Anda di halaman 1dari 8

Sebuah kabar mengejutkan datang dari markas Cerberus.

Kabar tentang pergerakan


pasukan Abaddon yang memberi kecemasan pada Ain dan teman-temannya. Bukan hanya
Zinzam, Munkan juga sudah tunduk pada Abaddon tanpa perlawanan. Dengan kata lain,
Abaddon telah menguasai seluruh daratan Logard.

Sudah dua hari berlalu semenjak mereka memulai perjalanan dari Elarina. Kedua mobil
militer itu sudah tiba di sebuah pegunungan yang masih berada dalam wilayah Zinzam,
pegunungan Aunania yang berada di sebelah timur Logard. Tinggal sehari sampai dua hari
perjalanan lagi, mereka bisa tiba di Right Head.

Kedua mobil itu tengah melaju beriringan di jalan berliku yang mengitari pegunungan
Aunania. Mobil rombongan Teir berada di depan, diikuti oleh mobil rombongan Ain dari
belakang.

Selama perjalanan, mereka sering berpapasan dengan mobil militer Zinzam yang tengah
berpatroli. Bukan hanya itu, dari atas juga seringkali terlihat pesawat anti-gravitasi milik pasukan
Abaddon yang rutin berpatroli.

Untungnya, musuh tidak mencurigai mobil militer milik Zinzam yang mereka kendarai itu.
Sebuah keputusan yang cerdas untuk berjalan di siang hari dengan menggunakan kendaraan
milik pasukan musuh. Para pasukan Zinzam dan Abaddon mengira mereka hanyalah pasukan
militer Zinzam yang tengah berpatroli.

Walaupun beberapa kali mereka sempat dihadang untuk proses pengecekan yang dilakukan
oleh pasukan Zinzam maupun Abaddon, tapi kedua mobil itu berisi para petarung yang bisa
dengan mudahnya melumpuhkan pasukan musuh.

Di siang hari mereka melaju tanpa istirahat. Paling hanya berhenti sejenak untuk berganti
pengemudi, atau sekedar singgah untuk mencari makanan. Tapi kalau hari sudah menjelang
malam, mereka mencari tempat tersembunyi untuk beristirahat.

Di malam hari, jumlah pasukan musuh yang berpatroli meningkat pesat. Ditambah tingkat
kewaspadaan musuh yang juga ikut meningkat. Mau tidak mau, mereka harus berhenti melaju
kalau malam sudah tiba.

[•X-Code•]
Malam itu mereka bersembunyi di sebuah kaki gunung, agak jauh dari jalan utama. Seperti
malam-malam sebelumnya, secara bergantian mereka berjaga di daerah sekitar tempat istirahat.
Sedangkan yang sedang tidak berjaga, beristirahat di dalam mobil.

Di rombongan Ain, Kiev mendampingi Ain untuk berjaga pada giliran pertama. Berjaga


sekaligus mengintai, takutnya ada musuh yang mendekat.

Riev, Vabica, Marlat, Tiash dan Agna beristirahat di bagian belakang mobil. Tapi mereka
tidak tidur karena belum mengantuk. Mereka memilih untuk berbincang-bincang ringan sambil
menunggu rasa kantuk itu datang.

"Uh... Vabica, Ain itu... Seperti apa?" tanya Tiash ketika merasa ada peluang untuk
bertanya. Malam-malam sebelumnya, Ain selalu berjaga di giliran terakhir ketika ia sudah tidur.
Maka dari itu, baru malam itulah Tiash berkesempatan untuk menanyakan tentang Ain pada
Vabica. "Mumpung Ain tidak ada," pikirnya.

"Hmm... Kak Ain, ya? Ya, seperti yang kau lihat... Dia punya sikap dingin dan datar. Tapi
sebenarnya, hatinya tidak begitu. Kak Ain hanya tidak bisa mengungkapkan perasaannya dengan
baik," jawab Vabica.

Tiash merasa tidak puas dengan jawaban itu. Kalau hanya itu, ia juga sudah
mengetahuinya.

"Terus... Ada lagi? Aku ingin mengenal Ain lebih jauh lagi."

"Hmm...." Vabica berpikir sejenak sebelum menjawab. Setelah menemukan kata-kata yang
tepat, barulah ia mulai menjelaskan. "Sedari kecil aku diasuh oleh orang tua angkatku di
Melamia, sebuah kota di Zinzam yang berbatasan dengan Munkan. Suatu hari, kedua orang tua
angkatku meninggal dalam sebuah kecelakaan ketika keduanya bertugas di luar kota. Aku yang
kehilangan orang tua ini kemudian ikut berkelana bersama pamanku. Saat itu aku baru berusia 4
tahun."

Vabica menghela napas panjang, dengan tatapan jauh menerawang masa lalu.

Tiash memerhatikannya dengan seksama.


Kemudian Vabica mulai melanjutkan lagi ceritanya. "Paman... Menganggap aku hanyalah
beban. Jadi... Beliau menyerahkanku ke sebuah panti asuhan, yang aku sendiri lupa ada di
mana." Wajah Vabica terlihat sedih ketika ia bercerita tentang masa lalunya, yang ternyata ada
kaitannya dengan Ain.

"Dulu aku sangat cengeng... Setiap hari kerjaanku hanyalah menangis dan menangis. Aku
yang sebatang kara, tidak tahu harus berbuat apa...

Tapi di sana ada seorang anak laki-laki yang lebih tua dariku. Tidak sepertiku yang
cengeng, anak itu sangat ceria. Ia selalu menghibur anak-anak lain yang tengah bersedih. Walau
usianya masih sangat muda, tapi anak itu bersikap lebih dewasa dibandingkan kami, anak panti
asuhan lain. Dialah yang menghiburku, menjagaku, membuatku merasa... Aku tidak sendirian
lagi di dunia ini... Aku menganggapnya seperti kakak kandungku sendiri walaupun kami tidak
punya ikatan darah.

Suatu hari, ketika aku bermain terlalu jauh ke dalam hutan, seekor serigala raksasa
menghadangku. Anak itu, dengan hanya berbekal dahan pohon yang ia pungut dari tanah, dengan
gagah berani melindungiku dari serigala lapar itu.

Dia berdiri tegak di hadapanku yang terduduk di tanah sambil menangis, lalu berkata
padaku, 'Tenang saja, aku akan melindungimu!'. Padahal, aku bisa melihat dengan jelas tatapan
penuh rasa takut darinya. Kaki dan tangannya juga gemetaran. Tapi anak itu... Demi aku... Dia
berdiri tegak.

Akhirnya, aku dan anak itu berhasil melarikan diri begitu ada kesempatan," Jelas Vabica
sembari tersenyum tipis. Matanya terlihat berkaca-kaca saat menceritakan itu.

"Anak itu adalah kak Ain," sambung Vabica yang kemudian meneteskan air matanya.

Semua yang ada di sana begitu terkejut mendengarnya. Mereka tidak menyangka kalau
ternyata Vabica dan Ain sudah saling mengenal dari dulu.

"Terus-terus, gimana?" tanya Tiash yang masih ingin mengorek informasi tentang Ain.

"Peristiwa itulah yang membuatku jadi seperti sekarang. Aku yang cengeng, gampang
menyerah, manja... Berusaha untuk jauh lebih kuat lagi. Aku selalu mengingat tatapan kak Ain
saat itu. Tatapan yang seolah berkata, 'Aku akan mengorbankan nyawaku untukmu'. Aku jadi
bertekad untuk tidak lagi merepotkan siapapun." Vabica mengusap air matanya yang tak
terbendung oleh rasa haru.

Tiash yang melihatnya, tersenyum lalu mengusap-usap pundak Vabica untuk memberinya
rasa tenang.

Vabica tersenyum simpul sembari menatap Tiash dengan kedua bola mata yang masih
digenangi oleh air mata. Ia pun melanjutkan ceritanya, "Bukan hanya aku. Anak-anak panti lain
juga sangat mengagumi kak Ain yang pantang menyerah.

Hahaha... Aku jadi ingat... Kalau ditanya soal cita-cita, anak-anak lain akan menjawab
dengan jawaban yang wajar, seperti 'Menjadi pasukan keamanan' atau 'Menjelajah ruang
angkasa'. Tapi kak Ain malah menjawab, 'Aku akan jadi petarung terkuat di Logard! Aku ingin
melindungi semua orang!'." Air mata kembali mengalir deras dari kedua bola mata Vabica.

"Bagaimana bisa? Ain yang dulunya begitu ceria, begitu bersemangat, sekarang jadi...
Orang yang dingin....?" pikir Tiash yang tanpa sengaja malah terucap pelan dari bibirnya.

Semua yang ada di sana bisa mendengar perkataan Tiash. Riev dan Marlat pun berpikiran
sama dengan Tiash.

Sedangkan Agna hanya terdiam menatapi Vabica dan Tiash secara bergantian, dengan
tatapan polosnya. Entah apa yang ada dalam benak gadis itu.

Vabica merasa harus menceritakan apa yang terjadi, sehingga Ain berubah menjadi seperti
yang sekarang. "Suatu hari... Secara tiba-tiba... Entah dari mana, sekelompok orang datang
dengan kapal laut yang besar. Orang-orang itu menyerang panti asuhan, menyeret dengan paksa
anak-anak yang ada di sana untuk dibawa ke dalam kapal.

Kami diperlakukan dengan kasar. Leher kami dirantai sambil ditarik paksa untuk ikut
bersama orang-orang biadab itu. Bahkan... Beberapa dari kami dibunuh karena memberontak...
Kak Ain... Kak Ain hanya terpaku... Kak Ain yang seumur hidupnya berada di panti asuhan itu...
Hanya bisa menatap kami, yang sangat berharga baginya... Diperlakukan dengan kasar... Bahkan
beberapa sampai dibunuh... Mungkin... Itulah yang membuat kak Ain jadi seperti sekarang...."
Vabica kembali menangis, tapi kali ini bukan oleh perasaan haru. Melainkan kesedihan dan
kepedihan yang dalam. Ia sangat menyesali peristiwa saat itu. "Mengapa harus terjadi?!" jeritnya
dalam hati. Ia menangis terisak-isak hingga bahunya bergetar.

Tiash memeluknya sembari mengusap-usap punggungnya lagi. Air matanya ikut mengalir
membayangkan peristiwa naas itu.

Beberapa saat Vabica menangis, sampai akhirnya ia berhasil menenangkan diri.

"Setelah itu... Aku yang berhasil diselamatkan oleh pasukan Cerberus... Dibawa ke Right
Head... Sedangkan kak Ain... Aku tidak tahu lagi... Semenjak malam itu, aku dan kak Ain
terpisah...

Lalu beberapa tahun setelah peristiwa malam itu, aku bertemu dengan kakak kandungku,
kak Heim. Darinya aku mengetahui semua, termasuk siapa aku sebenarnya. Juga tentang... Kak
Ain yang katanya... Ada di Left Head... 

Makanya... Setelah aku resmi bergabung dengan pasukan Cerberus, aku segera mengajukan
diri untuk pindah ke Left Head, yang kebetulan sedang butuh tambahan personel... Tapi
sayangnya... Kak Ain tidak mengenalku... Yah, wajar saja... Kami sudah tidak bertemu belasan
tahun...."

"Hmm," Riev bergumam pelan. Ia yang juga ikut mendengar cerita, menghampiri gadis itu.
"

Kau salah, Vabica," ujar Riev sambil duduk di depan Vabica.

"Salah....?" tanya Vabica dengan heran.

"Iya. Ain bukan hanya tidak mengingatmu. Dia... Tidak mengingat apapun. Ingatannya
hanya sampai pada saat ia dibawa ke Cerberus waktu berusia 7 tahun.

Aku rasa... Karena trauma dari peristiwa yang kau ceritakan tadi, alam bawah sadarnya
menghapus ingatan Ain tentang masa lalunya. Jadi, jangan salahkan dia," jelas Riev sembari
menatap Vabica dengan tajam.
Riev jadi lebih memahami sahabat karib, sahabat seperjuangan yang ia kenal sedari kecil
itu setelah mendengar cerita dari Vabica.

"Begitu, ya?" Vabica menundukkan wajahnya dengan sedih.

Agna ikut menghampiri Vabica yang masih didekap oleh Tiash. Ia tersenyum lebar sambil
mengangkat kedua tangannya ke atas, lalu berkata dengan riang, "Ain! Hebat!"

Melihatnya, Vabica dan Tiash tersenyum.

"Iya Agna, kak Ain... Hebat...." ujar Vabica sembari mengusap air matanya. Ia jadi merasa
bersalah karena sempat menganggap kalau dirinya tidak penting bagi Ain sehingga bisa
terlupakan.

Tiash hanya terdiam sambil menatap Agna yang menyuguhi mereka dengan wajah ceria,
seolah ingin menghibur. Ada yang mengganjal dalam benak Tiash, yang membuatnya
mengajukan pertanyaan pada Agna, "Agna, Apa kau menyukai Ain?"

"Suka! Agna, Sayang!" jawab Agna dengan polosnya, dengan senyum lebar yang masih
tersungging di bibir.

"Uh... Begitu, ya? Maaf, ya… Agna. Kalau begitu... Aku tidak akan lagi meminta Ain
untuk jadi Xenatria... Hehehe...." Tiash tersenyum pada Agna. Namun pipinya malah dibasahi
oleh air mata yang menetes. Ia merasa dirinya begitu egois memaksakan kehendak pada Ain.
Terlebih lagi, ia merasa bersalah pada Agna yang ia pikir, punya perasaan khusus pada Ain.

"Uh-uh!" Agna menggelengkan kepala, lalu tersenyum lembut pada Tiash. "Tiash... Ain,
Xenatria... Tiash," ujar Agna dengan lembut, disertai senyum tulus yang tidak dibuat-buat.

Tiash hanya tersenyum kecut menanggapi ucapan Agna. Ia berpikir kalau Agna tidak
mengerti betul tentang Xenatria.

[•X-Code•]

Xenatria diharuskan untuk mendampingi perempuan yang menjadi 'Ratu'-nya seumur


hidup. Bisa dibilang, Xenatria adalah sebutan untuk calon suami sang keturunan Ratu
Kebangkitan Elyosa. Walau memang, ada beberapa yang tidak menikahi Xenatria-nya. Tapi
kebanyakan para wanita keturunan Ratu Kebangkitan menikahi para Xenatria mereka.

Sempat beberapa kali orang tua Tiash ingin mencarikannya Xenatria. Tapi Tiash selalu
menolak dengan tegas. Baginya, Xena yang akan mendampinginya seumur hidup haruslah ia
pilih sendiri.

"Bodohnya aku," pikir Tiash dengan rasa sesal. Tanpa berpikir panjang, ia sudah seenaknya
meminta Ain menjadi Xenatria baginya. Padahal di Logard banyak orang yang masih
membutuhkan kehadirannya.

Rasa sesal itu menambah deras air mata Tiash. Dalam lubuk hatinya yang paling dalam,
Tiash begitu menginginkan Ain untuk menjadi Xena baginya. Tapi di sisi lain, ia tidak mau
merampas dari mereka yang begitu menyayangi Ain.

Riev dan Marlat hanya terdiam mendengar percakapan Tiash dengan Agna. Kedua pemuda
itu tidak terlalu memikirkan hal tersebut. Pikiran keduanya tertuju pada Ain yang baru saja
mereka ketahui masa lalunya.

Tak begitu lama, pintu belakang mobil terbuka. Ain dan Kiev terlihat berdiri di sana.

"Giliran kami sudah selesai," ujar Ain singkat dengan wajah datarnya, seperti biasa. Ia dan
Kiev baru saja tiba di sana, sehingga tidak mendengar percakapan mereka tadi.

Dengan terburu-buru, Tiash dan Vabica mengusap air mata mereka, lalu menyunggingkan
senyum pada Ain.

Riev beranjak dari tempatnya, lalu berjalan keluar dari mobil. "Oke! Nah... Ain, sahabatku!
Beristirahatlah, kawan! Jaga para ladies itu okaay? Kau tidak sendirian, Ain!" ujarnya sembari
mengacungkan jempol.

"Uh... Ain." Marlat yang juga bersiap untuk pergi berjaga, berhenti sejenak saat berpapasan
dengan Ain. "M-Maafkan aku... Sempat membencimu...." ujarnya sambil berlalu pergi, tanpa
menoleh ke arah Ain.
Vabica yang mengikuti Riev dan Marlat juga menghentikan langkahnya di dekat Ain. "K-
Kak Ain... Selamat beristirahat, kak... Uh... Aku... Aku sayang kakak!" ujar Vabica dengan
wajah tersipu, yang dengan terburu-buru langsung pergi menjauh.

"Haah?" Ain mengangkat sebelah alisnya dengan raut wajah heran setelah mendapat
perlakuan aneh dari teman-temannya.

Ia menatap Tiash dan Agna, yang malah tersenyum lebar ke arahnya. Ia menoleh ke arah
Kiev, berharap mendapat jawaban di sana. Tapi Kiev malah memperlihatkan raut wajah heran,
sama sepertinya.

"Mereka itu... Kenapa, sih?" pikir Ain dengan rasa heran, sembari menggaruk-garuk
kepalanya yang tentu saja tidak gatal.

Anda mungkin juga menyukai