Anda di halaman 1dari 6

NAMA : TAUFIK RAHMAN

NO BP : 1810611070

MATKUL : ILMU DAN TEKNOLOGI HASIL IKUTAN TERNAK

REVIEW JURNAL TENTANG “PENYAMAKAN NABATI”

Jurnal 1: Ekstraksi Tanin Dari Daun Jambu Biji Sebagai Bahan Penyamak Nabati

Penulis : Sumarni, Helen Firda Tomanda, dan Yunita Safitri A. Lakuba

Di Indonesia banyak pabrik penyamakan kulit yang menggunakan bahan penyamak yang
dapat mencemari lingkungan. Salah satu jenis bahan penyamak yang digunakan adalah bahan
penyamak krom (Cr). Akibatnya,kadar limbah yang dihasilkan sangat tinggi. Oleh karena itu,
para produsen penyamakan kulit beralih menggunakan zat yang lebih ramah lingkungan salah
satunya zat tanin.Tanin dapat digunakan sebagai bahan penyamak nabati yang lebih ramah
lingkungan.Tanin terdapat dalam tanaman seperti pada daun, kulit buah, batang, dan kulit kayu
salah satunya daun jambu biji.

Era globalisasi di Indonesia banyak sekali pabrik penyamakan kulit yang menggunakan
bahan penyamak yang dapat mencemari lingkungan. Salah satu jenis bahan penyamak yang
digunakan adalah bahan penyamak krom berupa senyawa Cr2O3 (produk komersial dengan
merek Chromosal-B) dan Zirkonium. Menurut Cavaco et all. (2009) senyawa krom yang
diperlukan berupa krom bervalensi 3+ (trivalent) dimana kondisi basa krom (III) dapat
teroksidasi menjadi krom (VI) (heksavalent) yang sangat berbahaya bagi lingkungan. Salah satu
kasus pencemaran limbah krom yaitu terjadi pada sungai-sungai disekitar pabrik kulit. Dalam hal
ini tingkat BOD (Biologial Oksigen Demand ) maupun COD (Ceologial Demand) sangat tinggi.
Parameter BOD adalah kebutuhan oksigen yang diperlukan untuk membusukkan partikel-
partikel organik yang ada di sungai bersangkutan, sedangkan parameter COD adalah kebutuhan
oksigen yang diperlukan untuk mengoksidasi partikel- partikel non-organik (Zaenab, 2008).

Di Indonesia sendiri, tanaman jambu biji memiliki potensi ekonomi yang tinggi dan produksi
jambu biji termasuk 10 besar dari produksi buah di Indonesia.Selain buahnya, daunnya juga
dapat dimanfaatkan sebagai minuman herbal. Penyebaran pohon jambu biji di Indonesia tahun
2013 telah mencapai 2.708.515 pohon, ini berarti potensi pemanfaatan daun jambu biji bisa
dikembangkan secara meluas (Badan Pusat Statistik, 2013).

Daun jambu biji (psidium guajava) mengandung aktif saponin kimia, flavonoid, tanin,
eugenol, dan triterpenoid. Senyawa polifenol mendominasi jambu bijidaun adalah flavonoid dan
tanin (Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2004).

Tanin adalah senyawa polifenol yang sangatkompleks. Karena gugus fenol, tanin dapat
bereaksi dengan formaldehida membentuk produk thermosetting yang bisa digunakan sebagai
perekat. Tanin banyak digunakan dalam industri kulit karena kemampuannya mengikat
bermacam–macam protein, sehingga dapat digunakan sebagai pengawet dan penyamak kulit
(Danarto dkk, 2011)

Dari hasil penelitian ekstraksi tannin dari daun jambu biji kering,dapat disimpulkan kesimpulan:

