Anda di halaman 1dari 28

Bismillaahirrohmaanirrohiim

Assalaamu’alaikum warrahmatullaahi wabarakaatuh


Yang saya hormati,
Ketua, Sekretaris, dan Anggota Majelis Wali Amanah Universitas
Gadjah Mada,
Ketua, Sekretaris, dan Anggota Dewan Guru Besar Unviersitas
Gadjah Mada,
Ketua, Sekretaris, dan Anggota Senat Akademik Universitas Gadjah
Mada,
Rektor, dan para Wakil Rektor Universitas Gadjah Mada,
Dekan dan para Wakil Dekan di lingkungan Universitas Gadjah
Mada,
Segenap Sivitas Akademika Universitas Gadjah Mada,

Para tamu undangan, teman sejawat, para dosen, mahasiswa dan


sanak keluarga yang saya cintai.
Pertama-tama perkenankanlah saya menyampaikan puji syukur
ke hadirat Allah Swt. yang telah senantiasa melimpahkan rahmat,
nikmat, dan karunia-Nya sehingga pada hari ini kita semua dapat
berkumpul dalam keadaan sehat walafiat untuk mengikuti Rapat
Terbuka Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada. Selanjutnya,
saya ingin menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga kepada
Ketua dan Sekretaris Dewan Guru Besar yang telah memberikan
kesempatan kepada saya untuk menyampaikan pidato pengukuhan
saya yang berjudul:

Pendidikan Kedokteran: Perkembangan dan Tantangan


Judul ini sengaja saya pilih dengan pertimbangan bahwa bidang
pendidikan kedokteran adalah bidang baru di Indonesia. Perjalanan
panjang pengakuan terhadap bidang ini memberikan inspirasi bagi
saya untuk mendiseminasikan kepada publik pada pengukuhan saya
sebagai guru besar pertama di Indonesia bidang pendidikan
2

kedokteran. Dimensi ilmu yang demikian luas membuat saya merasa


semakin jauh dari sempurna. Pengetahuan yang saya serap, saya
sadari semakin banyak yang dipelajari maka semakin kelihatan kecil
dan terbatas ilmu yang saya miliki.

Sejarah Perkembangan Pendidikan Dokter


Hadirin yang saya muliakan,
Sejarah panjang profesi dokter dan pendidikan dokter
sebenarnya setua adanya manusia itu sendiri. Profesi dokter atau
pengobat pada mulanya merupakan bagian dari sebuah ilmu yang
“berbau” mistis dan lekat dengan nilai-nilai religius. Adanya profesi
dokter atau pengobat tersebut tentunya berkaitan dengan cara profesi
melestarikan diri atau dengan kata lain mendidik dokter atau pengobat
muda. Tidaklah berlebihan bila sejarah mengenai profesi dokter dan
pendidikannya sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Beberapa catatan sejarah terkait dunia pendidikan kedokteran
antara lain Sumerian Physician Seal (3000 SM), Babylonian Seal
(2300 SM), The Code of Hammurabi, Sankrit Document (1500 SM),
dan lain-lain. Sebagai contoh, pada catatan The Code of Hammurabi
dapat dilihat bahwa isinya memuat beberapa aturan pelaksanaan
praktik kedokteran.
Beberapa tokoh yang dapat disebut meletakkan dasar pendidikan
kedokteran adalah Hippocrates, Galen, Ali al-Husayn Ibn Sina,
Huang Ti dan lain-lain. Salah satu yang menarik adalah catatan Huang
Ti dari Cina berjudul Nei Ching atau juga disebut The Yellow
Emperor’s Canon of Internal Medicine, di mana catatan ini masih
digunakan sebagai salah satu sumber pustaka dalam pendidikan
kedokteran di Cina sampai sekarang (Calman, 2007; Dent, 2013).
Beberapa prinsip yang sudah ada pada masa pendidikan
kedokteran kuno di antaranya adalah: 1) sudah adanya semacam
sistem seleksi untuk penerimaan murid; 2) penekanan akan nilai-nilai
dan tanggung jawab seorang guru; 3) penekanan pada perilaku yang
baik dan prinsip-prinsip etika; 4) terdapat sistem assessment bagi para
murid; 5) kegiatan belajar disampaikan secara lisan dan mengikuti
3

kegiatan yang dilakukan oleh guru, serta penggunaan beberapa buku-


buku (Ludmerer, 1999).
Pada abad ke-11 dan ke-12 Masehi, mulai berkembang
universitas-universitas yang menyelenggarakan pendidikan dokter di
mana mulai ada proses ujian dan upacara. Terdapat kewajiban bagi
dokter-dokter baru untuk menjadi guru dan mengajar di sekolah
asalnya. Pengetahuan di bidang kedokteran belum banyak berubah.
Proses belajar yang ada masih seperti masa-masa sebelumnya, yaitu
disampaikan secara lisan dan melihat kegiatan yang dilakukan guru
dan mencatatnya. Namun, di sini murid-murid sudah lebih aktif untuk
berdiskusi dan berdebat. Perkembangan ini diikuti dengan perubahan
yang cukup besar dalam dunia pendidikan kedokteran abad ke-16 dan
ke-17. Adanya masa Renaissance membuat perubahan pada
lingkungan sosial dan perubahan cara berpikir seseorang. Keberadaan
mesin-mesin cetak mempermudah pelipatgandaan buku-buku
kedokteran yang ada. Di dalam menu-menu yang diberikan selama
pendidikan, mulai diperkenalkan disiplin ilmu anatomi, fisiologi,
kimia, patologi, pengobatan, dan higienitas. Selain itu, terjadi
perkembangan percobaan dan penelitian di bidang kedokteran, serta
mulai diperkenalkannya keberadaan mikroskop.
Pada abad ke-18, baik di Amerika maupun di Eropa, hanya
orang-orang yang berasal dari kalangan sosial tertentu saja yang bisa
menjadi dokter. Kala itu, profesi dokter dianggap berbeda dari profesi
kesehatan lainnya dan hanya bisa dipelajari di universitas. Materi yang
dipelajari pun terbatas pada literatur dan bahasa yang digunakan
terbatas pada bahasa Latin. Pada akhir abad ke-18, perubahan mulai
terjadi. Meningkatnya minat di bidang natural science telah membuat
berkembangnya ilmu pengetahuan di bidang anatomi dan kedokteran
serta munculnya ilmu baru seperti chemistry, botany, dan physiology
(Fulton, 1953). Sementara itu pada pelaksanaan pembelajarannya,
mulai digunakan bahasa selain bahasa Latin. Murid yang dapat
mengikuti pendidikan kedokteran masih terbatas pada kalangan
tertentu, namun percobaan dan penelitian yang ada semakin
berkembang, bahkan beberapa penemuan di bidang pengobatan dan
pembedahan serta penemuan vaksinasi dan penggunaannya terjadi
pada masa ini. Model proses pendidikan bersifat apprenticeship yang
4

sangat “keras”. Meskipun begitu, metode pembelajaran tersebut tetap


membuat murid-murid tertarik dan bersemangat untuk mengikuti
pendidikan (Ludmerer, 1999).
Perubahan yang sangat signifikan terjadi pada abad 19. Terjadi
transformasi pengetahuan di bidang kedokteran, perubahan keadaaan
sosial, dan perubahan pada lingkup profesi dokter. Pada abad ini,
untuk pertama kalinya terbentuk jurnal kedokteran sebagai salah satu
media untuk menyediakan informasi terkini mengenai perkembangan
ilmu pendidikan dokter, yaitu British Medical Journal (BMJ) dan The
Lancet. Pada awal abad 19 ini, metode pendidikan klinik sangat
terbatas bahkan tidak ada. Salah satu penemuan utama pada abad ini
adalah penemuan stetoskop oleh Laennec, diikuti penemuan oleh
Louis Pasteur, Charles Darwin, Virchow, Koch dan lain-lain.
Pengobatan dan paradigma sehat sakit mulai beralih pada pendekatan
berbasis ilmiah (scientific based).

Hadirin yang saya muliakan,


Pendidikan kedokteran di Amerika awalnya masih mengadopsi
model pendidikan di Eropa karena mayoritas pendidiknya berasal dari
universitas di Eropa. Namun pada akhir abad ke-19, orientasi
penyelenggaraan pendidikan lebih condong ke arah mencari
keuntungan sehingga kualitasnya diragukan. Hal ini mengakibatkan
terjadinya reorganisasi model pendidikan kedokteran di Amerika.
Pada tahun 1910, seorang kepala sekolah dari Louisville,
Kentucky bernama Abraham Flexner, menyampaikan laporan
mengenai kekurangan sistem pendidikan kedokteran di Amerika dan
menuntut adanya standar pendidikan yang lebih tinggi dan kontrol
terhadap kualitas (Dent, 2013; Fulton, 1953; Frenk, et al., 2010).
Flexner mengajukan usulan sistem pendidikan yang mengintegrasi-
kan departemen-departemen pada suatu universitas, terlibat aktif
dalam penelitian, dan menerapkan pembelajaran aktif pada mahasiswa
melalui praktik di laboratorium dan pengalaman langsung di klinik.
Pada sistem ini, mahasiswa menempuh 1–2 tahun untuk mempelajari
ilmu pengetahuan dasar dan 2–3 tahun untuk ilmu klinik. Sistem yang
diusulkan oleh Flexner ini banyak diterapkan di universitas-
5

universitas di Amerika Utara dan diterapkan hingga abad ke-20. Pada


akhir abad ke-20, Flexnerian system telah digunakan di hampir
seluruh penjuru dunia (Emilia, 2008).
Selang berjalannya waktu, muncul berbagai kritik terhadap
sistem tersebut antara lain bahwa institusi pendidikan kedokteran lebih
terfokus pada riset, selain itu terjadi kesenjangan antara tahap dasar
dengan klinik, dan lulusan yang dihasilkan tidak sesuai dengan
kebutuhan masyarakat (Amin & Khoo, 2003). Pemisahan dua tahap,
pendidikan dasar dan klinik, dikatakan dapat menyebabkan adanya
pengulangan yang tidak perlu. Selain itu, tidak ada kontinuitas dari
proses pendidikan kedokteran dasar dan klinik, membuat mahasiswa
lupa yang telah dipelajari di tahap pendidikan kedokteran dasar dan
tidak dapat mengkaitkannya dengan aplikasi di tahap klinik (Dent,
2013).
Pada tahun 1992, The Johnson Wood (Amin & Khoo, 2003)
melaporkan beberapa rekomendasi untuk pendidikan kedokteran.
Pertama, laporan tersebut menekankan pentingnya integrasi basic
science yang disebarkan secara merata pada kurikulum yang ada dan
penggunaan masalah klinik pada tahun-tahun pertama yang bersifat
interdisiplin dan interdepartemen (Harden, 2000). Kedua, memasuk-
kan unsur ilmu sosial dan perilaku terkait sehat dan sakit, statistik, dan
etik dalam kurikulum pendidikan dokter. Ketiga, perluasan wahana
belajar pada fasilitas-fasilitas kesehatan tersier. Keempat, penggunaan
metode penilaian yang terintegrasi dan sesuai dengan kurikulum dan
tujuan belajar yang ada.
Kemudian pada tahun 1993, General Medical Council (GMC)
(Amin & Khoo, 2003), memberikan rekomendasi yang menekankan
bahwa proses pendidikan dokter yang ada harus dapat membentuk
mahasiswanya menjadi seorang yang profesional dan memiliki
kemampuan self-directed life-long learning. Selain itu, kurikulum
yang ada harus memuat materi mengenai compassion, komunikasi
efektif, perilaku profesional, serta memberi ruang untuk terciptanya
situasi belajar aktif. Tommorow Doctor dari GMC sebenarnya juga
menekankan perlunya core curriculum dan perlunya elektif (special
study module) dan juga IPE (inter professional education).
6

Model Pendidikan Kedokteran Mengikuti Zamannya

Hadirin yang berbahagia,


Higgs dan Hunt (1999) menyatakan bahwa untuk memenuhi
tantangan dan harapan tenaga kesehatan masa kini dan masa datang
dibutuhkan empat elemen kompetensi. Kompetensi tersebut meliputi
kompetensi teknis (baik teknis umum atau spesifik), kompetensi
interpersonal, kemampuan berinteraksi dan beradaptasi dalam konteks
praktis, serta memiliki kapasitas tanggung jawab profesional dalam
melayani dan memajukan masyarakat. Ada beberapa model kurikulum
yang dikenal.
“Model magang (apprenticeship model)” merupakan model
yang lazim pada pendidikan profesi kesehatan dan merupakan model
awal pendidikan. Pemagang belajar di lingkungan kerja, dengan cara
mengamati gurunya, dari tugas yang sederhana dengan supervisi ketat
sampai tugas yang lebih rumit dan mandiri, seterusnya sampai mereka
menjadi praktisi yang mandiri dan berhasil menguasai kompetensi
tersebut. Tipe pendidikan seperti ini berlangsung bertahun-tahun pada
program pendidikan yang berbasis rumah sakit (Emilia, 2008). Dalam
lingkungan pembelajaran inilah mahasiswa mengembangkan keteram-
pilan klinik dan nilai profesionalisme mereka, melalui gurunya dan
contoh rekan-rekan yang lebih senior atau pembimbing mereka
(Leserman, 1980; Maheux & Beland, 1986).
Model magang mendorong munculnya “professional clinical-
technical competence model” yang menekankan pengetahuan ilmiah
yang sesuai konteks dan profesi (Abraham Flexner adalah pelopor-
nya). Schon (1988) menjabarkan model ini muncul di awal abad dua
puluhan saat pendidikan profesi kesehatan ingin meningkatkan status
pendidikannya melalui universitas. Model ini menggunakan teori dan
teknik keilmuan yang jelas sehingga mengurangi aspek “seni” dalam
profesi kesehatan. Generasi science-based curriculum ini menekankan
pada pembelajaran informatif yang mencetak ahli yang menguasai
pengetahuan dan keterampilan tertentu (Frenk, et al., 2010).
Selanjutnya, pengembangan pendidikan dituntut lagi untuk
berubah karena selain mengembangkan dasar pengetahuan kesehatan
7

juga adanya ledakan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tidak semua


keilmuan dapat diberikan saat pendidikan dokter. Di sini muncul
generasi kedua inovasi instruksional menggunakan problem-based
learning. Keterampilan menyelesaikan masalah semakin ditekankan
(Norman, 1990). Seorang klinikus yang menguasai keterampilan
menyelesaikan masalah (termasuk juga keterampilan cara belajar)
diharapkan mampu mencari cara untuk mengembangkan pengetahuan
untuk mengatasi permasalahan klinik.
Namun Grant (1991) menyanggah, dengan menyampaikan
bahwa penekanan pada keterampilan menyelesaikan masalah
sebagai kunci pembelajaran berkelanjutan bisa menyesatkan. Beliau
mengusulkan bahwa penekanan seharusnya lebih pada kemampuan
mandiri mahasiswa untuk memperoleh ilmu pengetahuan, dan
kemampuan menyelesaikan masalah hanyalah sebagian dari konsep
refleksi belajar. Schon (1988) dengan model “reflective practitioner”
berpendapat profesi kesehatan harus lebih dari sekadar berpandangan
positifistik terhadap pengetahuan dan menempatkan keterampilan
penyelesaian masalah dalam konteks praktik reflektif. Model praktik
seperti ini dianggap sebagai model yang sesuai untuk tahun 1990-an
(Shepard & Jensen, 1990). Pentingnya profesionalisme diikuti dengan
adanya fokus dan identifikasi kompetensi profesional. Identifikasi,
deskripsi, penilaian dan pengajaran berbasis kompetensi ini merupa-
kan awal munculnya “competent clinician model”. Beberapa tahun
terakhir ini, adanya penekanan pada akuntabilitas, bertambahnya
kepentingan pemerintah dalam peraturan dan standar serta per-
timbangan ekonomik pendidikan tinggi, membuat kompetensi kembali
menjadi isu penting. Memastikan tingkat kompetensi para lulusan
menjadi sangat esensial karena adanya isu registrasi, izin praktik,
perlindungan publik, lapangan kerja dan karir klinis itu sendiri. Pihak
penyedia lapangan kerja, pihak berwenang lainnya mengharapkan
layanan dari profesional kesehatan yang kompeten, khususnya karena
memiliki tingkat otonomi yang tinggi.
Jumlah profesi dokter dan jumlah institusi pendidikan yang
bertambah banyak ternyata tidak mengurangi beban kesehatan dunia.
Komisi Lancet merekomendasikan peninjauan ulang pendidikan
profesi kesehatan. Pendidikan semestinya bersifat transformatif, yaitu
8

