Anda di halaman 1dari 36

ANALISIS KESESUAIAN BIAYA MEDIS LANGSUNG DAN

TARIF INA CBG’S PADA PASIEN HIV-AIDS DI RSUD


ANUTAPURA PALU PERIODE 2019-2020

PROPOSAL

QOFIFAH
G70118013

PROGRAM STUDI FARMASI JURUSAN FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
ALAM
UNIVERSITAS TADULAKO
APRIL 2021
ANALISIS KESESUAIAN BIAYA MEDIS LANGSUNG DAN
TARIF INA CBG’S PADA PASIEN HIV-AIDS DI RSUD
ANUTAPURA PALU PERIODE 2019-2020

A. Latar Belakang
Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyakit yang
menginfeksi sel CD4 yang berfungsi dalam mempertahankan kekebalan
tubuh yang meliputi infeksi primer, dengan atau tanpa sindrom akut, stadium
asimtomatik, hingga stadium lanjut. Acquired Immunodeficiency Syndrome
(AIDS) merupakan suatu kumpulan dari gejala atau penyakit akibat
menurunnya kekebalan tubuh karena terinfeksi oleh HIV serta merupakan
tahap akhir dari infeksi HIV (Hidayati, dkk., 2019).

Berbagai koinfeksi, komorbiditas, dan kondisi gangguan kesehatan lain


adalah hal biasa dialami oleh orang yang hidup dengan HIV dan berimplikasi
pada pengobatan dan perawatan mereka, termasuk waktu dan pilihan obat
antiretroviral (ARV). Ini memberikan gambaran singkat tentang kondisi yang
paling umum dan penting. Merangkum pilihan rekomendasi dari pedoman
WHO yang ada dengan fokus pada skrining, profilaksis dan waktu ARV
untuk kondisi ini, ditinjau pada pedoman 2015 terkait dengan perlakuan
dugaan untuk tuberkulosis (TB), depresi dan penyakit kardiovaskular pada
orang yang hidup dengan HIV (World Health Organization, 2016).

Di Indonesia sendiri pada tahun 2018 dilaporkan sebanyak 50.282 kasus.


Sebaliknya, dibandingkan rata-rata 8 tahun sebelumnya, jumlah kasus baru
AIDS cenderung menurun, pada tahun 2019 dilaporkan sebanyak 7.036
kasus, dengan perssentase kasus HIV sebanyak 65 % oleh laki-laki dan 35%
oleh wanita, pada kasus AIDS sebanyak 69% oleh laki-laki dan 31% oleh
wanita (MENKES RI, 2019). Epidemi HIV / AIDS juga menjadi masalah di
Indonesia yang merupakan negara kelima dengan risiko HIV / AIDS tertinggi
di Asia (Kemenkes, 2013). Sejak laporan pertama (1987), jumlah kasus HIV
yang baru dilaporkan meningkat setiap tahun. Dibandingkan dengan tahun
2015, tahun 2016 mengalami peningkatan terbesar yaitu 10.315 kasus.
Berikut adalah jumlah kasus HIV/AIDS yang bersumber dari ditjen
pencegahan dan penanggulanagan penyakit (P2P), data laporan tahun 2017
yang bersumber dari system informasi HIV/AIDS dan IMS (SIHA).

Kasus HIV positif dan AIDS di Sulawesi tengah yang dilaporkan dari tahun
ketahun cenderung meningkat dan pada tahun 2019 dilaporkan jumlah kasus
HIV positif sebanyak 369 kasus, dan kasus AIDS sebanyak 152 kasus.
Hingga 2019, tercatat 1.811 ODHA sehingga jumlah kasus AIDS menjadi
913 dan 393 kematian (Dinas Kesehatan Sulawesi Tengah, 2019).

Secara potong lintang di 5 provinsi, 10 kabupaten/kota dengan responden


sebanyak 238 pendamping ADHA Diantaranya : Provinsi DKI (Jakarta Utara
dan Jakarta Barat), Jawa Timur (Kota Surabaya dan Kabupaten Malang), Bali
(Kota Denpasar dan Kabupaten Badung) dan Papua (Kota Jayapura dan
Kabupaten Jayapura) dan Sumatera Utara (Kota Medan dan Kabupaten Deli
Serdang), kelima provinsi tersebut termasuk 10 provinsi terbesar dalam
jumlah ODHA. sumber biaya pengobatan masih bervariasi antara BPJS,
gratis pemda, dan biaya sendiri, dengan nilai rata-rata biaya berobat sekali
kunjungan mulai dari Rp. 52.773 hingga Rp. 222.042 dengan besar biaya
maksimal Rp. 1.203.000. Persentase rata-rata biaya berobat dibanding
pengeluaran rumah tangga selama 1 bulan berkisar 3,8–8,9% dengan nilai
maksimal sebesar 56,7%. Biaya medis yang ditanggung ADHA paling besar
adalah untuk pemeriksaan laboratorium, sementara biaya non medis yang
masih bermasalah adalah biaya transportasi ke fasilitas kesehatan (Susyanty
et al., 2017).

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk


melakukan penelitian melalui analisis biaya pada pasien HIV-AIDS dengan
program jaminan kesehatan nasional di RSUD Antapura Palu untuk
memperoleh gambaran atau besarnya biaya medis langsung yang diperlukan
pada perawatan pasien dan perbandingannya dengan tariff INA CBG’s
dengan melihat perspektif pihak pemberi pelayanan kesehatan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka dikemukakan rumusan masalah sebagai
berikut
1. Berapa rata-rata biaya medis langsung Rumah Sakit (biaya riil) pasien
HIV/AIDS di RSU Anutapura pada tahun 2019-2020?
2. Berapa rata-rata tarif INA CBG’s pasien HIV/AIDS di RSU Anutapura
pada tahun 2019-2020?
3. Bagaimana kesesuaian biaya medis langsung (biaya rill) dan tarif INA
CBG’s pada HIV/AIDS rawat inap di RSU Anatupura Palu tahun 2019-
2020?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini yaitu:
1. Mengetahui rata-rata biaya medis langsung Rumah Sakit (biaya riil) pasien
HIV/AIDS di RSU Anutapura pada tahun 2019- 2020.
2. Mengetahui rata-rata tarif INA CBG’s pasien HIV/AIDS di RSU
Anutapura pada tahun 2019-2020.
3. Mengetahui kesesuaian biaya medis langsung (biaya rill) dan tarif INA
CBG’s pada pasien HIV/AIDS rawat inap di RSU Anatupura Palu tahun
2019-2020

D. Manfaat penelitian
1. Pendidikan
Diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi dokter, farmasis dan
tenaga kesehatan lainnya dalam upaya memberikan gambaran biaya
pengobatan terhadap pasien HIV/AIDS utamanya di RSU Anutapura Palu
Provinsi Sulawesi Tengah.
2. Pelayanan
Diharapkan dapat digunakan sebagai referensi yang menunjang proses
belajar mengajar untuk kepentingan pendidikan terutama terhadap analisis
biaya pengobatan pada pasien HIV/AIDS.
3. Penelitian
Diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan untuk penelitian lain terkait
analisis biaya pengobatan pasien HIV/AIDS.
.
E. Batasan Masalah
Batasan masalah dalam penelitian ini dibatasi pada analisis biaya secara
retrospektif pada biaya medis langsung meliputi biaya konsultasi, biaya
visite, biaya laboratorium, biaya kamar, biaya obat, biaya tindakan medis dan
biaya laboratorium pada pasien rawat inap HIV/AIDS di RSU Anutapura
Palu periode Januari sampai Desember 2019 dan Januari sampai Desember
2020.

F. Tinjauan Pustaka
1. HIV/AIDS
1.1 Definisi
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan kumpulan
dari gejala dan infeksi atau biasa disebut sindrom yang diakibatkan oleh
kerusakan sistem kekebalan tubuh manusia karena virus HIV,
sementara HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan virus
yang dapat melemahkan kekebalan tubuh pada manusia. Kasus
HIV/AIDS ini merupakan suatu kasus yang sangat fatal di masyarakat,
dimana setiap penderita akan berakhir dengan kematian (Darti &
Imelda, 2019).

