Anda di halaman 1dari 68

PEMANENAN DAN PENGOLAHAN BUAH ROTAN

JERNANG (Daemonorops draco (Willd.) Blume)


DALAM UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI
SERTA MUTU JERNANG

LANA PUSPITASARI

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN


FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
PEMANENAN DAN PENGOLAHAN BUAH ROTAN
JERNANG (Daemonorops draco (Willd.) Blume)
DALAM UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI
SERTA MUTU JERNANG

LANA PUSPITASARI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan


pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN


FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
RINGKASAN

LANA PUSPITASARI. E14061399. Pemanenan dan Pengolahan Buah Rotan


Jernang (Daemonorops draco (Willd.) Blume) dalam Upaya Peningkatan
Produksi serta Mutu Jernang. Dibimbing oleh JUANG RATA
MATANGARAN dan RITA KARTIKA SARI

Salah satu jenis Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang bernilai ekonomi
tinggi adalah produk turunan dari buah rotan jernang. Jernang adalah resin yang
berasal dari buah rotan jernang. Jernang memiliki manfaat antara lain sebagai
bahan pewarna alami pada industri batik dan porselen, sebagai campuran obat-
obatan seperti obat luka, pendarahan dan diare, serta digunakan sebagai dupa dan
kemenyan. Penelitian mengenai jernang masih sangat sedikit, sedangkan
potensinya cukup besar dan masih dapat dikembangkan. Perbaikan teknik
pemanenan dan pengolahan untuk mendapatkan mutu jernang yang maksimal
masih perlu diteliti. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis potensi jernang
di Kabupaten Sarolangun, Jambi, menguraikan teknik pemanenan buah yang
dilakukan masyarakat serta menganalisis rendemen dan mutu jernang yang
dihasilkan dari pengolahan cara masyarakat dan cara perebusan.
Pusat produksi jernang di Kabupaten Sarolangun adalah di Hutan Alam
(HA) Blok Bukit Bahar Tajau Pecah dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) di Desa
Lamban Sigatal. Potensi jernang di kedua tempat tersebut berturut-turut sebesar
96,51 ton/th dan 130,16 ton/th, sehingga total potensi jernang di Kabupaten
Sarolangun sebesar 226,66 ton/th. Teknik pemanenan buah rotan jernang yang
dilakukan masyarakat adalah dengan memperhatikan ciri kemasakan buah rotan
jernang yaitu berwarna merah kecokelatan. Buah yang baik dipanen adalah buah
yang tua namun belum terlalu masak. Buah masak memerlukan waktu 11-13
bulan. Resin akan terbentuk optimal pada saat umur buah 9 bulan. Petani
memanen buah rotan jernang dengan menggunakan galah dan alat pengait, jika
rotan terlalu tinggi maka petani memanjat pohon inangnya.
Rendemen jernang yang dihasilkan dari cara masyarakat sebesar 7,26%,
sedangkan dari cara perebusan baik 1, 2 dan 3 jam berturut-turut sebesar 3,27%,
3,24% dan 3,10%. Analisis sifat fisiko-kimia jernang dengan cara masyarakat
menghasilkan kadar resin 63,30%, kadar air 3,48%, kadar kotoran 32,16%, kadar
abu 1,83%, titik leleh 96,00°C dan warna merah tua, sedangkan jernang hasil
perebusan 1, 2 dan 3 jam berturut-turut untuk kadar resin 81,83%, 81,21% dan
80,91%, kadar air 3,64%, 3,34% dan 3,48%, kadar kotoran 11,57%, 11,63% dan
12,03%, kadar abu 1,12%, 1,52% dan 1,59%, titik leleh 82,00°C, 83,00°C dan
83,33°C dan secara keseluruhan warna yang dihasilkan adalah merah tua.
Berdasarkan SNI jernang (2010), jernang yang dihasilkan dari cara masyarakat
bermutu A, sedangkan dari cara perebusan bermutu super.

Kata kunci: Buah rotan jernang (Daemonorops draco (Willd.) Blume, potensi,
teknik pemanenan, sifat fisiko-kimia, mutu jernang.
SUMMARY

LANA PUSPITASARI. E14061399. Harvesting and Processing Fruit of


Rattan (Daemonorops draco (Willd.) Blume) in Effort to Increase Production
and Quality Dragon’s blood. Under Supervision of JUANG RATA
MATANGARAN dan RITA KARTIKA SARI.

One kinds of Non-Timber Forest Products (NTFPs) which high economic


value is a product derived from rattan jernang fruits. Dragon’s blood is a resin
from rattan jernang fruits. Dragon’s blood have uses such as natural colloring for
batik industry and porcelain industry, as a mixture of cure such as wounds
medicinal, bleeding and diarrhea and used a incense and frankincense. The
research about dragon’s blood is rarely, meanwhile the potential is big enough and
still can developed. Improved harvesting and processing techniques to obtain
maximum quality of dragon’s blood still need to be researched. The research was
conducted to analyze the potential dragon’s blood Sarolangun District, Jambi, to
describes the technique of harvesting fruit of the community and to analyze yield
and quality resulted from the traditional process of the community and boiling
treatment.
Dragon’s blood production center in the District Sarolangun is harvested
from natural forests Tajau Pecah Block Bahar Hill and community based forest
plantation in the village of Lamban Sigatal. Potential dragon’s blood at those
places is 96.51 tons/year and 130.16 tons/year respectively, therefore the total
potential of dragon’s blood in the District Sarolangun is about 226.66 tons/year.
Harvesting technique of rattan fruits by the community is to observe the ripeness
of the fruit characteristics of rattan such us the brownish red color. Good fruit
which can be harvested is the old fruit but not too ripe. The fruit takes time about
11−13 months to be ripe. Resin will be formed at the optimal fruit maturity of 9
months. Farmers harvest the fruit by using a hook tool and a pole, then if the
rattan is too high the farmer climbs its host tree.
Dragon’s blood yield from the traditional process of the community is
7.26%, meanwhile the boiling treatment in each 1, 2 and 3 hours has yield as
3.27%, 3.24% and 3.10% respectively. Analysis of physico-chemical properties of
the dragon’s blood with the traditional process of the community results resin
content is 63.30%, moisture content is 3.48%, impurity content 32.16%, ash
content 1.83%, melting point 96.00 °C and ruby color, meanwhile the boiling
treatment 1, 2 and 3 hours for results resin content 81.83%, 81.21% and 80.91%,
moisture content 3.64%, 3.34% and 3.48%, impurity content 11.57%, 11.63% and
12.03%, ash content 1.12%, 1.52% and 1.59%, melting point 82.00 °C, 83.00 °C
and 83.33 °C and overall results ruby color. Based on the SNI dragon’s blood
(2010), dragon’s blood results from the traditional process of the community get
A quality, meanwhile from the boiling treatment get super quality.

Key words: Rattan jernang fruits (Daemonorops draco (Willd.) Blume), potential,
harvesting techniques, physico-chemical properties, quality dragon’s
blood.
PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pemanenan dan


Pengolahan Buah Rotan Jernang (Daemonorops Draco (Willd.) Blume) dalam
Upaya Peningkatan Produksi serta Mutu Jernang adalah benar-benar hasil karya
saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan
sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Semua
sumber data informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Maret 2011

Lana Puspitasari
NIM E14061399
Judul Skripsi : Pemanenan dan Pengolahan Buah Rotan Jernang
(Daemonorops Draco (Willd.) Blume) dalam Upaya
Peningkatan Produksi serta Mutu Jernang
Nama : Lana Puspitasari
NIM : E14061399

Menyetujui :
Komisi Pembimbing

Ketua Anggota

Dr. Ir. Juang Rata Matangaran, MS Ir. Rita Kartika Sari, M.Si
NIP. 19631221 198803 1 001 NIP. 19681124 199512 2 001

Mengetahui
Ketua Departemen Manajemen Hutan

Dr. Ir. Didik Suharjito, MS


NIP. 19630401 199403 1 001

Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini sebagai tugas
akhir yang berjudul “Pemanenan dan Pengolahan Buah Rotan Jernang
(Daemonorops Draco (Willd.) Blume) dalam Upaya Peningkatan Produksi serta
Mutu Jernang” dengan sebaik-baiknya. Karya ilmiah ini disusun sebagai salah
satu persyaratan kelulusan program mayor minor Strata Satu di Fakultas
Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Karya ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan di Hutan Tanaman
Rakyat (HTR) Desa Lamban Sigatal, Kecamatan Pauh, Kabupaten Sarolangun,
Jambi dan Laboratorium Kimia Kayu Hasil Hutan pada bulan Juni sampai dengan
Agustus 2010. Jernang memiliki manfaat yang cukup banyak yaitu pewarna alami
bagi industri porselen, batik, bahan campuran obat-obatan, pembuatan dupa dan
kemenyan. Penelitian mengenai jernang masih sangat sedikit, sedangkan
potensinya cukup besar dan masih dapat dikembangkan. Perbaikan teknik
pemanenan dan pengolahan untuk mendapatkan mutu jernang yang maksimal
masih perlu diteliti. Untuk itu, pemanenan dan pengolahan buah rotan jernang
perlu diperhatikan lebih lanjut. Sejauh ini, proses menghasilkan jernang yang
dilakukan masyarakat masih sederhana yaitu dengan cara penumbukan sehingga
perlu dicari alternatif cara yang tepat guna yaitu melalui perebusan dalam air.
Cara perebusan menghasilkan jernang bermutu super sedangkan cara masyarakat
menghasilkan jernang bermutu A.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih banyak kekurangan karena
keterbatasan yang dimiliki. Semoga karya ilmiah ini memberikan manfaat bagi
pihak-pihak yang membutuhkan.

Bogor, Maret 2011

Penulis
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 06 Januari 1989 di


Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung.
Penulis adalah anak kedua dari empat bersaudara, pasangan
Zamzami dan Nuraini. Penulis memulai pendidikan di Sekolah
Dasar Negeri 1 Negeri Agung Kecamatan Talangpadang,
Kabupaten Tanggamus, Lampung pada tahun 1994 dan lulus pada tahun 2000.
Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke SLTP Negeri 1 Talangpadang pada
tahun 2000 sampai tahun 2003. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke
SMA Negeri 1 Talangpadang pada tahun 2003 sampai tahun 2006, selanjutnya
pada tahun yang sama penulis diterima sebagai Mahasiswa Institut Pertanian
Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Pada tahun kedua di
IPB penulis diterima di Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan.
Selain kegiatan akademis, penulis juga aktif di sejumlah organisasi
kemahasiswaan yakni sebagai anggota himpunan mahasiswa Lampung tahun
2006-2007, staf medikom FMSC (Forest Manajemen Student club) tahun 2007-
2008 dan Bendahara AFSA tahun 2008-2009.
Selama pendidikan, penulis telah melaksanakan Praktek Pengenalan
Ekosistem Hutan (PPEH) di Cilacap dan Baturraden, Jawa Tengah; Praktek
Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi, Jawa
Barat serta Praktek Kerja Lapang (PKL) di KPH Jember, Jawa Timur. Sebagai
salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Kehutanan di Institut Pertanian
Bogor, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Pemanenan dan Pengolahan
Buah Rotan Jernang (Daemonorops Draco (Willd.) Blume) dalam Upaya
Peningkatan Produksi serta Mutu Jernang” dibimbing oleh Dr. Ir. Juang Rata
Matangaran, MS dan Ir. Rita Kartika Sari, M.Si.
UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillahirabbil’alamin, penulis memanjatkan puji dan syukur


kehadirat Allah SWT atas segala curahan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan karya ini sebagai tugas akhir yang berjudul
“Pemanenan dan Pengolahan Buah Rotan Jernang (Daemonorops Draco (Willd.)
Blume) dalam Upaya Peningkatan Produksi serta Mutu Jernang”. Penulis
menyadari bahwa karya ini tidak akan terwujud tanpa bantuan berbagai pihak.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ayahanda Zamzami dan Ibunda
Nuraini serta kakak dan adik yang telah memberikan inspirasi, dorongan moral
dan material, rasa kasih sayang dan do’anya. Selain itu, penulis mengucapkan
terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Dr. Ir. Juang Rata Matangaran, MS selaku dosen pembimbing pertama atas
arahan, nasehat dan bimbingannya dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.
2. Ir. Rita Kartika Sari, M.Si selaku dosen pembimbing kedua atas
ketersediaannya memberi bimbingan dan arahan dalam menyelesaikan karya
ilmiah ini.
3. Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc, Ir. Iwan Hilwan, MS dan Arinana, S.Hut, M.Si
selaku dosen penguji atas saran yang telah diberikan.
4. Keluarga di Jambi, warga Desa Lamban Sigatal, LSM Gita Buana yang telah
memberikan bantuan dalam pelaksanaan penelitian.
5. Staf Laboratorium Pemanenan dan Hasil Hutan yang telah membantu selama
proses penelitian.
6. Bambang, Surya, Annisa, Devi, Yuni, Asri, Luffi, Fera, Andriani, Andre,
Desi, Ida, Dira, teman-teman seperjuangan MNH angkatan 43 yang telah
memberikan bantuan, semangat dan dukungannya.
7. Semua pihak yang telah membantu yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

Bogor, Maret 2011

Penulis
i

DAFTAR ISI

Halaman

Daftar Tabel ..................................................................................................... iii


Daftar Gambar .................................................................................................. iv
Daftar Lampiran ............................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................ 2
1.2 Tujuan .......................................................................................... 3
1.3 Manfaat penelitian ...................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 4
2.1 Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) ............................................. 4
2.2 Rotan ........................................................................................... 4
2.2.1 Rotan penghasil jernang .................................................... 5
2.2.2 Ciri dan sifat morfologi rotan (Daemonorops draco
(Willd.) Blume) .................................................................. 8
2.2.3 Fisiologi perkembangan tumbuh ...................................... 10
2.3 Teknik Pemanenan Buah Rotan Jernang ..................................... 10
2.4 Pengolahan Buah Rotan Jernang ................................................. 11
2.5 Mutu Jernang ............................................................................... 11
2.6 Pemanfaatan Jernang ................................................................... 12
2.7 Kandungan Senyawa kimia ......................................................... 13
BAB III METODOLOGI PENELITIAN......................................................... 14
3.1 Langkah Kerja Penelitian ............................................................ 14
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ..................................................... 15
3.3 Alat dan Bahan ............................................................................ 15
3.4 Jenis Data .................................................................................... 15
3.5 Pengolahan Data .......................................................................... 20
BAB IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ................................. 22
4.1 Letak dan Luas Wilayah .............................................................. 22
4.2 Aksesibilitas ................................................................................ 23
4.3 Topografi dan Iklim Wilayah ...................................................... 24
4.4 Penduduk ..................................................................................... 24
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................... 25
5.1 Potensi Jernang ............................................................................ 25
5.2 Tahapan Pemanenan Buah Rotan Jernang yang Dilakukan
Masyarakat .................................................................................. 26
5.2.1 Pemetikan buah rotan jernang ............................................ 28
5.2.2 Buah rotan jernang diangin-anginkan ................................ 29
5.3 Pengolahan Jernang Dengan Cara Masyarakat ........................... 29
5.3.1 Penumbukan buah rotan jernang ........................................ 30
5.3.2 Pencetakan jernang ............................................................ 30
5.4 Pengolahan Jernang Cara Alternatif (Perebusan)........................ 31
5.4.1 Rendemen jernang dengan cara perebusan ........................ 33
5.4.2 Analisis sifat fisiko-kimia jernang ..................................... 34
ii

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 41


6.1 Kesimpulan ................................................................................. 41
6.1 Saran ........................................................................................... 41
iii

DAFTAR TABEL
No Halaman

1 Spesifikasi persyaratan mutu jernang .......................................................... 12


2 Spesifikasi persyaratan mutu jernang .......................................................... 20
3 Analisis ragam ............................................................................................. 20
4 Potensi jernang di Kabupaten Sarolangun .................................................. 26
5 Rendemen buah dengan cara masyarakat dan perebusan ........................... 32
6 Analisis ragam rendemen jernang ................................................................ 33
7 Hasil uji Duncan pengaruh perlakuan terhadap rendemen jernang ............. 33
8 Rata-rata kadar air jernang .......................................................................... 34
9 Analisis ragam kadar air jernang ................................................................. 34
10 Analisis ragam kadar resin jernang ............................................................ 35
11 Hasil uji Duncan pengaruh perlakuan terhadap kadar resin jernang.......... 35
12 Analisis ragam kadar kotoran jernang ....................................................... 36
13 Hasil uji Duncan pengaruh perlakuan terhadap kadar kotoran jernang ..... 36
14 Rata-rata kadar abu jernang ...................................................................... 37
15 Analisis ragam kadar abu jernang ............................................................. 37
16 Analisis ragam titik leleh jernang .............................................................. 38
17 Hasil uji Duncan pengaruh perlakuan terhadap titik leleh jernang ............ 39
18 Rekapitulasi rata-rata pengujian mutu sifat fisiko-kimia jernang .............. 40
iv

DAFTAR GAMBAR
No Halaman

1 Penampang buah rotan jernang .................................................................... 9


2 Diagram alir penelitian................................................................................. 14
3 Sketsa lokasi penelitian ................................................................................ 23
4 Tahapan pemanenan buah ............................................................................ 27
5 Jernang yang dihasilkan dari cara masyarakat ............................................. 29
6 Tahapan pemanenan dan proses menghasilkan jernang secara tradisional
(masyarakat) ................................................................................................ 31
v

DAFTAR LAMPIRAN
No Halaman

1 Dokumen penelitian ................................................................................................. 45


2 Pengukuran kadar air buah ............................................................................ 46
3 Rendemen buah dengan cara masyarakat dan perebusan ............................. 46
4 Pengukuran kadar abu .............................................................................................. 46
5 Pengukuran kadar air .................................................................................... 47
6 Pengukuran titik leleh dan warna ................................................................. 47
7 Pengukuran kadar resin ................................................................................. 48
8 Pengukuran kadar kotoran ............................................................................ 48
9 Analisis ragam dan hasil uji Duncan terhadap rendemen ............................. 49
10 Analisis ragam dan hasil uji Duncan terhadap kadar resin .................................... 50
11 Analisis ragam dan hasil uji Duncan terhadap kadar air ............................. 51
12 Analisis ragam dan hasil uji Duncan terhadap kadar kotoran ..................... 52
13 Analisis ragam dan hasil uji Duncan terhadap kadar abu ........................... 53
14 Analisis ragam dan hasil uji Duncan terhadap titik leleh ........................... 54
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Jernang merupakan salah satu Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang telah
lama dikenal sebagai barang ekspor. Dunia perdagangan mengenalnya dengan
sebutan “dragon’s blood”. Sumber penghasil utama jernang adalah buah rotan
jernang dari kelompok Daemonorops, dengan nama lokal “jernang”. Kegunaan
jernang adalah untuk bahan baku pewarna dalam industri keramik, marmer, alat-
alat batu, kayu, kertas dan keperluan industri farmasi (Januminro 2000).
Mengingat jernang sebagai salah satu kekayaan keanekaragaman hayati yang
memiliki manfaat ekonomi dan ekologi, maka teknik pemanenan dan pengolahan
yang tepat diperlukan untuk meningkatkan produksi jernang.
Menurut Januminro (2000), pemanenan buah dilakukan sebelum buah
masak karena buah yang sudah masak resin jernangnya sudah keluar mencair dan
jatuh ke tanah. Menurut Winarni et al. (2005), potensi produksi jernang semakin
berkurang. Penyebaran jernang pada umumnya masih terdapat di hutan alam dan
hutan lindung. Semakin banyak orang mengetahui manfaat jernang yang cukup
banyak, maka banyak yang memanen tanpa memperhatikan kelestariannya.
Menurut Kalima (1991), jika terpaksa pemanenan buah dilakukan dengan cara
rotan di tarik dengan alat pengait atau ditebang dan dipanen batangnya, sehingga
teknik pemanenan buah perlu diperhatikan lebih lanjut agar produksi jernang
dapat meningkat.
Pada umumnya cara yang digunakan masyarakat dalam menghasilkan
jernang adalah dengan cara menumbuk buah rotan dalam keranjang sampai
mengeluarkan resin (Januminro 2000). Cara masyarakat tersebut menghasilkan
jernang dengan kadar kotoran yang cukup besar yaitu 16% (Waluyo 2002).
Berdasarkan SNI jernang (2010), kadar kotoran tersebut termasuk mutu A karena
kurang dari 39%. Selain itu, menurut Suwardi et al. (2003), cara masyarakat
menghasilkan rendemen sekitar 4 sampai dengan 6%.
Beberapa penelitian dilakukan untuk meningkatkan rendemen dan
menurunkan kadar kotoran untuk meningkatkan mutu. Menurut Suwardi et al.
2

(2003), cara pengolahan buah yang menggunakan alkohol atau metanol mampu
menghasilkan jernang dari sumber buah yang sama akan meningkat sekitar 4
sampai dengan 5 kali cara masyarakat. Bahkan bila ekstraksi hanya dilakukan
terhadap daging buah saja, rendemen yang diperoleh mencapai 31,5% dengan
pelarut metanol dan 29% dengan pelarut alkohol. Meskipun cara ekstraksi jernang
dengan alkohol menghasilkan rendemen yang tinggi namun investasi alat, biaya
operasional yang akan dikeluarkan jauh lebih besar dan sulit diterapkan oleh
masyarakat setempat, sehingga perlu dicari alternatif teknologi pengolahan yang
tepat guna.
Menurut Sumarna (2004), cara lain adalah cara basah yaitu dengan
merendam buah dalam air selama 1 sampai dengan 2 hari pada suhu kamar
(sekitar 25±3°C), selanjutnya dengan cara mengaduk-aduk buah di dalam bejana
maka jernang akan mengendap di dasar bejana. Jernang tersebut dipisahkan dari
air dan siap untuk dijemur hingga diperoleh jernang dalam keadaan kering. Cara
basah pernah dikerjakan oleh masyarakat namun cara ini memerlukan waktu yang
lama, sehingga tidak digunakan. Oleh karena itu data pengujian mutu belum
ditemukan walaupun menurut masyarakat hasil yang diperoleh akan lebih banyak
dibandingkan penumbukan.
Menurut Coppen (1995) dalam Winarni et al. (2005), titik cair resin jernang
sekitar 120°C, sehingga alternatif pengolahan yang dapat diterapkan adalah proses
perebusan dalam air. Proses perebusan diduga akan mencairkan jernang yang
berada di bagian daging dan kulit buah, sehingga jernang lebih mudah diekstraksi.
Jernang yang berada dipermukaan air diambil dan kemudian akan mengering.
Oleh karena itu dibandingkan dengan cara masyarakat, proses perebusan
diharapkan dapat menurunkan kadar kotoran jernang yang dihasilkan. Penelusuran
pustaka belum menemukan pengaruh cara perebusan ini terhadap rendemen dan
mutu.
Penelitian mengenai jernang masih sangat sedikit, sedangkan potensinya
cukup besar dan masih dapat dikembangkan. Perbaikan teknik pemanenan dan
pengolahan untuk mendapatkan mutu jernang yang maksimal masih perlu diteliti.
Untuk itu, penelitian dilakukan dengan membandingkan cara masyarakat dan
direbus dalam air.
3

1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk:
a. Menganalisis potensi rotan penghasil jernang di Kabupaten Sarolangun,
Jambi.
b. Menguraikan teknik pemanenan buah rotan jernang yang dilakukan
masyarakat desa.
c. Menganalisis rendemen dan mutu jernang yang dihasilkan dari pengolahan
cara masyarakat dan cara perebusan.

1.3 Manfaat Penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak
yaitu dapat menambah wawasan ilmu dan menunjang sumbangan pemikiran bagi
pengembangan ilmu kehutanan serta diharapkan dapat memberikan informasi
kepada masyarakat tentang teknik pemanenan buah rotan jernang yang benar dan
pengolahan jernang yang mampu meningkatkan rendemen dan mutu jernang
melalui cara tepat guna.
4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)


Sesuai ketentuan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 23,
disebutkan bahwa pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan bertujuan
untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat
secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Dalam pedoman ini
pemanfaatan HHBK adalah pemanfaatan HHBK melalui pemberdayaan
masyarakat dilakukan dengan menerapkan prinsip kelestarian dan tetap
memperhatikan fungsi hutan. Pemanfaatan HHBK dalam pemberdayaan
masyarakat dilakukan dengan tetap memperhatikan fungsi hutan dan aspek
kelestarian hutan. Beberapa jenis HHBK mempunyai nilai ekonomi yang tinggi,
antara lain: rotan, madu, kemiri, gaharu, ulat sutera, gondorukem dan lain-lain.
Jenis-jenis tersebut memiliki prospek pasar baik di dalam maupun di luar negeri.

2.2 Rotan
Semua jenis bahan berkayu yang dipakai sehari-hari adalah produk dari
tanaman yang termasuk subdivisi Gymnospermae dan Angiospermae. Dari
subdivisi gymnospermae yang banyak menghasilkan kayu berasal dari kelas
Coniferales (kayu konifer/softwood), sedangkan dari sub-divisi Angiospermae
terbagi menjadi dua kelas, yaitu Monocotyledoneae dan Dicotyledoneae. Dari
kelas dicotyledon dihasilkan kayu daun lebar (hardwood). Adapun rotan berasal
dari subdivisi Angiospermae, kelas Monocotyledoneae, ordo Arecales, family
palmae (Arecaceae) (Uhl dan Dransfield 1987 dalam Rachman dan Jasni 2008).
Rotan tergolong tumbuhan hutan dari anggota kelompok tumbuhan Palmae
(Arecaceae) yang memanjat (liana). Indonesia sebagai negara tropis memiliki
potensi sumberdaya rotan tertinggi. Sebanyak 516 jenis rotan yang sudah tercatat
dan diketahui diseluruh Asia Tenggara dan sebanyak ± 306 jenis telah
teridentifikasi dan menyebar di Indonesia. Rotan telah dipungut, dipakai, diolah
dan diperdagangkan oleh penduduk Indonesia yang tinggal disekitar hutan untuk
memenuhi permintaan rotan lokal dan internasional (Januminro 2000). Hingga
5

saat ini rotan dikenal hanya bentuk produk berupa batang dengan ragam jenis dan
sebagian besar memiliki peruntukan sebagai bahan baku industri tikar, berbagai
jenis barang kerajinan serta perlengkapan rumah tangga dan berbagai produk
mebeler (furnitur). Produk komoditas rotan yang akhir-akhir ini menjadi perhatian
dunia adalah produk turunan dari buah rotan jernang yang dapat menghasilkan
produk berupa resin. Produk resin yang sejak masa penjajahan Belanda telah
diketahui adalah resin jernang yang lebih dikenal dengan nama “darah naga“ dan
dalam perdagangan internasional dikenal sebagai “dragon’s blood “ (Arifin 2007).
2.2.1 Rotan penghasil jernang
Jernang merupakan hasil ekstraksi buah beberapa jenis rotan dari kelompok
Daemonorops. Jernang adalah suatu padatan yang mengkilat, bening atau kusam,
rapuh, meleleh bila dipanaskan dan mudah terbakar dengan mengeluarkan asap
(Sumadiwangsa 2000 dalam Winarni et al. 2005). Diakui bahwa potensi resin
jernang tergolong semakin menurun disebabkan oleh pola produksi yang tidak
lestari. Masyarakat Suku Kubu di Sumatera dan Suku Dayak di Kalimantan telah
lama memanfaatkan resin jernang sebagai bahan pewarna pakaian. Namun, karena
tidak disertai upaya penanaman kembali, serta pemanenan yang dilakukan dengan
cara memotong batang sehingga dapat mengakibatkan kelestarian produksi tidak
terjamin. Saat ini, masyarakat sudah mulai kesulitan memperoleh jernang di hutan
alam (Arifin 2007).
Dragon’s blood merupakan resin yang dihasilkan dari genus Daemonorops
yang terdapat pada daging dan permukaan kulit buah rotan jernang dewasa.
Berikut beberapa jenis Daemonorops penghasil jernang (Purwanto et al. 2005):
a. D. acehensis Rustiami
Merupakan jenis endemik di Aceh Utara. Tergolong jenis rotan
berukuran kecil, batang bisa mencapai 5 m, diameter batang tanpa pelepah 10
mm, diameter batang dengan pelepah 25 mm, panjang ruas batang mencapai 50
mm. Buahnya bulat berukuran 2,2x1,8 cm2 dan kulit buahnya menghasilkan
jernang berwarna merah kecokelatan.
b. D. brachystacliys Furt.
Penyebaran jenis ini meliputi daerah Kelantan, Kedah, Perak, Selangor,
Sumatera Utara dan Jambi. Diameter batang tanpa pelepah 4 cm, diameter
6

batang dengan pelepah 6 cm dan panjang batang ± 1 m. Buahnya berukuran


2,5x2 cm2. Kulit buahnya menghasilkan jernang berwarna merah kecokelatan.
c. D. didymophyllus Becc.
Daerah penyebarannya meliputi Kalimantan, Sumatera, Semenanjung
Malaysia dan Thailand Selatan. Buahnya hanya sedikit menghasilkan jernang.
Jenis rotan ini bisa tumbuh dari pantai hingga ketinggian 1000 mdpl.
Karakteristik morfologi dari jenis rotan ini adalah tumbuh merumpun,
batangnya berukuran sedang berdiameter sampai 12 mm tanpa pelepah daun
dan 30 mm dengan pelepah daun dengan ruas batang berukuran 10 sampai
dengan 12 cm2. Warna batangnya kusam kecokelat-cokelatan dan bagian dalam
berwarna cokelat muda. Mutu batangnya tergolong rendah sehingga
masyarakat menggunakannya sebagai bahan pembuatan peralatan rumah
tangga seperti keranjang. Buahnya dapat dimakan digunakan sebagai obat sakit
diare.
d. D. draco (Willd.) Blume
Daerah penyebaran jenis ini adalah Sumatera dan Kalimantan. Jenis rotan
ini tumbuh merumpun di kawasan lembah dan banyak ditemukan di kawasan
sekitar limpahan air Sungai. Panjang batang bisa mencapai 15 m dan panjang
ruasnya 15 sampai dengan 35 cm2. Diameter batang tanpa pelepah 8 sampai
dengan 14 mm, diameter batang dengan pelepah 30 mm. Warna batang cokelat
kekuningan dan mengkilat. Jenis ini penghasil jernang terbanyak dibandingkan
jenis lainnya. Pada umumnya buah yang dipanen untuk menghasilkan jernang
terbanyak yaitu buah yang menjelang masak. Apabila buah terlalu masak maka
resin yang diperoleh sedikit dan batangnya digunakan untuk membuat
peralatan rumah tangga. Mutu rotannya termasuk mutu rendah.
e. D. dracuncula Ridl.
Merupakan jenis endemik Siberut, Kepulauan Mentawai Sumatera Barat.
Jenis ini merupakan jenis rotan yang tumbuhnya soliter, batang berukuran kecil
berdiameter 30 mm dengan pelepah daun dan 20 mm tanpa pelepah daun.
panjang batang hanya sekitar 2 m. Buah berukuran 2,2x0,9 cm2 dan kulit
buahnya menghasilkan jernang berwarna merah kecoklatan tua. Buahnya dapat
dimakan dan rasanya agak sepat.
7

f. D. dransfieldii Rustiami
Daerah penyebarannya meliputi daerah Sumatera Barat dan Batang
Palupuh Bukit Tinggi. Jenis ini dikategorikan sebagai rotan berbatang kecil
dengan panjang dapat mencapai 6 m. Diameter 25 mm dengan pelepah daun
dan 15 mm tanpa pelepah daun. Buahnya berukuran 2,5x1 cm2 dan kulit
buahnya menghasilkan jernang berwarna merah kecokelatan. Buahnya dapat
dimakan dan rasanya agak manis serta batangnya dapat digunakan sebagai tali.
g. D. maculata J. Dransf.
Jenis ini merupakan endemik di Kalimantan dan Brunei. Jenis ini
tumbuh soliter dan batang bisa mencapai 5 m. Diameter 20 mm dengan
pelepah daun dan 12 mm tanpa pelepah daun. Buah menghasilkan jernang
berwarna merah tua dan merupakan jenis rotan penghasil jernang cukup
banyak.
h. D. micracantha (Griff.) Becc.
Penyebarannya meliputi wilayah Semenanjung Malaysia, Serawak,
Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Jenis ini tumbuh memanjat, soliter
dan banyak ditemukan di hutan dataran rendah dekat Sungai atau dekat
kawasan tergenang pada ketinggian 0 sampai dengan 500 mdpl. Panjang
batang bisa mencapai 20 m, diameter 11 sampai dengan 20 mm dengan
pelepah daun dan 6 sampai dengan 11 mm tanpa pelepah daun. Buah
berukuran 1,5x1,5 cm2. Jernang yang dihasilkan memiliki mutu terbaik dengan
warna merah tua yang mengkilap. Selain sebagai rotan penghasil jernang,
batangnya mempunyai mutu cukup baik dan digunakan untuk bahan kerajinan
rumah tangga seperti tikar, kursi dan tali.
i. D. rubra Blume
Daerah penyebarannya di Sumatera dan Jawa. Jenis ini tumbuh
merumpun dengan ketinggian mencapai 10 m. Diameter 40 mm dengan
pelepah daun dan 15 mm tanpa pelepah daun. Buahnya berukuran 2x2 cm2.
Buah menghasilkan jernang cukup banyak.
j. D. siberutensis Rustiami
Masyarakat Palembang menyebutnya sebagai rotan bugkus, Suku Kubu
menyebutnya rotan kelemunting. Jenis ini termasuk rotan kecil dan tumbuh
8

merumpun dengan panjang batang bisa mencapai 5 m. Diameter 17 mm


dengan pelepah daun dan 9 mm tanpa pelepah daun. Buahnya berukuran 2x1,2
cm2 dapat dimakan dan rasanya agak manis dan sepat. Kulit buah dapat
menghasilkan jernang berwarna merah kecokelatan. Batangnya tidak bisa
digunakan sebagai bahan tali karena mudah putus.
k. D. sekundurensis Rustiami & Zumaidar
Penyebarannya di Sumatera Utara dan Aceh. Tumbuh di kawasan lereng
perbukitan dan hutan-hutan terganggu pada ketinggian 800 mdpl. Jenis rotan
ini dikategorikan sebagai rotan kecil dengan panjang batang mencapai 2 m.
Diameter 9 mm dengan pelepah daun dan 5 mm tanpa pelepah daun. Buahnya
berukuran 1,5x1 cm2 dan menghasilkan jernang berwarna merah kecokelatan.
2.2.2 Ciri dan sifat morfologi rotan (Daemonorops draco (Willd.) Blume)
a. Akar rotan
Menurut Januminro (2000), akar rotan merupakan bagian tanaman yang
sangat penting karena memiliki beberapa fungsi yaitu memperkuat tanaman
berdiri secara keseluruhan, menyerap air dan zat-zat makanan yang tersedia
dari dalam tanah dan mengangkut air dan zat makanan yang sudah terserap
kebagian tubuh lainnya. Seperti halnya tanaman lain dari suku Palmae
(Arecaceae), akar rotan memiliki sifat yaitu sistem perakaran serabut dan akar
rotan berwarna keputih-putihan atau kekuning-kuningan.

b. Batang rotan
Batang rotan jenis Daemonorops draco (Willd.) Blume bisa mencapai 15
m. Jenis ini tumbuh berumpun (Kalima 1991). Pada beberapa jenis tampak
adanya tonjolan dan lekukan pada sisi yang berlawanan sepanjang ruas.
Tonjolan dan lekukan ini tampak lebih jelas pada buku yang berasal dari jejak
daun yaitu ikatan pembuluh yang menuju ke daun (Rachman dan Jasni 2008).

c. Daun
Menurut Kalima (1991), pangkal tandan daun berlutut jelas, sepanjang
tandan daun terdapat duri-duri panjang tersusun mengelompok, makin ke ujung
dahan duri berukuran pendek. Kedudukan sirip daun berselang-seling. Panjang
sirip daun mencapai 44 cm, lebar 2,5 cm dan jumlah sirip daun mencapai 50
9

pasang. Jarak pangkal tandan sampai sirip daun pertama 55 cm dan panjang
daun sampai 3 m.

d. Bunga
Bunga rotan terbungkus oleh seludang. Jika seludang terbuka, maka
bunga jantan siap membuahi, sedangkan bunga betina mulai masak pada hari
ke-13 sampai hari ke-27 setelah seludangnya pecah. Ukuran bunga rotan relatif
kecil, hanya beberapa jenis saja yang ukurannya mencapai 1 cm atau lebih.
Warna bunga rotan bervariasi yaitu kecokelatan, kehijauan, atau krem. Masa
berbunga sampai buah masak selama 7 sampai 13 bulan. Berdasarkan
pengalaman, buah rotan akan masak berkisar bulan Agustus (Januminro 2000).

e. Buah rotan jernang


Buah rotan jernang terdiri atas kulit luar berupa sisik (pericarp) yang
berbentuk trapesium dan tersusun secara vertikal dari toksis buah. Ukuran sisik
bervariasi, tergantung pada ukuran buah masing-masing, makin besar ukuran
buah maka makin besar pula ukuran sisiknya. Bentuk permukaan buah rotan
jernang halus (laevis) atau kasar berbulu (glaberous), sedangkan bentuk buah
rotan jernang pada umumnya bulat, lonjong, atau bulat telur. Kulit buah rotan
jernang yang sudah matang berwarna cokelat, cokelat merah dan kemerah-
merahan yang terdapat produk turunan buah berupa resin berwarna merah dan
dalam perdagangan internasional dikenal sebagai produk darah naga atau
“dragon’s blood”. Bagian bawah kulit buah terdapat sejenis selaput tipis
berwarna putih membungkus daging buah, setelah buah terdapat biji rotan
(Gambar 1).
Resin jernang yang berada diluar kulit

Kulit buah rotan

Daging buah

Biji

Gambar 1 Penampang buah rotan jernang (Arifin 2007).


Biji buah rotan jernang memiliki permukaan rata dan halus atau kasar
berlekuk dangkal. Setiap biji rotan memiliki 1 sampai dengan 3 embrio yang
tertutup oleh lapisan selaput keras sebagai pelindung embrio. Jenis buah rotan
10

jernang dari marga Daemonorops, dibawah permukaan kulit buahnya


mengandung banyak resin (Januminro 2000).

f. Alat perambat (Assesory)


Tanaman rotan dilengkapi sejenis alat perambat yang dikenal dengan
nama sulur panjat. Sulur panjat ini tumbuh dari ruas batang dan panjangnya
bervariasi antara 3 sampai 5 cm, tergantung pada jenis dan varietasnya.
Sepanjang sulur dengan jarak tertentu ditumbuhi duri-duri pendek yang kuat.
Fungsi sulur panjat ini, selain melapisi batang agar tumbuh kuat adalah sebagai
alat perambat atau pengikat disekitar tempat tumbuh rotan (Januminro 2000).
2.2.3 Fisiologi perkembangan tumbuh
Berdasarkan pengamatan Sumarna (2009), jernang ditemukan di Taman
Nasional (TN) Bukit 12 Jambi pada kondisi topografi relatif datar dan
bergelombang. Jenis tanah podsolik merah kuning dengan ketinggian tempat
tumbuh 150 sampai dengan 200 mdpl. Secara ekologis, parameter suhu udara 22,3
sampai 32°C dengan kelembaban nisbi 81% dan intensitas cahaya 56,3%. Potensi
populasi jenis rotan jernang (Daemonorops draco (Willd.) Blume) rata-rata
berjumlah 3 rumpun dengan jumlah anakan 6 batang.

2.3 Teknik Pemanenan Buah Rotan Jernang


Menurut Januminro (2000), selain menghasilkan batang, rotan dari marga
Daemonorops juga menghasilkan resin dari buahnya. Pemungutan buah rotan
jernang dilakukan sekitar bulan Agustus dan Oktober, karena pada bulan-bulan
tersebut buah rotan jernang siap untuk dipanen. Panen buah rotan jernang
dilakukan 2 kali dalam setahun. Adapun tata cara pemungutan buah rotan jernang
adalah sebagai berikut:
1. Buah yang dipanen adalah buah yang sudah tua tapi belum masak, karena
buah yang sudah masak resin jernangnya sudah mencair dan jatuh ke tanah.
2. Buah yang dipanen dipotong tandannya dengan pisau atau dengan alat
pemotong lainnya.
3. Buah dipisahkan dari tandannya dan dimasukkan ke dalam tempat yang telah
disiapkan.
4. Buah rotan jernang siap ditumbuk.
11

Menurut Sumarna (1995), dalam proses pengumpulan buah rotan jernang


hal yang penting adalah mengetahui aspek kondisi kemasakan buah optimal yaitu
berwarna merah kecokelatan. Buah yang menghasilkan jernang lebih banyak
adalah buah yang tua namun belum terlalu masak. Buah dikumpulkan dengan cara
dipanjat melalui pohon inang di dekatnya. Buah yang rontok atau masih dalam
tandan dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam keranjang, diusahakan tidak
berjamur.
Menurut Winarni et al. (2005), pemanenan buah yang dilakukan oleh suku
Anak Dalam (Jambi) adalah dengan cara memanjat pohon yang berada di dekat
jernang tumbuh. Tandan buah diambil dengan bantuan galah. Buah yang dipungut
adalah buah yang sudah tua dan belum masak. Hal ini disebabkan karena buah
yang sudah tua banyak mengandung jernang dibandingkan dengan buah yang
masih muda.

2.4 Pengolahan Buah Rotan Jernang


Menurut Kalima (1991), sampai saat ini pengolahan buah rotan jernang
dilakukan secara tradisional dengan hanya menggunakan peralatan yang sangat
sederhana. Cara pengolahan yang dilakukan di tingkat desa masih terbatas pada
pengolahan awal yaitu mempersiapkan jernang sebelum dipasarkan. Pengolahan
buah rotan jernang yang dilakukan masyarakat yaitu melalui penumbukan. Dari
proses tersebut akan diperoleh serbuk jernang berwarna merah. Menurut
Januminro (2000), cara menumbuk buah rotan jernang dapat mempengaruhi mutu
jernang yang dihasilkan. Jika kulit buah tercampur dengan jernang maka mutu
jernang yang dihasilkan akan menurun.

2.5 Mutu Jernang


Menurut Winarni et al. (2005), mutu terbaik berbentuk silindris panjang 30
sampai dengan 35 cm dengan tebal 2 sampai dengan 2,5 cm dan berbentuk bulat
telur. Mutu nomor dua berbentuk lempeng, sedangkan mutu nomor tiga berbentuk
lembaran kertas. Mutu yang baik harus jernih dan bila ditumbuk akan diperoleh
serbuk berwarna merah tembaga yang larut dalam spirtus dengan warna terang.
12

Bila dilarutkan dalam alkohol akan diperoleh 9% residu yang terdiri dari serat dan
pasir. Mutu rendah menghasilkan 20% residu.
Tabel 1 Spesifikasi persyaratan mutu jernang
Persyaratan
No Jenis uji Satuan
Mutu super Mutu A Mutu B
1 Kadar resin (b/b) % Min. 80 Min.60 Min.25
2 Kadar air (b/b) % Maks.6 Maks.8 Maks.10
3 Kadar kotoran (b/b) % Maks.14 Maks.39 Maks.50
4 Kadar abu (b/b) % Maks.4 Maks.8 Maks.20
5 Titik leleh °C Min.80 Min.80 -
6 Warna - Merah tua Merah muda Merah pudar
Sumber : SNI jernang (2010)

2.6 Pemanfaatan Jernang


Beberapa pemanfaatan jernang yang dilakukan oleh masyarakat adalah
sebagai berikut (Purwanto et al. 2005):
a. Bahan pewarna
Jernang digunakan sebagai bahan pewarna yang memberikan warna
merah kecokelatan. Misalnya pewarna industri batik, berbagai jenis kerajinan
tangan seperti anyaman daun pandan, rotan dan bahan lainnya. Selain itu,
jernang digunakan sebagai pewarna tubuh (ornamental body), pada umumnya
digunakan sebagai pewarna merah pada bagian sekitar mata dan tato. Para
pelukis menggunakan jernang sebagai bahan pewarna lukisannya yang
memberikan warna merah ungu yang indah.
b. Bahan ramuan obat-obatan
Secara tradisional pemanfaatan jernang sebagai ramuan obat diare dan
gangguan pencernaan lainnya. Di Eropa digunakan sebagai bahan baku obat-
obatan seperti sakit disentri dan diare serta sebagai astringen pada pasta gigi.
Jernang mengandung resin-alcohol, draco-resinotannol dan sekitar 56% bahan
tersebut berasosiasi dengan benzoic dan benzoic acid. Di Malaysia, jernang
digunakan sebagai bahan pengobatan gangguan pencernaan sedangkan
masyarakat Benua menggunakannya sebagai bahan ramuan penyakit kencing
darah, sariawan dan sakit perut. Di Yunani, pada masa lalu “dragon’s blood”
digunakan sebagai bahan obat sakit mata. Pada zamannya Rumphius, serbuk
jernang digunakan sebagai bahan obat penyembuh luka. Sebagai bahan
membuat obat-obatan, jernang berkhasiat menghentikan pendarahan, obat luka
13

memar, melindungi permukaan luka bernanah menjadi busuk dan


menghilangkan rasa sakit pada luka yang kronis.
c. Dupa
Pada masa lalu, jernang digunakan sebagai dupa karena baunya yang
wangi, maka jernang digunakan sebagai pengganti kemenyan sehingga
dinamakan “kemenyan merah”. Namun penggunaan jernang sebagai pengganti
kemenyan sudah jarang dilakukan oleh masyarakat Sumatera, karena orang
lebih suka menggunakan kemenyan asli yang harganya lebih murah.
d. Magis
Jernang dipercaya sebagai bahan penambah tenaga dalam ritual magis.
Pembakaran jernang pada dupa menyebabkan meningkatnya tingkat magis
pada mantra-mantra yang dibacakan, sebagai penambah minyak dan sabun
mandi, dapat juga untuk mengusir setan di sekitar rumah yaitu dengan
membakar jernang dan asapnya disebarkan di sekeliling rumah.
e. Jernang digunakan sebagai campuran pembuatan minyak wangi.

2.7 Kandungan Senyawa Kimia


Jernang dimasukkan dalam kelompok resin keras yaitu padatan yang
mengkilat, bening atau kusam, rapuh, meleleh bila dipanaskan dan mudah
terbakar dengan mengeluarkan asap dan bau yang khas. Jernang berwarna merah
berbentuk amorf, BJ 1,18 sampai dengan 1,20, bilangan asam rendah, bilangan
ester sekitar 140, larut dalam alkohol dan titik cair sekitar 120°C, larut dalam
alkohol eter, minyak lemak dan minyak atsiri, sebagian larut dalam kloroform, etil
asetat, petroleum spiritus, karbon disulfida dan tidak larut dalam air (Coppen 1995
dalam Winarni et al. 2005).
Menurut Thorpe dan Whiteley (1944) dalam Suwardi et al. (2002),
komponen utama jernang adalah resin alkohol yaitu 50 sampai dengan 60% draco
resino-tanol terutama dalam bentuk benzoat dan ester benzoyl asetat, 2,5% draco
alban dan 11% draco resen. Kadar mineral kurang dari 9%. Pada umumnya
jernang dipalsukan dengan penambahan gondorukem yang menyebabkan bilangan
asam naik dan bilangan ester turun. Bahan pigmen dari dragon’s blood Indian
adalah draco rubin dengan titik leleh 315°C.
14

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Langkah Kerja Penelitian


Studi literatur merupakan input dari penelitian ini. Langkah kerja peneliti
yang akan dilakukan meliputi pengambilan data potensi, teknik pemanenan buah
rotan jernang dan membandingkan cara masyarakat dengan cara perebusan
disajikan pada Gambar 2. Dari langkah kerja peneliti tersebut diharapkan dapat
meningkatkan produksi dan mutu jernang.

Data penelitian

Pengolahan data potensi Cara pemanenan buah rotan


jernang di Kabupaten jernang (lapangan/data primer)
Sarolangun
(lapangan/data sekunder)

Pemetikan buah setelah itu buah


rotan jernang diangin-anginkan
Pengambilan
data di Dinas
Kehutanan Membandingkan
provinsi Jambi
dan LSM Cara masyarakat yaitu
dengan menumbuk buah Cara alternatif
rotan jernang (Cara perebusan)

Penetapan rendemen
Penetapan rendemen
dan sifat fisiko-kimia
dan Sifat fisiko-kimia
jernang
jernang

Upaya peningkatan
produksi dan mutu
jernang

Gambar 2 Diagram alir penelitian.


15

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Hutan Tanaman Rakyat (HTR) Desa Lamban
Sigatal, Kecamatan Pauh, Kabupaten Sarolangun, Jambi. Penelitian di lapangan
dilaksanakan pada tanggal 10 Juni sampai dengan 6 Juli 2010 dan dilanjutkan di
Laboratorium Kimia Kayu Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB pada 19 Juli
sampai dengan 25 Agustus 2010.

3.3 Alat dan Bahan


Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah galah dan pengait,
keranjang, kayu penumbuk buah rotan jernang, aluminium foil, gelas piala 1000
ml, saringan kawat nyamuk berukuran 15x15 cm2, cawan petri, timbangan,
plastik, kertas saring, pipa kapiler, melting point, hotplate/penangas air, desikator,
oven suhu ± 105°C, oven 1000°C (tanur), soklet, Microsoft Excel, software SPSS
12 dan kamera digital. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah
rotan jernang, air, toluena, dietil eter dan etanol.

3.4 Jenis Data


a. Potensi jernang
Cara pengumpulan data potensi jernang dilakukan melalui studi pustaka.
Data potensi jernang diperoleh dari Dinas Kehutanan Provinsi Jambi dan
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang dapat membantu dalam pencarian
informasi. Data yang diperlukan meliputi nama desa atau kecamatan, luas areal
yang ditanam jernang dan jumlah panen buah per rumpun.
b. Teknik pemanenan buah rotan jernang
Cara yang digunakan untuk memperoleh informasi mengenai teknik
pemanenan buah rotan jernang adalah melalui pengamatan langsung di
lapangan yaitu mengamati teknik petani memanen buah rotan jernang dengan
mengetahui ciri-ciri kemasakan buah yang siap untuk dipanen dan alat
pemanenan yang digunakan.
c. Ekstraksi jernang cara masyarakat dan cara alternatif (perebusan dalam air)
c.1 Cara masyarakat
Pengolahan jernang yang dilakukan oleh masyarakat yaitu:
a) Buah rotan jernang yang terkumpul dilepas dari tandannya.
16

b) Sampel buah rotan jernang dibungkus dengan aluminium foil dan dibawa
ke Bogor untuk ditimbang, yang digunakan untuk perhitungan kadar air.
Kadar air dapat dihitung dengan cara sebagai berikut   (ASTM D2016-74
1981):
Berat basah buah - Berat kering tanur buah
KA = x 100%
Berat kering tanur buah
c) Buah yang telah terkumpul diangin-anginkan.
d) Buah rotan jernang ditumbuk agar memperoleh serbuk.
e) Serbuk jernang dimasukkan ke dalam plastik.
c.2 Cara perebusan
Cara alternatif yang diteliti adalah dengan cara perebusan yaitu:
a) Buah rotan jernang yang dibawa ke Bogor dilakukan perhitungan kadar
air seperti cara masyarakat di atas.
b) Menimbang buah rotan jernang sebanyak 400 g.
c) Buah rotan jernang dipisahkan antara biji dengan kulit dan daging, yang
digunakan dalam penelitian adalah kulit dan daging buahnya.
d) Kulit dan daging buah rotan jernang tersebut dimasukkan ke dalam gelas
piala dan kemudian dibatasi dengan saringan kawat nyamuk setelah itu
isi dengan air sekitar dua kali dari ketinggian buah rotan jernang
kemudian direbus hingga mendidih dengan waktu yang telah ditetapkan.
e) Jernang akan keluar dan berada di lapisan atas rebusan. Bagian jernang
dipisahkan selama proses perebusan, kemudian dikeringkan dengan
menggunakan oven ± 105°C.
Rancangan percobaan untuk cara perebusan adalah:
A. Perlakuan 1: cara masyarakat
B. Perlakuan 2: direbus selama 1 jam
C. Perlakuan 3: direbus selama 2 jam
D. Perlakuan 4: direbus selama 3 jam
Percobaan dilakukan sebanyak 3 kali ulangan dengan 4 perlakuan sehingga
terdapat 12 unit percobaan. Masing-masing percobaan menggunakan buah rotan
jernang sebanyak 400 g. Dari percobaan tersebut diperoleh rendemen yang akan
digunakan dalam pengujian mutu. Jernang yang dibutuhkan untuk pengujian
sebanyak ± 6 g per perlakuan.
17

d. Menghitung rendemen jernang hasil ekstraksi


Perhitungan rendemen bagi kedua cara pengolahan jernang dilakukan dengan
cara menimbang buah rotan jernang sebelum diekstrak dan jernang hasil
ekstraksi. Besarnya rendemen dihitung dengan rumus (ASTM D2016-74 1981):

Kadar air (%) = x 100%

Berat basah
Æ BKT (Berat Kering Tanur) = x 100%
1+ KA
Output
Rendemen (R) = x 100% (Waluyo 2008)
Input (BKT)

e. Analisis sifat fisiko-kimia jernang


Analisis mutu jernang mengacu pada SNI jernang (2010), parameter
yang diuji adalah sifat fisiko-kimia jernang yang terdiri dari:
a. Kadar resin
Kadar resin ditentukan dengan cara mengekstrak jernang dengan suatu
pelarut organik yang dinyatakan dengan persen berat per berat. Kadar resin
dapat ditentukan dengan cara kerja sebagai berikut:
a) Menimbang 1 g jernang yang telah dihaluskan di dalam timbel yang telah
dibuat kemudian dimasukkan ke dalam soklet.
b) Soklet diisi dengan 150 ml dietil eter yang ditampung pada labu didih
250 ml.
c) Soklet dihubungkan dengan kondenser dan air pendingin untuk
melakukan ekstrak jernang secara sempurna kemudian memisahkan dietil
eter secara maksimal sehingga diperoleh resin.
d) Resin yang diperoleh dipisahkan dengan 50 ml air pada labu pemisah.
e) Mengocok labu pemisah agar resin yang masih terikat dapat terekstrak.
f) Resin dipisahkan dari air suling, kemudian menguapkan dietil eter di atas
penangas air/hotplate.
g) Ekstrak resin dikeringkan sampai diperoleh berat labu pemisah dan resin
yang tetap di dalam desikator.
W2 – W1
Kadar resin (%) = x 100
W
18

Keterangan : W adalah berat serbuk jernang (g)


W1 adalah berat labu pemisah (g)
W2 adalah berat labu pemisah dan resin yang tersisa (g)
b. Kadar air
Kadar air ditentukan dengan cara kerja sebagai berikut (ASTM D2016-74
1981):
a) Menimbang cawan petri yang telah di oven selama ± 1 jam.
b) Jernang ditimbang sebanyak 1 g yang telah dihaluskan dan dimasukkan
ke dalam cawan petri.
c) Cawan yang berisi jernang dioven selama 3 jam pada suhu ± 110ºC.
d) Menimbang cawan tersebut, kemudian mengoven kembali selama 3 jam
untuk memperoleh hasil yang konstan kemudian menimbang.
W1 - W2
Kadar air (%) = x 100
W2
Keterangan : W1 adalah berat jernang
W2 adalah berat jernang setelah di oven
c. Kadar kotoran
Kadar kotoran ditentukan dengan cara melarutkan jernang dalam
toluena. Bahan tak larut dalam toluena tertinggal di kertas saring. Kadar
kotoran ditentukan dengan cara kerja sebagai berikut:
a) Jernang yang telah dihaluskan ditimbang ± 1 g dan dimasukkan ke dalam
gelas piala 400 ml, kemudian dilarutkan dengan toluena sebanyak ± 8 ml.
b) Jernang diaduk hingga terlarut seluruhnya.
c) Menuangkan sisa jernang yang tidak larut ke dalam kertas saring.
d) Gelas piala dibilas dengan toluena hingga bersih kemudian
menyaringnya.
W1 - W2
Kadar kotoran (%) = x 100
W
Keterangan : W adalah berat jernang (g)
W1 adalah kertas saring (g)
W2 adalah berat kertas saring + isi setelah dipanaskan (g)
19

d. Kadar abu
Kadar abu ditentukan dengan mengukur zat mineral bahan organik
dalam jernang yang tidak habis terbakar setelah pemanasan 800°C sampai
1000°C. Kadar abu dapat ditentukan dengan cara kerja sebagai berikut:
a) Memanaskan oven tanur pada suhu kurang lebih 800 sampai 1000°C.
b) Cawan petri yang disimpan dalam desikator dari hasil pengukuran kadar
air, digunakan untuk pengukuran kadar abu.
c) Memasukkan cawan tersebut ke dalam tanur selama ± 8 jam.
d) Oven dibuka setelah ± 12 jam, kemudian mengambil cawan dan
dimasukkan ke dalam desikator.
e) Menimbang berat cawan berisi abu.
W2 ‐ W1
Kadar abu (%) = x 100
W
Keterangan :  W adalah berat jernang (g)
W1 adalah berat cawan (g)
W2 adalah berat cawan + abu (g)

e. Titik leleh
Titik leleh diukur dengan menggunakan alat melting point. Jernang
yang dibuat serbuk halus dilelehkan pada suhu rendah. Titik leleh dapat
ditentukan dengan cara kerja sebagai berikut:
a) Memasukkan serbuk jernang ke dalam pipa kapiler hingga padat dan
dorong serbuk jernang hingga berada pada posisi ditengah pipa kapiler
b) Melting point dipanaskan pada suhu awal 40ºC.
c) Pipa kapiler yang berisi jernang diletakkan pada melting point.
d) Lalu mengamati terus sampai jernang dalam pipa kapiler meleleh
seluruhnya, kemudian mencatat suhu tersebut.
f. Penentuan warna
Warna ditentukan dengan pengamatan secara visual setelah jernang
dilarutkan dengan etanol dan dituangkan ke atas kertas putih. Warna dapat
ditentukan dengan cara kerja sebagai berikut:
a) Menimbang ± 1 g jernang yang telah dihaluskan.
20

b) Jernang dilarutkan dalam etanol 20 ml di dalam gelas piala dan


didiamkan beberapa saat.
c) Menuangkan secara perlahan-lahan ke atas kertas putih kemudian
diangin-anginkan dan diamati.
Tabel 2 Spesifikasi persyaratan mutu jernang
Persyaratan
No Jenis uji Satuan
Mutu super Mutu A Mutu B
1 Kadar resin (b/b) % Min. 80 Min.60 Min.25
2 Kadar air (b/b) % Maks.6 Maks.8 Maks.10
3 Kadar kotoran (b/b) % Maks.14 Maks.39 Maks.50
4 Kadar abu (b/b) % Maks.4 Maks.8 Maks.20
5 Titik leleh °C Min.80 Min.80 -
6 Warna - Merah tua Merah muda Merah pudar
Sumber : SNI jernang(2010)

3.5 Pengolahan Data


Analisis data percobaan dilakukan berdasarkan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) yaitu sebagai berikut: Yij = μ + αi + εij
Keterangan:
Yij = Varian yang diamati (rendemen dan sifat fisiko-kimia)
Μ = Nilai rata-rata umum
αi = Pengaruh perlakuan dengan cara masyarakat, perebusan 1, 2 dan 3 jam
terhadap rendemen dan sifat fisiko-kimia jernang.
ε ij = Pengaruh galat percobaan dari ke-i (1, 2 dan 3 jam) pada ulangan ke-j (3
kali ulangan)
Berdasarkan rancangan tersebut, maka disusun analisis ragam seperti pada
Tabel 3.
Tabel 3 Analisis ragam
Sumber Keragaman DB JK KT Fhit F5%
Perlakuan t-1 JKP KTP KTU/KTG
Galat (r-1)(t-1) JKG KTG KTP/KTG
Total (rt-1) JKT
Untuk mengetahui pengaruh faktor perlakuan terhadap rendemen dan mutu
jernang yang dibuat maka dilakukan analisis ragam. Nilai hitung yang diperolah
dari analisis ragam tersebut dibandingkan dengan F-tabel pada selang kepercayaan
95% dengan kaidah keputusan:
1. Hipotesis pertama: apabila F-hitung < F-tabel, maka terima H0 yaitu
perlakuan antara cara masyarakat dan cara perebusan (1, 2 dan 3 jam)
21

tidak memberikan pengaruh nyata atau sangat tidak nyata terhadap


rendemen dan sifat fisiko-kimia jernang pada selang kepercayaan 95%
sehingga H1 ditolak.
2. Hipotesis kedua: apabila F-hitung > F-tabel, maka terima H1 yaitu
perlakuan antara cara masyarakat dan cara perebusan (1, 2 dan 3 jam)
memberikan pengaruh nyata atau sangat nyata pada rendemen dan sifat
fisiko-kimia jernang pada selang kepercayaan 95% sehingga H0 ditolak.
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan SPSS 12. Apabila
perlakuan memberikan pengaruh nyata atau sangat nyata terhadap rendemen dan
sifat fisiko-kimia jernang, maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan
Duncan Multiple Range Test (DMRT).
22

BAB IV
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Letak dan Luas Wilayah


Berdasarkan data BPS (2001), Kabupaten Sarolangun terletak
di Provinsi Jambi. Secara geografis, Kabupaten Sarolangun terletak pada titik
koordinat antara 01°53’39’’ sampai 02°46’02’’ Lintang Selatan dan antara
102°03´39’’ sampai 103°13´17’’ Bujur Timur dan merupakan dataran rendah
dengan ketinggian antara 10 sampai dengan 1000 mdpl, dengan pembagian
wilayah dan batas sebagai berikut:
a) Utara : Kabupaten Batang Hari
b) Selatan : Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu 
c) Barat : Kabupaten Merangin
d) Timur : Kabupaten Batang Hari dan Musi Rawas Provinsi Sumatera Selatan
Luas wilayah administratif Kabupaten Sarolangun meliputi 6.174 km2,
terdiri dari dataran rendah 5.248 km2 (85%) dan dataran tinggi 926 km2 (15%).
Secara administratif Kabupaten Sarolangun terdiri dari 10 kecamatan, 6 kelurahan
dan 124 desa dengan jumlah penduduk pada tahun 2008 sebanyak 214.036 jiwa
dengan kepadatan penduduk 32 jiwa/ km2 dan jumlah penduduk pada tahun pada
tahun 2010 sebanyak 245.848 jiwa.
Berdasarkan Gita Buana (2009), Desa Lamban Sigatal merupakan salah satu
desa yang terletak di Kecamatan Pauh, Kabuapten Sarolangun, Provinsi Jambi.
Wilayah Desa Lamban Sigatal dibagi dalam dua bagian yaitu: Dusun Lamo dan
Kampung Kelapa. Wilayah Desa Lamban Sigatal berbatasan langsung dengan
empat desa yaitu:
a) Sebelah Utara : Desa Baru/Pamusiran Kecamatan Mandiangin
b) Sebelah Selatan : Desa Seko Besar (Trans Lubuk Napal) Kecamatan Pauh
c) Sebelah Barat : Desa Lubuk Napal Kecamatan Pauh
d) Sebelah Timur : Desa Sepintun Kecamatan Pauh
23

Gambar 3 Sketsa lokasi penelitian (Anonim 2006).

