DISUSUN OLEH:
TAHUN 2020/2021
PEMBAHASAN
A. Al-Qur’an Sebagai Petunjuk
Semua manusia hidup di dunia ini bercita-cita ingin memperoleh kebahagiaan,
baik di dunia maupun di akhirat. Untuk mencapai itu kebahagiaan yang hakiki manusia
harus berpedoman kepada al-Qur‟an, karena al-Qur‟an diturunkan Allah sebagai
petunjuk kepada jalan yang lurus, sebagaimana firman-Nya:
Dalam ayat lain, Allah menjelaskan bahwa Al-Qur'an itu diturunkan sebagai
petunjuk bagi manusia:
Al-Qur‟an menjelaskan hal–hal yang baik dan buruk, yang hak dan yang bathil,
yang halal dan yang haram, yang adil dan dzolim dan hal-hal lainnya. Semua itu untuk
kepentingan manusia agar manusia dengan petunjuk itu senantiasa berada pada jalan
yang lurus. Ada beberapa langkah yang harus dilakukan oleh kita agar Al-Qur'an betul-
betul menjadi petunjuk bagi kehidupan kita, yakni: (1) diimani, (2) dibaca, (3) dipahami,
dan (4) diamalkan.
B. Ayat yang Ada di Dalam Dada Manusia (Al-Ankabut:49 dan Al-Fusilat: 53)
"Sebenarnya, Al Quran itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang
diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang
zalim."
Sebenarnya Al-Qur'an itu adalah ayat-ayat yang jelas, tidak ada sedikit pun
keraguan padanya, yang terpelihara di dalam dada orang-orang yang berilmu, baik
melalui tradisi hafalan turun-temurun sehingga tidak seorang pun dapat mengubahnya
maupun dari segi pemahaman dan pengamalannya. Hanya orang-orang yang zalim yang
mengingkari ayat-ayat kami dengan menutup diri dari kebenaran Al-Qur'an. 50.
Andaikata kaum kafir mekah dan orang yahudi mau membuka hati pasti mereka akan
mengakui Al-Qur'an bukan hasil karya nabi Muhammad, melainkan mukjizat yang
agung. Namun, mereka justru meminta mukjizat inderawi seperti yang didatangkan Allah
kepada para nabi terdahulu. Dan mereka berkata kepada nabi Muhammad untuk
menjatuhkan mentalnya, 'mengapa tidak diturunkan mukjizat-Mukjizat dari tuhannya
yang bisa dilihat oleh mata seperti mukjizat-Mukjizat para nabi sebelumnya'' katakanlah,
'mukjizat-Mukjizat itu bukan urusanku. Semuanya terserah kepada Allah, apakah dia
membekali para rasul-Nya dengan mukijzat inderawi atau bukan. Aku hanya seorang
pemberi peringatan yang jelas, yang diperkuat dengan argumentasi dan bukti-bukti yang
kuat. '.
Tafsiran:
Untuk mendukung kebenaran Al-Qur'an, kami juga akan memperlihatkan kepada
mereka tanda-tanda kebesaran kami di segenap penjuru yang dapat mereka saksikan di
luar diri mereka dan apa saja yang ada pada diri mereka sendiri yang dapat mereka
rasakan, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur'an itu adalah benar datang dari
Allah. Tidak cukupkah bagi kamu, wahai nabi Muhammad, bahwa tuhanmu menjadi
saksi atas segala sesuatu'54. Allah lalu mengingatkan nabi Muhammad dengan
menyatakan, 'ingatlah, sesungguhnya mereka dalam keraguan, yakni tidak meyakini
tentang pertemuan dengan tuhan mereka kelak di hari kiamat. Ingatlah pula,
sesungguhnya dia maha meliputi segala sesuatu dengan ilmu dan kekuasaan-Nya.
Kitab Al-Qur’an itu adalah catatan atau salinan atas perkataan Al-Qur’an yang
berbentuk suara atau tulisan yang menurut (QS. Yusuf:2), antara ketiga (Qur’an, Al-
Qur’an, Kitab Al-Qur’an sama kesuciannya oleh karena itu salinan dari kalam yang suci.
Dari sinilah tafsir bekerja yakni dengan menafsir salinan Al-qur’an yang di
ucapkan langsung Rasullah melalui perantara lisan kelisan kenabian. Maka dari itu
alangkah lebih baiknya kita belajar langsung dari orang yang belajar langsung kepada
Nabi Muhammad SAW. Karena dalam memahami Al-Qur’an tidak cukup memahami
epistemologi atau metodologi, dalam memahami kalam Allah ini langsung dari Allah.
Q.S. Al-Fatihah:
Q.S. An-Nas
ِ َُّور الن
. اس Lِ صد ِ َّاس ْالخَ ن
ُ الَّ ِذي ي َُوس ِْوسُ فِي. اس Lِ ِم ْن َشرِّ ْال َوس َْو. اس
ِ َّ إِلَ ِه الن. اس
ِ َّك الن ِ َّقُلْ أَعُو ُذ بِ َربِّ الن
ِ ِ َمل. اس
ِ َِّمنَ ْال ِجنَّ ِة َوالن
اس
Tafsiran Al-Fatihah
Ummul Qur’an (induk al-Qur’an) merupakan salah satu nama lain al-Qur’an.
