Kelemahan Metode Studi Kelayakan Aspek Sosial Budaya Ditinjau dari
Pendekatan Struktural Fungsional dan Unsur Kebudayaan 2.31. Kelemahan Metode Studi Kelayakan Aspek Sosial Budaya Ditinjau dari Pendekatan Struktural Fungsional
Pendekatan struktural fungsionalis dalam masyarakat mengacu
pada “suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam kesimbangan. Apabila salah satu elemen hilang atau tidak berfungsi dengan baik maka akan mempengaruhi elemen yang lainnya. Pendekatan structural fungsional menurut Talcott Parsons dikenal dengan empat imperatif fungsional bagi sistem “tindakan“ yaitu skema AGIL. Ada empat imperatif fungsional yang diperlukan atau menjadi ciri seluruh sistem – adaptasi (A/adaptation), (Goal attainment/pencapaian tujuan), (integrasi) dan (Latency) atau pemeliharaan pola.
Kelemahan metode studi kelayakan industri bambu di Kabupaten
Bangli di tinjau dari pendekatan struktural fungsional dapat di lihat dari aspek manajemen. Sebagian besar struktur manajemen usaha industri bambu di Kabupaten Bangli masih bersifat kekeluargaan. Umumnya memiliki tata kelola yang lebih bersifat informal dan lemah dalam bidang perencanaan. Walaupun hal ini dapat di tutupi dengan sifat fleksibel dan kecepatannya dalam bereaksi, namun kurangnya pendekatan manajemen yang sistematis tetap terasa menjadi kendala. Selain itu, struktur manajemen usaha yang bersifat kekeluargaan juga dapat memicu terjadi konflik kepentingan. Misalnya, ketika ada salah satu anggota keluarga merekrut atau mengajak orang lain untuk berpartisipasi membantu usahanya dan ketika terjadi permasalahan maka yang tentunya akan disalahkan yakni orang lain tersebut. Sehingga dapat berdampak pada goals atau tujuan dari suatu usaha tersebut.
Pengembangan usaha dikatakan layak pada aspek sosial, budaya,
apabila pengembangan usaha tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah dan budaya masyarakat. Secara hukum (integrasi) keseluruhan industri bambu yang diteliti dalam penelitian ini, didukung oleh masyrakat dan desa adat dalam menjaga bambu dari eksploitasi brutal serta mendorong legalitas/kebijakan yang mendukung pengelolaan bambu.
2.32. Kelemahan Metode Studi Kelayakan Aspek Sosial Budaya Ditinjau
dari Pendekatan Unsur Kebudayaan
Secara sederhana, yang dimaksud dengan unsur kebudayaan adalah
aspek-aspek yang secara nyata dan universal dapat ditemukan pada kebudayaan di seluruh dunia sebagai bagian-bagian penyusunnya. Kluckhon membagi sistem kebudayaan menjadi tujuh unsur kebudayaan universal atau disebut dengan kultural universal. Menurut Koentjaraningrat, istilah universal menunjukkan bahwa unsur-unsur kebudayaan bersifat universal dan dapat ditemukan di dalam kebudayaan semua bangsa yang tersebar di berbagai penjuru dunia. Ketujuh unsur kebudayaan tersebut adalah bahasa, sistem pengetahuan, sistem organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem ekonomi dan mata pencaharian hidup, sistem religi, serta kesenian (Sumarto, 2019). Sifatnya yang universal ini menjadikan 7 unsur kebudayaan ini sebagai bagian indikator definitif yang membedakan antara apa yang dapat disebut sebagai “budaya” dan apa yang bukan. Dalam sebuah studi kelayakan, unsur-unsur budaya ini hendaknya dijadikan bagian dari pertimbangan dengan tujuan memastikan kegiatan yang dicanangkan nantinya tidak membawa ancaman dan mengakibatkan degradasi pada satu atau lebih dari 7 unsur kebudayaan yang disebutkan di atas. Pada naskah “Studi Kelayakan Pengembangan Industri Bambu di Kabupaten Bangli, Bali” yang di-review, metode analisa studi kelayakan dilakukan dengan menganalisa 5 aspek berdasarkan Marketing Analysis and Development (MA&D) yang dikembangkan oleh Lecup et al. (1999) yang meliputi Aspek Pasar dan Pemasaran, Aspek Teknis dan Teknologi, Aspek Ekologi dan Lingkungan, Aspek Sosial Budaya dan Kelembagaan/Institutional Setting, dan yang terakhir aspek finansial. Pada bagian analisa aspek Sosial Budaya dan Kelembagaan/Institutional Setting, indikator penilaian kelayakan yang digunakan adalah: Kebijakan Hambatan terhadap Akses, Dukungan Peraturan Daerah/Lokal, dan Keinginan untuk Berpartisipasi dari masyarakat maupun lembaga lokal. Secara menyeluruh, indikator kelayakan yang digunakan lebih mentitikberatkan pada pertanyaan “apakah lembaga kekuasaan lokal tempat sumber daya industri ini dapat ditemukan menyetujui eksploitasi yang akan dilakukan?”. Indikator ini sendiri sebenarnya tidak salah karena sudah berkenaan dengan salah satu dari 7 unsur kebudayaan yakni sistem organisasi sosial.
Metode penilaian kelayakan yang digunakan pada naskah ini
menyederhanakan indikaor penilaian aspek sosial budaya dengan asumsi bahwa apabila organisasi sosial setempat menyetujui aktivitas yang akan dilakukan, berarti komunitas lokal tersebut tidak mempermasalahkan dampak kegiatan yang akan dilakukan terhadap budaya mereka. Hal ini merupakan masalah utama dalam metode ini karena masyarakat tidak selalu sepenuhnya mengerti tentang potensi dampak yang akan dibawa, terutama terhadap budaya mereka yang tidak tangible, dan sudah menjadi tujuan studi kelayakan untuk bisa mengidentifikasi hal tersebut. Metode yang digunakan dalam studi pada naskah ini tidak dapat memberikan gambaran yang holistik terhadap bagaimana dampak kegiatan yang akan dilakukan terhadap masing-masing dari 7 unsur kebudayaan, terutama pada aspek bahasa, agama/religi, serta kesenian. Referensi
Sumarto. (2019). Budaya, Pemahaman dan Penerapannya “Aspek Sistem Religi,
Bahasa, Pengetahuan, Sosial, Keseninan dan Teknologi”. Jurnal Literasiologi Volume 1, NO. 2 Juli – Desember 2019.
Lecup I, Nicholson K, Purwandono H, dan Karki S. (1999). Methods for assessing
the feasibility of sustainable non-timber forest product-based enterprises. In incomes from the forest: methods for development and conservation of forest products for local communities. Editor: Wollenberg E& Ingles A. Center for International Forestry Research. Bogor