Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

MUTASYABIH AL-QUR’AN

Tugas Mata Kuliah Mutasyabih Al-Qur’an”


Dosen Pembimbing:
Dr. H.A. Husnul Hakim, M.A

Disusun Oleh:

Abdul Qoyyum

M. Ihya Ulumuddin

M. Khalil Qordhowi

IAT (IILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QUR’AN JAKARTA

TAHUN AKADEMIK 2019/2020


BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah wahyu (petunjuk) yang diturunkan oleh Allah swt. kepada
Muhammad ‫ ﷺ‬untuk disampaikan kepada umatnya. Sepeninggal nabi
Muhammad saw. Al-Qur’an diwasiatkan kepada para sahabat, kemudian para tabi’in, dan
hingga sampai kepada kita umat akhir zaman. Al-Qur’an selalu sepadan dengan
zamannya dan akan tetap hidup dengan cara mengkajinya dan mengamalkannya.

Banyak cabang-cabang ilmu Al-Qur’an dalam memahami Al-Qur’an,


salahsatunya adalah Mutasyabih Al-Qur’an. yakni mengkaji ayat-ayat yang redaksinya
selalu ada pengulangan dalam Al-Qur’an yang kemudian itu berkaitan dengan penafsiran,
dan menimbulkan sebuah pemahaman.

Dalam hal ini pemakalah mencoba mengkaji beberapa ayat Mutasyabih yang ada
dalam Al-Qur’an, antaranya: QS. Hud ayat 10 & Fusshilat ayat 50, QS. Saba’ ayat 9 &
19, QS. Al-Qashash ayat 27 & Ash-Shaffat ayat 102. Dengan mengkaji beberapa ayat
Mutasyabih ini harapan pemakalah dapat dipahami oleh para pembaca. Wallahu’alam
BAB II
PEMBAHASAN

A. QS. Hud ayat 10 & Fusshilat ayat 50

(Abdul Qoyyum)

@‫َات َعنِّي إِنَّهُ لَفَ ِر ٌح فَ ُخور‬


ُ ‫َب ال َّسيِّئ‬ َ ‫َولَئِ ْن أَ َذ ْقنَاهُ نَ ْع َما َء بَ ْع َد‬
َ ‫ضرَّا َء َم َّس ْتهُ لَيَقُولَ َّن َذه‬
Artinya: “Dan jika Kami rasakan kepadanya kebahagiaan sesudah bencana yang
menimpanya, niscaya dia akan berkata: "Telah hilang bencana-bencana itu
daripadaku"; sesungguhnya dia sangat gembira lagi bangga,”

ُ ‫ضرَّا َء َم َّس ْتهُ لَيَقُولَ َّن هَ َذا لِي َو َما أَظُ ُّن السَّا َعةَ قَائِ َمةً َولَئِ ْن ُر ِجع‬
‫ْت إِلَى‬ َ ‫َولَئِ ْن أَ َذ ْقنَاهُ َرحْ َمةً ِمنَّا ِم ْن بَ ْع ِد‬
ٍ ‫َربِّي إِ َّن لِي ِع ْن َدهُ لَ ْل ُح ْسنَى فَلَنُنَبِّئ ََّن الَّ ِذينَ َكفَرُوا بِ َما َع ِملُوا َولَنُ ِذيقَنَّهُْ@م ِم ْن َع َذا‬
ٍ ِ‫ب َغل‬
‫يظ‬

Artinya: “Dan jika Kami merasakan kepadanya sesuatu rahmat dari Kami sesudah
dia ditimpa kesusahan, pastilah dia berkata: "Ini adalah hakku, dan aku tidak yakin
bahwa hari Kiamat itu akan datang. Dan jika aku dikembalikan kepada Tuhanku
maka sesungguhnya aku akan memperoleh kebaikan pada sisi-Nya". Maka Kami
benar-benar akan memberitakan kepada orang-orang kafir apa yang telah mereka
kerjakan dan akan Kami rasakan kepada mereka azab yang keras.”

