lalu
bagaimana bila seseorang dihadapkan kepada pilihan berobat dengan sesuatu yang
haram, apakah syariat membolehkan atau tidak ? Pada asalnya ulama mazhab sepakat
tidak bolehnya berobat dengan benda najis atau sesuatu yang diharamkan.

‫َّواءَ َو َج َع َل لِ ُك ِّل َد ٍاء َد َواءً َفتَ َد َاو ْوا َواَل تَ َد َاو ْوا حِب ََر ٍام‬
َ ‫إن اللَّهَ َأْنَز َل الدَّاءَ َوالد‬
َّ

“Sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala telah menurunkan penyakit dan


menurunkan obat, serta menyediakan obat bagi setiap penyakit, maka berobatlah,
dan jangan berobat dengan sesuatu yang haram.” (HR. Abu Daud)

Lalu bagaimana bila dalam kondisi darurat, seperti keadaan tidak ada obat
lain selain benda najis atau udzur lainnya ? Para ulama berbeda pendapat dalam
perkara ini, sebagian tetap bersikukuh mengharamkan, sedangkan sebagian kelompok
ulama yang lain membolehkan dalam kondisi seperti itu.

1. Pendapat Yang Mengharamkan

Kalangan yang mengharamkan berobat dengan sesuatu yang najis dilandasi


dengan dalil-dalil berikut ini :

‫َّواءَ َو َج َع َل لِ ُك ِّل َد ٍاء َد َواءً َفتَ َد َاو ْوا َواَل تَ َد َاو ْوا حِب ََر ٍام‬
َ ‫إن اللَّهَ َأْنَز َل الدَّاءَ َوالد‬
َّ
“Sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala telah menurunkan penyakit
dan menurunkan obat, serta menyediakan obat bagi setiap penyakit, maka
berobatlah, dan jangan berobat dengan sesuatu yang haram.” (HR. Abu Daud)
Dalam hadits Abu Huraira berkata :

‫َّو ِاء اخْلَبِ ِـ‬


‫يث‬ ِ
َ ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْيه َو َسلَّ َم َع ْن الد‬
ِ ُ ‫َنهى رس‬
َ ‫ول اللَّه‬ َُ َ
“ Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam melarang untuk berobat
dengan barang yang haram.” (HR. Ibnu Majah)
Mazhab ini dipegang oleh beberapa jumhur ulama yang berasal dari
kalangan Malikiyah, Hanabilah dan Hanafiyah.
2. Pendapat Yang Membolehkan

Sedangkan sebagian ulama yang lain cendrung mebolehkan berobat


dengan yang haram asalkan bukan khamr. Pendapat ini dimotori oleh para ulama
dari kalangan mazhab Asy Syafi’iyyah dan Sebagian perkataan dari kalangan
Hanafiyah. Al Imam Izz Abdussalam berkata, “Dibolehkan berobat dengan
barang najis sekalipun jika tidak ada ditemukan dihadapannya benda yang
suci/halal. Karena mencari keselamatan dan keafiatan itu didahulukan dari
sekedar menghindari najis. Namun tidak dibolehkan berobat dengan Khamr.

Dalil yang digunakan oleh kalangan ini yaitu sesuatu yang dharurah bisa
menghalalkan sesuatu yang dilarang. Allah berfirman

‫يم‬ ِ ‫اغ والَ ع ٍاد فَال ِإمْث علَي ِه ِإ َّن اللّه َغ ُف‬ ْ ‫فَ َم ِن‬
ٌ ‫ور َّرح‬
ٌ َ َْ َ َ َ ٍ َ‫اضطَُّر َغْيَر ب‬
“ Maka, barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia
tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa
baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” ( QS. Al
Baqarah : 173)
Beberapa riwayat yang menguatkan tentang hal yang najis diperbolehkan
digunakan untuk berobat, antara lain :
Pertama : Dibolehkannya suku ‘Ukl dan ‘Uraynah berobat dengan
meminum air kencing unta.
Dari Anas bin Malik berkata, "Beberapa orang dari 'Ukl atau 'Urainah
datang ke Madinah, namun mereka tidak tahan dengan iklim Madinah hingga
mereka pun sakit. Beliau lalu memerintahkan mereka untuk mendatangi unta dan
meminum air kencing dan susunya…."  ( HR. Bukhari dan Muslim)
Kedua : Adanya sebuah riwayat dari Anas radhiyallahu 'anhu yang
menyebutkan bahwa Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam memberi keringanan
(rukhsah) kepada Zubair bin Al-‘Awwam dan Abdurrahman bin Auf untuk
memakai kain sutera untuk mengobati penyakit kulit yang ada pada keduanya.
Akan tetapi kebolehan dalam berobat dengan benda najis tidak mutlak
menurut kalangan ini, namun ada syarat dan ketentuannya, yaitu : 1) tidak
ditemukan obat yang berasal dari bahan yang suci yang bisa menggantikannya, 2)
diketahui secara keilmuan bahwa benda najis/haram tersebut memang bisa
memberikan kesembuhan.
HUKUM VAKSINASI

Hukumnya vaksin yaitu bila kita cermati berbagai pendapat dan statmen para
pakar dan ulama hukum vaksinisasi memang terjadi perbedaan pendapat yang cukup
runcing. Umumnya para ulama dan lembaga fatwa membolehkan dengan beberapa
alasan, namun tidak sedikit yang menvonis terlarang alias haram.

1. Kalangan Yang Mengharamkan

Pendapat kalangan yang megharamkan vaksin dengan mengatakan


meninggalkan lebih baik, yaitu :
a. Mengandung najis, Vaksin diduga kuat berasal dari benda tidak suci seperti
alcohol, babi, ginjal kera, obat bius, dan lain-lain.

b. Ada efek samping, Memiliki efek samping yang membahayakan karena


mengandung bahan kimia berbahaya seperti mercuri, thimerosal, aluminium,
benzetonium klorida, dan lainnya. Sedangkan dalam tubuh manusia
sebenarnya sudah enzim kekebalan alamiah yang justru fungsinya akan
diganggu dengan adanya zat-zak kimia tersebut.

c. Konspirasi kalangan tertentu, Imunisasi diduga kuat hanyalah akal-akalan


alias konspirasi sekelompok orang untuk memperbodoh dan meracuni negara
berkembang dan negara muslim dengan menghancurkan generasi muda
mereka. Juga Ada bisnis besar di balik program imunisasi bagi mereka yang
berkepentingan. Ini terbukti dengan adanya ilmuwan yang menentang teori
imunisasi dan vaksinasi.

2. Kalangan yang membolehkan

Umumnya para ulama membolehkan imunisasi, karena dianggap sebagai


bagian dari sistem pengobatan modern. Berikut beberapa point yang menjadi
alasan kebolehannya :

a. Vaksinisasi adalah bagian dari penjegahan penyakit Banyaknya penyakit


menular berbahaya, tentu harus ditangani secara serius dan massif.
Seperti kasus banyaknya ibu hamil yang sudah membawa virus Toksoplasma,
Rubella, Hepatitis B yang membahayakan ibu dan janin. Itu semua bisa
dicegah dengan vaksin.

b. Bahan bakunya tidak semuanya haram, dan Sebagian masuk ke hukum


darurat. Info tentang bahan baku vaksin yang berasal dari benda haram atau
najis tidak sepenuhnya benar. Kalaupun ada yang benar-benar dari benda
yang terlarang oeh syariat islam ada yang sudah melalui proses istihalah yang
menurut mayoritas ulama telah halal dan boleh digunakan.

c. Perlunya kekebalan tambahan, Kekebalan tubuh yang secara alamiah dimiliki


setiap orang ada batasnya. Bila dimasa lalu kekebalan tubuh itu sudah cukup
efektif mencegah penyakit, dewasa ini berbagai jenis virus dan bibit penyakit
berbahaya sudah tidak mungkin dicegah hanya mengandalkan kekebalan
standar. Maka vaksinisasi dianggap sebagai bagian dari usaha itu.

APA PENCEGAHAN PENYAKIT, TERMASUK BEROBAT?

Diriwayatkan hadits dari Shahabat Sa’ad bin Abi Waqqash, dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau pernah bersabda.

“Barangsiapa setiap pagi mengkonsumsi tujuh butir kurma Ajwah pada pagi
hari, maka pada hari itu ia tidak akan terkena racun maupun sihir” (HR
Bukhari, no 5130).

Hadits ini menunjukkan bahwa mencegah terjadinya penyakit juga


merupakan aktivitas berobat (at tadaawi / al mudaawah) yang disyariatkan.
Dengan demikian, vaksinasi juga termasuk berobat, walaupun penyakitnya
sendiri belum terjadi. Wallahu a’lam.

C. ALKOHOL DALAM OBAT DAN KOSMETIK

Dengan adanya kemajuan teknologi menyebabkan munculnya berbagai


kosmetik dan obat yang beragam. Disatu sisi hal ini membanggakan, akan tetapi
hal ini juga mustahil jika obat dan kosmetik dibuat dari bahan yang menurut
syari’at islam masuk tergolong haram atau diragukan kehalalannya. Banyak hal
yang masih sering di pertanyakan masyarakat yaitu mengenai bagaimana hukum
alkohol yang terdapat dalam obat yang relatif sedikit dan tidak memabukkan dan
juga bagaimana pula alcohol yang hanya dipakai di luar badan.

Alkohol adalah senyawa organic yang dalam struktur molekulnya memiliki


gugus hidroksi (OH). Alkohol dalam kehidupan sehari-hari adalah etanol dan etil
alcohol. Alkohol dapat dibuat dengan fermentasi dengan hasil kadar alcohol
paling tinggi yaitu 13%. Maka dari itu alcohol yg boleh digunakan dalam sediaan
obat hanya alcohol yang diperoleh dari hasil fermentasi. Alkohol banyak
mengandung pengaruh yang buruk maka dari itu obat untuk anak-anak hanya
diperbolehkan mengandung alcohol dibawah 1%.
Muhammad ibn Salih al-Uthaimin (w.2001 M) menyimpulkan bahwa
alkohol yang bercampur dengan obat konsentrasi kecil tidaklah haram, karena
tidak memberikan pengaruh. Halalnya alkohol dalam obat karena istihlak dan
karena ‘illat (sebab) yang memabukkan pada alkohol tidak ada, sehingga obat
tersebut halal. Atiyah Shaqr (w.2006 M) berpendapat bahwa penggunaan alkohol
sudah menjadi keperluan dalam dunia medis, pembuatan obat-obatan. Alkohol
juga digunakan pada proses penyucian (sterilisasi). Alkohol terdapat juga pada
parfum, digunakan sebagai pereaksi berbagai analisa kimia dan lain-lainnya,
maka penggunaanya disucikan. Kadang pula, alkohol difungsikan sebagai
minuman memabukkan layaknya khamar, akan tetapi kenajisannya bukan
merupakan kesepakatan bersama. Atas dasar ini, produk lainnya (termasuk obat-
obatan) yang mengandung alkohol adalah suci.

Al-Qardawi dalam fatwanya menyatakan bahwa, keberadaan alkohol dalam


proporsi 5 per seribu (0,5 persen) itu tidak dilarang, karena itu adalah jumlah
minimal, khususnya ketika itu dihasilkan dari fermentasi alami, oleh karena itu,
tidak ada yang salah dengan mengkonsumsi produk (termasuk obatobatan) yang
mengandung kadar alkohol tidak melebihi 0,5%.

Mohamad Amri Bin Abdullah, sebagai ketua Hubungan Halal di JAKIM


menyatakan bahwa, alkohol dan arak tidaklah sama. Alkohol adalah alkohol dan
arak adalah arak. Perbedaan ini terdapat dari hasil setelah fermentasinya. Jadi
dapat dipahami bahwa, alkohol bukan dihasilkan dari arak, hal ini yang
seharusnya dipahami oleh kebanyakan orang, sehingga alkohol bukanlah suatu
hal yang najis. Produk makanan, minuman, obat-obatan yang mengandung
alkohol jika sesuai dengan rentang keamananya, maka boleh untuk dikonsumsi.

Nazih Hammad menyatakan bahwa penggunaan bahan-bahan yang


diharamkan seperti alkohol dalam medis dan obat-obatan selama belum bisa
tergantikan atau tidak ada alternatif lain yang bisa memberikan kesembuhan pada
suatu penyakit kecuali hanya bisa sembuh dengan mengkonsumsi obat beralkohol
tersebut, maka hukumnya dibolehkan. Masalah tersebut di atas seperti halnya
makan sesuatu yang diharamkan dalam keadaan terpaksa dan tidak ada yang
lainya, sehingga jika tidak memakannya dapat mengancam nyawanya. Jika
masalahnya seperti ini, maka hal ini diperbolehkan, karena berobat dan makan
sama-sama untuk kelangsungan hidup. Akan tetapi, darurat di sini ada batasnya,
yaitu hanya sampai pada batas yang bisa membuat keadaannya menjadi pulih dari
penyakit yang dideritanya.

Ali Mustafa Yaqub menyatakan bahwa para Sahabat telah bersepakat


mengenai najisnya khamar, demikian pula para Imam madzhab yang empat. Para
ulama yang berpendapat bahwa khamar adalah suci, berasal dari kalangan Tabi’in
atau Ittiba al- Tabi’in, seperti Rabi’ah al-Ra’y gurunya imam Malik, al-Hasan al-
Basri dan al-Laist ibn Sa’d. Pendapat yang berasal dari mereka yang menyatakan
kesucian khamar dapat dipatahkan oleh ijma’ sahabat, karena tidak ada satupun
pendapat yang dapat dijadikan h}ujjat jika bertentangan dengan ijma’ sahabat.
Alkohol dinajiskan seperti halnya khamar, karena tidak diragukan lagi bahwa
minuman khamar tidak dinamakan khamar kecuali setelah ia dapat menutupi akal
sehat (khamarat al-‘aql). Minuman tersebut tidak dapat menutupi akal kecuali
setelah adanya zat yang menjadikan khamar menjadi haram, yaitu alkohol.
Sekiranya di dalam khamar tidak ada alkohol, tentu minuman itu tidak dinamakan
khamar, melainkan disebut sebagai juice (minuman perasan buah) atau cuka.
Minuman dikatakan juice apabila zat yang memabukkan (alkohol) tidak terdapat
di dalamnya, tentunya sebelum juice ini mengalami proses fermentasi. Suatu
cairan dikatakan cuka apabila zat yang memabukkan telah hilang setelah proses
pencukaan. Jika ternyata khamar itu najis, maka sifat yang menjadikanya najis
tidak mungkin ada kecuali setelah adanya zat yang memabukkan di dalamnya.
Jika najisnya khamar itu karena adanya zat tersebut, yaitu alkohol, maka
keputusan untuk menghukumi bahwa alkohol najis itu lebih tepat, sebab, khamar
tidak dihukumi haram melainkan karena adanya senyawa tersebut. Karenanya,
alkohol lebih tepat untuk diputuskan sebagai zat yang najis dan haram.
Menetapkan najisnya alkohol ini bukan berdasarkan qiyas, yaitu dengan
menganalogikanya kepada khamar, melainkan karena alkohol itu sendiri yang
menjadikan khamar itu dihukumi haram dan najis.

Ali Mustafa Yaqub tidak mengqiyaskan alkohol kepada khamar, melainkan


dengan cara mencari ‘illat al-Ta’lil. Karena adanya alkohol sebagai zat yang
memabukkan, menyebabkan hukum khamar menjadi haram. Seandainya tidak ada
alkohol yang memabukkan di dalamnya, tentu khamar tidak diharamkan. Masalah
ini seperti halnya cuka yang sudah dihilangkan alkoholnya, maka hukumnya suci.
Alkohol yang terdapat dalam buah-buahan dan sejenisnya, yang kita konsumsi
sehari-hari merupakan hukum alkohol dengan satu masalah, sedangkan memakan
buahbuahan yang mengandung alkohol adalah masalah yang lain, sehingga
memakan buah-buahan yang mengandung alkohol, maka alkohol tersebut
termasuk katagori najis yang ma’fu (ditoleransi keberadaanya), karena tidak
mungkin kita dapat menghindarinya. Mengkonsumsinya pun boleh, dengan syarat
tidak dipisahkan dari materinya, yaitu buah-buahan. Alkohol yang terdapat dalam
minyak bumi, bensin, kloroform dan khloral, maka dikatakan bahwa
senyawasenyawa tersebut tidak termasuk yang diminum. Menggunakan
senyawasenyawa tersebut termasuk katagori rukhṣat (kondisi dispensasi yang
menjadikan tidak boleh menjadi boleh), sebab kita sehari-hari tidak dapat lepas
dari BBM (Bahan Bakar Minyak). Demikian pula penggunaan alkohol untuk
membersihkan alat-alat kesehatan atau untuk membunuh kuman-kuman dan lain
sebagainya, semuanya termasuk katagori rukhṣat, karena kita memerlukanya.

Kaidah yang berlaku untuk obat dan kosmetika sama dengan makanan dan
minuman. Seiring dengan kemajuan teknologi, banyak obat dan kosmetika yang
bersumber dari ekstrak tumbuhan, hewan dan bagian tubuh manusia, sehingga
dalam pembuatan (produksi) obat dan kosmetika hendaklah terhindar dari bahan
yang haram dan najis. Apabila bahan atau campurannya berasal dari unsur kimia,
maka harus aman dan tidak membahayakan manusia. Pelarut yang digunakan
pada proses ekstraksi maupun pelarutan zat aktif obat tidaklah menggunakan
bahan yang diharamkan, sehingga titik kritis kehalalan obat terletak dari bahan-
bahan yang digunakan selama pembuatan dan fasilitas produksi.
Bahan aktif yang tercampur oleh bahan tambahan yang haram, maka
hukumnya menjadi haram. Alkohol yang diperoleh dari proses fermentasi atau
destilasi buah-buhan, gandum, jagung dan lainnya dimanfaatkan untuk berbagai
keperluan, di antaranya adalah sebagai campuran dalam minuman keras atau yang
dikenal dengan khamar. Selain itu alkohol juga digunakan dalam bidang farmasi
untuk sterilisasi dan sebagai bahan pembantu dalam produksi obatobatan. Hasil
dari produksi ini kadangkala masih mengandung alkohol, baik itu dengan kadar
yang sedikit maupun banyak. Jika demikian maka produk tersebut adalah haram
untuk dikonsumsi, karena berapapun kadar alkohol dalam suatu produk maka
hukumnya diharamkan. Terkadang produk yang dihasilkan atau prosesnya
dibantu dengan alkohol mengalami proses pemisahan materi, ini dimaksudkan
untuk menghilangkan kadar alkohol yang ada dalam produk tersebut, sehingga
sifatnya tidak ditemukan lagi pada hasil akhirnya. Produk yang dilakukan
pemisahan materi sebelum fermentasi hukumnya suci dan halal, karena yang
digunakan adalah hasil perasan anggur yang belum mengalami perubahan
karakteristiknya. Sedangkan jika pemisahan materinya dilakukan setelah terjadi
proses fermentasi, maka produk tersebut adalah najis dan haram, meskipun pada
hasil akhirnya tidak lagi ditemukan karakteristik sifat alkoholnya.

Produk semacam ini tidak dapat disucikan dengan istihalat, karena istihalat
dalam hal ini tidak dibenarkan, sebab perasan anggur tersebut telah berubah
menjadi najis dengan terjadinya proses fermentasi. Oleh karena itu obat diberikan
sertifikat halal jika tidak teridentifikasi alkohol, namun jika teridentifikasi alkohol
dengan konsentrasi berapapun diharamkan. Menurut pemaparan para Ulama
empat mazhab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa obat liquid herbal y halal
karena tidak mengandung alkohol, sedangkan obat liquid non herbal x haram
karena mengandung alkohol. Keharaman obat tersebut diperkuat dengan fatwa
MUI yang tidak membolehkan penggunaan alkohol 1% pada produk (makanan
dan minuman). Begitu pula hal nya dengan obat, kosmetik, obat tradisional dan
produk biologi seperti pada penjelasan sebelumnya.

Masalah lain yang terkait dengan alkohol adalah penggunaan alkohol untuk
pemakaian luar (external use) baik &lam obat luar maupun dalam sediaan
kosmetika. Ini terkait dengan pertanyaan: apakah alkohol najis? Dalam konteks
ini ulama terbagi menjadi dua, ada yang berpendapat najis berdasar kata "rijsun"
dalam peng- haraman khamr, tetapi sebagian ulama lagi berpendapat tidak najis
(lmam A 1 Muzani) dan oleh karenanya tidak ada halangan menggunakannya
untuk di luar badan.

Seperti telah diuraikan sebelurnnya, fungsi utama alkohol dalam sediaan


kosmetika dan obat luar adalah sebagai pelarut. Satu ha1 yang perlu dicatat ialah
kalau obat atau kosmetika {parfum) diaplikasikan pada kulit atau pakaian, alkohol
akan cepat menguap, tinggallah zal aktif atau zat wangi yang masih &pat dikenal
baunya. bertolak dari pengertian ini, penulis bersepaham dengan ulama yang
membolehkan alkohol digunakan dalarn obat luar maupun sediaan kosmeth,
karena alkohol akan segera hilang beberapa saat setelah diaplikasikan.

Berdasarkan uraian di atas, penulis cenderung sepaham dengan pendapat


bahwa keberadaan alkohol dalam obat minum sedapat munglun dihindari karena
haram atau sekurang-kurang diragukan kehalalannya. Sementara untuk obat luar
dan kosmetika keberadaan alkohol masih dapat diterima, sekalipun akan lebih
baik kalau dihindari demi keselamatan dalam beragama. Satu hal yang mesti
dicatat ialah mat Islam hendaknya berikhtiar untuk dapat menjadi produsen dalam
rangka memenuhi kebutuhannya sendiri sesuai dengan ketentuan syariat agama.
Pembolehan pemakaian alkohol dalam obat dengan alasan "darurat" hendaknya
dimaknai benar-benar sementara disertai ikhtiar maksimal sehingga kondisi
darurat segera berakhir.

Dalam konteks alkohol dalam obat dan sediaan kosmetika, ummat Islam
utamanya para farmasis muslim, mesti melakukan upaya sistematis dan
berkesinambungan. Adalah kewajiban fmasis muslim yang mempelajari,
memahami, bahkan turut terlibat dalam produksi obat dan kosmetika beralkohol
untuk berikhtiar sekuat tenaga mencari solusi terbaik agar kondisi darurat
penggunaan alkohol untuk obat minum dapat segera berakhir. Sementara itu
hendaknya ditumbuhkan investor muslim di bidang industri fmasi dan kosmetika
sehingga obat dan kosmetika dapat diproduksi sesuai dengan ketentuan syariat
gama Islam. Beberapa hal berikut merupakan pengalaman penulis bersarna para
farmasis muslim lain di Indonesia.

Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2009 tentang Hukum Alkohol. Ketentuan


Hukum
1. Meminum minuman beralkohol sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
umum hukumnya haram.
2. Khamr sebagaimana dimaksud dalam ketentuan umum adalah najis.
3. Alkohol sebagaimana dimaksud dalam ketentuan umum yang berasal dari
khamr adalah najis. Sedangkan alkohol yang tidak berasal dari khamr
adalah tidak najis.
4. Minuman beralkohol adalah najis jika alkohol/etanolnya berasal dari
khamr, dan minuman beralkohol adalah tidak najis jika alkohol/etanolnya
berasal dari bukan khamr.
5. Penggunaan alkohol/etanol hasil industri khamr untuk produk makanan,
minuman, kosmetika, dan obat-obatan hukumnya haram.
6. Penggunaan alkohol/etanol hasil industri non khamr (baik merupakan
hasil sintesis kimiawi [dari petrokimia] ataupun hasil industri fermentasi
non khamr) untuk proses produksi produk makanan, minuman, kosmetika,
dan obat-obatan hukumnya mubah, apabila secara medis tidak
membahayakan.
7. Penggunaan alkohol/etanol hasil industri non khamr (baik merupakan
hasil sintesis kimiawi [dari petrokimia] ataupun hasil industri fermentasi
non khamr) untuk proses produksi produk makanan, minuman, kosmetika
dan obat-obatan hukumnya haram, apabila secara medis membahayakan.

Fatwa MUI Tahun 2018 tentang Produk Kosmetika yang Mengandung


Alkohol/Etanol:
Ketentuan Hukum, Produk kosmetika yang mengandung khamr adalah
haram, dan penggunaannya hukumnya haram.

1. Produk Kosmetika dalam (masuk ke dalam tubuh) yang mengandung


alkohol yang berasal dari hasil fermentasi tanaman yang bukan
termasuk khamr dengan kadar di bawah 0,5 % adalah halal, apabila
secara medis tidak membahayakan.
2. Produk Kosmetika luar (tidak masuk ke dalam tubuh) yang
mengandung alkohol yang berasal dari hasil fermentasi tanaman yang
bukan termasuk khamr adalah halal apabila secara medis tidak
membahayakan.
3. Penggunaan alkohol/ethanol pada produk kosmetika luar (tidak masuk
ke dalam tubuh) tidak dibatasi kadarnya, selama ethanol yang
digunakan bukan dari berasal dari khamr dan secara medis tidak
membahayakan.
Secara komersial, etanol diperoleh dari hasil sintetik dan fermentasi. Etanol
sintetik dibuat dari bahan petrokimia melalui proses hidrasi etilena, sedangkan
etanol hasil fermentasi dibuat dari bahan nabati yang mengandung pati atau gula
dengan bantuan ragi (Saccharomyces cerevisiae). Hasil fermentasi bahan nabati
tersebut tidak hanya menghasilkan etanol, namun juga senyawa alkohol lain
sehingga perlu dilakukan proses pemisahan etanol dengan cara distilasi.
Lalu, etanol seperti apa yang boleh digunakan untuk produk yang akan
disertifikasi halal MUI? Di dunia industri, etanol banyak digunakan dalam proses
produksi seperti sebagai bahan pelarut dan pengekstrak maupun sebagai bahan
sanitasi. Fatwa MUI terbaru No. 10 Tahun 2018 tentang Produk Makanan dan
Minuman yang Mengandung Alkohol/Etanol menyebutkan bahwa hanya etanol
yang berasal dari khamr yang tidak bisa digunakan untuk produk halal karena
bersifat haram dan najis. Jika tidak berasal dari industri khamr, etanol jenis lain
boleh digunakan dengan batasan yang sudah diatur pada fatwa tersebut. Misalnya,
etanol sintetik ataupun hasil industri fermentasi non-khamr.
Ir. Muti Arintawati, M.Si mewakili lembaga sertifikasi halal LPPOM MUI
mencoba menelaah hal ini. Beliau dibantu Rahajeng Aditya, mahasiswa
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB, yang melakukan penelitian
dengan judul Analisis Proses Sertifikasi Halal dan Kajian Ilmiah Alkohol
sebagai Substansi dalam Khamr di Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan
dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) di bawah bimbingan
alm. Dr. Ir. Dahrul Syah. LPPOM MUI melakukan penelitian pada buah
anggur, apel, dan kurma yang difermentasi selama 5 hari pada suhu 29°C untuk
diukur kandungan etanol, gula dan fraksi asam setiap harinya dengan alat
HPLC (High Performance Liquid Chromatography). Hasilnya sangat menarik.
Setelah disimpan dalam wadah tertutup dengan kondisi mikroaerofilik, sampel
dari anggur, apel, dan kurma secara berurutan menghasilkan etanol sebesar
0,76% (v/v), 0,32% (v/v), dan 0,33% (v/v) pada hari ketiga. Ketika waktu
penyimpanan diperpanjang sampai 5 hari, konsentrasi etanol masih di bawah
1% (v/v).
Penelitian lain dilaporkan oleh Najiha et. al. (2010) yang melakukan
percobaan yang sama menggunakan buah kurma, anggur, dan raisin yang
dibuat nabidz dan dianalisis menggunakan alat GC-FID (Gas Chromatography
with Flame Ionization Detector). Hasil dari penelitian ini merekomendasikan
kadar etanol yang masih diperbolehkan sebesar 0,78% berdasarkan pengamatan
pada hari ketiga. Selain itu, Rizqiyah (2007) melaporkan nabidh dari kurma
pada hari ketiga mengandung etanol sebesar 0,51% (b/b). Dari beberapa
penelitian tersebut, Komisi Fatwa MUI tidak mengambil batas dari hasil
tertinggi (0,78%), akan tetapi mengambil batas yang lebih aman untuk kehati-
hatian, yaitu 0,5%.
Berbagai riset ini menunjukkan betapa ilmiah cara pengambilan keputusan
dari Komisi Fatwa MUI. Standar yang ilmiah akan akan mudah diterima
akademisi dan dunia industri sebagai pengguna.

D. ETIKA PENYEMBELIHAN HEWAN DAN JAMINAN


PANGAN

Anda mungkin juga menyukai