4.2 Aksesibilitas
Bedasarkan Bursa Transmigrasi (2010), akses menuju Desa Lamban Sigatal
adalah sebagai berikut:
a) Dari Ibu Kota Provinsi (Jambi) ke Ibukota Kabupaten (Sarolangun) dengan
jarak 179 km2 melalui jalan darat, ditempuh selama 4 jam dengan mobil.
b) Dari Ibukota Kabupaten (Sarolangun) ke Kecamatan (Pauh) dengan jarak 25
km2 melalui jalan darat, ditempuh selama 1 jam dengan mobil.
c) Dari Kecamatan (Pauh) ke Lokasi (Lamban Sigatal) dengan jarak 38 km2
melalui jalan darat waktu tempuh 1,5 jam dengan mobil/motor.
24

4.3 Topografi dan Iklim Wilayah


Topografi wilayah antara lain datar (0 sampai dengan 3%) sebesar 436,88 ha
(70,58%), berombak (3 sampai dengan 8%) sebesar 158,27 ha (25,57%), agak
bergelombang (8 sampai dengan 15%) sebesar 23,81 ha (3,85%). Jenis tanah
podsolik merah kuning, aluvial. Curah hujan terdiri dari bulan basah (Agustus
sampai dengan Desember) dan bulan kering (Januari sampai dengan Juli) dengan
suhu rata-rata berkisar 29 sampai dengan 30,39 0C (Bursa Transmigrasi 2010).

4.4 Penduduk
Desa Lamban Sigatal memiliki penduduk sebanyak 843 jiwa terdiri dari
laki-laki sebanyak 435 jiwa dan perempuan sebanyak 408 jiwa. Jumlah Kepala
Keluarga (KK) sebanyak 180 KK atau rata-rata setiap keluarga beranggotakan 4
sampai dengan 5 jiwa. Sebagian keluarga memiliki pekerjaan sampingan sebagai
pencari jernang (Gita Buana 2009).
25

BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Potensi Jernang


Kabupaten Sarolangun memiliki sumber daya hutan yang cukup berpotensi
untuk dimanfaatkan dan dikelola sehingga mewujudkan kehidupan masyarakatnya
yang baik secara berkelanjutan. Tercatat di kabupaten tersebut seluas 252.377 ha
wilayah atau 40% dari luas total wilayah daerah merupakan kawasan hutan yang
terdiri atas: hutan produksi (99.851 ha), hutan produksi terbatas (89.357,87 ha),
hutan lindung (54.285 ha), kawasan taman nasional (8.810 ha) dan cagar alam
(73.740 ha) (Disbunhut Kab. Sarolangun 2009).
Berdasarkan wawancara masyarakat desa, pada Hutan Tanaman Rakyat
(HTR) dalam 1 ha terdapat 500 rumpun jernang dengan jarak tanam 4 m x 5 m.
Dalam satu rumpun terdapat lima batang, diperoleh 2.500 batang/ha. Menurut
masyarakat 60% batang betina, sehingga 1.500 batang siap berbunga. Dalam satu
batang menghasilkan lima sampai enam tandan buah, pada umumnya dalam satu
kali panen hanya tiga tandan yang berbuah, sehingga dapat menghasilkan 4.500
tandan buah. Dari 50 tandan dapat menghasilkan 1 kg jernang dan dari 4.500
tandan buah dapat menghasilkan jernang sebanyak 90 kg/ha. Panen dilakukan
sebanyak dua kali dalam satu tahun yaitu panen raya dan panen sela sehingga
menghasilkan jernang sebanyak 180 kg/ha/th.
Hasil inventarisasi Siswanto dan Wahjono (1996) di hutan Sarolangun-
Bangko, dalam 1 ha ditemukan jernang sebanyak tiga rumpun. Namun, pencari
jernang menyatakan bahwa dalam 1 ha hutan blok Bukit Bahar Tajau Pecah
paling sedikit ditemukan tiga rumpun jernang. Berdasarkan wawancara
masyarakat, dalam satu rumpun terdapat lima batang, sehingga terdapat 15
batang/ha. Menurut masyarakat 60% betina sehingga sembilan batang/ha siap
berbunga. Dalam satu batang menghasilkan lima sampai enam tandan buah, pada
umumnya dalam satu kali panen hanya tiga tandan yang berbuah, sehingga
menghasilkan 27 tandan buah/ha. Dari 50 tandan dapat menghasilkan 1 kg jernang
sehingga dari 27 tandan menghasilkan 0,54 kg/ha. Panen dilakukan dua kali dalam
26

satu tahun yaitu panen raya dan panen sela sehingga dapat menghasilkan 1,08
kg/ha/th.
Menurut masyarakat, pencarian jernang di Kabupaten Sarolangun terdapat di
dua tempat yaitu Kecamatan Air Hitam dan Pauh. Potensi jernang di Hutan Alam
blok Bukit Bahar Tajau Pecah sebesar 96,51 ton/ha dan di HTR Lamban Sigatal
sebesar 130,16 ton/ha. Total potensi jernang di Kabupaten Sarolangun dapat
dihitung sebesar 226,66 ton/ha (Tabel 4). Jernang dijual dengan harga Rp
400.000/kg sampai dengan Rp 700.000/kg.
Tabel 4 Potensi jernang di Kabupaten Sarolangun
Jenis Luas Jernang Potensi
No Kecamatan Lokasi
hutan (ha) (kg/ha/th) (kg/th) (ton/th)
1. Air Hitam Hutan blok Bukit Hutan 89.357,87 1,08 96.506,50 96,51
Bahar tajau pecah Alam

2. Pauh Lamban Sigatal HTR 723,09 180 130.156,20 130,16

226.662,70 226,66
Sumber: Disbunhut (2009)dan Gita Buana (2008)

Berdasarkan data BPS (2010), produksi jernang semakin menurun. Produksi


terakhir pada tahun 1995 tercatat sebanyak 15 ton jernang yang dihasilkan di
Provinsi Jambi. Setelah tahun 1995 sampai 2010, produksi jernang tidak tercatat
lagi. Produk jernang di Kabupaten Sarolangun sampai tahun 2010 juga tidak
tercatat. Menurut Sumarna (2009), secara keseluruhan populasi rotan
(Daemonorops draco (Willd.) Blume) di TN Bukit 12 Jambi relatif semakin
menurun, selain karena tidak berlangsungnya sistem regenerasi alami secara
optimal, juga lebih disebabkan oleh pola panen produksi buah yang dilakukan
masyarakat terkadang dengan cara menebang batang rotan. Menurut masyarakat,
mereka menghindari memotong batang rotan walaupun sulit mengambil buah.
Pencari jernang menyatakan bahwa tidak ada pemeliharaan rotan di dalam hutan.
Apabila dilihat dari kondisi di lapangan tergambar bahwa proses pengambilan
buah rotan jernang bersifat hanya mengambil apa yang disediakan alam.

5.2 Tahapan Pemanenan Buah Rotan Jernang yang Dilakukan Masyarakat


Daemonorops draco (Willd.) Blume atau yang dikenal dengan nama rotan
jernang ditanam disekitar Desa Lamban Sigatal. Para pencari jernang yang berasal
27

dari Desa Lamban Sigatal sudah mulai kesulitan dalam mencari buah rotan
jernang, karena rotan jernang yang berada disekitar desa sudah sulit diperoleh.
Petani berlomba-lomba mencari buah rotan jernang ke kawasan hutan blok Bukit
Bahar Tajau Pecah karena jernang dianggap bernilai jual yang tinggi. Pencarian
buah rotan jernang dilakukan secara berkelompok dan mengolahnya langsung di
dalam hutan. Petani hanya membawa pulang biji dan serbuk jernang yang
diperoleh dari proses penumbukan.
Apabila dilihat dari daur dan masa produksi, rotan jernang mulai berbuah
pada umur empat tahun. Tandan buah akan keluar dari pangkal ruas bagian atas
setelah itu tandan buah akan keluar terdiri dari sejumlah calon buah dalam jumlah
yang dipengaruhi oleh umur pohon. Masa proses pembuahan hingga buah dalam
satuan tandan akan masak memerlukan waktu antara 11 sampai 13 bulan. Secara
umum antara satu sampai dua bulan sebelum buah masak, potensi resin yang
terbentuk sangat optimal. Waktu panen jernang dalam satu tahun adalah dua kali
yaitu pada bulan April dan September (Winarni et al. 2005).
Berdasarkan hasil wawancara masyarakat, jernang tumbuh merambat ke
atas apabila menemukan pohon inang sedangkan akan merambat ke kanan kiri
bila tidak menemukan pohon inang. Pohon inang pada umumnya jenis gaharu,
ulin, karet dan sungkai. Teknik pemanenan buah dilakukan dengan
memperhatikan kondisi optimal terbentuknya resin pada kulit buah. Tahapan
pemanenan buah rotan jernang dijelaskan pada Gambar 4.

Ciri buah masak berwarna Petani mengambil buah dengan cara


merah kecokelatan memanjat pohon dengan bantuan
galah dan alat pengait

Buah dikumpulkan dalam


Buah siap ditumbuk
keranjang dan diangin-anginkan

Gambar 4 Tahapan pemanenan buah.

Pemanenan buah rotan jernang yang dilakukan petani masih bersifat


memanfaatkan yang disediakan oleh alam. Petani mengambil buah dengan cara
memanjat pohon disebelahnya dan menggunakan galah dan alat pengait. Terdapat
hukum adat di Desa Lamban Sigatal, apabila terdapat pencari jernang yang
memotong batang rotan maka sangsinya adalah dikeluarkan dari desa atau
28

diasingkan sehingga petani menghindari memotong batang rotan walaupun


kondisi tidak memungkinkan untuk mengambil buah. Berdasarkan Winarni et al.
(2005), pemanenan buah rotan jernang yang dilakukan oleh Suku Kubu adalah
dengan cara memanjat pohon yang berada di dekat rotan jernang dengan bantuan
galah untuk dapat menjangkau tandan buah. Buah yang dipanen adalah buah yang
sudah tua namun belum terlalu masak.
5.2.1 Pemetikan buah rotan jernang
Pengumpulan buah didasarkan kepada masaknya buah dengan ciri
kemasakan sesuai dengan warna. Buah rotan jernang yang sudah tua berwarna
cokelat kemerahan. Buah yang menghasilkan banyak jernang adalah buah yang
tua namun belum terlalu masak. Apabila buah yang dipetik sudah masak maka
resin yang terkandung dalam buah rotan jernang telah berkurang karena resin
dapat mencair dengan sendirinya dan membusuk.
Buah rotan jernang dipanen dengan cara memanjat pohon terdekatnya.
Masyarakat mengambil buah rotan jernang dengan menggunakan galah panjang
dan alat pengait yang terbuat dari kayu untuk melilitkan tandan buah. Tandan
buah rotan jernang tersebut akan tersangkut pada alat pengait. Kesulitan dalam
memanen buah rotan jernang adalah apabila rotan terlalu tinggi maka masyarakat
harus memanjat pohon inang dengan kondisi licin dan terhalang oleh duri rotan
dan ranting pohon, terkadang buah rotan jernang yang terkait beberapa terlepas
dari tandannya karena terlalu kuat menarik tandan buah rotan jernang. Buah rotan
jernang dikumpulkan dalam keranjang. Cara mengatasi kesulitan dalam memanjat
pohon yaitu saat memanjat pohon inang kaki disarungi dengan karung plastik
yang dibuat melingkar (masyarakat Desa Lamban Sigatal menyebutnya
“semprat”). Petani menghindari memotong batang rotan walaupun sulit
memperoleh buah rotan jernang, karena rotan sudah sulit diperoleh disekitar desa.
Namun jika terpaksa, batang rotan dipotong untuk memperoleh buah rotan.
Mengingat saat ini buah rotan jernang sudah sulit diperoleh, maka masyarakat
desa melakukan upaya penanaman rotan di lahan milik melalui pembibitan dari
biji.
29

5.2.2 Buah rotan jernang diangin-anginkan


Masyarakat yang mengambil buah rotan jernang di hutan blok Bukit Bahar
Tajau Pecah pada umumnya langsung mengerjakannya di dalam hutan. Petani
membawa peralatan ke dalam hutan alam seperti ambung (keranjang), kayu
penyanggah, kayu penumbuk buah dan plastik penampung jernang. Buah yang
diambil dikumpulkan kemudian diangin-anginkan semalam. Namun ada pula
yang hanya menunggu waktu malam atau subuh untuk menumbuknya. Buah
diangin-anginkan dengan tujuan agar lebih mudah dalam memisahkan buah dari
tandannya. Buah yang sudah diangin-anginkan akan lebih mudah ditumbuk dan
resin tidak lengket di buah.
Menurut Kalima (1991), buah rotan jernang yang dipanen disimpan dalam
keranjang terlebih dahulu agar kadar air dalam buah berkurang kemudian dijemur
di bawah sinar matahari selama tiga sampai empat hari atau sampai kering dan
mengkerut, setelah itu baru dapat ditumbuk agar resin yang keluar lebih banyak.
Penjemuran buah rotan jernang yang dilakukan oleh petani hanya sebatas diangin-
anginkan saja dan tidak melibatkan sinar matahari. Hal ini dikarenakan
memerlukan waktu yang cukup lama dan keadaan cuaca yang tidak menentu
untuk menjemur selama tiga sampai empat hari, sedangkan petani menumbuk
buah rotan jernang langsung di dalam hutan.

5.3 Jernang yang Dihasilkan dari Cara masyarakat


Jernang yang dihasilkan oleh masyarakat melalui cara penumbukan
merupakan cara yang sederhana karena tidak memerlukan teknologi. Jernang yang
dihasilkan dengan cara masyarakat memiliki tahapan sebagai berikut:

Buah dalam keranjang ditumbuk Serbuk jernang Pencetakan ± 1 jam


dimasukkan ke dalam
plastik

Serbuk jernang Campur damar mata kucing/


gondorukem kemudian panaskan

Masukkan dalam plastik


Didinginkan
± 1 jam akan mengeras

Gambar 5 Jernang yang dihasilkan dari cara masyarakat.


30

5.3.1 Penumbukan buah rotan jernang


Buah rotan jernang yang kering dapat dengan mudah ditumbuk. Untuk
memperoleh jernang yang maksimal, penumbukan tidak dilakukan di area terbuka
dan pada saat angin kencang karena serbuk jernang mudah sekali terbawa angin.
Penumbukan buah rotan jernang dilakukan agar resin yang menempel pada kulit
buah terlepas. Menumbuk buah tidak terlalu kuat agar biji tidak pecah. Lapisan
resin pada kulit luar buah akan lepas seluruhnya akibat bertumbukan, sehingga
serbuk jernang bercampur dengan kulit buah. Jernang yang mengandung kulit
buah terlihat tidak bersih dan dapat menurunkan mutu jernang tersebut.
5.3.2 Pencetakan jernang
Berdasarkan wawancara kepada masyarakat, jernang yang dihasilkan
masyarakat terbagi menjadi dua tipe yaitu jernang murni dan jernang campuran.
Jernang murni artinya jernang yang dihasilkan dari proses penumbukan,
sedangkan jernang campuran artinya jernang dicampur dengan damar. Damar
dipilih menjadi bahan campuran karena memiliki daya rekat yang baik. Bahan
campuran yang lain pada umumnya ditambahkan secara bersama-sama dengan
damar yaitu biji dan daging buah rotan jernang itu sendiri yang sudah dihaluskan.
Menurut Suwardi et al. (2003), masyarakat terkadang menambahkan gondorukem
di dalam jernang. Serbuk jernang hasil tumbukan mudah sekali menggumpal,
sehingga dalam proses pencetakan mudah dilakukan. Serbuk jernang yang murni
langsung dimasukkan dalam plastik, dalam waktu ± 1 jam serbuk jernang akan
mengeras.
Proses pencampuran jernang dengan damar dilakukan dengan dipanaskan di
atas tungku. Damar dicampur dengan serbuk jernang yang murni sampai
menyatu. Waktu yang dibutuhkan dalam proses pencampuran tidak menentu,
tergantung banyaknya serbuk jernang. Namun, pada umumnya waktu yang
diperlukan selama 10 sampai dengan 15 menit. Jernang yang sudah tercampur
didinginkan dan dimasukkan ke dalam plastik dan dalam waktu ± 1 jam jernang
akan mengeras. Menurut Waluyo (2008), serbuk jernang yang dimasukkan dalam
wadah plastik dan dalam waktu ± 30 menit akan menggumpal/mengeras. Cara lain
untuk mempercepat penggumpalan dengan mengukus serbuk jernang dalam
plastik selama ± 5 menit.
31

Jernang yang sudah mengeras di dalam plastik kemudian dijual. Penjualan


dilakukan secara sederhana. Petani menjual jernang ke pedagang pengumpul yang
ada di desa dengan harga Rp 400.000/kg. Harga tersebut dipengaruhi oleh mutu
jernang. Jernang yang murni akan memiliki harga yang lebih tinggi dibandingkan
jernang campuran. Namun, kebanyakan petani menjual hasilnya kepada pedagang
pengumpul di kecamatan karena belum terbukanya penjualan keluar kecamatan
dan akses untuk ke Jambi cukup jauh sehingga memerlukan waktu yang cukup
lama dan biaya. Gambar 6 menggambarkan tahapan teknik pemanenan buah
sampai menghasilkan jernang oleh masyarakat.

`
Pemetikan buah Buah rotan jernang Penumbukan buah
rotan jernang yang dianginkan rotan jernang

Jernang dikemas dalam Pencampuran jernang Hasil penumbukan


plastik dengan damar buah rotan jernang

Gambar 6 Tahapan pemanenan dan proses menghasilkan jernang secara


tradisional (masyarakat).

5.4 Jernang yang Dihasilkan dari Cara Alternatif (Perebusan)


Cara perebusan merupakan cara alternatif yang dapat dikerjakan oleh
masyarakat. Perebusan merupakan salah satu cara yang tepat guna, dimana tidak
32

memerlukan teknologi yang tinggi dan masyarakat dapat mengerjakannya.


Perebusan yang dilakukan bertujuan untuk mencairkan resin yang terdapat di buah
rotan jernang. Menurut Suwardi et al. (2003), seluruh bagian buah menghasilkan
jernang kecuali biji. Persentase resin yang dihasilkan dari bagian kulit sebesar
50,6% dan daging buah 49,4%. Cara perebusan dilakukan dengan menggunakan
seluruh bagian buah kecuali biji. Cara perebusan menghasilkan resin tanpa kulit.
Selama proses perebusan, jernang akan naik ke permukaan air rebusan. jernang
dikumpulkan dalam cawan petri. Jernang tersebut dikeringkan kemudian
dihaluskan dan digunakan dalam analisis sifat fisiko-kimia.
5.4.1 Rendemen jernang dengan cara perebusan
Sebelum menghitung rendemen resin yang dihasilkan dari pengolahan buah
rotan jernang maka dilakukan pengukuran kadar air buah dahulu. Dalam
penelitian ini, rendemen yang dihitung berdasarkan berat buah rotan jernang
dalam keadaan Berat Kering Tanur (BKT) karena kadar air buah rotan jernang
berbeda-beda. BKT diperoleh dari perhitungan setelah mengetahui kadar air buah
rotan jernang yang digunakan untuk penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendemen jernang yang diekstraksi
dari buah rotan jernang dengan cara masyarakat lebih besar dibandingkan dengan
cara perebusan (Tabel 5). Rendemen rata-rata cara masyarakat sebesar 7,26%,
sedangkan cara perebusan 1, 2 dan 3 jam berturut-turut sebesar 3,27%, 3,24% dan
3,10%. Rendemen jernang cara masyarakat yang dilakukan dalam penelitian ini
tidak berbeda jauh dengan penelitian Waluyo (2008) yang mengekstrak jernang
dengan cara penumbukan yaitu 7,42%.
Tabel 5 Rendemen jernang hasil ekstraksi dengan cara masyarakat dan perebusan
Rendemen (%)
Ulangan
Masyarakat Perebusan 1 jam Perebusan 2 jam Perebusan 3 jam
1 7,95 3,94 2,86 3,14
2 7,47 2,88 3,05 3,07
3 6,36 3,00 3,82 3,09
Rata-rata 7,26 3,27 3,24 3,10

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan ekstraksi jernang


dengan cara masyarakat dan cara perebusan (1, 2 dan 3 jam) mempengaruhi
secara nyata rendemen jernang yang dihasilkan. Hal tersebut dapat dilihat dari
hasil analisis ragam yang menunjukkan F hit (34,72) > F tabel (4,76) yang berarti
33

H1 diterima yaitu perlakuan cara masyarakat dan perebusan mempengaruhi secara


nyata rendemen yang dihasilkan sehingga H0 ditolak (Tabel 6).
Tabel 6 Analisis ragam rendemen jernang
Sumber ragam Db KT JK F hitung F (5%)
Perlakuan 3 37,04 12,35 34,72 *) 4,76
Galat 6 2,13 0,36
Total 11 39,56
Keterangan: *) = nyata pada taraf α 5%

Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa cara masyarakat menghasilkan


rendemen yang berbeda nyata dengan cara perebusan, namun lama waktu
perebusan tidak mempengaruhi rendemennya, dimana perebusan 1, 2 dan 3 jam
tidak menghasilkan rendemen yang berbeda nyata (Tabel 7). Rendemen jernang
cara masyarakat lebih besar dibandingkan cara perebusan. Hal ini diduga karena
jernang dari cara masyarakat mengandung kotoran yang lebih banyak. Hal ini
dibuktikan dari kadar kotorannya, dimana kadar kotoran jernang yang diekstrak
dengan cara masyarakat adalah 32,16%, sedangkan jernang yang dihasilkan dari
cara perebusan adalah 11,57 − 12,03% (Tabel 13). Menurut Waluyo (2008),
ekstraksi jernang cara masyarakat kemungkinan besar bagian kulit buah ikut serta,
bahkan bila terlalu kuat menumbuk buah rotan jernang akan pecah sehingga
jernang bercampur dengan buah rotan jernang yang hancur.
Tabel 7 Hasil uji Duncan pengaruh perlakuan terhadap rendemen jernang
Perlakuan Rata-rata rendemen BKT
Masyarakat 7,26 b
Perebusan 1 jam 3,27 a
Perebusan 2 jam 3,24 a
Perebusan 3 jam 3,10 a
Keterangan: Huruf a dan a berarti tidak berbeda nyata, sedangkan huruf a dan b berarti berbeda nyata
terhadap rendemen pada taraf α 5%.

Lama perebusan 1 jam menghasilkan rendemen yang tidak berbeda nyata


dengan perebusan 2 dan 3 jam. Untuk itu, bila mempertimbangkan waktu dan
biaya perebusan, maka perebusan yang dipilih adalah perebusan selama 1 jam.
Namun, cara perebusan ini menghasilkan rendemen jernang yang lebih rendah
dari yang diharapkan. Hal ini diduga karena dalam proses perebusan resin banyak
yang menempel di dinding gelas piala dan pembatas yang terbuat dari saringan
kawat nyamuk sehingga resin yang diambil tidak optimal walaupun sebagian
besar resin naik ke permukaan air rebusan. Untuk itu perlu dikembangkan alat
perebusan yang dapat meningkatkan rendemen jernang.
34

5.4.2 Analisis sifat fisiko-kimia jernang


1. Kadar air
Kadar air yang diperoleh pada perlakuan 1, 2 dan 3 jam berturut-turut
sebesar 3,64 %, 3,34 % dan 3,48 %, sedangkan cara masyarakat menghasilkan
kadar air sebesar 3,48 % (Tabel 8).
Tabel 8 Rata-rata kadar air jernang
Perlakuan Rata-rata Kadar air
Masyarakat 3,48
Perebusan 1 jam 3,64
Perebusan 2 jam 3,34
Perebusan 3 jam 3,48
Hasil analisis ragam (Tabel 9) menunjukkan bahwa perlakuan cara
masyarakat dan cara perebusan (1, 2 dan 3 jam) tidak mempengaruhi secara nyata
kadar air jernang yang dihasilkan. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil analisis
ragam yang menunjukkan F hit (0,27) < F tabel (4,76) yang berarti H0 diterima
yaitu perlakuan cara masyarakat dan perebusan tidak mempengaruhi secara nyata
kadar air jernang sehingga H1 ditolak.
Tabel 9 Analisis ragam kadar air jernang
Sumber ragam db KT JK F hitung F (5%)
Perlakuan 3 0,13 0,04 0,27tn 4,76
Galat 6 0,99 0,17
Total 11 1,44
Keterangan: tn = tidak nyata pada taraf α 5%

Kadar air yang dihasilkan dari cara masyarakat dan cara perebusan tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata. Waktu perebusan 1, 2 dan 3 jam tidak
menunjukkan kecenderungan makin meningkat atau menurun. Namun, secara
keseluruhan kadar air yang diperoleh dari hasil penelitian ini lebih rendah
dibandingkan kadar air jernang hasil penelitian Waluyo (2008) dengan cara
masyarakat yaitu melalui penumbukan buah rotan jernang yaitu sebesar 4,4%.
Berdasarkan standar SNI jernang (2010), kadar air maksimal untuk mutu super
adalah 6% (Tabel 2). Kadar air kedua perlakuan termasuk mutu super. Rendahnya
Kadar air menunjukkan bahan jernang tersebut dapat disimpan dalam jangka
waktu lama.

2. Kadar resin
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan cara masyarakat dan
cara perebusan (1, 2 dan 3 jam) mempengaruhi secara nyata kadar resin jernang
35

yang dihasilkan. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil analisis ragam yang
menunjukkan F hit (317,409) > F tabel (4,76) yang berarti H1 diterima yaitu
perlakuan cara masyarakat dan perebusan mempengaruhi secara nyata kadar resin
jernang sehingga H0 ditolak.
Tabel 10 Analisis ragam kadar resin jernang
Sumber ragam db KT JK F hitung F (5%)
Perlakuan 3 731,58 243,86 317,41*) 4,76
Galat 6 4,61 0,77
Total 11 736,88
Keterangan: *) = nyata pada taraf α 5%

Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa cara masyarakat menghasilkan kadar


resin yang berbeda nyata dengan cara perebusan, namun lama waktu perebusan
tidak mempengaruhi kadar resinnya, dimana perebusan 1, 2 dan 3 jam tidak
menghasilkan kadar resin yang berbeda nyata (Tabel 11). Perebusan 1, 2 dan 3
jam berturut-turut menghasilkan kadar resin sebesar 81,83%, 81,21% dan 80,91%,
sedangan cara masyarakat menghasilkan kadar resin sebesar 63,30%.
Tabel 11 Hasil uji Duncan pengaruh perlakuan terhadap kadar resin jernang
Perlakuan Rata-rata Kadar resin
Masyarakat 63,30 b
Perebusan 1 jam 81,83 a
Perebusan 2 jam 81,21 a
Perebusan 3 jam 80,91 a
Keterangan: Huruf a dan a berarti tidak berbeda nyata, huruf a dan b berarti berbeda nyata terhadap kadar
kotoran pada taraf nyata α 5%.

Waktu perebusan tidak menghasilkan kadar resin yang berbeda nyata.


Namun, terdapat kecenderungan perebusan 1 jam menghasilkan kadar resin
terbesar sedangkan 2 dan 3 jam menghasilkan kadar resin yang semakin rendah.
Hal ini diduga karena lamanya waktu perebusan menyebabkan hancunya partikel
padat baik yang terlihat oleh mata maupun tidak ikut naik kepermukaan air
rebusan sehingga resin yang terkandung dalam jernang akan lebih sedikit pada
waktu 2 dan 3 jam.
Cara masyarakat menghasilkan kadar resin yang lebih rendah dibandingkan
cara perebusan. Hal ini diduga karena cara masyarakat banyak mengandung
pengotor (kulit), sedangkan cara perebusan menghasilkan jernang tanpa kulit.
Menurut Waluyo (2008), resin cara masyarakat merupakan hasil pencampuran
dengan kulit buah. Berdasarkan standar SNI jernang (2010), kadar resin cara
masyarakat termasuk mutu A dan cara perebusan baik 1, 2 dan 3 jam termasuk
mutu super.
36

3. Kadar kotoran
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan cara masyarakat dan
cara perebusan (1, 2 dan 3 jam) mempengaruhi secara nyata kadar kotoran jernang
yang dihasilkan. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil analisis ragam yang
menunjukkan F hit (532,54) > F tabel (4,76) yang berarti H1 diterima yaitu
perlakuan cara masyarakat dan perebusan mempengaruhi secara nyata kadar
kotoran jernang sehingga H0 ditolak.
Tabel 12 Analisis ragam kadar kotoran jernang
Sumber ragam Db KT JK F hitung F (5%)
Perlakuan 3 938,17 312,72 532,54 *) 4,76
Galat 6 3,52 0,59
Total 11 942,55
Keterangan : *) = nyata pada taraf α 5%

Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa cara masyarakat menghasilkan kadar


kotoran yang berbeda nyata dengan cara perebusan, namun lama waktu perebusan
tidak mempengaruhi kadar kotorannya, dimana perebusan 1, 2 dan 3 jam tidak
menghasilkan kadar kotoran yang berbeda nyata (Tabel 13). Perebusan 1, 2 dan 3
jam berturut-turut menghasilkan kadar kotoran sebesar 11,57%, 11,63% dan
12,03%, sedangan cara masyarakat menghasilkan kadar kotoran sebesar 32,16%.
Berdasarkan standar SNI jernang (2010), kadar kotoran untuk cara masyarakat
termasuk ke dalam mutu A, sedangkan cara perebusan baik 1, 2 dan 3 jam
termasuk ke dalam mutu super.
Tabel 13 Hasil uji Duncan pengaruh perlakuan terhadap kadar kotoran jernang
Perlakuan Rata-rata Kadar kotoran
Masyarakat 32,16 b
Perebusan 1 jam 11,57 a
Perebusan 2 jam 11,63 a
Perebusan 3 jam 12,03 a
Keterangan: Huruf a dan a berarti tidak berbeda nyata, huruf a dan b berarti berbeda nyata terhadap kadar
kotoran pada taraf nyata α 5%.

Tingginya kadar kotoran yang dihasilkan masyarakat diduga karena cara


masyarakat terdapat campuran antara kulit dan jernang, sedangkan cara perebusan
menghindari tercampurnya jernang dengan kulit buah. Jernang cara masyarakat
merupakan hasil pencampuran dengan kulit buah yaitu ekstraksi yang dilakukan
dengan cara menumbuk buah rotan jernang dan kemungkinan besar bagian kulit
ikut serta, bahkan bila terlalu kuat menumbuk buah rotan jernang akan pecah
sehingga jernang bercampur dengan buah rotan jernang yang hancur (Waluyo
2008).
37

Waktu perebusan tidak menghasilkan kadar kotoran yang berbeda nyata.


Namun, terdapat kecenderungan perebusan 1 jam menghasilkan kadar kotoran
terendah sedangkan 2 dan 3 jam menghasilkan kadar kotoran yang semakin tinggi.
Hal ini diduga karena lama perebusan akan menghancurkan partikel-partikel padat
yang bercampur dalam jernang baik berupa debu atau kotoran lainnya baik yang
terlihat maupun tidak terlihat oleh mata. Kotoran yang tidak terlihat oleh mata
dapat berasal dari buah rotan jernang, air dan alat yang digunakan. Diduga pada
saat jernang naik kepermukaan air rebusan, kotoran yang hancur pun ikut naik.
Cara perebusan menghasilkan kadar kotoran paling rendah pada waktu 1 jam
sehingga waktu yang paling optimum dalam menghasilkan kadar kotoran jernang
adalah 1 jam.
4. Kadar abu
Kadar abu yang diperoleh pada perlakuan 1, 2 dan 3 jam berturut-turut
sebesar 1,12%, 1,52% dan 1,59%, sedangkan hasil masyarakat sebesar 1,83%
(Tabel 14).
Tabel 14 Rata-rata kadar abu jernang
Perlakuan Rata-rata Kadar abu
Masyarakat 1,83
Perebusan 1 jam 1,12
Perebusan 2 jam 1,52
Perebusan 3 jam 1,59
Hasil analisis ragam (Tabel 15) menunjukkan bahwa perbedaan ekstraksi
jernang dengan cara masyarakat dan cara perebusan (1, 2 dan 3 jam) tidak
mempengaruhi secara nyata kadar abu jernang yang dihasilkan. Hal tersebut dapat
dilihat dari hasil analisis ragam yang menunjukkan F hit (3,08) < F tabel (4,76)
yang berarti H0 diterima yaitu perlakuan cara masyarakat dan perebusan tidak
mempengaruhi secara nyata kadar abu jernang sehingga H1 ditolak.
Tabel 15 Analisis ragam kadar abu jernang
Sumber ragam Db KT JK F hitung F (5%)
Perlakuan 3 0,80 0,27 3,08 tn 4,76
Galat 6 0,52 0,86
Total 11 1,32
Keterangan: tn = tidak nyata pada taraf α 5%

Meskipun secara statistika, kadar abu jernang yang diekstrak dengan cara
masyarakat tidak berbeda nyata dengan cara perebusan, namun kadar abu jernang
yang dihasilkan dengan cara masyarakat lebih tinggi. Hal ini diduga karena cara
38

masyarakat terdapat campuran kulit, sedangkan cara perebusan menghindari


tercampurnya jernang dengan kulit buah. Menurut Waluyo (2008), Kadar abu
berkorelasi positif dengan kadar kotoran, dimana semakin tinggi kadar kotoran
maka semakin tinggi pula kadar abunya. Hal ini dapat dilihat dari persentase kadar
abu dan kadar kotoran dari cara masyarakat yang lebih tinggi dibandingkan cara
perebusan. Begitu pula dengan lama waktu perebusan, dapat terlihat bahwa
perebusan 1 jam menghasilkan kadar abu yang paling rendah.
Menurut Waluyo (2008), abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran
suatu bahan organik. Penentuan kadar abu berhubungan erat dengan kandungan
mineral yang terdapat dalam suatu bahan, kemurnian serta kebersihan suatu bahan
yang dihasilkan. Semakin tinggi kadar abu maka jernang tersebut kurang bersih
dalam pengolahannya, yaitu masih mengandung kulit. Kadar abu masyarakat yang
dikerjakan dengan cara penumbukan menghasilkan kadar abu sebesar 2,8%. Bila
dibandingkan dengan hasil penelitian maka kadar abu hasil masyarakat yang
diteliti lebih rendah (Tabel 15). Berdasarkan standar SNI jernang (2010), kadar
abu perlakuan cara masyarakat dan cara perebusan termasuk ke dalam mutu super.

5. Titik leleh
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan cara masyarakat dan
cara perebusan (1, 2 dan 3 jam) mempengaruhi secara nyata titik leleh jernang
yang dihasilkan. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil analisis ragam yang
menunjukkan F hit (20,06) > F tabel (4,76) yang berarti H1 diterima yaitu
perlakuan cara masyarakat dan perebusan mempengaruhi secara nyata titik leleh
jernang sehingga H1 ditolak.
Tabel 16 Analisis ragam titik leleh jernang
Sumber ragam Db KT JK F hitung F (5%)
Perlakuan 3 396,25 132,08 20,06 *) 4,76
Galat 6 39,50 6,58
Total 11 452,92
Keterangan: *) = nyata pada taraf α 5%

Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa cara masyarakat menghasilkan titik


leleh yang berbeda nyata dengan cara perebusan, namun lama waktu perebusan
tidak mempengaruhi titik lelehnya, dimana perebusan 1, 2 dan 3 jam tidak
menghasilkan titik leleh yang berbeda nyata (Tabel 13). Perebusan 1, 2 dan 3 jam
berturut-turut menghasilkan titik leleh sebesar 11,57%, 11,63% dan 12,03%,
39

sedangkan jernang hasil masyarakat sebesar 96°C. Berdasarkan standar SNI


jernang (2010), secara umum kedua perlakuan termasuk ke dalam mutu super.
Tabel 17 Hasil uji Duncan pengaruh perlakuan terhadap titik leleh jernang
Perlakuan Rata-rata titik leleh
Masyarakat 96,00 b
Perebusan 1 jam 82,00 a
Perebusan 2 jam 83,00 a
Perebusan 3 jam 83,33 a
Keterangan: Huruf a dan a berarti tidak berbeda nyata, sedangkan huruf a dan b berarti berbeda nyata
terhadap titik leleh pada taraf nyata α 5%.

Cara masyarakat menghasilkan kadar kotoran lebih besar dibandingkan


dengan cara perebusan, sehingga titik leleh yang dihasilkan juga lebih besar. Hal
ini terjadi karena kulit banyak yang bercampur dengan jernang hasil cara
masyarakat. Hasil penelitian Waluyo (2008), titik leleh jernang yang dihasilkan
dari proses penumbukkan sebesar 105°C, sedangkan jernang yang dihasilkan dari
proses pengguncangan sebesar 80°C. Apabila dilihat dari titik leleh jernang yang
dihasilkan dari proses penumbukan hasil penelitian Waluyo (2008) sedikit lebih
tinggi dibandingkan hasil peneliti yaitu 96 °C. Selain itu, titik leleh jernang
berkorelasi positif dengan kadar kotoran.

6. Penentuan warna
Penentuan warna ditentukan dengan cara meletakkan serbuk jernang yang
telah dilarutkan dengan etanol di atas kertas putih. Secara visual warna jernang
tidak ada perbedaan antara hasil cara perebusan dan cara masyarakat, seluruhnya
menunjukkan warna merah tua. Kedua perlakuan tidak mempengaruhi
pembentukan warna dari jernang tersebut. Berdasarkan SNI jernang (2010),
jernang yang berwarna mereah tua termasuk ke dalam mutu super, sehingga
jernang dari kedua perlakuan tersebut termasuk mutu super. Merah tua adalah
warna yang paling baik, sedangkan warna yang pudar menurunkan mutu jernang.
Dengan demikian jernang merupakan bahan yang cocok untuk dijadikan pewarna
alami, karena perbedaan perlakuan tidak menunjukkan perbedaan warna yang
dihasilkan.
Menurut Winarni et al. (2005), jernang dengan mutu yang baik harus jernih
dan bila ditumbuk akan memperoleh bubuk berwarna merah tembaga yang larut
dalam spirtus dengan warna yang terang. Menurut Risna (2006), resin dari
Daemonorops draco (Willd.) Blume dikenal sebagai sumber vernis untuk
40

mewarnai biola, selain digunakan untuk pewarna digunakan pula untuk obat
seperti obat luka dan bahan campuran cairan antiseptik (obat merah). Dibawah ini
merupakan data rekapitulasi pengujian mutu jernang.
Tabel 18 Rekapitulasi rata-rata pengujian mutu sifat fisiko-kimia jernang
Persyaratan Perebusan
No Jenis uji Mutu Mutu Mutu Masyarakat
1 jam 2 jam 3 jam
super A B
1 Kadar Min 80 Min 60 Min 25 63,30(A) 81,83 (MS) 81,21 (MS) 80,91(MS)
resin (%)
2 Kadar air Maks 6 Maks 8 Maks 10 3,48 (MS) 3,64 (MS) 3,34 (MS) 3,48 (MS)
(%)
3 Kadar Maks.14 Maks 39 Maks 50 32,16 (A) 11,57 (MS) 11,63(MS) 12,03(MS)
kotoran
(%)
4 Kadar Maks 4 Maks 8 Maks 20 1,83(MS) 1,12 (MS) 1,52 (MS) 1,59 (MS)
abu (%)
5 Titik Min 80 Min 80 - 96,00 (MS) 82,00 (MS) 83,00 (MS) 83,33 (MS)
leleh
(°C)
6 Warna Merah tua Merah Merah Merah tua Merah tua Merah tua Merah tua
muda pudar (MS) (MS) (MS) (MS)
Sumber: SNI jernang 2010

Pengujian sifat fisiko-kimia jernang bertujuan untuk mengetahui mutu


jernang. Berdasarkan standar SNI jernang (2010), dari Tabel 18 dapat dilihat
bahwa dari enam komponen yang diuji empat diantaranya jernang hasil
masyarakat termasuk ke dalam mutu super kecuali kadar kotoran dan kadar resin
termasuk mutu A. Secara keseluruhan jernang hasil cara perebusan termasuk mutu
super yaitu pada kadar resin, kadar kotoran, kadar air, kadar abu, titik leleh dan
warna. Apabila dilihat dari Tabel 18, terlihat bahwa waktu optimum yang
dihasilkan adalah perebusan 1 jam karena kadar kotoran yang dihasilkan paling
sedikit, sedangkan kadar resin dan rendemen (Tabel 5) yang dihasilkan pada
waktu 1 jam paling besar dibandingkan 2 dan 3 jam. Pada umumnya dalam dunia
perdagangan, karakteristik jernang yang ditekankan dalam penentuan mutu
jernang adalah pada kadar kotoran dan kadar resin.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
a. Potensi jernang di Kabupaten Sarolangun terdapat di dua kecamatan yaitu
di Kecamatan Air Hitam dan Pauh. Potensi di Kecamatan Air Hitam
(Hutan alam) sebesar 1,08 kg/ha/th dan di Desa Lamban Sigatal (HTR)
sebesar 180 kg/ha/th. Total potensi jernang di Kabupaten Sarolangun
sebesar 226,66 ton/tahun.
b. Pemanenan buah rotan jernang dilakukan dengan menggunakan galah dan
alat pengait. Buah rotan jernang yang baik dipanen adalah buah yang tua
tetapi belum terlalu masak dengan ciri berwarna cokelat kemerahan.
c. Rendemen jernang hasil masyarakat (7,26%) lebih besar dibandingkan cara
perebusan 1, 2 dan 3 jam (3,27%, 3,24% dan 3,10%). Berdasarkan SNI
jernang (2010), pengujian sifat fisiko-kimia jernang hasil cara masyarakat
termasuk mutu A sedangkan cara perebusan termasuk mutu super.

6.2 Saran
a. Diperlukan modifikasi alat pemanenan agar buah rotan jernang yang
dipanen tidak jatuh ke tanah karena dapat mengurangi produksi jernang
yang akan diperoleh.
b. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk memodifikasi cara perebusan
agar dapat meningkatkan rendemen.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2006. Peta Jambi. http://www.indonesia-tourism.com/jambi/map/. [25


Desember 2010].

Arifin W. 2007. Konservasi Hutan Dataran Rendah Melalui Budidaya Rotan


Jernang. Warta Gita Buana 1:2-4.

[ASTM] American Society for Testing and Material. 1981. Methods of test for
moisture content of wood. Philadelphia: ASTM D2016-74. (ASTM Part 22)

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2010. Resin Jernang. Jakarta: Standar


Nasional Indonesia 1671:2010. hlm 1-7.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2001. Gondorukem. Jakarta: Standar


Nasional Indonesia 01-5009.12:2001. hlm 1-10.

Bursa Transmigrasi. 2010. Potensi Calon Lokasi Transmigrasi Lamban Sigatal,


Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi. Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi.www.bursatransmigrasi.depnakertrans.go.id/.../kawasan_deta
il.php. [25 November 2010].

[BPS] Badan Pusat Statistik. 1995. Jambi Dalam angka. Jambi: Badan Pusat
Statistik.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2001. Sarolangun Dalam Angka. Kabupaten


Sarolangun: Badan Pusat Statistik.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Jambi Dalam Angka. Jambi: Badan Pusat
Statistik.

[DISBUNHUT]. 2009. Laporan Tahunan Dinas Perkebunan dan Kehutanan


Kabupaten Sarolangun. Dinas Perkebunan dan Kehutanan, Jambi.

Gita Buana. 2008. Peta Usulan Kawasan Kelola Jernang. Sarolangun. Jambi:
Lembaga Swadaya Masyarakat. 1 lembar.

Gita Buana. 2009. Laporan Kegiatan PRA Lamban Sigatal. Dokumen Yayasan
Gita Buana. Jambi: Lembaga Swadaya Masyarakat.

Januminro. 2000. Rotan Indonesia: Potensi, Budidaya, Pemanenan, Pengolahan,


Standar Mutu dan Prospek Pengusahaan. Yogyakarta: Kanisius.

Kalima T. 1991. Beberapa Jenis Daemonorops Penghasil Jernang dan


Permasalahannya. Sylva Tropika 6 (1):15-18.
Kholik A, Sugiharto S, Fauzi DI, Suprianto A, Suprayitno D. 2005. Eksplorasi
Biopeptisida dan Getah Jernang. Laporan Tahunan Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan Kalimantan. hlm 1-29.

Purwanto Y, Polosakan R, Susiarti S, Walujo E. 2005. Ekstraktivisme Jernang


(Daemonorops spp) dan Kemungkinan Pengembangannya. Laporan Teknik.
Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi-LIPI. Bogor.

Rachman O, Jasni. 2008. ROTAN: Sumberdaya, Sifat dan Pengolahannya. Bogor:


Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.

Risna RA. 2006. Dragon’s blood (Daemonorops draco) Tumbuhan Obat Yang
Menjanjikan Dari Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Warta Kebun Raya
6(1):45-49.

Siswanto BE, Wahjono D. 1996. Metode Inventarisasi Rotan di Kelompok Hutan


Sungai Limun/Sungai Tembesi, Kesatuan Pemangkuan Hutan Sarko-
Kerinci, Jambi. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 600:15-26.

Sumarna Y. 1995. Kemungkinan Budidaya Rotan di bawah Tegakan Tanaman


Industri. Di dalam: Seminar Hasil Penelitian HTI. Prosiding Ekspose Hasil-
Hasil Litbang Hasil Hutan. Bogor: 23 Maret 1994. Bogor: Pusat penelitian
dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. hlm 121-124.

Sumarna Y. 2004. Budidaya Rotan Penghasil Resin Jernang. Bogor: Badan


Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.

Sumarna Y. 2009. Ekologi dan Teknik Perkecambahan dan Pembibitan Rotan


Jernang Pulut (Daemonorops draco (Willd.) Blume). Jurnal Penelitian
Hasil Hutan 6 (1):31-39

Suwardi SE, Zulnely, Yusnita E. 2003. Peningkatan Efisiensi dan Teknik Isolasi
Jernang. Laporan Hasil Penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan. hlm 1-12.

Waluyo TK. 2008. Teknik Ekstraksi Tradisional dan Analisis Sifat-Sifat Jernang
Asal Jambi (Tradisional Extraction Technique and Analysis Of Properties
Of Jambi Dragon’s Blood). Jurnal Penelitian Hasil Hutan 26(1): 30-40.

Winarni I, Waluyo TK, Hastoeti P. 2005. Sekilas Tentang Jernang Sebagai


Komoditi yang Layak Dikembangkan. Di dalam: Penguatan Industri
Kehutanan Melalui Peningkatan Efisiensi, Mutu dan Diversifikasi Produk
Hasil Hutan. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Litbang Hasil Hutan. Bogor, 14
Desember 2004. Bogor: Pusat penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan.
hlm 173-177.
LAMPIRAN
45

Lampiran 1 Dokumen penelitian

a b c

d e f

g h i
Keterangan:
a : Buah rotan jernang
b : Galah dan alat pengait
c : Keranjang buah dan alat
penumbuk
d : Cara perebusan
e : Air rebusan dan jernang
f : Pengukuran kadar resin
g : Pengukuran kadar kotoran
h : Pengukuran titik leleh
i :Pengukuran kadar abu
j : Serbuk jernang
j k k : Pengujian Warna jernang
46

Lampiran 2 Pengukuran kadar air buah


petri setelah
Perlakuan berat petri berat buah Berat jernang KA buah
dioven
Masyarakat 24,569 5,716 26,785 2,216 157,94
Perebusan 1 jam 24,569 4,501 26,073 1,504 199,27
Perebusan 2 jam 24,892 4,721 26,464 1,572 200,32
Perebusan 3 jam 22,502 4,422 23,952 1,45 204,97

Lampiran 3 Rendemen buah dengan cara masyarakat dan perebusan


Berat BKT
Berat Berat Buah Kadar air Rendemen
Perlakuan Ulangan jernang buah
buah (g) tanpa biji (g) buah (%) BKT (%)
(g) (g)
Masyarakat 1 100 5,0 62,916 7,95
2 110 5,167 157,94 69,208 7,47
3 100 4,0 62,916 6,36
Rata-rata 7,26
1 400,009 251,647 7,860 199,736 3,94
1 jam
199,27
2 400,056 251,116 5,753 199,760 2,88
3 400,013 247,142 5,987 199,738 3,0
Rata-rata 3,27
2 jam 1 400,192 253,015 5,692 198,786 2,86
2 400,011 239,845 6,059 200,32 198,696 3,05
3 400,192 246,099 7,591 198,786 3,82
Rata-rata 3,24
3 jam 1 400,043 241,492 6,098 194,228 3,14
2 400,123 244,901 5,967 204,97 194,267 3,07
3 400,147 236,42 5,998 194,279 3,09
Rata-rata 1,505 3,10

Lampiran 4 Pengukuran kadar abu

Berat jernang b. cawan+ bobot petri


Perlakuan ulangan kadar abu (%)
(g) abu (g) akhir (g)
1 1,009 24,911 24,893 1,78
masyarakat 2 1,000 28,322 28,303 1,90
3 1,050 18,605 18,586 1,81
Rata-rata 1,83
1 1,002 21,311 21,300 1,10
1 jam 2 1,036 27,594 27,582 1,16
3 1,010 18,461 18,450 1,09
Rata-rata 1,12
1 1,001 17,967 17,951 1,60
2 jam 2 1,035 17,910 17,899 1,06
3 1,000 19,445 19,426 1,90
Rata-rata 1,52
1 0,997 20,959 20,946 1,30
3 jam 2 1,095 25,726 25,705 1,92
3 1,025 22,487 22,471 1,56
Rata-rata 1,59
47

Lampiran 5 Pengukuran kadar air


Perlakuan Ulangan Berat Serbuk Jernang stlh Berat jernang KA
petri (g) jernang (g) dioven (g) stlh DIoven Jernang
Masyarakat 1 24,892 1,009 25,871 0,979 3,06
2 28,298 1,000 29,262 0,964 3,73
3 18,610 1,050 19,623 1,013 3,65
Rata-rata 3,48
1 JAM 1 21,317 1,002 22,282 0,965 3,83
2 27,584 1,036 28,582 0,998 3,81
3 18,453 1,010 19,431 0,978 3,27
Rata-rata 3,64
2 JAM 1 18,085 1,001 19,051 0,966 3,62
2 17,947 1,035 18,951 1,004 3,09
3 19,489 1,000 20,457 0,968 3,31
Rata-rata 3,34
3 JAM 1 20,971 0,997 21,931 0,960 3,85
2 25,727 1,095 26,782 1,055 3,79
3 22,502 1,025 23,499 0,997 2,81
Rata-rata 3,48

Lampiran 6 Pengukuran titik leleh dan warna


Perlakuan Ulangan Titik leleh Warna
1 94 merah tua
Masyarakat 2 94 merah tua
3 100 merah tua
Rata-rata 96
1 82 merah tua
1 jam 2 82 merah tua
3 82 merah tua
Rata-rata 82,000
1 84 merah tua
2 jam 2 80 merah tua
3 85 merah tua
Rata-rata 83
1 80 merah tua
3 jam 2 86 merah tua
3 84 merah tua
Rata-rata 83,33
48

Lampiran 7 Pengukuran kadar resin


Ulangan B.labu + Berat B.labu+pemberat Kadar
Pemberat (g) Jernang (g) stlh dioven (g) Resin (%)
1 105,0693 1,0002 105,7086 63,92
2 106,9768 1,0002 107,6151 63,82
3 105,0440 1,0001 105,6657 62,16
Rata-rata 63,30
1 105,0479 1,0001 105,8531 80,51
2 106,9601 1,0000 107,7876 82,75
3 105,0556 1,0001 105,8779 82,22
Rata-rata 81,83
1 106,9696 1,0001 107,7796 80,99
2 105,0526 1,0001 105,8619 80,92
3 106,9668 1,0000 107,7841 81,73
Rata-rata 81,21
1 106,9869 1,0002 107,7931 80,60
2 105,0709 1,0000 105,8797 80,88
3 106,9867 1,0000 107,7991 81,24
Rata-rata 80,91

Lampiran 8 Pengukuran kadar kotoran


Ulangan Kertas saring Jernang yang Kertas saring Kadar )
Oven (g) Dilarutkan (g) dan endapan (g) Kotoran (%
1 0,3070 1,0003 0,6430 33,59
2 0,3140 1,0003 0,6270 31,29
3 0,2350 1,0000 0,5510 31,60
Rata-rata 32,16
1 0,3580 1,0000 0,4670 10,90
2 0,2970 1,0001 0,4150 11,80
3 0,3350 1,0000 0,4550 12,00
Rata-rata 11,57
1 0,2510 1,0000 0,3710 12,00
2 0,3100 1,0001 0,4270 11,70
3 0,3570 1,0001 0,4690 11,20
Rata-rata 11,63
1 0,2350 1,0000 0,3590 12,40
2 0,3100 1,0001 0,4270 11,70
3 0,3570 1,0001 0,4770 12,00
Rata-rata 12,03
49

Lampiran 9 Analisis ragam dan hasil uji Duncan terhadap rendemen


Univariate Analysis of Variance
Between-Subjects Factors
N
PERLAKUAN A 3
B 3
C 3
D 3
ULANGAN 1 4
2 4
3 4
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Rendemen
Type III Sum of
Source df Mean Square F Sig.
Squares
Corrected Model 37,428(a) 5 7,486 21,052 ,001
Intercept 213,616 1 213,616 600,759 ,000
PERLAKUAN 37,038 3 12,346 34,721 ,000
ULANGAN ,390 2 ,195 ,548 ,604
Error 2,133 6 ,356
Total 253,178 12
Corrected Total 39,562 11
a R Squared = ,946 (Adjusted R Squared = ,901)
Post Hoc Tests
PERLAKUAN
Homogeneous Subsets
Rendemen
Duncan
Subset
PERLAKUAN N
1 2
D 3 3,1000
C 3 3,2433
B 3 3,2733
A 3 7,2600
Sig. ,742 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The
error term is Mean Square(Error) = ,356.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
b Alpha = ,05.

ULANGAN
Homogeneous Subsets
Rendemen
Duncan
Subset
ULANGAN N
1
3 4 4,0675
2 4 4,1175
1 4 4,4725
Sig. ,388
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The
error term is Mean Square(Error) = ,356.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000.
b Alpha = ,05.
50

Lampiran 10 Analisis ragam dan hasil uji Duncan terhadap kadar resin
Univariate Analysis of Variance
Between-Subjects Factors
N
Perlakuan A 3
B 3
C 3
D 3
ULANGAN 1 4
2 4
3 4
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Kadar resin
Type III
Source Sum of df Mean Square F Sig.
Squares
Corrected Model 732,271(a) 5 146,454 190,626 ,000
Intercept 70800,386 1 70800,386 92154,338 ,000
PERLAKUAN 731,577 3 243,859 317,409 ,000
ULANGAN ,694 2 ,347 ,452 ,656
Error 4,610 6 ,768
Total 71537,267 12
Corrected Total 736,881 11
a R Squared = ,994 (Adjusted R Squared = ,989)

Post Hoc Tests


PERLAKUAN
Homogeneous Subsets
Kadar resin
Duncan
PERLAKUAN N Subset
1 2
A 3 63,3000
D 3 80,9067
C 3 81,2133
B 3 81,8267
Sig. 1,000 ,260
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The
error term is Mean Square(Error) = ,768.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
b Alpha = ,05.
ULANGAN
Homogeneous Subsets
Kadar resin
Duncan
Subset
ULANGAN N
1
1 4 76,5050
3 4 76,8375
2 4 77,0925
Sig. ,394
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The
error term is Mean Square(Error) = ,768.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000.
b Alpha = ,05
51

Lampiran 11 Analisis ragam dan hasil uji Duncan terhadap kadar air
Univariate Analysis of Variance
Between-Subjects Factors
N
Perlakuan A 3
B 3
C 3
D 3
ULANGAN 1 4
2 4
3 4
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: kadar air
Type III Sum of
Source Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model ,442(a) 5 ,088 ,533 ,747
Intercept 145,771 1 145,771 879,622 ,000
PERLAKUAN ,134 3 ,045 ,270 ,845
ULANGAN ,308 2 ,154 ,928 ,445
Error ,994 6 ,166
Total 147,207 12
Corrected Total 1,436 11
a R Squared = ,308 (Adjusted R Squared = -,269)
Post Hoc Tests
PERLAKUAN
Homogeneous Subsets
Kadar air
Duncan
Subset
PERLAKUAN N
1
C 3 3,3390
A 3 3,4800
D 3 3,4843
B 3 3,6380
Sig. ,421
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The
error term is Mean Square(Error) = ,166.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
b Alpha = ,05.

ULANGAN
Homogeneous Subsets
Kadar air
Duncan
Subset
ULANGAN N
1
3 4 3,2590
1 4 3,5928
2 4 3,6043
Sig. ,290
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The
error term is Mean Square(Error) = ,166.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000.
b Alpha = ,05.
52

Lampiran 12 Analisis ragam dan hasil uji Duncan terhadap kadar kotoran
Univariate Analysis of Variance
Between-Subjects Factors
N
PERLAKUAN A 3
B 3
C 3
D 3
ULANGAN 1 4
2 4
3 4
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Kadar kotoran
Type III Sum of
Source Squares Df Mean Square F Sig.
Corrected Model 939,023(a) 5 187,805 319,814 ,000
Intercept 3406,396 1 3406,396 5800,781 ,000
PERLAKUAN 938,171 3 312,724 532,540 ,000
ULANGAN ,852 2 ,426 ,725 ,522
Error 3,523 6 ,587
Total 4348,942 12
Corrected Total 942,546 11
a R Squared = ,996 (Adjusted R Squared = ,993)
Post Hoc Tests
PERLAKUAN
Homogeneous Subsets
Kadar kotoran
Duncan
Subset
PERLAKUAN N
1 2
B 3 11,5667
C 3 11,6333
D 3 12,0333
A 3 32,1600
Sig. ,497 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The
error term is Mean Square(Error) = ,587.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
b Alpha = ,05.

ULANGAN
Homogeneous Subsets
Kadar kotoran
Duncan
ULANGAN N Subset
1
2 4 16,6225
3 4 16,7000
1 4 17,2225
Sig. ,325
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The
error term is Mean Square(Error) = ,587.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000.
b Alpha = ,05.
53

Lampiran 13 Analisis ragam dan hasil uji Duncan terhadap kadar abu
Univariate Analysis of Variance
Between-Subjects Factors
N
Perlakuan A 3
B 3
C 3
D 3
ULANGAN 1 4
2 4
3 4
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Kadar abu
Type III Sum of Mean
Source Df F Sig.
Squares Square
Corrected Model ,839(a) 5 ,168 1,944 ,221
Intercept 27,540 1 27,540 319,053 ,000
PERLAKUAN ,797 3 ,266 3,076 ,112
ULANGAN ,042 2 ,021 ,245 ,791
Error ,518 6 ,086
Total 28,896 12
Corrected Total 1,357 11
a R Squared = ,618 (Adjusted R Squared = ,300)
Post Hoc Tests
PERLAKUAN
Homogeneous Subsets
Kadar abu
Duncan
PERLAKUAN N Subset
1 2
B 3 1,1150
C 3 1,5203 1,5203
D 3 1,5943 1,5943
A 3 1,8300
Sig. ,102 ,258
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The
error term is Mean Square(Error) = ,086.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
b Alpha = ,05.

ULANGAN
Homogeneous Subsets
Kadar abu
Duncan
Subset
ULANGAN N
1
1 4 1,4450
2 4 1,5098
3 4 1,5900
Sig. ,524
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The
error term is Mean Square(Error) = ,086.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000.
b Alpha = ,05.
54

Lampiran 14 Analisis ragam dan hasil uji Duncan terhadap titik leleh
Univariate Analysis of Variance
Between-Subjects Factors
N
PERLAKUAN A 3
B 3
C 3
D 3
ULANGAN 1 4
2 4
3 4
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Titik leleh
Type III Sum of
Source Df Mean Square F Sig.
Squares
Corrected Model 413,417(a) 5 82,683 12,559 ,004
Intercept 88924,083 1 88924,083 13507,456 ,000
PERLAKUAN 396,250 3 132,083 20,063 ,002
ULANGAN 17,167 2 8,583 1,304 ,339
Error 39,500 6 6,583
Total 89377,000 12
Corrected Total 452,917 11
a R Squared = ,913 (Adjusted R Squared = ,840)
Post Hoc Tests
PERLAKUAN
Homogeneous Subsets
Titik leleh
Duncan
PERLAKUAN N Subset
1 2
B 3 82,0000
C 3 83,0000
D 3 83,3333
A 3 96,0000
Sig. ,560 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The
error term is Mean Square(Error) = 6,583.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
b Alpha = ,05.
ULANGAN
Homogeneous Subsets
Titik leleh
Duncan
ULANGAN N Subset
1
1 4 85,0000
2 4 85,5000
3 4 87,7500
Sig. ,193
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The
error term is Mean Square(Error) = 6,583.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000.
b Alpha = ,05.

Anda mungkin juga menyukai