Anda di halaman 1dari 10

1. a.

Faktor Internal Perubahan Sosial Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari
masyarakat itu sendiri. 1. Perubahan Jumlah Penduduk Jumlah penduduk yang bertambah
ataupun berkurang pada suatu wilayah akan menyebabkan terjadinya perubahan sosial baik
di daerah tujuan maupun di daerah yang ditinggalkan. Bertambahnya penduduk pada suatu
daerah akan mengakibatkan perubahan pada struktur masyarakat, khususnya lembaga
kemasyarakatan. Berkurangnya penduduk sebagai akibat urbanisasi menyebabkan
terjadinya kekosongan pada daerah yang ditinggalkan. Sehingga mendorong perubahan
pada sistem pembagian kerja, stratifikasi sosial, pola pekerjaan, perekonomian, serta sistem
lainnya. Contohnya adalah berpindahnya petani ke kota besar yang akan menyebabkan
tidak berfungsinya lahan pertanian. Tidak berfungsinya lahan pertanian akan memberikan
dampak pada pola pembagian kerja yang akan mendorong perubahan pada sistem
perekonomian secara keseluruhan. 2. Penemuan Baru (Inovasi) Inovasi merupakan tanda
awal dari terjadinya suatu perubahan. Penemuan baru terjadi dengan dua tahapan
penemuan, yaitu discovery dan invention. Discovery merupakan penemuan baru dari suatu
unsur kebudayaan baru, baik berupa alat maupun ide baru yang diciptakan. Sedangkan
invention merupakan upaya untuk menghasilkan suatu unsur kebudayaan lama yang telah
ada dalam masyarakat. Contoh dari inovasi adalah penemuan motor gas yang dilanjutkan
dengan ditemukannya mobil. 3. Konflik Dalam Masyarakat Konflik atau pertentangan
dalam masyarakat dapat mendorong terjadinya perubahan sosial budaya, konflik dapat
menyebabkan hilangnya banyak nyawa, pengungsian, serta situasi sosial politik yang
mencekam. Contoh dari konflik dalam masyarakat adalah konflik di Pontianak, Ambon,
serta Poso. 4. Pemberontakan Dalam Masyarakat (Revolusi) Pemberontakan terjadi karena
adanya ketidakpuasan sebagai masyarakat. Ketidakpuasan ini terjadi pada sistem
kekuasaan yang dianggap tidak cocok sehingga mendorong keluarnya sistem dan sistem
kekuasaan yang berbeda. Contoh revolusi adalah revolusi Mei tahun 1998.

Faktor Eksternal Perubahan Sosial Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari
luar masyarakat. 1. Lingkungan Alam yang Berubah Terjadinya bencana gempa bumi,
gunung meletus, tsunami serta bencana lainnya akan memicu munculnya perubahan sosial
budaya pada masyarakat. Contoh dari lingkungan alam yang berubah adalah banjir di
Jakarta pada tahun 2008 yang membuat masyarakat harus mengungsi dan membuat mereka
harus beradaptasi dengan keadaan yang bau. 2. Peperangan Peperangan dapat
menyebabkan masyarakat menderita, ketakutan, dan cemas. Negara yang kalah peperangan
harus menerima kebudayaan negara yang menang sehingga struktur masyarakat akan
berubah. Contoh peperangan yang pernah terjadi adalah peperangan di Perang Dunia II
seperti Jerman dan Jepang. 3. Pengaruh Kebudayaan Masyarakat Lain Hubungan antara
dua masyarakat yang berbeda akan saling mempengaruhi kehidupan antar masyarakat.
Contohnya adalah kehidupan sosial pasangan yang berbeda kewarganegaraan yang akan
memunculkan gaya hidup, perilaku, serta cara pandang yang berbeda.

b. Perubahan sosial merujuk pada perubahan lembaga kemasyarakatan di dalam suatu


masyarakat yang berpengaruh pada sistem sosialnya. Perubahan ini mencakup nilai-nilai,
sikap, dan pola perilaku. Pada masa pandemi covid-19, banyak sekali terjadinya perubahan-
perubahan yang dialami masyarakat.
Perubahan ini mencakup perilaku dalam berinteraksi, perilaku dalam pendidikan, perilaku
hidup sehat, perilaku menggunakan media sosial, perilaku kerja, perilaku sosial
keagamaan, perilaku konsumtif, dan perilaku menggunakan teknologi.

Banyak perubahan yang dialami masyarakat diantaranya yaitu pada hari-hari besar seperti
hari raya, masyarakat yang biasanya bepergian untuk mudik dan berkumpul dengan
keluarganya akibat pandemi covid-19 ini masyarakat dihimbau untuk tidak saling
berkunjung.

Para pelajar yang biasanya sekolah namun dengan adanya covid-19 ini harus dikeluarkan
dan diganti dengan sekolah online. Hal ini menyebabkan anak-anak jadi sering bermain
gadget dan proses pembelajarannya pun kurang efektif Selanjutnya yaitu beribadah,
masyarakat dihimbau untuk beribadah dirumah dan tidak pergi ke rumah ibadah, hal ini
bertujuan agar masyarakat tidak berkumpul satu sama lain. dampak yang sangat terasa yaitu
tingkat kriminalitas umum di beberapa daerah mengalami peningkatan signifikan, yang
disebabkan oleh situasi pandemi yang melumpuhkan ekonomi. Hal itu terlihat dari laporan
aparat daerah, kriminalitas yang terjadi kebanyakan dengan motif pencurian.
akibat dari pandemi ini adalah gejolak dan perlambatan ekonomi nasional secara masif
sehingga berpotensi mengakibatkan krisis ekonomi yang serius.
dan perubahan pada sistem atau konsep ekonomi baru yang dikenal New Normal Economy,
seperti The Great Depression yang terjadi pada tahun 1930 di Amerika. Konsep ekonomi
baru yang lahir karena terjadinya krisis yang besar,”
Berbeda dari krisis-krisis ekonomi sebelumnya krisis karena pandemi ini yang terkena
dampak besar adalah usaha mikro. Dibutuhkan insentif lanjutan pada kekuatan utama
ekonomi nasional untuk pemulihan ekonomi di usaha mikro, pariwisata dan pangan. Selain
itu dibutuhkan juga penguatan fiskal sebagai syarat mitigasi dan kebijakan moneter lebih
longgar dalam bentuk relaksasi kredit dan pembiayaan kepada pelaku usaha di sektor
ekonomi utama dan mikro.

