Teknologi Polimer
Dosen
(TIN626)
Asisten
: 1. Ade Supriatna
2. Nur Kholiq
PENYAMAKAN NABATI
Oleh :
Aditya Wahyu Nugraha
F351150401
Achmad Solikhin
E251130121
Febriani Purba
F351150321
Fitriani Kasim
F361140021
Fitri Muslimah M.
F351140261
Jihan Pradesi
F351140271
Nurmiati
F351140061
Renny Purnawati
E261140011
2015
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ...........................................................................................................i
I . PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................................1
B. Tujuan...........................................................................................................2
II .TINJAUAN PUSTAKA
A. Kulit Kambing..............................................................................................2
B. Teknologi Penyamakan Kulit.......................................................................3
1. Penyamakan Mineral...............................................................................3
2. Penyamakan Nabati................................................................................3
3. Penyamakan Sintesis...............................................................................4
4. Penyamakan Minyak...............................................................................4
C. Pengawetan Dengan Cara Pengasaman .......................................................5
D. Penyamakan Nabati .....................................................................................6
E. Mimosa ........................................................................................................8
III. BAHAN DAN METODA
A. Bahan dan Alat.............................................................................................9
B. Metode .......................................................................................................10
1. Penyamakan...........................................................................................10
2. Analisis Sifat-Sifat Kulit.......................................................................10
a. Ketebalan Kulit.................................................................................11
b. Warna................................................................................................11
c. Feel/Handle.......................................................................................11
d. Suhu Kerut........................................................................................11
e. Kuat Sobek........................................................................................11
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Proses Penyamakan....................................................................................12
1. Proses Pengerjaan Basah.......................................................................13
2. Proses Penyamakan (Tanning)...............................................................14
3. Tahap Pengecatan Dasar (Dyeing).........................................................14
B. Analisis Sebelum dan Setelah Penyamakan...............................................15
1. Ketebalan...............................................................................................15
2. Warna dan Feel/Handle.........................................................................15
3. Suhu Kerut.............................................................................................16
4. Kuat Sobek............................................................................................16
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ..............................................................17
A. Kesimpulan.................................................................................................17
B. Saran ..............................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................17
LAMPIRAN .........................................................................................................20
i2
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kulit merupakan salah satu jenis hasil ternak yang sekarang ini telah
dijadikan sebagai suatu komoditi perdagangan dengan harga yang cukup tinggi.
Kulit ternak merupakan hasil sampingan (by-product) yang berasal dari
pemotongan hewan ternak besar, ternak kecil maupun ternak unggas. Selain itu,
kulit juga banyak diperoleh dari hewan satwa liar seperti harimau dan serigala,
beberapa jenis reptil seperti ular, biawak dan buaya dan beberapa jenis ikan
seperti ikan pari, ikan paus dan ikan hiu. Pada umumnya kulit dimanfaatkan
sebagai bahan pembuat sepatu, tas, beberapa produk pakaian, jaket, dompet, ikat
pinggang, bahan baku kerajinan seperti wayang, serta masih ada beberapa produkproduk lain yang memanfaatkan kulit sebagai bahan bakunya, seperti kerupuk
kulit dan gelatin untuk bahan pangan. Komoditas kulit digolongkan menjadi kulit
mentah dan kulit samak, kulit mentah adalah bahan baku kulit yang baru
ditanggalkan dari tubuh hewan sampai kulit yang mengalami proses-proses
pengawetan atau siap samak.
Bahan kulit yang berasal dari hewan tersebut tidak bisa begitu saja
dimanfaatkan, karena hal ini harus melalui proses pengolahan terlebih dahulu.
Proses ini yang dinamakan penyamakan kulit. Penyamakan kulit pada dasarnya
adalah proses pengubahan struktur kulit mentah yang mudah rusak oleh aktifitas
mikroorganisme, kimiawi atau fisik menjadi kulit tersamak yang lebih tahan lama.
Mekanisme ini pada prinsipnya adalah pemasukan bahan-bahan tertentu kedalam
jalinan serat kulit sehingga terjadi ikatan kimia antara bahan penyamak dengan
serat kulit.
Penyamakan kulit adalah suatu proses pengolahan untuk mengubah kulit
mentah menjadi kulit tersamak atau leather. Penyamakan kulit merupakan cara
untuk mengubah kulit mentah yang bersifat labil (mudah rusak oleh pengaruh
fisik, kimia dan biologis) menjadi kulit yang stabil terhadap pengaruh tersebut
yang biasa disebut kulit tersamak (leather). Kulit samak atau kulit jadi memiliki
sifat-sifat khusus yang sangat berbeda dengan kulit mentahnya, baik sifat fisis
maupun sifat khemisnya. Kulit mentah mudah sekali membusuk dalam keadaan
kering, keras, dan kaku. Sedangkan kulit tersamak memiliki sifat sebaliknya.
Teknik mengolah kulit mentah menjadi kulit samak disebut penyamakan. Dengan
demikian, kulit hewan yang mudah busuk dapat menjadi tahan terhadap serangan
mikroorganisme. Prinsip mekanisme penyamakan kulit adalah memasukkan
bahan penyamak ke dalam anyaman atau jaringan serat kulit sehingga menjadi
ikatan kimia antara bahan penyamak dan serat kulit (Raffy, 2012). Mekanisme
penyamakan kulit adalah memasukkan bahan tertentu yang disebut bahan
penyamak ke dalam anyaman atau jaringan serat kulit sehingga terjadi ikatan
kimia antara bahan penyamak dengan serat kulit.
Bahan penyamak nabati (condensed vegetable tannages) seperti mimosa,
quebracho, dan gambier merupakan bahan penyamak non mineral yang dihasilkan
dari sumberdaya alam terbarukan dan bersifat ramah lingkungan. Mimosa
dihasilkan dari kayu dan kulit kayu Acacia mearnsii dan A. mangium; quebracho
dari kayu Schinopsis lorentzii dan S. balansae; dan gambier dari daun dan ranting
pohon Uncaria gambier (Suparno et al., 2008).
B. Tujuan
Praktikum bertujuan untuk mempelajari proses penyamakan kulit
menggunakan penyamak nabati mimosa dan mengetahui pengaruh penyamakan
terhadap sifat fisik kulit.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kulit Kambing
Ternak kambing merupakan hal yang penting terutama dinegara-negara
sedang berkembang, karena ternak kambing memiliki potensi produksi yang dapat
dimobilisasi dalam waktu yang relative pendek dengan biaya yang relative murah.
Beberapa bangsa kambing telah memberikan manfaat yang lebih luas yaitu berupa
produksi susu, kulit dan bulu, selain itu ternak kambing tahan terhadap keadaan
kering dapat hidup dengan makanan yang tidak disukai oleh ternak lain.
Dijelaskan selanjutnya kambing satu-satunya ternak yang mempunyai adaptasi
paling tinggi, dapat hidup di daerah dataran rendah maupun dataran tinggi).
Masing-masing kulit hewan segar hasil pengulitan ini memiliki sifat alami
yang sangat berbeda satu dengan yang lainnya. Faktor yang meyebabkan
perbedaan ini cukup banyak, diantaranya adalah faktor umur potong, keturunan,
faktor pemeliharaan atau manajemen, faktor bangsa (breed) dan lain-lain (Fahidin
dan Muslich,1999). Komoditas kulit digolongkan menjadi kulit mentah dan kulit
tersamak (Purnomo,1985).
Dunia perkulitan menunjukkan, bahwa kulit mentah dapat dibedakan atas dua
kelompok yaitu kulit dari hewan besar seperti sapi, kerbau, steer, dan kuda yang
dalam istilah asing adalah hides dan kelompok kulit yang berasal dari hewan kecil
seperti kambing, domba, calf, kelinci, dan dalam istilah asing disebut skins
(Purnomo,1985). Lebih jauh dikatakan bahwa untuk kulit hewan besar yang
belum dewasa masih digolongkan dalam skins seperti kulit anak sapian kuda.
Kulit hewan merupakan bahan dasar (mentah) untuk pembuatan kulit
tersamak. Kulit berupa tenunan-tenunan dari tubuh hewan yang tersusun menjadi
beberapa lapisan. Dalam proses penyamakan, tenunan-tenunan yang tidak dapat
disamak serta yang nantinya menganggu proses penyamakan dihilangkan,
terutama tenunan-tenunan yang tidak berbentuk serabut. Tenunan yang tinggal
kemudian akan tersamak oleh bahan penyamak, sehingga akan diperoleh sifatsifat kulit samak yang sesuai dengan bahan penyamaknya. Pada dasarnya kulit
hewan mamalia mempunyai struktur yang hampir sama, dan umumnya terdiri dari
tiga lapisan pokok, yaitu: epidermis, corium (dermis), dan hypodermis (Ibrahim,
dkk. 2005).
Secara histologi, kulit hewan mamalia mempunyai struktur yang hampir
sama, dan umumnya terdiri dari: 1). Lapisan epidermis, sering disebut lapisan
tanduk yang sifatnya sebagai pelindung pada waktu hewan masih hidup. Pada
penyamakan kulit biasanya lapisan ini dibuang, kecuali untuk penyamakan kulit
fur (kulit samak bulu), 2).lapisan corium (derma), sebagian besar terdiri atas
jaringan kolagen yang dibangun tenunan pengikat. Jaringan serat kolagen ini
tersusun secara tidak beraturan. Dalam proses persiapan penyamakan substansi ini
dibuang dengan maksud melonggarkan tenunan untuk memudahkan proses
penyamakan. Lapisan corium terdiri dari dua lapisan yaitu: pars papilaris dan
pars retikularis. Pars papilaris merupakan bagian yang sangat penting karena
lapisan ini menentukan rupa dari kulit. Pada lapisan ini terdapat rajah (nerf) yang
tipis tapi kuat, dan merupakan pembatas antara lapisan epidermis dengan lapisan
corium. Pars retikularis sebagian besar merupakan tenunan kolagen, tenunan
lemak, elastin dan retikulin, 3). Lapisan hypodermis (subcutis), pada hewan
lapisan ini berfungsi sebagai pembatas tenunan kulit dan tenunan daging.
Tenunannya bersifat longgar, pada lapisan ini banyak terdapat tenunan lemak dan
pembuluh darah, dan pada penyamakan kulit lapisan ini juga dibuang
(Nurwantoro dan Mulyani, 2003).
nama minyak ikan kasar. Minyak ikan yang digunakan memiliki ikatan C
rangkap atau bilangan yodium berkisar 80-120. Produk kulit jadi yang dihasilkan
misalnya kulit bulu (zemleer).
Menurut Zainab (2008) dalam Triono (2014) dalam Industri penyamakan
kulit sebelum kulit memasuki tahap penyamakan, kulit mengalami perlakuan
proses pengerjaan basah (beam house). Urutan proses pada tahap proses basah
beserta bahan kimia yang ditambahkan yaitu : perendaman (soaking), pengapuran
(liming), pembelahan (splitting), pembuangan kapur (deliming), pengikisan
protein (bating).
Perendaman (soaking) adalah untuk mengembalikan sifat-sifat kulit mentah
menjadi seperti semula, lemas, lunak dan sebagainya. Kulit mentah kering setelah
ditimbang, kemudian direndam dalam 800 - 1 000 liter air yang mengandung 1
gram/liter obat pembasah dan antiseptik atau anti jamur untuk mencegah
pertumbuhan mikro organisme pembusuk, misalnya tepol, molescal, cysmolan
dan sebagainya selama 1 - 2 hari. Kulit dikerok pada bagian dalam kemudian
diputar dengan drum tanpa air selama 1/5 jam, agar serat kulit menjadi longgar
sehingga mudah dimasuki air dan kulit lekas menjadi basah kembali. Pekerjaan
perendaman diangap cukup apabila kulit menjadi lemas, lunak, tidak memberikan
perlawanan dalam pegangan atau bila berat kulit telah menjadi 220 - 250% dari
berat kulit mentah kering, yang berarti kadar airnya mendekati kulit segar (60 65%).
Pengapuran (liming) adalah untuk menghilangkan epidermis dan bulu,
menghilangkan kelenjar keringat dan kelenjar lemak, menghilangkan semua zatzat yang bukan collagen yang aktif menghadapi zat-zat penyamak. Dengan adanya
proses pengapuran ini bulu yang menempel pada kulit dapat hilang dan bersih
sehingga dapat dilakukan proses selanjutnya. Cara mengerjakan pengapuran, kulit
direndam dalam larutan yang terdiri dari 300 - 400% air (semua dihitung dari
berat kulit setelah direndam), 6 - 10% kapur tohor Ca(OH)2, 3 - 6% natrium
sulphida (Na2S).
Pembelahan (splitting) adalah Untuk kulit atasan dari kulit mentah yang tebal
(kerbau-sapi) kulit harus ditipiskan menurut tebal yang dikehendaki dengan jalan
membelah kulit tersebut menjadi beberapa lembaran dan dikerjakan dengan mesin
belah (splinting machine). Belahan kulit yang teratas disebut bagian rajah (nerf),
digunakan untuk kulit atasan yang terbaik. Belahan kulit dibawahnya disebut split,
yang dapat pula digunakan sebagai kulit atasan, dengan diberi nerf palsu secara
dicetak dengan mesin press (emboshing machine), pada tahap penyelesaian akhir.
Selain itu kulit split juga dapat digunakan untuk kulit sol dalam, krupuk kulit, lem
kayu dll. Untuk pembuatan kulit sol, tidak dikerjakan proses pembelahan karena
diperlukan seluruh tebal kulit.
Pembuangan kapur (deliming) adalah Proses penyamakan dapat dikatakan
berlangsung dalam lingkungan asam maka kapur didalam kulit harus dibersihkan
sama sekali. Kapur yang masih ketinggalan akan mengganggu proses- proses
penyamakan. Misalnya: untuk kulit yang disamak nabati, kapur akan bereaksi
dengan zat penyamak menjadi kalsium tannat yang berwarna gelap dan keras
mengakibatkan kulit mudah pecah. Untuk kulit yang akan disamak krom, bahkan
kemungkinan akan menimbulkan pengendapan krom hidroksida yang sangat
merugikan. Pembuangan kapur akan mempergunakan asam atau garam asam,
misalnya H2SO4, HCOOH, (NH4)2SO4, dan lain-lain.
Proses pengikisan (beating) menggunakan enzim protese untuk melanjutkan
pembuangan semua zat-zat bukan collagen yang belum terhilangkan dalam proses
pengapuran antara lain: sisa-sisa akar bulu dan pigment, sisa-sisa lemak yang tak
tersabunkan, sedikit atau banyak zat-zat kulit yang tidak diperlukan artinya untuk
kulit atasan yang lebih lemas membutuhkan waktu proses bating yang lebih lama,
sisa kapur yang masih ketinggalan.
C. Pengawetan Dengan Cara Pengasaman (Pickling)
Teknik pengawetan ini terutama dipakai untuk mengawetkan kulit domba
(terutama di New Zaeland, Australia, Amerika dan pabrik-pabrik kulit yang
berskala besar lainnya). Untuk keperluan ekspor kulit dipickle selama 2 bulan
atau lebih. Pengawetan kulit dengan cara dipickle dikerjakan untuk kulit-kulit
yang telah dikeluarkan bulunya melalui proses pengapuran (liming), buang kapur
(deliming) dan telah didegradasi sebagian protein penyusunnya yang disebut
bating (beitzing).
Dari keempat jenis pengawetan kulit tersebut, tentunya masing-masing jenis
pengawetan memiliki keuntungan dan kerugian, namun pada prinsipnya proses
pengawetan yang dilakukan tentunya mengarah kepada suatu upaya bagaimana
kulit mentah tersebut memiliki umur simpan yang maksimal hingga memasuki
tahap pengolahan. Selama proses penyimpanan tersebut struktur penyusun kulit
sangat rentan sekali oleh pengaruh mikroorganisme. Selain itu tentunya
perubahan-perubahan yang terjadi pada struktur penyusun diupayakan dapat
diminimalisir.
Tingginya kadar air dan protein pada kulit menyebabkan kulit merupakan
media yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme. Dengan fenomena ini
menunjukkan bahwa, produk kulit mentah merupakan produk hasil sampingan
pemotongan ternak yang memerlukan penanganan khusus setelah lepas dari tubuh
ternak.
Selain zat-zat kimia tersebut, di dalam kulit yang masih segar terdapat pula
beberapa jenis enzim yang dihasilkan oleh sel-sel di dalam kulit itu sendiri yakni
enzim cathepsin, collagenase, dan dopa oxidase. Enzim collagenase disintesis
oleh sel fibroblast. Selama hewan masih hidup enzim tersebut dalam bentuk procollagenase yang tidak aktif, namun setelah hewan dipotong pro-collagenase
tersebut akan menjadi aktif sebagai collagenase yang dapat mencerna serabut
kolagen. Selama kulit masih segar setelah lepas dari tubuh dan sebelum
mengalami pengawetan dalam kondisi lingkungan yang sesuai, enzim cathepsin
bersama-sama dengan enzim collagenase mencerna zat-zat dalam kulit.
D. Penyamakan Nabati
Penggunaan bahan penyamak nabati dalam penyamakan kulit akan
mempengaruhi kualitas fisik kulit, baik itu kekuatan tarik, kekuatan sobek
maupun karakter fisik lainnya. Selain itu dapat mereduksi penggunaan krom yang
diketahui memiliki limbah berupa cairan krom hasil penyamakan yang berbahaya
bagi lingkungan maupun makhluk hidup. Dari segi ekonomis penggunaan bahan
penyamak nabati lebih murah dibanding bahan penyamak krom.
Penyamakan nabati adalah penyamakan yang dilakukan dengan mengunakan
bahan penyamak yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, seperti: akasia, gambir
(Purnomo, 1991). Masih menurut Purnomo (1991), kulit yang disamak nabati
umumnya berwarna cokelat muda atau kemerahan sesuai dengan warna bahan
penyamaknya, ketahanan fisiknya terhadap panas kurang baik dibandingkan kulit
yang disamak khrom walaupun lebih baik bila dibandingkan dengan kulit yang
disamak dengan minyak atau formaldehyde.
Tanin dari tumbuh-tumbuhan disebut juga dengan asam tannat, gelatin atau
galaktanat (Luftinor, 1997 dalam Triono, 2014). Winarno dan Aman (1981) dalam
Triono (2014) menyatakan bahwa penyebaran sifat dari jumlah tanin pada
tanaman tergantung pada jenis dan umur tanaman. Tanin dalam jaringan sel
terdapat didalam vakuola sehingga tidak mengganggu proses metabolisme sel.
Jika dilihat dari bawah mikroskop sel yang mengandung tanin berwarna cokelat.
Yeni dan Syafrudin (2009) dalam Triono (2014), menyatakan bahwa tanin
diklasifikasikan dalam dua kelompok besar yaitu hydrolysable tanin merupakan
tanin yang dapat dihidrolisis dan condensed taninyaitu tanin yang tidak dapat
dihidrolisis. Tanin yang tidak terhidrolisis, molekulnya akan berpolimerisasi bila
dipanaskan. Dengan adanya asam kuat akan terbentuk suatu zat warna merah yang
disebut flobafen atau tanin merah.
Menurut Iswandi, (1983) dalam Triono (2014), tanin ini kebanyakan turunan
dari flavenol dimana kedua jenis tanin ini dapat ditemukan dalam ekstrak yang
sama. Tanin yang terdapat dalam gambir merupakan tanin yang tidak dapat
dihidrolisa. (Yeni dan Syafrudin, 2009 dalam Triono, 2014) menyatakan bahwa
tanin disebut juga asam tannat atau asam gallatanat yang biasanya mengandung
air sekitar 10%, tanin adalah campuran terbesar yang terkandung didalam gambir
dengan sifat-sifat yang dimiliki yaitu: a). Merupakan sebuk yang berbentuk amorf
yang tidak dapat dikristalkan, b). berwarna cokelat kemerah-merahan dan
7
mempunyai rasa yang sepat, larut dalam air, alkohol, gliserol, dan propel glikol,
tidak larut dalam eter, petroleum eter, kloroform, dan benzene, c). Berupa koloid
dalam air dan alkohol, dapat memberikan rasa asterigensia (zat yang menciutkan)
atau sepat, mengendap dengan gelatin, alkaloid, albumin, dan protein-protein
lainnya, d). Membentuk komplek berwarna spesifik jika direaksikan dengan ionion logam seperti, Pb, Cu, Fe, dan Sn.
Bakhtiar (1991) mengungkapkan bahwa pemakaian terbesar dari tanin adalah
untuk penyamak kulit. Kulit bila tidak disamak dalam keadaan basah cepat busuk,
sedangkan bila kering, kaku dan keras. Jadi disini tanin berfungsi untuk mencegah
pembusukan kulit dan merubah kulit jadi liat. Pada proses penyamakan, tanin
mengendapkan protein. Purnomo (1991) menyatakan penyamak nabati seperti
tanin dari gambir memberikan warna cokelat muda atau kemerahan bersifat agak
kaku tapi empuk dan kurang tahan terhadap panas.
Ibrahim, dkk (2005) mengungkapkan bahwa sifat-sifat bahan penyamakan
nabati adalah: 1). Dalam larutan encer (<30 Be) mudah tumbuh mikroorganisme
dan terurai menjadi asam-asam yang lemah, 2). Dalam pH yang rendah
mempunyai molekul yang besar dan warna muda dalam pH yang tinggi
sebaliknya, 3). Bila bersinggungan dengan besi akan membentuk ferro tanat yang
berwarna hitam, 4). Dalam larutan yang encer molekul mengecil, dan dalam
larutan pekat sebaliknya, 5). Dalam tempat yang terbuka mudah mengadakan
oksidasi dengan udara, dan warna menjadi tua/gelap.
Ibrahim, dkk. (2005) menyatakan bahwa faktor-faktor penting dalam
penyamakan nabati adalah: a). keseimbangan elektrolit, artinya keseimbangan
antara kulit bloten (pelt): asam-asam dan garam atau antara elektrolit-elektrolit,
didalam cairan zat penyamak nabati. Selagi periode keseimbangan elektrolit
belum tercapai didalam struktur serat kulit akan menghasilkan apa yang disebut
piple grain atau mengkerutnya rajah kulit, kulit sebelum bertemu dengan cairan
penyamak dibawa dalam suasana yang hamper mendekati pH titik isoelektrik
dimana konsentrasi ion hydrogen dan ion hidroksi dalam keadaan seimbang. Hal
ini merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan dan biasanya dilakukan
pada saat pembuangan kapur. b). Diffusi, zat penyamak harus menembus kulit
dari permukaan kulit (rajah) dan dari bagian dagingnya kedalam struktur anyaman
serat, hingga air bebas diantara serat-serat kulit keluar. Kecepatan diffusi
tergantung dari beberapa faktor yaitu: gerakan mekanik, konsentrasi/kepekatan zat
penyamak, dan temperatur.
Masih menurut Ibrahim, dkk. (2005) setelah zat penyamak terdifusi kedalam
kulit, maka mulai terjadi ikatan antara molekul zat penyamak dengan zat-zat kulit.
Beberapa faktor yang mempengaruhi ikatan yaitu: 1). pH, penyamakan dapat
terjadi dalam interval pH yang cukup luas, tetapi ikatan antara zat penyamak
dengan kulit terjadi pada pH yang tertentu dan berbeda-beda, tergantung zat
penyamak yang digunakan, 2). Konsentrasi garam, garam memainkan peranan
yang penting terhadap terjadinya ikatan dalam penyamakan nabati. Garam
berpengaruh terutama pada sifat kebengkakan kulit karena dibawah kondisi asam.
Konsentrasi garam yang tinggi akan mengurangi kesensitifan kollagen terhadap
variasi perubahan pH yang biasanya ditemukan didalam penyamakan, karena
kurang sensitive mengakibatkan kollagen yang berkurang reaktifitasnya, 3).
Ukuran partikel molekul zat penyamak, semua cairan zat penyamak nabati
merupakan larutan yang sangat kompleks dan merupakan campuran garam dan
poliphenolat alam. kompleks tersebut merupakan polimer sehingga molekulmolekul partikelnya saling berikatan satu sama lain. Untuk mendapatkan partikelpartikel yang lebih kecil agar lebih mudah terpenetrasi biasanya ditambahkan
sodium disulphit selama ekstraksi berlangsung. Namun dengan pecahnya partikel
kebentuk yang lebih kecil daya ikatnya juga berkurang, tetapi daya penetrasinya
akan bertambah.
Selama proses penyamakan berlangsung, ada beberapa tahap yang terjadi,
yang pertama adalah reaksi antara gugus-gugus hidroksil yang terdapat dalam zat
penyamak nabati dengan struktur kolagen, kemudian diikuti dengan terjadinya
reaksi ikatan dari molekul zat penyamak dengan molekul zat penyamak lainnya
(yang dianggap tahap kedua), sampai seluruh ruang kosong yang terdapat diantara
rantai kolagen terisi seluruhnya (Purnomo, 1991).
Bagian kolagen yang dapat bereaksi dengan zat penyamak merupakan rantai
samping peptida yang bebas, sehingga mampu membentuk struktur ikatan
hidrogen dengan gugus aktif yang terdapat pada zat penyamak. Dalam
penyamakan ada prinsip yang digunakan sebagai pedoman yang dikenal dengan
istilah golden-rule, yaitu penyamakan harus diawali dengan penetrasi zat
penyamak yang cepat, pengikatan yang lambat dan pada akhir penyamakan harus
sebaliknya, yaitu penetrasi lambat dan pengikatan yang cepat (Purnomo, 1991).
Masih menurut Purnomo, (1991) untuk memenuhi prinsip ini, dalam
penyamakan nabati kepekatan dan pH larutan bahan penyamaknya harus diatur.
Pada nilai pH tinggi, bahan penyamak nabati mempunyai zarah-zarah yang lebih
halus dari pada bahan penyamakan pada PH rendah, demikian pula kepekatannya.
Pada kepekatan rendah, ukuran zarah-zarahnya lebih kecil daripada kepekatan
tinggi. Dari sifat ini, pada awal penyamakan nabati, PH harus diatur cukup tinggi
(5) agar zarah bahan penyamak mudah masuk kedalam jaringan serat kulit.
Demikian pula dalam larutan encer, (0.5 - 10Be) zarah bahan penyamka lebih
kecil daripada dalam larutan yang pekat, karena kepekatan berpengaruh pada
besar molekul, demikian pula PH, maka prinsip yang digunakan pada awal
penyamakan nabati adalah, dimulai dengan pH tinggi dan kepekatan rendah, dan
diakhiri dengan pH rendah dan kepekatan tinggi (4 - 50Be).
E. Mimosa
Potensi limbah kulit kayu akasia yang merupakan tanaman untuk Hutan
Tanaman Industri (HTI) ini di masa mendatang akan sangat besar dengan semakin
digalakkannya HTI akasia. Dengan perhitungan kulit kayu sekitar 10% dari
batang kayu, maka akan didapatkan limbah kulit kayu sekitar 3 juta ton lebih per
tahun (Prasetya 1995). Pemanfaatan limbah kulit kayu sebagai sumber energi
kurang memberikan nilai tambah yang menguntungkan. Salah satu pemanfaatan
limbah kulit kayu yang mempunyai prospek yang baik adalah pemanfaatan bahan
tanin yang terkandung di dalamnya untuk perekat kayu atau komposit kayu. Oleh
karena adanya kandungan tanin maka sangat tepat jika kulit kayu akasia
digunakan pada proses penyamakan kulit. Tanin dari kulit kayu akasia ini pun
sudah diperdagangkan, dan dipasarkan dengan paten mimosa. Klasifikasi dan
deskripsi tumbuhan akasia (Acacia mangium Willd) sebagai berikut:
Tumbuhan akasia (Acacia mangium Willd) merupakan jenis pohon cepat
tumbuh (fast growing species). Klasifikasi taksonomi dari tumbuhan ini adalah
sebagai berikut (Anonymous 1983 diacu dalam Widodo 2002):
Sub Kingdom
Filum
Sub Fiilum
Kelas
Sub Kelas
Ordo
Family
Sub Family
Genus
Spesies
: Embryophyta
: Tracheophyta
: Pteropsida
: Angiospermae
: Dicotyledoneae
: Rosales
: Leguminosae
: Mimosoideae
: Acacia
: Acacia mangium
10
12
= F
---t
dengan:
F = nilai gaya yang terbaca pada alat (kgf)
t = ketebalan kulit (mm)
IV.
A. Proses Penyamakan
Penyamakan adalah proses mengubah sifat kulit yang tidak stabil (kulit
mentah) menjadi stabil terhadap perlakuanperlakuan tertentu seperti aksi bakteri,
zat kimia, dan perlakuan fisik (Purnomo, 1985). Menurut Fahidin (1970), proses
penyamakan kulit secara garis besar meliputi proses prapenyamakan, proses
penyamakan, proses pascapenyamakan, dan proses penyelesaian.
Proses prapenyamakan meliputi proses perendaman, pengapuran, buang
kapur, pelumatan (bating), dan pemikelan. Perendaman merupakan awal proses
dalam proses prapenyamakan yang bertujuan untuk rehidrasi kulit kering,
membersihkan kulit dari kotoran, menghilangkan garam atau bahan kimia lain
yang semula digunakan sebagai bahan pengawet, dan melarutkan protein yang
dapat larut untuk dibuang. Pengapuran bertujuan untuk menghilangkan bagian
bagian yang tidak diperlukan dalam penyamakan seperti epidermis, bulu, kelenjar
keringat dan lemak, serta menghilangkan zat-zat. kulit yang perlu dihilangkan.
Kapur yang berlebih pada kulit yang berasal dari proses pengapuran perlu
dihilangkan dengan tujuan agar tidak bereaksi dengan bahan penyamak. Proses ini
disebut juga dengan proses buang kapur. Setelah proses buang kapur, proses
selanjutnya adalah bating. Proses ini dilakukan untuk membuka tenunan kulit
yang lebih sempurna.
Proses akhir dari prapenyamakan adalah pemikelan. Pemikelan bertujuan
untuk mengkondisikan agar kulit siap disamak pada pH yang mendekati pH dalam
proses penyamakan. Proses penyamakan pada umumnya berlangsung pada pH
rendah. Proses penyamakan bertujuan untuk mengubah fibrilfibril pada kolagen
kulit menjadi lebih kuat dan stabil pada tingkat tertentu terhadap pengaruh kimia,
fisis, dan biologis setelah berikatan dengan zat-zat atau bahan penyamak. Menurut
bahan penyamaknya, secara umum penyamakan terdiri dari penyamakan nabati,
penyamakan mineral dan sintetis (Judoamidjojo, 1974).
Proses pascapenyamakan meliputi proses pengetaman, netralisasi, pewarnan
dasar, dan proses pelemakan. Pengetaman dilakukan untuk memperoleh ketebalan
kulit yang dikehendaki dan meratakan permukaan kulit. Netralisasi dilakukan
untuk menaikkan pH kulit yang sangat asam, sehingga reaksi pengikatan zat
warna pada substansi kulit tidak terlau cepat dan zat warna sempat meresap ke
dalam substansi kulit sebelum berikatan.
13
14
keadaan tidak bengkak. Bahan kimia yang digunakan adalah asam-asam organik
lemah seperti asam formiat dan asam laktat. Pengasaman dilakukan karena pada
proses pengapuran terdapat sisa-sisa kapur pada kulit. Ini akan mengganggu
proses penyamakan selanjutnya. Proses yang dimaksud yaitu :
a. Kapur akan bereaksi dengan zat penyamak menjadi kalsium tannat yang
berwarna agak gelap dan keras ketika kulit disamak nabati, akibatnya kulit
menajdi perah.
b. Kapur akan bereaksi menimbulkan pengendapan krom hidroksida pada
kulit disamak krom. Pembuangan kapur dilakukan dengan menggunakan
asam atau garam asam, misalnya H2SO4, HCOOH, dan (NH4)2SO4.
Selain mengasamkan kulit, tahap pengasaman ini memiliki fungsi
menghilangkan noda hitam akibat proses sebelumnya, menghilangkan noda besi
yang diakibatkan oleh Na2S dan menghilangkan noda putih akibat pengendapan
CaCO3 yang menyebabkan cat dasar tidak merata. Pengasaman ini menghasilkan
kuit yang tahan terhadap serangga bakteri pembusuk.
2. Proses Penyamakan (Tanning)
Prinsip dari proses penyamakan adalah memasukkan zat penyamak ke dalam
jaringan serat kulit (kolagen). proses penyamakan bertujuan untuk mengubah
kulit mentah yang mudah rusak oleh aktivitas mikroorganisme, kimia, atau fisik
menjadi kulit tersamak yang lebih tahan terhadap pengaruh-pengaruh tersebut
(Sofwana, 2001). Jenis penyamak yang digunakan mempengaruhi hasil akhir yang
diperoleh. Ada 3 jenis bahan penyamak yang dapat digunakan serta pengaruh
penggunaannya, yaitu :
a. Bahan penyamak dapat berasal dari bahan nabati (tumbuh-tumbuhan),
mineral, dan minyak. Bahan penyamak nabati dapat berasal dari kulit
akasia, manggis, buah pinang, gambir dan lain-lain. Penyamak nabati
(tannin) memberikan warna coklat muda atau kemerahan, bersifat agak
kaku tapi empuk dan kurang tahan terhadap panas.
b. Bahan penyamak mineral adalah garam-garam yang berasal dari senyawasenyawa yang mengandung logam-logam seperti aluminium, zirkonium,
dan kromium. Penyamakan krom menghasilkan kulit yang lebih
lembut/lemas, daya tarik dan lebih tahan terhadap panas dan bakteri.
c. Bahan penyamak dari minyak dapat berasal dari minyak ikan hiu atau ikan
lainnya.
Tahap pemucatan dilakukan dengan menggunakan asam-asam organik yaitu
kalsium hipoklorida dan sodium hidroksida, dengan tujuan :
a. Menghilangkan flek besi dari mesin ketam
b. Menurunkan pH kulit yang berarti memudakan warna kulit.
Setelah tahap pemucatan dilakukan tahap penetralan (neutralizing). Tahapan
ini bertujuan agar tidak mengganggu tahapan selanjutnya karena kulit yang
tersamak bersifat asam dengan pH 3-4. Bahan kimia yang digunakan adalah
garam alkali misalnya NaHCO3.
Tahapan pengecatan Dasar (Dyeing)
3.
Tahapan ini berfungsi untuk memberikan warna dasar pada kulit agar cat pada
kulit tidak mudah pecah. Bahan yang digunakan adalah air, cat dasar dan asam
formiat. Selanjutnya kulit diperas dengan mesin atau tangan lalu dikeringkan agar
tidak terjadi reaksi kimia didalam kulit. Setelah kulit kering, kulit akan diregang
15
untuk memperoleh kulit yang lebih lebar hingga mendekati batas kemulurannya.
Peregangan ini biasanya dilakukan dengan tangan ataupun mesin regang.
Proses penyamakan kulit domba yang dilakukan pada 16 Oktober 2015 tidak
jauh berbeda dengan diatas. Prosesnya sebagai berikut :
Depickling (pengaturan pH), dengan penambahan air 200% dan garam
NaCl 10% dari berat bahan dengan durasi pengayamakan selama 20 menit.
Kemudian penambahan natrium bikarbonat 0,75% dari berat bahan dengan
durasi 3x15 menit. pH maksimal mencapai 4.5.
Selanjutnya penambahan sertan ND sebanyak 2 % dari berat bahan dengan
durasi pengayamakan selama 30 menit. Kemudian penambahan mimosa
sebanyak 20% dari berat bahan dengan durasi pengayamakan selama 120
menit.
Kemudian dilakukan fiksasi dengan penambahan asam formiat sebanyak
0.25% dengan durasi pengayamakan selama 3x10 menit + 60 menit.
Kemudian air dikeluarkan dari alat penyamakan.
Lalu kulit domba dicuci dengan menambahkan air sebanyak 300% dari
berat bahan kemudian disamak lagi selama 10 menit. Selanjutnya air
dikeluarkan kembali.
Tahap selanjutnya kulit diletakkan pada bidang datar lalu digosok untuk
membantu dalam pengurangan kadar air. Kemudian di horse-up selama
semalam.
Kemudian dilakukan pengeringan selama 1-2 hari.
B. Analisis Sebelum dan Setelah Penyamakan
1. Ketebalan Kulit
Proses penyamakan akan mempengaruhi karakteristik kulit. Kulit yang telah
melewati proses penyamakan akan sangat berbeda dengan kulit mentah dari segi
organoleptik, fisik, dan kimia. Perbedaan yang sangat terlihat adalah
ketebalannya. Kulit yang telah disamak memiliki ketebalan yang lebih tinggi
sebesar 17.9% dari kulit sebelum disamak. Kulit yang tidak disamak memiliki
tebal yang sama dengan sebelum dikeringkan. Peningkatan tebal kulit setelah
penyamakan menunjukkan bahwa bahan penyamak mampu mengisi kulit
sehingga kulit menjadi lebih tebal (Purba 2014). Penambahan ketebalan kulit
samak dipengaruhi oleh kandungan tannin di dalam bahan penyamak. Bahan
penyamak mimosa yang dugunakan memiliki kandungan tannin sebesar 25.26%
(Hasibuan 2014).
2. Analisis Warna dan feel/handle
Analisis warna dan feel/handle merupakan dua parameter dalam uji
organoleptik kulit. Sifat organoleptik merupakan parameter yang sangat penting
dalam penentuan mutu kulit sama yang dihasilkan. Sifat ini dapat disesuaikan
dengan pengaplikasiannya pada produk-produk dengan ketentuan dan kebutuhan
yang berbeda. Kulit samak dengan kelenturan (feel/handle) dan warna yang baik
dapat digunakan sebagai bahan baku untuk industri tekstil seperti dompet, sabuk
atau ikat pinggang, jaket, aksesoris, sofa, dan jok mobil atau motor. Kulit samak
yang kaku dan tebal dapat digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan sandal
dan sepatu. Yang dimaksud dengan tekstur adalah feel/handle kulit ketika
dipegang dan tingkat kelemasan kulit.
16
17
Hasil pengujian menunjukkan bahwa kekuatan sobek pada arah sejajar serat
lebih rendah dibandingkan kekuatan sobek pada arah tegak lurus serat kulit yang
telah disamak (Tabel 3). Serat akan cenderung lebih kuat menahan gaya yang
diberikan pada arah tegak lurus (berlawanan arah) dibandingkan dengan arah gaya
yang sejajar serat.
Tabel 3. Rata-rata Kekuatan Sobek Pada Arah Sejajar dan Tegak Lurus Serat Kulit
Samak
No
Sejajar serat
Tegak lurus serat
sampel
(kgf/mm)
(kgf/mm)
1
3.54
3.90
2
1.70
3.32
3
2.44
2.72
4
2.13
3.04
Hasil pengujian ini nilainya setara dengan hasil pengujian Anwar (2002) yang
menggunakan bahan samak khrom untuk jenis kulit domba. Dengan demikian
penyamakan dengan mimosa yang merupakan bahan penyamak nabati dapat
menggantikan peran bahan penyamak sintetis.
Menurut Suparno dan Wahyudi (2008), uji kekuatan sobek sangat dipengaruhi
oleh ketebalan kulit, arah serat kolagen, dan sudut serat kolagen terhadap lapisan
grain. Kulit yang tipis memiliki serat kolagen yang longgar sehingga daya
sobeknya menjadi lebih tinggi (Prihandoko 2009). Kekuatan sobek yang tinggi
mampu menghasilkan produk-produk garmen yang kuat, tidak mudah sobek
(Mustakim et al. 2007).
V.
A. Simpulan
Proses penyamakan merubah kulit mentah yang memiliki warna putih
menjadi coklat, kulit yang tipis menjadi lebih tebal, meningkatkan suhu kerut
150C - 200C dari suhu kerut sebelum dilakukan penyamakan dan meningkatkan
kekuatan sobek kulit.
B. Saran
Perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai waktu proses penyamakan agar
dapat mempersingkat proses penyamakan kulit serta menurunkan biaya produksi
kulit samak.
18
DAFTAR PUSTAKA
Anonim,
19
20
LAMPIRAN
Tabel 4. Suhu Kerut Pra Penyamakan Ulangan 1
Sampel 1
Sampel 2
Sampel 3
T Deraja
T
Deraja
T
Deraja
0
0
0
(C
t
( C)
t
( C)
t
)
60
80
60
86
55
71
60
90
61
93
60
71
60
92
61
96
60
80
61
95
61
100
61
84
61
110
61
104
61
89
62
103
61
106
62
92
62
115
61
109
62
95
63
118
61
110
63
96
63
119
61
110
64
98
63
119
61
111
65
99
64
119
62
111
65
100
62
111
66
100
67
100
Sampel 4
T
Deraja
0
( C)
t
60
63
63
64
65
66
67
68
68
69
70
71
71
60
72
76
80
85
91
96
100
103
105
105
105
Sampel 4
T Deraja
(0C
t
)
60
54
62
67
62,
72
5
21
63
107
64
122
65
54
64
115
125
119
122
66,
5
67
68
56
65
65
64,
5
65
66
66
125
66
132
59
66
67
127
129
133
133
67
130
67
68
130
130
67
67,
5
67,
5
68
68
68,
5
69
69
130
69
134
123
131
134
134
134
58
59
59
62,
5
63
76
64
64,
5
65
82
84
66
66
86
87
66,
5
67
67,
5
68
68,
5
69,
5
70
89
79
86
89
89
90
90
90
90
Sampel 1 = (67+68+69)/3 = 68 0C
Sampel 2 = (68+68+69)/3 = 68,33 0C
Sampel 3 = (68+68,5+69)/3 = 68,5 0C
Sampel 4 = (68,5+69,5+70)/3 = 69,33 0C
Rataan Suhu Kerut Sampel
Sampel x = (Ulangan 1 + Ulangan 2)/2
Sampel 1 = (63,33 + 68)/2 = 65,67 0C
Sampel 2 = (61,67 + 68,33)/2 = 65 0C
Sampel 3 = (66 + 68,5)/2 = 67,25 0C
Sampel 4 = (70,67 + 69,33)/2 = 70 0C
22
23
3
66,
9
67,
2
68
68,
9
69,
4
70
106
74,5
75
16
83,3
133
107
75,5
75,3
18
84,5
133
108
108
76,5
77
10
18
75,5
75,8
22
23
85,5
133
108
78
30
75,9
25
108
79,5
80
81
82
82,8
83
83,8
84
85
85,8
64
94
106
113
116
118
119
120
120
120
76
76
76,2
76,3
76,4
76,5
76,9
77
77,2
77,5
77,9
78,2
78,5
79
79,3
79,8
80,5
81
81,9
82,3
83
83,5
84,5
85
86
28
30
33
35
39
42
47
51
56
59
63
68
73
79
83
85
82
92
94
98
99
101
103
103
103
61,
8
63
64,
2
65,
3
66,
2
67
68
69
69,
8
71
10
63
73
72
28
40
65
66
4
4
74
74
0
0
3
4
48
75
54
67,
5
69
73
74,
8
76
76
12
58
61
64
65
70
71
72
73
4
4
4
4
76
76
76
76
5
8
10
15
76,
5
78
79
80
81
67
74
20
82
109
71,
5
72
73,
5
74
67
75,
5
76
77
10
76,
5
77
28
83
113
14
23
77
77
35
50
84
85
114
120
78
79
79,
5
81
81,
7
82,
5
83
38
58
77
78
78
79
60
74
84
86
87
120
120
98
108
79
80
90
98
113
100
116
80,
5
81,
5
82
118
118
118
83
84
84
110
110
110
68
68
68
83,
5
84
85
85,
5
115
25
37
57
88
105
108
25
Ujung
Atas
1,5 mm
1,3 mm
1 mm
1,2 mm
Tengah
Ujung
Bawah
1,3 mm
1,1 mm
0,9 mm
1,1 mm
1,4 mm
1,2 mm
1 mm
1,2 mm
Rataan Sampel
Sampel 1 = (1,5+1,4+1,3)/3 = 1,4 mm
Sampel 2 = (1,3+1,2+1,1)/3 = 1,2 mm
Sampel 3 = (1+1+0,9)/3 =0,97 mm
Sampel 4 = (1,2+1,2+1,1)/3 =1,17 mm
Tabel 9. Ketabalan Kulit Pasca Penyamakan
Sampel
Ujung
Atas
1,75 mm
Tengah
1,65 mm
3
4
1
(Kontrol
)
2
Ujung
Bawah
1,75 mm
Sisi
Kiri
1 mm
1,2 mm
1,2 mm
1,35 mm
1,2 mm
1,2 mm
1,4 mm
1,65
mm
1,75 mm
1,1
mm
0,8
mm
1,45
mm
1,45
mm
Tengah
1,7 mm
Sisi
Kanan
0,9 mm
1,25
mm
1,2 mm
1,2 mm
1,5 mm
1,5 mm
1 mm
Rataan Sampel
Sampel 1 = (1,75+1,45+1,75+1+1,7+0,9)/6 = 1,43 mm
Sampel 2 = (1,65+1,2+1,2+1,1+1,25+1,2)/6 = 1,27 mm
Sampel 3 = (1,35+1,2+1,2+0,8+1,2+1)/6 = 1,13 mm
Sampel 4 = (1,4+1,65+1,75+1,45+1,5+1,5)/6 = 1,54 mm
Tabel 10. Kuat Tarik (Kgs)
M1
M2
Sampel
1(Kontrol)
5,88 Kgs
6,6 Kgs
Sampel 2
Sampel 3
Sampel 4
3,27 Kgs
5,28 Kgs
2,64 Kgs
2,88 Kgs
4,08 Kgs
5,28 Kgs
26
M3
S1
S2
S3
4,2 Kgs
6 Kgs
4,32 Kgs
4,8 Kgs
4,08 Kgs
1,92 Kgs
2,64 Kgs
1,92 Kgs
3,24 Kgs
5,04 Kgs
3,08 Kgs
2,4 Kgs
4,68 Kgs
2,52 Kgs
3,24 Kgs
4,08 Kgs
Warna
Putih
Coklat Muda
Coklat Muda
Coklat Muda
Tekstur
Kasar
Halus
Sangat Halus
Sedikit Kasar
27
28
29
Gambar 12. Perbandingan panjang kulit samak sebelum dan setelah diuji suhu
kerut
30