Anda di halaman 1dari 4

2.3.

Kelemahan Metode Studi Kelayakan Aspek Sosial Budaya Ditinjau dari


Pendekatan Struktural Fungsional dan Unsur Kebudayaan
2.31. Kelemahan Metode Studi Kelayakan Aspek Sosial Budaya Ditinjau
dari Pendekatan Struktural Fungsional

Pendekatan struktural fungsionalis dalam masyarakat mengacu


pada “suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen
yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam kesimbangan. Apabila
salah satu elemen hilang atau tidak berfungsi dengan baik maka akan
mempengaruhi elemen yang lainnya. Pendekatan structural fungsional
menurut Talcott Parsons dikenal dengan empat imperatif fungsional bagi
sistem “tindakan“ yaitu skema AGIL. Ada empat imperatif fungsional
yang diperlukan atau menjadi ciri seluruh sistem – adaptasi
(A/adaptation), (Goal attainment/pencapaian tujuan), (integrasi) dan
(Latency) atau pemeliharaan pola.

Kelemahan metode studi kelayakan industri bambu di Kabupaten


Bangli di tinjau dari pendekatan struktural fungsional dapat di lihat dari
aspek manajemen. Sebagian besar struktur manajemen usaha industri
bambu di Kabupaten Bangli masih bersifat kekeluargaan. Umumnya
memiliki tata kelola yang lebih bersifat informal dan lemah dalam
bidang perencanaan. Walaupun hal ini dapat di tutupi dengan sifat
fleksibel dan kecepatannya dalam bereaksi, namun kurangnya
pendekatan manajemen yang sistematis tetap terasa menjadi kendala.
Selain itu, struktur manajemen usaha yang bersifat kekeluargaan juga
dapat memicu terjadi konflik kepentingan. Misalnya, ketika ada salah
satu anggota keluarga merekrut atau mengajak orang lain untuk
berpartisipasi membantu usahanya dan ketika terjadi permasalahan maka
yang tentunya akan disalahkan yakni orang lain tersebut. Sehingga dapat
berdampak pada goals atau tujuan dari suatu usaha tersebut.

Pengembangan usaha dikatakan layak pada aspek sosial, budaya,


apabila pengembangan usaha tidak bertentangan dengan peraturan
pemerintah dan budaya masyarakat. Secara hukum (integrasi)
keseluruhan industri bambu yang diteliti dalam penelitian ini, didukung
oleh masyrakat dan desa adat dalam menjaga bambu dari eksploitasi
brutal serta mendorong legalitas/kebijakan yang mendukung pengelolaan
bambu.

2.32. Kelemahan Metode Studi Kelayakan Aspek Sosial Budaya Ditinjau


dari Pendekatan Unsur Kebudayaan

Secara sederhana, yang dimaksud dengan unsur kebudayaan adalah


aspek-aspek yang secara nyata dan universal dapat ditemukan pada
kebudayaan di seluruh dunia sebagai bagian-bagian penyusunnya.
Kluckhon membagi sistem kebudayaan menjadi tujuh unsur kebudayaan
universal atau disebut dengan kultural universal. Menurut
Koentjaraningrat, istilah universal menunjukkan bahwa unsur-unsur
kebudayaan bersifat universal dan dapat ditemukan di dalam kebudayaan
semua bangsa yang tersebar di berbagai penjuru dunia. Ketujuh unsur
kebudayaan tersebut adalah bahasa, sistem pengetahuan, sistem
organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem ekonomi
dan mata pencaharian hidup, sistem religi, serta kesenian (Sumarto,
2019). Sifatnya yang universal ini menjadikan 7 unsur kebudayaan ini
sebagai bagian indikator definitif yang membedakan antara apa yang
dapat disebut sebagai “budaya” dan apa yang bukan.
Dalam sebuah studi kelayakan, unsur-unsur budaya ini hendaknya
dijadikan bagian dari pertimbangan dengan tujuan memastikan kegiatan
yang dicanangkan nantinya tidak membawa ancaman dan
mengakibatkan degradasi pada satu atau lebih dari 7 unsur kebudayaan
yang disebutkan di atas. Pada naskah “Studi Kelayakan Pengembangan
Industri Bambu di Kabupaten Bangli, Bali” yang di-review, metode
analisa studi kelayakan dilakukan dengan menganalisa 5 aspek
berdasarkan Marketing Analysis and Development (MA&D) yang
dikembangkan oleh Lecup et al. (1999) yang meliputi Aspek Pasar dan
Pemasaran, Aspek Teknis dan Teknologi, Aspek Ekologi dan
Lingkungan, Aspek Sosial Budaya dan Kelembagaan/Institutional
Setting, dan yang terakhir aspek finansial.
Pada bagian analisa aspek Sosial Budaya dan
Kelembagaan/Institutional Setting, indikator penilaian kelayakan yang
digunakan adalah: Kebijakan Hambatan terhadap Akses, Dukungan
Peraturan Daerah/Lokal, dan Keinginan untuk Berpartisipasi dari
masyarakat maupun lembaga lokal. Secara menyeluruh, indikator
kelayakan yang digunakan lebih mentitikberatkan pada pertanyaan
“apakah lembaga kekuasaan lokal tempat sumber daya industri ini dapat
ditemukan menyetujui eksploitasi yang akan dilakukan?”. Indikator ini
sendiri sebenarnya tidak salah karena sudah berkenaan dengan salah satu
dari 7 unsur kebudayaan yakni sistem organisasi sosial.

Metode penilaian kelayakan yang digunakan pada naskah ini


menyederhanakan indikaor penilaian aspek sosial budaya dengan asumsi
bahwa apabila organisasi sosial setempat menyetujui aktivitas yang akan
dilakukan, berarti komunitas lokal tersebut tidak mempermasalahkan
dampak kegiatan yang akan dilakukan terhadap budaya mereka. Hal ini
merupakan masalah utama dalam metode ini karena masyarakat tidak
selalu sepenuhnya mengerti tentang potensi dampak yang akan dibawa,
terutama terhadap budaya mereka yang tidak tangible, dan sudah
menjadi tujuan studi kelayakan untuk bisa mengidentifikasi hal tersebut.
Metode yang digunakan dalam studi pada naskah ini tidak dapat
memberikan gambaran yang holistik terhadap bagaimana dampak
kegiatan yang akan dilakukan terhadap masing-masing dari 7 unsur
kebudayaan, terutama pada aspek bahasa, agama/religi, serta kesenian.
Referensi

Sumarto. (2019). Budaya, Pemahaman dan Penerapannya “Aspek Sistem Religi,


Bahasa, Pengetahuan, Sosial, Keseninan dan Teknologi”. Jurnal Literasiologi
Volume 1, NO. 2 Juli – Desember 2019.

Lecup I, Nicholson K, Purwandono H, dan Karki S. (1999). Methods for assessing


the feasibility of sustainable non-timber forest product-based enterprises. In
incomes from the forest: methods for development and conservation of forest
products for local communities. Editor: Wollenberg E& Ingles A. Center for
International Forestry Research. Bogor

Anda mungkin juga menyukai