Anda di halaman 1dari 21

Pemberdayaan UMKM:1 Catatan

Ref lektif Hasil Meta Riset

Ida Ruwaida Noor

Program Doktoral Departemen Sosiologi, Universitas Indonesia


Email: idanoor@yahoo.com

Lugina Setyawati

Departemen Sosiologi, Universitas Indonesia


Email: lugina_setyawati@yahoo.com

Abstract

There are several aspects that can be seen in various studies to map
the SMEs, that is the focus, methodology, conceptual basis, and the
factors influencing it. Based on the focus, various studies SMEs been
more centered on aspects of economic rather than socio-cultural. If
any, shades of the economy remains strong. In terms of methodology,
which is predominantly quantitative, although there are attempts
to use qualitative methodology. Conceptually, the idea of the SMEs
mostly placed within the framework of development rather than
empowerment. In various studies it also appears that various factors
affect the performance of SMEs, ranging from access to productive
resources, low product specifications, production capacity is limited,
and so forth.

Kata kunci: dimensi institusional/struktural, dimensi kultural, dimensi


tekstual, meta riset, pembangunan emansipatoris pemberdayaan, UMK M

1
Artikel ini ditulis berdasarkan hasil penelitian atau kajian tentang “Meta Riset atas Pene-
litian Pemberdayaan UMKM” oleh LabSosio, FISIP UI tahun 2007 bekerja sama dengan
Departemen Koperasi dan UKM.
40 | I da R uwaida & L ugina S etyawati

pendahuluan

Sejumlah kajian menunjukkan kontribusi UMK M dalam


membangkitkan kembali aktivitas ekonomi masyarakat saat dan
pasca krisis ekonomi Indonesia pada tahun 1997 (Deputi Bidang
Pengkajian Sumberdaya UKMK 2007; SMERU 2003; Utomo 2005;
Wie 2007). Tampak pertumbuhan unit UMKM yang sangat pesat
pascakrisis ekonomi di Indonesia, dari 5 juta unit usaha sepanjang
periode 2001-2007 (Media Indonesia, 20 Juni 2007). Sektor ini
secara signifikan ikut mengatasi pengangguran dengan menyerap
tenaga kerja sebanyak 85,416 juta orang (BPS 2006).
Namun, berbagai regulasi, kebijakan bahkan program pemerintah
justru belum secara langsung menghasilkan kontribusi berarti
bagi pemberdayaan UMKM. Sektor ini dinilai belum optimal
dalam memajukan perekonomian rakyat. Faktor-faktor yang
menghambat antara lain keterbatasan sumber daya pengelola,
persoalan kelembagaan maupun keterbatasan akses terhadap pasar
komoditas. Faktor lain adalah lemahnya korelasi antara penelitian
dengan pengembangan kebijakan/program pemberdayaan UMKM.
Penyebabnya kemungkinan adalah: (1) kurangnya pemahaman
dan kesadaran para pembuat kebijakan, khususnya tentang peran
penelitian dalam proses policy making (research for policy); (2) kurang
paham mendayagunakan penelitian; (3) penelitian hanya dipandang
sebagai kegiatan akademik yang tidak berhubungan langsung dengan
perumusan kebijakan (research for knowledge); (4) masih terbatasnya
penelitian-penelitian yang baik dan layak untuk dirujuk oleh para
pembuat kebijakan; (5) dana yang dialokasikan terbatas sehingga
cakupan dan kualitas juga terbatas; (6) penelitian hanya diposisikan
sebagai prosedur formalitas bahkan sekedar justifikasi atas intervensi
kebijakan/program yang dikembangkan, atau hanya berorientasi
proyek (project-oriented research). Faktor-faktor lainnya adalah:
1. Tidak terekamnya hasil-hasil penelitian secara baik dan
tersusun rapih dalam suatu peta penelitian yang sistematis,
sehingga dapat ditarik benang merah untuk kepentingan
penyusunan kebijakan yang berhasil guna.
2. Tidak berjalannya diseminasi informasi hasil-hasil penelitian
kepada badan atau piha k yang terkait dengan usa ha
pemberdayaan koperasi dan UMKM di Indonesia.

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 1, Ja nu a ri 2010: 39-58


P emberdayaan U M K M | 41

3. Sulitnya mengakses atau mendapatkan informasi hasil-hasil


penelitian karena belum tersedianya bibliografi lengkap yang
komprehensif yang memuat ringkasan dan tinjauan (mengenai
“lesson learned” dan “good practices”).
4. Kurangnya upaya menyebarluaskan dan memublikasikan hasil
penelitian/kajian mengenai koperasi dan UMKM oleh pusat-
pusat penelitian, baik pemerintah, swasta maupun lembaga
independen lainnya.
5. Hasil-hasil penelitian menyebar di berbagai tempat, sementara
direktori tentang hasil kajian/penelitian itu sangat terbatas.

Kecenderungan ini tidak hanya terjadi di tingkat pusat tetapi juga


di tingkat lokal. Implikasinya, proses pembelajaran hasil penelitian
tersebut sebagai bahan rujukan pengembangan kebijakan maupun
untuk penelitian lebih lanjut masih amat terbatas.
Dengan kondisi tersebut, maka perlu adanya inventarisasi,
pemetaan, kompilasi dan kajian ulang terhadap berbagai hasil
penelitian dan kajian menyangkut pemberdayaan UMKM. Untuk
memenuhi kebutuhan itulah diselenggarakan penelitian dengan
model meta research, yang bertujuan memetakan dan mengkaji ulang
berbagai hasil penelitian yang dilakukan di Indonesia (1997-2006),
khususnya tentang program dan kebijakan pemerintah dalam upaya
pemberdayaan UMKM serta implementasinya. Melalui pemetaan
ini diharapkan dapat (1) mengidentifikasi fokus kajian, aspek-aspek
koperasi dan UMKM yang diteliti termasuk kaitan kajian itu dengan
aspek-aspek sosial budaya; (2) mengkaji secara kritis berbagai temuan
penelitian tentang pemberdayaan koperasi dan UMKM, termasuk
landasan pemikirannya serta rekomendasi dari berbagai pihak.
Pemetaan ini terfokus pada isu pemberdayaan, yang menjadi
konsep sentra l pemerinta h dan piha k-piha k terkait da lam
meningkatkan kapasitas dan kapabilitas UMKM, sehingga peran
strategis dan kontribusinya bisa dioptimalkan. Batasan dan kriteria
konsep pemberdayaan menjadi dasar pendekatan pemerintah dalam
menyusun kebijakan dan program pemberdayaan, serta bagaimana
kontribusinya terhadap efektivitas kebijakan/program. Pembahasan
berbagai konsep pemberdayaan UMKM yang relevan menjadi
basis alat analisis meta riset ini, terutama dalam melakukan sintesis
terhadap peta hasil penelitian pemberdayaan UMKM.

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 1, Ja nu a ri 2010: 39-58


42 | I da R uwaida & L ugina S etyawati

Manfaat meta riset ini, selain menyajikan data penelitian UMKM


dengan lebih sistematis, juga mengambil pelajaran dan praktek
yang baik tentang pemberdayaan UMKM. Hasil pemetaan ini juga
diharapkan menjadi masukan dalam menyusun arah kebijakan
penelitian yang tepat sasaran dan berdaya guna pada masa datang,
serta memberikan kontribusi secara signifikan pada pemberdayaan
UMKM.
Meta riset ini menggunakan pendekatan kualitatif. Sumber data
mencakup berbagai lembaga penelitian, baik pemerintah, swasta,
badan independen seperti universitas, pemda, dan LSM di provinsi
D.I. Yogyakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur. Ketiga provinsi ini
dipilih karena pertimbangan waktu penelitian (yang hanya 6 bulan)
dan punya reputasi baik dalam ketersediaan dan kredibilitas sumber
data. Di ketiga propinsi tersebut, tim peneliti memfokuskan diri
pada empat wilayah: Malang, Bogor, Bandung dan D.I. Yogyakarta.
Pengumpulan data dilaksanakan pada Agustus-Oktober 2007.
Data dikumpulkan secara sengaja, yang bertema dan bertopik
pemberdayaan UMKM. Jumlah sumber data pada dasarnya tidak
dibatasi, namun jumlah data yang terkumpul dibatasi oleh jangka
waktu penelitian. Tidak ada pembatasan jenis data, yang mencakup
laporan penelitian, buku hasil penelitian, jurnal, dan karya ilmiah di
perguruan tinggi, baik karya individual maupun lembaga.
Dari hasil pengumpulan data terjaring 105 hasil penelitian/
kajian. Tidak seluruh laporan terolah. Yang layak diolah 82 hasil
kajian (57 tesis/disertasi dan 25 laporan). Berdasarkan lokasi, Jakarta
menyumbang 31,4% dan Malang 39,2% data.2 Hasil pengumpulan
data dipengaruhi tidak saja oleh banyaknya sumber data, tetapi
juga sejauh mana lembaga penyedia data bersikap kondusif ketika
diakses publik. Beberapa lembaga di Bandung dan Yogyakarta relatif
lebih sulit diakses data dan informasinya. Hal ini memperkuat
anggapan umum tentang rendahnya aksesibilitas data, sehingga upaya
memetakan kajian UMKM secara komprehensif menjadi kurang
optimal. Untuk lokasi, sebagian besar di kabupaten tetapi umumnya
cakupannya nasional atau lintas provinsi, sehingga relatif cukup bisa
menggambarkan keragaman area penelitian.

2 Bogor hanya 13,7% ; Yogyakarta 15, 7%

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 1, Ja nu a ri 2010: 39-58


P emberdayaan U M K M | 43

PE M BE R DAYA A N U M K M :
KONSE P DA N I N DI K ATOR K E BI J A K A N

Batasan dan definisi UMKM ternyata sangat beragam, baik yang


dikembangkan oleh instansi pemerintah, non-pemerintah, lembaga
penelitian/akademis, maupun lembaga/badan donor. Namun, terdapat
beberapa unsur yang dapat dijadikan benang merah dalam mengkaji
UMKM, yaitu: besar modal kurang dari Rp 200 juta, status usaha
perorangan, keluarga atau kolektif. Persoalan cukup pelik dari
berbagai batasan dan definisi UMKM itu adalah rentang kriteria
yang sangat besar, misalnya berkaitan dengan patokan modal dan
aset tahunan (antara ratusan juta sampai dengan miliar rupiah). Hal
itu membuka peluang keragaman yang tinggi sehingga berimplikasi
pada pola regulasi yang kompleks.
Undang-Undang No. 9/1995 belum secara jelas mengatur batasan
dan kiteria usaha mikro. Konsekuensinya, belum ada rujukan tentang
batasan dan kriteria sektor usaha mikro yang dapat menjadi basis
pendekatan oleh berbagai lembaga. Dengan demikian posisi sektor
usaha mikro masih marjinal dalam peraturan pemerintah.3 Hal ini
menjadi persoalan tersendiri karena tidak ada kerangka legal dan
politis yang menjadi landasan penting bagi upaya pemberdayaan
UMKM, terutama sektor usaha mikro.
Tidak berbeda dengan konsep UMKM, pemberdayaan sebagai
konsep yang sangat populer dalam mengkaji berbagai aspek
pembangunan (ekonomi, sosial dan politik), dalam penerapannya
juga digunakan dan diterjemahkan secara berbeda-beda. Sesuai
dengan konteks lahir, konsep pemberdayaan adalah memberikan
power atau kekuatan, kekuasaan dan kemampuan (Moelyarto &
Pranarka 1996:56) kepada kelompok yang powerless, yaitu yang
jauh dari kekuasaan, termasuk kelompok marginal (masyarakat
miskin dan perempuan). Secara empirik dan historis, pandangan
mengenai pemberdayaan dapat dibagi ke dalam tiga pandangan
(Hutomo 2000:2): upaya penghancuran kekuasaan (power to nobody);
pembagian kekuasaan kepada setiap orang (power to everybody);
penguatan kepada yang lemah tanpa menghancurkan yang kuat

3 Ketika meta riset ini dilakukan, sedang disusun rancangan Undang-Undang yang men-
gatur usaha berskala mikro, tetapi perkembangan dari Rancangan Undang-Undang (RUU)
tersebut berjalan lambat sehingga program dan kebijakan yang dilakukan bagi sektor ini
belum berpayung hukum formal yang kuat.

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 1, Ja nu a ri 2010: 39-58


44 | I da R uwaida & L ugina S etyawati

(power to powerless). Dari ketiga pandangan tersebut, pengertian yang


paling populer adalah power to powerless.
Keragaman tersebut oleh Moelyarto dan Pranarka diklasifikasikan
ke dalam dua kecenderungan: (1) proses memberikan atau
mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan
kepada masyarakat agar lebih berdaya (1996:56-57). Dalam konsep
ini pemberdayaan bermakna sebagai pemberian atau pembagian
kekuasaan (power); (2) proses membangun kesadaran kritis
masyarakat agar mampu memahami dan bertindak kritis terhadap
hubungan-hubungan sosial, ekonomi dan politik yang ada dalam
lingkungannya. Kemampuan ini penting untuk menetapkan
kebutuhan individu dalam masyarakat (1996:57). Pemberdayaan di
sini sebagai proses membangun kesadaran kritis.
Unsur-unsur lain yang populer sebagai indikator pemberdayaan
adalah partisipasi, akses dan kontrol (Kabeer 1999). Ketiga aspek
tersebut digunakan untuk mengkaji program dan kebijakan, baik
dari pendekatan maupun strategi implementasinya. Dengan indikator
partisipasi, dapat diidentifikasi siapa sajakah yang berpartisipasi
dalam program/kebijakan tersebut. Sedangkan akses menjadi
indikator untuk melihat ketersediaan dan keterbukaan program
bagi anggota masyarakat untuk berpartisipasi dan memanfaatkan
program tersebut. Beberapa hal yang menentukan keterbukaan akses
antara lain jarak, sikap penyedia/pelaksana program, keterampilan
dan pendidikan. Kontrol merupakan dimensi yang mengidentifikasi
bagaimanaanggota masyarakat/aktor dapat terlibat dalam proses
perancangan, pelaksanaan, pemantauan bahkan evaluasi kebijakan/
program.

H A SI L PE M E TA A N DA N T I N J AUA N

Fok u s k a ji a n

Sebagian besar studi pemberdayaan dilakukan di atas tahun


2001, yang sejalan dengan pembatasan penelitan meta riset ini,
juga terkait dengan mulai populernya konsepsi pemberdayaan.4
Berdasarkan perumusan tujuan penelitian dapat disimpulkan bahwa
terdapat banyak kesamaan studi yang memfokuskan pada kinerja

4 Konsep pemberdayaan mulai diadopsi setelah tahun 2000-an.

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 1, Ja nu a ri 2010: 39-58


P emberdayaan U M K M | 45

kelembagaan/organisasi, termasuk manajemen usaha. Ini sangat


relevan dengan kebijakan Kementerian Koperasi dan UMKM yang
memberi makna pemberdayaan pada pembinaan atau pendayagunaan
institusi. Inti kebijakan pemberdayaan UMKM, menurut Chotim dan
kawan-kawan adalah: “upaya-upaya untuk meningkatkan kemampuan
kelompok sasaran dalam mengakses bentuk-bentuk pelayanan bagi
pengembangan pengusaha kecil” (1998:15). Maksud dari peningkatan
kemampuan adalah memberikan kekuatan ekonomi kepada para
pelaku usaha di sektor UMKM. Nuansa ekonomi dalam kebijakan
pemerintah ini terasa kuat.5 Hasil pemetaan juga memperlihatkan
dominasi pendekatan ekonomi dalam berbagai analisis pemberdayaan
UMKM, seperti kinerja dan keberhasilan lembaga usaha mikro,
kecil atau koperasi dilihat dari peningkatan laba usaha dan modal
keuangannya. Kemampuan membangun jaringan pun dilihat
semata-mata sebagai peningkatan keuntungan ekonomis ketimbang
keuntungan sosial.
Idealnya, kebijakan/program ekonomi juga harus memberikan
keuntungan secara sosial dan budaya. Pembangunan ekonomi bukan
hanya bertujuan meningkatkan pendapatan dan keterampilan semata,
tetapi juga kesejahteraan secara sosial. Pada dasarnya pemerintah
juga memberdayakan sektor UMKM dalam bentuk dukungan
selain finansial (kredit, pembiayaan, dll.), seperti pengembangan
sumber daya manusia, jaringan atau kemitraan, dan lain-lain.
Namun, tampaknya pendekatan pemerintah lebih memposisikan
UMKM, termasuk koperasi, sebagai unit usaha dalam konteks
pembangunan ekonomi yang tidak berbeda dengan sektor swasta.
Aspek nonfinansial kurang dieksplorasi dan dikembangkan. Kajian
yang ada lebih memfokuskan studinya pada lembaga UMKM bukan
individu atau aktor yang terlibat dalam kegiatan lembaga tersebut,
atau kelompok masyarakat di sekitar lembaga. Kalaupun ada, hanya
sedikit yang memfokuskan pada isu pemberdayaan di level individual
dan itu pun tetap dikaitkan dengan penguatan kelembagaan.

5 Merujuk pada buku Pedoman Pembinaan dan Pengembangan Koperasi dan Pengusaha
Kecil dalam Pelita VI, pelaksanaan pembinaan sektor usaha ini setidaknya mencakup enam
aspek pokok, yaitu: pasar, modal, teknologi, kemitraan, SDM dan organisasi. Adapun me-
kanisme evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan pembinaan tersebut dilakukan dengan
mengkaji efektivitas kegiatan pembinaan yang menggunakan indikator yang berkaitan
langsung dengan keenam aspek tersebut.

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 1, Ja nu a ri 2010: 39-58


46 | I da R uwaida & L ugina S etyawati

Kecenderungan tersebut dapat dimengerti karena keberhasilan


yang dicapai tiap-tiap anggota suatu lembaga tidak terlepas dari
peran dan keberhasilan yang dicapai oleh lembaga tersebut.6 Artinya,
pemberdayaan kelembagaan UMKM diasumsikan secara langsung
berdampak pada pemberdayaan individual. Konsekuensinya, kajian
pemberdayaan di level individu/anggota dan atau kelompok/
komunitas yang juga dimensi dari kinerja UMKM cenderung
terabaikan. Meski kelompok-kelompok dalam masyarakat sebagai
pelaku usaha juga menjadi unit analisis penelitian, namun analisis
dan rekomendasinya lebih diarahkan pada kelembagaan bukan
penguatan atau pengorganisasian sosial. Pada sejumlah studi, ada
ketidakjelasan unit analisis utamanya sehingga menyulitkan fokus
analisis.
Peta hasil meta riset menunjukkan kecenderungan yang relatif
homogen, yaitu fokus pada aspek ekonomi. Hal ini berkaitan dengan
asumsi yang menganggap UMKM entitas ekonomi. Anggapan ini
tidak bisa dilepaskan dari latar belakang peneliti atau lembaga
penelitian, yang sebagian besar berasal dari disiplin ekonomi atau
disiplin yang berkaitan dengan ekonomi. Kalaupun penelitian
dilakukan oleh lembaga, penyelenggara kajian adalah lembaga-
lembaga yang memang fokus kegiatannya di bidang ekonomi, seperti
LPEM-FEUI.

Me t od ol og i K a ji a n

Hasil pemetaan menunjukkan kajian pemberdayaan UMKM


dilakukan dengan pendekatan kuantitatif, kualitatif atau kombinasi
keduanya. Tipe penelitian sebagian besar kajian bersifat deskriptif,
baik kuantitatif (survei dengan kuesioner) maupun kualitatif
(umumnya studi kasus dan wawancara mendalam). Tetapi nuansa
kuantitatifnya terasa lebih kuat, sedangkan pendekatan kualitatif
hanya sebagai data pendukung. Ada juga kekaburan secara
metodologis, bahkan inkonsistensi antara pilihan pendekatan

6 Asumsi seperti ini diperkuat oleh beberapa hasil penelitian yang masuk dalam peta hasil
penelitian pemberdayaan UMKM; salah satunya adalah penelitian dengan judul “Pengua-
tan Kelembagaan Koperasi Rukun Tetangga untuk Meningkatkan Pemberdayaan Anggota
(Studi Kasus Desa Kudi, Kecamatan Batuworno, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah)” oleh
Rahmat Imam Santoso, tesis/disertasi Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, tahun 2006.

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 1, Ja nu a ri 2010: 39-58


P emberdayaan U M K M | 47

kuantitatif/kualitatif dengan tipe penelitian.7 Ini bisa terjadi karena


tidak jelas asumsi dasarnya (ontologis) yang tercermin dari tidak
jelasnya tujuan penelitian sehingga menjadi pertanyaan pula
implikasi metodologisnya. Pada tataran data ada kekaburan karena
sebagian penelitian tidak menjelaskan teknik yang menjadi prioritas
dan mana yang pendukung. Namun, dalam penjabaran hasil
penelitian, seringkali data kualitatif dan kuantitatif tidak muncul
secara seimbang. Beberapa penelitian tujuannya sangat luas tetapi
tidak didukung oleh besar dan kualitas data yang representatif.
Atau, penelitian terlalu menggunakan beragam teknik/metode
pengumpulan data tetapi tidak secara proporsional menampilkan
dan mengaitkan temuan dengan tujuan penelitian.

L a n d a sa n K on se pt u a l

Hasil pemetaan tentang landasan konseptual pemberdayaan


UMKM menunjukkan adanya penelitian yang memfokuskan studinya
pada pembinaan UMKM. Misalnya penelitian atas dokumen buku
Repelita VI tentang kebijakan dan regulasi pemerintah di bidang
koperasi dan usaha kecil, yang menggunakan konsep “pembinaan”.
Penggunaan terminologi ini bisa dipahami mengingat penelitian itu
dilakukan tahun 1997, pada era Orde Baru.8 Konsep “pemberdayaan”

7 Contoh: “Pola Restrukturisasi Usaha Pertanian dan Usaha Kecil Pedesaan serta Imple-
mentasinya terhadap Reposisi Kelembagaan Koperasi” (2004). Penelitian ini menggunakan
metode kuantitatif tetapi bersifat survei partisipatoris (yang sebetulnya lebih bernuansa
kualitatif ). Demikian pula, studi “Pola Pembinaan dan Strategi Pemberdayaan Kelompok
Tani dan Koperasi Sebagai Gerakan Ekonomi Kerakyatan yang Profesional” (2002) yang
menyebut pendekatannya kuantitatif tapi jenis penelitiannya bersifat partisipatoris action
research, padahal tipe ini lebih dominan masuk ke pendekatan kualitatif. Juga penelitian
“Penguatan Kelembagaan Koperasi dalam Masyarakat Pasca Konflik (Studi Kasus Peri-
kanan Sihida Ngano Desa Tuada Provinsi Maluku Utara” (disertasi IPB, 2006). Penelitian
ini menggunakan studi kasus dengan mewawancarai 27 responden. Penggunaan studi ka-
sus dan istilah responden (juga jumlahnya) mengaburkan pemahaman pendekatan yang
digunakan.
8 Salah satu contoh, kajian Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Koperasi
dan Pembinaan Pengusaha Kecil bekerjasama dengan PSEP, PEP LIPI tentang “Kebijaksa-
naan Pembangunan Koperasi dan Pengusaha Kecil dalam Rangka Penyusunan REPELITA
VII.“ Studi ini memfokuskan perhatiannya pada upaya (1) mengkaji ulang sasaran, tan-
tangan, kendala serta peluang pembinaan usaha kecil yang telah dirumuskan dalam buku
REPELITA VI, dan (2) merumuskan arah dan tujuan, sasaran, tantangan, kendala dan
peluang pembinaan koperasi dan usaha kecil dalam REPELITA VII. Penggunaan konsep
pembinaan secara langsung atau tidak langsung mencerminkan masih dominannya peran

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 1, Ja nu a ri 2010: 39-58


48 | I da R uwaida & L ugina S etyawati

mulai populer belakangan ini, seiring dengan terjadinya pergeseran


pendekatan pembangunan dari top down approach ke bottom up
approach. Ada demokratisasi dalam proses pembangunan, karena
pemerintah hanya sebagai regulator dan fasilitator. Sementara
rakyat ikut aktif berpartisipasi, dengan jargon yang populer seperti
“dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Prijono dan Pranarka
mengatakan jika pembangunan menempatkan masyarakat sebagai
pelaku aktif pembangunan, itu merefleksikan proses pembangunan
yang sudah mengarah “emansipatif ”, setidaknya “partisipatoris”.
Konsepsi pemberdayaan berakar pada gagasan pembangunan
yang tidak hanya partisipatoris tetapi emansipatif. Secara umum
pembangunan di Indonesia sudah mencapai ke arah partisipatoris,
kecuali beberapa wilayah yang sudah memasuki tahap lebih baik
(1996:2).
Konsep pemberdayaan yang dikaji dalam meta riset ini,
sebagian besar tampaknya sudah mencerminkan tahap partisipatoris
masyarakat-pemerintah, misalnya pemberdayaan industri kecil
dalam studi industri mebel di Kabupaten Bojonegoro. Meski pada
tujuan studi tidak menjabarkan tahap ini secara eksplisit, tapi secara
implisit muncul dalam pertanyaan penelitian yang mendeskripsikan
dan menganalisis kapasitas pengusaha industri kecil dalam
mengoptimalkan potensi diri, serta keterlibatan pemerintah dan
peran industri besar (Dirjen Dikti Malang 2004).
Sementara yang sudah masuk ke dalam tahap emansipatoris
tercermin secara eksplisit dalam kajian Akatiga, Bandung, bekerja
sama dengan Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil, tentang
“Pemberdayaan Perempuan Usaha Kecil: Jalan Panjang Menuju
Keberdayaan (Studi Kasus di Batu Gadang, Padang).” Fokus studi
ini program pendampingan pemberian kredit mikro oleh organisasi
pendamping lokal/nonpemerintah (LP2SD di Lombok Timur dan
LP2M di Padang). Unit analisisnya perempuan yang mengelola
usaha kecil dan mikro (PUK-mikro) dan organisasi pendampinganya,
termasuk programnya. Yang dianalisa apakah program pendampingan
memberikan kontribusi tidak hanya pada penguatan ekonomi di
kalangan PUK-mikro tetapi juga penguatan posisi perempuan secara
sosial politik, setidaknya dalam relasi gendernya di rumah tangga
serta perannya di masyarakat.

pemerintah.

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 1, Ja nu a ri 2010: 39-58


P emberdayaan U M K M | 49

Kalau yang populer adalah power to powerless, hal ini tercermin


dari hasil pemetaan; pemberdayaan bermakna sebagai “penguatan”,
misalnya dalam kajian “Pola Pembinaan dan Strategi Pemberdayaan
Kelompok Tani dan Koperasi sebagai Gerakan Ekonomi Rakyat yang
Profesional”. Kajian ini mengidentifikasi pemberdayaan kelompok
tani dan koperasi. Hasil temuannya menjadi landasan rancangan
model pemberdayaan kelompok tani dan koperasi. Studi lainnya
adalah “Pemanfaatan Bantuan Perkuatan oleh Usaha Mikro, Kecil
dan Menengah (UMKM)” dan “Pengkajian Strategis Tahap Lanjut
Sentra Bisnis UKM Pasca Dukungan Program Perkuatan” yang
dilakukan Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK. Studi ini
selain bertujuan mengidentifikasi dan menganalisis perkembangan
sentra bisnis yang mendapat dukungan finansial dan nonfinansial,
juga bermaksud menganalisis kesiapan dan kemandirian sentra-
sentra bisnis pascadukungan penguatan. Hasilnya bisa untuk
menginventarisasi bentuk-bentuk fasilitas yang diperlukan oleh sentra
bisnis pascadukungan penguatan.
Apakah program penguatan berhasil menguatkan daya UMKM?
Dari satu kajian program penguatan UMKM yang melibatkan
banyak pihak baik sektoral maupun institusional, hal itu lebih pada
aspek modal dan hasil monitoring pun hanya berupa informasi jumlah
penyaluran dan jumlah koperasi yang memperoleh bantuan pinjaman.
Sedangkan pemanfaatan dan dampaknya belum terukur. Ini kembali
menjadi indikasi bahwa landasan konseptual tentang pemberdayaan,
berikut konsepsi dan indikatornya, memiliki arti ekonomi. Asumsi
yang dibangun adalah penguatan usaha dianggap berkorelasi
positif dengan penguatan manajemen usaha. Sebagai contoh, kajian
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jakarta pada tahun
1999 tentang “Pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah Melalui
Modal Ventura di D.I. Yogyakarta dan Jawa Barat” menunjukkan
pemberdayaan bisa dilakukan melalui penguatan modal usaha.
Kalaupun bukan penguatan modal finansial, pemberdayaan juga
bisa diukur melalui lima aspek: tenaga kerja, proses produksi, faktor
produksi, modal, dan pemasaran. Kelima indikator tersebut jelas
merujuk pada bidang-bidang yang menjadi sasaran pemerintah dalam
melakukan pemberdayaan sektor UMKM.
Pengkonsepsian pemberdayaan dari dimensi ekonomi juga
dikaitkan dengan kondisi maupun iklim usaha. Studi LIPI, meski
tidak menjelaskan pemberdayaan secara konseptual, mengindikasikan

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 1, Ja nu a ri 2010: 39-58


50 | I da R uwaida & L ugina S etyawati

pemberdayaan UKM terkait faktor internal (kondisi usaha, termasuk


SDM) dan eksternal (kebijakan pemerintah). Keterbatasan kondisi
UKM dapat diukur dari tren jumlah UKM yang tidak lolos seleksi
kelayakan usaha untuk mendapat pinjaman dari modal ventura.
Studi lainnya menunjukkan pemberdayaan merupakan upaya melepas
belenggu kemiskinan dan memperkuat posisi masyarakat dalam
struktur kekuasaan. Pemberdayaan adalah upaya menciptakan iklim
usaha yang kondusif, memperkuat potensi yang dimiliki, termasuk
untuk memanfaatkan peluang yang ada. Jadi, pemberdayaan
ekonomi masyarakat tidak semata-mata fokus pada faktor SDM dan
iklim usaha. Melalui pemberdayaan diharapkan skala usaha juga
berkembang.
Studi “Potensi Pengembangan Koperasi di Sulawesi” menunjukkan
dimensi sosial penguatan koperasi dan UKM.9 Maksud studi ini
adalah aspek sosial ekonomi, yakni kekuatan asas kekeluargaan dan
gotong royong , meski “citra buruk” koperasi dan UKM sedemikian
lekat, masih menjadi nilai yang diyakini bisa memperbaiki nasib.
Dengan nilai-nilai sosial inilah eksistensi koperasi dan UMKM
sebagai lembaga ekonomi masih potensial untuk direvitalisasi,
apalagi UMK M mendominasi aktivitas ekonomi di wilayah
Sulawesi. Peran UMKM dalam pembangunan ekonomi selama krisis
moneter sudah teruji. Kajian lain menunjukkan bahwa pengentasan
kemiskinan di bidang ekonomi telah menstimulus pembentukan
asosiasi dan pengelompokan usaha kecil (cluster), yang berdampak
pada berkembangnya solidaritas di kalangan pelaku usaha. Hal ini
setidaknya menunjukkan dimensi sosial (upaya pemerataan akses
dan distribusi sumber daya ekonomi) dari pemberdayaan ekonomi
UMKM.
Berbagai kajian pemberdayaan dan aspeknya mempertegas
adanya keragaman pandangan dan batasan konsep pemberdayaan
dalam berbagai kajian, yang oleh Moelyarto dan Pranarka (1996)
diklasifikasikan ke dalam dua kecenderungan: proses pemberian atau
pembagian kekuasaan dan proses membangun kesadaran kritis.
Dari pengertian di atas, jelas bahwa pemberdayaan bukan
merupakan konsep pembangunan masyarakat di bidang ekonomi
saja tetapi juga politik. Pemahaman ini tercermin dalam studi

9 Lihat studi potensi Pengembangan Koperasi di Sulawesi, dilakukan oleh PSP-IPB, pada
tahun 2004.

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 1, Ja nu a ri 2010: 39-58


P emberdayaan U M K M | 51

“Pemberdayaan Industri Kecil (Studi Kasus Industri Mebel di


Kabupaten Bojonegoro)”.10 Filosofi pemberdayaan dalam studi ini
bercirikan people centered, participatory, empowering dan sustainable.
Temuan studi menunjukkan keterlibatan industri besar dalam upaya
pemberdayaan baru sebatas pemberian dukungan permodalan.
Sedangkan pemberdayaan oleh pemerintah dilakukan melalui
berbagai program di bidang permodalan, teknologi, produksi dan
pemasaran. Gerakan kemitraan yang dicanangkan pemerintah pada
dasarnya juga ditujukan untuk mendukung upaya pemberdayaan.
Pemberdayaan juga tidak bisa dilepaskan dari konsep pembangunan
kapasitas. Dalam studi Rasid (“Penguatan Kelembagaan Koperasi
dalam Masyarakat Pasca Konflik [Studi Kasus Perikanan Ngano
Desa Tuada Maluku Utara])”, dimensi pemberdayaan lebih
difokuskan pada aspek kelembagaan. Ini mencakup, antara lain
kemampuan mengolah kegiatan usaha, pengerahan segala sumber
dana, kemampuan mempengaruhi kebijakan pemerintah sehubungan
dengan usaha koperasi, dan kemampuan mengelola karyawan secara
mandiri. Konsepsi pemberdayaan dalam studi ini mempertegas
anggapan bahwa kapasitas kelembagaan perlu ditingkatkan, juga
kapasitas SDM. Empowerment pada dasarnya merupakan (1) “to
give ability or enable to” atau “to give power or authority to” dan (2)
modal sosial. Konsepsi ini digunakan dalam studi tentang penguatan
kelembagaan koperasi rukun tetangga untuk meningkatkan
pemberdayaan anggota (Studi Kasus Desa Kudi, Wonogiri).
Studi Akatiga tentang pemberdayaan perempuan yang mengelola
usaha kecil (PUK-mikro) menunjukkan adanya tiga dimensi dalam
pemberdayaan: ekonomi, sosial dan politik. Hal ini tercermin dari
temuan penelitiannya bahwa strategi pendampingan berjenjang
menyebabkan adanya perbedaan pengaruh pendampingan tidak
hanya dari lapis elite (pertama) hingga lapis basis (keempat), tetapi
juga di antara PUK-mikro yang berada pada satu lapisan. Pengaruh
pendampingan pada lapis pertama dan kedua menyangkut ekonomi,
relasi gender dan politik. Sedangkan pada lapis ketiga dan keempat
hanya terkait dengan ekonomi. Penguatan aspek ekonomi rumah
tangga maupun kedudukan di masyarakat tampak berkorelasi dengan

10 Lihat studi individual dari Program Studi Ilmu Ekonomi dan Pembangunan jurusan
Ilmu Sosial, Universitas Gadjah Mada

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 1, Ja nu a ri 2010: 39-58


52 | I da R uwaida & L ugina S etyawati

perbaikan kualitas relasi gender dalam rumah tangga (posisi sosial


perempuan dalam rumahtangga).
Berbagai studi menunjukkan perlunya diperjelas apakah
fokus kajian pemberdayaan diarahkan pada proses atau kondisi
pemberdayaan. Kajian pemberdayaan sebagai sebuah proses berindikasi
melalui tahapan kegiatan yang dilakukan, berikut indikator
monitoring tahap-tahapnya. Tidak banyak studi yang menunjukkan
hal ini apalagi memperjelas level pemberdayaannya: individual,
interpersonal (relasi sosial), kelompok, institusi/organisasional, atau
negara/struktural (kebijakan, iklim yang kondusif). Sebagian besar
studi lebih menunjukkan kondisi pemberdayaan UMKM maupun
koperasi pada level individu, kelompok maupun kelembagaannya.
Kajian pemberdayaan lebih berimplikasi metodologis kualitatif,
sedangkan kondisi pemberdayaan bisa mengarah pada pengukuran
(kuantitatif) dengan menunjukkan tingkatannya.

PE M BE R DAYA A N DA N FA K TOR-FA K TOR N YA

Menurut Mubyarto pemberdayaan masyarakat (desa) memiliki


beberapa kendala, yaitu umum dan khusus. Berkaitan dengan
UMKM, secara umum, dapat dilihat dari produksi, pembiayaan,
SDM, pemasaran, kemitraan, manajemen usaha dan peran
pemerintah. Lemahnya kinerja UKM terkait dengan faktor-faktor
(1) akses terhadap sumber daya produktif yang masih lemah; (2)
spesifikasi produk masih kurang karena tingkat inovatif dan kreativitas
rendah; (3) kapasitas produksi terbatas karena kesulitan dalam modal,
ketersediaan alat produksi berikut penguasaan teknologi, tenaga kerja
yang kurang terampil, dan kesulitan bahan baku; (4) kelengkapan
dokumen karena kesulitan memenuhi persyaratan, biaya, birokrasi
dan waktu yang lama; serta (5) biaya kegiatan ekspor tinggi karena
banyaknya pungutan yang tidak resmi.
Kondisi ketidakberdayaan masih terbuka untuk dikembangkan
menjadi lebih berdaya. Merujuk kajian tentang usaha perajin,
pemberdayaan masyarakat (kasus Desa Muntuk) dapat dimulai
dari elite desa termasuk kelompok pengrajin, dan atau pedagang.
Pemasaran merupakan variabel pokok yang dapat dikembangkan
oleh pengrajin, sedangkan modal sebagai pendukungnya. Dugaannya
adalah untuk kelompok pengrajin dengan tingkat umur produktif
yang lebih muda (25-45 tahun), mereka memiliki keberanian
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 1, Ja nu a ri 2010: 39-58
P emberdayaan U M K M | 53

menempuh risiko pemasaran yang lebih tinggi dibandingkan yang


lebih tua. Potensi lainnya adalah melalui pola kemitraan/program
bapak angkat dalam industri kecil. Namun, seperti terefleksi dari
kasus Jawa Timur, pola/program ini peranannya relatif kecil.
Keterbatasan lainnya adalah belum muncul dan berkembangnya
asosiasi/jaringan antarpelaku usaha sebagai wadah memberdayakan
diri sendiri, sementara peran pemerintah dan industri besar
masih rendah. Proses pemberdayaan masih cenderung bersifat
otonom, pengusaha kecil sendiri yang dominan berperan dalam
memberdayakan dirinya. Secara sosial budaya, pemberdayaan
juga mencakup penyerapan tenaga kerja, termasuk bagi kalangan
berpendidikan rendah dan putus sekolah karena mereka bisa dididik
dan dibina kemampuan dan keterampilannya.

analisis R E KOM E N DA SI H A SI L PE N E L I T I A N

Meta riset menganalisis rekomendasi penelitian-penelitian/


studi pemberdayaan UMKM berdasarkan dua pokok bahasan:
rekomendasi yang menyangkut agenda dan kebijakan penelitian
yang akan datang, dan yang berkaitan dengan usulan program dan
kebijakan pemberdayaan yang perlu dikembangkan. Rekomendasi
kebijakan dan agenda penelitian memberi masukan mengenai aspek/
isu pemberdayaan UMKM yang masih perlu dikaji dan mendapat
perhatian untuk diteliti. Sedangkan rekomendasi kebijakan dan
program merupakan masukan bagi para pihak terkait tentang
program dan kebijakan yang masih perlu dikembangkan dalam
upaya pemberdayaan UMKM.
Berkaitan dengan kajian tentang rekomendasi untuk penelitian
mendatang, hasil pemetaan ternyata menunjukkan hanya sedikit
sekali yang mengajukan rekomendasi untuk agenda penelitian yang
akan datang. Bahkan penelitian yang dilakukan oleh lembaga
penelitian maupun universitas sekalipun masih sedikit yang
mengajukan rekomendasi untuk tema dan topik penelitian yang dapat
dilakukan oleh peneliti lain berkenaan dengan usaha pemberdayaan
UMKM. Gambaran ini tidak mengherankan apabila studi-studi itu
tidak banyak melakukan kajian pada aspek lain, seperti aspek sosial
budaya, hukum, psikologi dan lainnya dari suatu lembaga/institusi
UMKM. Sebabnya, para peneliti yang tertarik mengangkat lembaga
UMKM dan pemberdayaan UMKM sebagai tema penelitiannya
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 1, Ja nu a ri 2010: 39-58
54 | I da R uwaida & L ugina S etyawati

hanya berpijak pada kebijakan UMKM yang ada, yang tentu lebih
banyak berada pada usaha pemberdayaan bidang ekonomi dan
bisnis usaha. Kalaupun ada rekomendasi untuk penelitian yang akan
datang masih tetap mengajukan pendekatan pada aspek ekonomi
kelembagaan dan manajemen usaha. Sedikit sekali yang mengajukan
rekomendasi untuk tema dan topik penelitian dari aspek selain
ekonomi dan manajemen usaha.
Adapun rekomendasi untuk kebijakan/program pemberdayaan
UMKM justru paling banyak. Hampir semua laporan hasil penelitian
mengajukan berbagai rekomendasi yang ditujukan sebagai masukan
untuk kebijakan/program pemberdayaan UMKM di masa yang akan
datang, khususnya bagi pengembangan usaha dan pemberdayaan
ekonomi. Sedangkan rekomendasi untuk mengoptimalisasikan nilai-
nilai sosial budaya setempat (lokal) dalam usaha pemberdayaan
lembaga-lembaga sosial ekonomi masyarakat, seperti koperasi,
masih kurang. Pemberdayaan bagi kaum perempuan pun, masih
berkisar pada peran ekonomis perempuan terutama dalam membantu
keuangan rumah tangga.
Untuk agen pemberdayaan, rekomendasi ditujukan kepada
beberapa stakeholder UMKM, antara lain (1) pemerintah, khususnya
menyangkut kebijakan tentang pemberdayaan UMK M yang
dikeluarkan pemerintah serta implementasinya yang tidak selaras
dengan kebijakannya. Selain itu ada pula yang menyoroti perlunya
dukungan pemerintah dalam memfasilitasi penguatan UMKM,
misalnya pelatihan, dana, dll. Rekomendasi yang ditujukan untuk
pemerintah yang terkait dengan usaha pemberdayaan UMKM
memang lebih banyak dibandingkan rekomendasi yang ditujukan
bagi UMKM yang menjadi objek penelitian, begitu juga yang
ditujukan bagi lembaga-lembaga keuangan yang memberi bantuan
kepada UMKM; (2) Secara umum rekomendasi studi-studi itu
berkaitan dengan peningkatan SDM. Ada pula rekomendasi untuk
membentuk dan memperluas jaringan kemitraan, terutama dalam
rangka pengadaan modal dan pemasaran. Namun, tidak ada
satupun rekomendasi yang mengarah pada peningkatan social trust
di kalangan anggota atau antara lembaga, bahkan dengan masyarakat
sekitar. Untuk konteks koperasi ini diperlukan mengingat koperasi
merupakan lembaga ekonomi yang berwatak sosial. Artinya ada
tanggung jawab koperasi secara sosial terhadap pemberdayaan
masyarakat lokal; (3) lembaga keuangan pemberi bantuan UMKM,

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 1, Ja nu a ri 2010: 39-58


P emberdayaan U M K M | 55

baik bank maupun non bank. Rekomendasi dalam studi-studi itu


lebih banyak ditujukan pada persoalan kemudahan akses, pelayanan,
serta penguatan kebijakan (suku bunga, prosedur, dll.)

PE N U T U P

Secara Substansi, hasil kajian meta riset menunjuk kan


konsep pemberdayaan yang diaplikasi dalam studi-studi punya
kecenderungan yang sama, yaitu sebagai upaya penguatan dan
pembinaan sektor UMKM yang bersifat kelembagaan dan mencakup
enam aspek: produksi, teknologi, pemasaran, manajerial, modal,
dan kewirausahaan. Artinya, basis analisis konsep pemberdayaan
selalu berdimensi ekonomi. Sejumlah kajian sudah menggunakan
konsep pemberdayaan, namun jika ditilik lebih mendalam masih
menyiratkan konsep “pembinaan”, atau setidaknya ada pada tahap
inisial; di sini pemerintah masih tampil sebagai aktor dominan.
Fokus kajian tentang pemberdayaan mengarah pada kajian
tentang proses atau kondisi pemberdayaan. Tetapi ternyata tidak
banyak studi menunjukkan arah ini secara tegas, apalagi memperjelas
level pemberdayaannya, apakah pada tingkat individual, interpersonal
(relasi sosial), kelompok, institusi/organisasional, dan negara/
struktural (kebijakan, iklim yang kondusif ). Sebagian besar studi
tampaknya lebih menunjukkan kondisi pemberdayaan UMKM
maupun koperasi, baik pada level individu, kelompok maupun
kelembagaannya. Dan sebagaimana disebutkan di atas, kajian
pemberdayaan lebih berimplikasi metodologis kualitatif, sedangkan
kondisi pemberdayaan bisa mengarah pada pengukuran (kuantitatif)
dengan menunjukkan tingkatannya.
Upaya pemberdayaan apapun levelnya perlu diarahkan bukan
hanya untuk mengatasi persoalan kultural (sikap, etos, motivasi)
tetapi juga persoalan struktural (penguatan posisi tawar, penguatan
kebijakan). Kedua persoalan ini dihadapi pada seluruh level di atas.
Penguatan usaha dalam konsepsi ini lebih merujuk pada penguatan
institusional, yang bagaimanapun juga ditentukan oleh kapasitas
individu, rumah tangga, kelompok dan komunitas. Sedangkan
level institusional bukan hanya pada kerangka makro, yakni skala
kabupaten, provinsi atau nasional, juga mikro.
Dengan merujuk pada kerangka pikir Margareth Eichler, hasil
pemetaan menunjukkan bahwa berbagai studi mencoba mengaitkan
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 1, Ja nu a ri 2010: 39-58
56 | I da R uwaida & L ugina S etyawati

kebijakan (dimensi tekstual), organisasi pelaksana (dimensi


struktural), dan aspek kultural. Dimensi tekstual tercermin dari
kajian tentang aplikasi model pendekatan yang digunakan untuk
penyusunan rencana aksi pembinaan dan pemberdayaan kelompok
tani dan koperasi. Adapun yang berfokus pada dimensi struktural
dan berimplikasi pada dimensi normatif adalah kajian tentang pola
pembiayaan dalam hubungan kemitraan antara UMKM dan usaha
besar, serta antar-UMKM itu sendiri, termasuk pola pembiayaannya.
Hasil kajian ini dipakai sebagai rekomendasi kepada stakeholder
tentang pola-pola pembiayaan yang dapat mengembangkan kegiatan
UMKM.
Dari berbagai kajian, bisa disimpulkan mereka yang memfokuskan
perhatian pada aspek struktural dan menyiratkan kondisi kultural
pemberdayaan UMKM dan koperasi lebih dominan, di antaranya
adalah “PenguatanKelembagaan Koperasi dalam Masyarakat Pasca
Konflik (Studi Kasus Perikanan Sihida Ngano Desa Tuada Maluku
Utara”; “Pola Restrukturisasi Usaha Pertanian dan Usaha Kecil
Pedesaan serta Implementasinya terhadap Reposisi Kelembagaan
Koperasi”. Sedangkan kajian yang bernuansa struktural sekaligus
merefleksikan kondisi kultural dan memberikan kontribusi pada
dimensi normatif tentang UMKM/koperasi adalah kajian tentang
“Pola Pembinaan dan Strategi Pemberdayaan Kelompok Tani dan
Koperasi sebagai Gerakan Ekonomi Rakyat yang Profesional”. Kajian
di Kabupaten Karawang dan Indramayu, ini lebih memfokuskan
diri pada analisis berbagai faktor yang mempengaruhi kondisi
pemberdayaan kelompok tani dan koperasi sebagai organisasi
ekonomi rakyat, guna menyusun model pendekatan pembinaan dan
pemberdayaan kelompok tani dan koperasi. Aspek-aspek yang disorot
adalah jiwa dan semangat koperasi, organisasi dan kelembagaan,
kegiatan usaha koperasi, serta pembinaan kelompok tani dan koperasi.
Tidak banyak penelitian yang memberikan rekomendasi tentang
agenda dan kebijakan penelitian yang masih diperlukan di masa
mendatang. Kalaupun ada, hampir tidak ada yang memberikan
rekomendasi untuk mengembangkan penelitian/studi pemberdayaan
UMKM secara lebih inklusif, baik metodologi (dengan keragaman
pendekatan dan jenis penelitian) maupun konsepsi pemberdayaan
(dengan menggunakan dimensi yang lebih beragam, yaitu sosial,
budaya dan politik). Rekomendasi yang diberikan masih menyangkut
aspek manajemen dan ekonomi.

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 1, Ja nu a ri 2010: 39-58


P emberdayaan U M K M | 57

Rekomendasi yang bisa penulis ajukan: (1) pendekatan kebijakan


dan program pemberdayaan UMKM masih bersifat parsial, terutama
hanya menyangkut aspek permodalan dan pelatihan teknis saja. Oleh
karena itu perlu adanya aplikasi konsep dan upaya pemberdayaan
yang bersifat multidimensi, yakni ekonomi, sosial dan kultural. Pada
dimensi sosial ekonomi, umpamanya, pemberdayaan harus mampu
mengkaji partisipasi dan kontrol dalam proses pengambilan keputusan,
bukan semata peningkatan akses; (2) perlu penyusunan agenda
dan kebijakan penelitian yang lebih multi approaches. Penggunaan
pendekatan kuantitatif atau kualitatif bukan hanya sekadar
pentingnya menginterpretasikan metode pengumpulan data sebagai
kualitatif dan kuantitatif saja, tetapi sebaiknya proses memberikan
power bersifat dua arah antara peneliti dan partisipan. Karena itu
penelitian yang partisipatoris sangat perlu untuk memperkaya kajian
tentang pemberdayaan UMKM. Agenda penelitian lain yang juga
penting dalam upaya pemberdayaan UMKM adalah mengkaji peran
sosial koperasi dalam upaya membangun kohesi kelompok. Hal ini
penting dalam upaya melakukan pemberdayaan yang bersifat bottom
up.

DA F TA R PUS TA K A

Bank Indonesia. 2006a. “Kajian Pola Pembiayaan dalam Hubungan


Kemitraan antara UMKM dan Usaha Besar.” Laporan Penelitian.
Jakarta: Bank Indonesia.
_ _ _ _ _ _. 2006b. “K ajian Inkubator Bisnis da lam R angka
Pengembangan UMKM.” Laporan Penelitian. Jakarta: Bank
Indonesia.
______. 2006c. “Kajian Pembiayaan dalam Rangka Pengembangan
Klaster.” Laporan Penelitian. Jakarta: Bank Indonesia.
BPP Depa r temen Kopera si da n PEP-LIPI. 1997. “K ajia n
Kebijaksanaan Pembangunan Koperasi dan Pengusaha Kecil
dalam Rangka Penyusunan REPELITA VII.” Laporan. Jakarta:
BPP Departemen Koperasi dan PEP LIPI.
Creswell, J.W. 2003. Research Design: Qualitative, Quantitative, and
Mixed Methods Approaches. 2nd edition. London, New Delhi: Sage
Publications.
Darwin, ed. 2003. Model-Model Pemberdayaan Usaha Kecil dan
Menengah. Jakarta: Pusat Penelitian Ekonomi LIPI.
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 1, Ja nu a ri 2010: 39-58
58 | I da R uwaida & L ugina S etyawati

Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK. 2007. Kajian Model


Penumbuhan Unit Usaha Baru. Jakarta: SMECDA.
Media Indonesia. 2007. “Memaksimalkan Peran Strategis UMKM”.
20 Juni.
Ginting, Meneth. 1999. Dinamika Organisasi Koperasi, Kajian tentang
Unit Desa (KUD) dan Credit Union (CU) di Kabupaten Karo,
Sumatera Utara. Tesis Program Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.
Hutomo, Mardi Yatmo. 2000. “Pemberdayaan Masyarakat dalam
Bidang Ekonomi: Tinjauan Teoritik dan Implementasi”. Makalah
pada Seminar Sehari Pemberdayaan Masyarakat diselenggarakan
oleh Bappenas di Jakarta, 6 Maret.
Kabeer, Naila. 1994. Reversed Realities, Gender Hierarchies in
Development Thought. London, New York: Verso.
Lembaga Penelitian SMERU. 2003. Buku 1: Peta Upaya Penguatan
Usaha Mikro/Kecil di Tingkat Pusat Tahun 1997-2003. Jakarta:
LP SMERU bekerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan
Perempuan.
LPEM-FEUI, PSB-IPB dan PSEKP-UGM. 2002. “Studi Dampak
Kebijakan Ekonomi Makro Terhadap Pengentasan Kemiskinan
di Indonesia, Pengentasan Kemiskinan melalui Pemberdayaan
UKM”. Laporan Penelitian. Jakarta: LPEM-UI, PSB-IPB dan
PSEKP-UGM.
Moelyarto, V., dan A.M.W. Pranarka. 1996. “Pemberdayaan
(Empowerment).” Dalam Onny S. Priyono dan A.M.W. Pranarka,
eds. Pemberdayaan, Konsep, Kebijakan dan Implementasi. Jakarta:
CSIS.
Rosengard, Jay K., et al. 2007. “The Promise and the Peril of
Microfinance Institutions in Indonesia.” Journal of Bulletin of
Indonesian Economic Studies (BIES). Vol. 43, No.1, April. Jakarta:
The Australian National University.
Utomo, Juwono P. 2005. “Implementasi Program Pemberdayaan
UKM melalui Kredit Modal Kerja Bergulir di Kabupaten
Probolinggo”. Tesis Program Pascasarjana Universitas Gadjah
Mada

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 1, Ja nu a ri 2010: 39-58

Anda mungkin juga menyukai