2. a. Saat ini masih banyak orangtua yang memberikan kesempatan kepada anak-anaknya
untuk mengendarai sepeda motor maupun mobil. Sadar atau tidak, ternyata anak-anak kecil
yang membawa kendaraan bermotor telah melakukan tindakan kejahatan. jika anak-anak
di bawah umur mengendarai tanpa kejadian, maka bisa tilang. Tetapi jika anak-anak di
bawah umur mengendarai kemudian menabrak orang, lalu orang itu mati, anak-anak di
bawah umur tersebut bisa kena pidana, tidak hanya 359 KUHP tentang pembunuhan
karena kealpaan, tetapi juga mungkin 338 KUHP karena unsur kesengajaan. Untuk kasus
anak-anak di bawah umur yang sudah mengendarai kendaraan bermotor dan menyebabkan
kecelakaan hingga timbul korban jiwa, mereka bisa ditindak dengan pedoman pasal 338
KUHP yakni kasus pembunuhan sengaja dengan sadar kemungkinan. 1 Orang tua
seharusnya memberikan kesadaran hukum kepada anak sejak kecil. Orang tua atau
siapapun harus mendapat hukuman terkait dengan membuat jiwa anak dalam bahaya,
termasuk mengendarai kendaraan bermotor di jalanan tanpa usia yang cukup secara
perundang-undangan.2 Seringkali dijumpai permasalahan yang berkaitan dengan
pelanggaran hukum, mulai dari yang ringan hingga yang berat. Pelanggaran ringan yang
kerap terjadi dalam permasalahan lalu lintas adalah seperti tidak memakai helm,
menerobos lampu merah, tidak memiliki SIM atau STNK, tidak menghidupkan lampu pada
siang hari, dan berboncengan tiga orang dianggap sudah membudaya dikalangan
masyarakat dan anak-anak sekolah. Pelanggaran lalu lintas seperti itu dianggap sudah
menjadi kebiasaan bagi masyarakat pengguna jalan, sehingga setiap dilakukan operasi.
tertib lalu lintas dijalan raya oleh pihak yang berwenang, maka tidak sedikit yang terjaring
kasus pelanggaran lalu lintas. Selain tidak jarang juga pelanggaran yang terjadi kerap
menimbulkan kecelakaan lalu lintas sehingga perlunya kehati-hatian dalam mengendarai
kendaraan. Kecerobohan pengemudi tidak jarang menimbulkan korban, baik korban
menderita luka berat atau korban meninggal dunia bahkan tidak jarang merenggut jiwa
pengemudinya sendiri. Beberapa kecelakaan lalu lintas yang terjadi, sebenarnya dapat
dihindari apabila diantara pengguna jalan bisa berperilaku disiplin, sopan dan saling
menghormati. Ketentuan-ketentuan tentang penggunaan jalan raya, diatur di dalam
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.Konsep
pertanggungjawaban pidana merupakan syarat-syarat yang diperlukan untuk mengenakan
pidana terhadap seseorang pembuat tindak pidana. Penentuan pertanggungjawaban
pidana bukan hanya dilakukan dengan memperhatikan kepentingan masyarakat, tetapi juga
kepentingan pembuatnya itu sendiri. Proses tersebut bergantung pada dapat dipenuhinya
syarat dan keadaan dapat dicelanya pembuat tindak pidana, sehingga sah jika dijatuhi
pidana.3 Bagi pelanggaran yang sifatnya ringan, dikenakan sanksi pidana kurungan atau
denda yang relatif lebih ringan. Namun, terhadap pelanggaran berat dan terdapat unsur
kesengajaan dikenakan sanksi pidana yang jauh lebih berat. Dalam aspek hukum pidana,
anak di bawah umur dikenakan sanksi pidana dan tidak dapat diwakilkan kepada
orangtuanya. Aspek pidana didasarkan berdasarkan bunyi pasal 310 UU LLAJ. 4 Polisi
lalu lintas adalah unsur pelaksana yang bertugas menyelenggarakan tugas kepolisian
mencakup penjagaan, pengaturan, pengawalan dan patroli, pendidikan masyarakat dan
rekayasa lalu lintas, registrasi dan identifikasi pengemudi atau kendaraan bermotor,
penyidikan kecelakaan lalu lintas dan penegakan hukum dalam bidang lalu lintas, guna
memelihara keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas. dalam berlalu-lintas setiap
orang yang menggunakan jalan raya harus mematuhi setiap rambu-rambu yang ada seperti
yang telah diatur dalam perundang-undangan dan tidak memandang dari segi ekonomi,
budaya, jabatan, tingkatan, dan lain sebagainya, termasuk pelanggaran lalu lintas yang
dilakukan oleh anak-anak. Faktor yang terbesar penyebab pelanggaran lalu lintas berasal
dari orang tua si anak itu sendiri. Orangtua sebagai penyedia fasilitas kendaraan bermotor
anaknya seharusnya pula orangtua yang mendapat sanksi pidana. Selain itu, orangtua juga
menjadi orang yang paling bertanggung jawab terhadap keselamatan anak. Sistem hukum
di Indonesia khususnya dan didunia pada umumnya tidak memperkenankan tanggung
jawab hukum dialihkan kepada orangtua jika anak yang masih di bawah umur melakukan
pelanggaran walaupun kelalaian disebabkan orangtua karena yang memberikan fasilitas
kendaraan dan mengizinkan anak di bawah umur untuk mengendarainya. Sehingga Pada
hakekatnya ketika terjadi kecelakaan lalu lintas, maka secara hukum pelakunya harus
mempertanggung jawabkan perbuatannya atau 5 kelalaiannya. Pasal 310 ayat (2) Undang-
undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menegaskan bahwa
setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya
mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan kendaraan
dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta
rupiah). Pasal ini mempunyai makna bahwa siapapun, baik anak-anak maupun orang
dewasa yang melakukan pelanggaran lalu lintas dan mengakibatkan korban, maka dapat
dipidana. Fenomena anak-anak di bawah umur yang mengendarai sepeda motor kerap kali
kita jumpai di jalan raya, hal ini selain mengganggu stabilitas pengguna jalan raya juga
mengundang resiko lebih besar untuk kecelakaan. Peran orang tua sangat diperlukan dalam
mengurangi angka pengendara bermotor anak dibawah umur, mengingat orang tua sebagai
pengendali awal dalam perkembangan anak-anak.6 Namun penetapan pasal ini bergantung
pada penilaian hakim. Selain itu karena pelaku adalah anak-anak, penetapan akan mengacu
pada Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Terkait
dengan pertanggungjawaban secara yuridis yang diatur dalam KUHP, terdapat aturan
dalam pertanggungjawaban pidana, bahwa tidak semua orang dikatakan
mampu bertanggung jawab.Berkaitan dengan persoalan pertanggung jawaban seorang
anak yang masih dibawah umur selain menyangkut usia sebagai hal penting seorang anak
dapat dimintai pertanggung jawaban, namun kedua aspek tersebut juga merupakan tolak
ukur seorang anak yang melakukan perbuatan pidana dapat dimintai pertanggungjawaban.
Sedangkan dilihat dari pertanggungjawaban pidana anak dibawah umur yang terdapat
diluar KUHP, dalam hal peraturan tentang perbuatan pidana yang dilakukan oleh seseorang
yang belum dewasa, dalam pemberian hukuman sanksi pidana, tidak hanya dapat dilihat
dalam ketentuan hukuman yang terdapat dalam KUHP sebagai hukum materil. Mengingat
adanya perbedaan dalam pemberian sanksi terhadap seseorang yang belum dewasa dengan
orang dewasa yang melakukan perbuatan pidana, dengan perbedaan tersebut, sehingga
dalam peradilan pidana terhadap seseorang yang masih dibawah umur terdapat aturan
perbuatan yang oleh undang-undang lainnya yang telah diatur mengenai asas (lex Specialis
Derogat Legi Generali) tindak pidana khusus. mengenyampingkan tindak pidana umum
yang telah dijelaskan dalam KUHP ketentuan perundang-undangan lainnya diancam
dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain. Usia yang tepat untuk
menaiki kendaraan bermotor adalah saat usia 17 tahun keatas atau setara SMA kelas 2.
Namun nyatanya sering kita lihat anak – anak berseragam putih biru bahkan masih sekolah
dasar sudah mengendarai kendaraan bermotor sendiri.Pemakaian kendaraan bermotor,
sepeda motor maupun mobil, sudah diatur dalam Undang Undang No. 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dalam UU ini dijelaskan bahwa untuk dapat
memiliki SIM A, SIM C, maupun SIM C harus memenuhi syarat, salah satunya adalah
berumur 17 tahun. Orang tua perlu mendidik dan menanamkan pada anak untuk menaati
apa yang sudah tertulis seperti dalam UU tersebut. Terutama jika anak sudah rewel dan
sangat ingin mengendarai kendaraan bermotor sendiri.Kemudahan dalam mendapatkan
kendaraan bermotor dan juga pemakaiannya (motor/mobil matic) membuat sebagian orang
tua berpikir untuk memperbolehkan anak berkendara. Apalagi dengan maraknya motor –
motor sport yang menggiurkan kaum adam. Orang tua pun kerap terlena sehingga anak
diperbolehkan untuk mengendarai kendaraan sendiri. Namun hal ini akan berimbas negatif
pada anak. Kondisi psikis anak untuk menghadapi situasi di jalanan pun belum dapat
dipastikan siap atau tidak.Perkembangan yang sangat pesat tidak hanya dari segi kualitas
tetapi dari segi kuantitasnya. Meskipun aturan berlalu lintas telah diatur secara jelas di
dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan,
namun pelanggaran-pelanggaran lalu lintas tetap dilakukan, salah satu pelanggaran yang
sedang marak yaitu, banyaknya anak di bawah umur yang belum cukup umur tetapi telah
diperbolehkan mengendarai kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat. Tidak
jarang juga anak dibawah umur terlibat dalam suatu lakalantas. Upaya yang dilakukan
untuk mencegah terjadinya pelanggaran lalu lintas adalah upaya preventif dan upaya
represif. Dengan adanya permasalahan tersebut diharapkan dalam setiap kasus yang
melibatkan anak dibawah umur lebih mengedepankan proses mediasi guna mencegah
terganggunya psikologi seorang anak Sebagai negara hukum tentunya setiap warga negara
Indonesia hendaknya patuh dan taat pada peraturan perundang-undangan yang ada dan
terikat sebagai aturan yang semestinya untuk dipatuhi dan ditaati. Dalam hal demikian jika
peraturan tersebut tidak dipatuhi maka dapat diartikan bahwa yang bersangkutan tersebut
telah melakukan pelanggaran Jika anak di bawah umur mengendarai kendaraan dan
melakukan pelanggaran lalu lintas, maka sanksinya tidak berbeda dengan orang dewasa.
Mereka dikenakan sanksi sesuai yang diatur oleh UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 316 ayat (1), tidak
termasuk di dalamnya pelanggaran dalam Pasal 274 ayat (1) dan (2), Pasal 275 ayat (1),
Pasal 309, dan pasal 309. Tiadanya perbedaan sanksi ini diatur dalam Perma Nomor 12
Tahun 2016 yang memang tidak mengatur penindakan lalu lintas terhadap anak. Namun,
aturan ini hanya berlaku untuk anak di atas usia 14 tahun.8 Perlakuannya akan berbeda
jika pelanggar anak berusia di bawah 14 tahun. Dalam UU SPPA pasal 69 dijelaskan bahwa
anak di bawah 14 tahun hanya dapat dikenai tindakan. Artinya, pelanggar lalu lintas anak
di bawah 14 tahun tidak boleh dikenakan pidana atau didenda. Tindakan itu dapat berupa
pengembalian ke orang tua,Anak-anak di bawah umur mengendarai sepeda motor tidak
sepenuhnya salah sang anak atau salah orang tuanya. Ada banyak faktor yang
melatarbelakangi kenapa anak melanggar aturan lalu lintas ini. Sebagai misal, banyak
wilayah di Indonesia yang belum tersentuh angkutan umum. Padahal, lokasi sekolah sangat
jauh dari rumah. Mau tidak mau, anak merasa bahwa berkendara dengan sepeda motor
adalah pilihan paling realistis dan mudah dilakukan.Pelanggaran lalu lintas yang dilakukan
dengan sengaja maupun dengan kealpaannya, diharuskan untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya karena kesengajaan atau kealpaan merupakan
unsur kesalahan baik anak maupun orang dewasa, yang terdapat dalam Pasal 31 ayat (1)
Undang-Undang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan. Dalam pasal 316 ayat (1) Undang-
Undang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan terdapat pasal- pasal yang mengatur tentang
perbuatan-perbuatan yang dikategorikan sebagai pelanggaran lalu lintas. Pelanggaran-
pelanggaran tersebut di atas masih berpatokan pada Peraturan Pelaksanaan UU No. 14
tahun 1992 sebagaimana termasuk dalam ketentuan penutup Pasal 324 UU No. 22 Tahun
2009 tentang keberlakuan peraturan pelaksanaan tersebut. Adapun peraturan pelaksanaan
yang dimaksud adalah : 1. Isi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1993 Tentang
Angkutan Jalan. 2. Isi Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1993 Tentang Pemeriksaan
Kendaraan Bermotor di Jalan. 3. Isi Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993 Tentang
Prasarana dan Lalu Lintas Jalan. 4. Isi Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993
Tentang Kendaraan dan Pengemudi. bahwa sanksi pidana yang dijatuhkan pada anak dapat
berupa pidana pokok dan pidana tambahan. Selanjutnya proses persidangan harus sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 11 tahun 2011 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak sedangkan hukumannya adalah ½ (seperdua) dari hukuman yang
dijatuhkan pada orang dewasa, hal tersebut semata-mata untuk kepentingan perlindungan
anak. Ancaman pidana bagi pelaku yang terlibat kecelakaan lalu lintas diatur dalam Pasal
310 Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pertanggungjawaban orang tua
terhadap tindak pidana pelanggaran berlalu lintas yang dilakukan anak di bawah umur yang
karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas yang dilakukan oleh anak tidak
bisa dialihkan pertanggungjawaban pidananya kepada orang tuanya. Meski demikian,
orangtua hanya dikenakan hukuman secara perdata dengan cara membayar ganti rugi atas
perbuatan anaknya. Gagasan terhadap tindak pidana pelanggaran berlalu-lintas yang
dilakukan anak di bawah umur sebaiknya dialihkan kepada orangtua anak dengan alasan
yaitu penanggung jawab akibat pelanggaran pada anak adalah orangtua si anak. Dilihat dari
sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung
jawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Dalam aturan hukumnya
sanksi yang dapat dikenakan kepada anak pelaku tindak pidana yang tertuang dalam dalam
Pasal 21 ayat (1) UU Sistem Peradilan Anak Tahun 2012 yaitu dalam hal Anak belum
berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana. Sesuai
dengan Deklarasi PBB tentang Hak Anak, kepentingan terbaik anak akan menjadi
pertimbangan terpenting dalam pemberlakuan hukum yang akan memungkinkan anak
untuk menikmati perlindungan khusus, termasuk perlindungan dari segala bentuk
kelalaian, kekejaman dan eksploitasi yang dilakukan oleh orang tuanya.

b. 1. Faktor Ketidaktahuan
Pengetahuan hukum sangatlah penting diajarkan untuk anak sejak dini, Hal ini penting
sebagai upaya pencegahan, agar tindakan melawan hukum pada anak dapat ditekan. Anak
yang tidak dibekali dengan pengetahuan mengenai hukum cenderung lebih mudah untuk
melawan hukum. Pengetahuan hukum ini harusnya mereka dapatkan dari pihak orangtua,
sekolah dan pihak kepolisian. Dari data di atas terlihat jelas bahwa faktor ketidaktahuan
bukanlah faktor dominan yang menyebabkan seorang anak menggunakan kendaraan
bermotor. Dari 50 narasumber, terdapat 2 anak SD yang menyatakan bahwa
mereka tidak mengetahui mengenai aturan yang melarang Seseorang untuk menggunakan
kendaraan bermotor. Padahal seseorang yang ingin mengemudikan kendaraan bermotor
haruslah memiliki SIM, di mana persyaratan minimal usianya adalah 17 tahun. Mereka
dengan perasaan yang biasa-biasa saja dalam menggunakan kendaraan bermotor. Hal ini
dikarenakan mereka tidak mendapatkan pengetahuan yang cukup mengenai tertib lalu-
lintas, baik itu dari pihak orangtua, sekolah, maupun pihak kepolisian. Harusnya anak
dibekali dengan pengetahuan mengenai lalu-lintas, khususnya aturan-aturan dasar dan
memberikan pandangan akan bahaya yang dapat ditimbulkan jika seseorang yang tidak
memiliki keterampilan dalam mengemudi.
2. Faktor Dorongan Pribadi
Faktor dorongan pribadi ini sendiri merupakan faktor yang paling dominan di antara faktor-
faktor lainnya. Terdapat 17 anak dengan persentase 34% yang mengaku menggunakan
kendaraan bermotor atas dasar dorongan pribadi. Hal ini terjadi dikarenakan tidak adanya
control dari orangtua. Anak yang diberikan kebebasan untuk menggunakan kendaraan
bermotor sejak dini tentunya memicu keinginan anak untuk memiliki/mengemudikan
kendaraan bermotor sendiri.
Kebanyakan dari mereka yang menggunakan kendaraan bermotor adalah untuk keperluan
bersekolah. Anak yang dalam tahap untuk menemukan jati dirinya cenderung bersikap
ingin mendapatkan pengakuan. Maksudnya adalah anak merasa telah mampu
menggunakan kendaraan bermotor. Padahal untuk menggunakan kendaraan bermotor tidak
cukup dengan mampu saja. Pengguna kendaraan bermotor haruslah didukung dengan
kondisi fisik maupun psikologis yang baik, pemahaman mengenai tertib lalu-lintas juga
harus dipenuhi.
3. Faktor Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan sosial yang terdekat untuk membesarkan,
mendewasakan dan di dalamnya anak mendapatkan pendidikan yang pertama dan utama.
Oleh karena itu keluarga memiliki peranan yang penting dalam perkembangan anak.
Keluarga mempunyai kedudukan yang sangat fundamental dalam pembentukan pribadi
anak. Lingkungan keluarga potensial membentuk pribadi anak untuk hidup secara lebih
bertanggungjawab. Bila usaha pendidikan dalam keluarga gagal, maka anak cenderung
melakukan kenakalan, yang dapat terjadi di lingkungan keluarga maupun lingkungan
masyarakat tempat anak bergaul. Berdasarkan data di atas terdapat 12 anak yang
menggunakan kendaraan bermotor dikarenakan dorongan dari keluarga. Mereka mengaku
bahwa dari pihak orangtua mereka, tidak melarang untuk menggunakan kendaraan
bermotor. Hal ini dikarenakan mereka menganggap dengan anak menggunakan kendaraan
bermotor dapat memberikan efisiensi. Dengan menggunakan kendaraan bermotor, akan
memudahkan anak ke sekolah atau dengan kata lain mobilitas akan semakin tinggi. Biaya
yang dikeluarkan dengan menggunakan kendaraan bermotor jauh lebih murah ketimbang
mereka harus menggunakan kendaraan umum.
Selain itu, menurut orangtua saat ini cenderung untuk memenuhi keinginan anak yang
seharusnya belum dapat mereka gunakan. Mereka lebih mementingkan kehendak anak
ataupun faktor ekonomi ketimbang faktor keselamatan anaknya sendiri. Harusnya orang
tua mengutamakan keselamatan anaknya. Apalagi intensitas lalu-lintas kendaraan
bermotor maupun tidak bermotor di wilayah ini sangat tinggi. Sudah ada beberapa kali
kecelakaan yang korbannya adalah anak yang berada di bawah umur. Ini harus menjadi
perhatian kita bersama sebagai orangtua untuk senantiasa menjaga anak kita.2
4. Faktor Pergaulan Anak
Harus disadari betapa besar pengaruh lingkungan terhadap anak, terutama dalam konteks
kultural atau kebudayaan lingkungan tersebut. Anak menjadi delinkuen karena banyak
dipengaruhi oleh berbagai tekanan pergaulan yang semuanya memberikan pengaruh yang
menekan dan memaksa pada pembentukan perilaku yang buruk, sebagai produknya anak-
anak tadi suka melanggar peraturan, norma sosial dan hukum formal. Anak-anak menjadi
delinkuen/jahat sebagai akibat dari transformasi psikologis sebagai reaksi terhadap
pengaruh eksternal yang menekan dan memaksa sifatnya. Karena itu semakin luas anak
bergaul semakin intensif relasinya dengan anak nakal, Akan menjadi Lama pula proses
berlangsungnya asosiasi diferensial tersebut dan semakin besar pula kemungkinan anak
tadi benar-benar menjadi nakal.
Data di atas menunjukkan bahwa salah satu faktor yang berperan
dalam pelanggaran penggunaan kendaraan bermotor oleh anak adalah faktor pergaulan.
Terdapat 4 anak atau 8% dari 50 orang anak. Anak-anak cenderung lebih mudah
terpengaruh dari lingkungan pergaulannya sehari- hari, baik itu di sekitar rumah maupun
sekolah. Anak yang tidak mendapatkan kontrol dari orang tua biasanya cenderung mudah
dipengaruhi oleh lingkungan pergaulannya atau teman. Terhadap penggunaan
kendaraan bermotor, biasanya anak-anak paling mempengaruhi untuk menggunakan
kendaraan bermotor. Mereka merasa gengsi terhadap sepergaulannya yang menggunakan
kendaraan bermotor. Biasanya yang tidak menggunakan kendaraan bermotor akan
dikucilkan dari pergaulan mereka. Akibatnya, anak kadang memaksakan kehendak untuk
dibelikan kendaraan bermotor oleh orangtua mereka.
5. Faktor Ketidakjujuran
Cesare Beccaria dan Jerome Bentham dalam teorinya yaitu Deterrence Theory maka
ditekankan bahwa pada aspek penghukuman atau aspek sistem peradilan pidana, yaitu
mulai dari perumusan ancaman pidana, proses penyidikan, penuntutan, penegakan hukum,
sampai dengan proses penjatuhan hukuman yang kesemuanya diarahkan terjadinya atau
timbulnya efek deterrence atau jera sebagai tujuan utama. Kemudian dengan terciptanya
efek deterrence atau efek jera tersebut maka hal tersebut akan mencegah terjadinya tindak
kejahatan yang sama. Lebih lanjut oleh Beccaria dan Bentham, menyatakan bahwa aspek
penghukuman dan sistem pemidanaan tersebut baru bisa efektif dan menimbulkan efek jera
ketika dalam ancaman dan pemidanaan tersebut unsur-unsur yaitu:
a. ancaman sanksi hukuman yang cukup membebani atau severe.
b. ancaman sanksi hukuman yang seimbang (fit) dengan perbuatan jahat yang
dilakukan. Yaitu tidak terlalu berat dan tidak terlalu ringan bila dibandingkan dengan
perbuatan yang dilakukannya.
c. sanksi hukuman harus diberikan dengan segera atau swift yaitu: diberikan ketika setelah
perbuatan jahat tersebut dilakukan (celerity).
d. Kemudian adanya unsur kepastian dalam pelaksanaan penghukumannya
(certainty).
Bahwa faktor ketidakmerataan dari anak juga memiliki andil sebagai penyebab terjadinya
pelanggaran penggunaan kendaraan bermotor ini.
Dari data di atas menunjukkan angka 6 dengan persentase 12% jumlah anak yang
menyatakan bahwa mereka tidak merasa jera terhadap sanksi yang diberikan pihak
kepolisian. Mereka menganggap tindakan pihak kepolisian yang hanya sekedar mendata
anak yang melakukan pelanggaran lalu-lintas adalah hal yang sangat mudah dipenuhi.
Mereka hanya perlu untuk mendengarkan arahan dari pihak kepolisian kemudian mereka
akan bebas.
6. Faktor Opini Tidak Wajib Tertib Lalu-Lintas
Faktor ini berkembang di tengah-tengah masyarakat khususnya tinggal di wilayah somba
opu. Dimana berkembang opini masyarakat yang menyatakan bahwa tidak wajib bagi
seseorang untuk mematuhi aturan lalu-lintas khususnya pada penggunaan kendaraan
bermotor pada anak dan penggunaan helm. Terbukti dari 50 orang responden, terdapat
9 anak yang menyatakan bahwa setuju dengan anggapan tersebut. Mereka berasumsi
bahwa jalan yang terdapat di somba opu, Anggapan seperti ini tentunya harus dengan
segera diatasi. Harus ada upaya yang lebih serius untuk menangani permasalahan ini,
karena menyangkut pada penegakan hukum kita.
Menurut Napa kanit lantas polsek Somba Opu, bahwa anggapan masyarakat mengenai
tidak wajibnya seseorang untuk mematuhi aturan tertib berlalu-lintas dalam wilayah somba
opu ini tidak benar. Sekalipun jalan yang terdapat di wilayah ini merupakan jalan kompleks
tidak ada pengecualian untuk hal tersebut. Bisa kita lihat sendiri kondisi jalan kompleks ini
berbeda dengan kompleks lainnya, kemudian pertumbuhan ekonomi sangat berkembang
pesat. Hal ini ditandai dengan tingginya intensitas kendaraan yang berlalu lalang. Selain
itu, esensi dari tertib lalu-lintas adalah untuk mengatur agar memberikan kenyamanan dan
keselamatan baik bagi pengguna kendaraan maupun pengguna jalan. Selain ketujuh faktor
di atas, terdapat pula satu faktor yang juga turut menyebabkan penggunaan kendaraan
bermotor oleh anak di wilayah Polsek Somba Opu, yaitu faktor Sekolah. Sekolah adalah
media atau perantara bagi pembinaan jiwa anak-anak, atau dengan kata lain sekolah ikut
bertanggung jawab terhadap pendidikan anak, baik pendidikan keilmuan maupun
pendidikan tingkah laku (moral). Banyaknya atau bertambahnya kenakalan anak secara
tidak langsung menunjukkan kurang berhasilnya sistem pendidikan di sekolah- sekolah.3
Dalam konteks demikian, sekolah adalah tempat pendidikan anak kedua setelah
lingkungan keluarga/rumah tangga si anak. Selama mereka menempuh pendidikan di
sekolah, terjadi interaksi antara anak dengan sesamanya, interaksi yang mereka lakukan di
sekolah sering menimbulkan akibat samping yang negatif terhadap perkembangan mental
si anak sehingga anak menjadi delinkuen.
Menurut AZIzullah, pada tingkat pendidikan SMP dan SMA anak diberikan keleluasaan
dari pihak sekolah untuk membawa kendaraan bermotor. Seharusnya dari pihak
sekolah melarang anak didiknya untuk mengemudikan kendaraan bermotor ke sekolah.
Untuk melakukan hal ini sebenarnya tidaklah sulit jika dari pihak sekolah tegas untuk
melarang. Berbeda pada tingkat pendidikan SD, di mana pihak sekolah melarang setiap
murid untuk mengemudikan kendaraan bermotor ke sekolah. Hal ini sangat membantu
dalam upaya pencegahan terhadap penggunaan kendaraan bermotor.

REFERENSI : Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo. Bisnis E-Commerce Studi Sistem
Keamanan dan Hukum di Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2006.
Ter Haar, 1977, Beberapa Masalah Tentang Kenakalan Remaja, Bandung, PT. Karya
Nusantara
Amriani. A., 2017, Tinjauan Terhadap Pelanggaran Lalu Lintas Oleh Anak Dibawah Umur Di
Wilayah Polres Jeneponto. Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin
Makassar.
Soerjono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah - masalah Sosial,
(Bandung : Citra Aditya Bakti, 1989)
Mahfud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, 2010, Politik Hukum Pidana Terhadap
Kejahatan Korporasi, Sofmedia, Jakarta
Abiantoro Gautama Adhi, 2017, Analisis Pelanggaran Lalu Lintas oleh Anak Sebagai Pengendara
Kendaraan Bermotor (Studi Kasus di Polres Karanganyar), Fakultas Hukum Universitas Slamet
Riyadi, Karanganyar
M Van Bemmelen dalam Bambang Poernomo, 2002, Dalam Asas-asas Hukum Pidana,
Jakarta, Ghalia Indonesia,
Ramdlan Naning, 1983, Menggairahkan Kesadaran Hukum Masyarakat dan Disiplin
Penegak Hukum dalam Lalu Lintas, Surabaya, Bina Ilmu, hlm. 57.
Bamabang Mulyono Y, ST. Pendekatan Analisis Kenakalan Remaja Dan
Penanggulangannya. Kanisius, 1984.

Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana
Dalam Penanggulangan Kejahatan. Jakarta: Kencana, 2010.

Chairil A. Adjis, dan dudi akasyah..Kriminologi Syaria’ah. Jakarta: Rm books,


2010.

Daniel E. Hall. Criminal Law And Prosedur. Portnc.Delmar, 2012

Hidayat Bunadi. Pemidanaan Anak dibawah Umur. Bandung: Alumni, 2010.


Jamal Ma’mur Asmani. Kiat Mengatasi Kenakalan Remaja Di Sekolah. Jakarta: Buku Biru, 2012.

J.E. Sahetapy dan Mardjono Reksodiputro. Parodos dalam kriminolog. Jakarta: Rajawali,
1989.

J.I.G.M. Drost, SJ.,dkk. Perilaku Anak Usia Di., Kasus, Dan Pemecahannya. Jakarta: Familia,
2003.

Kartini Kartono. Patologi Sosial: Kenakalan Remaja . Jakarta: Grafindo, 2008.

Maidin Gultom. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Anak diIndonesia.
Bandung: Refika Aditama, 2008.
Muhammad Mustofa. Metodologi Penelitian Kriminologi. Jakarta: Pernanda media,
2004.

Mulyana W. Kusumah.. Aneka Permasalahan dalam Ruang Lingkup Kriminologi.


Bandung: Balai Pustaka, 1981

Ray Surett. Media, Crime And Crimnal Justice: Images, Realities And
Policies.Jucksunville. Wadshworth Publishing, 2006.

Anda mungkin juga menyukai