Mengapa demikian? Karena isi kandungan ketujuh ayatnya merupakan intisari dari al-
Qur’an. Abul Hasan al-Harralli menjelaskan bahwa al-Fatihah adalah induk al-Qur’an,
karena ayat-ayat al-Qur’an seluruhnya terinci melalui kesimpulan yang ditemukan pada
ayat-ayat al-Fatihah. Tiga ayat pertama dalam surat al-Fatihah mencakup makna-makna
yang dikandung oleh asmaa’ul Husna. Semua rincian yang terdapat dalam al-Qur’an yang
menyangkut Allah bersumber dari ketiga ayat pertama itu.
Ajaran tauhid yang terkandung dalam ketiga ayat pertama tersebut adalah
sifatiyah (asma dan sifat), artinya kita meyakini bahwa Allah memiliki sifat-sifat
keutamaan sebagaimana yang tersirat pada ayat-ayat tersebut yang mengandung arti pula
bahwa Allah dengan segala sifat kutamaan-Nya (ayat 1), telah mencurahkan segenap
kasih sayang-Nya kepada kita, menciptakan dan mengatur alam semesta untuk kita.
Dialah Sang Penguasa alam (ayat 2) sehingga hendaknya kita mengakui dan meyakininya
dan memuji kebesaran-Nya yang telah menciptakan kita semua. Firman-Nya dalam ayat
5 yang artinya
mengandung dua makna yaitu, (1) bahwasanya Allah yang menetukan dan Dia
pula satu-satunya yang mengetahui kapan tibanya hari itu. Tidak ada satupun makhluk
yang mengetahui hal tersebut (2) Allah menguasai segala sesuatu yang terjadi dan apapun
yang terdapat ketika itu. Maka jangan Bertindak atau bersikap menentang-Nya, bahkan
berbicara pun harus dengan izin-Nya. Segala sesuatu yang menjadi penghubung antara
makhluk dengan Khalik terinci dalam Firman-Nya pada ayat
Iyyaka na budu wa iyyaka nasta’in ada kupasan menarik dari mufassir M. Quraish
Syhihab dalam Tafsir al-Misbah bahwasannya kata “kami” yang digunakan pada
ayat ini mengandung beberapa pesan:
Pertama, untuk ciri khas ajaran Islam adalah kebersamaan. Seorang muslim harus
merasa bersama orang lain, tidak sendirian. Atau dengan kata lain seorang muslim harus
memiliki kesadaran social Kedua, ibadah hendaknya dilakukan bersama-sama.
Karena jika kita melakukannya bersama-sama, orang lain yang bersama kita akan
menutupi kekurangan kita. Pada ayat 6 “ihdina as-shirath al- Mustaqim”
Mencakup segala yang meliputi urusan makhluk dalam mencapai Allah dan
menoleh untuk meraih rahmat-Nya serta mengesampingkan selain-Nya. Sungguh hanya
kepada-Nya kita berharap agar menunjukkan kita arah tujuan yang benar.\ Surah Al-
Fatihah memainkan peran yang sangat penting dalam kehidupan umat Islam. Selain
menjadi surah pembuka dalam Alquran, surah ini juga menggambarkan isi keseluruhan
Alquran. Surah Al-Fatihah mengandung pokok-pokok tujuan Alquran secara ijmal
(global) yang kemudian diperinci dengan berbagai keterangan dalam ayat-ayat yang
terdapat pada surah-surah berikutnya. Dari pembahasan tafsir al-fatihah di atas dapat
diketahui bahwa surat al-fatihah adalah induk dari Al-Qur’an seluruhnya, sehingga
merupakan intisari dari isi Al-Qur’an yaitu; Aqidah, Ibadah, Hukum-hukum janji dan
Ancaman serta kisah-kisah.
Tafsiran Surah An-Nas
Surat An Nas terdiri dari enam ayat. Kata An Nas yang berarti “manusia” diambil
dari ayat pertama. Ia disebut pula surat Qul a’udzu birabbin naas. Bersama surat Al
Falaq, keduanya disebut al mu’awwidzatain. Yakni dua surat yang menuntun
pembacanya menuju tempat perlindungan.
Surat ini turun bersama surat Al Falaq. Menurut pendapat Hasan, Atha’, Ikrimah
dan Jabir, Surat An Nas adalah surat makkiyah. Ini merupakan pendapat mayoritas.
Namun ada juga yang berpendapat Surat An Nas adalah madaniyah berdasarkan riwayat
Ibnu Abbas dan Qatadah.
Sebagian ulama lebih detil menyebut surat An Nas merupakan surat ke-21 yang
turun kepada Rasulullah dari segi tertib turunnya. Yakni sesudah Surat Al Falaq dan
sebelum Surat Al Ikhlas.
Asbabun nuzul yang menjadi dasar pendapat ayat ini Madaniyah, surat ini
diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad saat seorang Yahudi Madinah bernama
Lubaid bin A’sham menyihir beliau.
Lubaid bin A’sham menyihir Rasulullah dengan media pelepah kurma berisi
rambut beliau yang rontoh ketika bersisir, beberapa gigi sisir beliau serta benang yang
terdapat 11 ikatan yang ditusuk jarum. Lalu Allah menurunkan Surat Al Falaq dan An
Nas.
Setiap satu ayat dibacakan, terlepaslah satu ikatan hingga Rasulullah merasa lebih
ringan. Ketika seluruh ayat telah dibacakan, terlepaslah seluruh ikatan tersebut.
Maka untuk menangkal bisikan-bisikan setan itu, baik dari golongan jin maupun
manusia, kita harus memohon perlindungan kepada Allah. Surat An Nas ini mengajarkan
demikian. Membaca Surat An Nas adalah bagian dari upaya perlindungan diri dari semua
bisikan itu. Namun tidak hanya membacanya.