mendidik profesi yang memiliki atribut menjadi pemimpin perubahan


(change agents). Atribut yang dimaksud mencakup kemampuan
mencari, menganalisis, dan menyintesis informasi untuk pengambilan
keputusan; kompeten untuk bekerja sama dan efektif dalam sistem
kesehatan; serta kemampuan beradaptasi secara kreatif untuk
menyelesaikan masalah lokal yang dihadapi (Frenk, et al., 2010). Oleh
karena itu, arah perkembangan institusi pendidikan adalah menuju
academic system (Academic health system), menjalin jejaring dengan
institusi lain, dan menumbuhkan budaya kajian kritis. Proses
pembelajaran pun perlu direformasi ke arah kurikulum berbasis
kompetensi, mendorong pendidikan inter dan transprofesi, menggali
penggunaan teknologi informasi untuk belajar, kemudian memperkuat
institusi dengan pendayagunaan sumber daya dan kerja sama untuk
menghasilkan lulusan yang profesional.

Riset Ilmu Pendidikan Kedokteran dan Profesi Kesehatan

Hadirin yang saya muliakan,


Riset di bidang pendidikan kedokteran masih tergolong baru.
Apalagi bidang ini merupakan bidang yang melibatkan berbagai ilmu
(seperti psikologi, sosiologi, pendidikan, manajemen, statistik) yang
kurang banyak diminati untuk digali. Berdasarkan kajian historis, baru
di tahun 1955 masyarakat akademik kedokteran melihat kemungkinan
mengadakan riset pendidikan. Sebelumnya, perubahan di bidang
pendidikan kedokteran dilakukan atas dasar persuasi dan kebijakan
politik (Norman, 2002).
Hal ini bisa dilihat dari sejarah jurnal pendidikan kedokteran
yang tercatat, JOME (Journal of Medical Education) yang dibuat
awalnya sebagai media komunikasi dan administratif kolegium
kedokteran diubah secara eksplisit menjadi publikasi akademik.
Adalah JOME yang mendukung publikasi konferensi asosiasi
pendidikan kedokteran pertama tentang “Experiment in Medical
Education” di London tahun 1958. Dibukanya bidang baru tersebut
semakin meningkatkan perhatian akademisi terhadap penelitian
pendidikan kedokteran untuk selalu mencari celah inovasi dan
9

pembaharuan yang lebih. Satu dekade kemudian, muncul British


Journal of Medical Education (sekarang Medical Education) dan
diikuti oleh banyak jurnal di bidang Medical Education (Kuper, Albert
dan Hodges, 2010).
Ilmu pendidikan kedokteran dan profesi kesehatan sebagai suatu
cabang ilmu merupakan area penelitian yang sangat berkembang.
Adanya penelitian berkelanjutan dan upaya untuk selalu mencari
praktik baik dalam bidang ini secara tidak langsung merupakan
rekognisi ilmu pendidikan kedokteran dan profesi kesehatan sebagai
cabang ilmu kedokteran yang dibutuhkan. Penelitian pendidikan
kedokteran dan profesi kesehatan memanfaatkan aplikasi ilmu-ilmu
dasar biomedik, pendidikan, sosial budaya, antropologi, psikologi, dan
lain-lain. Penelitian pendidikan kedokteran perlu menekankan aplikasi
ilmu dasar (pure basic research), misalnya basic research on clinical
reasoning; dan implementasi praktik baik dalam program pendidikan
(pure applied research), misalnya bagaimana menciptakan alat
simulasi canggih untuk menyimulasi berbagai tanda penyakit dan
melakukan manuver tertentu; bagaimana efek educational games pada
luaran belajar mahasiswa kedokteran. Penelitian dalam bidang
pendidikan kedokteran perlu menggabungkan keduanya sehingga
merupakan penelitian dan pengembangan ilmu pendidikan kedokteran
dan profesi kesehatan yang menggunakan teori dan dasar kuat
keilmuan terkait dan selalu dihubungkan dengan upaya untuk
melaksanakannya dalam bentuk praktik baik (Hodges, 2015).
Regher (2004) mengkaji bahwa setidaknya ada 4 area tema
penelitian yang paling banyak dilakukan dan menunjukkan
perkembangan yang signifikan, yaitu masalah aplikasi kurikulum dan
pembelajaran; keterampilan dan sikap yang berhubungan dengan
profesi; dan karakteristik mahasiswa dan masalah evaluasi individu.
Topik penelitian yang dilakukan sangat beragam dan luas sehingga
juga dapat merancukan koherensi bidang pendidikan kedokteran. Di
sisi lain, juga menguntungkan karena bidang pendidikan kedokteran
dapat menembus segala bidang, terutama di sebagian besar jurnal
klinik.
Penelitian pendidikan kedokteran dan profesi kesehatan telah
berkembang di dunia dan telah dibuktikan dengan adanya inisiatif
10

Best Evidence Medical Education (BEME); yaitu implementasi


berbagai metode dan strategi pendidikan oleh para pendidik yang
didasarkan atas bukti terbaik (best evidence) yang tersedia (Harden, et
al., 2000). Selain itu, juga adanya peningkatan kebutuhan akan riset
yang menghubungkan antara pendidikan/pelatihan dengan outcome
pada pasien maupun sistem kesehatan (outcomes research) (Chen,
Bauchner dan Burstin, 2004).

Pendidikan Kedokteran dan Pelayanan Kesehatan

Hadirin yang berbahagia,


Dokter harus disiapkan untuk menghadapi sistem kesehatan
yang kompleks dalam upaya untuk kesejahteraan pasien dan
masyarakat. Tuntutan tersebut jelas mengharuskan adaptasi cara
pembelajaran ilmu kedokteran, tidak cukup hanya belajar ilmu dasar
dan klinik. Mahasiswa juga harus dikenalkan dengan ilmu sosio-
humanis dan populasi dalam sistem pelayanan kesehatan secara
terintegrasi dalam sebuah tim secara baik (Quintero, 2014).
Garcia (dalam Quintero, 2014) menambahkan bahwa “medical
education is the process for training doctors, subordinate to the
dominant economic and social structures in societies in which it takes
place” sehingga pendidikan kedokteran harus lekat dengan realitas
sosial. Kepentingan dan kebutuhan yang dirasakan dalam konteks
adalah tujuan yang harus diemban oleh pendidikan kedokteran. Oleh
karena itu, sudah seharusnya bila kurikulum pendidikan kedokteran
dirancang berdasarkan kebutuhan masyarakat yang akan mengguna-
kan lulusannya. Dengan demikian, kerja sama antara pendidikan
kedokteran dan kementerian kesehatan selaku pemimpin pelayanan
kesehatan jelas harus diperkuat.
McGaghie (2010) menegaskan bahwa intervensi bidang
pendidikan kedokteran dapat juga berkontribusi pada penelitian
translasional klinik T1 hingga T3 yang secara langsung berperan
dalam peningkatan kualitas pelayanan kesehatan.
11

