Anda di halaman 1dari 3

Singkong berpotensi untuk dikembangkan menjadi produk-produk yang bernilai ekonomi tinggi, namun

tidak semua bagian dari singkong yang termanfaatkan. Bagian yang sering diolah dari singkong adalah
bagian daging umbi atau daging singkong. Bagian kulit singkong sangat jarang dimanfaatkan sehingga
sering kali bagian tersebut menjadi limbah buangan dari pengolahan komoditas singkong. Menurut
Suharso (2007), limbah kulit singkong merupakan residu hasil pertanian yang terdapat dalam jumlah
melimpah di berbagai daerah di Indonesia. Perlu adanya perhatian dalam hal ini karena massa kulit
singkong cukup besar dari total bagian singkong secara keseluruhan. Oleh karena itu, perlu adanya suatu
teknologi untuk memanfaatkan limbah buangan kulit singkong tersebut menjadi sesuatu yang lebih
bernilai, berguna, dan tidak terbuang sia-sia.

Di dalam limbah kulit singkong terkandung senyawa selulosa. Selulosa merupakan komponen struktural
serat yang bersifat tidak larut dalam air dan tidak dapat dicerna oleh pencernaan manusia (Anonymous,
2008b). Oleh karena sifat inilah yang menjadikan kulit singkong jarang dimanfaatkan dan diolah menjadi
produk pangan yang dikonsumsi manusia. Agar sifat tersebut dapat berubah, dibutuhkan adanya
teknologi atau proses modifikasi yang menghasilkan senyawa turunan selulosa dengan sifat yang lebih
menguntungkan. Proses modifikasi senyawa selulosa tersebut dapat dilakukan melalui reaksi eterifikasi
dengan natrium kloroasetat. Dari reaksi eterifikasi tersebut akan didapatkan senyawa turunan selulosa
yang disebut dengan karboksimetil selulosa (CMC).

Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui sejauh mana usaha pemanfaatan limbah buangan kulit
singkong, mengetahui proses modifikasi senyawa selulosa pada limbah buangan kulit singkong,
mengetahui mekanisme senyawa karboksimetil selulosa (CMC) dalam meningkatkan kualitas produk
pangan emulsi, serta mengetahui pengaruh produksi karboksimetil selulosa (CMC) dari limbah buangan
kulit singkong terhadap kelestarian alam.

Kulit ubi kayu yang diperoleh dari produk tanaman ubi kayu (Manihot esculenta Cranz atau Manihot
utilissima Pohl) merupakan limbah utama pangan di negara-negara berkembang. Semakin luas areal
tanaman singkong diharapkan produksi umbi yang dihasilkan semakin tinggi yang pada gilirannya
semakin tinggi pula limbah kulit yang dihasilkan. Setiap kilogram singkong biasanya dapat menghasilkan
15 20 % kulit umbi (Oktora, 2008). Menurut Prihandana (2007), produksi singkong pada tahun 2005
sebesar 19,5 juta ton dengan areal seluas 1,24 juta ha. Dari data tersebut dapat diperkirakan berat
bagian kulit singkong mencapai sekitar 3,9 juta ton. Angka tersebut cukup tinggi dan sangat disayangkan
jika kulit singkong tersebut tidak diolah lebih lanjut. Semakin banyak daging umbi yang akan
dimanfaatkan, semakin melimpah pula limbah buangan kulit singkong.

Pada umumnya, bagian kulit singkong akan dibuang dengan sia-sia. Tetapi, beberapa industri
pengolahan umbi singkong berusaha untuk memanfaatkan limbah buangan kulit singkong tersebut agar
tidak dibuang dengan percuma. Suatu cara yang mereka lakukan adalah dengan memanfaatkannya
sebagai campuran pakan ternak. Namun, hal tersebut dirasa masih kurang menguntungkan.
Pemanfaatan sebagai campuran pakan ternak hanya bisa diaplikasikan oleh para peternak dan masih
kurang memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat secara luas, baik dari sisi aplikasi maupun
keuntungan finansial.

Penggunaan kulit singkong menjadi campuran pakan ternak kurang termanfaatkan secara luas juga
dikarenakan manusia tidak bisa merasakan secara langsung. Manusia tidak dapat mengkonsumsi limbah
buangan kulit singkong karena selain tidak cukup mempunyai sifat sensoris yang baik untuk dikonsumsi,
kulit singkong juga tidak dapat dicerna oleh pencernaan manusia. Hal-hal tersebut menjadi alasan
bahwa dibutuhkan suatu teknologi yang lebih baik dalam pengolahan limbah buangan kulit singkong.
Salah satu cara memanfaatkan limbah buangan kulit singkong secara efektif adalah dengan mencermati
kandungan senyawa yang ada dalam kulit singkong dan kemudian memodifikasinya melalui suatu proses
tertentu sehingga akan didapatkan suatu produk akhir yang bersifat lebih baik, baik dari sisi ekonomi
maupun aplikasinya.

Untuk mendapatkan senyawa turunan selulosa dengan karakteristik serta sifat yang lebih baik, perlu
dilakukan proses modifikasi senyawa selulosa dari limbah buangan kulit singkong terlebih dahulu. Salah
satu turunan selulosa yang bernilai ekonomi tinggi, serta memiliki peranan dalam berbagai aplikasi
adalah karboksimetil selulosa (CMC). Menurut (Anonymous, 2008e), proses pembuatan karboksimetil
selulosa (CMC) tersebut antara lain, yaitu tahapan proses alkalisasi, karboksimetilasi, pemanasan,
netralisasi, pemurnian yang meliputi pencucian dan pengeringan.

Emulsi adalah suatu jenis koloid dengan fase terdispersi berupa zat cair dan medium pendispersi berupa
zat padat, zat cair, atau gas. Pada beberapa produk pangan, sebagian tergolong sebagai emulsi cair.
Contoh dari produk-produk pangan emulsi tersebut antara lain, yaitu saus, es krim, margarin, dll. Salah
satu parameter yang sangat penting dalam dalam penentuan kualitas produk pangan emulsi adalah
kestabilan emulsi. Kestabilan emulsi cair dapat rusak akibat pemanasan, pendinginan, proses
sentrifugasi, dan penambahan elektrolit. Hal yang dapat dilakukan untuk menjaga kestabilan emulsi
tersebut adalah dengan dengan menambahkan suatu pengemulsi. CMC adalah salah satu pengemulsi
yang efektif. CMC mampu meningkatkan kualitas produk pangan emulsi karena mempunyai sifat sebagai
pengikat, penstabil, penahan air, serta pengental dalam produk pangan emulsi. CMC juga dapat larut
dalam air dan mampu memperpanjang umur simpan produk pangan emulsi.

Selulosa sebagai bahan pembuatan CMC umumnya berasal dari kayu pepohonan. Dengan alternatif
sumber selulosa dari kulit singkong, maka secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap
pencegahan tindakan penebangan pohon. Hal tersebut dikarenakan produksi CMC tidak perlu lagi
menggunakan kayu sebagai sumber utama, namun dapat menggunakan limbah buangan kulit singkong.
Selain dapat meminimalisir biaya pengadaan bahan baku, upaya tersebut juga mampu mengurangi
kegiatan eksplorasi kayu.

Anda mungkin juga menyukai