Tafsir Ayat

QS. Hud ayat 10

Ayat ini menjelaskan bahwa sifat buruk mereka itu sungguh mendarah daging
dalam diri mereka, sehingga pikiran dan emosi mereka hanya berkisar pada
kenikmatan duniawi, tidak memikirkan sebab-sebab yang melatarbelakangi
datangnya nikmat atau cobaan. Dengan demikian, jika kami rasakan kepada mereka
manusia, yang durhaka suatu rahmat, yakni menganugrahkan kepadanya nikmat
duniawi sehingga mereka merasakannya dan nikmat itu sumbernya dari kami bukan
milik merka, tidak juga perolehannya berdasar kemampuan dan kekuasaan mereka
secara mandiri, kemudian walau telah berlalu waktu yang lama setelah mereka
menikati rahmat yang kami anugrahkan itu kami cabut darinya, secara paksa pastilah
dia menjadi seorang yang berputus asa sehingga menduga bahwa nikmat tidak akan
diperolehnya lagi tidak juga dia berterima kasih atas anugrah kami yang telah kami
berikan sekian lama itu.1

QS. Fusshilat ayat 50

Ayat di atas dipahami oleh thabathabai sebagai pendahuluan dari pembahasan


penutup surat, yang menjelaskan sebab penolakan mereka yang demikian keras
terhadap kebenaran yang di sampaikan oleh Nabi SAW, sebab tersebut adalah mereka
sangat mengandalkan diri mereka sendiri serta angkuh sehingga kalau salah seorang
dari mereka ditimpah kesulitan yang tak dapat ditanggulanginya, dia berputus asa lalu
mengarah kepada tuhan untuk berdoa kepadanya, sedang bila dia disentuh kebajikan,
dia larut didalamnya dan berbangga serta menjadikannya melupakan kebenaran. Ayat
di atas bagaikan menyatakan : manusia tidak bosan-bosanya mencari kebaikan yakni
apa yang dianggapnya bermanfaat untuk kehiddupannya, dan bila di sentuh petaka dia
sangat berputus asa karna dia melihat bahwa sebab dan faktor perolehannya yang
selama ini dia andalkan telah tiada.2

Pada kedua ayat di atas ada beberapa kata yang membedakan kedua ayat tersebut:

• Surat Hud ‫ نَ ْع َما َء‬Na’ma atau nikmat adalah nikmat yang telah diperoleh secara
faktual, sehingga nampak dampaknya pada yang memperolehnya.

• Surat Fussilat ً‫ َ َرحْ َمة‬Rahmah untuk menunjukan nikmatnya sebagai isyarat bahwa
nikmat yang dianugrahkan Allah SWT kepada manusia merupakan anugrah yang
bersumber dari kasih sayangnya, bukan atas dasar kewajiban atau balas jasa

B. QS. Saba’ ayat 9 & 19

(M. Ihya Ulumuddin)


ْ ِ‫ض أَوْ نُ ْسق‬
‫ط‬ ْ ‫ض إِ ْن نَ َشأْ ن َْخ ِس‬
َ ْ‫ف بِ ِه ُم اأْل َر‬ ِ ْ‫أَفَلَ ْم يَ َروْ ا إِلَى َما بَ ْينَ أَ ْي ِدي ِه ْم َو َما َخ ْلفَهُ ْم ِمنَ ال َّس َما ِء َواأْل َر‬
ٍ ‫َعلَ ْي ِه ْم ِك َسفًا ِمنَ ال َّس َما ِء إِ َّن فِي َذلِكَ آَل يَةً لِ ُكلِّ َع ْب ٍد ُمنِي‬
‫ب‬
Artinya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan langit dan bumi yang ada di
hadapan dan di belakang mereka? Jika kami menghendaki, niscaya kami benamkan
1
Quraish Syihab, Tafsir Al-Misbah, Hal. 435, 436
2
Quraish Syihab, Tafsir Al-Misbah, Hal. 201, 202
mereka di bumi atau kami jatuhkan kepada mereka kepingan-kepingan dari langit.
Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah)
bagi setiap hamba yang kembali (kepada-Nya).” (QS. Saba’: 9)

َ ‫ارنَا َوظَلَ ُموا أَ ْنفُ َسهُ ْم فَ َج َع ْلنَاهُْ@م أَ َحا ِد‬


@ٍ ‫يث َو َم َّز ْقنَاهُ ْم ُك َّل ُم َم َّز‬
َ‫ق إِ َّن فِي َذلِك‬ ِ َ‫اع ْد بَ ْينَ أَ ْسف‬
ِ َ‫فَقَالُوا َربَّنَا ب‬
@‫َّار َش ُكور‬
ٍ ‫صب‬ َ ‫ت لِ ُك ِّل‬
ٍ ‫آَل يَا‬

