Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jernang (dragon blood) merupakan salah satu dari jenis Rotan yang termasuk dalam
genus Daemonorops. Rotan jernang merupakan tanaman hutan bukan kayu (HHBK) yang
belum dibudidayakan secara intensif sehingga sulit untuk menemukan tanaman rotan jernang
di lapangan. Di Indonesia rotan jernang dikenal dengan berbagai nama seperti di Sumatera
Barat rotan janang, di Kalimantan jernang uhan, di Banten getih badak.

Rotan jernang menghasilkan resin bewarna merah hasil sekresi buah rotan jernang
yang digunakan untuk pewarna seperti pewarna pernis, keramik, marmer, alat dari batu, kayu,
rotan, bambu, kertas dan cat, kemudian rotan jernang juga digunakan untuk bahan obat seperti
diare, disentri, obat luka, serbuk untuk gigi, asma, sipilis serta pembekuan darah karena luka.

Heyne (1987) menyatakan rotan yang menghasilkan getah jernang berkualitas bagus
hanya ada lima spesies, yaitu D. didymophyla, D. draco, D. draconcellus, D. matleyi, dan D.
Micracanta, dan yang paling bagus adalah D. draco.

Hasil penelitian Yetti et.al.,(2013) diketahui bahwa jenis jernang yang ditemukan di
Desa Sepintun, Sarolangun, Jambi sebanyak empat spesies, sedangkan di Desa Lamban
Sigatal, Sarolangun Jambi sebanyak tiga jenis. Perbedaan ini dikarenakan wilayah Desa
Sepintun lebih luas dibandingkan Desa Lamban Sigatal. Selain itu, Desa Sepintun berbatasan
dengan Harapan Rain Forest (HRF) sehingga mempengaruhi jumlah jenis jernang. Pada Desa
Lamban Sigatal dan Sepintun terdapat jenis jernang yang sama, yaitu Daemonorops
draconcella Becc. dan Daemonorops draco Blume. Menurut penduduk setempat, kedua jenis
jernang ini merupakan jenis unggul yang menghasilkan lulun yang lebih banyak dibandingkan
dengan jenis lainnya sehingga masyarakat lebih mengutamakan untuk membudidayakan kedua
jenis jernang ini.

Harga resin jernang di pasar internasional cukup menggiurkan, seperti di Singapura


harganya sebesar $ 300 per Kg, di Indonesia sebesar Rp. 400.000-Rp.800.000 per Kg. Selama
ini jernang diekspor untuk industri-industri negara Cina, Singapura dan Hongkong. Cina
membutuhkan 400 ton jernang tiap tahunnya dan Indonesia baru memasok sekitar 27 ton
pertahun (Winarto, 2013)

Permintaan terhadap resin jernang di pasaran tinggi namun potensi produksi resin
jernang semakin menurun dikarenakan keberadaan jernang di lapangan tergolong langka.
Banyak permasalahan yang mengakibatkan kelangkaan rotan jernang di lapangan yaitu :
pertama, penebangan hutan yang sembarangan sehigga mengganggu habitat rotan jernang
karena rotan jenis ini hidup berdampingan dengan pohon-pohon besar. Kedua, proses panen
buah yang tidak sesuai dengan ketentuan panen yang baik sehingga proses panen mengganggu
dan merusak tanaman rotan jernang. Ketiga, sulitnya untuk mendapatkan buah masak
fisiologis dikarenakan panen tanaman jernang saat masih muda. Keempat, kulit benih dari
rotan jernang keras karena embrionya terlindungi oleh lempeng katup (plug) sehingga air sulit
untuk menembus bahagian dalam benih, sehingga menyebabkan benih dorman (Winarto,
2013).

Berdasarkan pengalaman masyarakat yang mencoba untuk menanam jernang bahwa


waktu yang diperlukan benih jernang untuk berkecambah sangat lama, perkecambahan
membutuhkan waktu 6 sampai 9 bulan, dan kemampuan perkecambahan jernang kurang dari
50%. Sehingga masyarakat kurang berminat melakukan budidaya jernang dan hal ini masih
menjadi permasalahan bagi masyarakat yang memiliki usaha pembibitan rotan jernang.

Sifat dorman yang dialami biji dapat dipatahkan, salah satunya dengan perendaman
dalam zat kimia. Zat kimia dengan konsentrasi tertentu mampu melunakkan kulit biji sehingga
air mampu menembus kulit biji yang keras. Zat kimia juga dapat digunakan hormon tumbuh
untuk memecahkan dormansi pada benih, antara lain adalah sitokinin, giberellin dan auksin.
Pemberian giberellin pada benih pinang sirih dengan dosis 1000 ppm dapat mematahkan
dormansi benih pinang sirih pada minggu ke empat setelah tanam (Yanti, 2006).

Perlakuan mekanis (skarifikasi) pada kulit biji yang dapat dilakukan dengan cara
penusukan, penggoresan, pemecahan, pengikiran atau pembakaran, dengan bantuan pisau,
jarum, kikir, kertas gosok, atau lainnya adalah cara yang paling efektif untuk mengatasi
dormansi fisik. Karena setiap benih ditangani dengan manual, dapat diberikan perlakuan
individu sesuai dengan ketebalan biji. Pada hakekatnya semua benih dibuat permeabel dengan
resiko kerusakan yang kecil, asal daerah radikel tidak rusak (Schmidt, 2002).

Menurut Sudarti (1980) bahwa KNO3 dapat digunakan untuk mempercepat masuknya
oksigen ke dalam biji. Diperkuat oleh Kartasapoetra (2003) bahwa KNO3 dapat merangsang
perkecambahan benih, berperan sebagai pengganti cahaya dan suhu serta mempercepat
penerimaan benih akan oksigen.

Memperhatikan permasalahan yang terjadi pada rotan jernang, pasar getah jernang
cukup punya prospek maka perlu dilakukan pematahan dormansi pada benih rotan jernang,
kemudian diikuti dengan teknik budidaya yang tepat sehingga produktivitasnya sebagai
komoditi ekspor dapat dikembalikan. Oleh karena permasalahan di atas penulis telah
melakukan penelitian dengan judul “Pematahan Dormansi Benih Rotan Jernang
(Daemonorops sp) dengan Perlakuan Mekanis dan Perendaman dengan Beberapa Zat Kimia”

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mendapatkan perlakuan yang efektif untuk
pematahan dormansi benih rotan jernang.

1.3 Output

1.3.1 Data Potensi Bahan Jernang 10 Tahun Terakhir

Berdasarkan data BPS (2010), produksi jernang di Propinsi Jambi semakin


menurun. Produksi terakhir pada tahun 1995 tercatat sebanyak 15 ton jernang yang
dihasilkan di Provinsi Jambi. Setelah tahun 1995 sampai 2010, produksi jernang tidak
tercatat lagi. Produk jernang di Kabupaten Sarolangun sampai tahun 2010 juga tidak tercatat.
Menurut Sumarna (2009), secara keseluruhan populasi rotan Daemonorops draco di TN
Bukit 12 Jambi relatif semakin menurun, selain karena tidak berlangsungnya sistem
regenerasi alami secara optimal, juga lebih disebabkan oleh pola panen produksi buah yang
dilakukan masyarakat terkadang dengan cara menebang batang rotan. Sumber jernang di
Kabupaten Sarolangun terdapat di Hutan Alam dan Hutan Rakyat (BPS 2009). Berdasarkan
wawancara masyarakat desa, pada hutan rakyat dalam 1 ha terdapat 500 rumpun jernang
dengan jarak tanam 4 m x 5 m. Dalam satu rumpun terdapat lima batang, diperoleh 2.500
batang/ha. Menurut masyarakat hanya 60% batang rotan yang dapat berbunga ( 1.500 batang
siap berbunga). Dalam satu batang menghasilkan lima sampai enam tandan buah, pada
umumnya dalam satu kali panen hanya tiga tandan yang berbuah, sehingga dapat
menghasilkan 4.500 tandan buah. Dari 50 tandan dapat menghasilkan 1 kg jernang dan dari
4.500 tandan buah dapat menghasilkan jernang sebanyak 90 kg/ha. Panen dilakukan
sebanyak dua kali dalam satu tahun yaitu panen raya dan panen sela sehingga menghasilkan
jernang sebanyak 180 kg/ha/th.

Hasil inventarisasi Siswanto dan Wahjono (1996) di Hutan Alam Sarolangun-Bangko, dalam
1 ha ditemukan jernang sebanyak tiga rumpun. Namun, pencari jernang menyatakan bahwa
dalam 1 ha hutan blok Bukit Bahar Tajau Pecah paling sedikit ditemukan tiga rumpun
jernang. Berdasarkan wawancara masyarakat, dalam satu rumpun terdapat lima batang,
sehingga terdapat 15 batang/ha. Menurut masyarakat 60% betina sehingga sembilan
batang/ha siap berbunga. Dalam satu batang menghasilkan lima sampai enam tandan buah,
pada umumnya dalam satu kali panen hanya tiga tandan yang berbuah, sehingga
menghasilkan 27 tandan buah/ha. Dari 50 tandan dapat menghasilkan 1 kg jernang sehingga
dari 27 tandan menghasilkan 0,54 kg/ha. Panen dilakukan dua kali dalam satu tahun yaitu
panen raya dan panen sela sehingga dapat menghasilkan 1,08 kg/ha/th.

Sumber jernang di Kabupaten Sarolangun terdapat di dua tempat yaitu Kecamatan Air Hitam
dan Pauh. Potensi jernang di Hutan Alam blok Bukit Bahar Tajau Pecah Kecamatan Air
Hitam sebesar 96,51 ton/ha dan di Hutan Rakyat. Lamban Sigatal Kecamatan Pauh sebesar
130,16 ton/ha. Total potensi jernang di Kabupaten Sarolangun dapat dihitung sebesar 226,66
ton/ha (Tabel 1). Jernang laku dijual dipasaran seharga sampai dengan Rp 700.000/kg.

NO Kecamatan Lokasi Jenis hutan Luas (ha) Jernangk(kg/ Potensi*(ton/th)


ha)

1 Air Hitam Hutan blok Hutan 89.357,87 1,08 96,51


Bukit bahar
alam
alam
Tanjau
pecah

2 Pauh Lamban HR 723,09 180 130.16


sigatal
226,66
1.3.2. Karakteristik Bahan

1.3.3 Sifat Fisika dan Kimia bahan

sifat fisiko-kimia jernang meliputi kadar air (%), kadar kotoran (%), kadar abu (%) dan
titik leleh (0 C). Metode analisa yang digunakan berdasarkan SNI 01- 1671-1989 (Anonim,
1989)

1.3.4 Standar Mutu bahan baku untuk Industri

1.3.5 pohon industri jernang


BAB II

METODOLOGI

3.1. Pengamatan teknik ekstraksi yang dilakukan SAD dan SMJ.

Pengamatan teknik ekstraksi mulai dari persiapan hingga dilakukan ekstraksi dan peralatan-
peralatan yang digunakan oleh masing-masing suku.

2. Ekstraksi menggunakan pelarut metanol

Buah rotan jernang sebelum diekstraksi ditimbang, selanjutnya buah direndam dengan
pelarut methanol dan diaduk hingga kulit buah bersih dari resin yang menempel. Buah dipisahkan
dari larutan dan larutan diuapkan dengan menggunakan soklet hingga tersisa resin jernang.

3. Menghitung rendemen jernang hasil ekstraksi

Perhitungan rendemen jernang dilakukan dengan cara menimbang buah rotan jernang
sebelum diekstrak dan jernang hasil ekstraksi. Besarnya rendemen dihitung dengan rumus (Sunanto,
2003) : A Rendemen (R) = ------- X 100%. ..................................... (I) B Di mana A = berat jernang hasil
ekstraksi; B = berat buah rotan jernang sebelum diekstrak

4. Analisa sifat fisiko-kimia jernang Analisa

sifat fisiko-kimia jernang meliputi kadar air (%), kadar kotoran (%), kadar abu (%) dan titik leleh (0 C).
Metode analisa yang digunakan berdasarkan SNI 01- 1671-1989 (Anonim, 1989).

5. Analisa data Data rendemen jernang hasil ekstraksi dari dua teknik (suku Anak Dalam dan suku
Melayu Jambi) dianalisa dengan membandingkan dua nilai rata-rata rendemen dan selanjutnya
dilakukan uji beda t (Sarwono, 2006).
#

Anda mungkin juga menyukai