Anda di halaman 1dari 32

PEDOMAN

PENGENDALIAN DAN PEMBERANTASAN


PENYAKIT TRYPANOSOMIASIS
(SURRA)

DIREKTORAT KESEHATAN HEWAN


DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN
KEMENTERIAN PERTANIAN
JAKARTA
2012
Pedoman Pengendalian Dan Pemberantasan i
Penyakit Trypanosomiasis (Surra)
PEDOMAN PENGENDALIAN DAN PEMBERANTASAN
TRYPANOSOMIASIS (SURRA)

TIM PENYUSUN

Pelindung
Ir. Syukur Iwantoro, MS, MBA

Penanggung Jawab
Drh. Pudjiatmoko, Ph.D.
Direktur Kesehatan Hewan

Kontributor
Drh. April Wardhana, Ph.D
Dr. Didik Tulus Subekti, M.Kes
Drh. Manuel Kitu

Ketua
Drh. Mardiatmi
Kepala Subdit Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Hewan

Anggota:
Drh. Yunasri
Drh.Yuni Yupiana,M.Sc.
Drh. Iwan Sofwan, MM.
Drh. Pebi Purwo Suseno
Drh. Ratna Vitta Ekowati
Drh. Wahyu Eko Kurniawan
Drh. Ernawati
Drh. Ermawanto
KATA PENGANTAR

Penyakit trypanosomiasis (surra) pertama kali


ditemukan di Indonesia pada tahun 1897 yang kemudian
meluas di beberapa wilayah di Indonesia termasuk Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumbawa dan
pulau lainnya. Kasus terakhir yang cukup mendapat perhatian
adalah wabah surra di Pulau Sumba mulai tahun 2010-2012.
Penanganan terhadap penyakit ini harus dilakukan secara
sistematis dan sedini mungkin. Pengetahuan terhadap sifat
penyakit yang meliputi pengenalan terhadap agen penyebab,
spesies rentan dan cara mendiagnosa merupakan informasi
pendukung yang sangat krusial. Dalam menentukan program
pengendalian dan pemberantasan yang sesuai dengan kondisi
di Indonesia, perlu diketahui juga epidemiologi penyakit
termasuk daya hidup agen, informasi penularan dan faktor-
faktor lain yang mempengaruhi penularan penyakit. Kebijakan
pemerintah terkait pengendalian dan pemberantasan
penyakit surra terutama pencegahan penularan pada daerah
bebas dan penanganan hewan penderita di daerah tertular
tercakup dalam pedoman ini.
Pedoman pengendalian dan pemberantasan penyakit
trypanosomiasis (surra) ini diterbitkan oleh Direktorat
kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian. Pedoman ini
dapat tersusun atas keterlibatan dan kerjasama yang

Pedoman Pengendalian Dan Pemberantasan i


Penyakit Trypanosomiasis (Surra)
harmonis beberapa pihak termasuk Badan Penelitian dan
Pengembangan, dinas yang membidangi fungsi kesehatan
hewan dan laboratorium kesehatan hewan regional.
Pedoman ini disusun untuk digunakan sebagai acuan dalam
melaksanakan pengendalian dan pemberantasan penyakit
trypanosomiasis (surra) baik oleh instansi pusat maupun
daerah. Saran dan kritik yang membangun dari semua pihak
sangat kami harapkan demi perbaikan pedoman ini.

Jakarta, Desember 2012


DIREKTUR KESEHATAN HEWAN

ttd

Drh. Pudjiatmoko Ph.D


NIP.19590417 198603 1 001

ii Pedoman Pengendalian Dan Pemberantasan


Penyakit Trypanosomiasis (Surra)
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI TRYPANOSOMIASIS (SURRA)......................................... 4


TRYPANOSOMIASIS (SURRA)............................................................... 6
TRYPANOSOMIASIS (SURRA)............................................................... 6
I. SIFAT PENYAKIT.......................................................................... 6
1.1. Etiologi............................................................................... 6
1.2. Spesies rentan................................................................. 6
1.3. Penyebaran penyakit di Indonesia........................... 7
1.4. Diagnosa............................................................................ 8
1.4.1. Gejala Klinis.......................................................... 8
1.4.2. Uji Laboratorium................................................ 10
1.4.3. Diferensial diagnosa......................................... 12
1.4.4. Pengobatan.......................................................... 12
1.5. Epidemiologi.................................................................... 14
1.5.1. Masa inkubasi...................................................... 14
1.5.2. Daya hidup agen................................................ 14
1.5.3. Cara penularan.................................................... 15
1.5.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi
penularan.............................................................. 16
1.6. Cara dan Resiko Penularan Antar Daerah.............. 16

Pedoman Pengendalian Dan Pemberantasan iii


Penyakit Trypanosomiasis (Surra)
II. KEBIJAKAN PENGENDALIAN DAN PEMBERANTASAN. 17
2.1. Pendahuluan.................................................................... 17
2.2. Kebijakan umum............................................................ 17
2.2.1. Pengamanan dan pengawasan lalulintas. 18
2.2.2. Penanganan hewan terinfeksi....................... 20
2.2.3. Penanganan produk hewan dan sisa
produk hewan..................................................... 20
2.2.4 Surveilan dan penyidikan............................... 21
2.2.5. Pengendalian vektor......................................... 22
2.2.6. Pemusnahan........................................................ 23
2.2.7. Dekontaminasi dan disposal......................... 23
2.2.8. Pengendalian hewan liar/reservoir............. 23
2.2.9. Diseminasi Informasi dan Edukasi
Masyarakat........................................................... 234

iv Pedoman Pengendalian Dan Pemberantasan


Penyakit Trypanosomiasis (Surra)
TRYPANOSOMIASIS (SURRA)

I. SIFAT PENYAKIT

1.1 Etiologi
Penyakit Trypanosomiasis dapat disebabkan oleh protozoa
Trypanosoma evansi, Trypanosoma brucei, Trypanosoma
equiperdum, Trypanosoma congolense, Trypanosoma vivax,
Trypanosoma simiae, Trypanosoma theileri, Trypanosoma
avium dan masih banyak lainnya. Agen yang paling dominan
dilaporkan di Indonesia pada saat ini adalah Trypanosoma evansi
yang menyebabkan penyakit surra. Adapun T. equiperdum
umumnya menyebabkan dourine yang menyerang sistem
reproduksi, sedangkan T. vivax menyebabkan penyakit nagana.

Pedoman Pengendalian Dan Pemberantasan 1


Penyakit Trypanosomiasis (Surra)
1.2 Spesies rentan
Trypanosomiasis menyerang beragam spesies hewan dengan
derajat kerentanan (susceptibility) yang berbeda. Penyakit
surra umumnya berakibat sangat fatal pada kuda, keledai,
unta dan anjing. Hal tersebut agak berbeda pada kerbau
yang umumnya dapat menunjukkan gejala klinis dan fatal
(berakibat kematian), walaupun juga dilaporkan beberapa
kerbau yang terinfeksi T. evansi masih tetap terlihat normal
(subklinis). Sebaliknya pada sapi, domba, kambing, babi dan
gajah seringkali terlihat tanpa gejala (subklinis). Spesies hewan
yang tidak menunjukkan gejala klinis saat terinfeksi oleh
T.evansi dapat bertindak sebagai reservoir. Adapun untuk agen
infeksi lainnya, seperti T. equiperdum, umumnya menyerang
kuda dan menyebabkan penyakit dourine, sedangkan T.vivax
menyerang banyak spesies dan fatal pada sapi. Penyakit ini
bersifat immunosupresif sehingga vaksinasi tidak akan efektif
sebelum dilakukan pengobatan secara tuntas.

1.3 Penyebaran penyakit di Indonesia


Secara historis, T. evansi pertama kali ditemukan pada tahun
1880 dari darah unta, kuda dan bagal (persilangan kuda dan
keledai) oleh dokter hewan kebangsaan Inggris Griffith Evans
di Distrik Dara Ismail Khan, Punjab, India. Adapun penyakit
Surra di Indonesia pertama kali diidentifikasi oleh Penning
C. A pada tahun 1897 dari darah kuda di wilayah Semarang,
Jawa Tengah. Kemudian pada tahun 1898 wabah Surra terjadi
di Tegal dengan prevalensi mencapai lebih dari 7%. Wabah
semakin meluas ke Pasuruan, Jawa Timur pada tahun 1900-
1901 dan dilaporkan terjadi kematian ternak hingga 25.000
ekor antara tahun 1920-1927.

2 Pedoman Pengendalian Dan Pemberantasan


Penyakit Trypanosomiasis (Surra)
Selanjutnya, kasus surra terjadi secara sporadis dan pada tahun
1968-1969 kembali terjadi letupan kasus di Jawa Tengah.
Pada waktu yang bersamaan, wabah Surra semakin meluas
di beberapa wilayah Indonesia termasuk di Pulau Flores pada
tahun 1971 sedangkan wabah di Nusa Tenggara Barat baru
dilaporkan pada tahun 1974-1976. Selanjutnya pada tahun
1988 terjadi kasus Madura yang menyerang sapi, kerbau dan
kuda.
Kasus surra di Indonesia dari tahun ketahun selalu dilaporkan,
sampai akhirnya di tahun 2010 muncul kasus surra di Pulau
Sumba yang menunjukkan kecenderungan meningkat dan
menjadi wabah dengan total angka kesakitan yang dilaporkan
mencapai 4268 (kuda 1608, kerbau 2464, sapi 196) ekor.
Kematian akibat surra di Sumba dilaporkan sebanyak 1760
ekor, terdiri dari kuda 1159 ekor, kerbau 600 ekor dan sapi 1
ekor. Data kasus dan kematian ternak tersebut merupakan
data akumulasi mulai pertengahan tahun 2010 sampai dengan
akhir 2012.

Peta penyebaran penyakit surra di Indonesia

Pedoman Pengendalian Dan Pemberantasan 3


Penyakit Trypanosomiasis (Surra)
1.4 Diagnosa
Penetapan kasus tripanosomiasis, khususnya penyakit surra
yang disebabkan T. evansi harus didasarkan atas bukti medis
(medical evidence) yang akurat dan tepat. Penetapan bukti
medis tersebut dapat dilakukan dengan menegakkan diagnosa
yang akurat. Diagnosa dapat ditegakkan dengan beragam
metode, yang satu dengan lainnya dapat saling melengkapi
dan memperkuat (komplementer). Penegakan diagnosa
surra dapat dilakukan berdasarkan gejala klinis, gambaran
patologi anatomi maupun histopatologi, uji laboratorium dan
dilengkapi dengan kajian epidemiologi.

1.4.1 Gejala Klinis

a. Pada Kuda.
Masa inkubasi 4 - 13 hari diikuti demam (Temperatur lebih
dari 39°C). Hewan nampak lesu dan lemah. Mula-mula selera
makan menurun kemudian pulih kembali. Kepincangan sering
terjadi pada kaki belakang, bahkan tidak jarang mengalami
kelumpuhan tubuh bagian belakang.
Selaput lendir mata hiperemia disertai bintik-bintik darah
(ptechiae), kemudian berubah anemis berwarna kuning
sampai pucat. Kadang-kadang ditemukan adanya keratitis.
Limfoglandula submaxillaris bengkak dan apabila diraba
terasa panas dan hewan merasa sakit. Kadang-kadang
terjadi urticaria Tanda oedema dimulai pada bagian bawah
perut menyebar ke arah bagian bawah dada, alat kelamin
(busung papan) dan turun ke kaki belakang. Pada kuda
jantan diikuti pembengkakan pada testis, kadang-kadang
terjadi pembengkakan pada penis. Pada kuda bunting dapat
mengalami keguguran. Gejala klinis demikian juga dapat

4 Pedoman Pengendalian Dan Pemberantasan


Penyakit Trypanosomiasis (Surra)
ditemukan adanya keratitis. Limfoglandula submaxillaris bengkak dan apabila
diraba terasa panas dan hewan merasa sakit. Kadang-kadang terjadi urticaria
Tanda oedema dimulai pada bagian bawah perut menyebar ke arah bagian
bawah dada, alat kelamin (busung papan) dan turun ke kaki belakang. Pada
kuda jantan diikuti pembengkakan pada testis, kadang-kadang terjadi
ditampakkanpada
pembengkakan pada
penis.infeksi
Pada kuda T. Equiperdum,
olehbunting infeksi
dapat mengalami viral
keguguran.
Gejala
ataupun klinis demikian
infeksi juga dapat ditampakkan pada infeksi oleh T.
bakterial.
Equiperdum, infeksi viral ataupun infeksi bakterial.