Artinya: “Maka mereka berkata, “ya Tuhan kami, jauhkanlah jarak perjalanan
kami,” dan (berarti mereka) mendzalimi diri mereka sendiri; maka kami jadikan
mereka bahan pembicaraan dan kami hancurkan mereka sehancur-hancurnya.
Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan
Allah) bagi setiap orang yang sabar dan bersyukur.” (QS. Saba’: 19)

Tafsir ayat

Dalam surat Saba’ ayat 9 ini berupa ancaman atau teguran besar dari Allah swt.
Untuk hambanya. Bagaimana mungkin mereka melupakan tanda-tanda kekuasaan
Allah swt sementara mereka telah menyaksikannya dengan nyata. Sebab, manusia
hidup di alam semesta ini menyaksikan tanda-tanda kekuasaan Allah yang tidak
mungkin terbantahkan lagi.

Di langit ada benda-benda yang bersinar, di laut ada gelombang dan di bumi
terdapat jurang-jurang. Bagaimana mungkin mengingkari kekuasaan Allah, sementara
mereka menyaksikannya. Oleh karena itu, Allah menyebutkan ancaman yang sangat
menakutkan kepada manusia, agar manusia menyadari kekeliruan yang telah mereka
lakukan. Allah menciptakan alam semesta ini berikut potensi yang ada di dalamnya
untuk kesejahtraan manusia itu sendiri. Sebagai peringatan agar manusia senantiasa
mawas diri dan mengoreksi dirinya dari kekeliruan.

Dalam sebuah hadis yang disebutkan Imam al-Ghazali dalam kita “Ihya Ulum
ad-Din” disebutkan bahwa sebenarnya langit, bumi dan lautan merasa geram dan
keberatan dengan tingkah laku manusia. Mereka meminta kepada Allah swt agar
mereka diledakkan sehingga menimpa manusia yang durhaka pada-Nya.
Namun Allah swt. Berkata: “Biarkan Aku dan makhluk ciptaan Ku. Karena Aku
telah menciptakan mereka, maka Aku akan menyayanginya. Apabila mereka
bertaubat kepada-Ku maka Akulah kekasih mereka. Namun sebaliknya jika mereka
tidak bertaubat dari dosa maka Aku jualah dokter bagi mereka.3

ِ َ‫( بَا ِع ْد بَ ْينَ أَ ْسف‬jauhkanlah jarak perjalanan kami) ulama


Dalam ayat 19, kalimat ‫ارنَا‬

ِ َ‫ بَ ِّع ْد بَ ْينَ أَ ْسف‬, hal itu disebabkan mereka mengingkari nikmat ini,
lain membaca ‫ارنَا‬
sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abas, Mujahid. Al-Hasan dan selain mereka.
Mereka menyenangi padang pasir dan gurun, dimana dalam menempuhnya
memerlukan bekal, kendaraan dan berjalan di waktu terik disertai rasa takut.
Sebagaimana Bani Israil meminta kepada Musa agar Allah mengeluarkan bagi
mereka tanaman-tanaman yang ditumbuhkan bumi berupa sayur-sayur, mentimun,
bawang putih, kacang adas, da bawang merah. Padahal mereka berada di dalam
kehidupan yang makmur dengan manna dan salwa, serta makanan, minuman da
pakaian mewah yang mereka nikmati.4

Dapat dibayangkan betapa keras kepalanya penduduk Saba’ yang telah diberikan
oleh Allah nikmat tersebut. Perjalanan yang dekat mereka minta agar dijadikan jauh
dan sulit. Perjalanan yang penuh dengan rasa aman diminta agar aral melintang yang
mengganggu. Nikmat yang diberikan ternyata tidak membuat mereka puas hati. Akan
tetapi menjadikan mereka susah hati. Mereka meminta agar perjalanan itu
dipanjangkan dengan gurun pasir yang luas dan perkampungan yang dipisah-
pisahkan, sehingga tidak ada orang yang yang melintasinya kecuali dia orang kaya.
Dapat dipahami dari sikap congkak mereka itu, bahwa yang ada dalam benak mereka
adalah ketamakan dan kerakusan aka harta dunia. Mereka tidak siap bersaing dengan
orang lain, yang mereka inginkan agar yang kaya tetap memperbudak yang miskin.
Sebab dengan jauhnya perjalanan yang ditempuh dan sulitnya situasi dan kondisi
sehingga hanya orang-orang yang memliki modal besar saja yang dapat melakukan
perjalanan itu.

