Anda di halaman 1dari 34

ALTERNATIF PENGOBATAN PENYAKIT

TRYPANOSOMIASIS (SURRA)

BADAN KARANTINA PERTANIAN


BALAI UJI TERAP TEKNIK DAN METODE KARANTINA PERTANIAN
2022
ABSTRAK

Surra atau Trypanosomiasis merupakan salah satu Penyakit Hewan Menular


(PHM) yang dapat menyerang kuda, sapi, kerbau, kambing serta satwa liar.
Beberapa obat yang umum digunakan untuk mengobati kasus
Trypanosomiasis dilaporkan sudah tidak efektif, sehingga diperlukan adanya
studi lebih lanjut untuk menentukan obat lainya yang efektif terhadap
pengobatan kasus Trypanosomiasis. Berdasarkan Studi Literatur terdapat
beberapa trypanosidal yang dapat digunakan selain golongan diminazene
aceturate (turunan diamidine), antara lain : Isometamidium, Quinapyramine,
dan Melarsomine. Penggunaan dosis diminazene aceturate untuk T. brucei,
T. congolense, dan T. vivax yaitu dengan dosis 3.5-7 mg/kg secara
intramuskular, sedangkan untuk untuk T. evansi menggunakan dosis 7 mg/kg
secara intramuscular.

Kata kunci : Trypanosomiasis, Obat, diminazene aceturate

2
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.......................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR...........................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................2
C. Tujuan......................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................3
A. Etiologi.....................................................................................................3
B. Epidemiologi............................................................................................5
C. Gejala Klinis............................................................................................6
D. Siklus Hidup dan Patogenesis................................................................7
E. Diagnosis.................................................................................................9
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN...............................................................13
A. Identifikasi Variabel...............................................................................13
B. Alternatif dan Solusi..............................................................................13
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN...................................................................23
A. Simpulan...............................................................................................23
B. Saran.....................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................24

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Peta Penyebaran Penyakit Surra di Dunia.....................................5


Gambar 2. Vektor penyakit surra......................................................................6
Gambar 3. Tryponil (Diminazen dan Phenazone) sebagai obat terapi untuk
infeksi Trypanosoma.......................................................................................14

iv
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Surra atau Trypanosomiasis merupakan salah satu Penyakit
Hewan Menular (PHM) yang dapat menyerang kuda, sapi, kerbau,
kambing serta satwa liar. Penyakit ini disebabkan oleh Trypanosoma
evansi (T.evansi) dan ditularkan melalui vektor insekta seperti lalat,
nyamuk dan pinjal. Di Indonesia Surra tersebar hampir seluruh wilayah
kecuali sebagian papua dan Maluku, dimana ditempat ini tidak pernah
dilaporkan adanya kasus surra (Nurcahyo, 2017).
Manifestasi klinis penyakit Surra pada hewan bervariasi dimana
infeksi bisa berlangsung akut, subklinis dan kronis. Kasus ini dapat
menimbulkan dampak ekonomi yang cukup besar. Kerugian ekonomi
secara langsung terutama akibat kematian ternak dan biaya yang
dikeluarkan untuk pengobatan. Kerugian secara tidak langsung akibat
infeksi subklinis atau kronis dan kondisi penurunan imunitas
(imunosupresi) akibat penyakit Surra serta penurunan produksi daging
dan susu. Di Indonesia kerugian ekonomi akibat penyakit ini di duga dapat
mencapai US$ 22,4 juta per tahun (Nurcahyo, 2017).
Angka tersebut bisa menjadi lebih besar karena jumlah kasus
penyakit Surra yang dilaporkan biasanya hanya merupakan angka
kematian, sedangkan kejadian infeksi subklinis atau kronis biasanya tidak
dilaporkan. Di Indonesia, keguguran (abortus), gangguan siklus berahi
pada induk betina (anestrus), penurunan bobot badan dan kematian
ternak. Menurut Wardhana dan Sawitri (2018), selain menyebabkan
dampak ekonomi yang cukup besar penyakit surra juga memiliki potensi
sebagai penyakit zoonosa yang dapat menginfeksi manusia.
Kuda, sapi dan kerbau merupakan salah satu komoditi yang
memiliki peranan dalam perdagangan. Kegiatan perdagangan ini akan
terkait erat dengan adanya lalulintas antar area. Di Sulawesi Selatan,

1
lalulintas keluar masuknya hewan seperti kuda, sapi dan kerbau cukup
tinggi. Lalulintas hewan yang cukup tinggi ini tentu berpotensi sebagai
media penyebaran penyakit surra. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan
adanya pengobatan pada hewan yang akan dilalulintas bila terdeteksi
terinfeksi surra.
Pengobatan penyakit surra umumnya dilakukan dengan pemberian
obat Triponil© (diminazene aceturate). Pemberian obat ini dilaporkan
sudah tidak efektif. Hal ini senada dengan laporan yang disampaikan oleh
Subekti et al. (2015) bahwa penggunaan diminazene aceturate sebagai
pengobatan surra menunjukkan hasil yang tidak maksimal dimana masih
ada banyak hewan yang dapat kambuh kembali setelah pengobatan
menggunakan obat ini. Kondisi ini dapat disebabkan adanya resistensi
dari T. evansi terhadap diminazene aceturate.
Kondisi ini menunjukkan bahwa diperlukan jenis obat lainya untuk
pengobatan terhadap surra. Ada beberapa obat yang dapat digunakan
dalam pengobatan surra antara lain suramin dan melarsomine
dihydrochloride yang dilaporkan trypanosidal yang paling efektif (Subekti
et al. 2015). Terkait hal diatas sangat penting untuk dilakukan pengkajian
untuk melihat pengobatan yang paling tepat terhadap pengobatan kasus
surra pada hewan yang akan dilalulintaskan.

B. Tujuan
1. Mengetahui obat yang paling tepat untuk pengobatan penyakit
surra.
2. Mengatahui penggunaan dosis yang tepat pada perlakukan
pengobatan penyakit surra.

2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Etiologi
Trypanosoma evansi yang dikenal sebagai surra merupakan
penyakit yang mempengaruhi sejumlah spesies hewan peliharaan di Asia,
Afrika dan Amerika Tengah dan Selatan. Spesies inang utama yang
terkena bervariasi secara geografis, tetapi kerbau, sapi, unta dan kuda
sangat terpengaruh, meskipun hewan lain, termasuk satwa liar, juga
rentan. T. evansi adalah penyakit yang ditularkan melalui arthropoda.
Beberapa spesies lalat hematofag, termasuk Tabanus spp. dan Musca
spp., terlibat dalam mentransfer infeksi dari inang ke inang vektor
mekanis. Di Brasil, kelelawar terlibat dalam penularan. (OIE, 2008).
Di Oceania T. evansi diamati seropositif pada hewan sapi, babi
dan walabi di Irian Jaya, daerah perbatasan Papua Nugini dengan
Indonesia Barat tetapi tidak dikonfirmasi oleh tes parasitologis atau
molekuler. Namun demikian, peran potensial Rusa rusa timorensis untuk
menyebarkan T. evansi ke Papua Nugini harus dipertimbangkan. Di
pemukiman Eropa, ditemukan lima Trypanosomes eksotis (T. lewisi, T.
melophagium, T. theileri, T. nabiasi dan T. evansi) telah diidentifikasi di
Australia dari berbagai mamalia yang diperkenalkan (Aregawi, 2019).
Klasifikasi dari Trypanosomiasis menurut Daris (2015), sebagai berikut :
Sub Kingdom : Protozoa
Filum : Sarcomastigophora
Sub Filum : Mastigophora
Kelas : Zoomastigophorasida
Ordo : Kinetoplastorida
Famili : Trypanosomadidae
Genus : Trypanosomatidae
Sub Genus : Trypanozoon
Spesies : Trypanosoma evansi

3
T. evansi memiliki morfologi yang mirip dengan trypanosoma
lainnya seperti T. equiperdum, T. brucei, T. gambiense dan T.
rhodesiense. Permukaan tubuh T. evansi diselubungi oleh lapisan protein
tunggal yaitu glikoprotein yang dapat berubahubah bentuk (variable
surface glycoprotein). Dengan kemampuan glikoprotein yang dapat
berubah bentuk, maka T. evansi dapat memperdaya sistem kekebalan
tubuh inang (host). Konsekuensinya akan terjadi variasi antigenik
(antigenic variation) dimana tubuh akan selalu berusaha membentuk
antibodi yang berbeda-beda sesuai dengan protein permukaan yang
ditampilkan oleh T. evansi (Daris, 2015)
Ketika diamati dalam sampel darah segar, T.evansi menyajikan
karakteristik parasit Trypanozoon ramping: ukuran kecil, dibandingkan
dengan T. theileri, tetapi besar dibandingkan dengan T. congolense,
ekstremitas posterior tipis, flagel bebas, gerakan aktif tetapi menghasilkan
perpindahan terbatas di bidang mikroskop, dan membran bergelombang
yang sangat terlihat yang “memerangkap” cahaya (cahaya mungkin
tampak ditangkap di satu ujung parasit dan dipindahkan ke ujung yang
lain untuk dilepaskan). Ketika diamati pada apusan tipis Giemsa, T.evansi
selalu digambarkan sebagai parasit trypomastigote tipis monomorfik.
Dibandingkan dengan T. brucei, T.evansi terlihat lebih ramping (flagel
bebas panjang dan ekstremitas posterior tipis dengan subterminal
kinetoplast kecil) dan beberapa bentuk menengah (flagel bebas lebih
pendek dan ekstremitas posterior dengan terminal kinetoplast) ada
beberapa laporan lain yang menyimpulkan bahwa polimorfisme T. evansi
adalah fitur yang tidak konsisten muncul secara sporadis. Panjang rata-
rata parasit adalah 24 ± 4𝜇m (min 15𝜇m, maks 33𝜇m), tanpa hubungan
yang berkelanjutan antara geografis, inang, atau asal galur oreven.
Pengamatan terakhir menyimpulkan bahwa ukuran dan bentuk darah T.
evansi tidak berhubungan dengan karakteristik genetik, tetapi lebih atau

4
kurang dengan kondisi pertumbuhan parasit dan respon imun inang
(Desquesnes et al. 2013).
T. evansi hidup dan bergerak dalam plasma darah atau cairan
jaringan induk semang. Mereka memanjang, ramping dan meruncing
dikedua ujungnya. Para pellicle lapisan luar dari sitoplasma cukup
fleksibel untuk memungkinkan tingkat gerakan tubuh. Permukaan tubuh
T. evansi diselubungi oleh lapisan protein tunggal yaitu glikoprotein yang
dapat berubah-ubah bentuk (variable surface glycoprotein). (Daris, 2015).

B. Epidemiologi
Surra merupakan penyakit yang menyerang mamalia, bersifat akut
dan kronis yang umunya fatal jika tidak diobati. Penyakit surra Pertama
kali ditemukan oleh Griffith Evans tahun 1880 pada darah kuda India dan
unta. Awalnya penyakit ini ditemukan pada unta tetapi perkembanganya
merabah ke hospes lainnya seperti kuda, anjing dan mamalia lainnya
(Marc Desquesnes et al. 2013).  Penyakit surra ini bersifat zoonosis
(Powar et al. 2013)
Penyebaran awal T. evansi dari arah timur, analisis data historis
menunjukkan bahwa surra sudah hadir di India sejak zaman dahulu,
setidaknya VIII abad SM, dan ternak harus menderita dalam ketiadaan
pengobatan. Penyakit surra hadir di iklim sub-Sahara dan Mediterania
tetapi dapat ditemukan di daerah gurun gersang dan stepa semi kering.
(Marc Desquesnes et al. 2013).

5
Gambar 1. Peta penyebaran penyakit surra di dunia

Adapun penyebaran dari T. evansi meliputi daerah pertama


ditemukan Afrika bagian utara, Asia barat, tengah, selatan, tenggara dan
amerika  selatan.

Gambar 2. Vektor penyakit surra

Penularan T. evansi secara mekanis, non-siklis, dengan lalat


haematophagus seperti horseflies (Tabanus), lalat yang stabil (Stomoxys)
dan Haematobia sp yang endemik di Afrika, Asia dan Amerika Selatan,
meskipun di Amerika kelelawar vampir juga bertindak sebagai vector.

6
C. Gejala Klinis
Gejala klinis yang tampak pada hewan bervariasi tergantung pada
keganasan/virulensi agen T. evansi, jenis hewan (host) yang terinfeksi
dan faktor lain yang dapat menimbulkan stress. Lama waktu antara awal
infeksi dan munculnya gejala klinis (masa inkubasi) bervariasi, rata – rata
5 sampai 60 hari pada infeksi akut. Akan tetapi penyakit Surra umumnya
berlangsung kronis (chronic infection) dengan angka kematian yang
rendah sehingga pernah dilaporkan masa inkubasi yang lebih lama yaitu 3
bulan. Setelah masa inkubasi, dalam waktu kurang dari 14 hari akan
ditemukan parasit yang beredar dalam sirkulasi darah (parasitemia).
Manisfestasi klinis penyakit Surra dapat berupa gejala demam berulang
(intermiten) akibat parasitaemia. Parasitemia sangat tinggi variasinya
selama masa infeksi: tinggi pada awal infeksi, rendah selama infeksi
berjalan kronis dan hampir tidak ada pada hewan pembawa agen (carrier)
(Wardhana and Savitri, 2019).
Anemia merupakan gejala yang paling banyak ditemukan pada
infeksi oleh trypanosoma. Membran sel darah merah akan kehilangan
salah satu komponen penyusun yaitu asam sialik (sialic acid). Hal
tersebut akan mengaktifkan makrofag pada organ limpa, hati, paru-paru,
limfonodus dan sum-sum tulang untuk memfagosit sel darah merah
sehingga menyebabkan penurunan jumlah sel darah merah. Gejala lain
diantaranya penurunan berat badan, pembengkakan limfonodus
prescapularis kiri dan kanan, kelemahan otot tubuh, oedema pada
anggota tubuh bagian bawah seperti kaki dan abdomen, urtikaria pada
kulit, perdarahan titik (petechial haemorrhages) pada membran serous
kelopak mata, hidung dan anus, keguguran (abortus), dan gangguan
syaraf. Penurunan imunitas tubuh (imunosupresi) juga ditemui sehingga
hewan inang menjadi rentan terhadap infeksi sekunder (Wardhana and
Savitri, 2019).

7
Trypanosomiasis pada kerbau umumnya memang bersifat kronis
bahkan tanpa gejala klinis (asimtomatis). Kerbau menunjukkan
parasitemia lebih lama dan lebih tinggi daripada sapi, sehingga diduga
sebagai sumber penularan (reservoir) yang potensial bagi ternak lainnya
(Levine, 1995). Setelah melewati masa inkubasi timbul gejala umum :
temperatur naik, lesu, letih dan nafsu makan terganggu. biasanya hewan
dapat mengatasi penyakit walaupun dalam darahnya ada Trypanosoma
bertahun-tahun. Apabila sakit : demam selang seling, oedema bawah
dagu dan anggota gerak, anemia, makin kurus dan bulu rontok. Mukosa
menguning awalnya cermin hidung mengering lalu keluar lendir dan air
mata dan sering makan tanah. Ketika masuk cairan cerebrospinal:
sempoyongan, berputar-putar,gerak paksa dan kaku (Levine, 1994)

D. Siklus Hidup dan Patogenesis


Penyakit ini ditularkan secara mekanik oleh lalat penghisap darah
dari genus Tabanus dan Stomoxys (Soulsby, 1982). Lalat memindahkan
T. evansi pada saat menghisap makanan/darah pada tubuh hewan, lalat
tersebut kemudian pindah ke hewan lain dengan cepat untuk melanjutkan
kegiatan makannya. Parasit darah ini dapat hidup dalam mulut lalat
selama 30 menit sampai enam jam (Sukanto, 1994).
Pada tubuh vektor, perkembangan penyakit dimulai sejak lalat
menghisap darah penderita, bersama darah juga akan terhisap gamon
(mikrogamet dan makrogamet), didalam tubuh lalat mikrogamet akan
secara aktif mencari makrogamet untuk kawin, hasil perkawinan
terbentuklah zygot berbentuk bulat kemudian berkembang lebih lanjut
bentuknya berubah memanjang dan dapat bergerak disebut ookinet,
ookinet bergerak menuju dinding usus tengah untuk membentuk ookista,
ookista mengalami proses sporogony (pembentukan sporozoit) dengan
pembelahan berlipat ganda (skizogoni) menghasilkan sporozoit, sporozoit

8
akan bermigrasi menuju kelenjar air liur sehingga lalat menjadi infektif
(Dwinurmijayanto, 2011).
Pada tubuh hewan yang peka, perjalanan pernyakit dimulai saat
lalat infektif menghisap darah, sporozoit yang berada didalam kelenjar
ludah akan ikut tersebar kedalam peredaran darah, kemudian akan
memasuki sel endotel (ginjal, hati dan paru-paru) serta didalam ruangan
berisi darah atau didalam jaringan (jantung, limpa, pankreas, thymus, otot-
otot, usus, tarakhea, ovarium, kelenjar adrenal, dan otak). Sporozoit
mengalami proses merogony (pembentukan merozoit) dengan cara
pembelahan berlipat ganda (skizogoni) sehingga dibebaskan banyak
merozoit. Merogoni berlangsung beberapa kali, kemudian mengalami
proses gametogony (pembentukan gamet) akhirnya terbentuklah
(mikrogamet dan makrogamet). Gamet ini akan ikut terhisap saat lalat
menghisap darah maka terulanglah siklus seperti diatas.
(Dwinurmijayanto, 2011)
T. evansi diketahui hanya berbentuk tunggal (monomorfik)
berbeda dengan spesies lain yang berbentuk ganda (pleomorfik). Dalam
keadaan tertentu, protozoa ini tidak dapat tertangkap saat dilakukan
pemeriksaan karena dapat bersembunyi di dalam kelenjar limfe
(Subronto, 2006). Penyakit Tripanosomiasis ditularkan secara mekanik
melalui gigitan vektor setelah ia menghisap darah penderita, baik hewan
ternak maupun anjing. Setelah memasuki peredaran darah, trypanosoma
segera memperbanyak diri secara biner. Dalam waktu pendek penderita
mengalami parasitemia dan suhu tubuh biasanya mengalami kenaikan.
Sel darah penderita yang tersensitisasi oleh parasit segera dikenali oleh
makrofag dan dimakan oleh sel darah putih tersebut. Bila sel darah merah
yang dimakan makrofag cukup banyak, penderita segera mengalami
anemia normositik dan normokromik. Sebagai akibat anemia, penderita
tampak lesu, malas bergerak, bulu kusam, nafsu makan menurun dan

9
mungkin juga terjadi oedem di bawah kulit maupun serosa (Subronto,
2006).

E. Diagnosis
Metode diagnosa yang perlu dilakukan seperti wet blood
film (WBF), pengecatan preparat darah tipis dan tebal (stained thin and
thick blood smears). Adanya parasit yang terdeteksi pada pemeriksaan
darah adalah merupakan tujuan utama sebagai gold standard
method yang dipakai di beberapa laboratorium. Selain di dalam darah,
parasit juga dapat ditemukan dalam pemeriksaan cairan tubuh dan
jaringan (OIE, 2009).
Pengecatan preparat apus darah dengan Giemsa memiliki
sensitifitas rendah. Pada infeksi subklinis, sering kali sulit menemukan
parasit dalam darah.  Lebih 50%-80% dari kejadian infeksi
trypanosomiasis tidak terdeteksi secara mikroskopis langsung.
Kemampuan diagnosis dapat secara signifikan ditingkatkan dengan
metode Haematocrit Centrifugation Technique (HCT) yang memiliki
sensitivitas hingga 85 trypanosoma/ml (Reid et al. 2001). Dalam daerah
yang sama, metode ini digunakan untuk mendeteksi trypanosomiasis di
lapangan. Lebih lanjut, sensitivitas deteksi parasit ini dapat ditingkatkan
lagi dengan menggunakan buffy coat (lapisan sel darah putih yang berada
di atas dari sel darah merah setelah dilakukan sentrifugasi seluruh sampel
darah). Selain itu, metode sentrifugasi anion exchange juga sensitif untuk
mendeteksi trypanosoma dalam darah dan dapat untuk mendeteksi satu
trypanosoma tiap dua mililiter darah (Sachs, 1984).
Metode inokulasi tikus (Mouse inoculation) secara umum dapat
diterima sebagai metode yang paling sensitif untuk mendeteksi
trypanosomiasis. Jika dengan menggunakan buffy coat untuk
menginokulasi mencit, maka sensitivitasnya dapat ditingkatkan 4 kali lebih
baik. Meskipun demikian, metode ini memerlukan banyak hewan

10
percobaan yang mengakibatkan metode ini kurang praktis (Monzon et al.
1990).
Metode serologi telah lama digunakan untuk mendeteksi
trypanosomiasis. Deteksi T. equiperdum (dourine) telah digunakan di
Kanada pada tahun 1920 dengan menggunakan metode Complement
Fixation test (CFT). Beberapa metode imunologis juga digunakan untuk
mendeteksi antibodi sebagai respon adanya antigen T. evansi. Kemajuan
ELISA telah meningkatkan kemampuan diagnosa serologis yang jauh
lebih baik. Metode ELISA dapat digunakan pula untuk mempelajari data-
data epidemiologi dan memonitor pengaruh implementasi dari penerapan
suatu strategi pengendalian terhadap trypanosomiasis. Beberapa metode
berbasis antigen juga dikembangkan seperti CATT (Card Agglutination
Test) yang sangat bermanfaat untuk penelitian sero-epidemiologi
trypanosomiasis pada sapi, kerbau dan unta (Njiru et al. 2004). Untuk itu
perlu dilakukan evaluasi dan validasi terkait enzym immonoassays
terhadap antigen dan antibodi yang digunakan untuk survey lapangan.
Beberapa reaksi serologis telah dikembangkan untuk menunjukkan
parasit secara tidak langsung, diantaranya adalah teknik serologi
seperti Fluorescent antybody test (FAT), Radio
immunoassay, Enzymlinked immunosorbent assay (ELISA) dan CATT
untuk mendeteksi antibodi trypanosoma yang ada dalam serum atau
plasma. CATT telah banyak digunakan untuk mendeteksi T. gambiense di
Afrika dan kemudian pada tahun 1992 dikembangkan untuk mendeteksi
antibodi terhadap T. evansi (Van Meirvenne dan Magnus, 1992). Prinsip
dari CATT ini adalah direct agglutination test untuk mendeteksi antibodi
terhadap parasit trypanosoma dalam serum atau plasma dari hewan yang
terinfeksi.
Metode deteksi antibodi berdasarkan antigen antibodi monoklonal
dan poliklonal telah dikembangkan untuk T. evansi. Pengembangan
antibodi poliklonal untuk deteksi trypanosomiasis ternyata menunjukkan

11
reaksi silang dengan berbagai spesies Trypanosoma pada hewan.
Antibodi poliklonal dari Trypanosoma dapat mengenali seluruh stadium
dalam siklus hidup tetapi tidak semua spesies Trypanosoma, dan antibodi
monoklonal mampu mengenali epitop parasit ini.
Suatu Immunoassay juga telah berhasil diterapkan pada berbagai
berbagai sampel di lapangan dengan sistem eksperimental secara in
vitro.Antibodi poliklonal yang telah dimurnikan dari protein
ekstraseluler Trypanosoma telah digunakan untuk diagnosa ELISA
dengan hasil yang baik (OIE, 2009).
Keunggulan dari teknik antibodi monoklonal adalah
kemampuannya sebagai pelacak yang sangat kuat untuk mengidentifikasi
imunodeterminan spesifik pada infeksi parasiter, sehingga  dengan cepat
dapat diketahui status infeksinya. Kemampuan antibodi yang spesifik
mengenal satu epitop dari satu antigen, membuat teknik ini sangat
penting (Desquesnes, 1996).
Deteksi antigen dari Trypanosoma dengan menggunakan ELISA,
dikembangkan untuk penerapan yang lebih luas. Konfirmasi dari ELISA
sangat bervariasi, tergantung dari tujuan yang akan dicapai. Sensitifitas
dan spesifitasnya akan lebih meningkat dengan adanya antibodi
monoklonal dan sistim indikator yang ada. Uji dengan antibodi monoklonal
akan lebih spesifik dibanding antibodi poliklonal. Ini disebabkan karena
antibodi monoklonal ditujukan hanya pada salah satu epitop atau
permukaan antigen dengan spesifitas yang dikehendaki. Dalam
hubungannya dengan deteksi antigen sensitifitas, dapat didefinisikan
adanya sejumlah antigen yang terdeteksi oleh suatu uji, sedangkan
spesifitas, merupakan suatu kemampuan untuk membedakan senyawa-
senyawa yang berkeluarga dekat (OIE, 2009).
Teknik ini merupakan pengembangan dari ELISA biasa yang
ditujukan untuk menangkap antigen. Konfigurasi ini menggunakan
antibodi yang dilapisi fase padat untuk menangkap antigen secara

12
spesifik. Konfigurasi selanjutnya sama dengan teknik yang digunakan
pada ELISA langsung. Antibodi penangkap antigen dapat dilihat di
gambar. Sistim indikator yang dibuat konstan dan berubah adalah titer
antibodi primer untuk antigen spesifik. Jika antigen yang akan dilacak,
maka dapat digunakan antibodi berlabel enzim yang spesifik sebagai
indikatornya. Apabila antibodi monoklonal yang dipilih dalam suatu uji,
maka akan lebih banyak dipakai sebagai indikator yang bereaksi dengan
epitop yang diteliti, daripada sebagai antibodi penangkapnya (Burgess,
1995).
Deteksi dengan menggunakan metode molekuler dapat dilakukan
dengan cepat dengan spesifitas dan sensitifitas yang tinggi. Pada tataran
laboratorium berhasil diuji coba penggunaan DNA probe untuk
mendeteksi DNA trypanosoma dalam darah atau jaringan (Reid et
al. 2001). Selain itu deteksi dengan PCR menggunakan berbagai macam
primer juga telah dilakukan misalnya dengan primer NRP, TBR atau
TEPAN yang lebih spesifik. Teknik molekuler yang lain yang telah terbukti
berhasil baik adalah Loop-mediated isothermal amplification (LAMP)
dan Taqman.

13
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Identifikasi Variabel yang Berpotensi Mempengaruhi Pengobatan


Infeksi Trypanosoma
Penyakit infeksi Trypanosoma atau yang biasa dikenal
Trypanosomiasis atau Surra ini dapat diobati dengan menggunakan obat
antiparasit trypanosidal. Keberhasilan dan toksisitas obat tertentu dapat
berbeda antar spesies. Hal ini dipengaruhi oleh dosis obat dan faktor-
faktor lain. Pengobatan secara klinis memiliki kemungkinan tidak dapat
menyembuhkan parasit sampai dengan benar-benar hilang dan mungkin
dapat sakit kembali. Selain itu, resistensi obat juga dapat terjadi terhadap
pengobatan penyakit ini. Kasus dengan gejala neurologikal sangat sulit
untuk disembuhkan, meskipun beberapa obat baru dapat melewati blood
brain barrier sampai batas tertentu. Di negara-negara tertentu,
pengobatan mungkin tidak diijinkan dikarenakan bukan merupakan
negara endemik terhadap infeksi T. evansi. Selain itu menurut Subekti
(2014) hal penting dalam pengobatan yaitu ketepatan dosis terapi,
kesesuaian spesies yang menjadi target, waktu yang tepat untuk
pengobatan, rute dan frekuensi pemberian.
Dalam penelitian yang dilakukan Lazuardi (2005), menjelaskan
bahwa dosis terapi dari famili parasit darah eukariot yang mampu
dieliminasi oleh diminazen aceturat memiliki keragaman yang cukup
tinggi, hal ini diakibatkan oleh beberapa faktor dan salah satunya adalah
kecepatan kemampuan parasit mengubah-ubah protein target aksi obat.
Dengan adanya kasus seperti ini dibutuhkan pengkajian dosis untuk
mencari dosis terapi dan melakukan reevaluasi dosis terapi yang telah
diketahui. Berdasarkan hal ini, kami mengangkat kasus keefektifan
pengobatan Trypanosoma dengan menggunakan Tryponil (dimiazen
aseturat).

14
Terkait dosis pemberian obat Tryponil yang diberikan pada
tindakan perlakuan karantina yaitu 2.36 gr/ 15 ml. Dosis yang tertera di
dalam kemasan yaitu 1 ml per 20 kg berat badan (2.36 gr per 300 kg
berat badan) dengan dilarutkan menggunakan aquadest. Pengobatan
infeksi yang disebabkan oleh T. brucei, T. congolense, dan T. vivax yaitu
dengan dosis 3.5-7 mg/kg secara intramuskular, sedangkan untuk untuk
T. evansi menggunakan dosis 7 mg/kg secara intramuscular (Subekti,
2014). Berdasarkan hasil penelitian Lazuardi (2005), dosis 4 mg/ kg berat
badan dirasakan aman dan dapat digunakan sebagai dosis terapi untuk
jenis parasit darah eukariot kerabat Trypanosoma. Kemunculan
kekambuhan infeksi pasca pemberian diminazen sekaligus sebagai
bentuk ketidakmampuan kemoterapi bersifat parasitidal. Hal ini
menunjukkan bahwa ketidaksesuaian pemberian dosis obat dilapangan
mempengaruhi lamanya proses kesembuhan kerbau, namun untuk
pemberian sudah sesuai melalui rute intramuscular. Pemberian dosis
dilapangan sebaiknya dilakukan reevaluasi, sehingga dapat mengetahui
dosis sebenarnya yang harus diberikan untuk terapi.

Gambar 3 Tryponil (Diminazen dan Phenazone) sebagai obat terapi


untuk infeksi Trypanosoma

15
Penanganan kasus Surra sampai saat ini masih menggunakan
pengobatan dengan trypanosidal untuk pemberantasan parasit.
Trypanosidal yang digunakan sejak 1920 masih mengandalkan suramin,
isometamidium, quinapyramine, diminazene dan melarsomine. Efikasi dari
masing-masing jenis trypanosidal sangat ditentukan oleh kepekaan
masing-masing galur T. evansi yang terdapat di suatu daerah, sehingga
hasil dari pengobatan ini tidak dapat disamaratakan. Suramin,
isometamidium, quinapyramine dapat digunakan untuk tujuan kuratif
maupun profilaksis. Penggunaan diminazene dan melarsomine hanya
diaplikasikan untuk tujuan kuratif (Subekti 2014). Hal ini dikarenakan
lamanya waktu paruh eliminasi (withdrawal time) di dalam tubuh.
Withdrawal time obat ini pada kemasan yaitu daging 21 hari, sedangkan
pada susu 4 hari. Pemberian diminazene untuk terapi infeksi T. evansi
pada kerbau sudah sesuai dengan peruntukannya.
Kesesuaian dengan parasit yang menjadi target juga dirasa dapat
mempengaruhi keefektifan pemberian obat. Hal ini yang mungkin terjadi
pada penulisan kasus, pemberian obat untuk spesies tertentu yang tidak
sesuai dapat memperlama atau kegagalan terhadap proses kesembuhan.
Obat yang digunakan untuk perlakuan kasus ini yaitu trypanol yang
mengandung diminazene dan phenazone. Hal ini sesuai bahwa
diminazene dapat digunakan untuk T. brucei, T. congolense, T. vivax dan
T. evansi. Menurut (Subekti 2014) bahwa salah satu unsur utama dalam
pengobatan adalah ketepatan dosis terapi dan kesesuaian spesies yang
menjadi target. Isolat T. evansi yang berbeda dari pulau yang berbeda
memiliki kepekaan yang berbeda pula dengan trypanosidal meskipun
berasal dari dalam satu negara. Namun meskipun terdapat dua isolat
yang berbeda memiliki kepekaan yang sama terhadap satu jenis
trypanosidal, dosis terapi diantara keduanya belum juga tentu sama.

B. Alternatif dan Solusi

16
Pengobatan pada hewan untuk memberantas parasitnya harus
mempertimbangkan beberapa hal. Pertimbangan pertama adalah adanya
bukti bahwa beberapa galur T. evansi dilaporkan memiliki keganasan
yang berbeda-beda pada rodensia sebagai hewan model untuk Surra dan
ruminansia. Keganasan T. evansi tersebut berkaitan dengan pola
parasitemia pada rodensia sehingga disebut sebagai biotipe (Subekti,
2014). Pada percobaan yang dilakukan oleh Mekata et al. (2013)
dinyatakan bahwa keganasan T. evansi pada mencit sejalan dengan
keganasannya pada sapi. Keganasan yang berbeda akan menyebabkan
status Trypanosomiasis berbeda-beda setiap hewan, yaitu akut ataukah
kronis. Pertimbangan kedua, yaitu adanya perbedaan efikasi diantara
jenis obat-obatan tersebut dan kepekaan terhadap isolat T. evansi yang
berbeda. Munculnya laporan adanya galur-galur tertentu yang resisten
merupakan contoh nyata dari kasus ini. Oleh karena itu, upaya
pengembangan obat anti Trypanosoma (trypanosidal) pada hewan dan
manusia merupakan suatu kebutuhan.
Pada awalnya diketahui trypanosidal yang sangat mujarab
terhadap T. evansi adalah sediaan suramin (turunan asam
naphthylamine). Namun, sejak tahun 1998 obat suramin yang merupakan
obat dewa (a drug of choice) untuk T. evansi di Indonesia tidak lagi
diproduksi. Sebagai gantinya Dirjen Peternakan pada tahun 1999
mengizinkan bahan-bahan antiparasit eukariotik yang lain seperti
isomethamidium chloride (turunan phenantrydine) dan diminazene
aceturate (turunan diamidine).
Salah satu unsur utama dalam pengobatan adalah ketepatan dosis
terapi dan kesesuaian spesies yang menjadi target. Hal penting lainnya
dalam pengobatan adalah waktu yang tepat untuk pengobatan, rute dan
frekuensi pemberian. Oleh sebab itu, penetapan dosis obat menjadi salah
satu titik kritis dalam pengobatan. Setiap trypanosidal memiliki dosis yang
berbeda-beda satu dengan lainnya. Demikian juga untuk kesesuaian

17
dengan parasit yang menjadi target, beberapa obat hanya sesuai untuk
spesies tertentu dengan dosis tertentu pula.
Subekti et al. (2015) melakukan penelitian terhadap T. evansi yang
berasal dari daerah Sumbawa, Banten, Lampung dan Kalimantan selatan.
Masing-masing dari isolate ini kemudian di infeksikan kepada mencit.
Baru kemudian setelah mencit mengalami kondisi parasetemia, dilakukan
pengobatan dengan beberapa obat antara lain suramin, isometamidium,
diminazene dan melarsomine. Dari hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa efektifitas setiap obat terhadap masing-masing isolate berbeda-
beda. Obat melarsomine efektif terhadap isolate dari sumba, serang, dan
kalimantan selatan. Obat diminazene efektif terhadap isolate dari sumba
dan Kalimantan selatan, dan obat isometamidium tidak efektif untuk
semua isolate. Dari kesemua obat, hanya suramin yang menunjukkan
efktifitas untuk semua isolate. Walaupun demikian pengobatan
menggunakan isometamidium masih dapat digunakan bila di
kombinasikan dengan diminazene.
Isometamidium umumnya digunakan untuk pengobatan Surra
yang disebabkan T. evansi pada dosis terapi 0,5 mg/kg secara
intramuskular pada unta, ruminansia dan kuda. Walaupun waktu paruh
eliminasi dari isometamidium paling lama sekitar 29,8 hari, namun bahan
obat tersebut tetap beredar dalam sirkulasi darah mencapai 4-5 bulan
pascainjeksi. Apabila sapi telah diketahui parasitemia tinggi, maka
pengobatan pertama menggunakan isometamidium maupun diminazene
diberikan setengah dosis diikuti satu dosis penuh lima hari kemudian.
Kuda memiliki toleransi yang rendah pada pengobatan yang
menggunakan isometamidium dan diminazene, sehingga aplikasinya
direkomendasikan agar dosis terbagi dalam waktu lima jam. Diminazene
dapat digunakan untuk T. brucei, T. congolense, T. vivax dan T. evansi.
Pada Surra yang disebabkan oleh T. evansi, dosis terapinya adalah 7
mg/kg secara intramuskular (Subekti, 2014).

18
Kajian Subekti (2014) menyimpulkan bahwa Isometamidium dapat
digunakan untuk tujuan kuratif maupun profilaksis karena lamanya waktu
paruh eliminasi dalam tubuh, sedangkan diminazene hanya diaplikasikan
untuk tujuan kuratif. Efikasi masing-masing trypanosidal sangat ditentukan
oleh kepekaan masing-masing galur T. evansi yang terdapat di suatu
daerah serta dosis terapi yang diberikan, sehingga tidak dapat
disamaratakan untuk semua kondisi.
Pengobatan surra juga dapat menggunakan obat sediaan
Quinapyramine. Sediaan ini umumnya digunakan untuk pengobatan
Trypanosomiasis yang disebabkan oleh T.b. brucei, T. congolense, T.
vivax dan T. evansi pada dosis 3-5 mg/kg secara subkutan. Pada kuda
dan unta dosis terapi untuk quinapyramine dapat ditingkatkan hingga
mencapai 8 mg/kg. Penggunaan quinapyramine harus dilakukan dengan
hati-hati karena Trypanosoma sp. yang resisten terhadap quinapyramine
juga resisten terhadap diminazene dan isometamidium (Subekti et al.
2014).
Melarsomine direkomendasikan untuk pengobatan Surra yang
disebabkan oleh T. evansi dan juga dapat digunakan untuk T.b. brucei.
Secara umum dosis terapi untuk melarsomine adalah 0.25 mg/kg
terutama untuk kuda dan unta secara intramuskular, sedangkan untuk
ruminansia (kambing, domba, sapi, dan kerbau) dan babi dosisnya 0.5-
0.75 mg/kg dengan rute pemberian secara intramuskular. Literatur lain
juga menyebutkan bahwa dosis 0.25 mg/kg untuk unta, 0.25-0.5 mg/kg
untuk kuda, 0.5 mg/kg untuk sapi serta 0.75 mg/kg untuk kerbau (Subekti
et al. 2014). Secara umum, cara kerja masing-masing Trypanocidal dapat
dijelaskan sebagai berikut

Suramin
Suramin merupakan senyawa polisulfonat naftalen
(polysulphonated napthalene) yang disintesis pada tahun 1916-1917 dan

19
hingga saat ini masih digunakan di berbagai belahan dunia. Polisulfonat
naftalen pada struktur suramin menjadikan obat ini bermuatan negatif
pada pH fisiologis, sehingga muatan anionik ini menjadikan suramin
terhalang untuk dapat menembus berbagai membran biologis termasuk
brain barier, namun dengan hal ini justru menjadikan suramin mudah
berikatan dengan molekul lain terutama protein sehingga konsentrasi
terbesar umumnya ditemukan dalam plasma darah, sedangkan di cairan
cerebrospinal konsentrasinya relatif rendah meskipun kadar plasma
darahnya tinggi. Di dalam tubuh, obat ini tidak di metabolisme oleh hati
dan memiliki paruh waktu yang panjang untuk dieliminasi dari tubuh,
berkisar 44-45 hari, yaitu disekresikan melalui air seni/ urin (Subekti et
al.2014).
Mekanisme kerja dari suramin sebagai trypanosidal belum dapat
ditetapkan secara pasti. Pada beberapa laporan menjelaskan bahwa
mekanisme kerja suramin adalah dengan cara mengainaktivasi beberapa
enzim seperti tripsin, heksokinase, karboksilase, suksinat dehidrogenase
dan kolin dehidrogenase. Suramin merupakan antagonis kompetitif dan
selektif untuk reseptor purin (purinoceptor) yaitu P2X dan P2Y yang
diaktifkan oleh ATP dan ADP (adenosine diphosphate) serta beberapa
juga diaktivasi oleh UTP (uracil triphosphate) dan UDP (uracil
diphosphate). Reseptor P2 (P2X/ P2Y) merupakan reseptor pada
permukaan membran (membrane-bound receptor) untuk nukleotida
ekstraselular (extracellular nucleotide) yang bersifat ubikuitus.
Mekanisme kerja lani dari Suramin yaitu akan mengalami akumulasi
pada lisosom, sehingga akan menyebabkan kerusakan pada lisosom.
Kerusakan dari lisosom ini dapat menyebabkan kematian sel, yaitu
Trypanosoma sp. akan mengalam auto digested oleh enzim protease
yang terlepas dari lisosom yang rusak. Suramin juga telah dilaporkan
menyebabkan hambatan pada enzim DNA (deoxy ribonucleic acid) dan
RNA (ribonucleic acid) polimerase, DNA Topoisomerase II, reverse

20
transcriptase, terminal deoxynucleotidyltransferase. Hambatan pada
enzim-enzim tersebut akan mengakibatkan kegagalan replikasi DNA
yang berujung pada kegagalan dalam proliferasi dari parasit (Subekti et
al.2014).

Isometamidium
Isometamidium berasal dari penggabungan tiga aminobenzene
formamidine dari diminazene dengan ethidium. Penggabungan tersebut
mampu meningkatkan efikasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan
senyawa induknya. Isometamidium merupakan obat yang bekerja
dengan mengikat DNA topoisomerase dari kinetoplas, sehingga akan
mengakibatkan desegregasi kinetoplastida dari Trypanosoma.
Isometamidium lebih terkonsentrasi pada kinetoplastida pada tubuh
Trypanosoma sp. Secara farmakologis, isometamidium terikat dengan
protein plasma sebesar 86.71-93.03%. Isometamidium di metabolisme di
dalam hati dan sulit diabsorbsi di pencernaan. Pada pemberian
isometamidium secara intravena akan diperoleh rataan waktu paruh
sekitar 5,6 hari (135 jam), sedangkan pada rute pemberian secara
intramuskular, rataan waktu paruhnya sekitar 11.92 hari (286 jam).
Literatur lain juga melaporkan bahwa setelah pemberian isometamidium
secara intramuskular, rataan waktu paruhnya pada domba diperkirakan
sekitar 14.2 hari (8.8-29.8 hari), sedangkan pada kambing sekitar 12 hari
(7.4-21 hari) (Subekti et al.2014).

Diminazene
Salah satu golongan diamidin aromatik (aromatic diamidine) yaitu
diminazene aceturate. Diminazene aceturate pertama kali ditemukan
pada tahun 1944 yang dikembangkan dari senyawa kimia yang disebut
congasin atau surfen C. Diminazene seringkali digunakan pada
ruminansia, tetapi penggunaannya pada kuda dan anjing sangat terbatas

21
karena rendahnya toleransi kedua spesies tersebut pada diminazene.
Diminazene dilaporkan memiliki rata-rata waktu paruh sekitar 5.94 hari
(2.63-9.25 hari) pada sapi, 22 jam (14-30 jam) pada kambing dan 9.3 jam
pada domba. Diminazene terikat pada protein plasma setelah pemberian
secara intramuskular. Pada kambing, 60-90% diminazene terikat protein
plasma, pada domba sekitar 65-85%, sedangkan pada sapi sebesar
38,01-91,1%. Diminazene diserap oleh Trypanosoma melalui sistem
transporter untuk nukleosida (nucleoside transporter system, P2) yang
memiliki fungsi untuk menyerap nukleosida inang. Hal ini disebabkan
karena semua protozoa parasitik tidak memiliki kemampuan mensintesis
nukleosida sendiri. Oleh sebab itu, diminazene dapat bertindak sebagai
inhibitor kompetitif bagi penyerapan nuklosida oleh Trypanosoma.
Diminazene juga telah diketahui bekerja sebagai interkalator pada DNA
kinetoplastida (kDNA) seperti isometamidium, sleain itu juga memiliki
afinitas yang kuat pada pasangan basa A-T (adeninetimin) sehingga lebih
aktif berikatan pada runutan DNA yang kaya pasangan basa A-T
khusunya di wilayah cekungan minor (minor groove) dari DNA dan diikuti
dengan penghambatan sejumlah enzim seperti topoisomerase dan
nuklease (Subekti et al.2014).

Quinapyramine
Berbeda dengan obat-obat sebelumnya, quinapyramine merupakan
obat lama yang dipasarkan kembali. Quinapyramine merupakan
golongan quinoline pyrimidine yang digunakan sebagai trypanosidal
sekitar tahun 1950-1970. Pada tahun 1976, produksi obat ini dihentikan
dan tidak diperdagangkan, dikarenakan banyaknya Trypanosoma yang
resisten dan toksisitasnya yang berat. Pada tahun 1984, quinapyramine
diperkenalkan kembali ke pasar komersial untuk dipergunakan pada
unta. Quinapyramine methylsulphate digunakan sebagai trypanosidal
untuk tujuan kuratif sedangkan kombinasi quinapyramine methylsulphate

22
dan quinapyramin chloride (3:2) diaplikasikan untuk tujuan profilaksis
dalam kisaran 4-6 bulan pascapemberian subkutan. Informasi mengenai
mekanisme kerja quinapyramine terhadap Trypanosoma sangat terbatas.
Beberapa literatur melaporkan bahwa quinapyramine diperkirakan
menyelimuti permukaan Trypanosoma dengan bertindak seperti deterjen
kationik karena adanya muatan positif pada strukturnya sehingga dapat
menghambat aktivitas berbagai protein atau enzim di permukaan
Trypanosoma sehingga menyebabkan terjadinya “starving out” pada
parasit. Struktur quinapyramine memiliki kesamaan dengan prothidium
yaitu pada gugus pyrimidine. Quinapyramine dan prothidium umumnya
terkumpul pada kinetoplastida dan bukan pada inti sel dari Trypanosoma.
Quinapyramine juga bekerja dengan mengikat DNA topoisomerase dari
kinetoplas, selain itu ada juga yang menyatakan bahwa mekanisme kerja
dari quinapyramine kemungkinan terjadi secara tidak langsung dengan
menghambat sintesis protein melalui pemindahan ionion magnesium dan
poliamine dari ribosom. Quinapyramine juga diserap oleh parasit melalui
sistem transporter untuk nukleosida (nucleoside transporter system, P2)
sebagaimana halnya diminazene dan melarsomine (Gillingwater 2007).
Sistem transporter untuk nukleosida (P2) tersebut berfungsi untuk
menyerap nukleosida. Apabila fungsi sistem transporter untuk nukleosida
(P2) diganggu, maka aliran masuk (uptake) dari nukleosida inang ke
dalam tubuh parasit juga akan terganggu, sehingga fisiologi
Trypanosoma akan mengalami gangguan (Subekti et al.2014).

Melarsomine
Pada tahun 1985, Friedheim mengembangkan melarsomine
(MelCy, Cymelarsan®) yang merupakan trypanosidal paling baru diantara
trypanosidal lainnya untuk Surra atau Trypanosomiasis lainnya pada
hewan. Melarsomine disintesis dengan mengkonjugasikan melarsen
oxide dengan dua cystamine. Melarsomine sangat mudah larut dalam air,

23
sehingga senyawa tersebut akan membentuk sebagai campuran
setimbang yang terdiri dari melarsomine (43%), melarsomine yang
kehilangan satu guguscysteamine (MelCy-1; 24%), melarsen oxide (33%)
dan cysteamine bebas. Melarsomine segera dikonversi menjadi melarsen
oxide, melarsoprol relatif stabil dan tidak mengalami perubahan. Pada
pemberian secara intramuskular, waktu paruh melarsomine dalam darah
sangat singkat dibandingkan dengan trypanosidal lainnya. Melarsomine
diabsorbsi dalam waktu 15 menit untuk mencapai kadar puncak dalam
darah dan dieliminasi dari sistem sirkulasi dalam waktu 6 jam setelah
pemberian. Oleh karena aktivitas trypanosidalnya yang cepat dan kuat
serta kecepatan eliminasi dari tubuh yang juga cepat, maka tidak ada
efek profilaksis dari melarsomine (Subekti et al.2014).
Mekanisme kerja melarsomine yaitu diserap oleh Trypanosoma
melalui system transporter untuk nukleosida (nucleoside transporter
system, P2) yang memiliki fungsi untuk menyerap nukleosida inang. Oleh
karena sifatnya sebagai inhibitor kompetitif maka penyerapan nukleosida
oleh Trypanosoma akan terhambat. Melarsomine juga berikatan sangat
kuat dengan thiol intraseluler, terutama trypanothione reductase yang
berperan penting dalam keseimbangan redoks di dalam tubuh
Trypanosoma sp (Subekti et al.2014).
Pengobatan Trypanosomiasis dengan obat komersial saat ini
masih tergolong mahal dan sebagian besar obat-obat yang disintesis
secara kimia untuk Trypanosomiasis pada dasarnya bersifat toksik,
sehingga perlu dicari alternatif penggantinya.
Ekstrak herbal dilaporkan mempunyai potensi digunakan sebagai
anti Trypanosoma sp. Kandungan obat herbal yang berpotensi sebagai
antiprotozoal adalah flavonoids. Flavonoid juga dilaporkan mempunyai
aktivitas sebagai antiinflamasi. Ekstrak daun tanaman air Khaya
senegalensis menunjukkan aktivitas trypanosidal yang lemah sedangkan
ekstrak kulit batang menunjukkan aktivitas yang kuat yang dipengaruhi

24
oleh dosis yang digunakan. Namun demikian kulit batang K. senegalensis
mempunyai aktifitas anti T. evansi baik secara in-vitro dan in-vivo tetapi
tidak dapat mencegah terjadinya anemia yang disebabkan penyakit
tersebut. Upaya pengobatan infeksi Trypanosoma menggunakan ekstrak
etanol kipahit (Tithonia diversifolia) dengan dosis 25 mg/kg dilaporkan
dapat mengurangi jumlah T. evansi dalam sirkulasi darah. Namun, tidak
dapat mencegah dan menyembuhkan lesi patologi pada organ terinfeksi
(Batan, 2018).

25
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
1. Terdapat beberapa trypanosidal yang dapat digunakan selain
golongan diminazene aceturate (turunan diamidine), antara lain :
Isometamidium, Quinapyramine, dan Melarsomine.
2. Penggunaan dosis diminazene aceturate untuk T. brucei, T.
congolense, dan T. vivax yaitu dengan dosis 3.5-7 mg/kg secara
intramuskular, sedangkan untuk untuk T. evansi menggunakan dosis
7 mg/kg secara intramuscular.

B. Saran

Berdasarkan referensi diatas Isometamidium maupun diminazene


merupakan obat terbaik yang digunakan untuk pengobatan penyakit surra,
namun perlu dilakukan uji lebih lanjut untuk memastikan keefktifan obat untuk
setiap isolate T. evansi yang berbeda dari setiap pulau Di Indonesia.

26
DAFTAR PUSTAKA

Aregawi W, Getahun E, Agga Reta D. Abdi Philippe Büscher. 2019.


Systematic review and meta-analysis on the global distribution, host
range, and prevalence of Trypanosoma evansi. Parasites & Vectors
2019 12:67
Batan, I.W. 2018. Penyakit Surra pada Sapi dan Sapi Bali di Indonesia. Lab
Manajemen dan Penyakit Sapi Bali Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Udayana. Bali
Burgess G.W. 1995. Teknologi ELISA dalam Diagnosis dan Penelitian.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Daris M. 2015. Deteksi Trypanosoma Evansi Pada Kerbau Perah (Bubalus
Bubalis) Di Kabupaten Enrekang. Skripsi. Program Studi Kedokteran
Hewan.Fakultas Kedokteran.Universitas Hasanuddin: Makassar.
Desquesnes M. 1996. Evaluation of three antigen detection tests (monoclonal
trapping ELISA) for African trypanosomes, with an isolate of vivax from
French Guyana. Ann. NY Acad. Sci., 791.
Desquesnes M, Philippe Holzmuller, De-Hua Lai, Alan Dargantes, Zhao-
RongLun, Sathaporn Jittaplapong. 2013. Review Article Trypanosoma
evansi and Surra: A Review and Perspectives on Origin, History,
Distribution, Taxonomy, Morphology, Hosts, and Pathogenic Effects.
Hindawi Publishing Corporation BioMed Research International Volume
2013, Article ID 194176, 22 pages.
Dwinurmijayanto.2011.http://www.docstoc.com/docs/101453419/
PARASITOLOGI# diakses tanggal 14 Mei 2019
Lazuardi M. 2005. Pelacakan Dosis Tunggal Tripanosidal Diminazen Aseturat
pada Mencit yang Diinfeksi dengan Tripanosoma. Majalah Farmasi
Indonesia (16 (4): 222-226.
Levine N.D. 1994. Protozoologi Veteriner. Gadjah Mada University Press:
Yogyakarta

27
Levine N.D. 1995. Protozoologi Veteriner. Gadjah Mada University Press:
Yogyakarta
Mastra IK. 2011. Seroprevalensi Trypanosomiasis Di Pulau Sumbawa,
Propinsi Nusa Tenggara Barat. Buletin Veteriner XXIII (79) : 131-138
Mekata, H., Konnai S., Mingala C.N., Abes N.S., Gutierrez C.A., Dargantes
A.P., Witola W.H., Inoue N., Onuma M., Murata S., Ohashi K. 2013.
Isolation, cloning and pathologic analysis of Trypanosoma evansi field
isolates. Parasitol Res. 112:1513-1521
Monzon CM, Mancebo OA, Roux JP. 1990. Comparison between 6
parasitological methods for diagnosis of Trypanosoma evansi in the
subtropical area of Argentina. Vet. Parasitol., 36, 141–146.
Njiru ZK, Constantine CC, Ndung’u JM, Robertson I, Okaye S, Thompson
RC, Reid SM. 2004. Detection of Trypanosoma evansi in camels using
PCR and CATT/T. evansi tests in Kenya. Vet. Parasitol., 124,187–199.
Nurcahyo W. 2017. Penyakit Surra Pada Hewan Dan Ternak. Samudra Biru:
Yogyakarta
OIE. 2008.Terrestrial Animal Health Code: Seventeeth edition. Chapter
2.1.17. Trypanosoma Evansi Infections (Including Surra)
http://www.oie.int/ diakses tanggal 11 Mei 2019
OIE. 2009. Trypanosoma evansi infection (Surra) in Manual of Diagnostic
Tests and Vaccine for Terrestrial Animals. Chapter 2.1.17. New York,
USA.
Powar, RM et all. 2006. A Rare Case Of Human Trypanosomiasis Caused By
Trypanosoma Evansi. India: Indian Journal of Medical Microbiology,
(2006) 24 (1):72-4
Reid SA, Hussein A, Copeman DB. 2001. Evaluation and improvement of
parasitological tests for Trypanosoma evansi Vet. Parasitology. 104, 79-
84

28
Sachs R. 1984. Improvements in the miniature anion exchange centrifugation
technique for detecting trypanosomes in domestic pigs. Trans. R. Soc.
Trop. Med. Hyg., 78, 561.
Soulsby. 1982. Helminth, Arthropods, and Protozoa of Domesticated Animals.
Seventh Edition. Lea & Febiger, Philadelphia.
Subronto. 2006. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba Pada Anjing dan
Kucing. Yogyakarta :Gadjah Mada University Press. 79-83
Subekti DT. 2014. Perkembangan, Struktur, Mekanisme Kerja dan Efikasi
Trypanosidal untuk Surra. Wartazoa (24): 1.
Subekti DT, Yuniarto I, Sulinawati, Susiani H, Amaliah F, Santosa B. 2015.
Trypanocidals Effectivity against Some Isolates of Trypanosoma evansi
Propagated in Mice. Indones J Anim Vet Sci. 20(4): 275-284
Sukanto, I.P. 1994. Petunjuk Diagnosa Parasit Darah Trypanosoma, Babesia
dan Anaplasma dan Ringkasan Hasil Seminar Penelitian Paeasit Darah
Pada Ruminansia Besar di Indonesia. Proyek Kerjasama Balitvet–ODA
(1986– 1992). Puslitbang Peternakan, Bogor. Hlm. 3–31.
The Center fo Food Security & Public Health Institut for Internatinal
Cooperation in Animal Biologis. 2015. Surra. Iowa(7).
Van Meirvenne N, Magnus E. 1992. Production and distribution of kits
Institute of tropical Medicine laboratory of serology. Antwerpen, Belgium
Wardhana AH, Sawitri DH. 2018. Surra: Trypanosomiasis pada Ternak yang
Berpotensi sebagai Penyakit Zoonosis. Wartazoa 28 (3): 139-151.
Wardhana AH, Savitri DH. 2019. Surra: Trypanosomiasis in Livestock is
Potential as Zoonotic Disease. Indones. Bull. Anim. Vet. Sci. 28, 139.
https://doi.org/10.14334/wartazoa.v28i3.1835 diakses tanggal 11 mei
2019

29
30

Anda mungkin juga menyukai