Anda di halaman 1dari 13

TEKNOLOGI HASIL TERNAK

“Pengertian, Sifat Fisik, dan Sifat Kimia Kulit”

Oleh :

Kelas D

Kelompok 1
Jembar Dea S. 200110150023
Sri Mulyani 200110150188
Febi Febrian 200110160009
Fikri Ibadurrahman 200110160041
M. Ramadhia Y. 200110160084
M. Rovie Nawawi 200110160101
Aila Jiwandini 200110160102
Nina Uliyah 200110160104
Salsabila Nazhari 200110160259
Ilman Maulani 200110160261
Rani Irawan 200110160269
Vina Ristiani N. 200110160273

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2018
I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kulit merupakan lapisan terluar pada tubuh makhluk hidup. Selain itu,

kulit juga merupakan salah satu dari banyaknya produksi hasil ternak yang tidak

sedikit dimanfaatkan oleh banyak pihak. Pemanfaatan kulit ini biasanya banyak

kita jumpai pada industri olahan makanan, industri pengolahan sandang seperti

tas, sepatu, jaket, dan lainnya.

Pemanfaatan kulit ternak/ hewan untuk kepentingan manusia itu berjalan

searah dengan perkembangan peradaban manusia. Dari keseluruhan produk

sampingan hasil pemotongan ternak, maka kulit merupakan produk yang memiliki

nilai ekonomis yang paling tinggi. Berat kulit pada sapi, kambing, dan kerbau

memiliki kisaran 7-10% dari berat tubuh.

Secara ekonomis kulit memiliki harga berkisar 10-15% dari harga ternak.

Pengetahuan tentang struktur kulit sangat penting dalam proses pengolahan kulit,

karena sebagian besar proses tersebut melibatkan bagian-bagian kulit, misalnya

proses penyamakan pada kulit. Berdasarkan uraian tersebut, maka sangat penting

untuk mengetahui pengertian, sifat fisik, dan sifat kimia kulit ternak.

1.2. Maksud dan Tujuan

1. Mengetahui dan memahami pengertian dari kulit.

2. Mengetahui dan memahami sifat fisik dari kulit.

3. Mengetahui dan memahami sifat kimia dari kulit.


II

PEMBAHASAN DAN DISKUSI

2.1. Pengertian Kulit

Kulit adalah bagian terluar dari struktur manusia, hewan atau tumbuhan.

Pada hewan atau manusia kulit adalah lapisan luar tubuh yang merupakan suatu

kerangka luar, tempat bulu tumbuh. Kulit berfungsi melindungi badan atau tubuh

dari pengaruh-pengaruh luar, misalnya panas, pengaruh yang bersifat mekanis,

kimiawi, serta merupakan alat penghantar suhu (Suardana dkk., 2008).

Kulit mentah adalah bahan baku kulit yang baru ditanggalkan dari tubuh

hewan sampai kulit yang mengalami proses-proses pengawetan atau siap samak.

Kulit mentah dibedakan atas kulit hewan besar (hides) seperti sapi, kerbau, dan

kuda, serta kelompok kulit yang berasal dari hewan kecil (skins), seperti kambing,

domba, dan kelinci termasuk di dalamnya kulit hewan besar yang belum dewasa

seperti kulit anak sapi dan kuda (Purnomo, 1985).

Menurut Judoamidjojo (1974), struktur kulit hewan dapat dibedakan

secara makroskopis dan mikroskopis (histology). Secara makroskopis, kulit hewan

dibagi atas beberapa daerah yaitu daerah krupon (croupon), kepala, dan leher,

serta daerah kaki, ekor, dan perut. Secara mikroskopis, kulit hewan terdiri dari

tiga lapisan, yaitu lapisan epidermis, korium, dan subkutis.


Keterangan : A, B Bagian kepala dan leher;
C, D Krupon; E, F Ekor, perut, dan kaki

Gambar 1. Struktur Kulit Secara Makroskopis (Suardana dkk., 2008).

Pembagian kulit secara makroskopis adalah pembagian yang mengacu

kepada bagian-bagian kulit yang pada umumnya disamak dan menunjukkan

kualitas kulit. Daerah krupon adalah bagian terpenting dari kulit hewan karena

bagian ini meliputi 55% dari seluruh kulit. Pada bagian ini, terdapat jaringan yang

rapat dan kuat. Daerah kepala dan leher meliputi sekitar 23% dari seluruh kulit.

Ketebalan kulit pada daerah kepala dan leher relatif lebih tebal dari daerah

lainnya, tetapi mempunyai jaringan yang lebih longgar dari daerah krupon.

Daerah kaki, perut dan ekor, meliputi 22% dari seluruh kulit. Pada daerah perut,

ketebalan kulit relatif tipis dan jaringannya longgar, sedangkan daerah kaki kulit

lebih tebal dan jaringan lebih padat (Judoamidjojo, 1974).

Kulit hewan secara mikroskoskopis dibagi berdasarkan struktur lapisan

yang menyusun kulit. Kulit memiliki tiga lapisan utama yaitu lapisan epidermis,

korium, dan subkutis. Lapisan epidermis juga disebut lapisan tanduk, yang

berfungsi sebagai pelindung pada hewan hidup. Korium merupakan tenunan

kolagen kulit yang merupakan bahan utama dalam proses-proses penyamakan.

Korium sebagian besar dibangun oleh serat kolagen yang merupakan benang
benang halus yang berkelok–kelok dalam berkas-berkas yang terbungkus

lembaran anyaman atau tenunan retikular. Lapisan subkutis merupakan tenunan

pengikat longgar yang menghubungkan korium dengan bagian-bagian lain dari

tubuh. Hipodermis sebagian besar terdiri atas seratserat kolagen dan elastin

(Suardana dkk., 2008).

2.2. Sifat Fisik Kulit

Kulit mempunyai sifat fisik dan kimia (physical and chemical properties).

Sifat fisik adalah sifat-sifat yang termasuk kekuatan fisik dan keadaan fisik atau

struktur kulit sedangkan sifat-sifat kimia adalah semua zat kimia yang terkandung

di dalamnya. Kekuatan fisik adalah kekuatan kulit terhadap pengaruh lingkungan

antara lain pengaruh kekuatan mekanik dan kondisi penyimpanan, sedangkan

sifat-sifat kimia yaitu kadar zat kimia antara lain protein, serat, globular,

karbohidrat, lemak, mineral yang ada pada kulit. Kekuatan fisik berkolerasi

dengan struktur jaringan dan kadar zat-zat kimia yang terdapat pada kulit,

sehingga besarnya kekuatan fisik dapat diprediksikan dengan struktur jaringan dan

kadar zat-zat kimia kulit (Kanagy, 1977).

Salah satu penentu kekuatan fisik dan struktur jaringan pada kulit antara

lain diameter fibril, diameter serabut, tebal dan tipisnya berkas serabut, sudut

jalinan, dan tebal atau tipisnya kulit (mentah, awetan, maupun tersamak).

Komposisi kimia pada kulit berpengaruh terhadap kekuatan fisik antara lain

ikatan-ikatan kimia (sekunder dan tersier), kandungan hidroksiprotein (kadar

protein kolagen) dan banyak sedikitnya kadar protein globular. Kadar protein

globular berpengaruh terhadap sifat kekakuan, baik pada kulit kering maupun

kulit tersamak begitu pula dengan kadar air dan lemak. Kadar air dan lemak

mempengaruhi tingkat kelemasan kulit yang telah disamak (Djojowidagdo, 1993).


Struktur jaringan kulit berpengaruh terhadap sifat-sifat fisik kulit.

Pengaruh yang terbesar adalah pada serabut kolagen terdapat dalam korium yang

teranyam membentuk seperti jala dengan arah tiga dimensi. Bentuk anyaman yang

spesifik inilah menentukan tinggi rendahnya sifat fisik kulit serta fungsi kulit pada

saat ternak masih hidup (Budiyanto, 1984).

Suhu kerut (shrinkage temperature) adalah suhu terjadinya kerutan

struktur kolagen kulit. Kerusakan tersebut disebabkan karena terjadinya

pemendekan serabut kolagen pada suhu 60-70ºC (Nayudamma, 1978), atau

putusnya ikatan hidrogen pada rantai polipeptida (Kanagy, 1977). Suhu kerut

dapat dijadikan indikator kualitas fisik yang dapat dideteksi pada kulit mentah

maupun kulit proses (Covington dan Shi, 1998). Suhu kerut kulit ditentukan oleh

jumlah dan besarnya diameter berkas serabut kolagen, semakin banyak berkas

serabut kolagen dan semakin besar diameter berkas serabut kolagen maka kerut

kulit semakin tinggi (Djojowidagdo, 1993).

Kulit mentah awetan jika diletakkan di suatu tempat dengan suhu 60ºC

dalam waktu 2-3 menit akan terjadi kerusakan dalam bentuk pengerutan yang

tidak dapat diperbaiki lagi. Pada keadaan basah dengan suhu di atas 40ºC dalam

waktu beberapa jam saja akan terjadi kerusakan yang sama. Namun jika kulit telah

dikeringkan hingga kadar air mencapai 14% maka akan lebih tahan terhadap suhu

tersebut di atas (Judoamidjojo, 1984).

1) Kekuatan Tarik

Kekuatan tarik akan meningkat dengan bertambahnya lebar kulit, makin

lebar kulitnya akan semakin tinggi kekuatan tariknya. Hal ini disebabkan karena

semakin lebar kulitnya maka struktur kulitnya akan semakin kuat karena adanya

perkembangan kolagen pada sel-sel yang menyusun kulit. Di samping itu


kekuatan tarik dipengaruhi oleh adanya lemak atau minyak pada kulit yang akan

menaikkan kekuatan tarik pada kulit yang disamak (Triatmojo, 2012).

2) Kemuluran

Kemuluran kulit adalah pertambahan panjang kulit pada saat ditarik

sampai putus dibagi panjang semula dan dinyatakan dalam persen (%). Kualitas

kulit yang disamak dapat dilihat dari kekuatan tarik dan mulur saat putus. Efek

kemuluran terhadap kulit adalah semakin rendah maka kulit akan pecah atau

retak, tetapi kalau terlalu mulur untuk pembuatan produk sepatu pada

pemakaiannya sepatu akan mudah longgar. Faktor lain yang dapat mempengaruhi

kekuatan tarik dan kemuluran kulit adalah ketebalan kulit, tebal kulit tergantung

dari umur, jenis kelamin dan spesies asal hewan. Semakin tua maka ketebalan

kulitnya akan semakin bertambah karena jaringan kulit akan menjadi lebih padat

dan kuat akibat dari pertumbuhan dan perkembangan sel-sel yang menyusun kulit

(Muyonga dkk., 2004).

3) Kekuatan Zwik (Lastability)

Persyaratan untuk kekuatan zwik untuk lulus uji mutu kualitas kulit

tersamak adalah bagian nerf pada kulit tersamak tidak pecah. Kekuatan zwik/

ketahanan retak merupakan salah satu penentu kualitas kulit. Ketahanan retak

kulit adalah kemampuan kulit untuk meregang sampai jarak ketinggian tertentu

Karena diberi gaya dari bagian daging sampai rajahnya muli retak, dinyatakan

dalam satuan millimeter (mm) (Badan Standarisasi Nasional, 2005).

2.3. Sifat Kimia Kulit

Pengetahuan tentang sifat kimiawi pada kulit sangat penting dalam proses

penyamakan kulit, karena sebagian besar proses tersebut melibatkan penggunaan

bahan kimia. Proses kimiawi yang terjadi dalam kegiatan penyamakan kulit
diantaranya dalam hal terkait dengan proses: (1) pelarutan protein globular, (2)

pemisahkan dan penghancurkan epidermis, folikel rambut serta pemisahkan bulu,

(3) mempertahankan serabut kolagen, (4) melarutkan serabut elastis, substansi

dasar serta penghilangan lemak (Sarkar, 1995). Begitu pula dalam proses

bagaimana mempertahankan kondisi kulit samak dalam jangka waktu yang

panjang sehingga mampu tahan terhadap kondisi lingkungan selama proses

penyimpanan (Cordon, 1977).

Komposisi kimia pada kulit mentah atau segar diantaranya terkait dengan

kadar protein, lemak, karbohidrat, mineral dan air. Proporsi masing-masing zat

kimia yang menyusun komponen kulit cukup bervariasi, tergantung dari jenis

ternak, umur, makanan, iklim dan kebiasaan hidup ternakitu sendiri. Komposisi

zat kimia yang menyusun kulit antara lain: air kira-kira sebanyak 65%, protein

33%, mineral 0,5% dan lemak 2-30%. Komposisi zat kimia tersebut tidaklah

konstan, namun sangat tergantung dari macam kulitnya. Penyusun terbanyak

adalah komponen air dengan jumlah cukup bervariasi yakni antara 60-70%.

