Anda di halaman 1dari 19

I.

Latar Belakang

Pada era globalisasi seperti saat ini sangat banyak perusahaan atau bahkan organisasi
internasional yang maju. Tidak dapat di pungkiri juga tentunya ada elemen – elemen di dalam
organisasi atau perusahaan itu sendiri terdiri dari berbagai macam negara, suku bangsa, adat
istiadat, agama, dan watak. Oleh karna itu dalam mengelola perusahaan atau organisasi dibutuhkan
pendekatan atau pun sistem yang berfungsi untuk mengatur agar profesionalitas tetap terjaga. Hal
ini dapat dimisalkan dalam suatu kelompok yang terdiri dari berbagai macam sudut pandang terjadi
suatu perselisihan maka fungsi dari manajemen lintas budaya ini akan digunakan untuk dapat
menengarainya.
Beberapa usaha telah dibuat untuk mengembangkan pandangan integratif di dalam
penelitian mengenai perilaku lintas budaya. Di beberapa kasus, para peneliti telah sukses
memberikan model-model manajerial dengan jelas mengenai perilaku lintas budaya. Budaya
mempengaruhi perilaku, di mana budaya itu sendiri mendorong kembali manifestasi dari budaya.
(Peter dan Olson, 1998). Perilaku yang dimiliki oleh seorang individu mungkin dipandang dan
ditiru atau ditolak oleh individu yang lain. Hal tersebut kemudian menjadi norma-norma perilaku
grup dan diidentifikasikan sebagai bagian dari budaya yang diperlihatkan di dalam populasi.
Tindakan-tindakan manajemen (management’s actions) bertindak sebagai suatu sarana untuk
mentransfer arti atau nilai- nilai yang secara kultural terdapat di lingkungan eksternal untuk
diadopsi ke dalam organisasi, sehingga komunikasi yang digambarkan di dalam model
merupakan suatu moderator utama dari pengaruh budaya terhadap perilaku.
Kebanyakan dari penelitian menyimpulkan pentingnya komunikasi untuk menyampaikan
budaya yang ada di dalam suatu kelompok. Budaya mempengaruhi perilaku melalui
manifestasinya, seperti yang diungkapkan oleh Hofstede, yaitu: values, heroes, rituals, dan
symbols. Ini semua merupakan bentuk-bentuk di mana secara kultural penetapan knowledge
disimpan dan diungkapkan. Karena itu, setiap budaya menghadapi manifestasi budaya yang
berbeda.

1|Page
II. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka penulis mengajukan beberapa identifikasi
masalah sebagai berikut:
1. Apa yang membuat manajemen lintas budaya menjadi profile dinamika politik bisnis?
2. Seberapa kuat pengaruh manajemen dalam membangun komunikasi lintas budaya ?

 Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya permasalahan yang dikemukakan, maka penulis membatasi
masalah ini dengan menitikberatkan pada pengaruh manajemen lintas budaya melalui
analisisi perilaku organisasi, politik dan ekonomi. Perilaku organisasi disini adalah
manejemen sendiri yang memiliki keahlian teknis dan keahlian personal yang bagus.
Manajer dalam perilaku organisasi menjadi sebuah unit sosial yang mengkoordinasikan
individu dalam kelompok dan berfungsi untuk mencapai serangkain tujuan bersama.

 Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah dan pembatasan masalah yang telah diuraikan
maka perumusan masalah yang dikaji dalam tugas ini yaitu :

“Apa yang membuat manajemen lintas budaya menjadi profile yang kuat dalam
membangun komunikasi untuk mempengaruhi politik bisnis “

III. Tujuan Dan Kegunaan


o Tujuan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan pengetahuan akan
suatu permasalahan dengan menggunakan cara-cara yang sistematis dan metodelogis.
Adapun yang menjadi tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
 Untuk mengetahui sejauh mana manajemen lintas budaya dalam melihat
perilaku manusia?

2|Page
 Untuk mengetahui seperti apa kepemimpinan yang sukses dalam
manajemen lintas budaya?

o Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini antara lain adalah untuk memberikan manfaat
kepada para pembaca Adapun yang menjadi kegunaan penelitian ini adalah sebagai
berikut:
 Penelitian ini diharapkam dapat menjadi literatur tambahan bagi
pengembangan studi management
 Penelitian ini diharapkan dapat menambah kemampuan dalam berpikir dan
sebagai media untuk meningkatkan kemampuan penalaran, pengetahuan
dan teori yang dipelajari selama belajar di perguruan tinggi.

IV. Pembahasan
Manajemen lintas budaya sangat diperlukan dalam suatu kelompok internasional
karna perbedaan latar belakang dari masing – masing komponen dalam kelompok tersebut
tentunya mempengaruhi sifat dan cara kerja bagi kelompok, disinilah peran manajemen
tersebut adalah sebagai alat komunikasi agar elemen – elemen tersebut dapat saling
mengerti satu sama lain, tentunya agar kinerja dari masing – masing elemen itu sendiri
dapat maksimal harus adanya evaluasi setiap dalam perjumpaan dengan budaya lain.
Manajemen lintas budaya tidak hanya berperan sebagai komunikator elemen dalam
kelompok, tetapi manajemen lintas budaya juga membentuk budaya didalam kelompok.
Kebudayaan ini sebagai kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-
kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masayarakat. Selo Soemardi
merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya
masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan
jasmaniah (material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam
sekitarnya agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk keperluan masyarakat.
Keperluan masyarakat disini sangat meluas kita bisa memakai dengan berbagai
pendekatan multidimensional – pendekatan politik dan pendekatan ekonomi.

3|Page
o Pendekatan Politik
Untuk memahami gejala politik pada manajemen sumber daya manusia
dikaitkan dengan Reason for being suatu bangsa. Pendekatan politik ini ternyata
melihat manajemen sumber daya manusia secara makro yang dapat dipastikan
mempunyai dampak terhadap manajemen sumber daya manusia secara mikro dan
konsekuensi pada peningkatan intensitas hubungan lintas budaya. Dalam konteks ini,
terutama dalam hubungan bisnis, fenomena tersebut memunculkan kebutuhan akan
perlunya pemahaman atas manajemen lintas budaya. Manajemen disini adalah ilmu
seni mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber daya lainnya
secara efektif dan efisien untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Manajemen ini terdiri
dari enam unsur (6M) yaitu, man, money, metode, materials, machines dan market.
Unsur man (manusia) ini berkembang menjadi suatu bidang ilmu manajemen yang
disebut manajemen sumber daya manusia yang merupakan terjemahan dari man power
management yang didalamnya terdapat manajemen kepegawaian atau manajemen
personalia (personnel management) untuk mengadakan perencanaan (planning),
pengorganisasian dan pengendalian, pengembangan, pemeliharaan dan pemanfaatan
tenaga kerja.
Pertanyaanya apa hubungannya ke enam unsur ini dengan pendekatan politik?
Hubungannya dapat dilihat dari leadership yang memiliki pengaruh besar dalam
mencapai tujuan organisasi didalam mengelolah hasil pembuatan perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan atau pengerakan dan bimbingan melalui kewenangan
yang ditentukan berdasarkan struktur organisasi sehingga memudahkan mencapai apa
yang direncanakan dan juga mengisi orang-orang yang tepat dalam struktur organisasi
berdasarkan keterampilan manajerial yang dibutuhkan. Disamping itu, pencapaian
tujuan melalui aktivitas menajerial harus selalu diperbandingkan dengan rencana
yang ditetapkan melalui proses dan fungsi pengendaliannya (controlling). Mengolah
semuanya itu merupakan kegiatan yang lebih luas dari pemimpin organisasi dan
memimpin hanya merupakan salah satu aktivitas dalam mengelola organisasi.

4|Page
G.R. Terry mengatakan bahwa kepemimpinan (leadership) merupakan salah
satu di antara alat-alat efektif actuating managerial. Melalui fungsi kepemimpinan,
manajer membantu orang-orang atau pengikutnya untuk menyadari bahwa mereka
dapat memenuhi keperluan atau kebutuhan dan sasaran mereka dan memanfaatkan
potensi mereka untuk digunakan bagi pencapaian tujuan organisasi untuk tujuan
mereka (bahwa harus ada perbandingan yang seimbang antara sasaran organisasi
dengan sasaran individu anggota organisasi). Sehingga kepemimpinan adalah
konsekuensi logis untuk melaksanakan fungsi manajemen.
Analisis yang digunakan pendekatan politik yaitu membuka kerjasama dengan
pebisnis agar memperbolehkan mereka masuk ke negara-negara yang mereka kunjungi.
Terlebih dahulu mereka sudah melihat kestabilan politik dan berkunjung. Ketika
semunya berjalan lancar pebisnis langsung mendatangi pemerintah dengan mengajak
diskusi dan mengikutsertakan atau melibatkan pemerintah untuk mempermudah
melalui perundang- undangan yang mendukung secara sistematik, terprogram, efisien,
efektif dan produktif. Lalu dibuatlah kesepakatan dalam UU tentang penanaman
modal asing maka dengan adanya kemudahan yang diberikan pemerintah kepada
pebisnis berupa lisensi. Beberapa perusahaan industri yang sudah masuk di Indonesia
adalah perusahaan joint venture. Joint venture ini masih tetap tergantung pada
perusahaan induknya seperti PT Astra yang memproduksi mobil Toyota, tetap harus
mengimpor mesinnya dari Jepang, PT Boma-Bisma-Indra yang mendapat lisensi dari
Deutz ini memproduksi mesin Diesel, komponen-komponennya masih harus
didatangkan dari Jerman.
Keuntungan relatif dari investasi seperti ini tergantung dari faktor-faktor
ekonomi maupun politik. Ekonomi dan politik menurut Robert Gilpin seperti ini:

“Direct investments are intended to establish a permanent source of income or


supply in the foreign economy; consequently, they create economic and political
relationships of a lasting and significant character”.

Berlangsungnya hubungan yang relevan seperti ini, tentunya ada hubungan


pemerintah dengan perusahaan yang untuk mendirikan “perserikatan transnasional

5|Page
yang berperan seperti ruang lobi dalam sebuah penginapan”. Dalam hal praktek seperti
ini berbagai organisasi politik terutama yang mempunyai fraksi di lembaga legislatif
sangat terikat dan terlibat menggunakan aset negara seperti sumber daya manusianya.
Logika negara untuk memiliki sumber daya manusia dan kekayaan alam dengan
memakai logika hukum yang memegang logika hukum adalah pemerintahan sendiri,
saya mengumpakannya seperti ini:
Penduduk Islandia tidak bebas memilih dan menjual setiap jenis minuman,
mungkin dari beberapa masyarakat Islandia yang memiliki prinsip eksistensialis
barangkali berkata bahwa yang diterapkan negara adalah kebebasan hukum bukan
kebebasan logika masyarakat Islandia. Dari umpama ini bisa bisa membedakan antara
kemungkinan logis dan kemungkinan hukum.

o Pendekatan Ekonomi

Sumber daya manusia sering dipandang sebagai salah satu faktor produksi dalam
usaha menghasilkan barang atau jasa oleh satuan-satuan ekonomi dengan menggunakan
analisis mikro. Memang tidak dapat disangkal bahwa dari segi teori maupun praktek
dalam mengelola berbagai kegiatan suatu organisasi ekonomi terdapat berbagai faktor
produksi seperti modal, peralatan baik masinal maupun non masinal, metode kerja, bahan
mentah dan bahan baku serta sumber daya manusianya. Sejarah sudah menunjukkan
bahwa penemuan ilmiah dibidang teknlogi salah satu membuat kemajuan untuk pasar.
Perkembangan teknologi pada jenis mesin yang semakin canggih ini meningkatkan
produksi karena kemampuannya yang besar, kecepatannya yang tinggi dan cara bekerjanya
dengan akurat. Filosofis teknologi sendiri bisa memperbudak manusia dari tuntutan-
tuntutan teknologi. Didalam tuntutan tersebut manusia diajak untuk menggarap lahan
misalnya pembukaan lahan besar-besaran seperti kelapa sawit yang ada di Sumatra dan
Papua (program MIFFE) dan manusia tidak berpikir panjang untuk hal itu karena hanya
memikirkan bisnis saja.
Menurut Habermas dalam ekonomi kapitalisme lanjut “kapitalisme terorganisir”,
bahwa di satu pihak , proses konsentrasi perusahaan dan pengorganisasian pasar , modal
dan pekerjaan adalah keputusan investasi yang masih ditentukan oleh untung-rugi

6|Page
ekonomi perusahaan; di lain pihak adanya negara intervensionis yang mencoba
mengimbangi kegagalan fungsi pasar. Dalam kapitalisme lanjut memiliki tiga sektor
perekonomian : sektor perekonomian swasta yang berorientasi pada pasar yang kompetisi,
oligopoli-oligopoli yang masih mengizinkan suatu competitive fringe dan sektor publik
yang tidak tergantung pada pasar. Negara juga ikut menata sirkulasi keseluruhan
perekonomian melalui perencanaan global untuk mengoreksi mekanisme pasar dengan
memperhatikan akibat-akibat samping disfungsional menggantikan mekanisme pasar dan
menciptakan kondisi bagi pemanfaatan modal yang tidak terakumulasi.
Selain daripada itu pendekatan ekonomi mendikte dengan mengembangkan strategi
dalam budaya yang berbeda, dimana pasar harus mengerti perbedaan-perbedaan dan
makna-makna budaya di antara masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya.
Perbedaan lintas budaya ini tidak selalu berkaitan dengan perbatasan antarnegara. Hal ini
sangat terlihat di beberapa negara dimana perbedaan budaya di antar kelompok sosial
dalam negara tersebut sama besarnya dengan perbedaan yang ada antar dua negara yang
berbeda ambil contoh Kanada (dua budaya bahasa – prancis dan Inggris).
Masyarakat konsumsi yang pertama kali muncul yaitu di Inggris pada abad-18
secara bertahap yang dulunya sebagai masyarakat agraris menjadi masyarakat kota. Tentu
dalam perkembangan budaya ini tidak terlepas dari tuntutan arus globalisasi yang makin
mengantarkan masyarakat untuk hidup berpegang teguh pada kemodernan seperti
pemakaian celana Jeans, Jaket kulit untuk mengendarai motor, gaya rambut banyak ditiru
oleh anak muda ini merupakan aspek budaya pop yang dibawa amerika ke negara-negara
lain.

o Perilaku Organisasi

Makhluk sosial telah menjadi anggota masyarakat dan sudah mempunyai


pengalaman dalam hubungan sosial atau hubungan antarmanusia. Semuanya ini
merupakan pengetahuan yang bersifat sosiologis karena ikut serta di dalam hubungan
sosial dalam membentuk kebudayaan masyarakat dan kesadaran akan adanya persamaan
dan perbedaan orang lain yang memberikan gambaran tentang objek sosiologinya.

7|Page
Jika dikaitkan ke perilaku organisasi bahwa budaya adalah individu dan kelompok
yang tergabung dalam suatu organisasi dimana ia sebagai masyarakat adalah pelaku
dari kegiatan organisasi. Terciptanya kegiatan organisasi karena manusia saling
membutuhkan dalam kerjasama baik dibidang politik, ekonomi dan sosial, pendidikan dsb.
Pada dasarnya organisasi itu ada karena organisasi mempersatukan sumber-sumber dan
potensi individu-individu. Lihat gambar perilaku dari organisasi:

Maksud gambar diatas bahwa sikap leadership harus memiliki kemampuan untuk
mengajar melalui memperkenalkan dan memperoleh pengetahuan yang digunakan ke
masa depan di dalam pendesainan. Inti dari gambar ini adalah apa yang telah dimiliki oleh
leadership sebagai perilaku harus menguasai dan mempengaruhi.

8|Page
o Dinamika Menuju Budaya Modern

Di dalam masyarakat suatu proses perubahan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang


mendorong jalannya perubahan yang terjadi. Salah satu proses perubahan ini adalah difusi
sebagai proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari individu kepada individu lain dan
dari satu masyarakat ke masyarakat lain. Dengan proses tersebut, masyarakat mampu
menghimpun penemuan-penemuan baru yang telah dihasilkan. Dengan terjadinya difusi,
suatu penemuan baru yang telah diterima oleh masyarakat dapat diteruskan dan disebarkan
pada masyarakat luar. Proses tersebut mendorong pertumbuhan suatu kebudayaan dan
memperkaya kebudayaan-kebudayaan masyarakat.
Contohnya dari penampilan cara berpakain negara maju dan berkembang, pada
sebagian negara masyarakat berkembang suatu kebutuhan akan barang-barang material
terus meningkat, yang sebagian disebabkan oleh diterapkannya strategi pemasaran baru
seperti periklanan. Orang-orang yang biasa (tidak hanya bagi yang kaya) terobsesi pada
nilai-nilai simbolis suatu produk. Dengan membeli barang mambantu memuaskan
kebutuhan masyarakat dan langkah yang dilakukan oleh masyarakat tersebut
menganggap bahwa hal itu wajar untuk dilakukan untuk mendapatkan makna sosial.
Dengan adanya anggapan seperti itu akan menjebak masyarakat tidak lagi mengetahui
kebutuhan prioritas yang akan dipenuhi. Perubahan budaya ini dikombinasikan dengan
perkembangan yang cepat dari kemampuan industry untuk memproduksi barang secara
massal dan harga yang rendah.
Menuju budaya modern sangat kongkret di era globalisasi sekarang. Menurut
Spengeler, kebudayaan mesti di hidupkan ke dalam sebuah kebudayaan yang berlangsung
dengan mengikuti modernitas maju yang didorong oleh ilmu pengetahuan yang terus-
menerus yang membuka kemungkinan lebih besar untuk menguasai alam. Ciri khas bagi
modernitas adalah dominasi nilai-nilai ilmu pengetahuan dan ekonomis terhadap nilai-nilai
yang ada. Ilmu pengetahuan dan perekonomian merupakan acuan dominan “kebudayaan
progresif” maksudnya adalah, yang pertama menempatkan manusia di rel budaya modern
yang tidak lagi statis, melainkan dinamis: keyakinan bahwa kekuasaan tertinggi terletak
pada akal budi, jadi bahwa klaim apa pun harus dibenarkan di depan pengadilan akal budi.

9|Page
Yang kedua, penemuan yang menjadi dasar perkembangan ilmu-ilmu alam dan teknik
bahwa hukum alam tidak berubah

o Komponen Budaya Modernitas

Masyarakat perkotaan adalah masyarakat kota yang tidak tertentu jumlah


penduduknya. Pengertian kota hanya terletak pada sifat serta ciri kehidupan yang
berbeda dengan masyarakat pedesaan. Berbicara budaya modernitas tidak terlepas dari
dorongan arus globalisasi yang sudah menyeluruh sampai ke ujung dunia. Dorongan
globalisasi tentunya menimbulkan kesenjangan ekonomi dan munculnya masyarakat kelas
yang berkuasa yang ingin menguasai kelas yang dibawah. Seringkali masyarakat kelas atas
yang memiliki pendapatan lebih besar ini lebih menikmati akses ekonomi dibandingkan
kelas bawah.
Hal ini dapat dilihat dari pembagian kelas atas Amerika hanya 14% populasainya,
kelompok ini memiliki gaya hidup dan intelektual. Sedangkan kelas menengah hanya 32%
populasinya dan mereka sebagai konsumen fashion. Disamping itu mereka memiliki
pendapatan berbeda-beda. Kelas pekerja yang populasinya 38% adalah masyarakat
keluarga yang sangat bergantung pada sanak keluarga untuk mendapatkan dukungan
ekonomi seperti nasihat untuk mendapatkan kerja dan pertolongan pada saat menghadapi
kesulitan. Penekanan pada ikatan keluarga hanyalah salah satu tanda dari seberapa jauh
keterbatasan dan perbedaan kelas pekerja secara sosial, psikologis dan geografis
dibandingkan dengan kelas menegah lainnya. Di hampir segala bidang, dunia para pekerja
kerah biru ini dicirikan oleh pandangan yang agak sempit. Kelompok ini tidak banyak
mengalami perubahan pada nilai dan perilaku walaupun ada peningkatan pendapatan pada
beberapa kasus tertentu.
Bagi mereka “berkejaran dengan waktu” fokusnya adalah pada hal-hal yang
bersifat mekanis dan rekreasional dan itu memudahkan dengan apa yang ingin mereka
capai. Kelas bawah populasinya 16 %, biasanya mereka lebih peka terhadap kebutuhan
prioritas mereka dibandingkan hanya pada keinginan. Dari tiga kelas diatas pada umunya
sudah masuk kedalam budaya modernitas yang perbedaanya hanya dari pendidikan, sosial
dan ekonomi mereka. Maka tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu indikator masyarakat