“Dan sesungguhnya engkau berlindung kepada Allah dari perdayaan setan itu
ialah dengan meninggalkan apa yang disukai setan. Bukan semata-mata hanya berlindung
diucapkan mulut, tegas Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar.
Huruf muqaṭṭa’ah ini telah disebutkan Allah pada awal surah al-Baqarah,
menurut penafsiran al-Ṭabari bentuk alif lâm mîm pada awal surah al-Baqarah terlihat
sangat luas penjabarannya, ini dilakukan untuk menghemat keterangan dan untuk tidak
mengadakan pengulangan-pengulangan yang sama sekali tidak berarti.
Pendapat dari Qatadah, Mujahid dan Ibn Juraij yang mengatakan bahwa huruf alif
lam mim menafsirkan nama-nama al-Qur’an. Menurut pendapat lainnya al-Ṭabari
mengutip riwayat Mujahid yang berpendapat bahwa ia adalah huruf pembuka yang
diletakkan di awal beberapa surah dalam al Qur’an. Pendapat lain yang dikutip dari Zaid
bin Aslam yang menyebutkan bahwa huruf tersebut bermakna nama-nama dari surah al-
Qur’an.
alif lam mim pada awal surah al-Baqarah ini mengutip bentuk tafwidh ijmali
dengan makna alif adalah Ana (Aku), lam adalah Allah, dan mim adalah a’lam (lebih-
Mengetahui). Seperti ulasan tadi, maka arti keseluruhannya adalah: “Akulah Allah yang
Paling Mengetahui”. Tanpa ada pendekatan lain selain memasrahkan sifat Allah yang
maha Mengetahui.
Ali bin Ishaq al-Samarqandi menceritakan dari Muhammad bin Marwan dari al-
Kalbi dari Abi Shâlih dari Ibn ‘Abbas dalam firman-Nya: bahwa huruf alif adalah lafazh
Allah, lam Jibril, mim sebagai Nabi Muhammad. Kemudian pendapat lainnya bahwa alif
adalah anugerah-Nya, lâm kelembutan-Nya, dan mîm adalah kekuasaan-Nya. Pendapat
lainnya: alif awalan huruf yang disebutnya Allah, lam sebagai awalan yang bersifat al-
Laṭîf (kelembutan), mîm sebagai awalan yang disifati al-Majid (Maha Luhur).
Pendapat Ibn ‘Abbas, di mana beliau mengatakan bahwa huruf alif lâm mîm shâd
memiliki arti “Akulah Allah yang paling utama”.
Dari Qatâdah bahwa huruf tersebut memiliki makna nama dari nama-nama al-
Qur’an. Sedangkan alif lam ra dan alif lâm mim ra adalah kalimat bermakna أنا هللا أري,
artinya: “Akulah Allah yng Maha Melihat”, pendapat ini diungkapkan oleh Ibn ‘Abbas
dan al-Dhahhak, riwayat lain Ibn ‘Abbas juga berpendapat; bahwa المرbermakna أنا هللا
أريyaitu “Akulah Allah yang Maha Melihat”. Pendapat lain yang menyatakan bahwa
huruf الرbermakna yaitu salah satu dari nama Allah Swt. Ibn ‘Abbas menyatakan bahwa
alif lam ra, ha mim, dan nun adalah gabungan dari kalimat الرحمنdan seterusnya.
Penafsiran al-Fairȗzabadi dalam menjelaskan makna huruf alif, lam mîm shâd
tidak mengungkapkan penafsiran yang berbeda dengan penafsiran alif lam mim dalam
awal surah Luqman, al-Sajdah dan al-Rȗm, mengenai huruf muqaṭṭa’ah tersebut al-
Fairuzabadi berkomentar bahwa Ana Allahu a’lam, alif lam ra, Ana Allahu ara, alif lam
mim shâd, Ana Allahu a’lam wa afshil. Menurut ulama Salaf yang diriwayatkan dari
Qatadah, Ibn Juraij dan Mujâhid memaknai huruf muqaṭṭa’ah dengan nama-nama Al-
Qur’an boleh-boleh saja seperti halnya menyebut al-Furqân, al-Dzikr dalam penyebutan
al-Qur’an. Penafsiran yang terlalu ijmal itu selalu mendominasi dalam makna yang dituju
di samping makna qasam itu sendiri.
penafsirannya Kaf-ha ya ain shad, Ali bin Abi Ṭalib yang mengatakan bahwa
huruf tersebut merupakan nama Allah. Pernah suatu ketika Ali ra. berdoa dengan huruf
tersebut dalam ungkapan رلىKKا كهيعص إغفKKي, “wahai Allah, ampunilah dosaku”. Berbeda
sekali dengan al-Fairȗzabadi yang banyak mengambil pendapatnya dari Ibn ‘Abbas
secara langsung.
Ibn ‘Abbas menjelaskan makna kaf adalah kafa likholqihi (Maha Mencukupi atas
kebutuhan makhluk-Nya), ha diambil dari kata hadi likholqihi (Maha Pemberi Petunjuk
bagi makhluk-Nya), yâ diambil dari kata yadullah likholqihi, ‘ain diambil dari kata
‘alimun bi amrihim (Mengetahui segala permasalahan Makhluk), shad diambil dari kata
shadiqun bi wa’dihi (Memberi janji-Nya). Bersumber pada riwayat Ibn ‘Abbas yang
lainnya, kaf berarti karimin (Yang Maha Mulia), ha berarti hadin (Pemberi Petunjuk), yâ
berarti halim (Yang Maha Pemurah), ‘ain ‘alimin (Maha Mengetahui), shad (Maha
Benar).
4. Ṭa-ha
Diriwayatkan dari Ibn ‘Abbas, ayat ini turun di saat orang-orang Quraisy
menuduh Nabi sengsara dan terperdaya disebabkan wahyu dari Tuhannya yang ditunggu-
tungu tak kunjung turun. Maka Allah menurunkan ayat tersebut dengan mengatakan,
“wahai laki-laki (Muhammad), tidaklah al-Qur’an Kami turunkan untuk menjadikan
dirimu sengsara”. al-Fairûzabadi dalam ta’wîl-nya yaitu men-ta’wîl huruf Ṭa-hâ dengan
makna panggilan, ia beralasan karena huruf itu menjadi bagian dari kosa kata masyarakat
Arab dan diperkuat dengan adanya pendapat dari para sahabat dan tabi’in tentang asbab
nuzul pada awal ayat surah tersebut.
5. Shad
Menurut al-Ṭabari, ha-mim -‘ain sin qaf yang dikutip dari hadis Abu alMughirah
dari Arṭâh ibn Mundzir. Ia berkata: “Telah datang seseorang pada Ibn ‘Abbas. Pemuda
tersebut menanyakan perihal makna ha-mim-’ain-sin-qaf, kemudian Ibn ‘Abbas menolak
menjawab sampai tiga kali ditanyakan tetap saja Ibn ‘Abbas tidak menjawab apapun,
padahal di sekitarmya adalah Hudzaifah Ibn al-Yaman.
Seolah Ibn ‘Abbas memberi tahu kepada Hudzaifah; bahwa ayat ini turun pada
seorang pemuda yang datang dan menjuluki dirinya ‘Abdul ilâh (Abdullah), kemudian
Allah mengutus atas masa yang akan datang dan mereka memohon kemenangan atas
musuh-musuh mereka dan akhirnya binasalah manusia yang berlaku zhalim pada masa
itu. Qatâdah menambahi riwayatnya bahwa hurufhuruf tersebut adalah satu dari nama-
nama yang dimiliki al-Qur’an.
Ṭa sin mim berulang dalam al-Quran sebanyak dua kali, yakni surah al-Syu’ara
dan surah al-Qashash. Menurut al-Ṭabari bersumber dari Ibn ‘Abbas bahwa ayat di atas
bermakna sumpah Allah yang ia gunakan untuk mengawali dua surah di atas.
pendapat Ibn ‘Abbas bahwa huruf nȗn adalah bagian dari huruf yang terdapat
pada nama Allah الرحمن, Ibn ‘Abbas mengatakan bahwa ن, حم, الرterambil dari huruf dari
رحمنKK الyang terpisah. Al-Ṭabari juga mengungkapkan pendapat lain dari Ibn ‘Abbas
lainnya, bahwa yang dimaksud Nȗn adalah tinta, yang dijadikan sebagai isi dari sebuah
pena.
Penjelasan lainnya dari al-Ṭabari, ada dua cara yang bisa digunakan dalam
membaca huruf tersebut, pertama dengan men-idzhar-kan dan dengan menidghom-kan.
Kedua cara tersebut dipandang layak dan benar oleh al-Ṭabari. Akan tetapi, cara
membaca dengan idzhar lebih fasih dari pada men-idghom-kannya dan cara itu
merupakan cara baca yang paling masyhur menurut jumhûr (mayoritas). Berbeda hal-nya
Nûn dalam sural al-Qalam menurut al-Fairȗzabadi adalah qasam. Hal itu ditunjukkan
penyesuaian dengan kata selanjutnya yang menggunakan “wau” qasam dan terdapat kata
sambung yang dihilangkan berupa ( واو العطفيةwau penyambung).
Al Basyar
Al-Basyar adalah gambaran manusia secara materi, yang dapat dilihat, memakan
sesuatu, berjalan, dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya. Manusia
dalam pengertian ini terdapat dalam Al-Qur’an sebanyak sekitar 35 kali di berbagai
surah.
Menurut M. Quraish Shihab, kata basyar terambil dari akar kata yang bermakna
penampakan sesuatu dengan baik dan indah. Dari akar kata yang sama lahir kata basyarah
yang berarti kulit. Al-Qur’an menggunakan kata basyar sebanyak 36 kali dalam bentuk
tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna untuk menunjuk manusia dari sudut
lahiriahnya serta persamaannya dengan manusia seluruhnya. Dengan demikian, kata
basyar dalam Al-Qur’an menunjuk pada dimensi material manusia yang suka makan,
minum, tidur, dan jalan-jalan. Dari makna ini lantas lahir makna-makna lain yang lebih
memperkaya definisi manusia. Dari akar kata basyar lahir makna bahwa proses
penciptaan manusia terjadi secara bertahap sehingga mencapai tahap kedewasaan.
Al Insaan
Kata al-ins atau al-insan disebut dalam Al-Qur’an sebanyak 65 kali, kata al-ins
senantiasa dipertentangkan dengan al-jinn (jin), yakni sejenis makhluk halus yang tidak
bersifat materi yang hidup diluar alam manusia, dan tidak tunduk kepada hukum alam
kehidupan manusia sebagaimana disebutkan oleh Allah dalam Al-Qur’an sebagai
makhluk diciptakan dari api. Makhluk yang membangkang tatkala diperintahkan untuk
bersujud kepada Adam.
Kata al-insan bukan berarti basyar dan bukan juga dalam pengertian al-ins. Dalam
pemakaian Al-Qur’an, mengandung pengertian makhluk mukallaf (yang dibebani
tanggung jawab) mengemban amanah Allah untuk menjadi khalifah dalam rangka
memakmurkan bumi. Al-insan sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Alaq adalah
mengandung pengertian sebagai makhluk yang diciptakan dari segumpal darah, makhluk
yang mulia sebab memiliki ilmu, dan makhluk yang melampaui batas karena telah
merasa puas dengan apa yang ia miliki.
