Fungsi kepemimpinan nasional di Indonesia sekarang dan impaknya pada proses pembangunan
nasional, konstitusi kita ke depan dalam rangka mendorong peran kepemimpinan nasional dalam proses pembangunan bangsa haruslah memuat sejumlah kaidah demokrasi, antara lain :
1). Kedaulatan berada di Tangan Rakyat
Hal yang mendasar dari prinsip ini bahwa rakyat sebagai pemegang kedaulatan rakyat dalam Pemilu tidak pernah memberikan, menguasakan atau menyalurkan kedaulatannya kepada pihak lain kecuali dengan Presiden dalam bentuk kontrak sosial yaitu segala apapun yang akan dijadikan program kerjanya, dan anggota DPR, khusus dalam hal dukungan kelegislasian dan pengawasan terhadap Presiden.
Persoalan konsistensi terhadap prinsip dasar ini sangatlah penting, karena justru di sanalah letak obyektifitas dan rasionalitas penggunaan kedaulatan rakyat. Janganlah atas nama rakyat kemudian begitu saja memberi wewenang diluar mandat yang diberikan oleh rakyat itu sendiri. Tanpa kesadaran ini “kekuatan” yang dipunyai dalam sistem presidensil akan “dihabisi” oleh peran DPR dan Partai sebagaimana layaknya dalam sistem parlementer. Sementara itu, DPR dan partai akan berpenampilan sebagaimana layaknya dalam sistem parlementer, namun kinerja DPR dan partai tidaklah mungkin optimal sebagaimana mestinya dalam sistem parlementer. Maka yang terjadi sistem yang dibangun bukanlah sistem presidensial, tapi tidak juga sistem parlementer.
2). Check and Balance
Check and Balance dalam sistem presidensial hanya muncul manakala kedudukan Presiden dan Anggota Legislatif seimbang. Dengan demikian stabilitas yang akan diciptakan bukan lagi model Orde Baru dimana besar kecilnya dukungan DPR karena pemerintah sebagai parameter. Dalam konteks ini, mempunyai keterkaitan yang sangat kuat dengan kepemimpinan yang mensejahterakan rakyat. Lembaga legislatif akan berfungsi meluruskan Lembaga Eksekutif apabila melenceng dari komitmen untuk mensejahterakan rakyat.
3). Supremasi Sipil
Supremasi sipil adalah tuntutan global yang tidak bisa dielakkan oieh negara manapun. Kata sipil maksudnya bukanlah penduduk, warga negara, atau rakyat di luar militer. Sipil yang dimaksud di sini adalah keberadaban. Jadi persoalan supremasi sipil bukanlah berarti menempatan tentara di bawah orang sipil.
Akan tetapi sebuah sistem politik yang diatur berdasarkan cara-cara yang beradab, yang cirinya adalah button up, kebebasan, kemerdekaan, perbedaan pendapat dan ketaatan terhadap hukum. Dalam prakteknya sstem yang tidak menjunjung tinggi azas supremasi sipil, maka peran militer semakin sangat menonjol. Dalam konteks ini diharapkan peran sipil agar dapat menuntut hak-hak hidupnya apabila pemerintahan mengabaikan hak-haknya tersebut.
4). Transparansi
Keterbukaan adalah prinsip dasar yang penting dalam sistem demokrasi. Dengan keterbukaan akan terjadi kontrol sosial yang efektif sebagai “feed back” bagi sistem dala dinamika internal.
Keterbukaan juga akan membuat sistem demokrasi bisa merespon aspirasi rakyat dan pengaruh lingkungan sedini mungkin. Dalam hal rekruitmen kader umpamanya, dengan keterbukaan akan dihindari kerusakan sejak dari awal, dengan demikian maka resistensi dan penolakan yang terjadi dari dalam sistem dapat dihindari dari awal pula. Yang jelas dengan sistem yang terbuka akan lahir kader- kader berkualitas, dan mereka yang tidak berintegritas akan jauh sejak dari awal saat kader tersebut masih berada di daratan bawah. Untuk menunjang agar sistem benar terbuka dalam pengelolaan sumberdaya, maka perlu didorong dengan perundang-undangan yang berpihak.
5). Kejujuran dan Keadilan
Persoalan kejujuran dalam sebuah sistem demokrasi janganlah diserahkan kepada orang perorang, tapi haruslah dijamin oleh sistem itu sendiri. Oleh karenannya, negara harus memberi akses yang sama (adil/fairness) terhadap segenap warga negara dalam pengelolaan sumber daya ataupun kesempatan berusaha serta pemanfaatan fasilitas yang disiapkan oleh negara.
Untuk itu peran negara haruslah diposisikan sebagai regulator dan fasilitator bukan sebagai pemberi “kueh” pembangunan seperti yang terjadi selama ini. Di sinilah maka negara tidak boleh mengambil keuntungan dari rakyat dengan dalih apapun, dan untuk membiayai roda pemerintahan hanya ditempuh dengan memungut pajak. Untuk mendukung prinsip dasar ini maka paham bahwa negara kita adalah negara hukum menjadi sangat penting.
Dengan demikian, setiap kebijakan negara dapatlah terukur. Dan untuk mendukung prinsip dasar ini back up supremasi hukum menjadi sangat urgen. Apabila prinsip dasar ini diabaikan, maka akan berakibat munculnya perilaku birokrasi yang KKN dan muaranya akan menimbulkan kesenjangan sosial yang menganga serta sulit untuk mencapai rasa keadilan.
6). Efisiensi
Dalam penyusunan konsep sistern politik, haruslah melandaskan pada azas efisiensi, untuk itu Iembaga- lembaga tertentu yang keberadaannya tidak bisa dipertanggungjawabkan secara objektif dan rasional haruslah dilikuidasi. Penggabungan berbagai fungsi dalam satu departemen juga harus dioptimalkan, sehingga rentang komando dan kendali menjadi lebih pendek dan sederhana. Pengeluaran negara haruslah dikecilkan. Prinsip dasar efisiensi juga menjadi panting agar administrasi birokrasi menjadi pendek dan tidak membutuhkan biaya tinggi. Dengan demikian biaya tinggi dapat dieliminasi oleh sistem itu sendiri.
Pengabaian terhadap prinsip ini akan menimbulkan “high cost” ekonomi. Tetapi ini harus dibedakan dengan negara yang pelit, apalagi pelit untuk pengeluaran (khususnya sosial). Sebab ketika negara pelit dalam persoalan pengeluaran untuk kesejahteraan sosial, maka komitmen negara sangat rendah terhadap pembangunan negara kesejahteraan. Efisiensi yang dimaksudkan di sini lebih kepada efisiensi pengeluaran yang tidak untuk kepentingan rakyat. Karena seringkali pengeluaran untuk pejabat itu sendiri dilakukan secara boros dan lebih besar daripada pengeluaran untuk kesejahteraan rakyat.