10 | P a g e
modernitas adalah sudah menyentuh yang namanya teknologi. Tetapi masih banyak
ditemukan ketidakadilan yang dihadapin masyarakat itu sendiri, maka timbul kecemburuan
sosial akibat ketidakadilan dari ekonomi itu sendiri.

o Kepemimpinan Dalam Manajemen Lintas Budaya

Penelitian mengenai Kepemimpinan cukup rumit. Dimana tidak terdapat


konsistensi dari definisi kepemimpinan itu sendiri, dan tidak ada penjelasan yang terang
tentang batasan dari konstruk kepemimpinan. Terlebih ketika faktor budaya lintas negara
dilibatkan dalam konsepsi tentang kepemimpinan. Hofstede (1998) menyatakan bahwa
budaya seringkali tidak diaplikasikan secara layak dalam penelitian, karena terlalu sedikit
justifikasi mengenai perbedaan budaya dan tidak ada model untuk mengidentifikasi
perbedaan apa yang harusnya diharapkan.
Lebih lanjut Drenth dan Den Hartog (1998) memberikan pertanyaan kritis
mengenai budaya dan organisasi yaitu
Pertama, apakah organisasi di negara yang berbeda mempunyai karakteristik
budaya yang secara konsisten berbeda, berbeda antar negara, dan konsisten dalam masing-
masing negara.
Kedua, apakah perbedaan ada karena perbedaan budaya, dan kesimpulan atas
pertanyaan tersebut akan ditentukan oleh kerangka teori dan desain yang baku mengenai
penelitian kepemimpinan antar-budaya.

 Kepemimpinan Sebagai Pola Hubungan Universal

Apakah kepemimpinan merupakan sesuatu yang memuat nilai-nilai


universal? Dalam hal ini Bass (1997) telah mengkonseptualisasi Universalitas
sebagai:

1. Variform functional universal.


Yang terjadi ketika hubungan antara dua variabel selalu ditemukan, tetapi
kekuatan hubungan berubah lintas budaya.

11 | P a g e
2. Systematic behavioural universal.
Dimana merupakan suatu prinsip atau theory yang menjelaskan hubungan
causal. Universalitas perilaku sistematis melibatkan teori yang mengklaim apakah
- Suatu penahapan dari perilaku adalah tidak bervariasi antar budaya, atau
- Struktur dan organisasi dari suatu perilaku atau cluster perilaku adalah
tetap antar budaya.

o Dimensi sosial budaya dan kepemimpinan

Salah satu pendekatan untuk studi budaya adalah melalui identifikasi dan
pengukuran dimensi budaya, dan beberapa tipologi orientasi nilai sosial budaya atau
dimensi budaya pada saat ini telah dikembangkan. Pada bagian ini, akan dijelaskan
mengenai beberapa penelitian dari berbagai peneliti mengenai dimensi budaya yang
mempunyai pengaruh terhadap konsep kepemimpinan.
Pandangan dari Hofstede akan menjadi acuan dalam mendiskusikan konsep budaya
antar negara ini. Penelitian Hofstade ini didasarkan atas riset yang telah dilakukannya
terhadap manajer dan karyawan IBM di lebih dari 40 negara. Hofstede dapat
menyimpulkan terdapat empat dimensi budaya (individualisme-kolektivisme,
maskulinitas-feminitas, penghindaran ketidakpastian dan jarak kekuasaan), sedangkan
pada penelitiannya dia menambahkan dimensi yang terakhir (orientasi masa depan).
Kerangka dimensi-dimensi budaya yang lain juga telah diusulkan oleh beberapa peneliti
yang lain semacam Schawrts (1999) dan Trompenaars dkk. (1997).
Untuk lebih lanjut memahami dimensi budaya dan pengaruhnya terhadap
kepemimpinan antar negara. Maka akan diuraikan beberapa hasil penelitian dan bukti-
bukti yang mendukung bahwa terdapat nilai yang berbeda antar budaya dimana pemimpin
berada.

1. Power Distance
Kepemimpinan melibatkan pengaruh yang tinggi, dan pada bagian dunia
manapun, peranan kepemimpinan diasosiasikan dengan kekuasaan dan status. Oleh

12 | P a g e
karena itu, cara dimana kekuasaan dan status dibagi dalam budaya sosial adalah
sangat relevan dengan peranan kepemimpinan. Hofstade (1980, 2001)
mendefinisikan power distance (PD) sebagai sejauh mana lingkungan sosial
menerima fakta bahwa kekuasaan dalam institusi dan organisasi didistribusikan
secara tidak merata. Dalam budaya dengan perbedaan yang besar dalam kekuasaan
antar individu, organisasi tampaknya akan secara tipikal mempunyai layers
yang lebih dan rantai komando dirasakan sangat penting.

2. Penghindaran Ketidakpastian
Penghindaran ketidakpastian (PK) merupakan dimensi lain yang
diidentifikasi Hofstade. PK merujuk pada tingkat dimana seorang anggota dalam
suatu lingkungan sosial merasa kurang nyaman dengan situasi yang
membingungkan (ambiguous) dan tidak pasti, dan kemudian mencari jalan untuk
menghindari hal tersebut. Hofstede (1999) mendefinisikan PK sebagai sejauh mana
suatu masyarakat merasa terancam dengan situasi percaya pada kebenaran yang
absolut dan mendapatkan suatu keahlian, akan memberikan karir yang lebih stabil,
hal tersebut menyebabkan peraturan-peraturan lebih stabil, dan menolak perilaku
dan ide-ide yang berlawanan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa PK mempunyai
dampak pada karakteristik yang diasosiasikan dengan kepemimpinan yang berhasil
dan pola karier seorang pemimpin akan tergantung pada setting dimana ia
berada. PK juga mempengaruhi harapan pemimpin terhadap bawahan. Dalam
situasi dengan PK yang tinggi, perencanaan dan persetujuan yang mendetail adalah
norma, dimana dalam konteks PK yang lebih rendah fleksibilitas dan inovasi lebih
mendominasi.

3. Kolektivitas dan Individualisme


Dimensi budaya yang lain adalah Individualisme Vs. Kolektivisme (IK).
Budaya dikarakteristikkan dengan individualisme ketika suatu masyarakat
melakukan segala sesuatu dengan mandiri, mencari sesuatu sesuai dengan
keinginan mereka sendiri dan mereka hanya dekat dengan keluarga dekat mereka.
Suatu kerangka sosial yang kuat dan sangat kohesif merupakan ciri dari

13 | P a g e
kolektivisme (Hofstede, 2001). Sedangkan Schawrts (1999) memandang realitas
tersebut sebagai suatu perbedaan dalam masyarakat mengenai terpisah
(autonomous) dan melekat (embedded) dalam suatu kelompok. Individu dalam
budaya autonomous menganggap dirinya sebagai entitas yang terpisah yang
menemukan makna hidup melalui pengalaman unik mereka sendiri. Sedangkan
embedded yang tinggi berarti bahwa individu dianggap sebagai bagian dari
kolektivitas dan menemukan makna dan arahan dalam hidup melalui partisipasi
dalam kelompok dan mengidentifikasinya dengan tujuan. Dalam hal ini organisasi
biasanya mengambil peran penuh akan tanggung jawab untuk para anggotanya
dalam seluruh aspek kehidupan, loyalitas dan identifikasi diharapkan dalam situasi
tersebut.
4. Maskulinitas dan Feminitas
Hofstede (1998, 2001) menjelaskan dimensi budaya yang lain, yang
dinamakan Maskulinitas Vs. Feminitas. Maskulinitas di deskripsikan sebagai nilai
dominan dalam sebuah komunitas yang menekankan pada assertiveness dan
menjadi tangguh, obsesi mendapatkan uang dan obyek-obyek material lain, dan
tidak terlalu memperhatikan orang lain, kualitas hidup, maupun kualitas hidup
orang lain. Dalam budaya feminin, nilai-nilai semacam hubungan sosial yang
hangat, kualitas hidup, dan perhatian terhadap kondisi orang lain yang lemah sangat
ditekankan.

o Tantangan Budaya dalam Kepemimpinan Lintas Budaya


Konsep budaya sangat kaya akan pengertian. Budaya selalu merujuk kepada
kelompok orang-orang atau masyarakat, dimana budaya tersebut mempengaruhi cara
berpikir, pandang dan perilaku sehari-hari seseorang. Suatu kelompok budaya berarti suatu
kelompok orang-orang yang secara bersama-sama memiliki norma, nilai ataupun
kepercayaan dan tradisi yang sama yang berbeda dari kelompok lain.
Budaya dipelajari, dimiliki dan disosialisasikan dari satu generasi ke generasi.
Budaya berciri konservatif, menolak untuk atau sulit berubah dan menginginkan
kelanjutan. Trompenaars (1994), seorang peneliti budaya dalam studi organisasi,
mengatakan bahwa “it is my belief that you can never understand other cultures. Sementara

14 | P a g e
itu Hofstede (1984) melakukan “ cross-cultural studies” dengan meneliti para karyawan
IBM pada 40 negara sebagai partisipan dalam meneliti “ international differences in work-
related values “ menggunakan definisi budaya sebagai cara berpikir dari kelompok
manusia yang membedakan anggota dari suatu kelompok terhadap kelompok yang lain,
dimana interaktif secara keseluruhan dari ciri-ciri umum mempengaruhi respon dari
kelompok manusia terhadap lingkungannya.
Budaya suatu masyarakat tercermin dalam hidup kelompok suatu masyarakat, yang
dapat diamati melalui manifestasinya, seperti pandangan terhadap waktu, keluarga,
kebiasaan berdagang (berbisnis) dan sebagainya. Haris dan Morgan (1987, dalam
Czinkota) menginventarisir elemen-elemen budaya antara lain: Bahasa, Kepercayaan,
Nilai dan Sikap, Perilaku dan Kebiasaan, Keindahan, Pendidikan dan Sosial institusi.
Konsep kepemimpinan telah diartikan dan digunakan dalam berbagai cara. Dalam
berbagai kajian, perilaku kepemimpinan diartikan sebagai perilaku individu dalam posisi
manajerial terhadap anggota dari suatu kelompok atau organisasi, jika individu tersebut
berupaya untuk mengarahkan aktivitas dari kelompok atau organisasi untuk mencapai
tujuan khusus dari organisasi tersebut (Bass1990: Yuki, 1994). Sementara itu
kepemimpinan secara lebih luas diartikan sebagai kemampuan mempengaruhi orang untuk
mengarahkan upaya mereka terhadap pencapaian tujuan organisasi yang disebut
memotivasi dan mempengaruhi pemikiran, sikap dan perilaku manusia. Oleh karena itu
kepemimpinan selalu melibatkan interaksi antara pemimpin dan para bawahan yang
mereka pimpindalam seluruh aspek pekerjaan yang telah ditentukanoleh organisasi.
Pendekatan kelompok budaya untuk melaksanakan produksi dan kegiatan- kegiatan
bisnis dari berbagai perusahaan dan jenis-jenis organisasi lainnya biasanya tercermin dari
prinsip-prinsip yang mendasari kelompok itu sendiri. Berbagai pertanyaan yang mendasar
antara lain: Bagaimana kekuasaan diorganisir ? Berdasarkan apa kekuasaan tersebut
diatur atau diorganisir ?.
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut sangat berbeda dalam budaya timur
dan barat atau secara lebih luas akan berbeda di setiap negara yang memiliki perbedaan
budaya. Bahkan diantara negara-negara barat sendiri kondisi ini juga memiliki perbedaan-
perbedaan mendasar, misalkan: perusahaan Perancis dan Swedia memiliki perbedaan yang
sangat kecil, sementara German dan Australia memiliki perbedaan yang sangat ekstrim

15 | P a g e
dalam dasar pandangan mereka terhadap hubungan kekuasaan antara pemimpin dengan
bawahan mereka.
Berdasarkan kepada peraturan, organisasi dibentuk oleh pemimpin, baik secara
otokratis, individual maupun kolektif yang menggunakan kekuasaan mereka untuk dua hal,
yaitu: mengatur sistem dari seluruh fungsi-fungsi yang ada dan mengarahkan kepada
pencapaian tujuan. Pengaturan dari seluruh fungsi-fungsi yang ada didasarkan kepada
status, hirarkhi, gaya manajemen, motivasi pekerja dan kemampuan manajemen untuk
membentuknya.
Sedangkan orientasi kepada tujuan dari kepemimpinan diarahkan untuk pemecahan
masalah, pengembangan strategi, membentuk etika bisnis yang berlaku, menetapkan
tingkat produktivit mendistribusikan berbagai tugas, dan menentukan berbagai batas
waktu pekerjaan (deadlines). Terdapat tiga tipe manajer jika dihubungkan dengan kondisi
suatu budaya, yaitu:
1. Manajer dalam monoactive culture
Memperlihatkan dan mengutamakan kemampuan teknis, senantiasa
berdasarkan fakta dan logika dan tidak berdasarkan perasaan dan emosi. Mereka
memiliki orientasi dan berfokus kepada perhatian mereka terhadap bawahan dalam
tugas- tugas dan hasil-hasil yang khusus. Mereka juga sangat ketat terhadap
program dan menuntut bawahan untuk bekerja sesuai dengan rencana yang telah
ditetapkan.
2. Manajer dalam polyactive culture
Jauh lebih terbuka, mendasarkan pada kemampuan persuasif,
menggunakan kekuatan karakter mereka sebagai insentif. Mereka sering
menunjukkan komunikasi secara terbuka dengan orang dan mau memberikan
waktunya kepada para bawahan mereka untuk mengembangkan hubungan yang
lebih baik.
3. Manajer dalam reactive culture
Berorientasi kepada bawahan, tetapi mereka mengelola dengan
mempergunakan peralatan ilmu pengetahuan, sabar dan menggunakan sistem
pengawasan yang tenang. Mereka menunjukkan kesederhanaan dan kesopanan, di
samping pengenalan terhadap superior mereka. Mereka juga berupaya untuk

16 | P a g e
menciptakan suatu kondisi yang harmonis bagi kerja tim mereka, menggunakan
bahasa tubuh secara efektif untuk menegaskan komunikasi verbal secara akurat.
Mereka menguasai kondisi perusahaan secara sempurna, telah memiliki
pengalaman kerja yang lama dengan berbagai jenis pekerjaan. Hal tersebut
akan mampu memberikan keseimbangan dalam kemampuan untuk bereaksi
terhadap berbagai pengaruh perubahan lingkungan.

Secara tradisional, visi perusahaan terhadap kepemimpinan telah tercermin dari nilai-nilai
dan tujuan-tujuan masyarakat dimana organisasi tersebut berada. Saat ini dengan banyaknya
perusahaan multinasional atau perusahaan global , maka visi dari perusahaan telah berubah
menjadi visi yang bersifat lintas negara (transnasional) , yang harus direalisasikan melalui berbagai
kebijakan-kebijakan perusahaan terhadap seluruh kegiatan operasi mereka. Sebagai konsekuensi
dari pesatnya pertumbuhan perusahaan- perusahaan yang memiliki operasi internasional, maka
penugasan luar negeri bagi seorang manajer telah menjadi bahagian yang penting dari manajemen
karir mereka.
Kepemimpinan yang diterapkan dalam situasi percampuran budaya (Cross - cultural
leadership merupakan suatu bentuk interaksi kepemimpinan antara manajer dengan para
bawahan dengan latar belakang budaya yang berbeda. Anggapan dasar yang menyebabkan
kepemimpinan lintas budaya berbeda dengan kepemimpinan tradisional adalah pengaruh dari
budaya terhadap berbagai harapan sehubungan dengan interaksi manajer dengan para
bawahannya.
Akibat dari perbedaan budaya diantara berbagai negara, maka sering terjadi kesalahan
dalam mengartikan atau mempersepsikan sikap dan perilaku orang yang berasal dari budaya lain.
Permasalahan utama akan muncul sehubungan dengan asumsi bahwa apa yang dianggap benar
dalam budaya sendiri juga dianggap benar dalam budaya lain (Phatak, 1983).
Selain itu orang selalu mengasumsikan bahwa orang lain memiliki lebih banyak kesamaan
dengan mereka dari pada yang sebenarnya, yang sering disebut “ projected similarity “ (Adler,
1986). Berbagai kesalahan persepsi tersebut dapat menyebabkan konflik interpersonal dan
perilaku keorganisasian yang tidak cocok (Ting-Toomey, 1985). Oleh karena itu para manajer
seharusnya tidak membawa seluruhpola pikir mereka kedalam situasi tertentu, sebaliknya lebih

17 | P a g e
baik mereka mencoba masukan-masukan baru kedalam pola pikir budaya secara keseluruhan
(Casmir, 1985).
Antisipasi Kepemimpinan Lintas Budaya. Beberapa peneliti menyatakan bahwa teori- teori
manajemen Amerika telah mengaplikasikan secara luas penugasan manajer keluar negeri,
misalnya penugasan di Republik Rakyat Cina dan di Yogoslavia. Bagaimanapun sebagian besar
manajer percaya bahwa mereka harus melakukan adaptasi terhadap gaya kepemimpinan mereka
terhadap budaya yang dianut para karyawan setempat. Oleh karenanya, mereka percaya
bahwa kepemimpinan tergantung terhadap situasi budaya dimana mereka berada.

18 | P a g e
V. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dijabarkan maka dapat diambil kesimpulan bahwa
penerapan kemampuan kepemimpinan lintas budaya (Cross-Cultural Competence) bagi para
manajer bisnis yang beroperasi telah menjadi keharusan yang tidak dapat ditawar lagi karena
pengaruh dari globalisasi yang sangat luas dan melanda seluruh aspek dalam kehidupan
masyarakat maupun organisasi . Berkaitan dengan hal itu maka diperlukan adanta komitmen bagi
manajer yang dipersiapkan untuk memimpin maupun ditempatkan di luar negeri yang memiliki
budaya berbeda dengan daerah asalnya. Yang pada akhirnya keberhasilan dari hal tersebut
tergantung kepada daya adaptasi dari seorang manajer yang terhadap budaya lokal yang dapat
tercermin dari keserasian dan keharmonisan interaksi dalam organisasi maupun perusahaan untuk
mewujudkan tujuannya.

Untuk itu dalam menangani tantangan dalam kepemimpinan yang berbeda budaya dapat
dijadikan strategi untuk mempengaruhi dorongan perilaku organisasi yang menjadi ukuran
dalam budaya modernitas menuju politik bisnis antar budaya lainnya. Selain itu peran
komunikasi yang baik dan benar sesuai dengan budaya lokal masing masing wilayah maupun
negara mendorong semakin mudahnya untuk bernegosiasi dengan pihak pihak yang
berkepentingan tanpa menimbulkan kesalahan persepsi.

19 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai