KELAS: C
DISUSUN OLEH:
Salsabila Urfah
Yudi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada era globalisasi seperti saat ini tentunya sangat banyak perusahaan atau
bahkan organisasi internasional yang maju. Tidak dapat di pungkiri juga tentunya ada
elemen – elemen di dalam organisasi atau perusahaan itu sendiri terdiri dari berbagai
macam negara, suku bangsa, adat istiadat, agama, dan watak. Oleh karna itu dalam
mengelola perusahaan atau organisasi dibutuhkan asisten untuk mengatur agar
profesionalitas tetap terjaga. Ambil saja contoh dalam suatu kelompok yang terdiri dari
berbagai macam sudut pandang terjadi suatu perselisihan maka disinilah letak manajemen
lintas budaya ini akan digunakan untuk dapat menengarainya.
2
Kebanyakan dari penelitian menyimpulkan pentingnya komunikasi untuk
menyampaikan budaya yang ada di dalam suatu kelompok. Budaya mempengaruhi
perilaku melalui manifestasinya, seperti yang diungkapkan oleh Hofstede, yaitu: values,
heroes, rituals, dan symbols. Ini semua merupakan bentuk-bentuk di mana secara kultural
penetapan knowledge disimpan dan diungkapkan. Karena itu, setiap budaya menghadapi
manifestasi budaya yang berbeda.1
1
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21113/1/jmb-mei2008-1%20%282%29.pdf diakses pada
tanggal 11 April 2016.
2
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, Op. Cit., hlm. 113.
3
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada)., hlm 150-151.
3
Pendekatan Politik
Untuk memahami gejala politik pada manajemen sumber daya manusia dikaitkan
dengan raison d’etre suatu bangsa. Pendekatan politik ini ternyata melihat manajemen
sumber daya manusia secara makro yang dapat dipastikan mempunyai dampak terhadap
manajemen sumber daya manusia secara mikro4 dan konsekuensi pada peningkatan
intensitas hubungan lintas budaya. Dalam konteks ini, terutama dalam hubungan bisnis,
fenomena tersebut memunculkan kebutuhan akan perlunya pemahaman atas manajemen
lintas budaya. Manajemen disini adalah ilmu seni mengatur proses pemanfaatan sumber
daya manusia dan sumber daya lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai suatu
tujuan tertentu. Manajemen ini terdiri dari enam unsur (6 M) yaitu, men, money, metode,
materials, machines dan market. Unsusr men (manusia) ini berkembang menjadi suatu
bidang ilmu manajemen yang disebut manajemen sumber daya manusia yang merupakan
terjemahan dari man power management yang didalamnya terdapat manajemen
kepegawaian atau manajemen personalia (personnel management) untuk mengadakan
perencanaan (planning), pengorganisasian dan pengendalian, pengembangan,
pemeliharaan dan pemanfaatan tenaga kerja. Pertanyaanya apa hubungannya ke enam
unsur ini dengan pendekatan politik? Hubungannya dapat dilihat dari leadership yang
memiliki pengaruh besar dalam mencapai tujuan organisasi didalam mengelolah hasil
pembuatan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan atau pengerakan dan bimbingan
melalui kewenangan yang ditentukan berdasarkan struktur organisasi sehingga
memudahkan mencapai apa yang direncanakan dan juga mengisi orang-orang yang tepat
dalam struktur organisasi berdasarkan keterampilan manajerial yang dibutuhkan.
Disamping itu, pencapaian tujuan melalui aktivitas menajerial harus selalu
diperbandingkan dengan rencana yang ditetapkan melalui proses dan fungsi
pengendaliannya (controlling). Mengolah semuanya itu merupakan kegiatan yang lebih
luas dari pemimpin organisasi dan memimpin hanya merupakan salah satu aktivitas dalam
mengelola organisasi. G.R. Terry mengatakan bahwa kepemimpinan (leadership)
merupakan salah satu di antara alat-alat efektif actuating managerial. Melalui fungsi
kepemimpinan, manajer membantu orang-orang atau pengikutnya untuk menyadari bahwa
mereka dapat memenuhi keperluan atau kebutuhan dan sasaran mereka dan memanfaatkan
potensi mereka untuk digunakan bagi pencapaian tujuan organisasi untuk tujuan mereka
(bahwa harus ada perbandingan yang seimbang antara sasaran organisasi dengan sasaran
4
Sondang P. Siagian, Manajemen Sumber Daya Manusia (Jakarta: PT Bumi Aksara)., hlm. 2-3.
4
individu anggota organisasi). Sehingga kepemimpinan adalah konsekuensi logis untuk
melaksanakan fungsi manajemen.5
5
Ulbert Silalahi, Studi Tentang Ilmu Administrasi (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011)., hlm 183-184.
6
Lihat periode 1965-1974 (dimasa pemerintahan Orde Baru).
7
J. Heryanto adalah Staf Pengajar Universitas Bina Nusantara Jakarta dan Staf Pnegajar Universitas Kristen
Petra Surabaya yang dalam artikelnya membahas Peranan Multinasional Corporation dalam Industrilisasi di
Indonesia pada Era Orde Baru. Di dowload dalam bentuk PDF.
8
Lihat Doyle, 1986 dan M.W. Doyle, „Liberalism and World Politics Revisited‟, dalam C. W. Kegley Jr (Ed.),
Controversies in International Relations Theory (New York: 1995), hlm 1161.
5
beberapa masyarakat Islandia yang memiliki prinsip eksistensialis barangkali berkata
bahwa yang diterapkan negara adalah kebebasan hukum bukan kebebasan logika
masyarakat Islandia. Dari umpama ini bisa bisa membedakan antara kemungkinan logis
dan kemungkinan hukum.9
Pendekatan Ekonomi
Sumber daya manusia sering dipandang sebagai salah satu faktor produksi dalam
usaha menghasilkan barang atau jasa oleh satuan-satuan ekonomi dengan menggunakan
analisis mikro. Memang tidak dapat disangkal bahwa dari segi teori maupun praktek
dalam mengelola berbagai kegiatan suatu organisasi ekonomi terdapat berbagai faktor
produksi seperti modal, peralatan baik masinal maupun non masinal, metode kerja, bahan
mentah dan bahan baku serta sumber daya manusianya. Sejarah sudah menunjukkan
bahwa penemuan ilmiah dibidang teknlogi salah satu membuat kemajuan untuk pasar
misalnya mesin uap yang diciptakan oleh James Watt membawa Inggris menjadi negara
industri baru dengan secara drastis. Perkembangan teknologi pada jenis mesin yang
semakin canggih ini meningkatkan produksi karena kemampuannya yang besar,
kecepatannya yang tinggi dan cara bekerjanya dengan akurat. Filosofis teknologi sendiri
bisa memperbudak manusia dari tuntutan-tuntutan teknologi. Didalam tuntutan tersebut
manusia diajak untuk menggarap lahan misalnya pembukaan lahan besar-besaran seperti
kelapa sawit yang ada di Sumatra dan Papua (program MIFFE) dan manusia tidak
berpikir panjang untuk hal itu karena hanya memikirkan bisnis saja.
Menurut Habermas dalam ekonomi kapitalisme lanjut “kapitalisme terorganisir”,
bahwa di satu pihak, proses konsentrasi perusahaan dan pengorganisasian pasar, modal
dan pekerjaan adalah keputusan investasi yang masih ditentukan oleh untung-rugi
ekonomi perusahaan; di lain pihak adanya negara intervensionis yang mencoba
mengimbangi kegagalan fungsi pasar.10 Dalam kapitalisme lanjut memiliki tiga sektor
perekonomian: sektor perekonomian swasta yang berorientasi pada pasar yang kompetisi,
oligopoli-oligopoli yang masih mengizinkan suatu competitive fringe dan sektor publik
yang tidak tergantung pada pasar. Negara juga ikut menata sirkulasi keseluruhan
perekonomian melalui perencanaan global “untuk mengoreksi mekanisme pasar dengan
9
Gordon Graham, Teor-teori Etika (Terjemahan Irfan M Zakkie) (Bandung: Penerbit Nusa Media, 2015)., hlm
133.
10
Franz Magnis Suseno, Pijar-Pijar Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 2005)., hlm 184.
6
memperhatikan akibat-akibat samping disfungsional; menggantikan mekanisme pasar dan
menciptakan kondisi bagi pemanfaatan modal yang tidak terakumulasi.11
Selain daripada itu pendekatan ekonomi mendikte dengan mengembangkan
strategi dalam budaya yang berbeda, dimana pasar harus mengerti perbedaan-perbedaan
dan makna-makna budaya di antara masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya.
Perbedaan lintas budaya ini tidak selalu berkaitan dengan perbatasan antarnegara. Hal ini
sangat terlihat di beberapa negara dimana perbedaan budaya di antar kelompok sosial
dalam negara tersebut sama besarnya dengan perbedaan yang ada antar dua negara yang
berbeda ambil contoh Kanada (dua budaya bahasa – prancis dan Inggris). Masyarakat
konsumsi yang pertama kali muncul yaitu di Inggris pada abad-18 secara bertahap yang
dulunya sebagai masyarakat agraris menjadi masyarakat kota. Tentu dalam perkembangan
budaya ini tidak terlepas dari tuntutan arus globalisasi yang makin mengantarkan
masyarakat untuk hidup berpegang teguh pada kemodern-an seperti pemakaian celana
Jeans, Jaket kulit untuk mengendarai motor, gaya rambut banyak ditiru oleh anak muda ini
merupakan aspek budaya pop yang dibawa amerika ke negara-negara lain.12
Perilaku Organisasi
11
Ibid., Franz Magnis Suseno, Pijar-Pijar Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 2005)., hlm 185.
12
J. Paul Peter (From University Of Wisconsin) and Jerry C. Olson (From Pennsylvania State University) ,
Consumer Behavior and Marketing Strategy jilid 1, (editor: Yati Sumiharti) (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2000).,
hlm 52.
13
Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Edisi Revisi: Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2013)., hlm 1.
14
Ulbert Silalahi, Studi Tentang Ilmu Administrasi (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011)., hlm 121.
7
Maksud gambar diatas bahwa a leadership harus memiliki kemampuan untuk
mengajar melalui memperkenalkan dan memperoleh pengetahuan yang digunakan ke
masa depan di dalam pendesainan. Inti dari gambar ini adalah apa yang telah dimiliki oleh
leadership sebagai perilaku harus menguasai dan mempengaruhi.
15
Ralph Linton, The Study of Man (New York: Appleton Century Crofts Inc, 1936)., hlm. 324.
8
oleh diterapkannya strategi pemasaran baru seperti periklanan. Orang-orang yang biasa
(tidak hanya bagi yang kaya) terobsesi pada nilai-nilai simbolis suatu produk. Dengan
membeli barang mambantu memuaskan kebutuhan masyarakat dan langkah yang
dilakukan oleh masyarakat tersebut menganggap bahwa hal itu wajar untuk dilakukan
untuk mendapatkan makna sosial. Dengan adanya anggapan seperti itu akan menjebak
masyarakat tidak lagi mengetahui kebutuhan prioritas yang akan dipenuhi. Perubahan
budaya ini dikombinasikan dengan perkembangan yang cepat dari kemampuan industri
untuk memproduksi barang secara massal dan harga yang rendah.16
9
Masyarakat perkotaan (urban community) adalah masyarakat kota yang tidak
tertentu jumlah penduduknya. Pengertian kota hanya terletak pada sifat serta ciri
kehidupan yang berbeda dengan masyarakat pedesaan. Berbicara budaya modernitas tidak
terlepas dari dorongan arus globalisasi yang sudah menyeluruh sampai ke ujung dunia.
Dorongan globalisasi tentunya menimbulkan kesenjangan ekonomi dan munculnya
masyarakat kelas yang berkuasa yang ingin menguasai kelas yang dibawah. Seringkali
masyarakat kelas atas yang memiliki pendapatan lebih besar ini lebih menikmati akses
ekonomi dibandingkan kelas bawah. Lihat pembagian kelas atas Amerika hanya 14%
populasainya, kelompok ini memiliki gaya hidup dan intelektual. Sedangkan kelas
menengah hanya 32% populasinya dan mereka sebagai konsumen fashion. Disamping itu
mereka memiliki pendapatan berbeda-beda. Kelas pekerja yang populasinya 38% adalah
masyarakat keluarga yang sangat bergantung pada sanak keluarga untuk mendapatkan
dukungan ekonomi seperti nasihat untuk mendapatkan kerja dan pertolongan pada saat
menghadapi kesulitan. Penekanan pada ikatan keluarga hanyalah salah satu tanda dari
seberapa jauh keterbatasan dan perbedaan kelas pekerja secara sosial, psikologis dan
geografis dibandingkan dengan kelas menegah lainnya. Di hampir segala bidang, dunia
para pekerja kerah biru ini dicirikan oleh pandangan yang agak sempit. Kelompok ini
tidak banyak mengalami perubahan pada nilai dan perilaku walaupun ada peningkatan
pendapatan pada beberapa kasus tertentu. Bagi mereka “berkejaran dengan waktu”
fokusnya adalah pada hal-hal yang bersifat mekanis dan rekreasional dan itu memudahkan
dengan apa yang ingin mereka capai. Kelas bawah populasinya 16 %, biasanya mereka
lebih peka terhadap kebutuhan prioritas mereka dibandingkan hanya pada keinginan. Dari
tiga kelas diatas pada umunya sudah masuk kedalam budaya modernitas yang perbedaanya
hanya dari pendidikan, sosial dan ekonomi mereka. Maka tidak bisa dipungkiri bahwa
salah satu indikator masyarakat modernitas adalah sudah menyentuh yang namanya
teknologi. Tetapi masih banyak ditemukan ketidakadilan yang dihadapin masyarakat itu
sendiri, maka timbul kecemburuan sosial akibat ketidakadilan dari ekonomi itu sendiri.
10
Penelitian mengenai Kepemimpinan cukup rumit. Dimana tidak terdapat
konsistensi dari definisi kepemimpinan itu sendiri, dan tidak ada penjelasan yang terang
tentang batasan dari konstruk kepemimpinan. Terlebih ketika faktor budaya lintas negara
dilibatkan dalam konsepsi tentang kepemimpinan. Hofstade (1998) menyatakan bahwa
budaya seringkali tidak diaplikasikan secara layak dalam penelitian, karena terlalu sedikit
justifikasi mengenai perbedaan budaya dan tidak ada model untuk mengidentifikasi
perbedaan apa yang harusnya diharapkan. Lebih lanjut dalam artikel yang lain Drenth dan
Den Hartog (1998) memberikan pertanyaan kritis mengenai budaya dan organisasi.
Pertama, apakah organisasi di negara yang berbeda mempunyai karakteristik budaya yang
secara konsisten berbeda, berbeda antar negara, dan konsisten dalam masing-masing
negara. Kedua, apakah perbedaan ada karena perbedaan budaya, dan kesimpulan atas
pertanyaan tersebut akan ditentukan oleh kerangka teori dan desain yang baku mengenai
penelitian kepemimpinan antar-budaya.
1. Variform functional universal. Yang terjadi ketika hubungan antara dua variabel
selalu ditemukan, tetapi kekuatan hubungan berubah lintas budaya.
2. Systematic behavioural universal. Dimana merupakan suatu prinsip atau theory yang
menjelaskan hubungan causal. Universalitas perilaku sistematis melibatkan teori yang
mengklaim apakah (a) suatu penahapan dari perilaku adalah tidak bervariasi antar
budaya, atau (b) struktur dan organisasi dari suatu perilaku atau cluster perilaku
adalah tetap antar budaya.
11
Salah satu pendekatan untuk studi budaya adalah melalui identifikasi dan
pengukuran dimensi budaya, dan beberapa tipologi orientasi nilai sosial budaya atau
dimensi budaya pada saat ini telah dikembangkan. Pada bagian ini, akan dijelaskan
mengenai beberapa penelitian dari berbagai peneliti mengenai dimensi budaya yang
mempunyai pengaruh terhadap konsep kepemimpinan. Pandangan dari Hofstade akan
menjadi acuan dalam mendiskusikan konsep budaya antar negara ini. Penelitian Hofstade
ini didasarkan atas riset yang telah dilakukannya terhadap manajer dan karyawan IBM di
lebih dari 40 negara. Hofstade dapat menyimpulkan terdapat empat dimensi budaya
(individualisme-kolektivisme, maskulinitas-feminitas, penghindaran ketidakpastian dan
jarak kekuasaan), sedangkan pada penelitiannya dia menambahkan dimensi yang terakhir
(orientasi masa depan). Kerangka dimensi-dimensi budaya yang lain juga telah diusulkan
oleh beberapa peneliti yang lain semacam Schawrts (1999) dan Trompenaars dkk. (1997).
1. Power Distance
Kepemimpinan melibatkan pengaruh yang tinggi, dan pada bagian dunia manapun,
peranan kepemimpinan diasosiasikan dengan kekuasaan dan status. Oleh karena itu, cara
dimana kekuasaan dan status dibagi dalam budaya sosial adalah sangat relevan dengan
peranan kepemimpinan. Hofstade (1980, 2001) mendefinisikan power distance (PD)
sebagai sejauh mana lingkungan sosial menerima fakta bahwa kekuasaan dalam institusi
dan organisasi didistribusikan secara tidak merata. Dalam budaya dengan perbedaan yang
besar dalam kekuasaan antar individu, organisasi tampaknya akan secara tipikal
mempunyai layers yang lebih dan rantai komando dirasakan sangat penting.
2. Penghindaran Ketidakpastian
12
percaya pada kebenaran yang absolut dan mendapatkan suatu keahlian, akan memberikan
karir yang lebih stabil, hal tersebut menyebabkan peraturan-peraturan lebih stabil, dan
menolak perilaku dan ide-ide yang berlawanan.
Dimensi budaya yang lain adalah Individualisme Vs. Kolektivisme (IK). Budaya
dikarakteristikkan dengan individualisme ketika suatu masyarakat melakukan segala
sesuatu dengan mandiri, mencari sesuatu sesuai dengan keinginan mereka sendiri dan
mereka hanya dekat dengan keluarga dekat mereka. Suatu kerangka sosial yang kuat dan
sangat kohesif merupakan ciri dari kolektivisme (Hofstade, 2001). Sedangkan Schawrts
(1999) memandang realitas tersebut sebagai suatu perbedaan dalam masyarakat mengenai
terpisah (autonomous) dan melekat (embedded) dalam suatu kelompok. Individu dalam
budaya autonomous menganggap dirinya sebagai entitas yang terpisah yang menemukan
makna hidup melalui pengalaman unik mereka sendiri. Sedangkan embedded yang tinggi
berarti bahwa individu dianggap sebagai bagian dari kolektivitas dan menemukan makna
dan arahan dalam hidup melalui partisipasi dalam kelompok dan mengidentifikasinya
dengan tujuan. Dalam hal ini organisasi biasanya mengambil peran penuh akan tanggung
jawab untuk para anggotanya dalam seluruh aspek kehidupan, loyalitas dan identifikasi
diharapkan dalam situasi tersebut.
Hofstade (1998, 2001) menjelaskan dimensi budaya yang lain, yang dinamakan
Maskulinitas Vs. Feminitas. Maskulinitas di deskripsikan sebagai nilai dominan dalam
sebuah komunitas yang menekankan pada assertiveness dan menjadi tangguh, obsesi
mendapatkan uang dan obyek-obyek material lain, dan tidak terlalu memperhatikan orang
lain, kualitas hidup, maupun kualitas hidup orang lain. Dalam budaya feminin, nilai-nilai
semacam hubungan sosial yang hangat, kualitas hidup, dan perhatian terhadap kondisi
orang lain yang lemah sangat ditekankan.
13
Tantangan Budaya dalam Kepemimpinan Lintas Budaya
Sejak tahun 1990-an semakin beragam tenaga kerja baik dari segi gender, ras dan
kebangsaan. Misalnya, di Amerika kira-kira 45 % dari tambahan tenaga kerja pada tahun
1990 adalah “ Non-white”, yang setengahnya adalah generasi pertama immigrant yang
datang dari Asia dan Amerika Latin. Di Belanda 5 % dari populasinya dan 8-10 % dari
populasi Perancis adalah etnik minoritas (Czinkota, 1994), hal ini menimbulkan
percampuran budaya yang sangat penting diwaspadai oleh para pekerja, terutama terhadap
pengaruh dari keberagaman perilaku manusia yang disebabkan oleh keragaman budaya
mereka dalam dunia kerja.
Konsep budaya sangat kaya akan pengertian. Budaya selalu merujuk kepada
kelompok orang-orang atau masyarakat, dimana budaya tersebut mempengaruhi cara
berpikir, pandang dan perilaku sehari-hari seseorang. Suatu kelompok budaya berarti suatu
kelompok orang-orang yang secara bersama-sama memiliki norma, nilai ataupun
kepercayaan dan tradisi yang sama yang berbeda dari kelompok lain.
Budaya dipelajari, dimiliki dan disosialisasikan dari satu generasi ke generasi.
Budaya berciri konservatif, menolak untuk/sulit berubah dan menginginkan kelanjutan.
Trompenaars (1994), seorang peneliti budaya dalam studi organisasi, mengatakan bahwa
“it is my belief that you can never understand other cultures. Sementara itu Hofstede
(1984) melakukan “ cross-cultural studies” denganmeneliti para karyawan IBM pada 40
negara sebagai partisipan dalam meneliti “ international differences in work-related values
“ menggunakan definisi budaya sebagai cara berpikir dari kelompok manusia yang
membedakan anggota dari suatu kelompok terhadap kelompok yang lain, dimana interaktif
secara keseluruhan dari ciri-ciri umum mempengaruhi respon dari kelompok manusia
terhadap lingkungannya.
Budaya suatu masyarakat tercermin dalam hidup kelompok suatu masyarakat,
yang dapat diamati melalui manifestasinya, seperti pandangan terhadap waktu, keluarga,
kebiasaan berdagang (berbisnis) dan sebagainya. Haris dan Morgan (1987, dalam
Czinkota) menginvent arisir elemen-elemen budaya antara lain: Bahasa, Kepercayaan,
Nilai dan Sikap, Perilaku dan Kebiasaan, Keindahan, Pendidikan dan Sosial institusi.