  

 

Keterangan
Keterangan gambar:
gambar:
 dan dan lendir
.Selaput lendir
.Selaput hiperemia
hiperemia kemudian kemudian pucat,testis
pucat,  kebengkakan  kebengkakan
 gangguan
koordinasi saraf pusat yang menyebabkan kaki tidak seimbang dan  cahexia.
testis  gangguan koordinasi saraf pusat yang menyebabkan kaki
tidakwaktu
Dalam seimbang
yang dan cepat cahexia.dari 2 minggu) kuda mengalami cahexia
(kurang
dan kelemahan yang hebat kemudian roboh dan mati. Pada kasus-kasus
tertentu terlihat gejala syaraf (mubeng/berputar di tempat) sebelum roboh dan
mati. Ini terjadi karena protozoa (Trypanosoma) telah masuk ke dalam otak.
Dalam waktu yang cepat (kurang dari 2 minggu) kuda
mengalami cahexia dan kelemahan yang hebat kemudian
roboh dan mati. Pada kasus-kasus tertentu terlihat gejala
syaraf (mubeng/berputar di tempat) sebelum roboh dan mati.
Ini terjadi karena protozoa (Trypanosoma) telah masuk ke
dalam otak.

Pedoman Pengendalian Dan Pemberantasan 5


Penyakit Trypanosomiasis (Surra)
b. Pada Sapi dan Kerbau.

Setelah melewati masa inkubasi biasanya timbul gejala-


gejala umum seperti temperatur naik, lesu, letih dan nafsu
makan terganggu. Biasanya hewan dapat mengatasi keadaan
demikian meskipun dalam darahnya mengandung protozoa
tersebut bertahun-tahun.
Apabila karena sesuatu sebab hewan tersebut menjadi sakit,
gejala-gejala yang nampak adalah demam selang-seling,
anemia, kurus, oedema di bawah dagu dan anggota gerak dan
serta bulu rontok dan selaput lendir menguning. Mula-mula
cermin hidung kering kemudian keluar cairan dari hidung dan
mata. Kadang-kadang kerbau terlihat makan tanah. Apabila
trypanosoma sudah masuk dalam cairan cerebrospinal pada
otak hewan, akan menunjukkan gejala syaraf sebagai berikut:
hewan berjalan tidak tegap (sempoyongan), berputar-putar,
kejang-kejang, gerak paksa, kaku-kaku sebelum mati.

6 Pedoman Pengendalian Dan Pemberantasan


Penyakit Trypanosomiasis (Surra)
1.4.2 Uji Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium dilakukan dengan prioritas sesuai


derajat akurasi, kemampuan sumber daya manusia dan
peralatan yang tersedia di laboratorium. Uji laboratorium dapat
dilakukan dengan pemeriksaan parasit (mikroskopik), serologi,
PCR dan perubahan patologi anatomi maupun histopatologi.
Pengujian harus dilakukan secara komplementer untuk
meneguhkan hasil diagnosa secara akurat.
1. Pemeriksaan Mikroskopik (parasitologi) dilakukan
dengan teknik
histopatologi. MHCT
Pengujian (mikrohematokrit),
harus preparat ulas
dilakukan secara komplementer untuk
meneguhkan
darah tebal hasil dan
diagnosa
tipissecara
denganakurat.
SDS (sodium dodecyl sulfate)
maupun tanpa SDS (direkomendasi menggunakan SDS)
1. Pemeriksaan Mikroskopik (parasitologi) dilakukan dengan teknik MHCT
dan BCT (buffy coat technique). Pemeriksaan mikroskopik
(mikrohematokrit), preparat ulas darah tebal dan tipis dengan SDS (sodium
bertujuan menemukan
dodecyl sulfate) maupun tanpaadanya parasit dan
SDS (direkomendasi menetapkan
menggunakan SDS)
derajat
dan BCT parasitemia dalam tubuh
(buffy coat technique). ternakmikroskopik
Pemeriksaan yang terinfeksi.
bertujuan
Pada pemeriksaan
menemukan adanya parasitmikroskopik,
dan menetapkan sampel
derajat yang diambil
parasitemia dalam
tubuh ternak
adalah yang terinfeksi.
darah denganPada pemeriksaan mikroskopik,
antikoagulan. Sampel sampel yang
darah
diambil adalah darah dengan antikoagulan. Sampel darah yang dicurigai
yang dicurigai mengandung trypanosoma dapat di
mengandung trypanosoma dapat di inokulasikan pada rodensia yaitu
inokulasikan pada rodensia yaitu mencit dan tikus. Mencit
mencit dan tikus. Mencit dimonitor sampai 25 hari atau sampai muncul
dimonitor
parasitnya. sampai 25 hari atau sampai muncul parasitnya.

A B

Preparat UlasUlas
Preparat Darah Tipis
Darah TipisSurra
Surra (T. evansi)dengan
(T. evansi) dengan Pewarnaan
Pewarnaan GiemsaGiemsa
A). Ulas Darah
A). Ulas Tipis
Darah Rutin
Tipis B).Ulas
Rutin B). UlasDarah
Darah Tipis
Tipis + 1%
+ SDS SDS 1%

2. Pemeriksaan dengan uji serologi dilakukan untuk menguji adanya antibodi


spesifik terhadap T. evansi. Pemeriksaan serologis diarahkan untuk
memeriksa infeksi primer ataupun menguji paparan yang telah terjadi. Uji
Pedoman Pengendalian Dan Pemberantasan
serologis dapat dilakukan dengan ELISA, IFAT dan uji cepat imunostik
7
Penyakit Trypanosomiasis (Surra)
maupun trypanolisin. Uji serologis sangat bermanfaat untuk meneguhkan
hewan yang belum pernah terpapar atau terinfeksi trypanosoma, sehingga
2. Pemeriksaan dengan uji serologi dilakukan untuk
menguji adanya antibodi spesifik terhadap T. evansi.
Pemeriksaan serologis diarahkan untuk memeriksa infeksi
primer ataupun menguji paparan yang telah terjadi.
Uji serologis dapat dilakukan dengan ELISA, IFAT dan
uji cepat imunostik maupun trypanolisin. Uji serologis
sangat bermanfaat untuk meneguhkan hewan yang
belum pernah terpapar atau terinfeksi trypanosoma,
sehingga sangat direkomendasi untuk daerah yang
bebas trypanosomiasis.
3. Pengujian dengan uji PCR, PCR-ELISA dan LAMP dilakukan
dengan tujuan untuk penetapan spesies trypanosoma
dan komplementasi pengujian lain.

1.4.3 Diferensial diagnosa


Dengan melihat gejala klinis penderita Trypanosomiasis
(Surra), mungkin dapat dikelirukan dengan penyakit lain
yang memperlihatkan gejala klinis sama dengan penyakit
Trypanosomiasis (Surra) pada sapi dan kerbau seperti gejala
klinis oedema di bawah dagu pada penyakit ingusan (Coryza
Gangraenosa bovum). Sedangkan pada kasus Trypanosomiasis
(Surra) perakut terlihat gejala klinis menyerupai penyakit
Antraks. Pada kuda bisa dikelirukan dengan infestasi larva
cacing Strongylus vulgaris.

1.4.4 Pengobatan
Pengobatan terhadap hewan yang terinfeksi T. evansi bertujuan
untuk mengeliminasi protozoa secepat mungkin dari tubuh
hewan. Pengobatan pada hewan harus memperhatikan efikasi
obat, efek toksik obat terhadap spesies hewan yang terinfeksi
dan ketersediaan obat dalam suatu wilayah / daerah serta

8 Pedoman Pengendalian Dan Pemberantasan


Penyakit Trypanosomiasis (Surra)
(jika memungkinkan) hasil uji efikasi obat secara laboratoris
terhadap galur yang ada disuatu daerah. Variasi spesies dan
galur dari trypanosoma juga berpengaruh pada pengambilan
keputusan untuk menetapkan obat yang akan diaplikasikan.
Variasi galur dan jenis obat juga terkait dengan resistensi.
Beberapa obat dilaporkan resisten pada galur T. evansi tertentu
namun efektif pada galur lainnya. Apabila galur tertentu
resisten terhadap suatu obat, maka pemberian obat tersebut
tidak akan menghilangkan protozoa dari darah (tetap akan
parasitemia). Sebaliknya, apabila obat tersebut efektif pada
suatu galur trypanosoma, maka parasit tersebut akan hilang
dari sirkulasi darah (tereliminasi) sempurna dan sembuh.
Namun terdapat beberapa obat yang dilaporkan mampu
mengeliminasi protozoa dari sistem sirkulasi (darah), tetapi
kemudian muncul kembali dalam peredaran darah (relapse)
setelah beberapa minggu. Fenomena relapse pada hewan
tidak terjadi karena reinfeksi.
Terdapat beberapa obat yang saat ini tersedia untuk
trypanosomiasis pada hewan yaitu suramin, melarsomine
dihydrochloride, diminazene diaceturate, quinapyramin sulfate,
isometamidium dan homidium. Beberapa obat memiliki efek
toksik yang cukup serius pada beberapa spesies sehingga
harus diaplikasikan dengan hati-hati. Umumnya untuk
pengobatan T.evansi direkomendasikan menggunakan
suramin, melarsomine dihydrochloride, diminazene diaceturate
atau quinapyramin. Adapun untuk profilaksis terhadap infeksi
T. evansi dapat digunakan Isometamidium dan Homidium.
1. Suramin di introduksi sejak tahun 1916 dengan nama
produk Naganol. Obat ini tidak lagi tersedia di pasaran
tetapi bahan aktifnya (Suramin) tetap diperdagangkan.
Suramin merupakan drug of choice untuk T. evansi dan T.
brucei. Dosis obat yang diaplikasikan adalah 5 – 80 mg/
kg BB (IV). Pada kuda umumnya menyebabkan intoksikasi

Pedoman Pengendalian Dan Pemberantasan 9


Penyakit Trypanosomiasis (Surra)
dan syok anafilaktik, dan terdapat laporan bahwa respon
pengobatannya tidak baik dan terjadi relapse. Sebaliknya
pada sapi dan kerbau responnya sangat baik.
2. Melarsomine dehydrochloride (Cymelarsan, Immiticide dll)
diintroduksikan pada tahun 1940 dan merupakan drug of
choice untuk T. brucei, T. evansi dan T. equiperdum. Dosis
aplikasinya adalah 0,25 – 0,5 mg/kg (IM) pada sapi, kuda
dan onta serta dilaporkan tidak terjadi relapse pada dosis
0,5 mg/kg BB. Walaupun dapat ditoleransi dengan baik
pada sapi, onta dan kuda tetapi harus hati-hati apabila
diberikan pada anjing. Dosis yang direkomendasi untuk
T. equiperdum adalah 1 – 2 mg/kg BB. Melarsomine
diabsorbsi dengan cepat pada rute intramuskular (IM) dan
dilaporkan dapat menembus sawar otak, serta dieliminasi
dari sistem sirkulasi tubuh dalam waktu 6 jam.
3. Diminazene diaceturate (Berenil, Tryponil dll)
diintroduksikan pada tahun 1944 untuk T. brucei, T. evansi
dan T. vivax. Dosis untuk diminazene adalah 3,5 – 7 mg/
kg BB (IM/SC) kecuali pada kuda hanya IM. Dosis 3,5 mg/
kg BB direkomendasikan untuk T. vivax dan T. congolense.
Pada T. evansi dan T. brucei dosis yang direkomendasi
adalah 7 mg/kg BB. Pada kuda, onta dan anjing dilaporkan
terjadi intoksikasi (nervous sign) mulai dosis 3,5 mg/kg
sementara dosis ini tidak efektif untuk T. evansi. Pada
mencit, sapi dan onta dilaporkan terjadi relapse pada
dosis tunggal dan dapat mengeliminasi protozoa pada
pengulangan. Apabila dikhawatirkan terjadi intoksikasi,
maka pemberian harus diberikan dengan dosis terbagi.
4. Quinapyramine dipergunakan pertama kali sekitar tahun
1950 dan dipertahankan sampai tahun 1970. Pada tahun
1976 ditarik dari pasaran karena mulai banyak yang
resisten dan di introduksi kembali ke pasaran tahun 1984.

10 Pedoman Pengendalian Dan Pemberantasan


Penyakit Trypanosomiasis (Surra)
Pada umumnya dosis yang digunakan adalah 3 – 5 mg/kg
BB (SC/IM). Dosis tersebut dilaporkan menyebabkan efek
samping berupa hipersalivasi, tremor, berguling-guling
di tanah dan gangguan saraf sensorik. Hewan yang sakit
harus diistirahatkan sebelum dan sesudah pengobatan.
Pemberian obat sebaiknya dilakukan dengan dosis
terbagi menjadi dua kali pemberian dengan interval 4 –
6 jam. Diketahui banyak galur yang resisten dan terjadi
relapse pada aplikasi dengan obat ini.
5. Isometamidium (Trypamidium) dipergunakan pertama
kali sekitar tahun 1950 an. Efektif untuk T. congolense dan
T. vivax tetapi kurang efektif untuk T. brucei dan evansi.
Dosis yang direkomendasikan adalah 0,25 – 1 mg/kg BB
(IM/IV). Pada umumnya mengiritasi dan pada dosis >2
mg/kg sangat toksik. Namun demikian beberapa laporan
menyebutkan bahwa respon yang baik untuk T. brucei dan
T.evansi oleh pemberian obat ini pada mencit. Tampaknya
terdapat galur-galur tertentu yang peka terhadap
isometamidium. Daya profilaksisnya dapat mencapai 3-4
bulan.

1.5 Epidemiologi

1.5.1 Masa inkubasi


Periode antara awal infeksi sampai menimbulkan gejala klinis
sangat berbeda, namun rata rata berkisar 5 - 60 hari, kadang
sampai jangka waktu 3 bulan.

1.5.2 Daya hidup agen


1. Kondisi umum dan lingkungan
T.evansi adalah protozoa yang tidak tahan hidup di
lingkungan luar atau setelah kematian pejamu/hospes.

Pedoman Pengendalian Dan Pemberantasan 11


Penyakit Trypanosomiasis (Surra)
Trypanosoma dapat bertahan dalam waktu yang singkat
pada peralatan yang terkontaminasi darah segar dan
tidak bertahan hidup pada darah yang mengering.
Trypanosoma bila terkena sinar matahari selama 30 menit
akan mati.

2. Semen and embrio


T. equiperdum dapat ditemukan di semen kuda dan
pernah dilaporkan pula bahwa T evansi dapat ditransmisi
secara langsung melalui coitus. T.evansi dapat disimpan
di laboratorium dan dapat bertahan pada semen beku.

3. Produk hewan
Pada daging, T.evansi tampaknya tidak bertahan hidup di
dalam daging yang terinfeksi lebih dari 8 jam pada suhu
ruang. Pada daging yang dibekukan (chilled meat) T.evansi
tidak akan bertahan lebih dari 48 jam.

4. Vektor
T.evansi tidak dapat bertahan hidup lama pada probosis
lalat penghisap darah yaitu sekitar 6 sampai 8 jam.

1.5.3 Cara penularan


Penularan T.evansi (penyebab penyakit surra) melalui vektor
lalat pengisap darah yang termasuk golongan Tabanidae. Cara
penularannya secara mekanik, dimana trypanosoma tidak
mengalami pembelahan diri dalam tubuh lalat tersebut. Di
samping lalat Tabanus ternyata lalat penghisap darah yang

12 Pedoman Pengendalian Dan Pemberantasan


Penyakit Trypanosomiasis (Surra)
lain juga mampu menularkan penyakit surra, antara lain
Hippobosca, Chrysops, Stomoxys, Heamatopota, Lyperosia,
Haematobia. Arthropoda lain seperti Anopheles, Musca, pinjal,
kutu dan caplak dapat pula bertindak sebagai vektor.

T. equiperdum (penyebab dourine pada kuda) ditularkan


melalui koitus (sexually transmitted), sedangkan T. vivax
(penyebab nagana pada sapi) ditularkan melalui vektor.
Vektor untuk T. vivax adalah Tse-tse dan Stomoxys. T. vivax
mengalami pembelahan diri pada vektor maupun hospes,
sehingga protozoa tersebut memiliki kemampuan berbiak
yang lebih besar dibanding T. evansi. Pada trypanosomiasis,
hewan-hewan yang mengandung parasit tanpa menunjukkan
gejala sakit (reservoir) merupakan sumber penyakit dan harus
diperlakukan sama dengan hewan yang menunjukkan gejala
klinis pada daerah tersebut.

1.5.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi penularan


Beberapa faktor dilaporkan dapat mempengaruhi
kecepatan penularan trypanosomiasis. Beberapa faktor akan
memperlambat (menghambat) penyebaran penyakit, sedang
beberapa lainnya akan dapat mempercepat penyebaran
penyakit. Beberapa faktor tersebut diantaranya adalah
musim ataupun cuaca yang akan mempengaruhi populasi

Pedoman Pengendalian Dan Pemberantasan 13


Penyakit Trypanosomiasis (Surra)
dan aktivitas vektor. Di Indonesia, data yang mengungkap
hal tersebut baik secara nasional maupun regional belum
diketahui.

Faktor lainnya adalah kecepatan angin, kelembaban, pola


pemeliharaan (padang gembalaan dengan pola ekstensif vs
dikandangkan dengan pola semi intensif ataupun intensif )
serta komposisi vektor di berbagai wilayah. Pengaruh faktor-
faktor tersebut pada peningkatan atau hambatan kasus
surra belum diketahui dengan pasti di Indonesia. Walaupun
Tabanids dapat terbang dan terbawa bersama angin sehingga
mampu menimbulkan terjadinya penularan ataupun infeksi
pada pejamu/hospes, dilaporkan bahwa jarak yang dapat
ditempuh oleh lalat ini kurang dari satu kilometer. Oleh karena
itu setiap dokter hewan ataupun paramedis yang terlibat
dalam pengendalian dan pemberantasan trypanosomiasis
maupun penyakit surra hendaknya memperhatikan faktor-
faktor tersebut di wilayahnya masing-masing.

1.5.5 Cara dan Resiko Penularan Antar Daerah


Resiko penularan antar daerah di Indonesia cukup tinggi, hal
ini disebabkan karena lemahnya pengawasan lalu lintas ternak
antar daerah. Vektor Trypanosoma seperti Lalat Tabanid dan
Stomoxys ikut terbawa oleh ternak ketika dalam perjalanan
baik lewat darat maupun laut. Ternak dari daerah terular dapat
masuk ke daerah bebas disebabkan karena kurangnya pos
pemeriksaan ternak antar daerah.

14 Pedoman Pengendalian Dan Pemberantasan


Penyakit Trypanosomiasis (Surra)
II. KEBIJAKAN PENGENDALIAN DAN PEMBERANTASAN
2.1 Pendahuluan
Kebijakan Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Surra
didasarkan pada prinsip-prinsip umum dalam pengendalian
dan pemberantasan yang disesuaikan dengan kondisi di
Indonesia. Beberapa prinsip yang dapat menjadi pertimbangan
dalam pengendalian dan pemberantasan Trypanosomiasis
(Surra) adalah :
 Pengamanan dan isolasi kasus dan hewan terpapar;
 Pengawasan lalu lintas dan status daerah;
 Surveilan pada hewan liar dan domestik;
 Pengujian hewan sebelum keluar dari daerah tertular;
 Penanganan/pengobatan hewan;
 Pengendalian vektor;
 Depopulasi selektif; dan
 Pemotongan hewan liar atau hewan yang tidak dapat
dikendalikan

2.2.
Kebijakan Pengendalian dan Pemberantasan
Trypanosomiasis
Kebijakan umum pengendalian dan pemberantasan penyakit
trypanosomiasis adalah tindakan untuk mengeliminasi atau
mereduksi kasus secepat mungkin dengan cara stamping out
(depopulasi) ataupun tindakan pemberantasan lain yang tepat
dan sesuai serta operasional dilapangan maupun dengan
pengobatan yang efektif dan efisien. Tindakan pengendalian
dan pemberantasan dilakukan dengan mempertimbangkan
kondisi berikut :

Pedoman Pengendalian Dan Pemberantasan 15


Penyakit Trypanosomiasis (Surra)
a. Jumlah populasi hewan yang beresiko dan terinfeksi
b. Tingkat feasibilitas pengendalian spesies hewan di daerah
terinfeksi (kasus).
c. Lokasi dan geografi daerah kasus.
d. Resiko ekonomi dan tingkat keresahan masyarakan
(sosiokultural) di daerah kasus.

2.2.1. Pengamanan dan pengawasan lalulintas

Pengawasan lalu lintas ternak di Sumba terkait wabah surra Tahun 2010

Pada prinsipnya, surra tidak disebarkan melalui kontak


langsung dari hewan rentan, meskipun demikian, pengamanan
dan pengawasan lalulintas yang ketat harus dilakukan pada
saat diketahui suatu daerah tertular penyakit surra. Apabila
pengobatan dilakukan sebelum hewan dikirim, pengendalian

16 Pedoman Pengendalian Dan Pemberantasan


Penyakit Trypanosomiasis (Surra)
terhadap hewan lebih mudah dilakukan. Pengiriman hewan
juga harus segera dilakukan sesuai dengan sifat obat yang
digunakan. Adapun pengeluaran semen dan embrio dari
daerah tertular tidak diperbolehkan. Beberapa trypanosoma
bahkan dapat ditularkan secara langsung dengan kontak
seksual, misalnya adalah T.equiperdum.

Oleh sebab itu, kebijakan yang ditetapkan terhadap tindakan


pencegahan dan pengawasan lalulintas ternak dibagi menjadi
dua kondisi :

a. Daerah bebas
Setiap ternak yang masuk ke daerah bebas harus dilakukan
uji cepat, seperti MHCT, ulas darah dan pemeriksaan
natif dengan pemberian SDS (tatacara pengujian lihat
lampiran teknis).
i. Apabila hewan yang akan dimasukkan (diintroduksi
ataupun diimpor) dinyatakan positif terinfeksi,
maka ternak tersebut harus dimusnahkan atau
dikembalikan ke daerah asal setelah mendapat
pengobatan dan penyemprotan dengan insektisida.
ii. Apabila hewan yang akan dimasukkan (diintroduksi
ataupun diimpor) dinyatakan negatif, maka dapat
dilakukan dua hal.
a) ternak wajib diisolasi / dikandangkan selama
2-3 bulan untuk diamati lebih lanjut, sebelum
dilepas bebas.
b) Selama periode isolasi dilaksanakan
pemeriksaan darah rutin dan berkala dengan
interval waktu 2-3 minggu dimulai sejak uji
cepat pertama kali dilakukan.

Pedoman Pengendalian Dan Pemberantasan 17


Penyakit Trypanosomiasis (Surra)
c) Apabila selama pemeriksaan dinyatakan
negatif maka hewan dapat dilepas, namun
apabila dinyatakan positif terinfeksi, maka
dilakukan pemotongan atau dikeluarkan dari
daerah bebas dan diobati.

b. Daerah tertular
i. Ternak-ternak maupun hewan rentan dari daerah
tertular ataupun wabah dilarang keluar dari daerah
tersebut.
ii. Apabila kasus surra di daerah tertular telah
terkendali (tidak ada kasus selama 3 bulan atau
lebih), maka ternak rentan dapat dikeluarkan setelah
pemeriksaan uji cepat, memperoleh pengobatan
pencegahan dan penyemprotan vektor.
iii. Apabila pengiriman dilakukan pada sesama daerah
tertular (terutama daerah endemis) maka harus
dilihat tujuannya pengiriman hewan tersebut.
a) Apabila akan digunakan sebagai ternak potong,
maka dapat dilakukan pengiriman dengan
ketentuan :
 Hewan sebaiknya dinyatakan negatif
pada uji cepat dengan ulas darah tipis
menggunakan SDS.
 Pengiriman dilakukan pada malam hari
dan ditampung pada kandang yang
terlindung dari vektor.
 Pemotongan dilakukan pada malam hari
dimana vektor tidak aktif.
b) Apabila akan digunakan sebagai ternak bibit
atau bakalan, maka dapat dilakukan pengiriman
dengan ketentuan :

18 Pedoman Pengendalian Dan Pemberantasan


Penyakit Trypanosomiasis (Surra)
 Hewan harus dinyatakan negatif pada uji
cepat dengan pemeriksaan MHCT.
 Sebelum dikirim, hewan harus diberi
pengobatan untuk tujuan pencegahan
(profilaksis).
 Pengiriman dilakukan pada malam hari
dan ditampung pada kandang yang
terlindung dari vektor.

2.2.2. Penanganan hewan terinfeksi

Penanganan hewan yang dinyatakan positif terinfeksi


trypanosoma (khususnya T. evansi) pada dasarnya hanya ada
dua pilihan, yaitu pengobatan dan potong paksa / pemusnahan
(stamping out). Disisi lain daerah asal atau tujuan pengiriman
hewan juga dikategorikan dua, yaitu daerah bebas dan daerah
tertular (termasuk dalam hal ini adalah daerah wabah dan
endemik). Oleh karena itu penanganan hewan terinfeksi akan
ditinjau berdasarkan status daerahnya. Penanganan hewan
yang menderita Surra dapat dibedakan menjadi dua, yaitu

a. Daerah bebas
Pemotongan paksa / Pemusnahan (stamping out)
ternak yang menderita Surra di daerah bebas ditujukan
untuk menghilangkan agen penyakit. Jika dilakukan
pengobatan dapat digunakan drug of choice dengan
bahan aktif suramin, melarsomin dehydrochloride atau
diminazen diaceturat. Pengobatan menggunakan
diminazene diaceturate harus diulangi kembali setelah 3
minggu atau saat terjadi relapse.

Pedoman Pengendalian Dan Pemberantasan 19


Penyakit Trypanosomiasis (Surra)
Setelah pengobatan, hewan harus diperiksa secara rutin
setiap 2 – 3 minggu sekali selama 3 bulan. Pemeriksaan
harus dilakukan dengan MHCT, MI dan sedian ulas darah
tipis dengan SDS. Apabila hewan ternyata positif (tetap
dinyatakan positif ) maka pemotongan paksa harus
dilakukan.

b. Daerah tertular
• Potong paksa / Pemusnahan (stamping out) ternak
yang menderita Surra di daerah tertular dilakukan
apabila prognosa ternak dinyatakan infausta.
• Ternak terinfeksi yang akan diobati harus diisolasi /
dikandangkan. Pilihan obat yang dapat digunakan
adalah obat berbahan aktif suramin, melarsomin
dehydrochloride atau diminazen diaceturat
sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.

2.2.3. Penanganan produk hewan dan sisa produk hewan


Pada dasarnya Trypanosoma tidak akan bertahan pada susu
pasturisasi dan daging beku. Pada suhu ruang, parasit tidak
dapat bertahan hidup selama lebih dari 24 jam setelah kematian
hewan, tapi dapat bertahan beberapa hari pada daging dalam
kulkas. Karnivora dapat terinfeksi setelah memakan hewan
yang mengalami parasitemia, tapi dengan pemasakan secara
sempurna akan mematikan agen.
Oleh karena itu, ternak yang terinfeksi masih dapat dikonsumsi
dengan persyaratan :
1. Pemotongan harus dilakukan pada malam hari untuk
menghindari vektor lalat.
2. Sebelum didistribusikan, daging harus dilayukan dalam
waktu 3 – 24 jam atau dimasak secara sempurna.

20 Pedoman Pengendalian Dan Pemberantasan


Penyakit Trypanosomiasis (Surra)
3. Daging harus dimasak secara sempurna sebelum
dikonsumsi.
4. Setiap ternak yang mati karena surra harus dikubur dan
tidak boleh diberikan sebagai pakan hewan karnivora,
seperti anjing.
5. Susu ternak yang terinfeksi tidak boleh dikonsumsi,
kecuali atas rekomendasi dan petunjuk dokter hewan

2.2.4 Surveilan dan penyidikan


Kegiatan surveilan ditujukan untuk memperoleh data, sebagai
berikut :
a. agen penyakit hewan, vektor, reservoir penyakit
b. pejamu/hospes berupa identitas hewan dan data klinis
c. faktor lingkungan yang mendukung munculnya penyakit
hewan
d. dampak penyakit hewan terhadap kesehatan hewan,
manusia dan lingkungan

Hewan-hewan yang berada di daerah tertular dan sekitarnya


harus diamati setiap 2 – 3 minggu untuk melihat ada tidaknya
gejala klinis dan pengujian laboratorium (parasitologis dan
serologis) selama 2 – 3 bulan.
Surveilan pada vektor dapat dilakukan dengan pemeriksaan
MHCT, serologis (ELISA), sediaan ulas darah tipis maupun PCR
untuk mengetahui status paparan dan keberadaan T.evansi di
dalam tubuh vektor. Pemasangan perangkap dilakukan untuk
mengidentifikasi pola aktivitas vektor dan puncak populasi
vektor dalam suatu daerah.

Pedoman Pengendalian Dan Pemberantasan 21


Penyakit Trypanosomiasis (Surra)
Kegiatan penyidikan dilakukan dengan beberapa
pertimbangan sebagai berikut :
a. apabila dari hasil surveillan terdapat kecurigaan adanya
kecenderungan peningkatan dan atau penyebaran kasus
surra disuatu wilayah;
b. apabila ada laporan dugaan adanya wabah disuatu
wilayah

2.2.5. Pengendalian vektor


Secara umum, pengendalian vektor dapat dilakukan dengan
cara penyemprotan menggunakan insektisida, pemasangan
perangkap, pengasapan dan menjaga kebersihan lingkungan
kandang. Pengendalian vektor lalat Tabanid (Tabanus
species) ditujukan pada lalat dewasa dengan cara melakukan
penyemprotan di dinding kandang, semak-semak dan
pepohonan, sedangkan untuk lalat Muscid (Stomoxys
calcitrans, Hipobosca sp dan lain-lain) ditujukan terutama pada
telur dan larva dengan cara penyemprotan feses ternak, selain
penyemprotan lalat dewasa.
Pengasapan menggunakan insektisida sampai radius 1 km
dari rawa atau daerah tempat berkumpulnya hewan, semak-
semak dan hutan. Penyemprotan menggunakan pyrethroids
ditujukan untuk mengurangi frekuensi kontak vektor dengan
hewan rentan. Pemasangan perangkap seperti Manitoba
atau Canopy trap untuk mengurangi populasi lalat dewasa.
Adapun pengendalian lalat kandang dapat dilakukan dengan
memindahkan semua kotoran ternak dari kandang dan
membawa ternak merumput setiap beberapa hari. Kotoran
ternak sebaiknya dijemur dibawah sinar matahari untuk
membunuh telur lalat.

22 Pedoman Pengendalian Dan Pemberantasan


Penyakit Trypanosomiasis (Surra)
seperti Manitoba atau Canopy trap untuk mengurangi popu
dewasa. Adapun pengendalian lalat kandang dapat dilakukan
memindahkan semua kotoran ternak dari kandang dan memba
merumput setiap beberapa hari. Kotoran ternak sebaiknya
dibawah sinar matahari untuk membunuh telur lalat.

Gambar Bentuk Canopy Trap untuk perangkap Vektor Lalat

2.2.6. Pemusnahan
Pemusnahan ternak tidak disarankan di daerah wabah,
kecuali dengan prognosa dinyatakan infausta. Ternak yang
dimusnahkan harus dikubur. Pada daerah bebas, setiap
ternak yang terinfeksi (kasus individual) disarankan untuk
dimusnahkan dan dikubur. Acuan pemilihan kebijakan potong
paksa atau pemusnahan hendaknya mengacu pada penjelasan
sebagaimana disampaikan pada poin 2.2.1 dan 2.2.2.

Pedoman Pengendalian Dan Pemberantasan 23


Penyakit Trypanosomiasis (Surra)
2.2.7. Dekontaminasi dan disposal
T. evansi tidak dapat bertahan pada lingkungan di luar pejamu/
hospes lebih dari 24 jam, sehingga kewaspadaan harus selalu
dilakukan ketika akan membuang karkas atau susu dari hewan
terinfeksi atau terduga. Sebelum dimasak, daging dari hewan
terinfeksi atau terduga dilarang diberikan pada hewan-hewan
pemakan daging.
Limbah dan peralatan yang digunakan untuk pemotongan
ternak harus dicuci dan dibersihkan, termasuk semua alat,
bahan dan ruangan yang tercemar percikan darah. Setiap
ternak yang dimusnahkan harus dikubur.

Tabel 1. Metode dekontaminasi pada beberapa alat/bahan

Jenis alat/bahan Metode dekontaminasi


Darah Kubur, dibilas dengan air,
disinfeksi dan pemanasan
Hypodermic needle disinfeksi, pemanasan
Karkas pemanasan, penguburan
Kendaraan pencucian, disinfeksi
Pakaian pencucian, disinfeksi

2.2.8. Pengendalian hewan liar/reservoir


Pengendalian penyakit surra pada hewan liar / reservoir di
daerah terlutar dan sekitarnya dilakukan sama seperti tindakan
pengendalian pada ternak.

24 Pedoman Pengendalian Dan Pemberantasan


Penyakit Trypanosomiasis (Surra)
2.2.9. Diseminasi Informasi dan Edukasi Masyarakat

Pemanfaatan media cetak dan elektronik ditujukan untuk


menyebarkan secara luas informasi tentang ancaman penyakit
surra yang menyerang ternak dan hewan lainnya serta
kebijakan-kebijakan maupun pola pengendalian yang telah
diputuskan.
Sosialisasi penyakit surra juga dapat dilakukan dengan
memanfaatkan forum-forum pertemuan/tatap muka antara
masyarakat dan pemangku kepentingan.
Kelompok target untuk meningkatkan kampanye
pengendalian surra adalah sebagai berikut:
• Pemilik dan perawat kuda dan asosiasinya;
• Peternak;
• Pemilik seluruh hewan (burung dan reptile) dan
asosiasinya;
• Polisi hutan;
• Penduduk sekitar daerah terinfeksi;
• Dokter hewan;
• Masyarakat umum;

Pedoman Pengendalian Dan Pemberantasan 25


Penyakit Trypanosomiasis (Surra)
26 Pedoman Pengendalian Dan Pemberantasan
Penyakit Trypanosomiasis (Surra)

Anda mungkin juga menyukai