3
Muhammad Mutawalli Sya’rawi, Tafsir Sya’rawi, (Medan; Duta Azhar, 2011), Hal. 99
4
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Al-Sheikh, Tafsir Ibnu Katsir, (Bogor; Pustaka Imam
Syafi’i, 2004), Hal. 564
Pelajaran ini bagi orang-orang yang ‫ش @ ُكور‬
َ ‫َّار‬
@ٍ ‫صب‬َ ِّ‫ لِ ُك@@ل‬bagi tiap-tiap seorang
mukmin yang senantiasa bersabar, lagi bersyukur. Kedua sifat yang disebutkan di
akhir ayat ini dalam bentuk superlative/mubalaghah, karena menghadapi orang
dengki dan keras kepala dibutuhkan kesabaran yang lebih pula. Kaum miskin yang
menerima danmpak paling parah dari kejadian itu harus bersabar semaksimal
mungkin, sebab cobaan ini tidaklah mudah untuk dihadapi.5

Tasyabbuh ayat

Kedua ayat di atas memiliki sedikit perbedaan redaksi, pada ayat 9 bahwa disana
memakai isim mufrad yakni ‫ الية‬, sedangkan pada ayat 19 memakai isim jama’ yakni
‫اليات‬.

maksud dari ayat 9 di atas adalah tanda-tanda dihidupkannya orang-orang yang


mati. Kemudian ada seorang laki-laki yang mengabarkan kepada orang-orang kafir
bahwa mereka akan dihidupkan kembali setelah adanya kematian, kemudian orang-
orang kafir ingkar dan mengejek nabi. Dan ayat 9 ini membahas tentang ketauhidan.

Pada ayat 19 mengisahkan tentang kaum saba’, Mereka itu dijadikan oleh Allah
sebagai i’tibar (Contoh) yang dapat diambil pelajaran darinya, mereka (kaum saba’)
dipencarkan oleh Allah dan dihancurkan oleh Allah sehancur-hancurnya, dan yang
selamat maka mereka pergi ke Syam, ada yang ke yatsrib, dan sebagiannya ke ‘aman
(yordan).6

C. QS. Al-Qashash ayat 27 & Ash-Shafat ayat 102

‫ج فَإِ ْن أَ ْت َم ْمتَ َع ْشرًا‬ ْ َ ‫قَا َل إِنِّي أُ ِري ُد أَ ْن أُ ْن ِك َح‬


ٍ ‫ي هَاتَ ْي ِن َعلَى أَ ْن تَأ ُج َرنِي@ ثَ َمانِ َي ِح َج‬ َّ َ‫ك إِحْ دَى ا ْبنَت‬
‫ك َستَ ِج ُدنِي@ إِ ْن َشا َء هَّللا ُ ِمنَ الصَّالِ ِحين‬ َّ ‫ك َو َما أُ ِري ُد أَ ْن أَ ُش‬
َ ‫ق َعلَ ْي‬ َ ‫فَ ِم ْن ِع ْن ِد‬

Artinya: “Dia (Syuaib) berkata, “Sesungguhnya aku bermaksud ingin menikahkan


engkau dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku ini, dengan ketentuan
bahwa engkau bekerja padaku selama delapan tahun dan jika engkau sempurnakan
sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) darimu, dan aku tidak bermaksud

5
Syekh Muhammad Mutawalli Sya’rawi, Tafsir Sya’rawi, (Medan; Duta Azhar, 2011), 118-119
6
Muhammad Ibn Hamzah al-Kirmany, Asrar at-Tikrar Fi al-Qur’an, (Dar al Fhadilah, 2008), hal. 208
memberatkan engkau. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang
baik.” (QS. Al-Qashash : 27)

Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari


kedua anakku ini. Musa ‘alaihis salam diminta oleh lelaki tua itu untuk
menggembalakan ternak kambingnya. Sebagai balasannya, ia akan mengawinkan
Musa dengan salah seorang anak perempuannya. Syu’aib Al-Jiba’i mengatakan
bahwa nama kedua wanita itu adalah Safuriya dan Layya. Muhammad ibnu Ishaq
mengatakan, nama keduanya ialah Safuriya dan Syarafa yang juga disebut Layya.
Murid-murid Imam Abu Hanifah menyimpulkan dalil dari ayat ini untuk
menunjukkan keabsahan transaksi jual beli yang penjualnya mengatakan kepada
pembelinya, “Aku jual kepadamu salah seorang dari kedua budak ini dengan harga
seratus.” Lalu pihak pembeli menjawab, “Saya beli.” Transaksi jual beli seperti ini
sah. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: atas dasar bahwa kamu bekerja denganku
delapan tahun, dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun, maka itu adalah (suatu
kebaikan) dari kamu. Yakni dengan syarat bahwa kamu gembalakan ternak
kambingku selama delapan tahun. Dan jika kamu menambah dua tahun lagi secara
sukarela, maka itu adalah kebaikanmu. Tetapi jika tidak, maka delapan tahun sudah
cukup. maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu insya Allah akan
mendapatiku termasuk orang-orang yang baik. Maksudnya, aku tidak akan
memberatimu, tidak akan mengganggumu, serta tidak pula mendebatmu sesudah itu.
Mazhab Imam Auza’i menyimpulkan dalil dari ayat ini, bahwa bila seseorang
berkata, “Aku jual barang ini kepadamu seharga sepuluh dinar kontan atau dua puluh
dinar secara kredit,” transaksi tersebut sah dan pihak pembeli boleh memilih salah
satu dari kedua alternatif tersebut, hukumnya sah (halal). Akan tetapi, ada sebuah
hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud menyanggah mazhab ini, yaitu hadis
yang mengatakan: Barang siapa yang melakukan dua harga dalam satu transaksi jual
beli, maka ia harus mengambil harga yang paling rendah atau riba (bila mengambil
yang tertinggi). Mengenai pengambilan dalil dari ayat ini dan hadis di atas yang
menyanggahnya, pembahasannya memerlukan keterangan panjang dan lebar, tetapi
bukan dalam kitab tafsir ini tempatnya. Namun, murid-murid Imam Ahmad dan para
pengikutnya mengambil dalil dari ayat ini yang menunjukkan keabsahan mengupah
orang sewaan dengan imbalan berupa makanan dan sandang. Mereka memperkuatnya
dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah Muhammad ibnu Yazid ibnu Majah di
dalam kitab sunannya, yaitu dalam Bab “Menyewa Orang Upahan dengan Imbalan
Berupa Makanan.” Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad,
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Musaffa, telah menceritakan
kepada kami Baqiyyah ibnul Walid, dari Maslamah ibnu Ali, dari Sa’id ibnu Abu
Ayyub, dari Al-Haris ibnu Yazid, dari Ali ibnu Rabbah yang mengatakan bahwa ia
pernah mendengar Atabah ibnul Munzir As-Sulami menceritakan, “Ketika kami
berada di rumah Rasulullah yang saat itu beliau sedang membaca surat Ta Sin Mim
(surat Al-Qashash), dan ketika bacaan beliau sampai di kisah Musa, maka beliau
bersabda: ‘Sesungguhnya Musa menjual jasanya selama delapan atau sepuluh tahun
dengan imbalan pemeliharaan kemaluannya (kawin) dan kebutuhan makannya’.”
Hadis bila ditinjau dari segi jalurnya berpredikat lemah, karena Maslamah ibnu Ali
Al-Khusyani Ad-Dimasyqi Al-Balati orangnya daif dalam periwayatan hadis menurut
para imam ahli hadis. Namun, hadis ini diriwayatkan pula melalui jalur lain, hanya
masih disangsikan pula kesahihannya. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Abu Zar’ah, telah menceritakan kepada kami Safwan,
telah menceritakan kepada kami Al-Walid, telah menceritakan kepada kami Abdullah
ibnu Lahi’ah, dari Al-Haris ibnu Yazid Al-Hadrami, dari Ali ibnu Rabbah Al-
Lakhami yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Atabah ibnul Munzir As-
Sulami (sahabat Rasulullah) menceritakan hadis berikut, bahwa Rasulullah pernah
bersabda: Sesungguhnya Musa ‘alaihis salam menjual jasanya dengan imbalan
pemeliharaan kemaluannya (kawin) dan kebutuhan makannya.7