Konsep kepemimpinan telah diartikan dan digunakan dalam berbagai cara. Dalam
berbagai kajian, perilaku kepemimpinan diartikan sebagai perilaku individu dalam posisi
14
manajerial terhadap anggota dari suatu kelompok atau organisasi, jika individu tersebut
berupaya untuk mengarahkan aktivitas dari kelompok atau organisasi untuk mencapai
tujuan khusus dari organisasi tersebut (Bass1990: Yuki, 1994). Sementara itu
kepemimpinan secara lebih luas diartikan sebagai kemampuan mempengaruhi orang untuk
mengarahkan upaya mereka terhadap pencapaian tujuan organisasi yang disebut
memotivasi dan mempengaruhi pemikiran, sikap dan perilaku manusia. Oleh karena itu
kepemimpinan selalu melibatkan interaksi antara pemimpin dan para bawahan yang
mereka pimpindalam seluruh aspek pekerjaan yang telah ditentukanoleh organisasi.
Pendekatan kelompok budaya untuk melaksanakan produksi dan kegiatan-
kegiatan bisnisdari berbagai perusahaan dan jenis-jenis organisasi lainnya biasanya
tercermin dari prinsip-prinsip yang mendasari kelompok itu sendiri. Berbagai pertanyaan
yang mendasar antara lain: bagaimana kekuasaan diorganisir? Berdasarkan apa kekuasaan
tersebut diatur atau diorganisir?. Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut sangat
berbeda dalam budaya timur dan barat atau secara lebih luas akan berbeda di setiap negara
yang memiliki perbedaan budaya. Bahkan diantara negara-negara barat sendiri kondisi ini
juga memiliki perbedaan-perbedaan mendasar, misalkan: perusahaan Perancis dan Swedia
memiliki perbedaan yang sangat kecil, sementara German dan Australia memiliki
perbedaan yang sangat ekstrim dalam dasar pandangan mereka terhadap hubungan
kekuasaan antara pemimpin dengan bawahan mereka.
Berdasarkan kepada peraturan, organisasi dibentuk oleh pemimpin, baik secara
otokratis, individual maupun kolektif yang menggunakan kekuasaan mereka untuk dua
hal, yaitu: mengatur sistem dari seluruh fungsi-fungsi yang ada dan mengarahkan kepada
pencapaian tujuan. Pengaturan dari seluruh fungsi-fungsi yang ada didasarkan kepada
status, hirarkhi, gaya manajemen, motivasi pekerja dan kemampuan manajemen untuk
membentuknya.
Sedangkan orientasi kepada tujuan dari kepemimpinan diarahkan untuk
pemecahan masalah, pengembangan strategi, membentuk etika bisnis yang berlaku,
menetapkan tingkat produktivit mendistribusikan berbagai tugas, dan menentukan
berbagai batas waktu pekerjaan (deadlines). Terdapat tiga tipe manajer jika dihubungkan
dengan kondisi suatu budaya, yaitu:
15
terhadap bawahan dalam tugas- tugas dan hasil-hasil yang khusus. Mereka juga sangat
ketat terhadap program dan menuntut bawahan untuk bekerja sesuai dengan rencana
yang telah ditetapkan.
2. Manajer dalam polyactive culture jauh lebih terbuka, mendasarkan pada
kemampuan persuasif, menggunakan kekuatan karakter mereka sebagai insentif.
Mereka sering menunjukkan komunikasi secara terbuka dengan orang dan mau
memberikan waktunya kepada para bawahan mereka untuk mengembangkan hubungan
yang lebih baik.
3. Manajer dalam reactive culture juga berorientasi kepada bawahan, tetapi
mereka mengelola dengan mempergunakan peralatan ilmu pengetahuan, sabar dan
menggunakan sistem pengawasan yang tenang. Mereka menunjukkan kesederhanaan
dan kesopanan, di samping pengenalan terhadap superior mereka. Mereka juga
berupaya untuk menciptakan suatu kondisi yang harmonis bagi kerja tim mereka,
menggunakan bahasa tubuh secara efektif untuk menegaskan komunikasi verbal secara
akurat. Mereka menguasai kondisi perusahaan secara sempurna, telah memiliki
pengalaman kerja yang lama dengan berbagai jenis pekerjaan. Hal tersebut akan
mampu memberikan keseimbangan dalam kemampuan untuk bereaksi terhadap
berbagai pengaruh perubahan lingkungan.
16
adalah pengaruh dari budaya terhadap berbagai harapan sehubungan dengan interaksi
manajer dengan para bawahannya.
Akibat dari perbedaan budaya diantara berbagai negara, maka sering terjadi
kesalahan dalam mengartikan atau mempersepsikan sikap dan perilaku orang yang berasal
dari budaya lain. Permasalahan utama akan muncul sehubungan dengan asumsi bahwa apa
yang dianggap benar dalam budaya sendiri juga dianggap benar dalam budaya lain
(Phatak, 1983).
Selain itu orang selalu mengasumsikan bahwa orang lain memiliki lebih banyak
kesamaan dengan mereka dari pada yang sebenarnya, yang sering disebut “ projected
similarity “ (Adler, 1986). Berbagai kesalahan persepsi tersebut dapat menyebabkan
konflik interpersonal dan perilaku keorganisasian yang tidak cocok (Ting-Toomey, 1985).
Oleh karena itu para manajer seharusnya tidak membawa seluruhpola pikir mereka
kedalam situasi tertentu, sebaliknya lebih baik mereka mencoba masukan-masukan baru
kedalam pola pikir budaya secara keseluruhan (Casmir, 1985).
B. Identifikasi Masalah
Oleh karena itu, berdasarkan uraian diatas dalam latarbelakang, maka penulis
mengajukan beberapa identifikasi masalah sebagai berikut:
17
1. Apa yang membuat manajemen lintas budaya menjadi profile dinamika politik bisnis?
2. Seberapa kuat pengaruh manajemen dalam membangun komunikasi lintas budaya?
1. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya permasalahan yang dikemukakan, maka penulis membatasi
masalah ini dengan menitikberatkan pada pengaruh manajemen lintas budaya melalui
analisisi perilaku organisasi, politik dan ekonomi. Perilaku organisasi disini adalah
manejemen sendiri yang memiliki keahlian teknis dan keahlian personal yang bagus.
Manajer dalam perilaku organisasi menjadi sebuah unit sosial yang mengkoordinasikan
individu dalam kelompok dan berfungsi untuk mencapai serangkain tujuan bersama.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah dan pembatasan masalah yang telah diuraikan
maka perumusan masalah yang dikaji dalam tugas ini yaitu:
“Apa yang membuat manajemen lintas budaya menjadi profile yang kuat dalam
membangun komunikasi untuk mempengaruhi politik bisnis”
2. kegunaan Penelitian
18
Kegunaan dari penelitian ini antara lain adalah untuk memberikan manfaat kepada para
pembaca, mahasiswa pada khususnya. Adapun yang menjadi kegunaan penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Penelitian ini diharapkam dapat menjadi literatur tambahan bagi pengembangan studi
Hubungan Internasional
b. Penelitian ini diharapkan dapat menambah kemampuan dalam berpikir dan sebagai
media untuk meningkatkan kemampuan penalaran, pengetahuan dan teori yang
dipelajari selama belajar di perguruan tinggi.
D. Kerangka Teoritis dan Hipotesis
Untuk memperoleh pijakan dalam penelitian ini, maka peneliti menggunakan beberapa
teori yang digunakan dan konsep yang berkaitan dengan objek penelitian yang akan
berguna dalam menganalisa masalah.
1. Kerangka Teoritis
Pada awal abad ke-20 bahwa suksesnya manajemen ada pada industrialis Prancis
yang bernama Henri Fayol yang menulis lima fungsi manajemen: mereka merencanakan,
mengorganisasi, memerintah, mengoordinasi dan mengendalikan.” Sekarang menjadi
empat: perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan dan pengendalian. Manajemen
menurut Henry Fayol sendiri adalah individu itu sendiri yang memiliki fungsi didalamnya,
antara lain fungsinya adalah: perencanaan (planning) meliputi pendefinisian tujuan suatu
organisasi, penentuan strategi keseluruhan untuk mencapai tujuan dan pengembangan
serangkain rencana komprehensif untuk bergabung dan mengkoordinasi berbagai
aktivitas.18
Manajer juga memiliki tanggung jawab atas perencanaan sebuah struktur
organisasi. Fungsi ini disebut sebagai pengorganisasian (organizing) meliputi penentuan
tugas yang harus dikerjakan. Jadi setiap organisasi yang sudah terbentuk yang terdiri atas
kelompok memiliki tugas menajemen untuk mengarahkan dan mengoordinasi kelompok
maka fungsi kepemimpinan itu menjadi penting untuk selalu mengawasi. Ketika manajer
memotivasi karyawan, mengatur aktivitas kelompok, memilih saluran komunikasi yang
paling efektif atau menyelesaikan konflik diantara anggotanya mereka terlibat dalam
kepemimpinan sesuai dengan peran yang diberikan oleh manajemen yang membimbing
suatu kelompok tersebut. Fungsi terakhir yang dilakukan oleh manajer adalah
18
Stephen P. Robins and Timothy A. Judge, Perilaku Organisasi (Jakarta: Salemba Empat, 2009)
19
pengendalian (controlling). Guna untuk memastikan bahwa segalanya berjalan dengan
baik dan dapat memantau kinerja organisasi. Kemudian kinerja tersebut diaktualkan
dengan tujuan yang telah ditentukan bersama.
Akan tetapi didalam manajemen harus memiliki respon kuat terhadap perilaku
organisasi tersebut. Organisasi menurut Dwight Waldo adalah struktur hubungan-
hubungan diantar orang-orang berdasarkan wewenang dan bersifat tetap dalam suatu
sistem administrasi. Jadi intisarinya, suatu organisasi adalah suatu kelompok yang terikat
bersama dalam hubungan formal untuk mencapai tujuan organisasi. Kedua organisasi
adalah proses penyusunan atau pengaturan bagian-bagian organisasi (Henry L. Sisk
dikutip dari Sutarto, 1983).19
Tidak bisa dipungkiri bahwa dari manajemen dan perilaku organisasi adalah
objek sosiologi yang berarti budaya. Seorang manajemen tidak bisa lepas dari budaya
karena ia sendiri adalah pelaku didalam budaya itu sendiri. Dalam perkembangan zaman
budaya semakin maju, tentu adanya dari kemjauan arus globalisasi yang dapat mengantar
budaya yang dulunya tidak mengenal hidup modernitas sekarang menjadi budaya
modernitas. Seorang antropolog yaitu E.B. Tylor (1871)20 mengatakan bahwa kebudayaan
adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat
istiadat dan kemampuan serta kebiasaan yang diapatkan oleh manusia sebagai anggota
masyarakat. Dengan kata lain, kebudayaan mencakup semua yang didapatkan atau
dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat.21
2. Hipotesis
19
Ulbert Silalahi, Op. Cit., hlm 124.
20
Dalam terjemahan Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, Setangkai Bunga Sosiologi (Jakarta: Yayasan
Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1964), hlm. 115.
21
Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati (editor), Edisi Revisi: Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2013), hlm 150.
20
Setelah merumuskan kerangka teoritis diatas, langkah berikutnya adalah
mengajukan hipotesis yang merupakan jawaban sementara terhadap permasalahan yang
telah dirumuskan yang dialamnya terdapat hubungan dua variabel atau lebih yang diuji
secara empiris guna menentukan kesahihannya. Hipotesis ini dirumuskan dengan logika
deduktif dan diuji melalui logika induktif. Seraya dikonsultasikan lewat konsep, teori dan
asumsi yang berperan sebagai tolok acuan dalam mempelajari suatu fenomena yang
menarik untuk diajukan penelitian.
Dari tatanan teori dan konsep serta asumsi diatas, maka peneliti merumuskan
hipotesis sebagai berikut: :
3. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan dua bentuk metode penelitian yaitu:
a). Metode deskriptif analisis yaitu suatu metode yang bertujuan menggambarkan,
menganalisa dan mengklarifikasikan gejala dan fenomena yang didasarkan pada pengamatan
dari beberapa kejadian dan masalah yang tersedia di tengah-tengah realita yang ada.
b). Metode historis analisis yaitu suatu metode yang digunakan untuk menganalisis fenomena
atau kejadian di masa lampau secara generalis di dalam memahami situasi sekarang dan
kemungkinan dapat berkembang di masa yang akan datang berdasarkan sumber data
sekunder.
21
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Soekanto, Soerjono. 2013. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Sondang P. Siagian. 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Ulbert Silalahi. 2011. Studi Tentang Ilmu Administrasi. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
J. Heryanto adalah Staf Pengajar Universitas Bina Nusantara Jakarta dan Staf Pnegajar
Universitas Kristen Petra Surabaya yang dalam artikelnya membahas Peranan Multinasional
Corporation dalam Industrilisasi di Indonesia pada Era Orde Baru. Di dowload dalam
bentuk PDF.
Doyle. M.W. 1995. „Liberalism and World Politics Revisited‟, dalam C. W. Kegley Jr (Ed.),
Controversies in International Relations Theory. New York.
Graham. Gordon Teor-teori Etika. 2015 (Terjemahan Irfan M Zakkie) Bandung: Penerbit
Nusa Media.
J. Paul Peter (From University Of Wisconsin) and Jerry C. Olson (From Pennsylvania State
University) , Consumer Behavior and Marketing Strategy jilid 1, (editor: Yati Sumiharti)
(Jakarta: Penerbit Erlangga, 2000)., hlm 52.
Linton. Ralph. 1936. The Study of Man New York: Appleton Century Crofts Inc.
Paul Peter (From University Of Wisconsin) and Jerry C. Olson (From Pennsylvania State
University) , Consumer Behavior and Marketing Strategy jilid 2, (editor: Yati Sumiharti)
(Jakarta: Penerbit Erlangga, 2000)., hlm 29.
Internet:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21113/1/jmb-mei2008-1%20%282%29.pdf
diakses pada tanggal 11 April 2016.
22