Komponen lemak dalam kulit variasinya justru lebih besar dan menyulitkan

sehingga perlu perhatian khusus bagi para penyamak kulit, terutama komponen

lemak pada kulit domba dan babi. Jenis lemak yang terdapat pada kulit terdiri atas

beberapa macam, diantaranya adalah trigliserida, phospholipid, cholesterol dan

lilin (wax). Lemak yang dihasilkan oleh kelenjar minyak kulit banyak

mengandung waxsertaester yang berasal dari asam lemak dengan alkohol. Sel

lemak pada korium kulit dan jaringan lemak pada subkutis terutama mengandung

trigliserida. Komponen mineral yang umum terdapat dalam kulit diantaranya

adalah garam dari K, Na, Ca dan Mg, phosphat, karbonat, dan klorida (Muyonga

dkk., 2004).
Persentase mineral dalam komponen kulit relatif lebih rendah dengan total

mineral hanya berkisar 1%. Karbohidrat dalam kulit berada dalam bentuk

glikogen, “gula kulit”, amino-sugar, mucopolisakarida maupun bentuk lainnya.

Protein merupakan kandungan zat kimia penting yang terdapat pada kulit, karena

protein tersebut sangat menentukan kualitas produk-produk kulit hasil

penyamakan. Kadar protein dalam komponen kulit berada sekitar 80% dari total

bahan kering.

Komponen protein yang terdapat dalam kulit terdiri atas beberapa macam,

namun yang menjadi perhatian para penyamak kulit secara garis besarnya

dikelompokkan menjadi dua yaitu, protein fibrousdan protein globular. Protein

fibrous terdiri dari keratin (penyusun utama epidermis, buluatau rambut maupun

wol), kolagen (protein utama pada kulit), retikulin (bersama-sama dengan serabut

kolagen, banyak dijumpai di stratum papilare) dan elastin (banyak dijumpai di

stratum papilare) yang jumlahnya akan semakin bertambah sesuai dengan

pertambahan umur dan sampai saat tertentu pertambahan tersebut akan terhenti.

Protein globular, merupakan protein yang berasal dan serum dan disintesis oleh

sel dalam jaringan ikat korium. Protein globuler tersusun atas albumin, globulin

(serum darah) dan mucin/mucoid atau mucoprotein (berasal dari sel dan berperan

sebagai substansi dasar) (Sarkar, 1995).

Selain zat-zat kimia tersebut dijumpai pula enzim, yaitu enzim cathepsin

yang dapat menyebabkan terjadinya autolisis apabila kulit mentah atau kulit

awetan disimpan pada suhu dan kelembaban yang tinggi. Enzim yang lain berupa

enzim dopa oxidase. Oleh aktivitas sinar ultra violet (UV), maka sinar tersebut

akan mengubah senyawa tirosin dalam tubuh menjadi senyawa dopa

(deoxyphenilalanin) hingga selanjutnya senyawa dopa tersebut akan teroksidasi


karena adanya pengaruh dari enzim dopa oxidase tersebut. Hasil akhirnya berupa

senyawa melanin, yakni butiran zat berwarna yang terdapat pada kulit.

Penampilan warna gelap pada kulit ternak hidup menunjukkan adanya

kemungkinan besar disebabkan oleh karena peristiwa tereksposnya kulit tersebut

di bawah terik matahari dalam jangka waktu yang lama. Warna kulit berpengaruh

terhadap cara pengawetan kulit, kulit gelap harus mendapat perhatian khusus

karena bila diawetkan secara dikeringkan, akan cepat mengubah protein kolagen

pada kulit menjadi gelatin atau yang lazim dikenal dengan istilah gelatinisasi

(Said dkk., 2011).

Kandungan protein kolagen dalam kulit hewan dipengaruhi oleh umur,

semakin bertambah umur hewan maka protein kolagennya semakin bertambah

dan serabut kolagennya semakin kuat. Umur ternak berpengaruh terhadap produk

yang berasal dari kulit atau kolagen, umur ternak dapat memberikan suatu efek

penting pada produk yang terbuat dari kolagen atau kulit, karenanya, bila

keseragaman produk merupakan pertimbangan maka usia ternak harus menjadi

perhatian utama (Cole dan Roberts, 1997).

Sifat fisik dan kimia dari gelatin sangat dipengaruhi oleh bahan baku,

umur hewan, tipe kolagen, metode pembuatan, tipe jaringan, spesies, karakteristik

kolagen dan proses perlakuan (Kołodziejska dkk., 2008). Semakin tua umur

hewan makin meningkat rendemen, kadar abu dan lemak gelatin yang dihasilkan,

sedangkan semakin meningkat suhu dan lama ekstraksi, nilai viskositas semakin

rendah serta kemampuan membentuk gel dan sifat fisik gelatin menurun

(Gudmundsson, 2002).
III

KESIMPULAN

1. Kulit adalah bagian terluar dari struktur manusia, hewan atau tumbuhan.

Pada hewan atau manusia kulit adalah lapisan luar tubuh yang merupakan

suatu kerangka luar, tempat bulu tumbuh.

2. Sifat fisik adalah sifat-sifat yang termasuk kekuatan fisik dan keadaan fisik

atau struktur kulit. Struktur jaringan kulit berpengaruh terhadap sifat-sifat

fisik kulit. Pengaruh yang terbesar adalah pada serabut kolagen terdapat

dalam korium yang teranyam membentuk seperti jala dengan arah tiga

dimensi

3. Sifat-sifat kimia adalah semua zat kimia yang terkandung di dalamnya.

Kandungan kimia dari kulit mentah yaitu air kira-kira sebanyak 65%,

protein 33%, mineral 0,5% dan lemak 2-30%.


DAFTAR PUSTAKA

Badan Standarisasi Nasional. 2005. Cara Uji Pengerutan Kulit Tersamak. SNI 06
– 7127 – 2005. Jakarta.

Budiyanto, D. 1984. Pengaruh Umur Terhadap Panjang, Lebar dan Ketebalan


Kulit Sapi PO Jantan Kering. Skripsi Fakultas Peternakan Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta.

Cole, C.G.B. and J.J. Roberts. 1997. Gelatine Colour Measurement Meat Science.
1: 23-31.

Cordon, T.C. 1977. Control and Estimation of Fungal Resistance of Leather.


Krieger Publishing Co. New York.

Covington, A.D. dan B. Shi. 1998. High Stability Organic Tanning Using Plant
Polyphenols. Part 1. The Interactions Between Vegetable Tannins and
Aldehydic Cross-linkers. J. Soc. Leather Technol. Chem. 82(2): 64-71.

Djojowidagdo, S. 1993. Sifat-sifat Kulit Perkamen Kerbau Selama Penyimpanan


12 Minggu dalam Kelembapan dan Suhu yang Berbeda. Buletin
Peternakan 17: 28-33. Malang.

Gudmundsson, M. 2002. Rheological Properties of Gelatine. Journal of Food


Science. Vol 67 : 6.

Judoamidjojo, R.M. 1974. Dasar Teknologi dan Kimia Kulit. Departemen


Teknologi Hasil Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Judoamidjojo, R.M. 1984. Teknik Penyamakan Kulit untuk Pedesaan. Angkasa.


Bandung.

Kanagy, R.J. 1977. Phisycal and Performance Properties of Leather. Krieger


Publishing Co. New York.

Kolodziejska, I., Wojtasz-Pajak, A., Ogonowska, G., Sikorski, Z.E., 2008.


Deacetylation of Chitin in Two-Stage Chemical and Enzymatic Process.
Bulletin of Sea Fisheries Institute, 2: 15-24.

Muyonga, J.H., Cole C.G.B. and Duodu, K.G. 2004. Extraction and
Physicochemical Characteristic of Nile Perch (Lotus Niloticus) Skin and
Bone Gelatin. Food Hydrocolloids, 18(4): 581-592.

Nayudamma, J. 1978. The Chemistry and Technology of Leather. Krieger


Publishing Co. New York.
Purnomo, E. 1985. Pengetahuan Dasar Teknologi Penyamakan Kulit. Akademi
Teknologi Kulit Departemen Perindustrian. Yogyakarta.

Said, M.I., S. Triatmojo, Y. Erwanto dan A. Fudholi. 2011. Karatketristik Gelatin


Kulit Kambing yang Diproduksi Melalui Proses Asam dan Basa. J.
Agritech. Vol. 3 No. 3 Hal. 8.

Sarkar, K.T. 1995. Theory and Practice of Leather Manufacture. Revised ed. The
author. Madras.

Suardana, I.W., I.M. Sudiadnyana, P., dan Rubiyanto. 2008. Kriya Kulit.
Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.

Triatmojo, S. 2012. Teknologi Pengolahan Kulit Sapi. Citra Aji Parama.


Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai