Anda di halaman 1dari 10

HIKMAH 13

ُّ ‫صاهَا ِبقِ َّل ِة ال‬


‫شک ِْر‬ ُ ‫ص َل ْت ِإ َل ْیکُ ْم َأ ْط َر‬
َ ‫اف ال ِّن َع ِم َفالَ ُت َن ِّف ُروا َأ ْق‬ َ ‫ِإ َذا َو‬

“Ketika telah terhubung kepada kalian percikan nikmat, maka


janganlah membuat sisanya kabur dengan sedikitnya bersyukur.”

Catatan:

َ yang artinya adalah


Kata «‫ »أطراف‬adalah bentuk jamak dari «‫»ط َرف‬
permulaan.

Kata «‫ »اَ ْقصاها‬artinya adalah akhir, ujung dari sesuatu.

Ketika kita melihat tanda-tanda datangnya nikmat, janganlah terbuai dan


lalai kemudian lupa bersyukur; hal itu bisa membuat nikmat itu tidak jadi
mendatangi kita. Kealpaan dalam bersyukur itu sendiri merupakan salah
satu bentuk tercerabutnya nikmat.

Nikmat/karunia sering datang kepada manusia secara bertahap. Tugas


manusia yang menerima karunia adalah bersyukur dari hati, lisan, dan
perbuatan. Menurut beberapa ahli tafsir Nahjul Balaghah, karunia itu
seperti kelompok burung. Mereka duduk di cabang pohon dan yang lain
secara bertahap mengikuti mereka dan memenuhi cabang. Tetapi, jika
kelompok pertama mendengar atau melihat suara yang tidak normal dan
gerakan yang tidak lazim, mereka melarikan diri dan burung-burung lain
akan mengikuti mereka.

Dalam QS Ibrahim: 7,

َ ‫َو ِإ ْذ َتَأ َّذ َن َر ُّبکُ ْم َلِئنْ َشکَرْ ُت ْم‬


‫الزیدَ َّنکُ ْم َو َلِئنْ َک َفرْ ُت ْم ِإنَّ َعذابی َل َشدی ٌد‬

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika


kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu,
tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat
berat.”

Al-Qur’an juga mengisahkan tentang Kaum Saba’ di surat Saba’: 15-17.

‫ال ەۗ ُكلُ ْوا ِمنْ رِّ ْز ِق َر ِّب ُك ْم‬ ٍ ‫ان ل َِس َب ٍا ِفيْ َمسْ َكن ِِه ْم ٰا َي ٌة َۚج َّن ٰت ِن َعنْ َّي ِمي‬
ٍ ‫ْن وَّ شِ َم‬ َ ‫َل َق ْد َك‬
١٥ - ‫َوا ْش ُكر ُْوا َل ٗه ۗ َب ْلدَ ةٌ َط ِّي َب ٌة وَّ َربٌّ َغفُ ْو ٌر‬

Sungguh, bagi kaum Saba’ ada tanda (kebesaran Tuhan) di tempat


kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di
sebelah kiri, (kepada mereka dikatakan), “Makanlah olehmu dari rezeki
yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kepada-Nya.
(Negerimu) adalah negeri yang baik (nyaman) sedang (Tuhanmu)
adalah Tuhan Yang Maha Pengampun.”

‫ْن َذ َوا َتيْ ا ُ ُك ٍل َخمْ طٍ وَّ اَ ْث ٍل‬


ِ ‫َفاَعْ َرض ُْوا َفاَرْ َس ْل َنا َع َلي ِْه ْم َس ْي َل ْال َع ِر ِم َو َب َّد ْل ٰن ُه ْم ِب َج َّن َتي ِْه ْم َج َّن َتي‬
١٦ - ‫وَّ َشيْ ٍء مِّنْ سِ ْد ٍر َقلِي ٍْل‬

Tetapi mereka berpaling, maka Kami kirim kepada mereka banjir yang
besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang
ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit
pohon Sidr.

١٧ - ‫ٰذل َِك َج َزي ْٰن ُه ْم ِب َما َك َفر ُْو ۗا َو َه ْل ُن ٰج ِز ْٓي ِااَّل ْال َكفُ ْو َر‬

Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran


mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu),
melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir.

Para Imam as juga telah meriwayatkan pentingnya syukur, misalnya dari


Imam Ash-Shadiq as 1,

1
31 ‫ ح‬،41 ‫ ص‬،68 ‫ ج‬،‫بحاراالنوار‬.
«ً‫ت َع َلی ِْه ْم َو َباال‬
ْ ‫ار‬
َ ‫ص‬َ ‫ب َف َل ْم َی ْشکُرُوا َف‬ ِ ‫ِإنَّ هَّللا َ َع َّز َو َج َّل َأ ْن َع َم َع َلى َق ْوم ِب ْال َم َوا ِه‬
‫ت َع َلی ِْه ْم ِنعْ َم ًة‬
ْ ‫ار‬
َ ‫ص‬ َ ‫ص َبرُوا َف‬ َ ‫ب َف‬ ِ ‫صاِئ‬ َ ‫َوا ْب َت َلى َق ْوما ً ِب ْال َم‬

Sesungguhnya Allah Azza wa jalla mengaruniakan pemberian kepada


suatu kaum, jika mereka tidak bersyukur, maka itu akan menjadi
musibah. Dan Allah menguji suatu kaum dengan musibah, ketika
mereka sabar maka itu akan berubah menjadi karunia.

Tiga tahapan syukur:

1. Tahap hati ketika manusia merasa senang dan rela atas karunia
Allah

2. Tahap lisan ketika manusia menyampaikan apa yang ada di


hatinya dengan ucapan syukur

3. Tahap amal perbuatan, yaitu menggunakan karunia Allah di


jalan-Nya, mempertimbangkan dan memikirkan apa tujuan dari
karunia yang diberikan, lalu bergerak menuju tujuan tersebut.
Contoh, jika diberi kecerdasan, kecerdasannya tidak boleh
digunakan untuk melakukan kejahatan. Jika diberikan kebebasan,
maka harus ia gunakan untuk kemajuan dan perkembangan,
bukan di jalan dosa. Semua organ tubuh yang merupakan karunia
besar pun harus dipakai untuk beramal saleh.

Banyak yang memiliki syukur hati dan lisan; namun dalam hal amaliah
masih belum bersyukur. Karunia Allah pasti memiliki tujuan khusus, jika
kita gunakan untuk tujuan lain maka itu adalah pengkhianatan terhadap
nikmat itu. Maka dicabutnya syukur ketika kita tidak bersyukur hati, lisan,
dan amaliah atas nikmat itu adalah hal yang alamiah. Ketika kita tidak
menggunakan karunia-Nya di jalan-Nya, berarti kita tidak layak
menerimanya; berarti kita tidak mampu melaksanakan tujuan dari
diberikannya karunia tersebut.
HIKMAH 14

‫ِيح َل ُه اَأْل ْب َع ُد‬ ُ ‫ض َّي َع ُه اَأْل ْق َر‬


َ ‫ ُأت‬،‫ب‬ َ ْ‫َمن‬
“Barangsiapa yang ditinggalkan oleh orang dekat, justru ditolong
oleh orang jauh.”

bisa juga diartikan sebagai,


“Barangsiapa yang disia-siakan oleh orang dekat, justru dimampukan
dan disiapkan oleh orang jauh.”

Catatan:

َ ‫ ”ُأت‬berasal dari akar kata “‫ ”تیح‬yang artinya siap, hadir, bangun;


Kata “‫ِيح‬
yang ketika digunakan dalam bentuk ‫ افعال‬maka berarti membangun,
menolong, menyiapkan. Bisa juga berarti memampukan, yang juga
merupakan bagian dari membangun/ menolong/ menyiapkan.

Ayatullah Makarim Shirazi memberikan dua kemungkinan penafsiran


terhadap hikmah ini:
1. Penghiburan bagi yang ditinggalkan keluarga dan kerabatnya
2. Tekanan/ancaman bagi yang meninggalkan keluarga dan
kerabatnya

Pada tafsiran pertama, hikmah ini memberikan penghiburan dan


harapan bagi mereka yang keluarga atau kerabat dekatnya tidak baik
kepadanya dan meninggalkannya. Imam as mengingatkan mereka
supaya tidak bersedih dan berkecil hati dalam proses ini. Tuhan akan
membukakan jalan lain untuknya.

Dukungan dari keluarga dan kerabat dekat adalah kebijaksanaan dan


Rahmat Ilahi untuk manusia. Namun jika mereka tidak melaksanakan
tugasnya untuk saling berbagi kasih dan mereka meninggalkan
tanggung jawab mereka untuk menjadi kawan yang baik bagi keluarga
dan kerabat mereka, maka Tuhan akan mengirimkan tanggung jawab ini
kepada orang lain. Tuhan tidak akan meninggalkan hamba-Nya
sendirian dalam badai-badai kehidupan.

Contohnya, Suku Quraisy yang merupakan kerabat terdekat dari


Rasulullah saww, bukan hanya tidak mendukung beliau saww tapi juga
menjadi musuhnya. Tetapi Allah menggerakkan hati suku-suku lain yang
justru sangat jauh untuk menjadi pendukung Rasulullah saww, misalnya
suku Aus dan Khazraj. Mereka malah menjadi pendukung setia
Rasulullah saww.

Imam Ja’far ash-Shadiq as berkata:

‫ُکنْ لِ َما الَ َترْ جُو َأرْ َجى ِم ْنکَ لِ َما َترْ جُو‬
"Lebih berharaplah kepada apa yang kamu tidak harapkan daripada
kepada apa yang kamu harapkan.” 2

Pada tafsiran kedua, jika keluarga dan kerabat dekat tidak saling
memanfaatkan kekuatan satu sama lain; maka orang jauh akan
menculik mereka dan mengambil manfaat dari keberadaan mereka.
Contohnya adalah masalah di negeri kita sendiri; ketika para pemuda
bertalenta dan berkemampuan tidak dimanfaatkan, disiapkan, dan
didukung, maka negara lain yang akan mengambilnya.

HIKMAH 15

ٍ ‫َما ُكل ُّ َم ْف ُت‬


ُ ‫ون ُي َعا َت‬
‫ب‬
“Tidak setiap orang yang sedang diuji patut disalahkan.”

versi terjemah lain:

“Semua yang sedang diuji tidak patut disalahkan”

2
. 2 ‫ ح‬،83 ‫ ص‬،5 ‫ ج‬،‫کافى‬.
Catatan:

Seringkali kita menyalahkan seseorang yang sedang diuji, baik itu oleh
penyakit, kemiskinan, atau oleh kejadian-kejadian yang menimpanya.
Padahal mereka ini tidak bersalah dan tidak layak pula untuk disalahkan.

Ayatullah Makarim Shirazi dan Ibnu Maytsam dalam syarahnya3 4


memaparkan bahwa semua orang yang sedang diuji tidak patut
disalahkan, karena sebab kesulitan seseorang bisa bermacam-macam.
Bisa jadi, kesulitan itu datang karena perbuatan manusia itu sendiri. Di
sisi lain, kesulitan itu bisa jadi merupakan bentuk ujian atau kaffarah
dosa yang Allah berikan untuknya.

Ayatullah Khu’i dalam Minhaj al-Bara'ah5 dan Ibn Abi al-Hadid6


mengatakan bahwa kalimat ini diucapkan oleh Ali (as) kepada Sa'd bin
Abi Waqqas, Muhammad bin Maslamah, dan Abdullah bin Umar ketika
mereka menolak untuk berperang dengannya.

Ayatullah Khu’i menulis, "‫ "مفتون‬dalam bahasa Al-Qur'an dan istilah


dalam kisah ini adalah orang yang menyimpang dari imannya, mereka
kembali kepada kesesatan dan kekafiran setelah iman dan Islam.
Mereka adalah orang-orang yang tidak terpengaruh oleh celaan atau
ucapan. Imam as kecewa dengan mereka dan mengatakan bahwa
mereka adalah sebagian dari orang-orang yang Allah tutup pendengaran
dan penglihatannya. Yakni, menyalahkan/memarahi orang yang tersesat
itu tidak perlu, karena tidak ada gunanya.

3
juz 12, halaman 111
4
juz 5, halaman 246
5
vol. 1, hal. 2
6
vol. 1, hal. 1
HIKMAH 16

ْ
ِ ‫ف فِی ال َّتدْ ِب‬
‫یر‬ ِ ‫َت ِذل ُّ اال ُ ُمو ُر لِ ْل َم َقاد‬
ُ ‫ َح َّتى َیکُونَ ا ْل َح ْت‬،‫ِیر‬

"Semua urusan tunduk perhitungan Tuhan, bahkan


kehancuran/kematian ada dalam pengaturan/rencana.”

Catatan:

Kata “‫ ”مقادیر‬adalah bentuk jamak dari “‫”مقدار‬, yang artinya adalah


perhitungan dan pengukuran, dalam konteks ini adalah perhitungan dan
pengukuran Allah.

Kata “ ُ‫”ح ْتف‬


َ berarti kehancuran atau kematian.

ِ ‫ ” َّت ْد ِب‬artinya adalah pengaturan/rencana.


Kata “‫یر‬

Segala urusan tunduk pada takdir Allah. Bahkan segala


rencana/pengaturan terbaik kita bisa jadi seolah membawa kita sendiri
ke kehancuran, keburukan, atau kematian.

Maksud dari pernyataan ini adalah bahwa meskipun manusia harus


berhati-hati dan bijaksana dalam segala hal; bukan berarti dia tidak
membutuhkan kasih karunia Tuhan. Untuk membangunkan manusia dan
mematahkan kesombongan dan kelalaiannya, Tuhan menetapkan
hal-hal yang bertentangan dengan semua prediksi dan persiapan, untuk
membuatnya menyadari bahwa di balik sistem ini ada kekuatan Maha
Besar; yang Rahmat-Nya ini dibutuhkan dan diharapkan oleh seluruh
makhluk.

Kita sering melihat juga bahwa seringkali orang yang terlihat sangat
waspada, kuat, serta banyak akal terpukul oleh perencanaan dan
kewaspadaan mereka sendiri karena takdir telah memberi mereka jalan
selain dari apa yang mereka inginkan.
Bukan berarti manusia tidak perlu berusaha, mengatur, serta
merencanakan hidupnya. Manusia harus tetap tawakkal. Tetap berusaha
namun juga memasrahkan diri kepada Allah. Dalam QS an-Najm: 39,

ِ ‫ْس لِاْل ِ ْن َس‬


٣٩ - ‫ان ِااَّل َما َس ٰع ۙى‬ َ ‫َواَنْ لَّي‬
dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya

HIKMAH 17

‫ش ْي َب َو‬ َ )‫ول (صلی هللا علیه وآله‬


َّ ‫"غ ِّي ُروا ال‬ ِ ‫س‬ ُ ‫الر‬َّ ‫سِئل َ (علیه السالم) َعنْ َق ْو ِل‬ ُ ‫َو‬
َ ‫اَل َت‬
‫ش َّب ُهوا ِبا ْل َي ُهودِ"؟‬
َ ‫ َفَأ َّما اآْل نَ َو َق ِد ا َّت‬،ٌّ‫ ِإ َّن َما َقال َ َذلِ َك َو الدِّ ينُ قُل‬:)‫َف َقال َ (علیه السالم‬
‫س َع ن َِطاقُ ُه َو‬
َ ‫اخ َت‬
‫ار‬ ْ ‫ام ُرٌؤ َو َما‬ ْ ‫ض َر َب ِب ِج َرا ِنهِ؛ َف‬َ

Imam Ali as ditanya mengenai sabda Rasulullah saw:


‘Ubahlah uban kalian (warnai rambut kalian) dan janganlah kalian
menyerupai orang Yahudi’
maka beliau menjawab: “Sesungguhnya beliau saw berkata
demikian ketika agama (Islam) masih kecil (sedikit pemeluknya).
Sedangkan sekarang Islam penyebarannya telah meluas dan
kekuatannya telah menjadi kokoh, maka siapapun boleh memilih
untuk melakukannya atau tidak.”

َ ‫ َغ ِّيرُوا ال َشي‬: Ubahlah uban (dengan mewarnai rambut).


‫ْب‬

‫قُ ٌّل‬: sedikit.

‫الن َِطاق‬: sabuk, namun bisa juga dipakai sebagai perumpamaan ruang
lingkup dan teritori atau daerah kekuasaan.

‫ا َّت َس َع ن َِطاقُ ُه‬: ungkapan/istilah untuk menyebut perkembangan (kemajuan)‌


dan perluasan kekuasaan.
‫ال ِجران‬: bagian depan leher unta yang ketika beristirahat disimpan di atas
tanah, sering dipakai sebagai perumpamaan untuk menyebut kekuatan.

‫ب ِب ِج َرا ِن ِه‬
َ ‫ض َر‬
َ : ungkapan/istilah untuk menyebut bahwa kekuatannya telah
kokoh.

Pada permulaan Islam, ketika jumlah muslim masih sedikit dan sebagian
dari mereka juga sudah tua, Nabi saww memerintahkan orang yang tua
untuk berdandan sebagai orang muda supaya mereka ditakuti oleh
musuh dan supaya tidak ada tanda-tanda kelemahan bagi Islam. Tetapi,
supaya siasat ini tidak disadari oleh Yahudi maupun kaum musyrik, Nabi
saww memerintahkan agar tidak menyerupai Yahudi.

Imam Ali as mengisyaratkan bahwa setiap aturan tergantung pada


subjeknya. Ketika subjeknya berubah, aturan juga bisa berubah. Imam
as berkata, subjek dari aturan ini adalah untuk menakuti musuh melalui
penampilan yang muda, dan ini berkaitan dengan waktu muslim masih
sedikit.

Ini membawa kita pada pertanyaan berikut.

Kita percaya bahwa


‫َحالَ ُل م َُحمَّد َحالَ ٌل َأ َبداً ِإ َلى َی ْو ِم ْال ِق َیا َم ِة َو َح َرا ُم ُه َح َرا ٌم َأ َبداً ِإ َلى َی ْو ِم ْال ِق َیا َمة‬
(Syariat) halalnya Muhammad (saww) adalah halal selamanya hingga
hari kiamat, dan haramnya adalah haram selamanya hingga hari
kiamat.7

Lalu bagaimana prinsip ini bisa konsisten dengan apa yang disebutkan
di hadits tersebut di atas? Ayatullah Mughniyah dalam syarahnya
menjawab, ada dua tipe hukum syari’ah: hukum/aturan yang dibuat atas
dasar masalah-masalah yang tetap dan fitriah/alamiah seperti shalat,
puasa, haji, dll., yang tidak bisa berubah. Syariah tipe ini tidak seperti
hukum atau aturan yang berdasarkan subjek yang berubah, yang ikut
berubah bersamaan dengan perubahan subjeknya. Contohnya, kita tahu
jual beli organ tubuh dan darah sangat tabu di masa lampau, karena

7
19 ‫ ح‬،58 ‫ ص‬،1 ‫ ج‬،‫کافى‬.
tidak ada gunanya. Namun sekarang, untuk menyelamatkan nyawa, jual
beli organ atau darah manusia sudah biasa dilakukan. Begitu pula
perihal mewarnai rambut.

Anda mungkin juga menyukai