‫ت ۡٱف َع ۡل َما تُ ۡؤ َم ۖ ُر‬ َ َ‫ك فَٱنظُ ۡ@ر َما َذا ت ََر ٰۚى ق‬
ِ َ‫ال یَ ٰۤـأَب‬ َ ‫ی إِنِّ ۤی أَ َر ٰى فِی ۡٱل َمن َِام أَنِّ ۤی أَ ۡذبَ ُح‬ َ َ‫فَلَ َّما بَلَ َغ َم َعهُ ٱلس َّۡع َی ق‬
َّ َ‫ال یَ ٰـبُن‬
َ‫ص ٰـبِ ِرین‬َّ ‫َست َِج ُدنِ ۤی إِن َش ۤا َء ٱهَّلل ُ ِمنَ ٱل‬

Artinya: “Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya,
(Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku

7
Abu Fida Ismail Bin Umar Bin Katsir al Quraisy, Tafsir al-Qur’an al’Adhim, (Dar Thayyibah Linnasyr
Wattawzi’, Damsyiq, 1999)
menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail)
menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu;
insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (QS. Ash-
Shafat : 102)

Ismail ketika tumbuh besar dan telah mencapai usia produktif untuk bekerja (ada
yang mengatakan tujuh tahun, adan yang mengatakan usia tiga belas tahun),
berkatalah nabi Ibrahim kepada putranya yang diperintahkan untuk disembelih
“Wahai anakku, aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, bagaimana
pendapatmu?”. Beliau menyampaikan kepada Ismail agar ia mempersiapkan diri
menjalankan perintah Allah SWT dan mengharapkan pahala dengan ketundukan
kepada perintah-Nya. Dan untuk mengetahui kesabarannya kepada perintah Allah
SWT karena mimpi para nabi adalah wahyu yang harus dilaksanakan.

Ismail a.s. mendklarasikan ketaatannya seraya berucap “Jalankanlah perintah


Allah SWT untuk menyembelihku dan lakukanlah sesuai dengan wahyu yang
diturunkan kepadamu. Aku akan sabar menjalani ketetapan Ilahi dan megharapkan
pahala di sisi-Nya.” Ini adalah sifat yang disematkan kepadanya, Haliim (sangat
penyabar dan penyantun).8

Tasyabuh Ayat

Perebedaan di kedua ayat ini adalah di ujung ayat, di surah al-Qashash memakai
kata َ‫ ٱلص َّٰـلِ ِحین‬sedangkan di surah ash-Shafat memakai kata َ‫ ٱلص َّٰـبِ ِرین‬, Karena yang
terdapat di dalam surah al-Qashash adalah : Perkataan Syuaib, yaitu : dari orang-
orang shaleh dalam setiap pergaulan (ketika bergaul) dan amanah dalam perjanjian.
Dan dalam surah Ash-shafat dari perkataan ismail ketika dia berkata kepada ayahnya
“Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah
bagaimana pendapatmu!” lalu Ismail menjawab “Wahai ayahku! Lakukanlah apa

8
Dr. Wahbah bin Mushtafa Azzuhaili,, Tafsir al-Munir fi Aqidah wa Syariah wa Manhaj, (Dar al-fikr,
Damsyiq, 1997), Hal. 191
yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku
termasuk orang yang sabar.”9

DAFTAR PUSTAKA

Quraish Syihab, Tafsir Al-Misbah


Muhammad Mutawalli Sya’rawi, Tafsir Sya’rawi, (Medan; Duta Azhar, 2011)
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Al-Sheikh, Tafsir Ibnu Katsir,
(Bogor; Pustaka Imam Syafi’i, 2004)
Muhammad Ibn Hamzah al-Kirmany, Asrar at-Tikrar Fi al-Qur’an, (Dar al Fhadilah,
2008)
Abu Fida Ismail Bin Umar Bin Katsir al Quraisy, Tafsir al-Qur’an al’Adhim, (Dar
Thayyibah Linnasyr Wattawzi’, Damsyiq, 1999)

Dr. Wahbah bin Mushtafa Azzuhaili,, Tafsir al-Munir fi Aqidah wa Syariah wa Manhaj,
(Dar al-fikr, Damsyiq, 1997)

9
Mahmud bin Hamzah Bin Nashi dkk., Asrar Tikrar Fil Qur’an, Darul Fadhilah, hal.195

Anda mungkin juga menyukai