Anda di halaman 1dari 18

Imunisasi Pada Anak

A. Pengertian

Imunisasi berasal dari kata imun, kebal atau resisten. Anak diimunisasi, berarti diberikan
kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Anak kebal atau resisten terhadap suatu penyakit
tetapi belum tentu kebal terhadap penyakit yang lain. Imunisasi adalah suatu upaya untuk
menimbulkan atau meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit,
sehingga apabila suatu saat terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya
mengalami sakit ringan (Kemenkes, 2014). Tujuan umum peberian imunisasi adalah
menurunkan angka kesakitan, kematian dan kecacatan akibat Penyakit yang Dapat Dicegah
dengan Imunisasi (PD3I) (Kemenkes, 2014).

B. Jenis-Jenis Penyakit yang Dapat di Cegah dengan Imunisasi


C. Jenis Imunisasi

1. Imunisasi Wajib

Imunisasi wajib merupakan imunisasi yang diwajibkan oleh pemerintah untuk


seseorang sesuai dengan kebutuhannya dalam rangka melindungi yang bersangkutan dan
masyarakat sekitarnya dari penyakit menular tertentu. Imunisasi wajib terdiri atas imunisasi
rutin, imunisasi tambahan, dan imunisasi khusus.

• Imunisasi Rutin

Imunisasi rutin merupakan kegiatan imunisasi yang dilaksanakan secara terus-


menerus sesuai jadwal. Imunisasi rutin terdiri atas imunisasi dasar dan imunisasi lanjutan.

- Imunisasi Dasar

Imunisasi dasar meliputi vaksin BCG, vaksin DPT-HB-HIB, vaksin Hepatitis B,


vaksin polio oral (Oral Polio Vaccine/OPV), vaksin Inactive Polio Vaccine /IPV, dan vaksin
campak,

- Imunisasi Lanjutan

Imunisasi lanjutan merupakan imunisasi ulangan untuk mempertahankan tingkat


kekebalan atau untuk memperpanjang masa perlindungan. Imunisasi lanjutan diberikan
kepada anak usia bawah tiga tahun (batita), anak usia sekolah dasar, dan wanita usia subur.
Imunisasi lanjutan meliputi vaksin DT, vaksin Td, dan vaksin TT.
• Imunisasi Tambahan

Imunisasi tambahan diberikan kepada kelompok umur tertentu yang paling berisiko
terkena penyakit sesuai kajian epidemiologis pada periode waktu tertentu. Yang termasuk
dalam kegiatan imunisasi tambahan adalah Backlog fighting, Crash program, PIN (Pekan
Imunisasi Nasional), Sub-PIN, Catch up Campaign campak dan Imunisasi dalam Penanganan
KLB (Outbreak Response Immunization/ORI).

• Imunisasi Khusus

Imunisasi khusus merupakan kegiatan imunisasi yang dilaksanakan untuk melindungi


masyarakat terhadap penyakit tertentu pada situasi tertentu. Situasi tertentu antara lain
persiapan keberangkatan calon jemaah haji atau umrah, persiapan perjalanan menuju negara
endemis penyakit tertentu dan kondisi kejadian luar biasa. Jenis imunisasi khusus, antara lain
terdiri atas Imunisasi Meningitis Meningokokus, Imunisasi Demam Kuning, dan Imunisasi
Anti-Rabies.

• Imunisasi Pilihan

Imunisasi pilihan merupakan imunisasi yang dapat diberikan kepada seseorang sesuai
dengan kebutuhannya dalam rangka melindungi yang bersangkutan dari penyakit menular
tertentu, yaitu vaksin MMR, Hib, Tifoid, Varisela, Hepatitis A, Influenza, Pneumokokus,
Rotavirus, Japanese Ensephalitis, dan HPV.
Analisis Masalah

7c. Pemeriksaan penunjang apa saja yang bisa dilakukan pada kasus ini? Dan apakah
diperlukan ?

a. Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi
dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam. Pemeriksaan
laboratorium yang dapat dikerjakan atas indikasi misalnya darah perifer, elektrolit,
dan gula darah.
b. Pungsi Lumbal. Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Berdasarkan bukti-bukti terbaru, saat ini
pemeriksaan pungsi lumbal tidak dilakukan secara rutin pada anak berusia <12 bulan
yang mengalami kejang demam sederhana dengan keadaan umum baik. Indikasi
pungsi lumbal:
1. Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal
2. Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan klinis
3. Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang sebelumnya
telah mendapat antibiotik dan pemberian antibiotic tersebut dapat
mengaburkan tanda dan gejala meningitis
c. EEG. Indikasi pemeriksaan EEG:Pemeriksaan EEG tidak diperlukan untuk kejang
demam, kecuali apabila bangkitan bersifat fokal. Keterangan : EEG hanya dilakukan
pada kejang fokal untuk menentukan adanya fokus kejang di otak yang membutuhkan
evaluasi lebih lanjut.
d. Pencitraan. Pemeriksaan neuroimaging (CT scan atau MRI kepala) tidak rutin
dilakukan pada anak dengan kejang demam sederhana. Pemeriksaan tersebut
dilakukan bila terdapat indikasi, seperti kelainan neurologis fokal yang menetap,
misalnya hemiparesis atau paresis nervus kranialis.

7d. Bagaimana prosedur pemeriksaan neurologis pada kasus?

1. Nervi Kranialis
Pemeriksaan nervi craniales dapat dilakukan dengan cara yang berbeda tiap
nervusnya. Langkah-langkah pemeriksaannya adalah sebagai berikut.
a. Nervus olfactorius
Pemeriksaan untuk nervus olfactorius dilakukan terutama dengan
mengevaluasi fungsi penghidu. Pasien akan diminta untuk mengidentifikasi bau-
bau tertentu seperti sabun atau kopi yang disuguhkan ke masing-masing lubang
hidung, sembari lubang hidung sebelahnya ditutup. 
b. Nervus opticus
Berdasarkan artikel oleh George Newman yang berjudul “How to Assess
the Cranial Nerves” (2020),  pemeriksaan nervus opticus dilakukan dengan
berbagai pemeriksaan visus / penglihatan. Salah satunya adalah menggunakan
Snellen chart untuk memeriksa jarang pandang jauh atau handheld chart untuk
jarak pandang dekat. Tiap mata diperiksa secara individual dengan mata
sebelahnya ditutup. Selain itu persepsi warna juga diperiksa menggunakan
Ishihara atau Hardy-Rand-Ritter plate. Untuk lapangan pandang diperiksa secara
langsung dengan konfrontasi pada ke 4 kuadran penglihatan. Selain itu
pemeriksaan respon pupil dan funduskopi juga dilakukan. 
c. Nervus oculomotorius, nervus trochlearis, dan nervus abducens
Pemeriksaan untuk ketiga saraf ini dilakukan dengan mengobservasi
kesimetrisan gerak mata, posisi bola mata, kesimetrisan serta posisi kelopak mata,
dan kedutan kelopak mata. Gerakan ekstraokular yang dikontrol oleh saraf-saraf
ini diperiksa dengan meminta pasien mengikuti target bergerak (jari pemeriksa,
penlight) ke 4 kuadran dan menuju ke ujung hidung. Tes ini dapat memeriksa
apakah terdapat nistagmus atau palsi pada otot okuler. Anisokoria atau ukuran
pupil yang berbeda perlu dicatat pada ruangan yang redup. Refleks cahaya pupil
juga diperiksa. 