1.2 Epidemiologi
Berdasarkan data The Joint United Nations Programme on HIV/AIDS
(UNAIDS) pada tahun 2017 sekitar 36,7 juta orang di seluruh dunia
telah terinfeksi HIV, 1,8 juta di antaranya terinfeksi akut dan 64%
orang dengan HIV/AIDS (ODHA) tinggal di daerah sub-sahara Afrika.
Adanya berbagai program pencegahan dan penanganan HIV berhasil
menurunkan infeksi HIV akut secara global. Di seluruh dunia, infeksi
baru pada anak-anak menurun 47% sejak 2010 namun pada wanita usia
reproduktif di negara dengan prevalensi HIV yang tinggi seperti Afrika
sub-sahara tetap memiliki risiko tinggi terinfeksi HIV, 26% infeksi baru
terjadi pada wanita usia 14–24 tahun meskipun kelompok ini hanya
10% populasi. Data di Amerika Serikat menunjukkan, bahwa 8500
ODHA melahirkan bayi/bersalin tiap tahunnya (dirata-rata sejak tahun
2006). Antara tahun 1994–2010, kurang lebih 21.956 kasus infeksi
perinatal yang disebabkan oleh transmisi vertikal dapat dicegah. Dari
penelitian ini juga didapatkan rata-rata infeksi perinatal berkisar antara
0,1–9,1/100.000 kelahiran hidup, dengan didapatkan variasi antar etnis
seperti yang terlihat di gambar di bawah ini Pada tahun 2016, Indonesia
memiliki 48.000 infeksi HIV baru dan 38.000 kematian terkait AIDS.
Didapatkan 620.000 orang dengan HIV, di mana hanya 13% saja yang
mendapatkan terapi ARV. Dari ibu hamil yang terinfeksi HIV, 14%
mendapatkan terapi profilaksis untuk mencegah penularan ke bayi.
Diperkirakan sekitar 3200 (2500-4000) anak terinfeksi HIV dari ibunya
selama kehamilan (transmisi vertikal) (Afif, dkk., 2019).

1.3 Etiologi
HIV adalah virus RNA untai tunggal yang terbungkus dan merupakan
anggota dari Lentivirinae subfamili retrovirus. Lentivirus memiliki
siklus infeksi yang lambat. Berdasarkan penelitian diketahui bahwa
HIV pada manusia adalah hasil dari penularan lintas spesies (zoonosis)
dari primata yang terinfeksi simian virus imunodefisiensi (SIV). Infeksi
HIV pada manusia yang pertama terjadi di Afrika Tengah pada tahun
1959, tetapi transmisi lintas spesies kemungkinan terjadi pada awal
1900-an. Transportasi modern, pergaulan bebas, dan penyalahgunaan
narkoba telah menyebabkan penyebaran virus yang cepat di Amerika
Serikat dan di seluruh dunia (Dipiro, 2020).

1.4 Patofisiologi
HIV mengikat sel kekebalan tertentu,termasuk monosit, makrofag, dan
limfosit sel-T (juga dikenal sebagai sel CD4 + T, sel T pembantu, atau
sel T) . Sel T ini sel mengekspresikan protein reseptor spesifik yang
dikenal sebagai reseptor CD4 yang mengikat HIV. Setelah terikat ke
reseptor CD4, protein reseptor inti (CCR5, CXCR-4) diperlukan untuk
fusi membran virus ke membran sel kekebalan. Kompleks koreseptor
CD4 menyebabkan perubahan konformasi pada protein HIV utama
(gp41 dan gp120) memungkinkan hubungan yang lebih erat antara virus
dan sel inang. HIV bergabung dengan sel dan melepaskan isinya ke
dalam sitoplasma sel inang, termasuk RNA virus dan enzim spesifik
yang diperlukan untuk replikasi. RNA virus untai tunggal ditranskripsi
melalui reverse transcriptase menjadi DNA proviral untai ganda yang
kemudian digabungkan. ke dalam materi genetik sel inang melalui
enzim integrase. HIV kemudian menggunakan mesin sel yang terinfeksi
untuk menerjemahkan, mentranskripsikan, dan menghasilkan partikel
virus yang belum matang yang bertunas dan pecah dari sel yang
terinfeksi. Agar virion yang belum dewasa ini menjadi menular, enzim
protease HIV harus membelah polipeptida prekursor besar menjadi
protein fungsional. Setelah selesai, virion dewasa bebas menginfeksi sel
inang baru dan kemudian berproduksi virus yang lebih menular (Koda-
Kimble, 2013).

1.5 Gambaran Klinis


Keadaan Umum yang biasa terjadi yaitu kehilangan berat badan >10%
dari berat badan dasar, demam (terus menerus atau intermiten,
temperatur oral >37,5oC) yang lebih dari satu bulan, diare (terus
menerus atau intermiten) yang lebih dari satu bulan, Limfadenopati
meluas. Keadaan kulit yang terjadi yaitu Pruritic papular eruption (PPE
dan kulit kering yang luas merupakan dugaan kuat infeksi HIV.
Beberapa kelainan seperti kutil genital (genital warts), folikulitis dan
psoriasis sering terjadi pada ODHA tapi tidak selalu terkait dengan HIV
(Kemenkes RI, 2011).