T1 T2 T3
Peningkatan Pengetahuan, Praktik Outcome
keterampilan, sikap, pelayanan pasien
dan profesionalisme pasien
Sasaran Individu, tim Individu, tim Individu, kese-
hatan masya-
rakat
Setting Laboratorium, Klinik dan Klinik dan
terkendali bangsal komunitas

Penelitian translasional ini biasanya melibatkan riset


peningkatan keterampilan dan pengetahuan pada peserta didik dalam
situasi laboratoris (disebut T1); bila outcome tersebut dilanjutkan
hingga peningkatan pelayanan klinik, bangsal, dan praktik (disebut
T2); dan bila intervensi tersebut membuat outcome pasien atau
kesehatan masyarakat menjadi lebih baik (disebut T3). Dari
penjelasan tersebut semakin kentara bahwa bidang pendidikan
kedokteran adalah bagian tak terpisahkan dari bidang kedokteran
sendiri. Kontribusinya dalam mencapai outcome perbaikan pada
pasien ataupun kesehatan masyarakat sudah sangat jelas.

Perkembangan Pendidikan Kedokteran di Indonesia

Hadirin yang saya muliakan


Pendidikan kedokteran pertama kali diperkenalkan di Indonesia
oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1851. Pusat pelatihan
utamanya ada di rumah sakit militer. Kemudian setelah kemerdekaan
Indonesia pada tahun 1945, sejumlah sekolah kedokteran didirikan.
Pada tahun 1974, mulai dikembangkan sistem kredit semester (SKS)
setelah sebelumnya diterapkan sistem studi terpimpin. Selanjutnya,
sempat terjadi perubahan beberapa kurikulum inti pendidikan dokter
Indonesia (KIPDI) pada tahun 1982 (KIPDI I), dan tahun 1992
(KIPDI II). Pada tahun 2004, mulai diperkenalkan sistem kurikulum
berbasis kompetensi (KBK) menggantikan KIPDI II (Emilia, 2008).
KBK mengalami revisi dengan memperhatikan dinamika pelayanan
12

kesehatan pada tahun 2012. Diberlakukannya Undang-Undang


Pendidikan Kedokteran 2013 dan peraturan pemerintah Standar
Nasional Pendidikan Kedokteran mengharuskan institusi pendidikan
kedokteran banyak berbenah diri.
Fakultas Kedokteran UGM yang lahir tanggal 5 Maret 1946
dikenal sebagai institusi yang secara kontinu melakukan inovasi
pendidikan untuk menjawab perkembangan dan tuntutan perubahan
zaman. Bahkan, inovasi pendidikan yang dikembangkan FK UGM
menjadi dasar dan model inovasi pendidikan kedokteran universitas
lain di Indonesia. Pengembangan inovasi pendidikan sudah dimulai
awal tahun 1970an saat digulirkannya pengembangan Community
Medicine. FK UGM melahirkan program yang dikenal dengan
Comprehensive Community Health Care (CCHC). Dengan bantuan
Rockefeller Foundation dan Nuffic, program ini mengembangkan
berbagai inovasi pendidikan bagi mahasiswa kedokteran.
Pembelajaran ke komunitas, diskusi kelompok, dan praktikum
pemecahan masalah merupakan inovasi yang telah dilakukan hingga
akhir tahun 1980an. Dengan kepemimpinan dekanat pada waktu itu
FK UGM mulai terpapar dalam Network of Community Oriented
Education Institutions for Health Sciences dan menjadi anggota aktif
yang berhasil menyelenggarakan Konferensi Internasional Problem-
Based Learning (PBL) II pada tahun 1991 di UGM. Dengan
kebutuhan kegiatan yang semakin besar, maka pada tahun 1991
dibentuk Unit Pengembangan Pendidikan (UPP), kemudian berubah
menjadi Seksi Pengembangan Pendidikan (1995). Atas amanat SK
Dirjen Pendidikan Tinggi tahun 1998 yang menugaskan FK UGM
dan FK UI untuk mendirikan Bagian Pendidikan Kedokteran, maka
SPP kemudian diubah menjadi Bagian Pendidikan Kedokteran
(1998). Unit/Seksi/Bagian ini telah mengawal perubahan besar
kurikulum FK UGM mulai dari kurikulum konvensional, kurikulum
parsial PBL, kurikulum PBL penuh, dan kurikulum berbasis
kompetensi sehingga memberi warna pada lulusan dokter yang
dihasilkan.
Bagian Pendidikan Kedokteran semakin berkembang. Jejaknya
semakin jelas dengan dibukanya program S2 Ilmu Pendidikan
Kedokteran tahun 2006 yang kemudian membuka peluang dibukanya
13

program doktor. Sudah banyak lulusan yang dilahirkan baik untuk


program S2 ataupun S3. Bahkan pada akhir tahun 2015, Jurnal
Pendidikan Kedokteran Indonesia yang dikelola oleh FK UGM
bekerja sama dengan Asosiasi Ilmu Pendidikan Kedokteran Indonesia
(AIPKI) telah diakreditasi B. Semakin jelas dan kuat karir ahli
pendidikan kedokteran dan jelas pula peran FK UGM dalam
mendorong tumbuhnya dan diakuinya bidang pendidikan kedokteran
di Indonesia.

Mengantisipasi Pelayanan Kesehatan Masa Depan dan


Pendidikan Kedokteran

Hadirin yang berbahagia,


Profesi dokter ke depan memiliki tantangan yang berbeda.
Sudah semestinya pendidikan kedokteran juga akan bergeser. Sistem
yang berkelanjutan mulai dari pendidikan dokter, dokter spesialis,
dokter subspesialis, dan pendidikan kedokteran berkelanjutan
dipengaruhi oleh berbagai faktor di luar sistem seperti sistem
kesehatan nasional, perkembangan teknologi informasi, perhimpunan
profesi, berkembangnya kedokteran berbasis bukti (Evidence-based
Medicine) dan sistem pembiayaan kesehatan maupun pendidikan
(Dent & Harden, 2013).
Dent dan Harden (2013) merumuskan setidaknya ada lima
tantangan perubahan yang akan dihadapi. Pertama perubahan harapan
pasien, yang berubah menjadi lebih terbuka. Jangkauan media dan
internet yang lebih mudah membuat pasien menjadi individu yang
tahu banyak tentang kesehatan dan penyakit. Hal ini membuat mereka
lebih aktif dan ingin berkontribusi dalam pengambilan keputusan.
Toleransi mereka terhadap kesalahan pelayanan kesehatan menjadi
kecil, mengharapkan pelayanan kesehatan yang sempurna, dan tidak
jarang menyeret ke ranah hukum. Kedua adalah perubahan pelayanan
kesehatan. Praktik individu menjadi tidak populer dan digantikan
dengan praktik bersama. Tuntutan untuk dapat bekerja sama dalam
tim bersama profesi lain menjadi semakin tinggi. Kemudian,
perubahan dalam pengetahuan kedokteran. Secara tradisional,
14

pendidikan kedokteran dimulai dari ilmu dasar menuju ilmu klinik


dengan integrasi minimal. Adanya pertumbuhan pesat ilmu
pengetahuan kedokteran menjadikan perlu dilakukan pemilihan
kurikulum inti dan integrasi antara ilmu dasar dan klinik. Ilmu-ilmu
baru mungkin ditambahkan tetapi ilmu-ilmu lama sulit untuk
digantikan. Perubahan pola penyakit juga mengubah prioritas
kurikulum inti yang diperlukan. Keempat adalah perubahan kesiapan
dan beban kerja dokter. Dokter masa kini mungkin lebih tidak luwes
dijangkau oleh pasien dibanding masa lalu. Hal ini karena perubahan
budaya kerja yang dibatasi dengan kewajiban lama kerja. Dokter yang
juga berkerja sebagai pendidik menjadi terbatas waktunya untuk
mengajar. Di sisi lain, mahasiswa harus memacu diri untuk mengikuti
program pendidikan yang lebih cepat. Tantangan kelima adalah
perubahan karakteristik mahasiswa. Saat ini, kalangan yang dapat
masuk dalam pendidikan dokter sudah cukup bervariasi. Oleh
karenanya, dengan latar belakang sosial, etnik, dan ekonomi yang
berbeda tentunya akan memberikan variasi prestasi ataupun masalah
akademik dan personal serta variasi nilai dan budaya. Adanya
dorongan untuk belajar lintas negara dengan bahasa dan budaya
berbeda memberikan tantangan tersendiri dalam dunia pendidikan
kedokteran.

Hadirin yang saya muliakan,


Di penghujung pidato ini, saya ingin mengajak semua pihak
baik akademisi di Fakultas Kedokteran ataupun praktisi kedokteran
(termasuk Kementrian Kesehatan) untuk bersama-sama meningkatkan
kualitas pendidikan kedokteran demi kesejahteraan masyarakat di
Indonesia. Life-long learning sudah merupakan kontrak yang tidak
bisa ditawar saat seseorang memilih profesi dokter. Demikian juga
life-long innovation dalam pendidikan kedokteran adalah keniscayaan
seiring perubahan yang terjadi dalam sistem pelayanan kesehatan.
Sumber daya manusia yang andal yang dihasilkan oleh pendidikan
kedokteran yang berkualitas tentunya diharapkan akan menghasilkan
kualitas pelayanan yang prima di Indonesia.
15

Hadirin yang dimuliakan Allah,


Sebelum saya mengakhiri pidato pengukuhan ini,
perkenankanlah saya mengungkapkan perasaan syukur ke hadirat
Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang atas rida, taufik, rahmat,
dan hidayah-Nya yang selalu mengalir dan melimpah kepada kita
semua. Jabatan guru besar yang mulia ini saya terima melalui
perjalanan yang cukup panjang dan kadang melalui masa tak menentu.
Anugerah sekaligus amanah ini sungguh sarat dengan berbagai
peristiwa yang semakin menebalkan keyakinan saya akan kebesaran-
Nya. Rasa syukur ini tentu disertai tantangan untuk
mempertanggungjawabkan jabatan ini kepada Allah Swt., kepada
dunia pendidikan kedokteran, khususnya kepada Universitas Gadjah
Mada beserta para mahasiswanya dan juga masyarakat umum.

Para hadirin yang saya muliakan,


Perkenankanlah pada akhir pidato pengukuhan ini saya
menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada
Pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini Menteri Riset
Teknologi dan Pendidikan Tinggi, atas kepercayaan yang diberikan
kepada saya untuk menduduki jabatan guru besar dalam bidang
pendidikan kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah
Mada. Juga kepada Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., Ph.D. selaku
Dirjen Sumberdaya Iptek dan Dikti atas dorongan dan keyakinannya
dalam proses pengajuan tersebut.
Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Rektor, Ketua
dan Sekretaris Senat Akademik, serta para anggota Senat Akademik
Universitas Gadjah Mada, Ketua dan Sekretaris beserta segenap
anggota Dewan Guru Besar UGM yang telah menyetujui pengusulan
dan menerima saya sebagai guru besar.
Pengusulan guru besar saya tentu tidak akan pernah terlaksana
tanpa izin dan perkenan dari Dekan, segenap Pengurus Fakultas dan
Senat Fakultas Kedokteran UGM. Oleh karena itu, saya ingin
menyampaikan rasa terima kasih yang setulus-tulusnya.
Ungkapan bangga disertai penghargaan yang tinggi saya
persembahkan kepada guru-guru saya di SD Kramat 2 Cirebon, SD
16

Kebon Baru 2 Cirebon, SD BPI Bandung, SMP Negeri XIII Bandung,


SMP Negeri V Yogyakarta, dan SMA Negeri I Teladan Yogyakarta
yang telah mengantar saya ke jenjang akademik tertinggi ini. Kepada
para Guru Besar, Dosen dan segenap Karyawan di FK UGM, saya
berutang budi atas semua pembelajaran yang telah diberikan kepada
saya sejak saya mahasiswa.
Terima kasih saya sampaikan kepada dr. Rossi Sanusi, MPA,
Ph.D. atas inspirasi, kesempatan dan bimbingannya untuk menekuni
bidang pendidikan kedokteran. Terima kasih yang tulus juga saya
tujukan kepada Dr. Helen Mulholland dan Prof. RM Harden yang
telah membimbing saya menyelesaikan pendidikan master di bidang
pendidikan kedokteran di University of Dundee, UK.
Rasa hormat dan terima kasih juga saya haturkan kepada Prof.
Arie Rotem, Ph.D. dan Dr. Leah Bloomfield yang membimbing saya
sehingga berhasil menyelesaikan pendidikan doktor di bidang
Pendidikan Kedokteran Klinik University of New South Wales,
Australia. Secara khusus, perkenankan pula saya mengucapkan
terima kasih kepada keluarga M. Rasyid atas segala kebaikan,
dukungan dan bantuan moril saat saya menyelesaikan studi ini.
Kepada Ketua Departemen Pendidikan Kedokteran FK UGM dr.
Gandes Retno Rahayu, M.Med.Ed., Ph.D. beserta staf, dr. Titi Savitri,
M.Sc., Ph.D., dr. Mora Claramita, MHPE, Ph.D., dr. Widyandana,
MHPE, Ph.D., dr. Yoyo Suhoyo, M.Med.Ed., dr. Efrayim Suryadi,
S.U., PA(K), MPHE, dr. Tridjoko Hadianto, DTM&H, M.Kes., dan
teman-teman muda BPK, saya ucapkan terima kasih yang tiada terkira
atas kepercayaan dan ketulusan untuk mengusulkan saya menjadi guru
besar di bidang pendidikan kedokteran. Demikian juga para perintis
pembaharu pendidikan kedokteran di FK UGM, Dr. dr. Radjiman,
Prof. Dr. dr. Soenarto Sastrowijoto, Sp.THT(K)., Prof. dr. Harsono,
Sp.S(K)., yang telah memberikan contoh terbaik dalam menggulirkan
inovasi pendidikan. Tidak lupa ucapan terima kasih kepada Prof. dr.
Yati Soenarto, Ph.D., Sp.A(K). dan Prof. dr. Sofia Mubarika, Ph.D.
yang banyak memberikan nasihat dan bimbingan untuk menjadi
pendidik yang sesungguhnya.
Saya tidak akan mengenal dunia pendidikan kedokteran bila
saya tidak pernah bergabung menjadi staf di Ilmu Kesehatan
17

Masyarakat. Perhatian, bimbingan dan diskusi yang konstruktif selalu


saya jadikan pelajaran yang tiada berkesudahan. Terima kasih untuk
dukungan tersebut kepada alm dr. Doeljachman, alm. dr Soeharjanto
Supardi, Prof. dr. Hari Kusnanto, Ph.D., Prof. dr. Laksono
Trisnantoro, M.Sc., Ph.D., Prof. dr. Adi Utarini, M.Sc., Ph.D., Prof.
dr. Siswanto Agus Wilopo, Dr.Ph., Dr. dr. Mubasysyir Hasanbasri,
dra. Yayi Suryo Prabandari, M.Si., Ph.D. dan banyak teman lain yang
tidak bisa saya sebutkan satu per satu.
Pendidikan profesi yang saya ikuti di bidang obstetri dan
ginekologi tidak mungkin akan dapat diselesaikan tanpa bimbingan
guru-guru saya Prof. dr. M. Anwar M.Med.Sc., Sp.OG(K)., Prof. dr.
M. Hakimi, Ph.D., Sp.OG(K)., Prof. dr. Sulchan Sofoewan, Ph.D.,
Sp.OG(K)., Prof. dr. Djaswadi Dasuki, Ph.D., Sp.OG(K)., Prof. dr. Dr.
Ibnu Pranoto, Sp.OG(K)., dr. Suharjono, Sp.OG(K)., dr. Burham
Warsito, Sp.OG(K)., dr. Zain Alkaff, Sp.OG(K)., dr. Risanto
Siswosudarmo, Sp.OG(K)., Dr. dr. Heru Pradjatmo, M.Kes.
Sp.OG(K)., dr. Bharoto Winardi, Sp.OG(K).; saya ucapkan terima
kasih atas semua pembelajaran yang berharga. Selanjutnya, secara
khusus saya mengucapkan terima kasih kepada Prof. dr. M. Hakimi,
Ph.D., Sp.OG(K). yang membimbing saya untuk menekuni bidang
obstetri ginekologi sosial. Mudah-mudahan ke depan banyak lagi
manfaat yang bisa saya kontribusikan untuk kesehatan perempuan.
Kepada teman sejawat seperjuangan, dr. Rukmono Siswishanto,
Sp.OG(K)., dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG(K)., dr. Diah Rumekti,
Sp.OG(K)., dr. Detty Nurdiaty, Ph.D, Sp.OG(K)., dan teman-teman
muda Departemen Obstetri Ginekologi, saya mengucapkan terima
kasih atas dukungan dan kerja samanya selama ini.
Pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih yang tulus
kepada semua sahabat sekolah alumni Pawitikra, Katy, FK 1982,
SSEAYP 1984, dan Adiprokesi yang senantiasa memberikan
semangat dengan persahabatannya. Proses pengajuan guru besar ini
tidak mungkin saya lakukan tanpa peran dan ketangguhan Mbak Dwi,
Mbak Andien, Pak Ajum, dan Mbak Aris yang membantu dengan
teliti dan suportif terhadap semua proses yang harus dilalui.
Tiada rangkaian kata maupun kalimat yang dapat mencukupi
ungkapan rasa terima kasih saya kepada ayah saya, Prof. Zaini
18

Dahlan, yang banyak memberi makna dan keteladanan dalam hidup


saya. Ibunda Siti Latifah, terima kasih untuk senantiasa menjadi ibu
sekaligus teman sepanjang masa. Terima kasih ayah-ibu, doamu siang
dan malam telah mewujudkan sesuatu yang tidak pernah saya impikan
sebelumnya, menjadi guru besar di universitas yang sangat terhormat
ini.
Kepada almarhum bapak mertua saya beserta ibu mertua saya,
Kim Gi Woel, saya mengucapkan terima kasih atas dukungan selama
saya menempuh pendidikan dan juga semua bimbingannya selama ini.
또 이 자리를 빌어서, 제가 이자리에 설수 있도록 그 동안 저에게 많은 격려와
용기의 말씀을 주신 저의 장모님 KIM GI-WOEL님에게 다시한번 감사의
말씀을 드립니다. 어머님 고맙습니다.
Kepada saudara-saudara saya, Mas Wawan dan Mbak Heni,
Zaki dan Yuniati, Ismet dan Linggar beserta semua keponakan yang
sangat saya cintai, terima kasih atas semua dorongannya selama ini.
Demikian juga kepada kakak ipar dan adik ipar serta putra putrinya.
Terima kasih dan saya menikmati perjalanan hidup saya dalam kultur
yang berbeda.
Penghargaan dan ungkapan terima kasih setinggi-tingginya juga
saya sampaikan kepada suami saya tercinta Abdul Nasir/Keun Won
Jang yang dengan segala pengertian, perhatian, kesetiaan,
pengorbanan, kerelaan dan ketulusikhlasan, telah memberikan
dorongan serta mendampingi saya siang dan malam, dalam suka dan
duka selama lebih dari 25 tahun. Kepada 4 anak saya, He Yeon Asva
Nafaisa, He Jin Zulvy Izzabila, Dae Sung Rommy Basam, dan Dae Jin
Dimas Farrel, terima kasih atas segala kesabaran, pengorbanan,
pengertian, dan kehangatan yang selalu ada. Semoga engkau semua
menjadi anak-anak yang selalu terjaga kesalehannya, bermartabat,
rendah hati, berjiwa sosial dan berbudi luhur serta memberi manfaat
bagi keluarga, agama, dan masyarakat.
Masih banyak lagi ungkapan penghargaan dan terima kasih yang
ingin saya utarakan pada kesempatan berbahagia ini. Namun ada
keterbatasan waktu dan ruang sehingga saya tidak mampu
menyampaikan satu per satu. Untuk itu, secara tulus saya mohon maaf
yang sebesar-besarnya. Pada kesempatan yang amat berbahagia ini
19

saya berdoa semoga buah amalan kebaikan bapak, ibu dan saudara
sekalian kepada saya dilipatgandakan oleh Allah Swt. Akhir kata,
teriring ucapan alhamdulillahi rabbil”aalamiin, saya mengakhiri
pidato pengukuhan ini. Atas kesabaran dan perhatian para hadirin saya
menghaturkan penghargaan dan terima kasih.

Billahittaufiq wal hidayah,

Wassalaamu ‘alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh.


20

Daftar Pustaka
Amin, Z., Khoo, H.E., 2003. Basics in Medical Education. Singapore,
World Scientific Publishing Company.
Calman, K.C., 2007. Medical Education: Past, Present, and Future:
Handling on Learning. New York, Churchill Livingstone.
Chen, F.M., Bauchner, H., Burstin, H., 2004. “A Call for Outcomes
Research in Medical Education”. Acad Med. 79: 955–960.
Dent, J.A., 2013. “Teaching and Learning Medicine”. In: J.A., Dent,
R.M., Harden (editors). A Practical Guide for Medical
Teachers. 4th ed. Edinburgh, Churchill Livingstone.
Dent, J.A., Harden, R.M., 2013. “New Horizons in Medical Educa-
tion”. In: J.A., Dent, R.M., Harden (editors). A Practical Guide
for Medical Teacher. 4th ed. Edinburgh, Churchill Livingstone.
Emilia, O., 2008. Kompetensi Dokter dan Lingkungan Belajar Klinik
di Rumah Sakit. Yogyakarta, Gama Press.
Frenk, J., Chen, L., Bhutta, Z.A., Cohen, J., Crisp, N., Evans, T., et al.,
2010. “Health Professional for a New Century: Transforming
Education to Strengthen Health System in an Interdependent
World”. Lancet, 376: 1923–58.
Fulton, J.F., 1953. “History of Medical Education”. Br Med J.
2(4834): 457–461.
Grant, R., 1991. “Obsolescence or Lifelong Education: Choices and
Challenges”. Proceedings of the World Confederation for
Physical Therapy 11th International Congress, hal 145–49.
World Confederation for Physical Therapy, London.
Harden, R.M., 2000. “Evolution or Revolution and the Future of Medical
Education: Replacing the Oak Tree”. Med Teach., 22(5): 435–42.
Harden, R.M., Grant, J., Buckley, G., Hart, I.R., 1999. “Beme Guide
No.1: Best Evidence Medical Education”. Medical Teacher,
21(6): 553–562.
Harden, R.M., Grant, J., Buckley, G., Hart, I.R., 2000. “Best Evidence
Medical Education”. AdvHealth Sci Educ Theory Pract., 5(1): 71–90.
Higgs, J., Hunt, A., 1999. “Rethinking the Beginning Practitioner:
Introducing the Interactional Professional”. In J., Higgs, H.,
Edwards (Eds.). Educating Beginning Practitioners. Oxford,
Butterworth-Heinemann.
21

Hodges, B., 2015. “Faculty Development for Research: Past, Present


and Future”. Presented in the 12th Asia Pacific Medical
Education Conference and 3rd International Faculty
Development Conference, Singapore, 6–7 February.
James, J. E., 1994. “Health Care, Psychology, and the Scientist
Practitioner Model”. Australian Psychologist, 29(1): 5–11.
Kuper, A., Albert, M., Hodges, B.D., 2010. “The Origins of the Field
of Medical Education Researach”. Academic Medicine, 85(8):
1347–1353.
Leserman, J., 1980. Changes in the Professional Orientation of
Medical Students: A Follow Up Study. J. of Medical Education,
55: 415–422.
Ludmerer, K.M., 1999. Time to Heal: American Medical Education
from the Turn of the Century to the Era of Managed Care. New
York, Oxford University Press.
Maheux, B., Beland, F., 1986. “Students‟ Perceptions of Values
Emphasized in Three Medical Schools”. J. of Medical
Education, 61: 308–316.
McGaghie, W.C., 2010. “Medical Education Research as
Translational Science”. Sci. Transl. Med. 2, 19cm8.
Norman, G.R., 1990. “Problem Solving Skills and Problem Based
Learning”. Physiotherapy Theory and Practice, 6: 53–54.
Norman, G.R., 2002. “Research in Medical Education: Three Decades
of Progress”. BMJ 2002, 324: 1560
Quintero, G.A., 2014. “Medical Education and the Healthcare System
– Why Does the Curriculum Need to be Reformed?” BMC
Medicine, 12: 213.
Regehr, G., 2004. “Trends in Medical Education Research”. Acad
Med., 79: 939–947.
Schon, D.A., 1988. “From Technical Rationality to Reflection in
Action”. In J. Dowie., E. Elstein (Eds.). Professional
Judgement, hal 60–77. Cambridge, Cambridge University Press.
Shepard, K.F., Jensen, G.M., 1990. “Physical Therapist Curricula for
the 1990s: Educating the Reflective Practitioner”. Physical
Therapy, 70(9): 566–573.
22

RIWAYAT HIDUP

Nama : Ova Emilia


Tempat & Tanggal Lahir : Yogyakarta,
19 Februari 1964
Status : Guru Besar
Alamat Rumah : Jl. Tunjung No.3,
Baciro, Gondoku-
suman, Yogyakarta

Alamat Kantor : Fakultas Kedokteran, UGM, Jl. Farmako, Sekip


Utara, Yogyakarta
E-mail : ovaemilia@ugm.ac.id; ovaemilia@gmail.com

Keluarga:
Suami : Abdul Nasir/Jang Keun Won
Anak : 1. He Yeon Asva Nafaisa
2. He Jin Zulvy Izzabilla
3. Dae Sung Romi Bassam
4. Dae Jin Dimas Farrel

Pendidikan:
1982–1989 : Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran UGM
1990–1991 : Master in Medical Education, University of Dundee,
United Kingdom
1996–2000 : Pendidikan Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi,
Fakultas Kedokteran, UGM
2000–2004 : Ph.D, Faculty of Medicine, University of New South
Wales, Sydney Australia
2009 : Konsultan Obstetri Ginekologi Sosial, Fakultas
Kedokteran, UGM
23

Riwayat Pekerjaan:
2004–2006 : Konsultan Hospital Based Specialist Training,
Kementerian Kesehatan
2005–2006 : Konsultan Kurikulum Berbasis Kompetensi Nasio-
nal pada Pendidikan Kedokteran, Kementerian Pen-
didikan Nasional
2005–2010 : Tim SEA-ORCHID (South East Asia Optimizing
Reproductive and Child Health in Developing
countries)
2007–sekarang : Tim Editor EFKAGAMA
2008–2010 : Tim Pengembangan dan Perencanaan Sumber Daya
Manusia RS Akademik UGM
2009–2013 : Ketua Tim Koordinasi Program Pendidikan Dokter
Spesialis
2009–sekarang : Ketua Tim Editor Jurnal Pendidikan Kedokteran
Indonesia
2009–sekarang : Course Director Pendidikan Dokter Spesialis
Konsultan Obsginsos FK UGM
2008–2012 : Ketua Tim Kurikulum, Pendidikan Dokter FK
UGM
2010–sekarang : Ketua Tim Pokja KIA, FK UGM
2011–2013 : Tim Pelaksanan Kegiatan Program Hibah
Kompetensi Peningkatan Kualitas Pendidikan
Dokter (PHK-PKPD) Proyek Health Professional
Education Quality Improvement (HPEQ) tahun
2011–2013, Fakultas Kedokteran UGM
2011–2013 : Wakil sekretaris AIPKI (Asosiasi Institusi
Pendidikan Kedokteran
2012–2015 : Steering Committee Pengembangan dan Pembinaan
Rumah Sakit Universitas, Ditjen Dikti
2012–sekarang : Wakil Dekan Bidang Akademik, Kemahasiswaan
dan Alumni, FK UGM
2014–sekarang : Tim Editor Jurnal Kesehatan Reproduksi
2014–sekarang : Penanggung Jawab Kegiatan Part 1 Membership of
the Royal College of Obstetricians and Gynae
24

cologists Preparatory Course Bagian Obstetri dan


Ginekologi Fakultas Kedokteran UGM
2015–sekarang : Tim Pakar pelaksanaan UKMPPD, Ditjen Dikti
2015–sekarang : Pokja PPDS, AIPKI
2014–sekarang : Ketua tim kurikulum, International Family
Planning Training, kerja sama BKKBN dan
UNFPA

Penghargaan
1998 : First prize for Young Gynecologist Award, Asian Oceania
Congress of Obstetrics and Gynecology, Kuala Lumpur
2005 : Poster Prize Winner on The 2nd Indonesian Medical
Education Meeting and Expo Free Paper Prize Winner on
The 2nd Indonesian Medical Education Meeting and Expo
2006 : The Best Lecture Faculty of Medicine
2007 : SIDA Award
2008 : Fellows for Cochrane Systematic Review
2010 : The Best Lecture of Universitas Gadjah Mada
2013 : The Winner of the First Best Poster of Research in National
Congress of Association of Indonesian Family Medicine
2014 : The second Winner of Presentation in Annual Scientific
Meeting VI Indonesian Society of Social Obstetrics and
Gynecology, Makasar

Keanggotaan Perkumpulan Profesi


1. Ikatan Dokter Indonesia
2. Persatuan Obstetri Ginekologi Indonesia
3. Himpunan Obstetri Ginekologi Sosial Indonesia
4. Persatuan Menopause Indonesia
5. Association of Medical Education of Europe
6. Associate of Laser Vaginal Rejuvenation Institute
7. Australian and New Zealand Association for Health Professional
Educators
8. Asosiasi Ahli Pendidikan Profesi Kesehatan Indonesia
(AIDIPROKESI)
25

Publikasi Jurnal
1. Kuntari T, Wilopo S.A, Emilia O, 2010. “Determinan Abortus di
Indonesia”. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional.
2. Martis R, Emilia O, Nurdiaty D, 2010. “Intermittent Auscultation
(Ia) of Fetal Heart Rate in Labour for Fetal Well-Being”. The
Cochrane Library issue 9.
3. Emilia O, 2011. “Sikap Mengenai Keselamatan pada Residen dan
Perawat di Rumah Sakit Pendidikan”. Jurnal Manajemen
Pelayanan Kesehatan, 14(04): 191–196.
4. Afrima A, Ismail D, Emilia O, 2011. “Akseptabilitas dan
Pemanfaatan Pusat Informasi dan Konsultasi Kesehatan
Reproduksi Remaja pada Siswa Sekolah Menengah Umum”.
Berita Kedokteran Masyarakat, 27(3): 160–165.
5. Djama N.Z, Emilia O, Hasanbasri M, 2011. “Pemanfaatan
Pertolongan Persalinan Tenaga Kesehatan oleh Peserta Program
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin”. Berita
Kedokteran Masyarakat, 27 (3): 24–31.
6. Bartini I, Emilia O, Utarini A. 2011. “Analisis Self Reported
Asuhan Persalinan oleh lulusan DIII Kebidanan dan Medical
Eror”. Berita Kedokteran Masyarakat, 27(3): 131–135.
7. Yuliana, Emilia O, Rahayu G.R, 2012. “Persepsi Mahasiswa dan
Dosen terhadap Early Clinical Experience pada Program S1
Keperawatan Stik Immanuel Bandung”. Jurnal Pendidikan
Kedokteran Indonesia, 1(2): 18–35.
8. Mohan K, Emilia O, Widyandana, 2012. “Comparison of
Learning Environment in 3 Different Settings to Support Clinical
Skills Acquisition in Undergraduate Medical Students”. Jurnal
Pendidikan Kedokteran Indonesia, 1 (2): 40–45.
9. Sunarko, Emilia O, Mardiwiyoto H, 2012. “Keefektifan Metode
Microskill untuk Meningkatkan Kualitas Supervisi Klinik”. Jurnal
Pendidikan Kedokteran Indonesia, 1(2): 46–53.
10. Emilia O, Bloomfield L, Rotem A, 2012. “Measuring Students‟
Approaches to Learning in Different Clinical Rotations”. BMC
Medical Education, 12: 114–120.
11. Suryobianto B.P, Prabandari Y.S, Emilia O, 2013. “Pengaruh
Kuliah Konseptualisasi dengan Peta Konsep pada Awal Pelatihan
26

Keterampilan Medik Terhadap Nilai Osce Akhir Blok”. Jurnal


Pendidikan Kedokteran Indonesia, 2(2): 132–136.
12. Anwar A.I, Prabandari Y.S, Emilia O, 2013. “Motivation and
Student Learning Strategies in Education Problem Based Learning
and Collaborative Learning at Dental Medicine Faculty
Hasanuddin Universty”. Jurnal Pendidikan Kedokteran Indonesia,
2(3): 233–239.
13. Mokhtar S, Emilia O, Suryadi S, 2013. “Self-Reflection and
Insight pada Mahasiswa Kedokteran dan Hubungannya dengan
Persepsi terhadap Perilaku Profesional”. Jurnal Pendidikan
Kedokteran Indonesia, 2(3): 188–201.
14. Hasnita E, Hakimi M, Wilopo S.A, Emilia O, 2013. “Maternal
Mortality in West Sumatra Province: An Analysis of the Impact of
Quality of Midwifery Care in the Hospital”. Journal Aporia, 5(4):
5–17.
15. Yanti, Emilia O, Claramita M, 2014. “Persepsi Mahasiswa, Dosen
dan Bidan Pembimbing tentang Model Pembelajaran Klinik
Kebidanan yang Ideal”. Jurnal Pendidikan Kedokteran Indonesia,
3(1): 62–71.
16. Mokhtar M, Emilia O, Suryadi E, 2014. “Health Behavior Among
Medical Students at Universitas Padjajaran”. Jurnal Pendidikan
Kedokteran Indonesia, 3(1).
17. Emma E, Emilia O, Prawitasari P, 2014. “Hubungan Pemakaian
Antibiotik dengan Kejadian Infeksi Seksio Sesarea pada Pasien di
RSUD Abepura Jayapura Papua”. Jurnal Kesehatan Reproduksi,
1(1).
18. Yani V.D, Emilia O, Kusnanto H, 2014. “Persepsi Remaja
terhadap Faktor Penghambat Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Reproduksi di Puskesmas Gambok, Kabupaten Sijunjung”. Jurnal
Kesehatan Reproduksi, 1(1).
19. Hugo M, Emilia O, Sitaresmi M.N, 2014. “Pajanan Asap dalam
Rumah terhadap Kejadian ISPA Nonpneumonia pada Anak Balita
di Kabupaten Kapuas”. Jurnal Kesehatan Reproduksi, 1(1).
20. Khotimah K, Emilia O, Hakimi M, 2014. “Pemanfaatan Pojok
Laktasi di Puskesmas 1 Cilongok, Kabupaten Banyumas”. Jurnal
Kesehatan Reproduksi, 1(1).
27

21. Martis R, Emilia O, Nurdiati D.S. 2014. “Intermittent


Auscultation (Ia) of Fetal Heart Rate in Labour for Fetal Well-
Being”. Cochrane Database of Systematic Reviews.
22. Irawati P, Hakimi M, Emilia O, 2014. “Pengaruh Pemberian ASI
Eksklusif terhadap Kembalinya Menstruasi pada Ibu Menyusui di
RS st. Carolus Jakarta”. Jurnal Kesehatan Reproduksi, 1(2).
23. Sumiyati, Emilia O, Dasuki D, 2014. Perilaku Bidan dalam
Pelaksanaan Inisiasi Menyusui Dini di Wilayah Kerja Puskesmas
II Tambak, Puskesmas Banyumas dan Puskesmas Kemranjen”.
Jurnal Kesehatan Reproduksi, 1(2).
24. Sundari S, Harsono, Savitri T, Emilia O, 2014. “Applied Cal on
Problem Based Learning Using Gagne‟s Instructional Design”.
International Journal of Emerging Technologies in Learning,
9( 9).
25. Fransiska L, Patmini E, Wahab A, Emilia O, 2014.
“Pendidikan/Pekerjaan Maternal dan Faktor Risiko Preeklampsia:
Studi Epidemiologi di Kota Ternate”. Jurnal Kesehatan
Reproduksi, 1(3): 175–183.
26. Menaldi S.L, Sukarlan A.D, Matindas D, Utoyo D.B, Dwiprahasto
I, Emilia O, Prabandari Y.S, 2014. “Exploring Clinical Rotation
Competence Improvements After Interpersonal Skills
Development in At-Risk Medical Students”. eJurnal Kedokteran
Indonesia, 2(2): 112–118.
27. Yanti, Claramita M, Emilia O, 2015. “Student‟s Understanding of
„Women-Centred Care Philosophy‟ in Midwifery Care through
Continuity of Care (CoC) Learning Model: A Quasi-Experimental
Study”. BMC Nursing, 22: 14–22.
28. Sundari S, Harsono, Savitri T, Emilia O, 2015. “E-Learning
Implementation in Medical Education: Why Does the Program
Fail in our Department?”, Advanced Science Letters, 21(1): 127–
130.

Buku
1. Emilia O, 2008. Promosi Kesehatan dalam Lingkup Kesehatan
Reproduksi. Pustaka Cendekia Press, Jakarta.
28

2. Siswosudarmo R, Emilia O, 2008. Obstetri Fisiologi. Pustaka


Cendekia Press, Jakarta.
3. Emilia O, 2008. Kompetensi Dokter dan Lingkungan Belajar
Klinik di Rumah Sakit. Gama Press, Yogyakarta.
4. Hakimi M, Siswosudarmo R, Prawitasari S, Emilia O, 2010.
Evidence Based Medicine Perdarahan Post Partum, Pustaka
Cendekia Press, Jakarta.
5. Emilia O, 2010. Kalender Kehamilan. Andy Offset, Yogyakarta.
6. Emilia O, Freitag H, 2010. Tetap Bugar dan Energik Saat Hamil,
Agromedia Press, Jakarta.
7. Surya G, Emilia O, 2010. Cara Cerdas Menentukan Jenis
Kelamin secara Alami, Agromedia Press, Jakarta.
8. Emilia O, Kusumanto A, 2010. Bebas Ancaman Kanker Serviks,
Media Pressindo, Yogyakarta,
9. M Hakimi, O Emilia, D Nurdiati, dan D Rumekti, 2012.
Terjemahan Buku Evidence Based Practice: Workbook, second
edition, Blackwell Publishing, CAPS, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai