Anda di halaman 1dari 8

APENDISITIS AKUT DALAM KEHAMILAN : SUATU TANTANGAN

DIAGNOSTIK DAN PENATALAKSANAAN

ABSTRAK
Apendisitis akut merupakan kedaruratan pembedahan ekstra uterine yang paling
sering ditemukan selama kehamilan, tetapi diagnosis akuratnya masih merupakan
suatu teka teki. Perubahan anatomis apendiks dengan adanya pembesaran uterus
membuat diagnosis klinis dan sonografi sulit. Diagnosis dan pengobatan yang tepat
penting untuk mencegah perforasi, yang mana meningkatkan resiko kematian janin
dan maternal. Intervensi bedah baik itu dengan laparotomy atau laparoskopi terbuka
merupakan pengobatan yang paling tepat untuk apendisitis. Artikel ini mengulas
epidemiologi, diagnosis klinis, investigasi, komplikasi dan pengobatan apendisitis
akut dalam kehamilan.
Kata kunci: apendisitis, kehamilan, epidemiologi, diagnosis, investigasi, pengobatan.

PENDAHULUAN
Apendisitis akut pertama kali didiagnosis pada tahun 1886, dan sejauh ini merupakan
kedaruratan pembedahan ekstra uterine yang paling sering ditemukan selama
kehamilan. Etiologi dan pathogenesisnya tidak diketahui meskipun banyak teori telah
diajukan, termasuk obstruksi mekanik lumen apendisiel, rusaknya barrier mucosal
apendiks akibat invasi langsung pathogen, dan respon inflamasi yang dipicu oleh
pathogen atau stimuli lain.
Diagnosis dan penatalaksanaan apendisitis akut dalam kehamilan dapat menjadi
sebuah tantangan karena gambaran klinis tidak klasik dan komplikasi apendisitis
perforasi yang mengakibatkan tingginya angka kematian maternal dan janin. Dengan

demikian mencapai diagnosis yang akurat dan memulai pengobatan dini penting
untuk mencegah komplikasi. Artikel ini mengulas epidemiologi, diagnosis klinis,
investigasi, komplikasi, dan pengobatan apendisitis akut dalam kehamilan.

EPIDEMIOLOGI
Apendisitis akut dapat terjadi kapan saja selama kehamilan, meski penyakit ini terjadi
paling sering selama trimester kedua (45%) dan 30% selama trimester pertama dan
sisanya 25% pada trimester ketiga. Keseluruhan insiden 0,15 hingga 2,10 per 1000
kehamilan.
Penelitian yang dilakukan di Swedia menunjukan bahwa terdapat hubungan yang
bertolak belakang antara kehamilan dan apendisitis yang menunjukkan bahwa
kehamilan melindungi dari apendisitis, khususnya selama trimester ketiga.
Kematian maternal jarang dalam kasus apendisitis sederhana, tetapi meningkat
hingga 2% dengan perkembangan kehamilan dan apendisitis terperforasi sementara
mortalitas janin berentang dari 0-1,5% dalam kasus kasus apendisitis sederana hingga
20-35% dalam apendisitis terperforasi.

DIAGNOSIS KLINIS
Umumnya, diagnosis apendisitis akut dapat dilakukan secara klinis berdasarkan
riwayat menyeluruh dan pemeriksaan fisik. Namun, mungkin sulit untuk
mendiagnosisnya pada wanita hamil karena perubahan fisiologi dan anatomi yang
terjadi selama kehamilan. Hal ini karena gejala gejala seperti mual, muntah,
anoreksia, dan ketidaknyamanan abdomen sama dengan pada kehamilan itu sendiri.
Selain itu, apendiks berpindah ke superior dan lateral dengan adanya perbesaran
uterus, dengan demikian menekan apendiks menjauh dari titik Mc Burneys.
Penelitian klinis telah menunjukan bahwa 84% wanita hamil yang mengalami

apendisitis mengalami nyeri pada kuadran kanan bawah tetapi dilaporkan bahwa
apendiks dapat pula berpinah ke kuadran kanan atas.
Selain hal ini, nyeri tekan rebound dan tahanan pada dinding abdomen jarang tampak
selama pemeriksaan karena kelemahan otot dinding abdomen selama kehamilan;
dimana tanda tanda klasik seperti obturator, psoas, dan rovsing ditemukan positif
tetapi pada kurang dari sepertiga pasien. Demam, hipotensi, dan takikardia juga tidak
dapat diandalkan dan mungkin hadir selama kehamilan.

DIAGNOSIS BANDING
Baik itu kondisi obstetrical atau ginekologis dan kondisi non obstetrical atau non
ginekologis mungkin hadir dengan nyeri abdomen dan dapat menyerupai apendisitis.
Berikut merupakan diagnosis banding yang mungkin:
Obstetrikal dan ginekologis
kehamilan Ectopic
keguguran (usia gestasi awal)
Twisted ovarian cyst atau kista ovarium yang pecah
Pelvic infammatory disease
kelahiran preterm (usia gestasi yang lebih berkembang)
abruption Placenta
Degenerating uterine leiomyoma
Non-Obstetrical dan Ginekologis
Infeksi saluran kencing
cholecystitis akut

Gastroenteritis
ureteric colic kanan
pyelonephritis kanan
ulkus peptikum yang perforasi
Mesenteric adenitis

INVESTIGASI
Pemeriksaan darah, khususnya hitung sel darah putih (WBC) biasanya dilakukan
untuk mengkonfirmasi atau mengeksklusi suspek apendisitis pada pasien dengan
nyeri kuadran kanan bawah. Namun, mungkin tidak membantu dan tidak dapat
diandalkan pada wanita hamil karena leukositosis (hitung WBS setinggi 16000/L)
dan bandemia (WBC yang tidak matur) merupakan gangguan fisiologis normal
selama kehamilan. Selanjutnya, tidak semua wanita hamil dengan apendisitis
mengalami leukositosis. C reaktif protein (CRP) juga dapat digunakan tetapi tidak
dapat diandalkan.
Pencitraan diagnosis dapat dipertimbangkan dalam kasus kasus yang meragukan.
Ultrasonography (USG) telah digunakan untuk investigasi nyeri kuadran kanan
bawah

pada

pasien

ginekologi

selama

beberapa

decade.

Juga

dapat

memvisualisasikan apendiks yang inflamasi.


Beberapa gambaran yang ditemukan selama ultrasonografi antara lain: ukuran
diameter apendiks lebih dari 6 mm atau lebih, penebalan dinding apendiseal, dan
adanya cairan periependiseal atau faecolith. USG dengan demikian merupakan alat
yang sangat berguna untuk mendiagnosis apendisitis dalam kehamilan karena
sensitivitasnya (75-90%) dan spesifisitasnya (75-100%) yang tinggi, relatif murah,
cepat dan non invasif.

Namun, ketika kehamilan berkembang, diagnosis menjadi makin sulit karena


perpindahan posisi apendiks. Di Barat, helical computed tomography scanning (CT
scan) semakin popular sebagai alat untuk mendiagnosis apendisitis karena
akurasinya, tetapi sangat dikontraindikasikan dalam kehamilan khususnya pada
trimester pertama karena paparan radiasinya.
Alat pencitraan lainnya yang berguna untuk mendiagnosis apendisitis adalah
magnetic resonance (MRI). Suatu laporan di Amerika serikan membuktikan diagnosis
definitif apendisitis perforata pada wanita hamil yang memasuki trimester kedua
tetapi efek jangka panjang ruang magnetic statis terhadap janin masih tidak diketahui.

KOMPLIKASI
Dalam apendisitis akut, komplikasi yang paling parah adalah perforasi apendisitis.
Dalam kehamilan, persentase apendiks perforata bisa jadi setinggi 43%, dibandingkan
dengan 19% dalam populasi umum. Resiko perforasi juga meningkat dengan usia
gestasional, dimana insiden apendiks perforata lebih tinggi selama trimester ketiga.
Perforasi apendiks menyebabkan keluarnya isi apendiks ke dalam rongga abdomen.
Hal ini dapat mengakibatkan peritonitis, keguguran, persalinan preterm dan kematian
janin

atau

maternal.

Berdasarkan

berbagai

penelitian

apendiks

perforata

meningkatkan angka kontraksi preterm dan persalinan preterm.


Namun, resiko persalinan preterm tertinggi pada minggu pertama setelah
pembedahan dan menunjukkan bahwa kontraksi preterm dapat diakibatkan oleh baik
itu apendisitis sendiri dan komplikasi pembedahan.
Untuk janin, apendisitis dihubungkan dengan resiko kehilangan janin 1,5% hingga
9%, namun resiko meningkat hingga 35% setelah perforasi. Mortalitas maternal telah
dilaporkan; namun, angka kejadiannya jauh lebih rendah berentang dari 0 hingga 2%.

PENGOBATAN
Segera

setelah

apendisitis

akut

terdiagnosis,

intervensi

pembedahan

dini

direkomendasikan. Penelitian telah menunjukkan bahwa pembedahan dalam 24 jam


secara relatif memiliki angka perforasi apendiks yang lebih rendah. Setelah 36 jam
onset gejala angka perforasi antara 16% dan 36%. Juga diketahui bahwa resiko
perforasi meningkat 5% untuk setiap periode 12 jam berikutnya.
Dengan demikian, setelah diagnosis apendisitis akut dibuat, apendektomi seharusnya
dilakukan segera. Kebanyakan pasien diberikan antibiotik spectrum luas sebelum
operasi, yang mana terbukti menurunkan infeksi luka dan pembentukan abses pasca
operasi.
Karena resiko potensial teratogenesisnya, sepalosporin generasi kedua biasanya
digunakan sebelum operasi. Selain sebagai profilaksis, juga dipergunakan dalam
pengobatan perforasi, peritonitis, dan apendiks ganggren.
Sepalosporin digunakan dalam kombinasi dengan metronidazole pada apendisitis
perforata terkomplikasi. Untuk melegakan gejala, analgesic dan agen tokolitik
biasanya digunakan. Seperti antibiotik, kekhawatiran dalam penggunaan analgesic
adalah resiko teratogenesis. Lebih jauh lagi, hal ini juga dapat menyamarkan
gambaran klinis dan mengakibatkan diagnosis yang salah. Agen tokolitik digunakan
untuk mencegah iritasi uterus. Namun efektifitasnya masih belum dibuktikan.

PEMBEDAHAN
Operasi terbuka dan laparoskopi merupakan teknik pembedahan yang digunakan
dalam mengobati apendisitis. Apendiks diakses melalui insisi Lanz terbuka, dimana
biasanya dibuat melalui titik McBurneys. Metode ini memiliki keuntungan utama
yakni visualisasi peritoneum yang lebih baik, waktu operasi yang lebih pendek,
paparan janin terhadap karbon dioksida yang lebih sedikit, resiko pneumoperitoneum
yang lebih rendah dan biaya yang lebih rendah. Karena paparan karbondioksida lebih

rendah pada operasi terbuka dibandingkan pada laparoskopi dan efek jangka panjang
paparan terhadap gas tidak pasti, operasi terbuka dipercaya lebih baik dan umumnya
lebih dipilih daripada metode laparoskopi pada trimester kedua akhir dan ketiga.
Meskipun laparoskop awalnya dikontraindikasikan pada kehamilan, penelitian terkini
menunjukkan bahwa metode ini ditoleransi oleh ibu dan janin selama periode
kehamilan.
Pertimbangan utama metode laparoskopi adalah penggunaan karbon dioksida untuk
membentuk pneumoperitoneum. Hal ini mempaparkan janin terhadap karbon
dioksida, meningkatkan tekanan intraabdomen, yang mana dapat mengakibatkan
kelahiran preterm, penurunan aliran darah uterus, dan mengakibatkan asidosis janin.
Penempatan masukan port primer atau jarum Veress dapat juga menciderai janin dan
menyebabkan pneumoamnion. Namun, karena kemajuan terkini teknik laparoskopik,
terdapat beberapa keuntungan laparoskopi dibandingkan operasi terbuka. Diantaranya
adalah penurunan insiden infeksi luka, nyeri pasca operasi yang berkurang,
penggunaan narkotik yang rendah dan resiko ileus yang lebih rendah.
Penelitian juga menunjukkan bahwa hal ini dihubungkan dengan waktu rawat inap
yang

berkurang,

mobilisasi

dini,

berkurangnya

resiko

tromboembolisme,

berkurangnya resiko hernia insisional, dan depresi janin yang lebih rendah akibat
nyeri dan penggunaan narkotik.

KESIMPULAN
Apendisitis akut merupakan penyebab umum abdomen akut pada pasien hamil.
Akibat dari bahaya potensial terhadap janin dan ibu, apendisitis harus dieksklusi pada
wanita hamil yang muncul dengan episode nyeri abdomen. Diagnosis apendisitis pada
kehamilan terutama dilakukan secara klinis.

Dengan demikian, dibutuhkan kecurigaan, kemampuan dan kemampuan yang tinggi.


Beberapa investigasi dapat membantu diagnosis. Diagnosis dan penatalaksanaan dini
seharusnya dibuat untuk menghindari komplikasi. Pembedahan masih merupakan
pengobatan utama pada apendisitis akut apapun pilihan teknik pembedahannya.

Anda mungkin juga menyukai