Anda di halaman 1dari 6

NAMA : TAUFIK RAHMAN

NO BP : 1810611070

MATKUL : ILMU DAN TEKNOLOGI HASIL IKUTAN TERNAK

REVIEW JURNAL TENTANG “PENYAMAKAN KROM/MINERAL ”

Jurnal 1 : Pengaruh Penyamakan Khrom Kulit Ikan Kakap Putih Dikombinasi


Dengan Ekstrak Biji Pinang Terhadap Karakteristik Fisik Kulit

Penulis : Bustami Ibrahim1 *, Ella Salamah1 , Nurul Hak2 , Ade Komalasari

Keterbatasan bahan baku kulit hewan darat di Indonesia, mendorong industri untuk
mencari alternatif lain dengan memanfaatkan kulit ikan sebagai bahan baku penyamakan untuk
mengurangi impor kulit hewan darat. Kulit ikan sebagai bahan baku penyamakan saat ini sudah
banyak dilakukan namun belum berkembang secara optimal. Kulit ikan umumnya terbagi atas
beberapa bagian yang sesuai dengan letak atau bagian-bagian kulit dengan ketebalan yang
berbeda. Kulit tersusun atas beberapa komponen kimia yaitu protein, lemak, air dan mineral.
Komposisi kulit pada umumnya terdiri atas 64% air, 33% protein, 2% lemak, dan 1% mineral.
Kadar protein yang tinggi pada kulit mentah menyebabkan kulit mudah busuk dan rusak karena
aktivitas mikroorganisme. Sifat kimia yang labil ini menyebabkan kulit tidak dapat dimanfaatkan
menjadi produk siap pakai sehingga perlu diolah dengan perlakuan tertentu baik kimiawi
maupun fisik agar menjadi kulit yang bersifat stabil (Purnomo 1985). Kulit ikan memiliki
kandungan protein yang dibutuhkan dalam proses penyamakan yaitu kolagen.

Kulit ikan yang telah digunakan sebagai bahan baku penyamakan adalah kulit ikan pari,
hiu, kakap merah, tuna, lemadang, dan kakap putih (Hak et al. 2000). Ikan kakap putih adalah
salah satu komoditas perikanan yang diproduksi dari penangkapan di alam dan budidaya.
Produksi spesies ikan kakap putih di dunia dari kegiatan budidaya tahun 2010 mencapai 0,1 juta
ton (FAO 2012). Produksi ikan kakap di Indonesia pada tahun 2013 diperkirakan mencapai
7.500 ton dan target produksi pada tahun 2014 sebesar 8.500 ton (KKP 2011). Ikan kakap putih
dapat dijadikan sebagai bahan baku penyamakan karena memiliki ukuran tubuh yang besar,
bekas buangan sisik yang indah, dan memiliki serat kulit yang baik (Hak et al. 2000).

Penyamakan adalah proses konversi protein kulit mentah menjadi kulit samak yang
stabil, tidak mudah membusuk, dan cocok untuk beragam kegunaan (Roigl et al. 2012).
Teknologi penyamakan bertujuan untuk menghasilkan kulit yang dapat digunakan sebagai bahan
baku kerajinan. Pengembangan produksi penyamakan kulit sangat potensial untuk membuka
lapangan pekerjaan baru. Produksi penyamakan kulit dapat memanfaatkan kulit mentah menjadi
kulit samak yang bermotif, corak, dan tekstur unik yang dapat dijadikan produk-produk industri
kulit seperti dompet, tas, sepatu, dan sebagainya. Penyamakan kulit dapat dilakukan dengan
menggunakan bahan penyamak nabati, mineral maupun sintetis. Selama ini kebanyakan proses
penyamakan kulit hanya menggunakan bahan penyamak khrom yang merupakan bahan mineral.
Penyamakan dengan khrom ini memiliki beberapa kelebihan diantaranya: kulit yang dihasilkan
akan lebih lemas, tahan terhadap panas yang tinggi dan kekuatan tariknya lebih tinggi
(Yazicioglu and Boler 1983). Akan tetapi, khrom merupakan salah satu sumber umum polutan
logam di lingkungan oleh pemakaian limbah penyamakan langsung ke sistem pembuangan
limbah (Chakir 2001).

Penambahan ekstrak biji pinang dengan konsentrasi yang berbeda (5%, 10%, dan 15%)
mempengaruhi karakteristik fisik kulit ikan kakap tersamak. Sifat fisik yang dipengaruhi antara
lain ketebalan, kemuluran, kekuatan sobek, serta kekuatan jahit. Konsentrasi terbaik dari
penggunaan ekstrak biji pinang terhadap karakteristik fisik kulit ikan kakap putih tersamak
adalah penambahan ekstrak biji pinang 10%.

Jurnal 2 : Pengaruh mimosa pada penyamakan kulit jaket domba samak nabati
menggunakan sistem C-RFP, ditinjau dari sifat organoleptis, fisis, dan morfologi kulit

Penulis : Sri Sutyasmi*, Titik Purwati Widowati, Noor Maryam Setyadewi

Kulit lemas seperti kulit jaket umumnya masih menggunakan bahan penyamak krom.
Keuntungan bahan penyamak krom antara lain adalah menghasilkan kulit lemas seperti kulit
garmen, kulit jaket yang mempunyai ketahanan fisik yang kuat dan waktu prosesnya relatif cepat
(Sundar, 2011). Di sisi lain proses penyamakan krom menghasilkan limbah cair 30-40 m3 per
ton kulit mentah dengan kandungan krom pada limbah yang dihasilkan dan menyebabkan
industri ini dikategorikan industri penghasil B3 (Falcão, 2011; Dettmer et al., 2010).

Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat dunia akan lingkungan, maka


konsumen saat ini juga menuntut produk-produk ramah lingkungan. Kaitan hal tersebut untuk
industri kulit diupayakan menggunakan bahan penyamak pengganti krom. Untuk itu perlu
dikembangkan penelitian penggunaan bahan penyamak ramah lingkungan dimana salah satunya
adalah bahan penyamak nabati atau kombinasi dengan bahan penyamak non krom lainnya (Musa
& Gasmelseed, 2013; Kasim et al., 2012).

Proses penyamakan kulit khususnya bahan penyamak nabati dapat dijadikan salah satu
alternatif teknologi penyamakan non-krom, namun dengan proses ini perlu dicari terobosan
supaya tidak menghasilkan kulit yang kaku, padat, keras dengan waktu penyamakan relatif lama
(Koloka & Moreki, 2011).

Penyamakan kulit dengan bahan penyamak nabati ini biasanya memerlukan waktu yang
lama (18-20 hari) sehingga dikatakan penyamakan ini tidak efisien. Oleh karenanya perlu
diupayakan teknologi penyamakan kulit memakai samak nabati yang lebih cepat yaitu dengan
sistem C-RFP (Zinz et al., 1987).

Penyamakan kulit adalah rangkaian proses yang sangat kompleks terjadi banyak
perubahan fisik dan kimia di satu sisi, bagian yang tidak berguna dihilangkan dari kulit mentah
untuk mendapatkan serat kolagen murni dan membuka struktur serat kolagen (Covington &
Song, 2008). Pada sisi lain ditambahkan bahan penyamak untuk memperkuat stabilitas serat
kolagen, dan bahan lainnya yang diperlukan ditambahkan agar kulit dapat digunakan, seperti
fatliquor, bahan retanning, dan bahan finishing (Mahdi, 2009; Koloka & Moreki, 2011).
Penyamakan kulit ini dibantu perlakuan mekanik untuk menyempurnakan proses penyamakan
tersebut (Hassan & Ibrahim, 2014).