MUKMIN
Kata Mukmin bila dilihat dari kaca mata linguistik, berasal dari kata iman yang
merupakan bentuk kata benda verbal keempat dari akar kata أمن,yang bermakna aman,
mempercayakan, dan berpaling kepada. Kemudian seterusnya maknanya berkembang dan
memunculkan makna-makna baru seperti keyakinan yang baik, ketulusan, ketaatan atau
kesetiaan. Sedangkan dalam bentuk keempatnya, masdar (amanah), mempunyai makna
ganda, yakni percaya dan menyerahkan keyakinan. Makna dasar (primer) dari bentuk ini
adalah menjaga kesetiaan pada apa yang telah dititipkan Tuhan kepada dirinya dengan
keyakinan teguh di dalam hati, bukan hanya di lidah. Lazimnya, ketika kata أمنdilekatkan
dengan partikel bi ( )بmaka maknanya berubah menjadi mengakui atau mengenali. Bisa
juga bermakna percaya, yaitu ketika seseorang merasa aman untuk mempercayakan
sesuatu kepada seseorang
Bagi orang-orang yang dalam hatinya memiliki iman, maka mereka tidak akan
ragu sedikitpun mengatakan dan membela kebenaran al-Qur’an, dimana seluruh peristiwa
yang diceritkan al-Qur’an mereka Imani. Mereka yakin bahwa al-Qur’an adalah kitab
dari Tuhan, sebagai kitab pembimbing manusia, yang diturunkan kepada Muhammad
yaitu orang yang dipercayai, yang mampu menyampaikan seluruh perintah al-Qur’an,
dengan tujuan agar petunjuk al-Qur’an itu sampai dtelinga seluruh makhluk untuk
mengikutinya atau beriman kepada al-Qur’an dan Pencitanya.
Sedikitpun bagi orang yang beriman tidak ada rasa ragu, mereka kebal dari tipuan
kata-kata manis ilmiah apapun, Sekularisme, Hedonisme, Pluralisme Multikulturalisme
atau isme-isme yang lainya, bagi mereka yang beriman, semua isme-isme itu hanyalah
bagian kecil dari ilmu yang sedikitnya juga dipelajari, tetapi yang lebih besar dari itu
ialah memahami al-Qur’an secara mendalam. Isme-isme itu hanyalah produk penanding
kemutlakan Tuhan (Allah) semesta alam, atau tidak lebih dari sebuah ideology yang
menyesatkan manusia yang belum memahami sejarah-sejarah faham ini. Orang yang
beriman akan mengatakan, bahwa tiada kemutlakan selain kemutlakan Allah, yang
mereka yakini dari petunjuk al-Qur’an.
Kandungan Surah Hud Ayat 118-119 ini menyinggung salah satu keistimewaan
terpenting anugerah Tuhan yaitu perbedaan. Disebutkan bahwa jika Allah SWT
berkeinginan, Dia bisa menciptakan semua manusia dalam satu corak dan semuanya
beriman kepada kebenaran. Akan tetapi keimanan semacam ini tidak ada faedahnya.
Namun Allah SWT memperingatkan bahwa barang siapa yang memilih jalan
kekufuran dan ingkar kepada Allah, sekalipun di dunia ini mereka memperoleh nikmat-
nikmat duniawi, namun pada hari kiamat kelak pastilah mereka akan mendapatkan
kesulitan dan dimasukkan ke dalam neraka jahannam.
Kandungan Surah Hud Ayat 118-119 ini menyinggung salah satu keistimewaan
terpenting anugerah Tuhan yaitu perbedaan. Disebutkan bahwa jika Allah SWT
berkeinginan, Dia bisa menciptakan semua manusia dalam satu corak dan semuanya
beriman kepada kebenaran. Akan tetapi keimanan semacam ini tidak ada faedahnya.
Namun Allah SWT memperingatkan bahwa barang siapa yang memilih jalan
kekufuran dan ingkar kepada Allah, sekalipun di dunia ini mereka memperoleh nikmat-
nikmat duniawi, namun pada hari kiamat kelak pastilah mereka akan mendapatkan
kesulitan dan dimasukkan ke dalam neraka jahannam.
Allah membiarkan mereka bebas memilih, sehingga terus berselisih paham dalam
memahami segala sesuatu, meskipun hal itu adalah masalah yang berkaitan dengan
pokok-pokok kepercayaan seperti iman kepada Allah, malaikat, rasul dan hari kiamat
yang sebenarnya tidak boleh diperselisihkan.
Mereka berselisih menurut kecenderungan, hawa nafsu dan cara berpikir masing-
masing. Tiap-tiap kelompok dari mereka bersikeras dengan pendapatnya dan ajaran
nenek moyangnya.
Akan tetapi orang-orang yang diberi rahmat oleh Allah karena fitrah mereka yang
suci, sepakat tentang ketentuan Allah untuk mereka, sehingga mereka percaya kepada
para rasul, kitab-kitab suci dan hari kiamat.
Atas dasar kehendak-Nya yang telah ditetapkan dalam sistem alam raya ini, Allah
menciptakan manusia siap untuk menerima pahala dan siksa. Dengan begitu, janji Allah
pun terlaksana, yaitu neraka jahanam akan diisi dengan pengikut-pengikut iblis yang
terdiri atas manusia dan jin.
Firman Allah SWT maksudnya : “Apakah manusia itu mengira bahawa mereka
dibiarkan sahaja mengatakan; “Kami telah beriman,” sedangkan mereka tidak diuji? Dan
sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka
sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia
mengetahui orang-orang yang dusta,” (QS. Al-Ankabut: 2-3)
Manusia yang diciptakan oleh Allah SWT sentiasa hidup dengan keluh kesah.
Hidup di dunia adalah medan ujian yang disediakan oleh Allah SWT supaya manusia
bersabar dan bertawakal kepada Allah SWT. Hidup di dunia adalah kehidupan sementara
waktu sahaja, di akhiratlah merupakan kehidupan yang kekal abadi. Dari banyaknya
permasalahan yang menimpa manusia, tidak serta merta manusia ditimpa masalah begitu
saja, tapi Allah menakar kemampuan manusia itu sendiri dengan masalah yang dihadapi.
Allah SWT semata-mata menciptakan masalah kepada manusia untuk memberikan
pelajaran dan hikmah dari sebuah permasalahan sosial tersebut.
Dalam permasalahan sosial mereka yang sabar maka akan mendapat ganjaran
pahala dari Allah, berbeda dengan yang tidak kuasa, maka senantiasa arogan dan putus
asa terhadap suatu masalah hingga nilai ibadah dan pahala tidak serta merta didapatnya.
Maka dengan begitu Al-Quran menjadi penolong dan tempat mencari jawaban dari
permasalahan yang sedang dihadapi. Al-Qur’an pula merupakan kalam Allah dan kitab
suci yang diturunkan oleh Allah SWT melalui perantaraan malaikat Jibril kepada Nabi
Muhammad SAW. Al-Quran diturunkan untuk menyelasaikan semua persoalan hidup
yang dihadapi oleh manusia. Semua jawaban terdapat di dalam al-Quran.
"Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya
seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,"
"(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit,
dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah
menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan."
Allah menyebutkan sifat orang –orang yang bertakwa dan amalan – amalan
mereka diantaranya Allah mengatakan:“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan
(hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit”, jika mereka diberikan kelapangan
nafkahnya dia tambahkan, misalkan dia memiliki sedekah rutin setiap hari 2000 tetapi
jika ada tambahan rezeki dia tambahkan sedekahnya menjadi 5000 dan seterusnya dan
ketika mereka dalam kondisi sempit mereka tidak meremehkan kebaikan sekecil apapun
walaupun sedikit.
Umar Radhiyallahu ‘anhu pernah bersedekah dengan sebiji anggur, sahabat heran
dan berkata:”Ya Amirul Mukminin, anggur ini tidak mengenyangkan dan tidak
menghilangkan dahaga“, beliau berkata:”Allah berfirman di dalam Al-Qur’an:
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikansekecil apa pun, niscaya dia akan melihat
(balasan)nya”. (QS. Al-Zalzalah:7).
Dzarrah adalah sesuatu yang paling kecil, terkadang kita remehkan hal yang
seperti ini, jika ada sisa – sisa makanan dirumah kita langsung buang begitu saja padahal
kita bisa kumpul dan sedekahkan kepada orang yang membutuhkan, betapa banyak orang
yang mengais – ngais makanan ditempat sampah, makanan yang sudah tidak layak untuk
dikonsumsi. Begitupula dengan uang receh yang berserahkan dirumah kita seakan kita
remehkan dan tidak perdulikan padahal disana ada banyak orang yang butuh uang
sekalipun uang receh, boleh jadi ada orang yang menangis hanya untuk mendapatkan
uang yang kita remehkan tersebut yang pahalanya bisa besar disisi Allah, bukankah
pahala itu tergantung pada keikhlasannya, walaupun sedikit yang kita berikan tapi ikhlas
karena Allah maka itu lebih baik daripada banyak tetapi tidak ikhlas.
Diantara ayat Al-Qur’an Al-Kariim yang berbicara mengenai taqwa adalah surah
Ath-Thalaq. Disebutkan dalam ayat 2-3,
“Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah maka Dia akan menjadikan baginya
jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tak tidak disangka-sangka (Q.S
Ats\h-Thalaq 2-3).
Banyak para mufassir yang menyatakan bahwa sebab turunnya ayat ini berkaitan
dengan seorang sahabat Rasulullah yang bernama ‘Auf bin Malik Al-Asyja’i radhiyallahu
‘anhu. Beliau memiliki seorang anak laki-laki yang ditawan oleh orang-orang musyrik. Ia
pun mengadukan hal itu kepada Rasulullah.
Ada seorang laki-laki dari kalangan sahabat Rasulullah radhiyallahu ‘anhum yaitu
‘Auf bin Malik Al-Asyja’i radhiyallahu ‘anhu, dia mempunyai anak laki-laki. Orang-
orang musyrik menangkapnya. Ayahnya mendatangi Rasulullah mengadukan anaknya
dan keadaan yang menjadi hajatny. Maka Rasulullah menyuruhnya bersabar, dan berkata
“Sesungguhnya Allah akan menjadikan kelapangan bagi engkau” tak lama kemudian hal
itu terjadi, anaknya melarikan diri dari tangan musuh dengan membawa domba-domba
musuh. Ia membawanya pada ayahnya. Ia juga membawa harta yang di angkut oleh
domba tersebut, turunlah ayat ini (barang siapa yang bertaqwa maka Allah jadikan
baginya jalan keluar dan memberi rezeki dari arah yang yang tidak disangka-sangka).
Para ulama baik di kalangan Sahabat, Tabi’in, dan ulama setelahnya banyak
menjelaskan berkenaan tafsir ayat ini. Diantaranya,
Telah menceritakan kepada kami ‘Ali, dia berkata : telah menceritakan kepada
kami Abu Shalih, dia berkata: telah menceritakan kepadaku Mu’awiyah, dari ‘Ali, dari
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum mengenai firman Allah (barang siapa yang bertaqwa
maka Allah jadikan baginya jalan keluar) dia berkata “kesuksesannya dari setiap masalah
di dunia dan akhirat (Dan memberi rezeki dari arah yang yang tidak diharap)”
L. Ulul Albab
Pengertian Ulul Albab
Secara Etimologi, Ulul Albab terdiri dari dua kata yaitu Ulu dan al-Albab. Kata
Ulu dalam kamus bahasa Arab adalah bentuk plural, artinya identik dengan dzu yang
artinya shahib“orang yang mempunyai atau memiliki. Dari kata Ulu ini tersirat
pengertian bahwa tidak semua orang itu memiliki, sebab dalam al-Qur’an banyak dipakai
dengan kombinasi lain dalam pengertian yang sama, yaitu yang memiliki beberapa hal
seperti kekuatan (ulu al-basin) sebagaimana dalam surat al-Isra ayat 5. Yang memiliki
kekayaan (ulu al-fadl) dalam surat al-Nur ayat 22. Jadi orang yang disebut memiliki
sesuatu itu adalah mereka yang memiliki kelebihan atau keunggulan. Di antara kata yang
paling dikenal dengan arti memiliki adalah kata Ulu al-Amr yang artinya orang yang
memiliki urusan.
Adapun kata al-Albab adalah bentuk jamak dari Lubbun yang berarti isi atau inti,
arti lain otak atau fikiran. Ada juga yang artinya al-Aql atau al-Qalb. Dari term-term di
atas dapat disimpulkan bahwa ulul albab adalah orang yang memiliki suatu kelebihan
berupa aqal, pikiran atau qalb dan mampu menggunakannya. Dalam Ensiklopedia al-
Qur’an tentang Ulul Albab, kata tersebut diistilahkan dengan otak yang berlapis. Ini
adalah makna kiasah tentang orang yang memiliki otak tajam.
Sedangkan secara terminologi sebagian mufassir dan pakar memformulasikan
pengertian ulul albab sebagai berikut :
Sayid Quthb dalam Tafsirnya fi Zhilal al-Qur’an beliau memberikan formulasi sebagai
berikut
Mereka membuka pandangannya untuk menerima ayat-ayat Allah pada alam
semesta, tidak memasang penghalang-penghalang, dan tidak menutup jendela-jendela
antara mereka dan ayat-ayat ini. Mereka mengahadap kepada Allah dengan sepenuh hati
sambil berdiri, duduk dan berbaring, maka terbukalah mata (pandangan) mereka, menjadi
elastis pengetahuan mereka, berhubungan dengan hakikat alam semesta yang dititipkan
Allah kepadanya, dan mengerti tujuan keberadaannya, alasan ditumbuhkannya, dan
unsur-unsur yang menegakkan fithrahnya dengan ilham yang menghubungkan antara hati
manusia dan undang-undang alam ini”.
Abu Muhammad Abdullah ibn Muhammad ibn Ahmad al-Thayar dalam Pengantar kitab
Syarhu Muqaddimat Tafsir, mendefinisikan bahwa: Ulul Albab adalah mereka yang ahli
al-Qur’an dan ahli perenungan isinya. Mereka mendalami al-Qur’an secara hafalan,
pemahaman dan pengamalan. Mereka mendapat bimbingan dengan ajaran-ajaran
didalamnya dan mereka amalkan sesudah merenungkan ayat-ayat. Jika salah satu di
antara mereka mempelajari sepuluh ayat, maka ia tidak akan melewatinya sebelum faham
makna- maknanya dan mengamalkan kandungannya. Maka ia melaksanakan perintah
satu demi satu dan ia hindari larangan. Mereka menang dan mulia dengan al-Qur’an,
setelah hafal dalam hati dan di dalam akhlak prilaku mereka. Sebagaimana firman Allah
surat Shad ayat 29.
Hamka dalam tafsirnya, al-Azhar memberikan definisi ulul albab dengan “orang yang
otaknya berisi, lawannya adalah orang yang kepala kosong, otaknya tidak berisi, dalam
pengertian lain ulul albab adalah orang yang mempunyai pikiran halus”.
Dalam al-Qur’an, arti kata Ulul Albab dapat dilihat berdasarkan penggunaannya beberapa
diantaranya :
Allah berfirman:
Artinya: "Dan Kami turunkan dari Al-Quran ke yang menjadi penawar dan rahmat
bagi orang-orang yang beriman dan Al-Quran akan menambah ke orang-orang yang
zalim di samping kerugian." (QS Al Isra '[17]: 82).
Bahkan al-Qur’an sendiri dengan segala konsekwensi bagi kaum muslimin adalah
firman Tuhan (kalam Allah) yang terniscayakan. Nabi Muhammad, juga betul-betul
yakin bahwa beliau adalah penerima pesan dari Allah yang dimaksud itu. Apa yang
beliau terima dari langit adalah bagian dari rahmat itu sendiri. Adapun ayat yang sering
diingat terkait kata rahmat adalah dalam surat al-Anbiya’ ayat 107 sebagai berikut:
Artinya: “Kami tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi
seluruh alam."
al-Qur’an adalah Syifa’ merupakan sisi penilaian yang bermakna dua sisi. Pertama,
al-Qur’an menunjukkan makna Syifa’ sebagai petunjuk kepada makna umum, dan yang
kedua, sebagai petunjuk kepada makna khusus. Makna pertama memberi gambaran
tentang seluruh isi al-Qur’an secara maknawi, surat-surat, ayat-ayat maupun huruf-
hurufnya memiliki potensi penyembuh atau obat, dan sesuai dengan firman Tuhan Swt
dalam surat Yunus ayat 57 sebagai berikut:
Artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu suatu pelajaran dari
Tuhanmu, dan penyembuh segala penyakit yang ada di dalam dada, dan petunjuk serta
rahmat bagi orang-orang yang beriman.”
Penyebutan kata “dada” diartikan dengan hati, dan hal itu menunjukan bahwa wahyu-
wahyu Ilahi itu berfungsi menyembuhkan penyakit-penyakit ruhani, seperti: ragu, dengki
maupun takabur. Di dalam al-Qur’an, hati ditunjukan sebagai wadah yang menampung
rasa cinta dan benci, berkehendak dan menolak. Bahkan hati dinilai mampu melahirkan
ketenangan ataupun kegelisahan. Adapun pada makna berikutnya, di mana kata Syifa’
secara khusus yang dimaksud dalam al-Qur’an hanya sebagian ayat atau surat yang
menggambarkan tentang obat dan penyembuh bagi hambanya, dan ini sesuai dengan
surat al-Israa’ ayat 82 yang bunyinya sebagai berikut:
Artinya: “Dan kami menurunkan sebagian dari al-Qur’an sebagai obat dan rahmat
bagi orang-orang yang beriman.”
Atas dasar kedua tipologi di atas, maka petunjuk makna Syifa’ yang dimaksud dalam
a-Qur’an hendak menggambarkan tentang nasib manusia secara historis dan begitu
komprehensif, yang kemudian diabadikan dalam al-Qur’an. Bukti ini dapat ditemukan di
hampir yang mencakup surat-surat yang ber-kriteria Makkiyah, baik berupa tentang lebah
dan madu, kesehatan maupun pikiran yang sehat.
Untuk memperoleh ampuhnya obat yang tersurat di dalam al-Qur’an, seorang hamba
mesti mengabdi kepada khaliq-nya dengan setia, selalu memperhatikan kehendak-
kehendaknya apa pun yang dikehendakinya dan mentaati perintahnya tanpa mengeluh.
Inilah sebabnya mengapa al-Qur’an kerapkali menyeru seorang hamba untuk tetap patuh
secara mutlak dan penyerahan serta kerendahan diri di hadapan sang khaliq. Sikap yang
demikian kerap direalisasikan dengan cara shalat atau sujud (kata kerja sajada). Objek ini
yang juga objek-objek lainnya, seperti ikhlas, ridha, optimis, syukur dan keteguhan hati
merupakan kompleksitas terhadap perolehan penyembuhan jiwa seorang hamba—yang
barang mesti dilakukan secara simultan melalui proses komunikasi dengan sang khaliq,
dengan harapan memperoleh karunia ilahi.
Untuk lebih spesifikasi sasaran atau objek yang menjadi fokus penyembuhan,
perawatan dan pengobatan dari Syifa’ sebagai berikut:
Pertama, mental. Maksud ini berhubungan dengan akal dan pikiran yang kerap
mudah lupa atau malas berpikir. Bahkan terkadang tidak memiliki kemampuan
membedakan antara halal dan haram, yang bermanfaat dan yang bermudharat serta antara
hak dan yang bathil. Indikasi ini tentu sesuai dengan firman Tuhan dalam surat al-
Baqarah ayat 44, yang bunyinya sebagai berikut:
Artinya: “Mengapa kamu menyeru orang lain berbuat kebaikan, sedangkan kamu
melupakan dirimu sendiri, padahal kamu senantiasa membaca al-Kitab, apakah kamu
tidak berakal (berpikir)."
Kedua, spiritual. Hubungannya tentu berorientasi dengan masalah ruh, semangat atau
jiwa-religius dan erat kaitannya dengan agama, keimanan, keshalehan dan nilai-nilai
transendental. Kombinasi ini tentu tidak berdiri sendiri, melainkan memerlukan langkah-
langkah verbal dengan menyatakan dirinya sebagai Islam, dengan fokus utamanya
berdasarkan pada konsepsi wujud manusia sebagai hamba Allah yang menyerah.
Ketiga, moral (akhlak). Konsep ini menunjukkan suatu keadaan yang melakat pada
jiwa manusia, yang di dalamnya akan melahirkan sejumlah perbuatan-perbuatan yang
terkadang tidak mampu dikontrol secara normatif. Karena itu, sikap dan karakter manusia
cenderung melahirkan nilai-nilai etika yang bersifat universal.
Sementara makna Al-Quran sebagai rahmat adalah terlepas dari kesusahan, terlepas
dari aib, dihapus dosa dan pemberian pahala oleh Allah untuk pembacanya.
من كتاب هللا فله به حسنة والحسنة بعشر أمثالها ال أقول الم حرف ولكن ألف حرف والم حرفLمن قرأ حرفا
وميم حرف
Artinya: “Barangsiapa yang membaca satu huruf dari Al Qur'an maka dia
mendapatkan satu pahala, dan ini dilipatgandakan menjadi sepuluh. Aku tidak
mengatakan satu huruf, akan tetapi hanya satu huruf, satu huruf, dan satu huruf. (HR
Bukhari).
Itulah dua Manfaat besar di antara sekian banyak Manfaat Al-Quran yang
diperoleh oleh orang-orang yang beriman. Karena orang-orang yang zalim, mereka tidak
mendapatkan dua manfaat darinya. Namun sebaliknya semakin merugi.