1.6 Terapi Farmakologi


Menurut Alldredge, dkk (2013), agen Antiretroviral untuk pengobatan
infeksi HIV pada pasien dewasa yaitu :
1. Nucleoside/Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitor
(difosforilasi menjadi bentuk aktif untuk mencegah infeksi pada sel
yang rentan
a. Zidovudine (AZT) (thymidine analogue)
Penggunaan Terapeutik : HIV pada dewasa dan anak-anak.
Mencegah penularan dari ibu ke anak. Farmakologi Klinik dan
Tips Efek tidak diinginkan: Sumsum tulang (anemia,
neutropenia) dan toksisitas otot (miopati). Jangan digunakan
bersamaan dengan stavudine
b. Stavudine (dT4)
Penggunaan Terapeutik : HIV pada dewasa dan anak-anak.
Farmakologi klinik dan tips : Efek tidak diinginkan: neuropati
sensorik dan lipoatrofi. Jangan gunakan dengan AZT, hindari
juga penggunaan jangka panjang berpotensi toksisitas
c. Lamivudine
Penggunaan Terapeutik : HIV pada orang dewasa dan anak-anak
≥3 bulan. Farmakologi klinik dan tips : Pada dasarnya tidak
beracun
d. Abacavir (only guanosine analogue antiretroviral)
Penggunaan Terapeutik : HIV pada dewasa dan anak-anak.
Farmakologi klinik dan tips : Ketersediaan hayati tidak
dipengaruhi oleh makanan, efek samping: sindrom
hipersensitivitas (demam, sakit perut, ruam), berhubungan
dengan HLA B *5701
e. Tenofovir (5′-AMP derivative; supplied as prodrugs: TDF or
TAF)
Penggunaan Terapeutik : Infeksi HIV (dewasa, anak-anak> 2
tahun, pada kombinasi dengan antiretroviral lain), Profilaksis
pra-pajanan HIV (dengan tenofovir) pada dewasa yang berisiko
tinggi terkena infeksi. Farmakologi klinik dan tips : Nefrotoksik:
penurunan kecil pada perkiraan kreatinin, dapat pula terjadi
penurunan kepadatan mineral tulang dengan penggunaan kronis.
f. Emtricitabine
Penggunaan Terapeutik : Infeksi HIV (dewasa, anak-anak, dalam
kombinasi dengan antiretroviral lain), Profilaksis pra-pajanan
HIV (dengan tenofovir) pada dewasa yang berisiko tinggi terkena
infeksi. Farmakologi klinik dan tips : Umumnya tidak beracun.
g. Didanosine
Penggunaan Terapeutik : Infeksi HIV pada dewasa dan anak-
anak. Farmakologi klinik dan tips : Efek tidak diinginkan:
neuropati sensoris dan pankreatitis. Penggunaan jangka Panjang
dihindari.
2. Nonnucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors:Tidak memerlukan
aktivasi metabolik; Khusus HIV-1 dan tidak aktif melawan HIV-2
a. Nevirapine
Penggunaan Terapeutik : Infeksi HIV-1 pada bayi, anak-anak,
dan orang dewasa pencegahan dosis tunggal dari ibu ke anak
penularan. Farmakologi klinik dan tips : Autoinducer
metabolisme, menghasilkan ruam, erupsi kulit yang mengancam
jiwa seperti Sindrom Stevens-Johnson namun jarang, dan
menimbulkan hepatitis yang mengancam jiwa.
b. Efavirenz
Penggunaan Terapeutik : Infeksi HIV-1 pada anak ≥ 3 tahun dan
dewasa. Farmakologi klinik dan tips : Biasanya dapat
menyebabkan toksisitas SSP yang dapat diatasi dengan
melanjutkan pengobatan. Penginduksi enzim hati sedang.
c. Rilpivirine
Penggunaan Terapeutik : Infeksi HIV-1 pada anak ≥ 12 tahun
dan dewasa. Farmakologi klinik dan tips : Harus diberikan
bersamaan dengan makanan, hindari penggunaan obat dengan
golongan penghambat pompa proton karena berkurang
penyerapan, dapat pula menyebabkan interval QTc
berkepanjangan apabila konsentrasinya terlalu tinggi.
d. Etravirine
Penggunaan Terapeutik : Dewasa dan anak-anak yang
mengalami reatment ≥ 6 tahun. Farmakologi klinik dan tips :
Biasanya menghasilkan ruam, erupsi kulit yang mengancam jiwa
seperti Sindrom Stevens-Johnson namun jarang, penginduksi
sedang untuk enzim hati.
e. Delavirdine
Penggunaan Terapeutik : dewasa dengan infeksi HIV.
Farmakologi klinik dan tips : Ruam sering dan jarang sindrom
Stevens-Johnson, jarang dipakai karena kebutuhan tiga kali
sehari
3. Protease Inhibitors: Aktif melawan HIV-1 dan HIV-2; umumnya
digunakan sebagai agen lini kedua pada pasien yang berpengalaman
dengan pengobatan.
a. Saquinavir
Penggunaan Terapeutik : Pengobatan lini kedua untuk HIV pada
orang dewasa dan anak-anak. Farmakologi klinik dan tips :
Jarang digunakan karena PI alternatif ditoleransi dengan lebih
baik.
b. Ritonavir
Penggunaan Terapeutik : Digunakan hanya sebagai agen penguat
PK dikombinasi dengan PI lain. Farmakologi klinik dan tips :
Biasanya dapat menyebabkan mual, peningkatan kolesterol dan
trigliserida di dosis yang lebih tinggi, penghambat potensial pada
CYP3A4, penginduksi enzim hati sedang.
c. Fosamprenavir
Penggunaan Terapeutik : Dewasa yang terinfeksi HIV, anak-anak
yang belum melakukan pengobatan ≥ 2 tahun dan anak-anak
yang sudah melaakukan pengobatan ≥ 6 tahun. Farmakologi
klinik dan tips : Efek simpang: diare, mual, dan muntah, ruam
kulit sesekali.
d. Lopinavir
Penggunaan Terapeutik : Pernah terinfeksi HIV, sudah atau
belum pernah menggunakan pengobatan pada dewasa dan anak-
anak ≥ 14 hari. Farmakologi klinik dan tips : Harus
dikombinasikan obat dengan ritonavir, biasanya menyebabkan
mual dan toksisitas GI lainnya, peningkatan kolesterol dan
trigliserida pada dewasa dengan penggunaan jangka panjang.
e. Atazanavir
Penggunaan Terapeutik : Pernah terinfeksi HIV, sudah atau
belum pernah menggunakan pengobatan dewasa dan anak-anak ≥
3 bulan. Farmakologi klinik dan tips : Biasanya dikombinasikan
dengan ritonavir atau cobicistat, dapat diberikan tanpa PK
booster dengan dosis yang lebih tinggi dari 400 mg,
penyerapannya dapat berkurang dengan penghambat pompa
proton dan H2 pemblokir, biasanya dapat pula menyebabkan
hyperbilirubinemia yang tak terkonjugasi, serta dapat
menyebabkan nefrolitiasis dan kolelitiasis.
f. Darunavir
Penggunaan Terapeutik : Pernah terinfeksi HIV, sudah atau
belum pernah menggunakan obat pada dewasa dan anak-anak > 3
tahun. Farmakologi klinik dan tips : Harus dikombinasikan obat
dengan ritonavir atau cobicistat, bisa menyebabkan ruam
sementara, dan dapat ditoleransi dengan lebih baik.
4. Protease Inhibitors: Aktif melawan HIV-1 dan HIV-2; umumnya
digunakan sebagai agen lini kedua pada pasien yang berpengalaman
dengan pengobatan
a. Indinavir
Penggunaan Terapeutik : Pernah terinfeksi HIV atau belum
pernah melakukan pengobatan pada dewasa dan anak.
Farmakologi klinik dan tips : Harus dipakai dengan ritonavir atau
saat berpuasa, efek tidak diinginkan: kristaluria dan nefrolitiasis
b. Nelfinavir
Penggunaan Terapeutik : Pernah terinfeksi HIV, sudah atau
belum pernah menggunakan pengobatan pada dewasa dan anak-
anak. Farmakologi klinik dan tips : Harus dikonsumsi bersama
makanan, Efek tidak diinginkan: diare dan toksisitas GI lainnya,
namun jarang digunakan karena ketersediaan ditoleransi lebih
baik.
c. Tipranavir
Penggunaan Terapeutik : Dewasa yang sudah melakukan
pengobatan terinfeksi HIV dan pada anak ≥2 tahun, apabila gagal
di semua PI lain . Farmakologi klinik dan tips : Hepatotoksisitas
jarang tetapi berpotensi fatal, tap diatesis perdarahan yang
berpotensi fatal, termasuk intracranial pendarahan namun jarang.
5. Entry Inhibitors: Umumnya disediakan untuk terapi lini kedua atau
penyelamatan
a. Maraviroc
Penggunaan Terapeutik : Pernah terinfeksi HIV atau belum
pernah menggunakan pengobatan atau orang dewasa yang
memiliki bukti dominan Virus CCR5-tropic. Farmakologi klinik
dan tips : Substrat CYP3A4 rentan terhadap interaksi obat
dengan antiretroviral lain.
b. Enfuvirtide
Penggunaan Terapeutik : Orang dewasa yang sudah melakukan
pengobatan terinfeksi HIV, anak >6 tahun, umumnya untuk
pasien yang tidak memiliki pilihan pengobatan lainnya.
Farmakologi klinik dan tips : Disuntikkan secara subkutan dua
kali sehari. Efek tidak diinginkan: reaksi di tempat suntikan dan
subkutan nodul sering terjadi, tidak aktif melawan HIV-2
6. Integrase Inhibitors: Banyak digunakan pada pasien yang belum
pernah menggunakan pengobatan karena tolerabilitas, keamanan,
dan aktivitas antiretroviral yang sangat baik
a. Raltegravir
Penggunaan Terapeutik : Orang dewasa dan anak-anak yang
terinfeksi HIV >4 minggu. Farmakologi klinik dan tips :
Diberikan dua kali sehari tanpa perlu agen penguat PK,
mengurangi, secara umum dapat ditoleransi dengan baik.
b. Elvitegravir
Penggunaan Terapeutik : Orang dewasa dan anak-anak yang
terinfeksi HIV> 12 minggu usia. Farmakologi klinik dan tips :
Harus dikonsumsi bersama makanan pengurangan fakta hayati
jika diberikan sama dengan divalent kation, secara umum dapat
ditoleransi dengan baik.
1.7 Algoritma Terapi HIV/AIDS
ODHA

Langkah tatalaksana terdiri dari :


 Pemeriksaan fisik lengkap dan
lab untuk mengidentifikasi IO
 Penentuan stadium klinis
 Skrining TB (dengan format
skrining TB)
 Skrining IMS, sifilis, dan
malaria untuk BUMIL
 Pemeriksaan CD4 (bila tersedia)
untuk menentukan PPK dan
ART
 Pemberian PPK bila tidak
tersedia tes CD4
 Identifikasi solusi terkait
adherence
 Konseling positive prevention
 Konseling KB (jika rencana
punyaanak)

Memenuhi syarat ARV Belum memenuhi Odha ada


syarat ARV kendala
kepatuhan
(adherence)
Tidak Ada IO
ada IO
Cari solusi terkait
kepatuhan secara tim
Mulai terapi
hingga Odha dapat
ARV
patuh dan mendapat
Obati IO 2 minggu akses terapi ARV
selanjutnya mulai ARV

 Berikan rencana pengobatan dan pemberian terapi ARV


 Vaksinasi bila pasien mampu
 Mulai ARV jika Odha sudah mememnuhi syarat terapi ARV

Gambar 1. Algoritma terapi HIV (Kemenkes RI, 2011).


2. FARMAKOEKONOMI
2.1 Definisi
Farmakoekonomi merupakan bidang ilmu yang mengevaluasi perilaku
atau kesejahteraan individu, perusahaan dan pasar terkait dengan
penggunaan produk obat, pelayanan, dan program, yang difokuskan
pada biaya (input) dan konsekuensi (outcome) dari penggunaannya.
Farmakoekonomi mengevaluasi aspek klinik, ekonomi, dan humanistik
dari intervensi pelayanan kesehatan, baik dalam pencegahan, diagnosis,
terapi, maupun manajemen penyakit (Andayani, 2013).

2.2 Prinsip Farmakoekonomi


Pada hakikatnya farmakoekonomi terinterpretasi terhadap pembiayaan
efektif dari hasil penetapan masalah, penentuan alternatif dari outcome
dan income sehingga akan ditentukan pula hubungan diantara keduanya
dan menghasilkan kesimpulan yang tepat. Pengukur outcome dari hasil
alternatif tersebut, penilaian efektivitas dan biaya, serta langkah
terakhir adalah mengidentifikasi dan pengambilan kesimpulan termasuk
prinsip farmakoekonomi (Adhayani, 2019).

2.3 Manfaat Farmakoekonomi Dalam Dunia Kesehatan


Analisa pengobatan pada perawatan kesehatan telah dilakukan selama
bertahun-tahun di berbagai macam negara. Dengan penyesuaian sumber
daya yang ada namun akan tetap memikirkan kualitas sebagai sesuatu
14 yang langka sehingga akan memaksa untuk menghasilkan produk
berkualitas tinggi dengan harapan biaya yang minim. Pemanfaatan
dalam mempelajarinya berdampak pada pelayanan kesehatan yang
mencakup farmasi untuk penentuan biaya dan nilai barang dan jasa
perawatan kesehatan. Sehingga farmakoekonomi akan memperbaiki
dalam hal pengambilan keputusan dalam pemilihan nilai terapi dari
berbagai alternatif terapi lainnya. Jika digunakan secara tepat akan
berdampak pada pengambilan keputusan terapi secara rasional,
pemilihan pengobatan dan alokasi sumberdaya (Tjandrawinata, 2016).
2.4 Analisa biaya
Biaya yang sesungguhnya merupakan sumber daya yang hilang dari
pilihan nilai terbaik dan tidak selamanya berbentuk uang melainkan jasa
atau barang dari sumber daya tersebut seperti pelayanan resep dari
pasien (Andayani, 2013).

Analis biaya (AB) atau cost analysis (CA) merupakan suatu metode
untuk melakukan perhitungan besarnya pengorbanan (biaya,cost) dalam
satuan moneter (rupiah), baik direct cost atau yang langsung maupun
indirect cost atau tidak langsung untuk mencapai tujuan terapi
(Kemenkes RI, 2013).

Kegiatan penataan kembali data dan informasi dalam laporan keuangan


secara akurat dan faktual juga disebut sebagai analisis biaya atau cost
analysis, dimana kegiatan analisis biaya meliputi penelusuran biaya
(cost tracing) dan distribusi atau alokasi biaya (cost allocation).
Tujuannya untuk mendapatkan informasi unit cost atau biaya satuan,
informasi struktur biaya, perencanaan anggaran dan modal negoisasi
dengan pihak ketiga (Asuransi, Pemda, DPRD dan lain sebagainya)
(Hani, 2019).

2.5 Metode Analisa Farmakoekonomi


Menurut Andayani (2013) tipe studi farmakoekonomi meliputi :
1. CMA (Cost-Minimazation Analysis)
CMA merupakan suatu analisis yang digunakan untuk
membandingkan dua jenis obat dengan outcome yang sama
sehingga dapat melihat nilai yang paling baik. CMA mempunyai
kelebihan yaitu analisis yang sederhana karena outcome diasumsikan
ekuivalen, sehingga hanya biaya terapi dari intervensi yang
dibandingkan.
2. CEA (Cost-Effectiveness Analysis)
CEA merupakan metode yang membandingkan biaya suatu
interferensi dengan beberapa ukuran non moneter yaitu unit natural
(misalnya mmHg, kadar kolesterol, atau pencegaha suatu penyakit).
Kelebihan utama dari pendekatan ini adalah outcome lebih mudah
diukur jika dibandingkan dengan cost-utility analysisis (CUA).
3. CUA (Cost-Utility Analysis)
CUA adalah teknik ekonomi untuk menilai efisiensi dari intervensi
pelayanan keseatan dimana utility adalah nilai pada tingkatan kasus
kesehatan atau perbaikan status kesehatan yang diukur dengan yang
lebih disukai oleh individu atau masyarakat serta dapat digunakan
sebagai pembanding terapi dan outcome yang sangat berbeda
karena outcome untuk kedua terapi dapat diringkas dalam suatu
unit pengukuran yaitu QLYs.
4. CBA (Cost-Benefits Analysis)
CBA merupakan metode analisis yang khusus karena tidak hanya
biaya yang dinilai dengan moneter, tetapi juga benefit. Mengukur
baik biaya maupun benefit dalam mata uang mempunyai dua
kelebihan utama, yaitu klinisi dan pengambil keputusan dapat
menentukan keuntungan dari suatu program atau intervensi lebih
tinggi dari pada biaya yang diperlukan untuk implementasi.
5. Tipe Analisis yang lain
Tipe analisis ekonomi yang lain adalah analisis cost of illness
merupakan tipe analisis yang digunakan untuk menentukan total
beban ekonomi (termasuk pencegahan, terapi, kehilangan karena
morbiditas dan mortalitas, dan lain-lain) dari suatu penyakit
tertentu dalam suatu masyarakat dan untuk membandingkan
pengaruh ekonomi dari suatu penyakit dengan penyakit lain.

2.6 Kategori Biaya


1. Biaya langsung (direct cost) adalah biaya yang masuk akal sebagai
suatu tata cara suatu penyakit atau selama intervensi pengobatan.
Dalam hal kesehatan, biaya langsung dibagi dua jenis, yaitu:
a. Biaya langsung medis (direct medical cost) adalah biaya yang
dikeluarkan untuk membiayai kebutuhan medis seperti biaya
untuk obat, biaya untuk kamar saat rawat inap, biaya tambahan
yang tidak ditanggung oleh asuransi.
b. Biaya langsung non medis (direct non-medical cost) adalah
biaya-biaya dikeluarkan untuk membiayai segala pengeluaran
yang diakibatkan oleh suatu penyakit atau pengobatannya.
Misalnya biaya transportasi untuk pergi ke rumah sakit, biaya
akomodasi (hotel atau penginapan) dan konsumsi untuk
pendamping selama pasien di rumah sakit.
2. Biaya tak langsung (indirect cost) adalah biaya yang tidak
dikeluarkan secara langsung, baik oleh pasien maupun keluarga
pasien, sebagai konsekwensi dari adanya penyakit atau pengobatan.
Contohnya adalah produktivitas dan gejala sebagai akibat penyakit
atau kematian yang lebih cepat dari usia rata-rata.
3. Biaya tak teraba (Intangible cost) merupakan luaran seperti rasa
sakit, rasa senang, keterbatasan fisik atau bahkan kualitas hidup
dilibatkan dalam proses analisis.

G. Metode Penelitian
1. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan studi farmakoekonomi menggunakan jenis
penelitian deskriptif dengan pengambilan data secara retrospektif. Data
diperoleh dari rekam medik, data berkas klaim BPJS dan bukti
pembayaran pengobatan berupa biaya medis langsung pasien HIV/AIDS
di instalasi rawat inap RSU Anutapura Palu periode 2019-2020. Data
tersebut kemudian akan diakumulasikan untuk mendapatkan rata-rata dan
total biaya rill dan biaya tarif INA CBG’s pasien HIV/AIDS sehingga
akan diketahui persentase kesesuaian biaya rill dan tarif INA CBG’s pada
pasien HIV/AIDS rawat inap di RSU Anatupura Palu tahun 2019-2020.
2. Lokasi dan waktu penelitian
a. Lokasi
Penelitian ini akan dilaksanakan di Instalasi Rekam Medik RSUD
Anutapura Palu dan bagian keuangan RSUD Anutapura Palu.
b. Waktu Penelitian
Penelitian ini berlangsung pada bulan Mei-Juli 2021.
3 Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel
3.1 Populasi
Populasi penelitian ini adalah pasien HIV/AIDS yang yang menjalani
rawat inap di RSUD Anutapura Palu tahun 2019 yaitu 144 kasus dan
dari bulan Januari hingga bulan Juni 2020 yaitu 42 kasus.
3.2 Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah sebagian pasien yang HIV/AIDS
kongestif yang menjalani rawat inap di RSUD Anutapura Palu periode
2019-2020. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah
total sampling dimana data populasi dijadikan sebagai jumlah sampel
pada penelitian ini.
Untuk kriteria inklusi dan kriteria eksklusi sebagai berikut :
Kriteria Inklusi :
1. Pasien BPJS yang terdiagnosis HIV/AIDS kongestif di RSU
Anutapura Palu periode 2019-2020 dengan kode tariff INA-CB’s
2. Pasien dengan data rekam medik dan keuangan yang lengkap
3. Pasien dengan data dan tanpa penyakit penyerta (Komorbid)
4. Pasien rawat inap RSU Anutapura kelas intermediate, I, II, dan III.
Kriteria Eksklusi :
1. Pasien dengan rekam medik dan catatan pembayaran tidak lengkap
atau hilang.
2. Pasien pulang atas permintaan sendiri atau pasien yang pulang
paksa.
3. Pasien rawat inap pindah kelas selama perawatan.
4. Pasien meninggal
3.3 Variabel penelitian
i. Variabel penelitian
Variabel yang digunakan pada penelitian ini meliputi karakteristik
demografi (usia, jenis kelamin, ruang perawatan, kelas perawatan),
karakteristik klinis (diagnosis rekam medik, obat HIV/AIDS, tingkat
keparahan) karakterisrik biaya medis langsung (biaya konsultasi, biaya
visite, biaya laboratorium, biaya kamar, biaya obat, biaya tindakan
medis, dan biaya alat kesehatan), dan kesesuaian biaya INA CBG’s.

ii. Definisi operasional


a. Karakteristik demografi
1) Usia adalah selilish waktu kelahiran dengan waktu masuk rumah
sakit
Kategori:
a) < 1 tahun
b) 5-14 tahun
c) 15-24 tahun
d) 25-44 tahun
e) ≥45 tahun
Skala: Interval
2) Jenis kelamin adalah perbedaan antara perempuan dan laki-laki
secara biologis sejak seorang lahir.
Kategori:
a) Laki-laki
b) Perempuan
Skala: Nominal
3) Kelas perawatan adalah tingkatan kelas ruangan yang ditempati
oleh pasien HIV AIDS di RSU Anutaura Palu
Kategori:
a) Kamar perawatan III
b) Kamar perawatan II
c) Kamar perawatan I
d) Kamar perawatan Intermediet
Skala: Ordinal
4) Lama perawatan adalah durasi perawatan yang di dapatkan oleh
pasien HIV AIDS di RSU Anutapura Palu dari tanggal masuk
perawatan hingga tanggal keluar perawatan.
Kategori:
a) 1-9 Hari
b) >9 Hari
Skala : Interval
b. Karakteristik Klinis
1) Diagnosis rekam medik, HIV adalah virus yang menyerang
sistem kekebalan tubuh. Infeksi tersebut menyebabkan penderita
mengalamai penurunan kekebalan sehingga sangat mudah untuk
terinfeksi berbagai macam penyakit lain. AIDS yaitu sekumpulan
gejala berkurangnya kemampuan pertahanan diri yang
disebabkan oleh masuknya virus HIV. HIV/AIDS di RSU
Anutapura Palu dari data rekam medik dengan kode.
2) Obat HIV/AIDS adalah gambaran terapi diberikan pada pasien
HIV/AIDS dan diperoleh berdasarkan hasil rekam medis pasien
dengan menggunakan lembar observasi. Obatnya diantaranya
Telura (Tenovir disoproxil), Fumarate/ lamivudine/ efavirenz,
Tenofir disoproxil fumarate, Lamivudine, Efavirenz, dan
Nevirapine.
3) Tingkat keparahan adalah gambaran kondisi pasien HIV/AIDS
pada lamanya perawatan yang ditetapkan sesuai dengan kelas
perawatan.
Kategori:
a) Ringan
b) Sedang
c) Berat
Skala : Nominal
4) Jumlah penyakit penyerta (comorbid) adalah gambaran kondisi
pasien gagal jantung kongestif yang memiliki penyakit lainnya
selain penyakit utama.
Kategori:
a) Tanpa comorbid
b) 1 comorbid
c) 2 comorbid
d) >2 comorbid
Skala : Ordinal
c. Karakteristik Biaya medis langsung
1) Biaya adalah nilai dari peluang yang hilang akibat penggunaan
sumber daya dalam sebuah kegiatan meliputi pasien penggunaan
BPJS.
2) Biaya medis langsung adalah seluruh biaya yang dikeluarkan
oleh pasien atau keluarga pasien selama fase perawatan meliputi
biaya konsultasi, biaya visite, biaya pemeriksaan laboratorium,
biaya kamar inap, biaya tindakan medis, biaya obat, dan biaya
alat kesehatan.
a) Biaya konsultasi adalah biaya yang dikeluarkan untuk
pemeriksaan dokter terhadap pasien menggunakan lembaran
observasi.
b) Biaya visite dokter adalah biaya yang dikeluarkan untuk
kunjungan dokter dikelas perawatan pasien menggunakan
lembaran observasi.
c) Biaya pemeriksaan laboratorium adalah biaya pemeriksaan
laboratorium yang dikeluarkan selama perawatan
menggunakan lembaran observasi.
d) Biaya kamar inap adalah biaya kamar yang digunakan
pasien gagal jantung kongestif selama masa perawatan rawat
inap.
e) Biaya obat adalah semua jumlah biaya yang dikeluarkan
untuk mengatasi penyakit pada pasien gagal jantung
kongestif selama menjalani masa perawatan.
f) Biaya Tindakan Medis adalah biaya yang dikeluarkan untuk
jasa keperawatan selama menjalani masa perawatan.
g) Biaya Alat Kesehatan adalah biaya yang harus dikeluarkan
untuk alat kesehatan yang digunakan selama masa
perawatan.

4. Teknik Pengumpulan Data


Penelitian ini dilakukan diruang rekam medik dan bagian keuangan
Rumah Sakit Umum Anutapura Palu dan berlangsung pada bulan April-
Mei 2021. Pengumpulan data dilakukan menggunakan lembaran observasi
yang terdiri atas nomor rekam medik, usia, jenis kelamin, lama perawatan,
catatan penggunaan obat HIV/AIDS dan pemeriksaan laboratorium
dengan menggunakan data jumlah biaya pengobatan yang diperoleh dari
catatan pembayaran pasien yang meliputi biaya medis langsung pasien.

5. Analisis Data
Data dalam penelitian ini diperoleh dari data sekunder yaitu data biaya
yang dikeluarkan oleh pasien penderita HIV-AIDS yang mencakup biaya
yang terkait langsung dengan perawatan pasien (blaya medis langsung).
Analisis data dilakukan berdasarkan perspektif dari rumah sakit yang
mencakup:
1) Analisis deskriptif yang merupakan salah satu metode analisis dengan
tujuan untuk memperoleh gambaran atau deskripsi terkait karakteristik
subjek penelitian. Dalam analisis ini data yang diperoleh akan
disajikan dalam bentuk tabel yang didalamnya terdapat presentase,
jumlah, maupun nilai rata-rata dari data karakteristik pasien,
karakteristik klinis, dan karakteristik biaya medis langsung.
2) Perhitungan total biaya medis langsung pasien yang diperoleh dengan
mengakumulasikan seluruh komponen biaya yang terkait langsung
dengan perawatan kesehatan pasien selama menjalani rawat inap, yang
meliputi biaya laboratorium, biaya kamar/akomodasi, biaya konsul
dokter, biaya visite, biaya obat, biaya tindakan medis dan biaya alat
kesehatan.
3) Perhitungan biaya rata-rata pengobatan pasien dengan menjumlahkan
masing-masing komponen biaya medis langsung pasien kemudian
dibagi dengan total atau jumlah pasien. Untuk perhitungan persentase
dilakukan dengan menjumlahkan masing-masing komponen biaya
medis langsung pasien kemudian dibagi dengan total atau jumlah
pasien dan dikali dengan 100%,
4) Perhitungan kesesuaian biaya riil pengobatan pasien dengan tarif INA
CBGs dengan mencari selisih antara biaya tarif INA CBGs dengan
biaya riil perawatan pasien. Selisih positif menunjukkan bahwa biaya
riil pasien saat menjalani masa perawatan di rumah sakit lebih kecil
dibandingkan biaya yang diklaim oleh BPJS sedangkan selisih negatif
menunjukkan bahwa biaya riil pasien saat menjalani masa perawatan
di rumah sakit lebih besar dibandingkan biaya yang diklaim oleh
BPJS.
H. HASIL DAN PEMBAHASAN
H.1 Karakteristik Subjek Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Anutapura
Palu diperoleh jumlah populasi pasien HIV/AIDS rawat inap periode
januari hingga desember 2020 adalah 144 kasus dan pada periode
januari hingga desember 2020 sebanyak 42 kasus. Jumlah sampel yang
memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi sebanyak 72 kasus.
H.2 Karakteristik Responden
Karakteristik Responden Sampel dapat dilihat pada tabel 2.1 :
Tabel 2.1 Distribusi karakteristik demografi sampel pasien HIV/AIDS
di RSU Anutapura Palu periode 2019-2020
Jumlah pasien
Karakterisitik Responden Persentase (%)
(n=74)
Jenis kelamin
Laki-laki 57 77.03
Perempuan 17 22.97
Umur
<5 tahun 1 1.35
5-14 tahun 1 1.35
15-24 tahun 7 9.46
25-44 tahun 52 70.27
≥45 tahun 13 17.57
Kelas perawatan
I 15 20.27
II 13 17.57
III 46 62.16
Keparahan
Ringan 55 74.32
Sedang 16 21.62
Berat 3 4.05
Penyakit penyerta (komorbid)
Tanpa komorbid 46 62.16
1 19 25.68
2 8 10.81
>2 1 1.35
Lama rawat inap
1-9 hari 51 68.92
> 9 hari 23 31.08
Dari Hasil penelitian berdasarkan tabel 4.2. Sebanyak 74 Pasien (77,03%
sebanyak 57 pasien berjenis laki-laki dan 22,97% sebanyak 17 orang
berjenis kelamin perempuan). Kerentanan laki-laki terhadap infeksi HIV
dapat disebabkan oleh perilaku negatif seperti membeli seks komersial,
pengguna jarum suntik IDU (Injecting Drug User) dan pria yang
memiliki mobilitas tinggi dan jauh dari pasangannya. Perempuan lebih
mungkin menjadi HIV positif dan lebih terpengaruh oleh efek negatif
dari epidemik dibandingkan laki-laki karena alasan biologis, sosial
budaya dan ekonomi. Hal ini terlihat dari hasil yang didapat bahwa
persentase pasien HIV wanita tidak terlalu jauh berbeda dengan laki-laki
(Permatasari et al., 2020).

Penelitian berdasarkan usia, data menunjukkan bahwa prevalensi pasien


HIV-AIDS Tertinggi pada usia 25-44 tahun dengan jumlah 52 pasien
(70,27%), lalu diusia ≥45 tahun dengan jumlah 13 pasien (17,57%),
diusia 15-24 tahun dengan jumlah 1 pasien (1,35%), dan diusia <5 tahun
dengan jumlah 1 pasien (1,35%). Hal ini disebabkan bahwa Kasus HIV
sebagian besar terdapat pada usia 25-49 tahun dengan prevalensi
(70,4%) diikuti usia 20-24 tahun dengan prevalensi (16,4%), dan
terendah pada usia 5-14 tahun dengan prevalensi (1,1%). Mayoritas
pasien HIV/AIDS berada dalam rentang usia produktif yaitu 26-45 tahun
mencapai 70%. Dalam Penelitian (Husada, 2019) Persentase penularan
paling banyak terjadi pada kelompok heteroseksual 8.922 kasus
(62,50%) diikuti dengan IDU (Injecting Drug User) sebanyak 1.348
kasus (16,06%), dan sebanyak 2.518 kasus pada kelompok homoseksual.

Berdasarkan hasil penelitian kelas perawatan pasien HIV-AIDS tertinggi


pada kelas perawatan 3 yaitu 46 pasien (62,16%), lalu kelas 1 yaitu 15
pasien (20,27%), dan kelas 2 sebanyak 13 pasien (17,57%). Hal ini
menandakan bahwa kemampuan masyarakat yang mayoritas masih pada
kelas ekonomi menengah ke bawah, sehingga pada standar pelayanan
kesehatan, mereka masih pada kelas perawatan minimum .Pada
penelitian ini bahwa Lama rawatan menjadi salah satu efektivitas dalam
pencapaian terapi dan memiliki pengaruh terhadap biaya (Feladita et al.,
2011).

Tingkat keparahan dalam penelitian ini yang terbanyak adalah kategori


ringanyaitu sebanyak 74.32%. Dalam Hayul (2020), tingkat keparahan
(severity level) terbagi atas tiga kelas yaitu tingkat keparahan I pada
kelas perawatan 1,2 dan 3 secara keseluruhan memiliki rata-rata Length
of stay (LOS) lebih kecil dibandingkan pada tingkat keparahan II dan III,
selanjutnya nilai rata-rata tingkat keparahan II lebih kecil dari nilai rata-
rata tingkat keparahan III. Dimana Tingkat keparahan I dan II cenderung
memerlukan biaya pengobatan yang lebih kecil dan lama rawat inap
yang lebih singkat dibandingkan pasien dengan tingkat keparahan III
yang dating kerumah sakit dengan kondisi penyakut yang lebih
kompleks maka biaya yang dibutuhkan untuk pengobatan akan semakin
besar. Dalam penelitian ini, pasien yang datang dengan tingkat
keparahan sedang dan berat sebanyak 21.62% dan 4.05%. Hal ini juga
membuat LOS (length of stay) pasien HIV/AIDS di RS Anutapura tidak
lebih dari 9 hari.

Sebanyak 46 orang atau setara dengan 62.16% pasien HIV/AIDS di RS


Anutapura tidak memiliki riwayat komorbid. Sedangkan sisanya 28
orang memiliki riwayat komorbid. Hal ini terkait dengan tingkat
keparahan pasien yang masuk kategori “ringan” karena sebagaian besar
tidak memiliki riwayat komorbid yang memperburuk kondisi pasien.

Karakterisitik pasien berdasarkan lama perawatan pada penelitian ini


dikelompokkan menjadi 2 yaitu 1-9 hari >9 hari. Persentase yang
didapatkan yaitu dimana 1-9 hari lebih tinggi (68,92%) sebanyak 51
pasien dibandingkan dengan perawatan >9 (31.08%) sebanyak 23
pasien. Hal ini sesuai dengan penelitian (Permatasari et al., 2020).
Sehingga dapat dikatakan lama rawatan menjadi outcome yang
menimbulkan efektivitas dalam terapi dan menjadi indikator pencapaian
medis. Nilai idealnya yaitu dengan rata-rata antara 6-9 hari, Pada data ini
nilai lama rawatan pasien HIV tahun 2019-2020 lebih banyak <9 hari
hal ini termasuk dalam kategori yang efektif.

H.3 Karakteristik klinis


Berdasarkan Jenis komorbid dan Terapi obat pasien HIV/AIDS di RSU
Anutapura Palu
Tabel 3.1 Distribusi Jenis komorbid penyakit HIV/AIDS di RSU
Anutapura Palu periode 2019-2020
Jumlah Pasien
Persentase
Sistem Organ & Infeksi Oportunistik dengan
kejadian
komorbid
Total 28
Sirkulasi Darah
Anemia 11 39.29
Hipertensi esensial (primer) 1 3.57
Pernapasan
Pneumonia 1 3.57
Bronchitis 1 3.57
Pencernaan
Kandidiasis 2 7.14

Gastroenteritis dan kolitis


1 3.57
Gastroesophageal reflux disease
tanpa oesophagitis 1 3.57
Dispepsia 3 10.71
Ulkus anus dan rektum 1 3.57
Sistem saraf pusat
Gangguan kecemasan (Anxiety
disorder) 1 3.57
Reproduksi
Kutil anogenital (kelamin) 1 3.57
Malnutrisi
Malnutrisi protein yang parah 8 28.57
Gangguan Metabolisme
Gangguan metabolisme protein 2 7.14
plasma NEC.
Gangguan Elektrolit
Hipokalemia 1 3.57
Kandung Kemih
Sistitis 2 7.14
Kantung Empedu
Kolesistitis 1 3.57
Sendi
Gonarthrosis 1 3.57

Tabel 3.2 Distribusi terapi obat HIV/AIDS di RSU Anutapura Palu


periode 2019-2020.

Kelas Terapi Dan Obat Jumlah  Presentase

Cairan
RL Inf @ 20 69 57.50
Aquadest 25 ml 43 35.83
Nacl piggy back 18 15.00
Nacl 0,9 % 28 23.33
KSR ( kalium klorida ) @100 6 5.00
Nacl 3 % 1 0.83
Dextrose 5 % 5 4.17
Asering inf 6 5.00
Aminofluid 5 4.17
Albumin 20 % 100 ml 1 0.83
Lidocain 2% @100 1 0.83
Futrolit 39 32.50
Analgesik & Antipiretik
Paracetamol Inf 33 27.50
Paracetamol tab @100 26 21.67
Paracetamol drop 1 0.83
Sistenol @ 60 11 9.17
Codein 10 mg @ 100 6 5.00
Analtram @ 30 1 0.83
Antibiotik
Cotrimoxazol @ 100 50 41.67
Cotrimoxazol syr 1 0.83
Cefixime 100 mg @ 50 13 10.83
Ceftriaxon 1gr @100 30 25.00
Cefotaxim 1 gr @2 3 2.50
Cefadroxyl 500 mg @ 100 1 0.83
Ceftazidime 1 gr @ 2 2 1.67
Ampicillin 1 gr inj @ 10 1 0.83
Metronidazol 500 @ 100 1 0.83
Erythromycin 250 mg 1 0.83
Gentamicin 5 gram salep Kulit 3 2.50
Sagestam inj 1 0.83
Meropenem inj 0,5 gr 5 4.17
Moxifloxacin / Garena 2 1.67
Azitromicin 500 mg @ 20 2 1.67
Ethambutol 500 mg 1 0.83
Levofloxacin Inf 1 0.83
Levofloxacin 500 mg @ 50 1 0.83
Infimycin Serbuk Inj ( Azitromycin
inj ) 1 0.83
Cefepime @1 4 3.33
Cefoperazon non sulbactam inj 4 3.33
Fusycom cr 5 gr 3 2.50
Cendo Polygran 1 0.83
Ciprofloxacin Inf 1 0.83
Proton pump inhibitors (PPI)
Omeprazol inj 45 37.50
Omeprazol cap @ 20 19 15.83
Lansoprazol @ 20 12 10.00
Pantoprazole 40 mg inj 20 16.67
Antasida
Antasida syrup 2 1.67
Sucralfat Syr 7 5.83
Histamin H2-receptor antagonist
Ranitidin tab@100 7 5.83
Ranitidin inj 22 18.33
Antiinflamasi nonsteroid (PPIs)
Asam Mefenamat @ 100 2 1.67
Ketorolac inj @10 5 4.17
Kaltrofen Supp 5 4.17
Santagesic inj @5 5 4.17
Meloxicam 7,5 mg @ 30 3 2.50
Natrium diclofenac 50@50 1 0.83
Kortikosteroid
Kenalog in orabase 4 3.33
Dexametason inj @ 100 14 11.67
Desoximetazon Zalf 15 gr 2 1.67
Prednison 5 mg @ 100 1 0.83
Cendo Hyalub Mini Dose 1 0.83
cendo LFX 1 0.83
Cortidex inj @5 1 0.83
Metil Prednisolon 4 mg @100 1 0.83
Pulmicort Respules 0,25 mg/ml
Nebu@20 1 0.83
Flixotide Nebu@10 4 3.33
Bronkodilator (agonis selektif
beta 2-adrenergik)
Ventolin Nebules@20 3 2.50
Salbutamol 2 mg @100 2 1.67
Lasalcom Nebulizer 2 1.67
Combivent Nebulizer @ 20 8 6.67
Antifungi
Nystatin Drop 41 34.17
Itraconazole tab 100 mg 1 0.83
Miconazole cream 1 0.83
Antiemetik
Domperidon @ 100 13 10.83
Ondansentron 4 mg / 2 ml inj @ 15 16 13.33
Mukolitik
Acetylsistein 35 29.17
Ambroxol @100 12 10.00
Vitamin & Suplemen
Curcuma @ 100 17 14.17
Mecobalamin inj @10 1 0.83
Zink Tab @100 12 10.00
Cernevit @ 10 3 2.50
Tablet Tambah Darah 2 1.67
Hepa Q 6 5.00
Vit. C 2 1.67
KCL 2 1.67
Kolkatriol @ 30 1 0.83
Vit. B Comp @100 2 1.67
Stronger Neo - Minophagen /
SNMC 1 0.83
Neurosanbe tab 1 0.83
Vit. B6 @100 2 1.67
Stronger Neo - Minophagen /
SNMC 1 0.83
Inbumin 8 6.67
Apecur 100 ml syr 1 0.83
Neurodex@200 5 4.17
Antihistamin
Cetirizine 10 mg @ 50 7 5.83
Diphenhidramin inj @ 30 1 0.83
 Antihipertensi
Amlodipin 5 mg 1 0.83
Hipotonik sedatif
Alprazolam 0,5 mg @ 100 3 2.50
Diazepam / Valisanbe 2 mg @100 2 1.67
Antidepresan
Sandepril 50 mg @50 1 0.83
Amytriptilin 25 mg @ 100 1 0.83
Neurotonik/Neurotropik
Piracetam 3 gr @10 2 1.67
Antikonvulsan
Clobazam tab @100 1 0.83
Antipsikotik
Haldol 5 mg @ 100 2 1.67
Antimuskarinik
Buscopan 10 mg @100 1 0.83
Diuretik
Furosemid inj @ 25 2 1.67
Spironolacton 25 mg @100 1 0.83
Hiperurisemia & Gout
Allopurinol 100 @ 100 1 0.83
L-cisin 0.5 mg 2 1.67
Antiglaukoma
Glauceta Tab@100 1 0.83
Cendo Glaucon @20 1 0.83
Hemostatik dan antifibrinolitik
Asam Tranexamat 500 mg inj @ 10 2 1.67
Laksatif
Solac syrup 1 0.83
Antidiare
New Andites 600 mg 9 7.50
Kolestatik
Ursodeoxycholic Acid 1 0.83
Antipsikotik
Haldol 5 mg @ 100 2 1.67
Relaksan
Eperisone Tab 1 0.83
Keratolitik
Asam Salisilk 3 % mlgram 1 0.83
 Antivirus
Acyclovir zalf 1 0.83
Gangguan ginjal
Aminefron @ 100 1 0.83
 HIV/AIDS
Telura (Tenovir disoproxil)
Fumarate/ lamivudine/ efavirenz
Tenofir disoproxil fumarate
Lamivudine
Efavirenz
Nevirapine

H.4 Karakteristik Biaya medis langsung


Karakteristik biaya medis langsung dapat dilihat pada tabel 4.1
Tabel 4.4 Distribusi biaya medis langsung pasien HIV/AIDS di RSU
Anutapura Palu periode 2019-2020
Karakteristik Biaya Total Rata-Rata Total Biaya ± Persentase
Medis Langsung Pasien SD (Rp) (%)
Biaya Konsultasi 20 37.750 ± 31.559 1.02
Biaya Visite 11 202.145 ± 262.841 5.45
Biaya Laboratorium 73 621.671 ± 668.274 16.75
Biaya Kamar 74 1.393.986 ± 1.617.791 37.55
Biaya obat 74 786.095 ± 907.257 21.18
Biaya Tindakan
Medis
74 572.527 ± 466.899 15.42
Biaya Alat Kesehatan 74 137.559 ± 105.618 3.71
Biaya Radiologi 40 288.900 ± 276.038 7.78
Biaya Administrasi 45 20.000 ± 0 0.54
Dalam tabel diatas, dapat disimpulkan bahwa biaya yang terbesar yang
dikeluarkan oleh pasien HIV/AIDS di RS Anutapura adalah biaya kamar
dengan persentase sebesar 37.55%. Biaya obat juga menjadi biaya yang
paling besar dikeluarkan untuk pengobatan pasien HIV/AIDS yaitu
sebanyak 21.18%. Dalam beberapa penelitian, diketahui bahwa biaya
pengobatan pada pasien HIV/AIDS memang cukup tinggi, terutama bila
terjadi infeksi oportunistik. Penelitian yang dilakukan oleh Susyanty et
al., (2017) membahas mengenai biaya yang dikeluarkan untuk anak
dengan HIV/AIDS, dapat disimpulkan bahwa biaya obat-obatan memang
membutuhkan biaya yang cukup besar, terutama untuk pengobatan
infeksi oportunistik karena sebagian besar membutuhkan antibiotic
dengan harga yang relative mahal. Jika pasien melakukan pengobatan
yang tidak tepat, maka akan terjadi risiko resistensi yang akan
membutuhkan biaya yang lebih besar lagi.

Biaya terbesar yang ketiga adalah biaya laboratorium yakni sebanyak


16.75%.
Dalam pengobatan pasien HIV/AIDS, jika pasien sudah mendapatkan
jaminan dari BPJS maka nilai biaya pengobatannya terhitung Rp.0,-
kecuali jika fasilitas BPJS tersebut tidak digunakan.

H.5 Karakteristik Biaya Medis Berdasarkan Penunjang Biaya


Tabel 4.5 Distribusi biaya medis langsung pasien HIV/AIDS berdasarkan
penunjang biaya di RSU Anutapura Palu periode 2019-2020
Karakteristik Jumlah pasien Rata-Rata Total Biaya ± Persentase
Demografi (n=74) SD (Rp) (%)
Kelas perawatan
3 46 2.835.545 ± 1.404.106 21.92
2 13 3.634.412 ± 1.641.344 28.09
1 15 6.467.107 ± 4.900.200 49.99
Lama perawatan
1-9 Hari 51 2.730.220 ± 1.413.380 31.68
>9 Hari 24 5.889.034 ± 3.979.713 68.32
Tingkat Keparahan
Ringan 55 3.133.399 ± 2.584.497 18.48
Sedang 16 4.682.615 ± 2.179.176 27.61
Berat 3 9.143.405 ± 4.790.037 53.91
Jumlah comorbid
Tanpa comorbid 46 3.110.686 ± 2.732.172 11.76
1 comorbid 19 3.918.611 ± 1.732.416 14.81
2 comorbid 8 5.387.213 ± 3.159.137 20.36
>2 comorbid 1 14.046.143 ± 0 53.08
DAFTAR PUSTAKA
Andayani, T. . (2013). Farmakoekonomi (Prinsip dan Metologi). Bursa Ilmu.

Alldredge, B.K., Corelli, R.L., Ernst, M.E., Guglielmo, B.J., Jacobson,


P.A.,Kradjan, W.A., 2013, Koda-Kimble & Young’s Applied Therapeutics
The Clinical Use of Drugs, 10th ed., Lippincott Williams & Wilkins,
Pennsylvania, United States of America.

Dipiro, J. T., Wells, B. G., Schwinghammer, T. L., & Dipiro, C. V. (2017).


Pharmacotherapy Handbook. 7th Edition. In The McGraw-Hill Companies,
Inc. (Vol. 34, Issue 12). Darti, N. A., & Imelda, F. (2019). Upaya
Pencegahan Dan Penanggulangan Hiv/Aids Melalui Peningkatan
Pengetahuan Dan Screening Hiv/Aids Pada Kelompok Wanita Beresiko Di
Belawan Sumatera Utara. Jurnal Riset Hesti Medan Akper Kesdam I/BB
Medan, 4(1), 13. https://doi.org/10.34008/jurhesti.v4i1.56

Feladita, N., Satibi, & Marchaban. (2011). Cost Analysis of Hemorragic Stroke
for In-Patient. Jurnal Manajemen Dan Pelayanan Farmasi, 69–76.

Husada, F. R. K. (2019). No TitleΕΛΕΝΗ. Αγαη, 8(5), 55.

Permatasari, J., Wicaksono, D. A., & Andriani, M. (2020). Analisis Efektivitas


Biaya Penggunaan Obat Antiretroviral Atripla dan T/H/A pada Pasien HIV
Rawat Inap RSUD Raden Mattaher Provinsi Jambi Tahun 2017-2018.
PHARMACY: Jurnal Farmasi Indonesia (Pharmaceutical Journal of
Indonesia), 17(1), 216. https://doi.org/10.30595/pharmacy.v17i1.7061

Susyanty, A. L., Handayani, R. S., & Sugiharti, S. (2017). Keterjangkauan Biaya


untuk Mendapatkan Pengobatan pada Anak dengan HIV AIDS dan Infeksi
Oportunistik. Media Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan, 27(3), 161–
168. https://doi.org/10.22435/mpk.v27i3.6773.161-168

Dinas Kesehatan Sulawesi Tengah (2019). Profil Kesehatan Sulawesi Tengah.


Palu.

Hani, T. M. (2019). Perhitungan Unit Cost (UC) dan Penyusunan Tarif Rumah
Sakit dengan Metode Double Distribution (DD). Deepublsih Publisher.
Hidayati, A. N., Rosyid, N. A., Nugroho, W. C., Asmarawati, P. T., Ardiansyah,
O. A., Bakhtiar, A., Amin, M., Nasorudin. (2019). Manajemen HIV/AIDS:
Terkini, Komprehensif, Multidisiplin. Airlangga University Press: Surabaya

Kemenkes RI. (2013). Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi (Kemenkes


RI (ed.)).

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Peraturan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 2013 tentang Standar tarif Pelayanan
Kesehatan Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dan Fasilitas Kesehatan
Tingkat Lanjutan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Kementrian Kesehatan RI. 2019. Profil Kesehatan Indonesia 2019: Jakarta

Priya, D., Purohit, S., Pandey, B. L., & Upadhyay, P. (2015). A Brief Description
of Pharmacoeconomics. American Journal of Pharmacy & Health Research
Am. J. Pharm Health Res, 33(1111).

Susyanty, A. L., Handayani, R. S., & Sugiharti, S. (2017). Keterjangkauan Biaya


untuk Mendapatkan Pengobatan pada Anak dengan HIV AIDS dan Infeksi
Oportunistik. Media Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan, 27(3), 161–
168.

Tjandrawinata, R. R. (2016). Peran Farmaekonomi dalam Penentuan Kebijakan


yang Berkaitan dengan Obat-Obatan. In Working Paper of Dexa Medica
Group (Issue January 2016).

Anda mungkin juga menyukai