1. Pengambilan zat tanin dari bahan baku berupa daun jambu biji kering (kadar air 9,48%
dan tanin10,5%) dapat dilakukan dengan cara ekstraksi menggunakan pelarut etanol 96%.
2. Semakin lama waktu ekstraksi persentase tanin terekstrak makin tinggi, kondisi terbaik
dicapai pada waktu ekstraksi 150 menit dengan persentasi tanin terekstrak sebesar
27,08%
3. Semakin tinggi suhu ekstraksi persentase tanin terekstrak makin tinggi, kondisi terbaik
dicapai pada suhu 65℃ dengan persentase tanin terekstrak sebesar 54,73%
4. Semakin besar volume pelarut yang ditambahkan persentase tanin terekstrak makin
tinggi, kondisi terbaik dicapai pada penggunaan volume pelarut sebesar 300 mL dengan
persentase tanin terekstrak 74,18%.
5. Semakin besar kecepatan pengadukan persentase tanin yang terekstrak semakin tinggi,
kondisi terbaik dicapai pada kecepatan pengadukan 400 rpm dengan persentase tannin
terekstrak sebesar 85,44%).
6. Ekstraksi tannin dari daun jambu biji kering dilakukan dengan menggunakan berat bahan
40 gram dan pelarut etanol 96%, kondisi terbaik dicapai pada waktu ekstraksi 150 menit,
suhu ekstraksi 650 C, volume pelarut 300 mL, dan kecepatan pengadukan 400 rpm
dengan persentasi tanin terambil sebesar 85,44%
Jurnal 2 : Integrasi Material Flow Analysis, Life Cycle Assesmenst, Dan Life
Cycle Costing Untuk Evaluasi Proses Penyamakan Nabati Di Industri Kulit (studi
kasus : PT. XYZ)

Penulis : Salman Alfarisi dan Udisubakti Ciptomulyono

Pada kegiatan produksi penyamakan kulit, penggunaan material menjadi salah satu
input yang perlu dipertimbangkan. Selain itu, penyamakan kulit yang termasuk sebagai salah
satu perusahaan yang memberikan polutan terbesar di dunia harus juga memperhitungkan
dampak terhadap lingkungan. Penggunaan material dan bahan kimia menjadi hal harus di
evaluasi. Di Indonesia, permasalahan tidak hanya pada limbah cair, permasalahan yang
cukup penting adalah kulit sisa dari penyamakan kulit biasa digunakan untuk membuat
krecek dan kerupuk kulit yang biasa dikonsumsi masyarakat. Sehingga, penyamakan industri
juga memberikan dampak negatif pada kesehatan manusia. Untuk memperoleh dampak
negatif yag kecil pada lingkungan dn kesehatan manusia, kendala yang muncul adalah biaya
yang lebih tinggi. Pada penelitian ini, kondisi eksisting dari perusahaan adalah menggunakan
mimosa sebagai agen penyamakan nabati. Penelitian ini akan memberikan usulan untuk
perbaikan terhadap penggunaan agen penyamakan nabati. Usulan berupa penggantian
mimosa dengan dengan indusol, gambir, dan dulcotan. Penelitian ini berusaha untuk
melakukan evaluasi terhadap penyamakan nabati dari beberapa aspek dengan menggunakan
pendekatan material flow analysis, life cycle assessment, serta life cycle costing. Evaluasi
perbaikan dengan life cycle assessment akan mengacu pada database inventory pada
Openlca. Hasil yang diperoleh dengan mempertimbangkan aspek lingkungan, kesehatan
manusia serta aspek biaya, maka usulan perbaikan yang terpilih adalah dengan menggunakan
dulcotan.

Industri penyamakan kulit sendiri telah menjadi industri yang berada secara luas
hampir di seluruh bagian dunia. Bahkan di negara-negara mediterania, industri penyamakan
dikenal sebagai salah satu industri yang paling penting (Insel et al, 2009). Diperkirakan
bahwa sekitar 1,67 x 109 m2 dari kulit sedang dibuat setiap tahun di dunia (FAO, 2001).
Industri penyamakan kulit, menyediakan berbagai macam barang-barang konsumsi seperti
sepatu, pakaian, tas dan produk lainnya dengan mengolah produk limbah industri makanan
menjadi sesuatu yang diinginkan, berguna dan berkelanjutan untuk menjadi berbagai produk
akhir (Aloy et al, 1976). Diperkirakan bahwa sekitar 1,67 x 109 m2 dari kulit sedang dibuat
setiap tahun di dunia (FAO, 2001). Indonesia termasuk negara unggulan supplier kulit yang
bersaing dengan Pakistan, India, dan China. Industri kulit di indonesia masih kebanyakan
terkonsentrasi di Pulau Jawa. Di Pulau Jawa sendiri ada lima daerah yaitu, Jabodetabek,
Garut, Jawa Tengah-Jogjakarta, Jawa Timur, dan Magetan. Kebutuhan kulit sapi dibutuhkan
kira-kira 20 juta lembar per tahunnya. Untuk kulit kambing dan domba kira-kira dibutuhkan
15 juta lembar per tahun. Untuk ekspor sendiri, ada juga dalam bentuk produk jadi, seperti
alas kaki/sepatu. Kurang lebih secara garis besar pada tahun 2014 ekspor sepatu senilai 2,5
hingga 2,6 miliar USD, sedangkan ekspor kulit finish sekitar 200 juta USD setahun
(Haryono, 2014).

Tingginya nilai tersebut menunjukkan bahwa industri penyamakaan kulit memberikan


kontribusi yang cukup penting dalam membantu meningkatkan perekonomian, investasi, dan
ketenagakerjaan di Indonesia. Akan tetapi, kegiatan industri penyamakan kulit memiliki
masalah utama yaitu limbah yang dihasilkan. Limbah tersebut memberikan dampak negatif
terhadap lingkungan dan manusia. Secara umum, limbah yang sering menjadi perhatian
adalah limbah cair karena mengandung limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Mannucci
et al. (2010) menyebutkan bahwa sejak transformasi bahan baku menjadi produk yang terjadi
pada air (misalnya rata-rata konsumsi air pada proses penyamakan adalah antara 25 hingga
80 m3 per ton bahan baku) terbukti bahwa beban utama polutan berada dalam air limbah.
Akan tetapi, permasalahan tidak hanya pada limbah cair yang dihasilkan oleh kegiatan
penyamakan kulit, akan tetapi, ada permasalahan penggunaan limbah hasil pemisahan daging
untuk dijadikan makanan yang biasa disebut krecek dan kerupuk kulit. Makanan tersebut
sudah tidak asing lagi di tengah masyarakat Indonesia. Untuk lebih mendalami kedua
permasalahan yang telah disebutkan, maka dipilih salah satu industri penyamakan kulit, yaitu
PT. XYZ. Dalam kegiatan produksinya, PT. XYZ mengunakan metode penyamakan krom
dan penyamakan nabati. Pada tahapan proses penyamakan nabati, PT. XYZ menggunakan
bubuk mimosa sebagai agen utama. Mimosa (mimosa ekstrak) adalah sari kulit kayu akasia
(Acasia deoureus) yang sudah diproses dengan bahan-bahan kimia. Kulit kayu akasia
merupakan salah satu bahan penyamak nabati yang mengandung 35% tannin dalam bentuk
babakan kulit, sedangkan dalam bentuk ekstrak padat mengandung 63% tannin (Purnomo
2001).
Jurnal 3: Perbedaan Kualitas Kulit Samak Dari Berbagai Provenans Akasia (Acacia
mangium Willd) dan Kepekatan

Penulis : Panji Probo Saktianggi, Kasmudjo, Rini Pujiarti

Bahan penyamak atau tanin dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu tanin nabati yang
berasal dari tumbuh-tumbuhan, tanin mineral yang berasal dari logam, dan tanin sintetis yang
merupakan bahan penyamak buatan sebagai pengganti bahan nabati dan mineral. Selama ini bahan
penyamak nabati tidak banyak dipakai karena proses pencarian dan proses penyamakan kulit yang
membutuhkan waktu lama, sehingga para pemakai lebih memilih menggunakan bahan penyamak
sintetis yang lebih cepat walaupun berdampak buruk bagi lingkungan, misalnya krom (Cr) yang dapat
menyebabkan kanker.

Babakan kulit kayu akasia sering digunakan pada perusahaan penyamakan kulit. Menurut
Marsoem dalam Handiyanto dan Harjono (2004) mengemukakan bahwa pemanfaatan kulit Acacia
mangium sebagai sumber bahan penyamak berpeluang untuk memberi nilai tambah dipandang sebagai
alternatif sumber bahan penyamak nabati. Lebih lanjut Subyakto (2006) menyatakan bahwa setiap
harinya di PT. MHP bisa menghasilkan limbah kulit kayu 500 ton dan belum dimanfaatkan. Selain itu
Program HTI Mangium yang luas diseluruh Indonesia merupakan potensi yang sangat besar.

Di dalam pemanfaatan tanin sebagai bahan penyamak nabati, perlu diperhatikan faktor-faktor
yang mempengaruhi produk hasil penyamakan. Faktor-faktor tersebut antara lain: faktor bahan
penyamak misalnya asal (provenan) dan jenis serta cara ekstraksi, kadar dan kemurnian kemikalia yang
digunakan; faktor bahan (kulit) yang disamak misalnya ukuran, jenis kulit; faktor proses penyamakan
misalnya diffusi zat penyamak yaitu kepekatan zat penyamak dan suhu penyamakan (Purnomo, 1985).
Lebih lanjut, Purnomo (1985) menyatakan bahwa untuk memperoleh hasil kulit samak (produk) yang
sesuai standar, maka pengontrolan faktor bahan penyamak yaitu asal (jenis atau provenan) dan
kepekatan yang digunakan harus pasti.

Di dalam menggunakan bahan penyamak nabati terdapat prinsip yang digunakan sebagai
pedoman yang dikenal dengan istilah Golden-Rule (Purnomo, 2001). Prinsipnya bahwa penyamakan
nabati, kepekatan bahan penyamak harus efektif untuk penyamakan yaitu 0,5 – 1 0 optimal di dalam
penyamakan kulit. Be. Pada penyamakan nabati dengan kulit A. Mangium hal ini belum diketahui.
1. Penggunaan provenan Acacia mangium yang berbeda-beda sebagai sumber
bahan penyamak tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar tanin
sehingga semua provenan mempunyai peluang yang sama dan memadai sebagai
bahan penyamak nabati. Kadar tanin pada kulit batang Acacia mangium
provenan Sidei Irian Jaya, provenan Ellerbeck Rd Card dan provenan Moehad
PNG berturut-turut adalah sebesar 2,22%, 1,60% dan 1,87%.
2. Hasil analisis varian menunjukkan bahwa interaksi antara faktor perbedaan
provenan dan kepekatan memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar air,
kekuatan tarik, mulur maupun sobek lidah. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa kualitas kulit samak Acacia mangium provenan Ellerbeck Rd Card
dengan kepekatan awal 2 o Be memiliki kekuatan tarik yang tertinggi sebesar
431,07 kg/cm2 , Acacia mangium provenan Ellerbeck Rd Card dengan
kepekatan awal 1 o Be memiliki kadar air yang terendah sebesar 13,67 %.
Selanjutnya kualitas kulit samak Acacia mangium provenan Moehad PNG
dengan kepekatan awal 2 o Be memiliki kemuluran yang tertinggi sebesar 27,33
% dan Acacia mangium provenan Sidei dengan kepekatan awal 1 o Be memiliki
kekuatan sobek lidah yang tertinggi sebesar 18,12 kg/cm.

Anda mungkin juga menyukai