Anda di halaman 1dari 4

Nama : Iftina athifah

Nim ; 20042214

Matkul : Studi Masyarakat Indonesia

Tugas Pertemuan 11

DEMOKRASI DAN KONFLIK YANG MENGAKAR

a. Pengelolaan Konflik

Demokrasi bekerja sebagai sistem pengelolaan konflik tanpa menghasilkan kembali konflik.

Definisi demokrasi sangat praktis. Kalau sebuah sistem pemerintah ingin dianggap demokratis,
ia harus mengkombinasikan tiga kondisi yang penting: kompetisi yang berarti antara individu
dan kelompok terorganisir untuk kekuasaan politik; partisipasi saling terbuka dalam pemilihan
pemimpin dan kebijakan, setidaknya melalui pemilihan umum yang jujur dan adil; dan tingkatan
tertentu kebebasan sipil dan politik yang cukup untuk memastikan integritas kompetisi politik
dan partisipasi. Partisipasi dan kompetisi adalah penting: meski demokrasi mempunyai banyak
bentuk, tidak ada sistem yang bisa dianggap demokratis tanpa tingkatan yang berarti dari kedua
hal tadi.

Bagaimana mencapai sebuah penyelesaian? apa yang harus diikutsertakan dalam penyelesaian
tersebut? Dalam fase pranegosiasi, misalnya, sangat penting untuk mengidentifikasikan semua
komponen, dan untuk menstrukturkan proses tersebut dan memaksimalkan partisipasi mereka.
Selama negosiasi berlangsung, penting untuk berusaha memasukkan pertimbangan jender, secara
tematik maupun melalui perwakilan perempuan sebagai pihak negosiator – bukan sebagai
pengamat yang terkucil dari proses yang dikendalikan dan didominasi laki-laki.

b. Menganalisis Konflik yang Mengakar


Analisis konflik tidaklah mudah. Pada awal mulanya, menggunakan pendekatan analisis
integratif dengan sendirinya merupakan tantangan. Ini merupakan proses yang sukar,
memerlukan waktu dan usaha untuk mengurai kompleksitasnya dan kerumitannya. Bahkan,
tampaknya kadang kala sedemikian sukar. Namun perlu diingat bahwa pada umumnya, yang kita
lihat adalah kompleksitas, dan bukannya ketidakmungkinan. Analisis selesai apabila kita telah
sadar mengenai semua elemen dan faktor – aktor, isu, hubungan dan lain-lain – yang perlu
diperhitungkan untuk mengembangkan proses untuk mengelola konflik secara damai.

Dari analisis, dengan kata lain, kita bisa bergerak menuju pertimbangan mengenai semua faktor
dan elemen penyusunnya yang harus merupakan bagian dari (a) proses yang mampu mencapai
kesepakatan antara semua pihak yang terlibat, dan (b) sebuah hasil yang mungkin tercapai dan
semua elemen, kebutuhan dan kepentingan yang diidentifikasi.

c. Proses Negoisasi

Banyaknya kerja yang diperlukan dalam desain proses. Banyak hal yang harus dibahas untuk
menemukan rencana intervensi yang paling tepat dalam kondisi tertentu. Namun, usaha ini amat
penting. Tanpa alat-alat proses yang tepat, negosiasi tidak akan mencapai tujuan yang
diinginkan. Dengan cukup kerja yang dilakukan dalam analisis konflik, dan dalam perencanaan
proses, kita bisa mulai berpikir mengenai perencanaan hasil. Isi hasil ini – institusi dan
mekanisme yang dapat digunakan untuk mendorong penyelesaian demokratik.

d. Katup-katup Demokratis Bagi Pengelolaan Konflik

Pemerintahan demokrasi yang kuat merupakan pilar utama dalam pembangunan penyelesaian
yang memuaskan terhadap konflik. Demokrasi merupakan sebuah sistem yang dalamnya konflik
dalam masyarakat bisa diformulasikan, diekspresikan dan dikelola dalam cara yang memuaskan
melalui saluran institusional seperti partai politik atau parlemen, dan bukannya malah diredam
atau diabaikan

Agar demokrasi dengan sistem pembagian kekuasaan dapat bekerja, perlu ada suatu kelompok
inti moderat yang cukup kuat –melibatkan baik elit politik maupun masyarakat madani-– yang
mendukung koeksistensi secara pragmatik dalam masyarakat multi—etnik. Kelompok moderat
yang memiliki komitmen untuk membagi kekuasaan dalam demokrasi multi—etnik harus bisa
menahan tekanan yang timbul dari politisi golongan ekstrem dan masyarakat yang termobilisasi
pada perbedaan etnik sebagai cara menuju kekuasaan.

e. Memelihara Perjanjian Perdamaian

Terdapat pengakuan yang semakin luas oleh komunitas internasional bahwa pencegahan konflik
harus membahas akar masalah dan mengelola sumber konflik yang berlanjut dengan cara yang
terstruktur dan membangun.

Pelajaran yang diberikan secara keseluruhan oleh keberhasilan dan kegagalan untuk calon
pembangun demokrasi? Yang pertama adalah bahwa proses pencapaian kesepakatan harus
diperhatikan, tidak hanya terkonsentrasi pada hasil skenario. Pembedaan antara proses dan hasil
ini merupakan salah satu pelajaran yang paling keras dalam pembangunan perdamaian pasca-
penyelesaian dalam dekade 1990-an.

Memperhatikan hasil penelitian, analisa data, dan diskusi teoritik yang telah disajikan di atas,
maka penelitian tentang resolusi konflik Pilkada ini dapat merumuskan kesimpulan sebagai
berikut:

1. Pandangan, pemahaman, dan pemaknaan warga, elit politik, pemerintah dan elemen terkait
tentang pengelolaan konflik pilkada tidak ada, artinya semua pihak dalam hal ini tidak memiliki
pemahaman yang sistematis dan komprehensif.

2. Pengelolaan atau resolusi konflik Pilkada di arahkan pada dua hal. Pertama, mencari ketetapan
hukum atas persoalan yang menjadi pemicu konflik. Kedua, menggeser level konflik dari
manifest level menjadi latent level, atau dalam bahasa lain dapat disebut tindakan
menenggalamkan konflik di bawah permukaan . Inilah yang kita sebut dengan transformasi
konflik. Dalam konteks pengelolaan konflik di Kabupaten Tuban dan Lobar tidak terukur, karena
tidak ada perencanaan, pengorganisasian, sistem kontrol, yang disiapkan sebelumnya sebagai
tindakan preventif. Atau dapat dikatakan sifatnya alamiah (natural), mengalir apa adanya.

3. Model resolusi konflik Pilkada yang ditemukan disebut dengan fluidity resolution model yang
memiliki dua bentuk yakni formal resolution dan informal and accidental resolution. Resolusi
formal dilakukan jika konflik telah memasuki wilayah pelanggaran ketentuan-ketentuan hukum
legal formal. Sedangkan resolusi informal dilakukan jika konflik lebih bersentuhan dengan
problema: sosial, politik, dan ekonomi.

Anda mungkin juga menyukai