Secara umum penyamakan kulit ada tiga macam tergantung bahan penyamak yang
digunakan yaitu: penyamakan nabati (cara counter current dan cara samak cepat), penyamakan
mineral (penyamakan krom, penyamakan aluminium) dan penyamakan minyak (Hassan &
Ibrahim, 2014; Nasr, 2015)
Prinsip proses penyamakan nabati adalah menggunakan zat penyamak nabati dengan
molekul kecil dan daya ikat yang kecil sehingga penetrasi zat penyamak cepat dan kulit yang
dihasilkan tidak mengalami kontraksi (Emiliana et al., 2015; Mahdi et al., 2009). Molekul dan
daya ikat bahan penyamak kemudian diperbesar dengan cara mengubah kepekatan bahan
penyamak dan pH proses sehingga kulit menjadi tersamak dengan rata (Koloka & Moreki, 2011;
Musa et al., 2013).

Kulit jaket samak nabati dengan bahan penyamak mimosa dapat disamak dengan system
CRFP yang penyamakannya masak dan memenuhi SNI yaitu pada penggunaan mimosa 15%,
20% dan 25%, sedangkan penggunaan minyak yang terbaik adalah 15% dan 17,5%, karena pada
penggunaan variasi mimosa dan minyak tersebut hasil uji memenuhi SNI 4593:2011 tentang
kulit jaket domba/kambing. Hal ini dapat terlihat dari uji organoleptis, fisis, dan morfologi kulit
yang saling berkaitan. Pada umumnya bahan penyamak nabati berikatan dengan kulit.

Jurnal 3 : BIOSORPSI DAN REDUKSI KROM LIMBAH PENYAMAKAN KULIT


DENGAN BIOMASSA Fusarium sp DAN Aspergillus niger

Penulis : Suharjono Triatmojo*, D. T.H. Sih ombing* *, S. Dj oj owidagdo*, T. R.


Wiradarya**

Penyamakan kulit menghasilkan limbah padat, cair dan gas. Limbah padat dan cair
nrengandung krom valensi 6 atau Cr(VI) dan krom valensi 3 atau Cr(IID. Cr(III) bersifat kurang
toksik, kel arutannya rend ah, tidak mobil dan lebih sulit menembus dinding sel tanaman maupun
hewan. Cr(VI) sangat toksik, bersifat karsinogenik dan mutagenik. Di alam logam krom, baik
Cr(V[) maupun Cr(III), dapat nrengal ami transformasi bil a kondisi lingkungannya sesuai.
l,ogam krom ini pada limbah padat (sludge) terdapat dalam jurnlah yang sangat tinggi (907a),
sedangkan pada larutan sekitar l07o dan krom yang terdapat dalam limbah. Sludge limbah
penyamakan kulit karena kandungan unsur haranya masih cukup tinggi, sering digunakan untuk
memupuk tanaman pertanian. Kandungan logam Cr yang tinggi sangat membatasi penggunaan
sludge sebagai pupuk ataupun pembenatr tanatr. Penggunaan sludge sebagai pupuk ataupun
pembenah tanatr tanah sangat berbahaya karena Cr(llf yang terkandung di dalamnya di dalam
tanah dapat berubatr secara spontan menjadi Cr(VI) yang sangat toksik. Krom, baik Cr(VI)
maupun Cr(IID, dapat masuk ke dalam tanaman, hewan dan manusia. Penelitian Triatmojo
(1999) dan (2000) menunjukkan bahwa logam krom dapat diabsorpsi oleh tanaman caisin dan
kacang tanah. Hijauan yang kandungan kromnya tinggi bila diberikan kepada ternak jugu dapat
membahayakan organ tubuhnya, karena krom dapat terdeposisi di dalam hati, ginjal, daging dan
jaringan tubuh lainnya. Penelitian Triatrnojo (2000) menunjukkan bahwa logam krom yang
terlarut (misalnya yang terdapat pada limbatr cair) lebih berbatraya daripada yang terdapat di
dalam sludge karena yang terlarut lebih mudah masuk ke dalam tanaman. Ini tidak berarti bahwa
yang terdapat di dalam slud.ge tidak berbatraya karena yang terdapat di dalam sludge jugu ada
yang dalam bentuk terlarut, meskipun junrlahnya cukup rendah (l-57o).

Penyamakan kulit menggunakan logam krom valensi tiga dalam bentuk garam krom
(krom zulfat) ataupun oksidanya (krom oksida). Cr(III) relatif tidak berbahaya dan
keterlarutannya rendah dibandingkan dengan Cr(VI) (Wang & Xiao, 1995). Cr(IID tidak mudah
diserap oleh tanaman karena keterlanrtan dan mobilitasnya yang rendah pada tanah pH tinggi
(Macchi et al., 1991 , Rutland,l99l). Pada pH di atas 4 Cr(lll) membentuk presipitat Cr (OH),
(Manahan, 1992). C(Iil) dalamjurnlah yang kecil merupakan logam yang esensial untuk
metabolisme karbohidrat dan lemak baik pada ternak maupun manusia (Rutland, 1991dan
Manahan (1992). Menurut Macchi er al. (1991) adanya ligan organik di tanah dan kondisi asam
akan meningkatan mobilitas Cr(III) sehingga dapat diserap tanaman. Cr (III) akan teroksidasi
oleh oksidator yang cocok seperti MnO2 (Macchi el al., l99l) dan Ca(OH), membentuk senyawa
bikromat (Winter, 1985) yang bersifat sangat toksik dan lebih mobil (Macchi et al. 1991). C(VD
sering dijumpai pada limbah penyamakan kulit yang menggunakan kapur untuk mengendapkan
limbah penyainakan. Cr(VI) dikenal sangat toksik, mudah larut, reakif, mutagenik dan
karsinogenik (Manahan, 199 I ; Wang & Xiao, 1995; Balamurugan, et al., r999).

Logam krom dapat diabsorpsi baik oleh tananran tingkat rendah maupun tinggi
(Grubinger et al. 1994). Tanaman tingkat rendah misalnya alga (Grubinger et al.,1994),
sedangkan tanaman tingkat tinggi Caisin atau Brassisca chinensis (Triatmojo, 1999) dan kacang
tanah (Triatmojo, 2000). Sebaliknya, menurut Money (1991) logam krom di tanah sukar
diabsorpsi oleh tanaman karena keterlarutannya rendah dan terikat pada partikel lempung.
Pengambilan ion logam berat dari limbah cair perlu dilakukan karena toksisitasnya sangat
berbahaya bagi kehidupan air dan manusia. Ion logam berat biasanya diambil dengan cara
presipitasi, tukar ion dan reverse osmosis (Gadd, 1992: Kapoor & Viraraghavan, 1995). Metode
ini mempunyai beberapa kelemahan antara lain ion logamyang diambil tidak dapat diprediksi,
memerlukan banyak reagen, dan menghasilkan sludge dalamjurnlah yang sangat besar (Kapoor
et a|.,2000). Oleh karena itu, perlu dicari teknologi baru untuk mengambil ion logam berat dari
larutan. Ada banyak cara pengambilan logamberat dengan nreng gunakan mikroorganisme.
Proses biologi untuk mengambil ion logam dari larutan dapat dibagi menjadi tiga: (1) adsorpsi
logam pada permukaan sel mikroorganisme; (2) penyerapan ion masuk ke dalam sel; dan (3)
transformasi kimia ion logam oleh mikroorganisme (Gaad, 1992, Kapoor & Virarghavan, 1995;
Sag & Kutsal, 2000). Menurut Kapoor dan Viraraghavan (1995) bakteri, jamur dan alga dapat
mengikat ion logam beracun.

Anda mungkin juga menyukai