d. Nervus trigeminalis
Pemeriksaan nervus ini dilakukan dengan menggunakan peniti dan
diperiksa sensasi wajah serta menyentuhkan kapas ke bagian bawah atau lateral
kornea untuk mengevaluasi refleks kornea. Jika sensasi wajah hilang, maka
periksa sudut rahang. Kelainan pada daerah tersebut (diinervasi oleh saraf spinal
C2) mengindikasikan deficit nervus trigeminus. Kedipan mata yang lemah akibat
kelemahan wajah juga perlu dibedakan dengan depresi atau hilangnya sensasi
kornea. Pasien dengan kelemahan wajah merasakan kapas secara normal pada
kedua sisi, walaupun kedipan mata berkurang. 
Gambar Pemeriksaan Nervus trigeminalis
(MSD Manual, 2020)
e. Nervus facialis
Menurut artikel oleh George Newman yang berjudul “How to Assess the
Cranial Nerves” (2020), fungsi nervus facialis diperiksa dengan memeriksa ada
atau tidaknya kelemahan hemifasialis. Biasanya dapat ditemukan asimetris pada
gerakan wajah saat berbicara, terutama ketika pasien senyum. Lipatan nasolabial
depresi serta fissura palpebralis melebar. Jika pasien hanya memiliki kelemahan
wajah bagian bawah (gerakan alis serta penutupan kelopak mata normal), dapat
dikerucutkan bahwa etiologi kelainan saraf kranial ke-7 pada pusat dan bukan
perifer. 
Pengecapan pada 2/3 anterior lidah juga dapat diperiksa dengan cairan rasa
manis, pahit, garam, atau hambar yang dioleskan pada satu sisi lidah
menggunakan kapas. Hiperakusis yang menandakan kelemahan otot stapedius
dapat dideteksi dengan garpu tala. 
f. Nervus vestibulocochlearis
Pemeriksaan saraf ini dilakukan dengan pemeriksaan pendengaran
menggunakan garpu tala serta pemeriksaan fungsi vestibular yang dapat diperiksa
dengan mendeteksi nistagmus pada pasien. 
g. Nervus glossopharyngeus dan nervus vagus
Kedua saraf ini diperiksa secara bersamaan. Pemeriksaan dapat dilakukan
dengan mengobservasi palatum pasien, apakah mengangkat bersamaan atau tidak
ketika pasien berkata “ah”. Selain itu tongue blade juga dapat digunakan untuk
menyentuh salah satu sisi faring posterior. Refleks muntah yang muncul dicatat
kesimetrisannya.
h. Nervus accessories
Saraf ini dievaluasi dengan memeriksa otot yang dipersarafinya. Untuk
musculus sternocleidomastoideus, pasien diminta untuk menoleh ke arah yang
berlawanan dari tahanan. Sedangkan untuk musculus trapezius superior, pasien
diminta untuk mengangkat bahu melawan tahanan yang diberikan oleh pemeriksa
i. Nervus hypoglossus
Nervus craniales ke-12 ini diperiksa dengan meminta pasien untuk
menjulurkan lidah dan mengidentifikasi apakah terdapat atrofi, fasikulasi, atau
kelemahan (deviasi ke arah lesi). 
2.  Pemeriksaan Refleks Fisiologis dan Refleks Patologis (Refleks Tendon)
Refleks Fisiologis
Bayi dengan lesi susunan saraf pusat memperlihatkan refleks fisiologis yang
meningkat. Bayi dengan lesi otak pada awalnya dapat menunjukkan hipotonia
menyeluruh, sehingga sulit menentukan apakah gangguan disebabkan lesi upper
motor neuron atau lower motor neuron. Refleks fisiologis meningkat pada kelainan
tipe sentral (Upper motor neuron), sedangkan refleks fisiologis menurun pada
kelainan tipe perifer (Lower motor neuron). Jangan melakukan pemeriksaan terlalu
keras, karena rangsang yang ringan sekalipun telah dapat membangkitkan refleks
fisiologis. Umumnya anak usia di atas 4-5 tahun dapat memberikan hasil yang dapat
dipercaya (Mirawati, Diah Kurnia et al, 2012).

a. Refleks Biceps
 Pasien dalam keadaan duduk dan relaks.
 Lengan pasien harus relaks dan sedikit ditekuk/fleksi pada siku dengan
telapak tangan mengarah ke bawah.
 Letakkan siku pasien pada lengan/tangan pemeriksa.
 Letakkan ibu jari pemeriksa untuk menekan tendon biceps pasien.
 Dengan menggunakan palu refleks, pukul ibu jari anda (yang menekan
tendon tadi) untuk memunculkan refleks biceps.
 Reaksi pertama adalah kontraksi dari otot biceps dan kemudian fleksi pada
siku.
 Biceps adalah otot supinator untuk lengan bawah, hal tersebut akan
menimbulkan gerakan supinasi.
Jika refleks ini meningkat, daerah refleks akan meluas dan refleks ini akan
muncul dengan cara memukul klavikula; akan terjadi fleksi pada
pergelangan dan jari-jari tangan; dan juga adduksi dari ibu jari.
 M. Biceps brachii diinervasi oleh n. musculocutaneus (C5-C6).

Gambar 13. Pemeriksaan Refleks Biceps


Sumber : (Mirawati, Diah Kurnia et al, 2012).

b. Refleks triceps
Cara pemeriksaan Refleks Triceps antara lain (Mirawati, Diah Kurnia et al,
2012):
 Pasien diminta untuk duduk dalam posisi yang relaks.
 Letakkan lengan pasien pada lengan/tangan pemeriksa.
 Posisi pasien sama seperti saat pemeriksaan refleks biceps.
 Pasien diminta untuk me-relaks-kan lengannya.
 Saat lengan pasien sudah benar-benar relaks (dengan cara palpasi otot
triceps : tidak tegang), pukul tendon triceps yang melalui fossa olecranii.
 Reaksinya adalah kontraksi otot triceps dan sedikit terhentak. Reaksi ini
dapat terlihat ataupun dirasakan oleh lengan pemeriksa yang menahan
lengan pasien.
 M. Triceps brachii diinervasi oleh n. Radialis (C6-C8). Proses refleks
melalui C7.
Gambar 14. Pemeriksaan Refleks Triceps
Sumber : (Mirawati, Diah Kurnia et al, 2012).
c. Refleks Patella/Quadriceps
Cara pemeriksaan reflek patella antara lain, (Mirawati, Diah Kurnia et al, 2012) :
 Pasien duduk dengan posisi tungkai menggantung.
 Lakukan palpasi pada sisi kanan dan sisi kiri tendon patella.
 Tahan daerah distal paha dengan menggunakan satu tangan, sedangkan
tangan yang lain memukul tendon patella untuk memunculkan refleks
patella.
 Tangan pemeriksa yang menahan bagian distal paha akan merasakan
kontraksi otot quadriceps dan pemeriksa mungkin dapat melihat gerakan
tiba-tiba dari tungkai bagian bawah.
 Cara lain untuk memeriksa (Mirawati, Diah Kurnia et al, 2012) :
 Pasien diminta untuk menggenggam tangan mereka sendiri.
 Pukul tendon patella saat pasien saling menarik genggaman tangan mereka
 Metode ini disebut “reinforcement”
 Jika pasien tidak mampu untuk duduk, dianjurkan posisi supinasi.

d. Refleks Achilles
Cara pemeriksaan refleks achiles sebagai berikut (Mirawati, Diah
Kurnia et al, 2012). :
 Pasien diminta untuk duduk dengan satu tungkai menggantung
(gambar 4), atau berbaring dengan posisi supine (gambar 5), atau
berdiri dengan bertumpu pada lutut dimana bagian bawah tungkai dan
kaki berada di luar meja pemeriksaan.
 Tegangkan tendon Achilles dengan cara menahan kaki di posisi
dorsofleksi.
 Pukul tendon Achilles dengan ringan dan cepat untuk memunculkan
refleks Achilles, yaitu fleksi kaki yang tiba-tiba.
 “Reinforcement” juga dapat dilakukan pada pemeriksaan ini.
Gambar 17. Pemeriksaan Refleks Achiles Dalam Kondisi Berbaring
Sumber : (Mirawati, Diah Kurnia et al, 2012).

Refleks Patologis

Refleks patologis berupa refleks Babinsky kurang reliable untuk diperiksa


pada masa bayi, karena refleks ini dapat ditemukan pada bayi normal sampai berumur
1,5-2 tahun. Refleks patologis disesuaikan dengan umur bayi atau anak (Mirawati,
Diah Kurnia et al, 2012).

1. Pemeriksaan Klonus
Klonus Kaki 
Tungkai pasien dalam keadaan santai. Tangan kiri pemeriksa
diletakkan di bawah lutut pasien, kemudian kaki pasien diangkat sedikit.
Tungkai bawah pasien sedikit fleksi pada lutut. Tangan kanan pemeriksa
secara tiba-tiba melakukan dorsofleksi pada kaki penderita. Posisi dorsofleksi
ini dipertahankan untuk beberapa saat. Klonus kaki positif jika timbul
kontraksi secara berulang-ulang dari m. gastrocnemius (Mirawati, Diah Kurnia
et al, 2012). 

Klonus Paha 

Tungkai pasien dalan kedudukan lurus dan santai. Patella pasien


dipegang oleh pemeriksa di antara jempol dan telunjuk tangan kiri. Kemudian
secara tiba-tiba ditekan patella ke arah distal. Klonus paha positif jika timbul
kontraksi secara berulang-ulang dari m. quadriseps femoris (Mirawati, Diah
Kurnia et al, 2012).
Gambat 19. Cara Membangkitkan Klonus Paha dan Kaki

Sumber : (Mirawati, Diah Kurnia et al, 2012).

3. PEMERIKSAAN TANDA MENINGEAL

Prosedur Pemeriksaan

a. Kaku Kuduk (Rigiditas Nuchae) 


Cara pemeriksaan kaku kuduk (Mirawati, Diah Kurnia et al, 2012). :
 Penderita berbaring terlentang di atas tempat tidur. 
 Secara pasif kepala penderita dilakukan fleksi dan ekstensi. 
 Kaku kuduk positif jika sewaktu dilakukan gerakan, dagu penderita
tidak dapat menyentuh dua jari yang diletakkan di incisura jugularis,
terdapat suatu tahanan.

Catatan : Pada pasien meningitis akan didapatkan kekakuan atau tahanan


pada kuduk bila difleksikan dan diekstensikan.

b. Tanda Brudzinski I 
Cara memeriksa tanda Brudzinski I (Mirawati, Diah Kurnia et al, 2012). :
 Pasien berbaring terlentang.
 Tangan kiri pemeriksa diletakkan di bawah kepala pasien. 
 Kemudian dilakukan gerakan fleksi pada kepala pasien dengan cepat,
gerakan fleksi ini dilakukan semaksimal mungkin. 
 Tanda Brudzinski positif jika sewaktu dilakukan gerakan fleksi kepala
pasien timbul fleksi involunter pada kedua tungkai.

Catatan : Gerakan fleksi bilateral di sendi lutut dan panggul yang timbul
secara reflektorik akibat difleksikannya kepala pasien ke depan sampai
menyentuh dada.

c. Tanda Brudzinski II
Cara memeriksa tanda Brudzinski II (Mirawati, Diah Kurnia et al, 2012). :
 Pasien berbaring terlentang. 
 Tungkai bawah pasien dilakukan fleksi secara pasif pada sendi
panggul dan sendi lutut (seperti Tanda Kernig).
 Tanda Brudzinski II positif jika sewaktu dilakukan gerakan di atas
tadi, tungkai yang kontralateral secara involunter ikut fleksi.

Catatan : Tanda tungkai kontralateral sebagai tanda perangsangan


meningeal, yaitu gerakan fleksi di sendi panggul dengan tungkai pada
posisi lurus disendi lutut akan membangkitkan secara reflektorik gerakan
fleksi sendi lutut dan panggul kontralateral.

d. Tanda Kernig 
Cara pemeriksaan tanda kernig, (Mirawati, Diah Kurnia et al, 2012) :
 Pasien berbaring terlentang. 
 Pemeriksa melakukan fleksi pada sendi panggul dan sendi lutut dari
pasien. 
 Kemudian dilakukan ekstensi pada sendi lutut. 
 Tanda Kernig positif jika pada waktu dilakukan ekstensi pada sendi
lutut < 135o, timbul rasa nyeri, sehingga ekstensi sendi lutut tidak bisa
maksimal.

Catatan : Adanya keterbatasan ekstensi pasif sendi lutut pada pasien


meningitis dalam posisi duduk maupun berbaring.

8a. Misalkan Anda sebagai dokter, ditanyakan apakah perlu elektroenselografi dan CT scan
pada pasien ini, apa yang akan Anda jawab?

Tidak perlu. Hal ini dikarenakan pada EEG untuk melakukannya ada indikasi kejang fokal
atau kejang pertama di usia>5 tahun, sedangkan berdasarkan kasus pasien tidak mengalami
kejang fokal dan mengalami kejang di usia 3 tahun. Sedangkan untuk melakuka CT scan
ataupun pencitraan harus ada indikasi kelainan neurologis, yang mana pada pasien ini
pemeriksaan neurologisnya didapatkan hasil normal.

Daftar Pustaka
http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-content/uploads/2017/10/03Buku-Ajar-
Imunisasi-06-10-2015-small.pdf

https://pusdatin.kemkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin/infodatin-
imunisasi.pdf

Anda mungkin juga menyukai