Anda di halaman 1dari 82

Wonderful Indonesia Melalui Mahakarya

Borobudur sebagai Panggung Musik Abadi


Oleh: Wuri Handoko

Wonderful Indonesia, melalui borobudur sebagai pusat musik dunia sejak


ribuan tahun lalu. Melalui representasi sound of borobudur, menghidupkan
kembali dan menjelmakan kembali borobudur sebagai panggung orkestra
musik nan abadi.

Ya, tak terbantahkan, Borobudur pusat musik dunia sejak abad 8 Masehi yang lalu. Jadi
setidaknya sudah sekitar 1300an tahun atau 13 abad lalu, Borobudur telah menjadi panggung
orkestra musik nan abadi yang perna ada di dunia. Borobudur pusat musik dunia, telah hadir
sejak abad 8 masehi, ketika bangsa kita memasukan masa sejarah klasik hindu-budha.

Musik adalah sebuah cita rasa seni yang tinggi, yang dihasilkan oleh naluri dan kecerdasan
berpikir manusia pencipta musik itu sendiri. Cita rasa tinggi tentang keindahan dan harmoni.

Lalu diungkapkan melalui karya seni musik yang indah dan menggetarkan hati nurani.
Kemudian manusia menciptakan alat musiknya, untuk menerjamahkan dari ungkapan hati
tentang keindahan dan harmoni itu.

Citarasa seni dan budaya nusantara, adalah seni dan budaya adiluhung yang membumi, dan
menjadi mozaik kaya warna dari awal perjalanannya hingga kini yang menghias dunia.

Kreasi seni musik itu lalu diterakan di relief Borobudur, sebagai monumen abadi untuk
mengabarkan pada dunia dan sang waktu, yang terus berlalu, bahwa peradaban nusantara,
peradaban Indonesia adalah peradaban yang besar dan pusat peradaban musik dunia.

Selain itu, relief Karmawibhangga Borobudur, melukiskan gambaran kehidupan sehari-hari


masyarakat Jawa kuno, termasuk aktifitas kesenian, baik kesenian musik maupun tari.

Lebih dari 10 panel relief Karmawibhangga menggambarkan penggunaan 4 jenis alat musik,
yaitu jenis idiophone (kentongan dan kerincingan), membraphone (gendang, kentingan),
chardophone (alat musik dawai/senar petik dan gesek), dan jenis alat musik aerophone (alat
musik tiup) (Bachtiar Jannan, 2016 dikutip dari japungnusantara).
Relief alat musik candi borobudur laksana panggung musik dunia yang mendidik,
mencerahkan, dan mencerdaskan sekaligus menghibur. Memberi pengetahuan dan juga
kekayaan citarasa seni dan budaya Indonesia.Indonesia yang termasyur, harum baunya,
semerbak mewangi karena kekayaan seni dan budayanya, juga kecerdasan
masyarakatnya.

Warisan budaya leluhur yang agung, budaya yang menakjubkan juga membanggakan. Sound of
Borobudur adalah inspirasi hati dan juga imajinasi yang begitu tinggi, impresif dan lahir sebgaai
bentuk apresiasi terhadap mahakarya musik abadi yang lahir pada masayarakat Jawa Kuno yang
diterakan melalui relief borobudur, mahakarya seni musik yang melahirkan apresiasi yang tak
ada habisnya.

Kekayaan leluhur yang diabadikan dalam relief borobudur tentang sebuah mahakarya
masyarakat nusantara sejak abad 7 masehi yang kaya imaji dan memberi inspirasi bagi lahirnya
berbagai karya musik anak bangsa.

Kebijaksanaan masa lalu yang mampu melahirkan kebijaksanaan masa kini bagi yang mau
memahami dan bersedia mengakui dan meneladani. Kebijaksanaan leluhur yang cerdas dengan
citarasa seni yang tinggi, juga memegang filosofi hidup yang adiluhur dan membumi.

Musik dalam karya leluhur yang diterakan pada relief Borobudur adalah pesan moral, sekaligus
pesan berbudi dan luhur dari nenek moyang bangsa. Musik adalah wujud kebudayaan
masyarakat masa lalu yang kaya akan nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai kebajikan yang
diwariskan dari nenek moyang bangsa yang demikian luhur dan kaya nilai-nilai kebudayaan.

Musik adalah ungkapan jiwa, ungkapan kata hati, pikiran, daya cipta dan juga wujud kreasti
adiluhung manusia tentang keindahan, kesedihan, suka cita, duka dan seluruh isi jiwa dan
suasana batin, lalu dengan kecerdasan dan imajinya diwujudkan oleh manusia melalui kreasi seni
musik.

Jadi, sound of borobudur, adalah wujud menghidupkan kembali panggung musik abadi
Borobudur sebagai mahakarya kreasi dan imaji leluhur bangsa Indonesia yang kaya daya
cipta, kaya makna dan juga kaya inspirasi.

Melalui panggung musik abadi Borobudur, kita bisa mengetahui betapa kayanya kreasi dan
dayacipta leluhur akan musik. Kita bisa mengetahui ragam dan jenis alat musik uang
berkembang pada masa itu, dan hingga kini masih bertahan dan bahkan semakin kaya kreasi
pengembangannya.

Alat musik tiup, pukul, gesek, petik dan sebagainya yang digambarkan pada relief Borobudur
membuktikan bahwa leluhur bangsa Indonesia sudah demikian cerdas dan kaya akan kreasi dan
daya cipta, kaya ungkapan dan makna. Bahasa musik yang lahir dari pemikiran, ungkapan hati,
perasaan mewujud menjadi kebudayaan materil berupa alat musik yang kaya akan nilai-nilai
budaya luhur bangsa.

Sound of Borobudur adalah sebuah perwujudan kembali orkestra abadi borobudur,


tentang suara Keindonesiaan, bunyi merdu tentang nusantara yang kaya dan bijaksana,
berbudi luhur dan berjiwa rasa kemanusiaan yang agung dan adiluhung.
Almarhum PEJ Ferdinandus, tokoh arkeologi musik Indonesia, yang populer dengan tulisan-
tulisannya tentang arkeologi musik atau arkeomusikologi di era tahun 80-90an, adalah salah satu
arkeologi yang berjasa besar mengangkat tema arkeologi musik dalam berbagai publikasi
ilmiahnya.
Melalui desertasinya PEJ Ferdinandus mengangkat judul "Alat-alat Musik di Jawa Kuno (Abad
IX-XV), Sebuah Kajian Mengenal bentuk dan Fungsi Ansambel. Ferdinandus, setidaknya sudah
membuat klasifikasi jenis alat musik pada relief-relief Bodobudur.

Dalam pengertiannya, musik ansambel merupakan kombinasi beberapa jenis alat musik yang
bisa dimainkan secara harmonis. Setiap alat musik memerlukan teknik bermain yang berbeda.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ansambel adalah kelompok pemain musik
(penyanyi) yang bermain bersama secara tetap (Kompas).

Jika diterjamahkan secara bebas ansambel musik adalah harmoni berbagai alat musik yang
dimainkan secara bersama-sama. Tampaknya, demikianlah kajian Ferdinandus dalam
desertasinya untuk memahami, bagaimana harmoni alat musik dimainkan oleh masyarakat Jawa
Kuno pada pentas musik dunia, sebagaimana yang diterakan pada relief-relief Borobudur.

Desertasi Ferdinandus tentang alat-alat musik Jawa kuno itu, bukan hanya berperan dalam
memberi sumbangan bagi pengembangan musikoarkeologi, musikologi, sejarah kesenian,
etnomusikologi, namun jauh lebih besar dari itu adalah memberikan pemahaman kepada
masyarakat dan bangsa ini tentang Borobudur sebagai sebuah panggung musik dunia nan abadi
dan Borobudur pusat musik dunia.

Dalam desertasinya itu, Ferdinandus menarik hipotesis penting bahwa, bentuk alat musik pada
masa Jawa Kuno, merupakan alat-alat musik ritmis, dari golongan ghana
vadya (ideofon), avanddha vadya (membranofon). Juga alat-alat musik bersidat melodis, juga
dari golongan yang sama ideofon, kardofon dan aerofon.

1) Idiophone (dipukul atau diketok). Alat pemukulnya bisa dari kayu atau besi. Contoh: gong,
kulintang, arumba, gambang, saron, gender dan lain-lain.

2) Membraphone (dari kulit). Ciri-ciri khas dari jenis membraphone adalah terbuat dari kulit
(selaput) yang direka pada rangka berbentuk lingkaran. Bunyi instrumen ini dihasilkan oleh
getaran kulit yang dipukul. Contoh: gendang, tambur, dogdog dan lain-lain.
3) Chordophone (dari senar atau tali). Ciri khusus jenis ini terdiri dari senar atau tali yang
menghasilkan getaran. Cara yang digunakan digesek atau ditekan. Contoh alat yang digesek
misalnya biola, rebab dan tatawangsa.

4) Aerophone (bunyi karena udara). Ciri khas jenis instrumen tersebut adalah bunyi yang
disebabkan oleh adanya sentuhan udara. Udara yang menyebabkan getaran tersebut diatur
oleh lubang-lubang yang ada pada instrumen itu (Kemendikbud).

Dalam catatan Ferdinandus, setidaknya ada 3 (tiga) sifat bentuk ansabel sepanjang masa Jawa
Kuno, yaitu ansabel alat-alat musik ritmis, alat-alat musik melodis dan gabungan alat musik
ritmis dan metodis.

Tiga jenis ansabel alat-alat musik Jawa kuno yang tertera di relief Borobudur. Sumber: Ringkasan Desertasi PEJ
Ferdinandus/Jurnal Wallannae, Balar Makassar

Pendek kata, relief-relief musik yang tertera pada Borobudur, secara faktual menggambarkan
kemahiran masyarakat Indonesia masa Jawa Kuno, sebagai masyarakat yang bercita rasa tinggi
tentang musik, para seniman dan budayawan telah memainkan perannya mengembangkan seni
musik pada masa Jawa kuno.
Kembali menyinggung Sound of Borobudur, bangsa ini telah dianugerahi borobudur sebagai
ikon wonderful Indonesia, sebuah mahakarya arsitektur yang tak ada duanya, namun juga
sebagai pusat musik dunia. Oleh karena itu sound of Borobudur, seperti halnya menggelar
kembali panggung musik dunia yang pernah hidup ribuan tahun yang lalu, tatkala Borodubur
dibangun di abad 7 Masehi.
Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo bahkan mengatakan sound of Borobudur seperti sebuah
penemuan baru kembali atau reinventing yang dahsyat.

"Mimpi mereka adalah bagaimana itu bunyi, tidak hanya sekadar dibuat replikanya, tapi bunyi
dan itulah kerja-kerja seni yang sangat luar biasa. Risetnya tidak selesai membunyikan dicari
sebenarnya dengan hipotesis 'apakah Borobudur itu memang pusat seni, pusat musik dunia' atau
sebaliknya kita tempat bertemunya peralatan musik, instrumen seluruh dunia yang mana," kata
Ganjar Pranowo (hot.detik).

Usaha menghidupkan kembali Borobudur sebagai pentas musik dunia melalui sound of
borobudur, tentu saja bagian dari proses apresiasi, pelestarian sekaligus pengembangan
nilai-nilai dan makna harmoni musik yang diterakan pada relief Borobudur.
Oleh karena itu, berhubungan dengan sound of borobudur, upaya para musisi berbakat tanah air
mencoba menghadirkan kembali suara merdu alat-alat musik nusantara sebagaimana yang ada
pada relief borobudur adalah bentuk sikap mengapresiasi dayacipta mahakarya leluhur.
Selain itu juga proses melestarikan mahakarya adiluhur dan adiluhung itu, karya cipta seni musik
leluhur, sebagai ungkapan ekspresi, bersifat universal, sekaligus unik pada kekhasannya
tertentu.

Bahasa musik adalah bahasa universal kemanusiaan, sekaligus unik karena mewakili karakter,
identitas, dan jatidiri masyarakat pencipta seni musik itu sendiri.

Yang pasti, relief alat musik di Candi Borobudur adalah mahakarya adiluhur dan adiluhung dari
peradaban besar bangsa, citra imaji nusantara yang dilahirkan oleh para leluhur yang memiliki
citarasa, kreasi dan daya cipta seni yang tinggi, filosofi kebajikan dan kebijaksanaan hidup juga
bahasa universal kemanusiaan yang peka terhadap harmoni kemanusiaan.

Wonderful Indonesia, melalui mahakarya Borobudur sebagai panggung musik nan abadi, pentas
musik dunia dan peradaban besar yang melahirkan dan menciptakan karya seni musik yang terus
hidup hingga kini, berkembang ke segala pelosok negeri.

Bukti peradaban ini harus dilestarikan untuk menanamkan ingatan kolektif anak negeri, tentang
kemasyuran bumi pertiwi, tentang kebesaran dan kemegahan nusantara, Indonesia.

Demikian..Salam Budaya...Salam Lestari

Salam homat
"Sound of Borobudur", Memperkenalkan
Peradaban Nusantara yang Mendunia
Lewat Relief Alat Musik
Oleh: Djulianto Susantio

Sejak lama nama Candi Borobudur sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia dan
masyarakat dunia. Selain Bali, Borobudur memang menjadi magnet untuk mengeruk devisa.
Sebagai daya tarik pariwisata tentu saja nama Borobudur sangat menjanjikan. Sejumlah ajang
internasional yang memakai nama Borobudur terselenggara dengan sukses di sini.

Sebut saja Borobudur Writers & Cultural Festival, yakni wahana pertemuan di bidang karya
budaya. Ada lagi Borobudur Marathon, ajang olahraga lari berhadiah besar. Belum lama ini
terselenggara Sound of Borobudur, berupa kegiatan membunyikan kembali alat musik yang ujud
fisiknya diambil dari relief Karmawibhangga. Sound of Borobudur menjadi salah satu acara
dalam kegiatan Borobudur Cultural Feast.

Wonderful Indonesia memang menjadi slogan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
sejak lama. Apalagi Candi Borobudur telah diakui UNESCO sebagai Warisan Dunia pada 1991,
sementara arsip pemugarannya sebagai Ingatan Dunia pada 2017.

Musik dan spiritual

Kalau kita merunut pada artefak masa lalu, terlihat alat musik dan seni musik sudah dikenal pada
masa prasejarah (masa sebelum dikenal sumber tertulis). Pada awalnya alat musik digunakan
untuk pemujaan/spiritual dan tanda peperangan. Pada masa berikutnya, seni musik dikenal
sebagai aktivitas hiburan, baik menghibur diri sendiri maupun menghibur orang lain. Uniknya,
zaman dulu ada kesenian musik yang berkembang di tengah masyarakat, ada pula yang
berkembang di kalangan pejabat dan istana. Alat musik lute dan bar-zither, misalnya, tidak
pernah terdapat di kalangan rakyat jelata.

Alat musik sebagai tinggalan budaya masa lalu, ditemukan pada beberapa situs arkeologi.
Umumnya berasal dari masa Hindu-Buddha, sekitar abad ke-5 hingga ke-15 Masehi. Masa
Hindu-Buddha dikenal luas oleh disiplin arkeologi. Temuan itu antara lain arca Vamsa, berupa
seorang dewi sedang meniup suling; arca Mukunda, seorang dewi sedang menabuh gendang;
arca Muraja, seorang dewi sedang menabuh tiga gendang kecil; dan arca Wajragit, seorang dewi
sedang memainkan harpa (Katalog Pameran Keberagaman Alat Musik Tradisional Nusantara
"Harmoni Nusantara', Museum Nasional, 2010).
Sementara itu penggambaran alat musik terdapat pada relief-relief candi, seperti Candi Jalatunda,
Candi Prambanan, dan Candi Borobudur. Sedangkan penyebutan nama pemain musik atau alat
musik terdapat pada prasasti dan naskah kuno. Dalam Prasasti Salimar II (880 Masehi), antara
lain disebutkan kata "tuha padahi" (pemain kendang) dan "margang" (penabuh regang/simbal
mangkok). Prasasti lain yang menyebutkan keberadaan alat musik adalah Prasasti Gandasuli
(769 Saka atau 847 Masehi). Prasasti itu menyebutkan alat musik "curing" sebagai perlengkapan
upacara. Sementara dalam Prasasti Poh (905 Masehi) disebutkan alat musik "padahi", "rgang",
dan "tuwung".

Lebih lanjut lihat tulisan saya tentang [Zaman Dahulu, Musik Berkaitan dengan Ritual
Keagamaan dan Peperangan]

Sudut tenggara (tanda kotak)/Foto: Buku Rahasia di Kaki Borobudur

Paling istimewa
Yang paling istimewa tentu saja informasi dari relief Karmawibhangga di Candi Borobudur.
Relief Karmawibhangga terdapat pada bagian kaki Candi Borobudur, yang disebut kaki
tambahan. Bagian itu sengaja ditutup untuk keamanan konstruksi. Bagian yang dibuka hanya
sudut Tenggara. Itu pun cuma empat panel. Di kalangan arkeologi, relief Karmawibhangga
terdapat pada bagian kaki Candi Borobudur yang tertutup atau tersembunyi. Selain alasan
konstruksi, tafsiran lain bagian ini ditutup karena menampilkan adegan mengerikan, seperti
manusia direbus dan pengguguran kandungan.

Bagian kaki yang disebut Kamadhatu merupakan tingkatan terendah. Padahal beberapa relief
lain, yakni Lalitawistara, Jataka, Awadana, Gandawyuha, dan Bhadracari terdapat pada tingkatan
yang suci, Rupadhatu. Bagian Rupadhatu dikenali karena memiliki lorong. Relief di tingkat
Rupadhatu itu mengisahkan perjalanan Sang Buddha Sidarta Ghautama. Tingkat tertinggi pada
Candi Borobudur disebut Arupadhatu. Stupa induk yang besar terdapat pada tingkat ini.

Relief Karmawibhangga ditemukan secara tidak sengaja pada 1885. Setelah didokumentasikan
pada 1890, relief itu ditutup kembali. Diduga ini masalah teknis karena kalau tidak ditutup batu-
batu besar sebagai penopang pondasi, bagian atas candi tidak kuat menahan beban dan lambat-
laut akan runtuh. Namun masyarakat bisa melihat foto-foto relief tersebut di Museum
Karmawibhangga, masih di kompleks Borobudur.

Relief Karmawibhangga memiliki 160 panel atau pigura. Hampir semua melukiskan hukum
karma atau sebab-akibat. Namun antarrelief tidak saling berhubungan. Diperkirakan relief
Karmawibhangga mewakili gambaran dari kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa Kuno pada
abad ke-8 hingga ke-9. Adegan pada panel relief menginformasikan tentang flora, fauna,
lingkungan alam, busana, status sosial, alat musik, alat upacara, senjata, dan lain-lain
(Borobudurpedia, 2017).

Relief Karmawibhangga bersumber dari kitab Mahakarmawibhangga. Karena itu pakar yang
mendalami pengetahuan tersebut, tidak sulit menafsirkan gambar relief. Khusus aktivitas
bermusik tergambar pada beberapa panel. Antara lain tentang sepasang suami istri kaya
memanggil sekelompok pemusik jalanan. Pada panel lain tampak kaum bangsawan sedang
duduk berbincang, mereka dihibur tiga pemain musik (Rahasia di Kaki Borobudur, 1992).

Soal alat musik pada relief Karmawibhangga pernah dibahas oleh Roosenani Kusumastuti dalam
skripsi di Jurusan Arkeologi UI berjudul "Alat Musik pada Relief Candi Borobudur" (1981). Alat
musik yang terpahat, menurut dia, antara lain suling, simbal, lute, ghanta, sangkha, saron, dan
gendang.

Rupanya pada masa itu seni musik benar-benar merakyat. Setiap ada pertunjukan musik,
masyarakat selalu nonton berbondong-bondong. Tampak pada relief Karmawibhangga itu
seorang bapak mengangkat anaknya tinggi-tinggi agar ia bisa melihat jelas pertunjukan tari dan
musik dari kejauhan.

Roosenani coba menggali lebih dalam lewat data prasasti, seperti Waharu Kuti (840 Masehi) dan
Sri Kahulunan (842 Masehi). Kedua prasasti ditemukan di Jawa dan sezaman dengan Candi
Borobudur. Ternyata tidak sembarang orang boleh memainkan "curing" (suling), kecuali
mendapat hak istimewa dari raja. Prasasti lain, Lintakan (919 Masehi), mengatakan pemain
musik "tuwung" dan "regang" mendapatkan hadiah atau imbalan.

Bukan cuma Roosenani yang melakukan penelitian terhadap relief alat musik. Arkeolog PEJ
Ferdinandus membuat disertasi berjudul Alat Musik Jawa Kuno (2001). Sebelumnya
etnomusikolog Jaap Kunst menghasilkan sejumlah artikel dan buku mengenai musik di
Nusantara.
Meskipun ada alat musik yang belum teridentifikasi namanya, tetap pantas bila dikatakan
Borobudur adalah pusat musik dunia. Soalnya, candi ini menjadi satu-satunya tinggalan budaya
masa lampau yang memiliki banyak gambaran alat musik.

Untuk memperdalam informasi, silakan baca tulisan saya [Relief Karmawibhangga


Membuktikan Candi Borobudur Bukan Dibangun Oleh Nabi Sulaiman].

Pada zaman dulu, pemusik menjadi profesi yang dihormati. Menurut berita Prasasti Julah (987
Masehi), para pemusik mendapatkan upah. Lain lagi informasi dari Prasasti Tejakula (abad ke-
9). Dikatakan setiap rombongan seni harus membayar pajak kepada kepala desa.

Pusat peradaban dunia

Candi Borobudur merupakan milik dunia. Terbukti ketika Borobudur memerlukan dana
pemugaran, banyak negara ikut terlibat mencarikan dana. Sebutan pusat peradaban dunia, bahkan
pusat musik dunia, mungkin sangat pantas disandang Borobudur. Tak heran, Kementerian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menjadikan Borobudur sebagai salah satu maskot Wonderful
Indonesia.

Relief 'Kapal Borobudur' sudah terkenal ke mana-mana sejak lama. Sudah saatnya relief "Pemain
Musik" yang tentu saja menyinggung pula alat musik, lebih dipopulerkan. Sound of
Borobudur telah melakukannya untuk sebagian alat musik, dengan membuat replika berdasarkan
gambar relief.

Menariknya, Borobudur menjadi titik temu dan titik lintasan pembawa budaya dari berbagai
wilayah di Nusantara dan dunia. Banyak alat musik yang terukir pada badan Borobudur,
ternyata tidak ditemukan di Jawa. Malah dikenal di luar Jawa dan beberapa negara Asia
Tenggara.

Meskipun banyak alat musik belum teridentifikasi namanya, rasanya penelitian terhadap isi
prasasti dan relief Borobudur ini perlu ditingkatkan. Sejak lama Borobudur telah menjadi ajang
penelitian para pakar arkeologi, sejarah, arsitektur, agama, seni, geologi, teknik sipil, dan lain-
lain. Upaya panitia Sound of Borobudur untuk memperkenalkan peradaban Nusantara yang
mendunia ini, patut diapresiasi.

Modernisasi memang membawa perubahan pada alat musik dan musik tradisional Nusantara. Banyak
alat musik jarang dijumpai lagi, bahkan jarang dimainkan. Beruntung ada Sound of Borobudur yang
menggali kembali alat-alat musik tradisional sehingga tidak punah. Semoga ada upaya sejenis seperti
merekonstruksi alat transportasi, fauna, dan flora yang ada di relief Borobudur.***
Sound of Borobudur: The Harmony of
Wonderful Indonesia
Oleh: Ratih Fitroh

Mungkin sudah jodoh. Saya, Borobudur, Sejarah, Musik dan kompasiana. Sudah lama tak
menulis, apalagi tentang sejarah (terakhir ya skripsi waktu S1. Wkwkwk) karena memang tidak
mudah. Menulis sejarah berarti tentang riset, tentang bertemunya kita dengan ledakan
pengetahuan yang selama ini telah menunggu. Monumen-monumen sunyi yang agung, magis,
indah dan sakral pada masanya. Salah satunya adalah Candi Borobudur.

Sebagai sebuah candi dan tujuan wisata, saya sudah berkali-kali mengunjungi Borobudur. Kalau
lagi piknik sekolah jaman SD, apalagi karena tinggal di Kabupaten Ngawi, Borobudur dan
Prambanan menjadi destinasi utama saat itu. Saat SMP, SMA bahkan saat kuliah di Jurusan
Pendidikan Sejarah Unesa juga sama. Candi Agung Borobudur menjadi agenda utama meski
sebagai pelajar kami kehabisan ide mau ngapain.

Kalau ke Borobudur tuh yang kepikiran cuma panas, foto-foto pose aneh di stupa, foto sama
bule, pakai topi lebar dan pakai kacamatan item yang banyak dijual pedagang keliling. Belum
pernah rasanya kami memikirkan mengunjungi Candi Borobudur sebagai sebuah Candi Agung,
yang pada masa kerajaan Mataram Kuno merupakan sumber ilmu pengetahuan dan pusat
peradaban Budha dunia.
Andai diibaratkan artis, Borobudur ini sudah go internasional dari dulu. Kerajaan Sriwijaya yang
notabene tidak meninggalkan bangunan monumental sekelas Borobudur saja saat itu disebut I
Tsing sebagai pusat pengajaran agama Budha. Banyak biksu dan para pedagang segala
kewarganegaraan berkunjung dan mendalami agama budha di Sriwijaya.

Jikalau dibandingkan, tentulah Borobudur adalah highlight-nya. Meski dibangun di pulau Jawa,
rada jauh dari Sriwijaya, bangunannya tidak kaleng-kaleng. Megah berdiri di tengah bukit tinggi.
Magis dengan segala keindahan pahatan reliefnya. Nah mengenai relief inilah yang akan menjadi
harta karun kita selanjutnya.

Sebagai sebuah monumen, candi Borobudur telah ditetapkan menjadi warisan dunia oleh Unesco
pada tahun 1991. Banyak turis lokal dan internasional yang berkunjung, meski sekedar foto-foto
dan mendengar penjelasan guide tentang sejarah berdirinya candi. Hampir belasan kali saya ke
Borobudur sejak 2002, saya mencermati tidak banyak yang berubah dari segi pemberian
informasi terkait Borobudur.

Jadinya kalau udah berkali- kali kesana, palingan ya cukup sekali aja yang pakai guide. Sisanya
karena sudah dijelaskan di sekolah, juga bisa dibaca di internet, agenda utama sebagai turis
tetaplah foto-foto dan naik turun hingga area Arupadhatu.
Kesan saya tentang Borobudur mulai berubah saat berkunjung sebagai mahasiswa jurusan
pendidikan sejarah. Saat itu tahun 2010 kami tidak memakai jasa guide melainkan dijelaskan
sendiri oleh dosen mata kuliah arkeologi kami, Alm. Bapak Hanan Pamungkas.

Kami diminta untuk berkenalan dengan Borobudur lebih dekat. Kami melakukan mapradaksina,
upacara mengelilingi candi searah jarum jam. Kami diminta mencermati relief-relief indah, yang
dipahat di batu andesit dari sungai sekitar desa Boro. Kami diminta membayangkan susahnya
mengangkut, memotong, memahat, juga mengonsep relief Borobudur yang sangat detail dan
halus ini. Kami tercengang. Seperti buta baru melek, anak-anak milenial akhirnya berkenalan
dengan benar peninggalan monumental leluhur kita.

Setelahnya, saya mulai jatuh cinta lagi, kali ini lebih dalam pada Borobudur. Tahun 2016 saya
kembali kesana, sebagai mahasiswa pendidikan profesi guru sejarah, saya kembali melakukan
mapradaksina. Mencermati Borobudur dengan lebih lekat. Reliefnya saya susuri satu demi satu,
menikmati kedamaian yang menyusup perlahan di relung dada.

Saat itu Borobudur hampir senja, keindahannya berkali lipat menubruk saya. Saya akhirnya
duduk di antara stupa, kemudian memandang sekaliling, ah.. mungkin kedamaian dan
ketenangan batin inilah yang dirasakan oleh umat Budha saat membangun candi ini.
Lokasinya amat luar biasa, suasananya sangat menenangkan. Saya kemudian berfikir sebagai
guru sejarah, saya harus bisa membawakan gambaran suasana ini ke kelas saat mengajar. Agar
tak cuma saya yang jatuh cinta, tapi juga semua siswa saya.
Tahun 2009-2019 saya sempat aktif di sebuah konser Jazz Traffic Festival di Surabaya. Saat itu
pulalah saya berkenalan dengan Prambanan Jazz, bisa dibilang kami bersaudara karena sama-
sama menyelenggarakan konser jazz. Tapi jauh dilubuk hati saya selalu iri dengan Prambanan
Jazz, meski sama-sama konser jazz, tapi lokasi mereka luar biasa.
Di pelataran Candi Prambanan. Concert with a view! Makin terpana lagi saat mulai ngeh adanya
sendratari Ramayana di candi yang sama. Tiba-tiba sebagai anak EO sekaligus guru sejarah, saya
berfikir sebenernya musik, seni, kebudayaan, youth movement ini bisa dilebur jadi satu di
warisan benda sejarah kita, candi misalkan.

Maka saat malam kemarin secara tidak sengaja mampir ke kompasiana, membaca iklan adanya
lomba blog tentang The Sound of Borobudur, saya merasa saya harus mengaktifkan kembali otak
saya untuk menulis tentang ini, sebagai wujud kecintaan saya terhadap Borobudur dan musik.
Awalnya saya mikir oh, mungkin mau diadakan konser di Borobudur. Genre musik lain tapi
lokasinya di Borobudur. Tapi ternyata saya keliru!

Proyek bertajuk Sound of Borobudur bahkan melampaui imajinasi saya. Digawangi oleh Mbak
Trie Utami yang pernah menetap berbulan - bulan di desa sekitar Candi Borobudur (dan saya
sangat yakin beliau juga jatuh cinta seperti saya), kemudian dilengkapi oleh Mas Dewa Budjana
dan Mas Purwatjaraka, wah, dalam hati saya, gila, ini pasti bakal keren luar biasa. Gak tanggung-
tanggung meski bukan sejarawan mereka mencoba membunyikan musik yang dulunya hanya
terpatri di relief Borobudur! What a brilliant movement!
Sebagai guru sejarah saya memang mengikuti perkembangan Borobudur. Penataan tamannya,
sempet ada kebijakan sewa kain, kemudian ada tour melihat sunrise di Borobudur, ada
Borobudur marathon, juga ada Borobudur writers and cultural festival. Tapi kesemuanya belum
mengeksplorasi "suara" dari Borobudur sendiri.

Kita baru sebatas hadir dan mengamati, andai dikategorikan film, kegiatan-kegiatan tersebut
masih senyap alias film bisu. Perlu sentuhan "soundtrack" agar Borobudur kembali bersuara dan
bergaung ke seluruh dunia, seperti saat masa kejayaannya.

Tim dari Sound of Borobudur ini jujur membuat saya tercengang. Mereka takes extra mile
further. Alih-alih sekedar membuat soundtrack, entah musik dari mana, tapi mereka malah
menggali dan meracik sendiri dari relief ratusan tahun yang lalu!

Ah, kan cuma bikin musik. Hey, tak semudah itu ferguso. Arkeolog dan sejarawan bahkan
membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menyingkap cerita-cerita relief Borobudur. Hasil
karya mereka memuaskan dalam konsep 2D, sebuah kisah dan penuturan kembali identitas kita.

Tapi andai wahana permainan, konsep yang 3D jelas dinantikan. Dan tim Sound of Borobudur
adalah penggagas dari sebuah petualangan baru, mendapat panggilan hati menggaungkan
kembali Borobudur sebagai pusat kebudayaan agung Nusantara, dengan segala kemewahannya.

Ada dua buah teori tentang alat musik yang terpahat cantik di Borobudur. Yang pertama
Borobudur menjadi sebuah pusat titik temu, dimana masyarakat internasional saat itu telah
banyak berkontak dengan nenek moyang kita, kemudian sebagai bentuk persahabatan maka
dipahatlah berbagai fragmen penampilan mereka, lengkap dengan berbagai alat musiknya. Teori
kedua sebaliknya, segala alat musik itu berasal dari Nusantara dan tersebar ke penjuru dunia.

Di youtube Bumi Borobudur disebutkan bahwa salah satu alat musik itu mirip dengan harpa
yang ada di Uganda. Tahap kritik eksternal tentu akan butuh waktu lama tetapi sudah menjadi
agenda selanjutnya dari tim Sound of Borobudur seperti yang diungkapkan Mbak Iie saat
berbincang dengan Gubernur Jateng Pak Ganjar Pranowo.

Apapun hasil interpretasi para sejarawan nantinya, kedua teori itu bahkan mengukuhkan slogan
pariwisata kita, Wonderful Indonesia, menjadi makin mengagumkan. Tak hanya alamnya,
sejarah dari peninggalan nenek moyang kita sendiri bahkan melampaui imajinasi. Sejak abad ke-
9 nenek moyang kita tak habis-habis membuat kejutan.

Prestasi menciptakan bangunan monumental bernafaskan harmoni relijius terbesar masa klasik
Hindhu Budha, yang hingga kini 100 tahun lebih masih kita butuhkan sebagai sumber belajar
dan inspirasi. Sejarah pemerintahan, politik, kearifan local, harmoni keberagaman, pusat ilmu
kebudayaan dan teknologi, kini bahkan Borobudur sebagai pusat musik dunia.
Sebuah gerakan indah yang diinisiasi oleh para pemerhati budaya. Tak sabar rasanya berkunjung
kembali ke Borobudur, mengamati reliefnya, menghirup udara segar sembari mendengarkan
Sound of Borobudur mengalun. Relief Borobudur telah banyak kali diinterpretasikan sebagai
kisah oleh sejarawan. Kini sebagai penyempurna, alunan interpretasi relief berupa musik menjadi
sebuah warisan budaya luar biasa.

Dari Borobudur untuk Wonderful Indonesia. Di tahun 2016 mbak Tri Utami berfokus tentang
reliasasi alat, dari relief ke masa kini, membunyikannya. Makin bertumbuh di tahun 2021
beberapa lagu telah tercipta, mengalun harmonis mengukuhkan kita ke sebuah identitas
baru: Borobudur pusat musik dunia. Wonderful Indonesia.

***

Ditulis oleh seorang guru sejarah SMA Negeri 50 Jakarta, fans berat Borobudur dan musik, di
Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei 2021.
Mengenal Alat Musik Dayak Sape' dan
Keledi, Instrumen "Sound of Borobudur"
dari Kalimantan
Oleh: Kaekaha

Sound of Borobudur
Gerakan dan Gelaran Sound of Borobudur alias "membunyikan Borobudur" yang digagas
oleh Sound of Borobudur Movement benar-benar berhasil membuat "kegaduhan" yang
mengagetkan masyarakat nusantara, sekaligus menyengat kembali naluri keingitahuan khalayak
terhadap mahakarya anak bangsa yang berdiri sejak 13 abad silam, Borobudur.

Dari Sound of Borobudur masyarakat nusantara kembali disuguhi sisi lain dari Borobudur yang
belum sepenuhnya tersingkap dan masih terpendam oleh tanah dan bebatuan, serta lebih sering
tenggelam dalam ruang-ruang penelitian yang lebih menjadi domain dari para pakar, ahli dan
akademisi, yang sayangnya sampai sekarang justeru masih sangat minim publikasi, setidaknya
yang sampai ke masyarakat umum.

Siapa sangka, ide yang berujung pada hajatan "membunyikan Borobudur" bagian dari Wonderful
Indonesia ini, ternyata membangunkan masyarakat nusantara dari tidur panjangnya selama ber
abad-abad, hingga baru menyadari struktur mandala raksasa yang sekarang dikenal sebagai
Candi Borobudur, ternyata bukan sekedar peninggalan masa lalu (dead monument) dan obyek
wisata favorit anak-anak sekolah semata, tapi Borobudur pusat musik dunia. Perpustakaan
raksasa, pusat dokumentasi dan ensiklopedi musik dunia.

Bagaimana tidak, artefaktual berupa relief yang memvisualkan 226 relief dalam 40 panel
berbeda dari total 1.460 panel relief cerita dan 1.212 panel relief dekoratif yang menampilkan
lebih dari 40 jenis instrumen alat musik ini, ternyata masih sangat aktual! Sampai sekarang, alat-
alat musik dalam relief itu, masih banyak dimainkan di berbagai negara, termasuk di 34 propinsi
di Indonesia.

Luar biasanya, alat musik dalam relief di candi Borobudur ini menggambarkan semua kategori
alat musik yang ada di dunia secara lengkap,
yaitu kordofon (petik), aerofon (tiup), idiofon (pukul) dan membranofon (membran).

Secara de facto, ini jelas menunjukkan peran sentral Borobodur sejak 13 abad yang lalu sebagai
salah satu pusat budaya dunia, khususnya seni musik, apalagi sejauh ini belum ditemukan situs-
situs lain di dunia yang se-era dengan Borobudur, menampilkan relief alat musik sebanyak Candi
Borobudur.

Berikut nama dan asal negara alat-alat musik yang terpahat dalam relief dinding Candi Borobudur hasil
penelitian tim gerakan Sound of Borobudur yang dimotori oleh tiga musisi senior Indonesia,
Ir.Purwatjaraka, Trie Utami dan Dewa Budjana tersebut :

Ranat
Ek (Thailand), Balafon (Gabon), Marimba (Congo/Tanzania), Garantung (Indonesia), Mridagam (India),
Ghatam (India), Udu (Nigeria), Bo (China), Bhusya (Nepal), Darbuka (Egypt), Tifa (Indonesia), Small
Djembe (Mali/West Africa), Traditional Drum (Srilanka), Muzavu (Tamil), African Drums,
Tabla (India), Kendang (Indonesia), Conga (Latin America), Pipa (China), Setar (Iran), Oud (Saudi
Arabia), Biwa (Japan), Lute (English), Ud (Turkey), Bowed String (Italia), Dombra (Kazakhstan), Saung
Gauk (Myanmar), Ngobi (Algeria), Sakota Yazh (Tamil), Kora (Gambia), Ekidongo (Uganda), Harp,
Zeze/Lunzenze (Kenya), One String Zither (Peru), Kse
Diev (Cambodia), Kwere (Tanzania), Sheng (China), Saenghwang (Korea), Keledik/Kedire (Indonesia), Sa
pe' (Indonesia), Shio (Japan), Traditional Flute (Europe), Bansuri (India), Medieval
Flute (Germany), Daegum (Korea), dan Suling atau seruling (Indonesia).

Dari daftar diatas, Indonesia menjadi penyumbang jenis alat musik terbanyak, dengan 6 jenis alat
musik yang terdiri dari Garantung, Tifa, Kendang, Sape', Keledi dan Suling.

Uniknya, keenam alat musik diatas berasal dari daerah berbeda-beda, Garantung dikenal dari
Sumatera Utara, Tifa dari daratan Papua, serta kendang dan suling. Meskipun konsentrasi
terbanyak ada di Pulau Jawa, tapi faktanya dua jenis alat musik ini, sekarang juga telah
mempunyai sebaran yang cukup luas di pelosok nusantara, bahkan beberapa sampai level Asia
Tenggara.

Khusus untuk Sape' dan Keledi, ini yang membuat orang Kalimantan wajib berbangga! Ternyata, dua
alat musik Suku Dayak di Kalimantan ini mempunyai sejarah yang sangat panjang, sampai terpahat
dengan visual yang sangat jelas dan identik sejak 13 abad silam di dinding Candi Borobudur.

Mengenal Alat Musik Sape'


Pada pahatan relief di dinding Karmawibhangga, ditemukan waditra (alat musik) berdawai
dengan resonator langsing yang bentuknya relatif persegi panjang dan sedikit menggembung ke
sisi samping kanan-kiri pada bagian tengah. Dari detail visualnya alat musik tersebut dikenali
sebagai sape' atau sampe', alat musik tradisional Suku Dayak di Pulau Kalimantan.

Nama sampe' atau sape' yang tersemat pada alat musik petik kebanggan Suku Dayak ini, juga
berasal dari cara memainkannya yang dipetik. Kosakata sampe' dalam bahasa lokal Dayak
maknanya "memetik dengan jari" khususnya untuk suku Dayak Kenyah, sedangkan
sebutan sape' digunakan oleh Suku Dayak Bahau dan Kayaan. Sementara Suku Dayak Modang
mengenal alat musik petik ini dengan sebutan sempe, sedangkan Suku Dayak Tunjung dan
Banua mennyebutnya dengan kecapai.
Konon alat musik sape’ diciptakan oleh pemuda yang selamat dari kecelakaan sampan yang
akhirnya terdampar di sebuah daratan kecil di tengah sungai. Dalam renunganya, si-pemuda
mendengar suara musik dari dasar sungai yang menginspirasinya untuk membuat alat musik
dengan bunyi yang identik dengan yang didengarkannya tadi.

Uniknya, bentuk resonator Sape' yang biasanya dibuat dari jenis kayu keras, kuat dan tahan
lama, seperti kayu ulin, kayu arrow, meranti, kayu kapur dll yang bagian kepalanya biasa dihias
dengan visualisasi kepala burung Enggang itu bentuknya menyerupai sampan, langsing
memanjang dan penuh dengan motif ukiran khas Dayak yang sangat mempesona.

Umumnya, sape' mempunyai jumlah dawai antara 2 sampai 6 yang umumnya sekarang
menggunakan kawat kecil bukan serat dari pohon enau seperti yang dipakai nenek moyang
dahulu

Prinsip kerja sape’ mirip dengan gitar, begitu pula cara memainkannya, teknik petik. Hanya saja
untuk kunci notasinya berbeda. Sedangkan jenis sape' sendiri sangat beragam dan pasti berbeda-
beda, terutama jika dilihat dari ukuran, ukiran dan juga jumlah dawainya. Semua tergantung dari
sub suku Dayak yang memilikinya. Persis dengan namanya yang juga berbeda-beda walaupun
secara fonetik masih mempunyai kemiripan yang identik.

Tekni bermain sape' yang harus dipetik, akan mengeluarkan dentingan nada yang begitu syahdu
dan mudah menyentuh perasaan. Tidak heran jika kemudian, permainan sape' juga dipakai untuk
mengiringi tarian-tarian dalam ritual upacara adat Dayak. Selain itu, juga sangat efektif untuk
untuk menyatakan perasaan, baik senang maupun sedih.

Jaman dahulu, konon awalnya lantunan musik yang riang hanya boleh dimainkan pada siang
hari, sedangkan lantunan musik yang syahdu dimainkan pada malam hari. Dentingan yang indah
dari sape’ juga digunakan untuk .

Pada Dayak Kenyah dan Dayak Kayaan, terdapat sastra lisan turun-temurun bernama 'Tekuak
Lawe" yang ringkasnya berbunyi "sape benutah tulaang to’awah" yang makna filosofisnya
berarti sape’ mampu meremukkan tulang-tulang hantu yang gentayangan yang maksudnya
bahwa dentingan suara sape’ dapat membuat menyentuh perasaan hingga membuat orang yang
mendengarnya merinding.

Lebih Dekat dengan Keledi


Keledi merupakan alat musik tiup tradisional yang lazim dimainkan oleh masyarakat Suku
Dayak di seluruh penjuru Pulau Kalimantan. Tidak heran alat musik yang terbuat dari kombinasi
batang-batang bambu kecil dan labu yang dikeringkan ini mempunyai nama yang sangat banyak
sekali alias berbeda-beda antara sub suku Dayak yang memainkannya.
Masyarakat Dayak di Kabupaten Sintang menyebutnya sebagai Kledik, masyarakat Dayak Iban
menyebutnya keluri atau enkulurai, sementara masyarakat Dayak Ot Danum menyebutnya
sebagai korondek. Tidak hanya itu, masyarakat Dayak di Kaimantan Timur menyebutnya
sebagai Kadire atau Kedire dan banyak lagi nama-nama lainnya, seperti Kaldei,
keruru, Kaduri dll.

Keledi atau Kledik khas dari Kabupateng Sintang atau tepatnya dari Desa Nanga Tebidah, Kecamatan
Kayan Hulu, telah mendapatkan pengakuan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dari
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud RI) pada 20 Oktober 2015

Keledi atau Kledik khas dari Kabupateng Sintang atau tepatnya dari Desa Nanga Tebidah,
Kecamatan Kayan Hulu, telah mendapatkan pengakuan sebagai Warisan Budaya Tak Benda
Indonesia dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud RI)
pada 20 Oktober 2015

Keledi dalam Desain Perangko Lama | old-stamps.com

Jika menarik data dari fakta visualisasi keledi di dalam relief Candi Borobudur yang
diperkirakan berdiri lebih dari 13 abad silam atau lebih dari 1300-an tahun, keterangan dari
beberapa sumber yang menyatakan perkiraan usia alat musik keledi ini mencapai 3000-an tahun
sepertinya bukan isapan jempol semata.
Itu artinya, Keledi merupakan instrumen organ tertua di Indonesia bahkan bisa jadi di level
dunia, karenanya banyak yang menduga, organ mulut khas masyarakat Dayak ini merupakan
salah satu inspirasi dan juga cikal bakal terciptanya alat musik organ modern.
Untuk membuat Keledi yang sangat unik dan eksotik, yakni berupa susunan sejumlah tabung/ruas
bambu dengan panjang berbeda yang dihubungkan dengan sebuah labu, dibutuhkan bahan buah labu
tua berumur sekitar 5-6 bulan yang dibuang isinya, direndam satu bulan dan selanjutnya dikeringkan,
serta beberapa ruas batang bambu kecil

Untuk menyatukan buah labu dan batang-batang bambu digunakan perekat dari
sarang kelulut (sejenis lebah hutan penghasil madu yang berukuran lebih kecil). Sedangkan
tabung ruas bambu disatukan dengan ikatan tali. Fungsi dari tabung dari ruas-ruas bambu ini
adalah untuk menghasilkan nada-nada pentatonik dari yang paling tinggi sampai yang paling
pendek.

Cara memainkan keledi juga mirip dengan harmonika, jadi tidak hanya sekedar ditiup saja, tapi
juga ada bagian nada yang untuk mendapatkannya harus dihisap. Untuk itu, sebagaimana
layaknya para pemain alat musik tiup lainnya, untuk bisa memainkan keledi dengan baik harus
mempunyai nafas yang relatif panjang dan juga kemampuan untuk mengatur nafasnya, biar tidak
ngos-ngosan!

Lazimnya, Keledi dimainkan saat berlangsung ritual adat suku Dayak, iringan tari-tarian
tradisional, nyanyian dan teater tutur khas Dayak. Sayang, eksistensi Keledi terus menurun,
keberadaanya masih kalah populer dengan alat-alat musik tiup modern, termasuk pianika saudara
mudanya.

Semoga Bermanfaat!

Salam dari Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!


Menanti Pentas Sound of Borobudur di
Bolshoi Theatre
Oleh: Taufik Uieks

We are the sound of Shambara,

vibes from Nusantara.

We're the flowers of Shambara,

Padma Swargantara.

Metta Chakra Soumna Patta.

Metta Chattra Soumna Parya.

Metta Dhamma Soumna Dayya.

Metta Charya Soumna Ghra.*

*Lirik yang dibawakan oleh Trie Utami dalam Bahasa Inggris dan Pali yang menjabarkan
Suara dari Bumi Borobudur yang ada di Nusantara.

Borobudur. Siapa yang tidak terkagum-kagum mendengar nama ini? Saya sendiri pertama kali
menjejakkan kaki di monumen paling agung di Bumi Nusantara ini pada akhir tahun 1975.
Ketika itu, untuk pertama kali pula saya menghirup segarnya aroma udara pulau Jawa,
khususnya kawasan Borobudur dan Jawa Tengah.

Di masa itu, Candi Borobudur sedang dalam tahap restorasi yang dilakukan oleh pemerintah
bersama UNESCO sejak 1973 sampai 1983. Walhasil, saya hanya bisa berkunjung dan naik ke
sebagian candi saja karena bagian lainnya sedang dalam tahap pemugaran. Setelah puas
berkeliling, saya pun sempat diabadikan di depan salah satu stupa. Pengetahuan saya tentang
Borobudur hanya sebatas yang diajarkan di sekolah tentang kapan dan pada era raja mana candi
tersebut dibangun.

Seiring dengan berjalannya waktu, dan juga karena sudah berulang kali mampir dan membaca berbagai
literatur tentang Borobudur, pemahaman, kecintaan dan minat saya akan Borobudur pun kian
mendalam dan beragam. Tidak hanya sekedar pada deretan stupa di tingkat Arupadatu, melainkan juga
ke sebagian kisah-kisah yang ada di deretan reliefnya yang bertingkat-tingkat itu. Saya juga mulai
mengenal berbagai posisi mudra yang ada pada ratusan patung Buddha yang ada di seantero candi.

Saya mulai membaca tentang bagian-bagian candi yang terdiri dari Kamadatu, Rupadatu,
dan Arupadatu serta berbagai relief yang ada di dinding dan langkan candi. Nama-nama
seperti Karmawibhangga, Lalitawistara, Jataka, Awadana, dan Gandavyuha mulai saya
kenal. Setiap ada kesempatan berkunjung kembali ke Candi Borobudur, saya selalu
menyempatkan diri menjelajah lorong-lorong di setiap tingkat dan menikmati keindahan relief
tersebut.
Kehadiran Museum Karmawibhangga dan Samudra Raksa di Taman Wisata Candi Borobudur
juga mempermudah saya untuk mengenal lebih dekat sejarah dan pernak pernik mengenai candi
ini termasuk gambar panil relief Karmawibhangga, Unfinished Buddha dan
juga chatra serta Kapal Samudra Raksa.

Kunjungan terakhir saya ke Candi Borobudur adalah pada Oktober 2018 bersama rombongan
dari mancanegara dimana kami menikmati satu hari tur di Borobudur dan Hotel Manohara. Saya
sendiri menggunakan kesempatan ini untuk mengenal lebih jauh tentang relief yang ada di
dinding dan langkan candi. Terutama mengenai alat-alat musik yang terpahat indah dan sempat
digaungkan oleh Sound of Borobudur yang pertama kali dicanangkan pada 2016.

Penampilan perdana Sound of Borobudur yang diadakan bersamaan dengan Borobudur Cultural
Feast pada 17 Desember 2016 lalu itu memperkenalkan 3 dawai hasil rekacipta ulang dengan
meniru alat musik yang terdapat pada relief Karmawibhangga. Tiga dawai itu pun diberi nama
yang eksotik yaitu: Gasona -- dawai dari relief nomor 151, Solawa -- dawai dari relief nomor
125, dan Gasola -- dawai dari relief nomor 102.

Penampilan perdana itu begitu menggugah dan seakan-akan membahanakan panggilan dari Bumi
Shambara kepada dunia. Mewartakan sebuah kisah bahwa pada suatu masa, sekitar 13 abad
lalu, Borobudur pernah menjadi pusat musik dunia. Sekali lagi ditegaskan bahwa Borobudur
pusat musik dunia.

Para pelopor Sound of Borobudur ini kemudian membentuk sebuah wadah formal yaitu Yayasan
Padma Sada Svargantara. Mereka terdiri dari para pelaku seni yang sudah tidak asing lagi
seperti Trie Utami, Ir. Purwa Tjaraka, Dewa Budjana, Ir. Rully Fabrian, Santi G. Purwa, dan
Budi Setiawan (Budi Dalton). Hasilnya adalah Gerakan Sound of Borobudur yang bercita-cita
bukan hanya mewujudkan kembali 3 dawai, melainkan seluruh atau paling tidak sebagian besar
alat musik yang terpahat pada relief di Borobudur. Tujuan nya adalah menghidupkan kembali
alat-alat musik warisan zaman lampau untuk membahanakan berita bahwa Borobudur pernah
menjadi pusat peradaban dan musik dunia.

Dari 1460 Panil relief naratif yang menghias dinding dan pagar langkan candi ada lebih dari 200
relief yang menggambarkan puluhan jenis waditra (alat musik). Ada lebih dari 40 jenis
instrumen alat musik, seperti alat musik kordofon (petik), aerofon (tiup), idiofon (pukul), dan
membranofon (membran). Uniknya, sebagian waditra tersebut masih dapat kita jumpai pada
zaman ini dan dimainkan di seluruh pelosok 34 provinsi di Indonesia, sementara lainnya masih
eksis di lebih dari 40 negara di seluruh dunia.
Sebagai contoh jenis alat musik yang paling banyak ditemui pada relief adalah jenis perkusi yang
termasuk idiofon atau alat musik pukul yang menghasilkan suara dari tubuh alat musik itu
sendiri. Gendang dalam berbagai bentuk baik kerucut atau silinder yang masih banyak
dijumpai di Jawa maupun Sunda. Selain itu juga terdapat simbal yang berbentuk piring,
juga kenong dan genta. Selain gendang juga ada berbagai jenis gambang yang terdapat dalam
musik karawitan yang ada di Jawa, Sunda dan Bali.

Untuk alat musik tiup atau aerofon, terdapat berbagai jenis suling, trompet, dan juga Kledi. Kledi
merupakan alat musik yang dapat menghasilkan beberapa nada secara bersamaan. Alat musik ini
sudah hampir punah dan sekarang dapat ditemui di Kalimantan serta masih dimainkan oleh Suku
Dayak.

Sementara itu untuk alat musik petik banyak dijumpai berbagai jenis seperti Gambus dari
Melayu, Sape dari Dayak, Hasapi dari Batak dan bahkan alat musik petik dari Tiongkok seperti Pipa yang
berbentuk mirip buah pir dengan 4 buah dawai, Selain itu juga ditemui relief harpa yang mirip
dengan Ekidongo yang memiliki delapan dawai dan berasal dari Uganda.

Gerakan Sound of Borobudur terus bekerja dalam sunyi, akhirnya sebagian besar waditra yang
terukir pada relief Candi Borobudur dapat dihadirkan dalam dunia nyata baik dengan
merekacipta ulang maupun dengan menghadirkannya dari berbagai lokasi. Singkatnya dari grup
musik kecil beberapa musisi yang tampil dengan 3 dawai, kini Sound of Borobudur sudah
memiliki orkestra dengan kekuatan lebih dari 40 musisi.

Untuk merayakan hasil kerja keras selama 5 tahun ini Gerakan Sound of Borobudur
mengadakan acara Seminar dan Loka Karya Online Borobudur Pusat Musik Dunia yang
diselenggarakan pada 7- 9 April 2021 di kawasan Borobudur. Acara yang dihadiri oleh Menteri
Parekraf Sandiaga Uno dan juga Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo ini berlangsung secara
luring dan daring sehingga dapat diikuti banyak peserta tanpa batasan ruang. Bagi yang hadir di
tempat tentunya tetap memperhatikan panduan CHSE (Cleanliness, Health, Safety, and
Environmental Sustainability) dalam MICE (Meeting, Incentive, Conference and
Entertainment).

Pada kesempatan ini kembali Trie Utami, Dewa Budjana dan kawan-kawan dengan arahan
PurwaTjaraka tampil membawakan beberapa gubahan lagu yang memesona. Lagu pertama
bertajuk Jataka. Jataka sendiri merupakan kumpulan Fabel atau cerita kehidupan Sang Buddha
ketika dalam wujud hewan sebelum menitis dalam tubuh Sidharta Gautama. Kisah Jataka ini
sendiri digambarkan dengan apik pada relief yang ada di dinding dan pagar langkan Candi
Borobudur di tingkat pertama.
Saya yang menyaksikan via daring merasa terkesima dengan penampilan lagu yang menawan
dan menggugah sukma. Lagu yang diciptakan Dewa Budjana ini seakan membawa pendengar
mengembara menembus ruang waktu dan matra untuk menikmati dinamika yang ada pada relief-
relief candi. Selanjutnya lagu dari Dayak Kenyah di Kalimantan berjudul Lan e Tuyang. Lagu
yang liriknya bermakna bahwa kebahagiaan itu sederhana ini dibawakan dengan nada lagu
rakyat yang jenaka dan gembira dengan iringan alat musik kledi. Persembahan terakhir adalah
lagu yang didedikasikan untuk Ibu Pertiwi yaitu Indonesia Pusaka yang banyak dihiasi dengan
bunyi dentang dan genta nan mengharubiru.

Penampilan Sound of Borobudur Orchestra yang diharapkan pada gilirannya nanti dapat membawakan
berita kepada dunia bahwa alat-alat musik yang tergambar ada relief candi Borobudur ternyata dapat
diwujudkan kembali dalam dunia nyata dengan reinterpretasi pada ruang bunyi dan suasana yang
membawa penonton kembali ke tiga belas abad silam dengan cita rasa kekinian yang mendunia. Pesan
yang dibawa dari pertunjukan singkat ini menegaskan kembali keuniversalan bahasa musik yang
menembus sekat-sekat bahasa, etnis dan bahkan dimensi ruang waktu dan tempat.

Tidak berlebihan bila kita mendeklarasikan bahwa Borobudur memang pernah dan tetap akan
menjadi salah satu pusat musik dunia. Dengan Sound of Borobudur kita akan dengan bangga
menyatakan bahwa nenek moyang kita telah mewariskan sebuah harta budaya yang tidak ternilai
harganya dalam bentuk ansambel alat musik yang mendunia.
Kalau sebelumnya kapal Borobudur pernah dibuat kembali dan berhasil menjelajah samudra
sampai ke Afrika, kini giliran Sound of Borobudur Orchestra yang akan membuktikan kepada
dunia bahwa Borobudur pernah menjadi salah satu pusat peradaban dunia pada masanya.

Dengan hadirnya Sound of Borobudur Orchestra, tentunya kita mengharapkan bahwa


slogan Wonderful Indonesia akan semakin menggema di dunia dan kian banyak wisatawan
nusantara dan mancanegara yang berkunjung ke Borobudur.

Besar harapan kita bahwa nantinya akan ada sebuah teater atau panggung khusus untuk Sound od
Borobudur Orchestra di kawasan Taman Wisata Borobudur dan menjadi salah satu daya tarik
utama bagi pengunjung. Selain itu, Sound of Borobudur juga bisa menyemarakkan kegiatan
industri kreatif di desa-desa sekitar Borobudur dengan membuat cendramata replika alat-alat
musik dalam berbagai ukuran untuk dijual di gerai-gerai yang ada di sekitar teater.

Di waktu beberapa tahun lagi, bukan tidak mungkin Sound of Borobudur akan sama kondang
dengan Teater Bolshoi dari Rusia yang memiliki gedung tetap di Moskwa dan juga mempunyai
jadwal untuk keliling dunia dan tampil secara berkala di teater terkenal seperti di Gedung
Opera Sydney, Esplanade di Singapura, atau bahkan Teatro Colon di Buenos Aires dan La Scala
Theatre di Milan.

Semoga.

Sumber: soundofborobudur
Borobudur, Lambang Kegemilangan
Budaya Nusantara Masa Lalu
Oleh: Ign Joko Dwiatmoko

Secara kedekatan tempat, saya merasa bangga karena lahir


di wilayah yang hanya belasan kilometer dari
Borobudur.Saya lahir dan tinggal lama
di Krogowanan,Sawangan Magelang. Dalam ikatan budaya
tempat di mana saya lahir amat dekat dengan situs - situs
masa lalu yang mungkin berkait erat dengan Borobudur.

Seni, Spiritual dan Munculnya Seniman Alami


Di dekat rumah tidak lebih dari dua kilo ada beberapa candi seperti candi Lumbung (Tlatar,
Krogowanan, Sawangan ), candi Pendem, dan candi Asu (di desa Sengi Kecamatan Dukun ).
Pun dalam semesta budaya para seniman di seputar tempat tinggal saya ada yang melambung
berkat kedekatan dengan budaya dengan komunitas lima gunung, seniman yang melambung
dengan mengenalkan betapa cerdasnya seniman yang mengolah batu, semacam bahan dasar
candi Borobudur, diukir, dibuat patung.

Ismanto meskipun ia penganut katolik tapi sebagai budayawan, seniman saya yakin ia menganut
agama semesta alam yang mencintai budaya, dan tidak blereng (silau) dengan fenomena mabuk
agama yang akhir - akhir ini mengancam keberadaan budaya sebagai penyeimbang kedekatan
manusia, alam semesta raya dan produk budaya masa lalu, seperti keberadaan candi, tradisi, seni
tradisional, filosofi manusia yang tetap selalu berhubungan batu, pepohonan, makhluk- makhluk
tidak terlihat sebagai cara manusia untuk tetap memelihara harmoni.
Bukan produk luar yang terlalu mengagungkan budaya kapitalis, liberalisme, ataupun agama
yang ingin menghilangkan tradisi dan kekayaan budaya nenek moyang bangsa ini. Relief,
gambar - gambar yang memperlihatkan aktifitas budaya, memperlihatkan kekayaan peralatan
musik jaman itu (dalam sejarah diperkirakan ada pada kekuasaan Syailendra (Budha) dan
Sanjaya (Hindu) di kerajaan Mataram Kuno sekitar 824 Masehi saat peresmian
Borobudur. Aktifitas budaya di seputar Borobudur jauh - jauh hari sudah berkembang dengan
munculnya komunitas lima gunung yang melahirkan seniman - seniman kreatif yang mampu
membahasakan dan mendukung kuatnya budaya.

Tanto Mendut, Ismanto, Sitras Anjilin, Jono Topeng,dan banyak seniman lainnya di seputar
Pegunungan Menoreh, Merapi, Merbabu, Sumbing Sindoro Andong. Atmonsfer budaya yang
hadir di sekitar gunung itu yang mewadahi seniman sejak zaman Mataram Kuno, pergaulan antar
suku dan kekayaan sumber daya alam yang bisa melahirkan munculnya alat musik yang
tergambar di sejumlah relief di Borobudur. Lihat saja, pertokoan yang melahirkan perajin
perajin patung batu di pinggir sungai Pabelan masih di seputar Prumpung, Tamanagung
Muntilan Magelang.

Kecerdasan, Kehidupan seksual dan Filosofi Manusia


Borobudur dalam kemegahannya, sebuah produk arsitektural yang luar biasa membuktikan
bahwa zaman dulu nenek moyang Indonesia sudah maju pola pikirnya. Mereka sudah bisa
merancang bangunan, candi dengan perhitungan matematika yang luar biasa, presisi dan
perencanaan monumen sejarah kehidupan masyarakat sekitarnya. Gambar - gambar
dari kamadatu, rupadatu arupadatu, tahapan kehidupan masyarakat jelata, aktifitas budaya dari
seni rupa, seni musik sampai seni pertunjukan tergambar jelas.

Tingkah laku manusia yang mempunyai gejolak seksual, teknik -- teknik percintaan, percumbuan
manusia pada lawan jenisnya, sampai tingkatan hening di mana hanya sepi tanpa ada aktifitas
namun kaya makna diwujudkan dalam stupa paling tinggi di mana manusia masuk dalam tataran
spiritualitas paling tinggi.

Musik dan Lambang Kecerdasan manusia

Musik, sebagai produk budaya digambarkan dengan banyak ragam, dari


musik dengan cara ditiup(aerophone), dipetik(chordophone), dipukul
(idhiophone) dan digesek (chardophone ), kendang (membraphone) sudah ada
sejak dahulu kala. Musik adalah produk budaya yang tidak terpisahkan dari
seni pertunjukan, munculnya seni tradisi, kesenian yang ditujukan untuk
menunjukkan harmoni dengan alam, pemujaaan dan jalinan empati antara
manusia, alam semesta dan Tuhan yang menciptakan jagad gumelar ini.
Apa yang tercipta dari bebunyian merupakan produk budaya dari manusia yang dibekali bakat
dan kepekaan untuk mengolah rasa seni dari alam yng menyediakan banyak bahan untuk
dijadikan alat musik. Bambu yang tersedia banyak di sekitar, di kebun, di pinggir jurang, tepi
sungai bisa menghasilkan alat musik tiup juga pukul. Kelapa, kayunya bisa menjadi bahan untuk
dijadikan alat pukul gamelan ataupun bahan untuk lempeng- lempeng resonansi seperti gambang,
ataupun kendang, kayu, kulit kerbau, kulit kambing bisa dijadikan bahan untuk membuat bahan
membuat wayang kulit, kendang. Para empu zaman dahulu bisa menciptakan alat musik dengan
yang mampu membuat decak kagum manusia sekarang semacam gamelan.

Bagaimana gamelan tercipta dengan menggambungkan unsur bebunyian yang berbeda - beda,
ada titi nada yang berbeda pelog dan slendro hasil dari olah rasa para seniman dulu kala yang
bisa menggabungkan rupa- rupa alat musik menjadi sebuah sajian harmoni dalam perbedaan.
Relief dan Gambaran Nyata Kehidupan Dari Masa Ke Masa
Relief Borobudur sudah menggambarkannya lewat relief yang tersaji. Apa yang tergambar di
relief itu pasti bukan dari khayalan manusianya saja, tetapi pasti sebuah rekaman sejarah dari
aktifitas manusia dari pagi hingga malam dan kembali lagi ke esok harinya. Relief
karmawibhangga, Lalitavistara, wadariaJtaka, dan Gandahyuha muncul gambar alat musik antara
lain suling, simbal, lute, ghanta, cangka (terompet yang terbuat dari siput, saron dan gendang.

Jadi apa yang mau dikata tentang Borobudur? Luar biasa. Ternyata manusia zaman dahulu
peradabannya sudah sangat tinggi. Meskipun belum mengenal teknologi dengan adanya mesin, robot,
alat penggerak, mesin molen, beghoe, gergaji mesin, alat ukir elektrik, tapi mereka sudah bisa membuat
karya arsitektural yang bikin decak kagum dunia internasional.

Alat musik yang tergambar di relief memberi gaung merdu seantero jagad bahwa manusia
Indonesia zaman dahulu sudah tinggi tingkat peradabannya. Sayang jika manusia sekarang lebih
sibuk berdebat masalah politik dan pengaruh agama dalam politik yang saat ini malah membuat
Indonesia terpuruk dalam perkembangan kebudayaannya. Belajar dari budaya yang tergambar di
Borobudur semoga Indonesia kembali berjaya dalam seni musik dan tradisinya yang sangat
dikagumi dunia.

Tradisi dan Kecintaan Manusia Terhadap Alam Semesta


Kalau boleh berkata seniman tradisi, seniman yang lahir alami karena lingkungan
mengajarkan tentang bagaimana berdialog dengan Tuhan, dengan alam melalui bahasa
seni maka mereka itu adalah representasi nyata gambaran masa lalu bahwa setiap
generasi selalu ada seniman, budayawan, perancang bangunan monumental sudah ada
sejak peradaban manusia ada.Dari sejarah manusia sudah meninggalkan kecerdasannya,
sayangnya sekarang banyak manusia menyia - nyiakan kecerdasan hanya untuk debat
kusir tidak jelas yang malah kontraproduktif.
Ada manusia dengan alasan agama, melenyapkan atau anti terhadap patung, bahkan tahun 80 -an ada
teroris yang hendak menghancurkan Borobudur dengan cara mengebomnya. Kalau mereka tega
melenyapkan artefak budaya rasanya manusia semakin mundur, dan terjebak dalam sebuah situasi
manusia yang cenderung Adigang, Adigung, Adiguna. Manusia dengan menonjolkan benih
kesombongan, watak berkuasa dan merasa paling pintar sendiri sehingga lebih suka menunjukkan diri
terpintar padahal banyak hal belum diketahui. Dan karena sok tahu itulah manusia menjadi gampang
roboh oleh perasaannya sendiri.
Sound of Borobudur: Rekaman Seni
Bermusik dalam Bingkai Perjalanan
Sejarah dan Waktu di Relief Candi
Borobudur
Oleh: Dodi Bayu Wijoseno

Ketika masih kecil dulu dan saat libur kenaikan kelas biasanya saya berlibur ke rumah kakek dan
nenek yang ada di kota Yogyakarta, salah satu agenda dalam liburan tersebut biasanya saya
selalu diajak berwisata ke Candi Borobudur bersama kakek dan saudara-saudara saya. Sama
seperti banyak anak lainnya, pengalaman pertama dalam ingatan ketika mengunjungi Candi
Borobudur adalah terkagum-kagum dengan bangunannya yang megah hingga setelah beberapa
kali kunjungan dan seiring bertambahnya usia , cara pandang terhadap bangunan ini berubah dari
sekedar kagum menjadi ingin tahu sejarahnya. Kebiasaan almarhum kakek saya mengajak jalan-
jalan ke tempat yang bersejarah membuat saya senang dengan segala hal yang berbau sejarah
hingga hari ini.

Seingat saya setelah lepas usia remaja saya sudah jarang mengunjungi Candi Borobudur. Saya
kembali lagi ke Candi Borobudur beberapa tahun yang lalu dalam event lari Marathon. Yang
pertama pada event Borobudur Marathon 2016 di mana saya menyelesaikan lari jarak Half
Marathon: 21 km dan yang kedua pada event Borobudur Marathon 2018 di mana saya
menyelesaikan lari jarak Full Marathon: 42 km. Sebenarnya kalau mengikuti event lari di luar
kota (saya tinggal di Jakarta) tujuan utamanya adalah pergi ke tempat-tempat bersejarah untuk
sekedar membuat tulisan ringan mengenai situs-situs bersejarah di kota tersebut.

Event lari beberapa tahun yang lalu tersebut membawa saya kembali ke Candi Borobudur,
sebuah mahakarya arsitektur dari abad ke-9 yang telah lama menjadi salah satu ikon Wonderful
Indonesia. Menurut sejumlah sumber, UNESCO telah menetapkan Candi Borobudur sebagai
salah satu warisan budaya dunia dan monumen Budha termegah dan terlengkap di dunia.
Pintasan kenangan masa kecil terhadap Candi ini masih terus membawa kekaguman hingga hari
ini dan tidak hanya sekedar kekaguman saja tetapi juga ingin mengetahui setiap kisahnya secara
lebih mendalam karena perjalanan kembali ke Borobudur waktu itu membawa sebuah sudut
pandang baru dalam memahami bangunan megah ini.

Borobudur membingkai perjalanan panjang sebuah sejarah peradaban besar


manusia
Candi Borobudur tidak hanya sekedar bangunan yang megah saja, selain fungsinya untuk tujuan
keagamaan dan peribadatan,perjalanan panjang sejarah sebuah kebudayaan, termasuk sejarah
kesenian terekam dan terbingkai dalam salah satu reliefnya dari berbagai relief yang berjumlah
sekitar 1,460-an panel. Dalam ilmu sejarah, para sejarawan membuktikan keautentikan sebuah
sejarah dimasa lalu dengan cara meneliti catatan tertulis yang ada maupun dengan bukti-bukti
peninggalan arkeologis yang ditinggalkan untuk memahami secara lebih baik sebuah tingkat
kebudayaan yang pernah dibuat oleh manusia.

Borobudur adalah artefak dan peninggalan arkeologis luar biasa yang membuktikan salah satu
peradaban maju nenek moyang bangsa Indonesia di masa lalu dan narasinya digambarkan dalam
bahasa visual yang dapat diteliti pada relief yang terdapat di dalam Candi Borobudur. Meski
sempat nyaris "hilang" karena pengaruh waktu dan alam namun reruntuhannya ditemukan pada
tahun 1814 ketika Raffles menjadi Gubernur Jenderal dan menguasai Jawa. Beberapa
pemugaran dilakukan oleh pemerintahan Kolonial setelahnya.

Dari sejumlah pahatan pada reliefnya diketahui adanya sejumlah alat musik yang digambarkan
dalam panel-panel reliefnya. Seni selalu berjalan seiring dengan sejarah panjang peradaban
manusia sendiri dan menjadi salah satu pencapaian penting dalam peradaban dan
kebudayaannya.

Ketika melihat rekaman video sejumlah pemusik memainkan alat musik yang unik di kanal youtube milik
akun Sound of Borobudur di atas beberapa waktu lalu, saya baru tersadar kalau Candi Borobudur tidak
hanya sekedar bercerita tentang sejarah saja tetapi juga tentang kesenian khususnya seni bermusik di
masa lalu yang dulu tidak pernah terpikirkan ketika mengunjungi Candi Borobudur ini. Alat-alat
musik dari relief Candi Borobudur tersebut dibuatkan replikanya dan dibunyikan di acara Sound of
Borobudur bersama artis-artis musik kenamaan seperti Trie Utami, Dewa Bujana dan lain-lain

Mengutip informasi dari Perpustakaan Balai Konservasi


Borobudur (perpusborobudur.kemdikbud.go.id), alat-alat musik tersebut terdapat pada relief
Karmawibhangga. Terdapat 10 panel yang memuat jenis alat musik, adapun jenis alat musik
yang terdapat pada relief terdiri atas 4 jenis yaitu:

1. Jenis idiophone (kentongan dan kerincingan)


2. Jenis Membraphone (gendang, kentingan)
3. Jenis Chardophone (gambus, rebab)
4. Jenis Aerophone (suling, terompet)

Diantara berbagai alat musik, saya pribadi memiliki ketertarikan kepada alat musik
berdawai seperti biola, viola (biola Alto),cello, contrabass dan sejenisnya, konon nada-nada
ekspresif dan dinamis dalam biola dapat mewakili berbagai gaya bermusik. Perpaduan nada
dinamis dan harmonis dalam biola baik yang terdengar riang , sedih atau jenaka memiliki
kemampuan untuk membangkitkan hampir semua suasana hati. Ketika dulu saya bersemangat
membaca literatur mengenai biola-biola legendaris seperti Amati, Antonio Stradivari atau
Guarneri del Gesu saya tidak sadar bahwa terdapat juga banyak kisah mengenai alat-alat musik
berdawai lainnya sebagaimana yang digambakan dalam salah satu relief Candi Borobudur yaitu
apa yang dinamakan dengan waditra (instrumen musik) berdawai (chrodophone). Sound of Borobudur
membuka wawasan saya untuk hal ini.

Sebagaimana ditulis oleh Arkeolog Universitas Negeri Malang M. Dwi Cahyono dalam artikelnya yang
berjudul "Seni Musik di Relief Candi dan Upaya Transformasi" dari berbagai macam alat musik di relief
Candi Borobudur terdapat alat musik yang dikategorikan sebagai waditra berdawai (chrodophone), yakni
suatu jenis instrumen musik yang terdiri dari satu atau lebih dawai dan resonator, yang sumber bunyinya
berasal dari dawai yang dipetik, digesek atau meski jarang ada pula yang dipukul dengan tongkat kayu.

Lebih lanjut masih menurut tulisan M. Dwi Cahyono pada relief di Candi Borobudur ini ditampilkan tiga
ragam bentuk waditra berdawai menurut bentuk resonatornya, yaitu: (1) resonator gemuk, dan (2)
resonator langsing. Terdapat dua varian dari waditra dengan resonator berbentuk gemuk yaitu: (1a) neck
lurus panjang namun jumlah tuning peg kurang jelas, dan (1b) neck membengkok ke arah kanan bagian
atas dengan tuning peg berjumlah empat. Waditra dengan resonator langsing mengarah pada bentuk
relatif persegi panjang, neck lurus panjang dan tuning peg berjumlah dua.

Alat-alat musik berdawai tersebut kemudian didiskusikan oleh pihak-pihak terkait untuk
kemudian dibuatkan replikanya sehingga apa yang tadinya tergambar di relief Candi Borobudur
diinterpretasikan dan diwujudkan ke dalam dunia nyata dalam sebuah bentuk alat musik yang bisa
dibunyikan dan dimainkan, tentu butuh usaha yang keras dan dedikasi yang luar biasa dari para seniman
musik untuk mewujudkan alat musik ini pada saat ini. Alat-alat musik tersebut yang pada akhirnya
dibunyikan dan dimainkan dalam Sound of Borobudur yang banyak mendapatkan apresiasi dari berbagai
pihak dan masyarakat umum.

Kemungkinan Borobudur menjadi tempat interaksi pertemuan kesenian dan


alat-alat musik dari berbagai tempat
Adanya kemungkinan bahwa cikal bakal bentuk alat-alat musik tersebut berasal dari beberapa tempat
atau bahkan dari tempat yang sangat jauh membuka kemungkinan Borobudur adalah sebagai tempat
pertemuan alat-alat musik dari berbagai tempat di dunia. Hal tersebut sangatlah menarik karena
sebagaimana dituliskan dalam artikel " Ekspedisi Perahu Borobudur Samudra Raksa" (lipi.go.id, 2017)
terdapat bukti-bukti sejarah mengenai adanya jejak-jejak pengelana (phantom voyagers) dari bumi
Indonesia yang telah mencapai Afrika di masa lalu, yang menimbulkan sebuah pertanyaan bagaimana
caranya pengelana tersebut dapat sampai di tempat yang sangat jauh di seberang samudra.

Salah satu petunjuk kunci yang mungkin dapat membantu memberikan jawaban atas pertanyaan
tersebut adalah penggambaran perahu layar bercadik ganda yang terpahat pada relief Candi
Borobudur. Relief tersebut menjadi salah satu bukti adanya pengembangan kebudayaan bahari
oleh Kerajaan Mataram kuno di Jawa tengah pada masa itu. Kapal dari relief tersebut akhirnya
dibuatkan replikanya oleh seorang pembuat kapal ulung di Indonesia, kapal kayu replika tersebut
dibuat tanpa menggunakan paku. Sebagaimana dituliskan oleh Nuswantoro dalam artikelnya
yang berjudul " Kapal Samudra Raksa, Kejayaan Maritim Nusantara di Pahatan
Borobudur." di laman mongabay.co.id, Kapal layar Samudra Raksa berhasil melakukan
eskpedisi pada 15 Agustus 2003, dari Ancol dan berakhir pada tanggal 23 Februari 2004 di
Pelabuhan Tema, Accra, Ghana, Afrika Barat.
Selain interaksi perdagangan di masa lampau, interaksi kebudayaan dan kesenian pasti terjadi di
antara nenek moyang bangsa Indonesia dengan orang-orang yang ditemuinya di tempat-tempat
yang disinggahinya ketika berlayar. Saling mempelajari kesenian dan kebudayaan termasuk
seni bermusik yang pada akhirnya mereka membawa pulang hal-hal baru yang dipelajari
tersebut lalu dikembangkan dengan cara sendiri menjadikan Indonesia menjadi begitu kaya akan
seni budaya dan berbagai jenis alat musik untuk berkesenian dan bermusik . Mungkin hal
tersebut yang dinarasikan dalam pahatan relief di Candi Borobudur sehingga membuka
kemungkinan bahwa Borobudur juga sebagai pusat musik dunia.

Meskipun saat ini Candi Borobudur adalah tempat tujuan wisata namun perlu diingat bahwa
Candi Borobudur pada awalnya juga merupakan tempat ibadah dan masih digunakan sebagai
tempat ritual keagamaan Budha pada waktu-waktu tertentu, jadi jangan lupa sopan santun perlu
dijaga di tempat ini. Kemegahan Borobudur akan terus berjalan melintasi waktu hingga abad-
abad mendatang dan mengisahkan kisah-kisah besarnya kepada setiap generasi dan bukan tidak
mungkin apa yang belum semuanya terungkap saat ini akan terungkap di masa depan. Semoga
kita semua dapat melestarikan peninggalan sejarah, budaya dan kesenian sebagai salah satu
pencapaian penting dalam perjalanan panjang sejarah peradaban umat manusia.

Terima kasih Borobudur yang telah memberikan inspirasi dan pembelajaran, semoga setelah
selesai masa pandemi ini bisa berkunjung kembali ke sana.

Referensi:

• " Alat Musik di Relief Candi


Borobudur. " URL: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bkborobudur/alat-musik-di-relief-
candi-borobudur/
• "Borobudur Temple Compounds." URL: https://www.nationalgeographic.com/travel/world-
heritage/article/borobudur-temple
• "Borobudur among National Geographic’s 15 iconic
adventures." URL: https://www.thejakartapost.com/travel/2017/05/02/borobudur-among-
national-geographics-15-iconic-adventures.html
• Dwi Cahyono, M. terakota.id (2017) "Seni Musik di Relief Candi dan Upaya
Transformasi."URL: https://www.terakota.id/seni-musik-di-relief-candi-dan-upaya-
transformasi/3/
• "EKSPEDISI PERAHU BOROBUDUR SAMUDRA RAKSA: JAKARTA-ACCRA 2003 -
2004." URL: http://oseanografi.lipi.go.id/datakolom/20%20Ekspedisi%20Borobudur.pdf
• "Jenis-Jenis Alat Musik Pada Relief Karmawibangga Candi
Borobudur." URL: http://perpusborobudur.kemdikbud.go.id/index.php?p=show_detail&id=351
&keywords=
• Nuswantoro. mongabay.co.id(2019). "Kapal Samudra Raksa, Kejayaan Maritim Nusantara di
Pahatan Borobudur" URL: https://www.mongabay.co.id/2019/11/07/kapal-samudra-raksa-
kejayaan-maritim-nusantara-di-pahatan-borobudur/
Time Travel Melalui Sound of Borobudur
dan Menggaungkan Cita Leluhur
Nusantara
Oleh: Vika Kurniawati

Air mata? Dan tak hanya tangkupan jari yang harus menyeka kelopak mata namun bulu kuduk leher
meminta saya sentuh. Lagu Indonesia Pusaka memang selalu berhasil meruntuhkan pertahanan hati
saya akan keharuan. Dan semua lebih pecah saat Trie Utami melafalkan lirik lagu Indonesia Pusaka
dalam pementasaan Sound of Borobudur, mata saya menjadi lebih perih. Ah senandung dan rentetan
bunyi alat musik yang tepat memang tarian jiwa yang menarik jiwa senada yang lain.

Pertunjukan Sound of Borobudur memang berdinamika mengalunkan simfoni yang kali ini terdiri dari
satu komposisi baru dari Dewa Budjana dan dua aransemen lagu. Alunan akustik Jataka yang dibunyikan
sebagai penerjemahan relief Jataka, sebagai pembuka berhasil membuat saya menggerakan kepala
dengan kegembiraan. Terlintas bagaimana sukacita para fauna sekitar Sambara Budhara pada abad 7
saling berinterasi. Ah sejenak menjadi time traveler, melompati waktu untuk bersama leluhur yaitu
masyarakat Kedatuan Medang atau pada masa sekarang dikenal sebagai Kerajaan Mataram Kuno.

Waditra Peradaban Klasik


Benar Jimbe ini untuk anak-anak kak? Kakak ikhlas? Saya tersenyum setelah dua menit sebelumnya
meminta ijin menabuhkan Jimbe terahkir kali sebelum berpindah tangan ke pangkuan teman yang
berasal dari pulau Kei Kecil. Dari kisahnya sebagai relawan literasi setempat, musik memang menjadi
bahasa penyambung antara anak-anak dengan relawan. Sekiranya Jimbe yang saya serahkan bisa sedikit
membantu relawan menarik perhatian anak-anak pantai untuk datang ke rumah literasi dan ahkirnya
mau belajar bersama. Apa yang menurut kita sederhana bisa jadi sebaliknya bagi orang lain memang.

Kisah Jimbe ini mengalir kembali ke ingatan saat menyaksikan presentasi sekaligus pertunjukan Sound of
Borobudur dalam tema besar Borobudur pusat musik dunia . Dijabarkan bahwa Jimbe merupakan salah
satu waditra (alat musik) yang terpahat rapi dari 200 relief musik Candi Borobudur. Deretan relief
tersebut antara lain: Karmawibhangga, Awadana Jataka dan Lalita Vistara.

Relief Karmawibhangga sendiri penggambaran contoh nyata makanisme hukum semesta, yaitu
Karmaphala atau buah dari perbuatan. Kita masih bisa mengakses foto reliefnya di Museum
Karmawibhangga yang tak jauh dari Candi Borobudur. Terima kasih pada Kassian Cephas yang telah
mengabadikan dalam bentuk foto. For your information deretan relief asli Karmawibhangga memang
sudah tertutup untuk khalayak umum kecuali beberapa panil.

Untuk mengenali waditra tersebut tentu membutuhkan ahli khusus karena beberapa bentuk
mempunyai turunan berlipat pada masa sekarang. Waditra yang satu bisa jadi disematkan nama
berbeda di dua negara walau berbahan baku sama dan menghasilkan bunyi yang serupa. Seringkali kita
sebagai masyarakat awam tidak menyadari, bahwa alat musik yang digunakan pemusik manca tersebut,
merupakan turunan dari waditra klasik yang sudah dimainkan leluhur nusantara. Anda masih
beranggapan leluhur kita bodoh dan melihat Candi Borobudur sebagai bukit berbatu semata?

Mari saya sebutkan beberapa nama alat musik, negara manca pengguna, sematan foto relief waditra
yang sudah mewujud dan masih digunakan pada masa kini. Jika ada tambahan informasi, silakan anda
tambahkan pada kolom komentar di bawah ya.

Waditra tersebut: Bowed String(Italia), Lunzenze/Zeze(Kenya), Saung Gauk(Myanmar), Setar(Iran),


Bhusya(Nepal), Bo(China), Darbuka(Mesir), Udu(Nigeria), Mridangam(India), Rama Ek(Thailand). Jika
bertanya tentang nama jenis Waditra tersebut berdasarkan perkiraan jurnal ilmiah dan prasasti sejaman
maka ada: Mandeli(waditra dawai), Sushira Vadya(waditra tiup), Ghana Vadya(waditra ideophone),
Avadana Vadya(waditratabuh membran), Mrdang(waditra gendang tanah liat), dll.

Kedatuan Medang
Waditra Pengantar Jiwa Berdoa
Seperti layaknya sebuah bangunan peribadahan bahkan bangunan rumah sekalipun, tentu saat
pemilihan lokasi, proses pembangunan sampai pembangunan ada alunan niat baik dilembari rentetan
doa. Demikian kiranya saat pembangunan Candi Borobudur yang menjadi kitab 3 dimensi dari tingkatan
spiritual manusia sesuai keyakinan dharma Buddha. Dari masih berdiamnya di lingkaran Samsara hingga
tingkat lepasnya Samsara dan menyokong semua mahluk dalam tingkat kebuddha-an (Lalita Vistara
Sutra). Penggunaan waditra yang terekam dalam relief Candi Borobudur sendiri terbagi dalam dua jenis
seni yaitu kesenian di tengah warga umum dan kesenian istana. Waditra sendiri juga digambarkan
digunakan di alam dewa oleh Kinnara(mahluk surga) sebagai sarana menghibur.

Saya kembali melompati waktu, duduk bersama para pemusik waditra klasik Medang di sekitar Sambara
Budhara. Besar kemungkinan ada penguncaran parrita/sutra juga mantra yang terus menerus selama
pembangunan. Bisa juga dentingan waditra penyemangat bagi para tenaga, pemahat selama
pembangunan maupun selama upacara peresmian candi. Simfoni dari Sound of Borobudur sudah
mengantarkan haru apalagi saat leluhur memainkan ansambel. Waditra Bo dengan ukuran kecil sering
dipakai saat ritual ibadah keyakinan Buddha hingga sekarang, demikian juga dengan genta, lonceng dan
idiophones lainnya.

Saat Trie Utami menyandungkan lagu Lan E Tuyang dari daerah Kalimantan Utara yang riang, saya
berpikir bisa jadi kegembiraan dan kebahagian tiap tamu yang hadir saat Candi Borobudur berhasil
dibangun, juga terasa sama bahkan lebih dengan aura lagu tersebut. Sangat mungkin ada warga lain
pulau, kedatuan sahabat maupun bawahan juga menghadiri dengan membawa haturan sajian ansambel
mereka sendiri. Sri Maharaja Samarottungga yang memerintah Kedatuan Medang saat Candi Borobudur
dibangun memang lebih mengedepankan Dharma dan budaya daripada exspansi

Kesimpulan
Saya yakin leluhur sangat bangga dengan usaha penerjemahan relief musik dan waditra klasik nusantara
tersebut. Bukan kali pertama kesuksesan dilakukan oleh Sound of Borobudur Movement, dan diapresiasi
oleh Kemenkraf dalam balutan Wonderful Indonesia. Warga dunia bisa mengakses semua informasi
detail dari tiap waditra yang diwujudkan secara fisik maupun ruh nya melalui web resmi
soundofborobudur.org. Jika ingin mendengar ulang pertunjukan live tersebut, berseluncurlah ke chanel
resmi soundofborobudur.

Jika ingin melompati waktu secara langsung, mari datang ke Poh Pitu/ Magelang sembari menikmati
keramahaan penduduk kawasan Borobudur. Tentu beserta berlimpahnya cagar budaya, hasil seni
budaya serta suasana alam. Jika ingin turut menggaungkan cita leluhur maka jagalah cagar budaya
dengan tidak merusaknya, beretika selayaknya di tempat ibadah walau beda keyakinan, dan menyiarkan
nilai bijak pada relief dalam praktek sehari-hari. Yang terutama berbanggalah sebagai anak negeri seribu
candi dalam peradaban agung leluhur Indonesia.Oya apakah anda tahu bahwa logo soundofborobur
terinpirasi dari penampakan Candi Borobudur dari atas sebagai mandala?
Menyusuri Bhumi Sambhara Budhara,
Ajarkan Pengalaman Musikal Lewat Relief
Karmawibhangga
Oleh: Deddy Huang
Romantisme dan kesyahduan kawasan Candi Borobudur menjadi salah satu alasan kuat untuk
mengenalkan peradaban budaya Indonesia ke dunia lewat musik.

***

Gemuruh penonton oleh lengkingan suara diva top dunia, Mariah Carey melantunkan suara
merdu di Borobudur, Magelang. Ribuan orang datang berbondong memadati kawasan Borobudur
dari berbagai pelosok.

Sebuah pertunjukan musik identik dengan panggung megah yang berada di dalam gedung besar.
Namun, tidak untuk konser Mariah Carey membawa Borobudur ke mata artis internasional.
Candi Borobudur menjadi branding heritage untuk diketahui dunia luar, bahwa di Indonesia
punya tempat semegah Candi Borobudur.

Getaran Asmara Bhumi Sambhara Budhara


November 2018 menjadi momen berharga bagi saya saat diundang oleh Kemenpar untuk
mendampingi tamu di industri kreatif dari berbagai negara dalam rangkaian acara Wonderful
Indonesia.
Sejak subuh kedua kaki ini telah berdiri diatas bukit berundak berbatu andesit yang mudah
ditemukan di Pulau Jawa karena gunung api mengandung magma dan membeku dengan
sendirinya.

Ini kali pertama saya menginjakkan kaki di Borobudur. Sebagai candi terbesar peninggalan abad
ke-9, candi ini terlihat impresif dan kokoh. Gambaran konser Mariah Carey berlatar Candi
Borobudur tentunya tergambar megah.
Getaran asmara kuat dirasa di Bhumi Sambhara Budhara. Cuitan burung saling berbalas,
seketika rongga paru-paru dibersihkan oleh udara yang segar. Harmoni yang tenang ketika dapat
memandang Borobudur dari dekat.

Borobudur Tak Pernah Berbunyi


Sejumlah penelitian telah dilakukan sejak penemuan Borobudur menjadi bahan bacaan yang
selalu menarik. Candi ini menjadi pusat peziarahan keagamaan pada masanya hingga sekarang.
Tak menduga perjalananku bisa menginjakkan kaki di atas bangunan candi yang menjulang
setinggi 35 m dengan luas 2,500 m, berada di puncak bukit di Magelang, Jawa Tengah. Ufuk
hampir menghilang, sayup-sayup kabut pagi pun mulai menipis pergi.

Bhumi Sambhara Budhara bermakna sepuluh tingkatan kebajikan bodhisatwa dalam bahasa
Sansekerta, adalah nama yang dipercaya sebagai sebutan asli untuk candi ini.

Transformasi Lintas Waktu


Pernahkah mendengar mitos, kalau berkunjung ke Borobudur pertama kali coba sempatkan
mencari patung Budha. Rasakan kulit bersentuhan dengan batu andesit. Konon, apa yang kita
harapkan bisa dikabulkan.
Desain Borobudur representasi ajaran Buddha dalam tiap aspek. Butuh waktu dua jam untuk
saya mengelilingi seluruh bangunan dari tiga zona. Mulai dari bagian kaki yaitu zona pertama,
hingga zona tertinggi.

Informasi yang saya peroleh, terdapat sekitar 1.460 panel relief terpahat di dinding candi.
Menceritakan ajaran Buddha seperti hukum karma maupun jataka.

Jika kita mengambil waktu tenang akan melihat gambaran elemen sosial masyarakat Jawa pada
zamannya dengan cukup detail.

Bagaikan sebuah album foto lama yang terbuat dari batu, rasa keingintahuan mendorong untuk
mengikuti setiap alur cerita yang terpahat di relief. Saya pun berjumpa dengan stupa-stupa Budha
kecil yang sungguh indah ukirannya. Diikuti melihat relief-relief bercerita sepanjang yang saya
jumpai.

Semiotika Musik pada Relief


Relief pada Candi Borobudur seolah bisu tak berbunyi. Bangunan suci bercorak keagamaan
Buddha ini tidak diragukan merupakan suatu mandala yang direpresentasikan berupa tingkatan
sebagai sarana bermeditasi.
Komponen lingkungan yang digambarkan pada panel relief terlihat menarik. Saya berjalan kecil
mengelilingi lorong menikmati panel relief yang dipahatkan pada dinding candi dan pagar
langkan. Tak ubahnya seperti kitab suci keagamaan yang digambarkan dalam bentuk objek
lingkungan kehidupan manusia pada masa Jawa Kuno.

Panel berbentuk persegi panjang dengan ukuran yang bervariasi. Posisi paling bawah, yaitu
tingkat kamadhatu pada kaki candi adalah relief Karmawibhangga. Relief Karmawibhangga
saat ini dapat dilihat hanya pada sisi tenggara candi.

Relief yang Tersembunyi


Banyak literasi tentang relief Karmawibhangga dipahatkan berdasarkan kitab
Mahakarmawibhangga. Kitab ini berisi tentang hubungan sebab akibat dalam kehidupan
manusia.

Bernet Kempers (1976) berpendapat relief Karmawibhangga adalah gambaran yang sebenarnya
dari kehidupan sehari--hari masyarakat Jawa Kuno khususnya pada abad 8 - 9.

Adegan pada panel relief tersebut menyimpan banyak informasi. Di antaranya mengenai flora
dan fauna, lingkungan alam, bentuk pakaian dan status sosial, alat musik, alat upacara, alat
transportasi, arsitektur bangunan, peranan wanita, senjata, payung. Informasi tersebut
mengarahkan kita pada teknologi dan kearifan budaya masyarakat Jawa Kuno terhadap
lingkungan.

Hingga alasan penutupan rangkaian relief Karmawibhangga masih dijadikan misteri.


Menyisakan pertanyaan mengapa ada simbol alat musik pada relief Karmawibhangga notabene
bercerita hukum karma?

Faktanya musik termasuk aktivitas kesenian, baik kesenian musik maupun tari masuk dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa kuno sejak lama.

Rekonstruksi Alat Musik Dari Relief Candi


Setidaknya ada 10 panel relief Karmawibhangga menggambarkan penggunaan 4 jenis alat musik,
yaitu jenis idiophone (kentongan dan kerincingan), membranophone (gendang, kentingan),
chordophone (alat musik dawai/senar petik dan gesek), dan jenis alat musik aerophone (alat
musik tiup).
Dari hasil gambar, terlihat dengan jelas alat musik yang digunakan bermacam-macam. Ada yang
berdawai dan dipetik dengan jari. Ada 2 gambar alat musik tiup yang memiliki bentuk sangat
khas. Selain ada juga alat musik semacam suling.

Oleh karena keagungan Borobudur ini muncul ide perekonstruksian alat musik yang ada pada
relief Karmawibhangga. Meskipun berada pada masa kemajuan pesat teknologi, pada
kenyataannya banyak seniman yang tergugah untuk mengangkat seni ini seperti Dewa Budjana
dan kawan-kawan.

Upaya perekonstruksian diwujudkan melalui kajian penandaan visual pada relief


Karmawibhangga, menciptakan lagu, dan diakhiri dengan sebuah pementasan.

Sesi "Sound of Borobudur" yang membuat Borobudur mengeluarkan "bunyi tersembunyi".


Dilahirkan pada perpaduan alat musik yang dibuat berdasarkan di relief Karmawibhanga.

Sebagai alat musik yang konon riil ada, berdasarkan bentuk dan cara memainkannya. Awalnya
baru 3 alat musik yang berhasil diciptakan, tanpa tahu jenis alat musik seperti apa yang
digunakan oleh nenek moyang dulu. Sekarang mereka berhasil merekonstruksi sebanyak 18
instrumen dawai dari kayu, 5 instrumen dari gerabah, dan satu buah instrumen idiophone yang
terbuat dari besi.

Borobudur Memanggil
Oleh karena keagungan Borobudur ini muncul ide perekonstruksian alat musik yang ada pada
relief Karmawibhangga. Meskipun berada pada masa kemajuan pesat teknologi, pada
kenyataannya banyak seniman yang tergugah untuk mengangkat seni ini seperti Dewa Budjana
dan kawan-kawan.

Upaya perekonstruksian diwujudkan melalui kajian penandaan visual pada relief


Karmawibhangga, menciptakan lagu, dan diakhiri dengan sebuah pementasan.

Sesi "Sound of Borobudur" yang membuat Borobudur mengeluarkan "bunyi tersembunyi".


Dilahirkan pada perpaduan alat musik yang dibuat berdasarkan di relief Karmawibhanga.

Sebagai alat musik yang konon riil ada, berdasarkan bentuk dan cara memainkannya. Awalnya
baru 3 alat musik yang berhasil diciptakan, tanpa tahu jenis alat musik seperti apa yang
digunakan oleh nenek moyang dulu. Sekarang mereka berhasil merekonstruksi sebanyak 18
instrumen dawai dari kayu, 5 instrumen dari gerabah, dan satu buah instrumen idiophone yang
terbuat dari besi.

Borobudur Memanggil
Kehidupan peradaban manusia tidak terlepas dari hiburan. Kemeriahan pertunjukan seni dengan
berbagai musik dan instrumen pendukungnya diabadikan dalam relief Candi Borobudur. Dalam bentuk
yang sederhana, bahwa melalui musik seluruh pemikiran, daya cipta, dan perasaan dituangkan.

Ada hal yang menarik dari relief Karmawibhangga No 39 yakni penggambaran relief
pertunjukan musik yang dibawakan oleh sekelompok pemusik keliling untuk menghibur
bangsawan yang duduk di atas singgasana bersama istrinya.
Pertunjukan musik tampaknya telah ada sejak lama. Ada gambaran warga desa yang
menyaksikan tampak bergembira dengan menari dan bertepuk tangan. Sehingga kehadiran alat
musik tampaknya memiliki makna seperti alunan komposisi "Padma Swargantara" yang digarap
oleh Dewa Budjana dan Trie Utami. Lirik lagu dengan tambahan komposisi bernuansa spiritual
sebagai bentuk produk akhir rekonstruksi relief Karmawibhangga.

Padma merupakan nama lain dari bunga teratai. Bunga teratai merupakan bunga yang digunakan
untuk menggambarkan kesucian oleh Buddha. Sedangkan Swargantara adalah Nusantara.

Lagu ini pun dimainkan dengan tiga buah alat musik dawai replika yang berhasil dibuat, di
antaranya diberi nama Gasona (relief 101), Solawa (dawai dari relief nomor 151), dan Gasola
(relief nomor 125).
Melihat tayangan streaming di Youtube, kita seakan ditarik ke masa lampau. Walau nanti pesan
yang dimuat dalam suatu karya seringkali akan ditangkap sedikit berbeda atau bahkan sangat
berbeda bagi penikmatnya.

Ada makna optimisme yang dipertebal dengan penekanan di nada-nada tertentu dan melodi
utama vokalis yang dirangkap oleh gasola. Saya menangkap irama musik yang berubah menjadi
rancak, mengundang keinginan pendengar untuk menari.

Cerdasnya peralihan musik diberi perbedaan nada dasar untuk sekaligus memberi kesan
perubahan suasana yang drastis klimaks. Memberi makna dalam menghibur diri dengan musik
tidak boleh berlebihan, melainkan dialihkan pada rasa syukur. Bunyi seruling pada sajian musik
rekonstruksi memberi efek suasana keindahan, kelembutan, kebahagiaan kekal, dan kesakralan.
Demikian pula dengan Gasona dan Solawa yang digunakan untuk menghadirkan suasana religi
pada karya Padma Swargantara.

Urutan permainan musik dimulai dari irama ritme kendang, diikuti dengan seruling, tiga dawai
Karmawibhangga, dan kombinasi musik lainnya.
Kendang digunakan sebagai awalan lagu mengikuti urutan yang ada pada relief dimana kendang
menjadi interpretasi sebagai alat menarik perhatian orang banyak.

Musikal ini menafsirkan Sound of Borobudur mengenai keteraturan hidup, roda


perputaran hidup yang seringkali dialami manusia dari masalah sederhana hingga
masalah yang rumit namun tetap dapat dilalui dengan harmonis.

Pikiran Penutup
Mungkinkah kita dapat melihat sekilas masa depan dari zaman Borobudur?
Kalau saja Raffles tidak berminat pada sejarah dan kebudayaan Indonesia, mungkin Candi
Borobudur masih diliputi kegelapan. Saat alat musik yang ada pada panel relief Borobudur telah
dibunyikan, maka dunia akan memasang telinga pada seruan indah yang datang dari bumi
Nusantara. Suatu peninggalan leluhur yang berharga.

'Bunyi' dari Borobudur yang mengekspresikan memiliki rasa semangat, optimis, dan khidmat.

Dari pengalaman musikal ini, saya yakin Borobudur adalah sebuah peradaban yang harus
dilestarikan. Maka, layaklah disebut Borobudur pusat musik dunia. Berandai-andai saja, bila
esok akan ada diva musik top dunia selain Mariah Carey yang tampil berlatar megahnya
bangunan Candi Borobudur. Bangga!

Seperti kata Trie Utami, "Ketika sebuah bangsa sudah bisa memainkan alat musik, artinya
bangsa itu sudah cerdas."

Saya rindu kembali ke Borobudur.


Ketika Alat Musik dari Relief Candi
Borobudur "Bersuara" dengan Penuh
Sukacita
Oleh: Adica Wirawan
Setelah berabad-abad hanya tersimpan di dalam kenangan, sejumlah alat musik
legendaris itu akhirnya kembali dibunyikan. Bagi mereka, mungkin momen itu adalah
"penantian" yang begitu panjang. Makanya, jika saja bernyawa, maka barangkali
mereka bakal "bersuara" dengan penuh sukacita!

Rasanya hal itu tidak terlalu berlebihan, mengingat alat musik yang dimainkan dalam
pagelaran Sound of Borobudur itu merupakan replika alat musik yang terpahat di relief Candi
Borobudur. Sebelum adanya pagelaran tersebut, bertahun-tahun lamanya semua alat musik tadi
hanya bisa dipandang, tanpa pernah diketahui "citarasa" bunyinya.

Hal itu tentu sungguh disayangkan karena alat musik tersebut sejatinya mempunyai keunikan
tertentu. Keunikan tadi tak hanya bisa dilihat dari segi bentuk, tapi juga sejarahnya. Ya, jika
ditelusuri sejarahnya, maka alat musik itu boleh jadi merupakan "saksi bisu" bahwa
dulunya Borobudur pusat musik dunia.

Sebuah Jejak Sejarah

Hal itu sangat mungkin terjadi berkat kiprah luar biasa yang dilakukan oleh Wangsa
Syailendra pada masa lampau. Wangsa ini adalah klan yang berkuasa di Kerajaan Mataram
Kuno. Wangsa ini dipimpin oleh seorang raja bernama Rakai Panangkaran.

Dulunya Mataram Kuno dikenal sebagai negeri agraris. Mayoritas masyarakatnya mengandalkan
pertanian sebagai sumber penghidupan. Meski begitu, bukan berarti negeri ini menutup "pintu"
bagi perdagangan internasional.

Sejumlah ahli berpendapat bahwa pada masa lalu, Mataram Kuno kemungkinan pernah menjalin
hubungan dagang dengan negeri lain. Buktinya, di dinding Candi Borobudur, terukir
gambar kapal bercadik. Gambar ini mengisyaratkan bahwa berabad-abad silam, boleh jadi
pernah terjadi ekspedisi via laut yang dilakukan oleh masyarakat setempat ke sejumlah wilayah.

Bukti lainnya ialah Prasasti Ligor bertahun 775 di Thailand Selatan. Isinya menyebutkan
pembangunan Trisamaya Caitya (bangunan suci) untuk Padmapani,
Wajrapani, dan Sakyamuni oleh Raja Syailendra bernama Rakai Panangkaran yang juga dikenal
sebagai Wairiwirawimardhana (pembunuh musuh-musuh yang gagah berani).
Hubungan antarnegara ini boleh jadi menyebabkan terjadinya akulturasi budaya, yang mencakup
sejumlah aspek, termasuk alat musik. Alhasil, ketika Wangsa Syailendra membangun
Borobudur, maka terdapat sejumlah simbol alat musik yang dinilai mempunyai kemiripan
dengan alat musik dari negara lain.

Interpretasi Karmawibhangga

Relief alat musik tadi sejatinya banyak ditemukan di kaki Candi Borobudur. Hal ini bisa
dimaklumi, mengingat kaki candi memuat ajaran tentang Karmawibhangga. Karmawibhangga
adalah Ajaran Buddha yang menjelaskan topik tentang "karma dan buahnya".

Dalam sejumlah referensi yang bisa ditemukan secara bebas di internet, karma kerap
didefinisikan sebagai "Hukum Sebab-Akibat" atau "Hukum Tabur-Tuai". Definisi ini sebetulnya
kurang begitu tepat, mengingat konsep karma dalam Agama Buddha lebih menyoal tentang
"perbuatan yang diniatkan".

Agama Buddha mengajarkan bahwa setiap perbuatan (baik atau buruk) yang dikehendaki
"berpotensi" menghasilkan dampak tertentu. Oleh sebab itu, jangan heran, jika di bagian
Karmawibhangga terdapat banyak sekali panel yang memperlihatkan perbuatan (baik atau buruk)
yang dilakukan masyarakat Jawa Kuna beserta semua akibatnya.

Terlepas dari ajaran moral yang terkandung di dalamnya, bagian Karmawibangga ini juga
memuat informasi lain, seperti kegiatan bermusik yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Di
sejumlah panel tampak gambar masyarakat yang sedang berkumpul memainkan alat musik,
seperti suling, simbal, lute, ghanta, cangka, saran, dawai, dan gendang.
Dari situ bisa terlihat jelas bahwa seperti halnya masyarakat masa kini, orang Jawa Kuna
ternyata juga suka bermusik. Bermusik agaknya menjadi sebuah hiburan di tengah rutinitas
sehari-hari.

Dengan bermusik, mereka bisa melepas penat, sekaligus menjalin hubungan sosial dengan
sesama. Alhasil, musik yang dimainkan secara bersama-sama menciptakan sebuah harmoni yang
begitu kuat.

Sayangnya, kegiatan bermusik tadi kemudian lenyap disapu perubahan. Tak ada satu pun alat
musik tadi yang tersisa. Semuanya hanya bisa terekam dan terkubur selama berabad-abad
bersama relief Karmawibbhangga tersebut.

Replika Alat Musik

Setelah "hiatus" cukup lama, atas inisiatif sejumlah artis, seperti Trie Utami, Dewa Budjana,
Purwa Caraka, dan lain-lain, akhirnya sejumlah alat musik tadi memiliki kesempatan untuk hadir
kembali di atas panggung dunia lewat pagelaran Borobudur Culture Feast 2016.
Dalam acara tersebut, lagu "Padma Swargantara" yang digubah oleh Trie Utami dan
Dewa Budjana sukses dipentas dengan iringan alat musik hasil replika dari relief
Candi Borobudur. Alat musik itu di antaranya adalah Gasona, Solawa, dan Gasola,
yang dibuat dari bahan kayu jati oleh seniman Ali Gardy.

Meskipun durasinya relatif singkat, namun pentas tadi membutuhkan proses pengerjaan yang
lumayan rumit. Maklum, tidak mudah mereplika alat musik di relief candi karena semuanya
terpendam di bawah tanah. Alhasil, proses replika hanya bisa dilakukan berbekal referensi
literatur saja.

Proyek untuk "membangkitkan" alat musik lain yang masih "tertidur" di relief Candi Borobudur
kemudian terus berlanjut pada tahun-tahun berikutnya. Jika sebelumnya hanya berjumlah sedikit,
maka pada pagelaran Sound of Borobudur tahun 2021, sudah ada 200 alat musik yang berhasil
direplika bentuknya dari relief Candi Borobudur.
Karena tidak diketahui suara aslinya, maka tunning (penalaan) alat musik tersebut
menggunakan standar yang sudah baku. "Soal Borobudur kan gambaran visual yang
lebih banyak. Kalau suara kan gak pernah ada yang tahu. Jadi, saya lebih ke
multitafsir apa yang ada sekarang. Saya sesuaikan dengan standar internasional,"
kata Dewa Budjana, dalam pembukaan seminar online Sound of Borobudur 2021.

Sejumlah musisi yang terpilih memainkan alat musik tersebut juga berasal dari kalangan
profesional. Mereka di antaranya adalah Chaka Priambudi, Taufan Irianto Siswadi, Fariz Alwan,
Bintang Indrianto, Dewa Budjana, dan Trie Utami. Masing-masing memainkan alat musik hasil
replika, yang dinilai mempunyai kemiripan dengan alat musik dari 34 provinsi di Indonesia dan
40 negara di dunia.

Para musisi tadi kemudian menampilkan sejumlah lagu, di antaranya Jataka, Lan E
Tuyang, dan Indonesia Pusaka. Semua lagu tadi dibawakan dengan nuansa etnik yang kental
dan penuh harmoni.

Wonderful Indonesia

Pagelaran Sound of Borobudur yang diselenggarakan bulan April 2021 tersebut dinilai turut
memperkaya budaya Indonesia. Lewat pagelaran ini, kita jadi lebih mengenal Borobudur lebih
dalam.

Alhasil, Borobudur kini tak lagi hanya dipandang sebagai candi yang banyak menampilkan
simbol-simbol Ajaran Buddha, tetapi juga dinilai memuat "memori kolektif" tentang kebudayaan
(baca: bermusik) masyarakat Jawa Kuna yang begitu berharga.

Hal ini tentunya menimbulkan sebuah kebanggaan. Sebab, dari situ, kita bisa tahu
bahwa nenek moyang kita ternyata sangat berbudaya, dan kebudayaan yang dimiliki
mempunyai nilai yang tinggi. Oleh sebab itu, untuk mengenalkan budaya tersebut,
rasanya tidak salah jika pagelaran tadi menjadi bagian penting dari program
Wonderful Indonesia yang digaungkan pemerintah.

Upaya Trie Utami dan kawan-kawan untuk menghadirkan alat musik tersebut juga patut
diapresiasi. Upaya tersebut mirip dengan cerita para pemburu harta karun, yang begitu berani
menerobos hutan belantara untuk menemukan sebuah kota kuno yang menyimpan banyak benda
berharga.

Jelas upaya tadi tidak mudah dilakukan. Namun, berkat hal itu, kini kita bisa melihat wujud alat
musik yang dulu sering dimainkan oleh masyarakat Jawa Kuna. Alhasil, sekarang alat musik tadi
pun menjadi aset bangsa yang berharga, dan berkesempatan kembali "menyapa" telinga
masyarakat dunia.

Salam.

Referensi:

Tempo

Borobudur Park

CNN Indonesia

Nat Geo

Kompas
Denting Peradaban Berbunyi di Borobudur
Oleh: Agus Subali

Berapa dana yang dibutuhkan untuk membangun Candi Borobudur? Menurut pernyataan dari
Trie Utami--salah satu penggagas Sound of Borobudur Movement--Tiga ratus enam puluh
trilliun rupiah. Itulah perkiraan dana (kurs sekarang) yang digunakan untuk membangun Candi
Borobudur. Menurut Trie Utami, angka tersebut didapat dari hitungan pakar statistik Universitas
Brawijaya yang juga ahli administrasi Majapahit.

Bandingkan dengan pembangunan Jembatan Suramadu (5 trilliun), GWK (1,4 trilliun), Patung
Liberty (157 milyar), Menara Eiffel (556 milyar), GBK dengan biaya renovasi (950 milyar), Burj
Khalifa (21,67 trilliun). Dana pembangunan Borobudur menunjukkan angka yang fantastis;
kapitalisasi yang mencengangkan.

Timbul pertanyaan lainnya, berapa jumlah pekerja yang dibutuhkan untuk membangun
mahakarya tersebut? Ini juga sebuah pertanyaan yang sulit dijawab. Namun, kita bisa
mengaitkan dengan pernyataan Naturalis Inggris, Alfred Russel Wallace, pada saat mengunjungi
Borobudur pada tahun 1861.

"Agaknya jumlah tenaga manusia dan keahlian yang dicurahkan untuk pembangunan piramid
terbesar di Mesir[giza] tak berarti bila dibandingkan dengan tenaga yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan candi penuh patung pada bukit di pedalaman Pulau Jawa Ini" tulis Wallace.

Senada dengan apa yang dikatakan Wallace, Gubernur Jenderal Inggris sekaligus penulis buku
History of Java, Thomas Stamford Raffles juga mengungkapkan kekagumannya "Kemegahan
Borobudur mengerdilkan makna dan kerja keras pembangun piramida"

Sejarawan Yunani Herodotus yang hidup 484-425 SM, menuliskan bahwa pembangunan
piramida membutuhkan tenaga kerja sekitar 100.000 orang. Namun, sejumlah Arkeologi abad
XX memperkirakan jumlah tenaga untuk membangun Piramida Giza (Piramida terbesar) sekitar
20.000 orang. Maka, kalau memakai acuan yang diucapkan oleh Wallace, jumlah tenaga kerja
untuk membangun Borobudur, sedikitnya 20.000 orang.

Untuk ukuran saat ini pun jumlah tersebut terbilang kolosal. Sebagai pembanding; Stadiun
Gelora Bung Karno yang dibangun tahun 1960 mengerahkan 12.000 tenaga kerja. Jumlah 12.000
tenaga manusia, itu pun sunguh mencengangkan saat penduduk Indonesia sudah mencapai 87
juta-an jiwa.

Sejarawan Ong Hok Ham dalam artikelnya di Tempo (20/01 1981), memperkirakan abad XVI
seluruh penduduk di wilayah yang sekarang bernama Indonesia mencapai 8 juta. Worldometer
Population memperkiraan penduduk dunia abad XVI adalah 480 juta. Artinya penduduk
Nusantara 1,6% dari populasi dunia waktu itu.

Menurut Worldometer Population pada tahun 850 masehi (tahun perkiraan Borobudur
dibangun), penduduk dunia berjumlah 230 juta. Dengan menggunakan acuan tetap 1,6% populasi
dunia, maka penduduk Nusantara sekitar 3,8 juta jiwa. Jika Borobudur dibangun dengan
mengerahkan 20.000 orang, itu artinya untuk membangun Candi Borobudur pada abad VIII
menggunakan 0,5% jumlah populasi Nusantara.

Kalau dikonversi untuk ukuran sekarang, jika penduduk Indonesia--menurut sensus tahun 2020--
berjumlah 270 juta maka setengah persennya sama dengan jumlah 1,35 juta orang. Betapa besar
jumlah sumberdaya yang dibutuhkan untuk menciptakan monumen megah tersebut.

Apa yang kita bisa tarik dengan angka-angka yang mencengangkan di atas? Pertama, Borobudur
dibangun pada masa pemerintahan yang kuat dan stabil. Dipimpin raja dengan pemikiran
visioner--yang mampu memobilisasi dan menggerakkan sebuah sumber daya manusia yang
besar. Kedua, adanya sumber dana yang melimpah menunjukkan sebuah negara yang aktif
melakukan perdagangan, artinya pemerintahan pada waktu itu sangat makmur. Ketiga, adanya
sistem pendidikan yang maju. Borobudur adalah wujud aplikasi ilmu pengetahuan. Keempat,
wilayah Borobudur (Kerajaan Mataram Kuno) menjadi titik temu manusia dari segala penjuru
dunia. Kelima, Mataram Kuno sebagai pusat keagamaan Budha seluruh dunia.

Borobudur Pusat Musik Dunia

Bangunan megah yang dibangun abad VIII oleh Dinasti Syailendra selama kurun waktu 75-100
tahun, selalu mengundang decak kagum. Mulai keberadaan danau Borobudur yang pernah
dikemukakan oleh seniman Belanda WOJ Nieuwenkamp 1933--yang sempat menimbulkan
kontroversi. Sekarang kita semua terbelalak bahwa direrimbunan relief Borobudur ada suara
yang mengalun selama 1300 tahun; alat musik berbagai jenis. Ada 45 instrumen musik dari Asia
tenggara, Asia Timur, Asia Selatan, Asia Barat, Asia Tengah, Afrika Barat, Afrika Timur, Afrika
Utara, Amerika Selatan, Eropa Barat, dan Eropa Tenggara dan dari 34 Provinsi di Indonesia.

Saat ini alat musik tersebut ditemukan sedikitnya di 40 negara. Ini menandakan adanya interaksi
kerajaan Mataram Kuno dengan dunia internasional. Dengan berlayarnya Perahu Samudera
Raksa--perwujudan replika perahu bercadik Borobudur--yang mampu mengarungi samudera
Pasifik dan Atlantik dari Jakarta dan akhirnya sampai ke Ghana pada tahun 2003. Menguatkan
hipotesa bahwa adanya jaringan lalu lintas dagang aktif, kerajaan Mataram Kuno dengan wilayah
di seluruh dunia. Mataram kuno bukan hanya menjadi penerima tamu asing namun juga
melakukan timbal balik dagang.

Dengan adanya relief instrumen musik yang tidak hanya berasal dari Nusantara sebuah isyarat
bahwa Bangunan Borobudur ditujukan bagi banyak komunitas yang tersebar di seluruh dunia.
Borobudur menjadi titik temu peradaban dunia. Bisa jadi dulunya Borobudur menjadi tempat
ziarah Agama Budha internasional. Selain sebagai pusat perdagangan Internasional pastinya.
Bukti lain bahwa Mataram Kuno bukan hanya kerajaan agraris namun juga maritim ditunjukkan
dengan ditemukannya koin Dinasti Sung yang di gunakan sebagai alat tukar. Selain itu Arkeolog
Arkenas, Bambang Budi Utomo, menyebutkan adanya prasasti di Kamboja yang isinya, adanya
penyerangan pasukan dari Jawa abad VIII. Saudagar arab Sulayman tahun 851 juga mencatat
dari keterangan penduduk Kamboja bahwa raja Khmer kalah perang oleh pasukan Sri Maharaja
dari Zabaj, Sri Maharaja tersebut adalah Rakai Panangkaran. Bukti lainnya adalah Prasasti Yang
Tikuh yang dikeluarkan Raja Indrawarman, bahwa Jawa menyerang Champa (Vietnam) pada
tahun 767. Disebutkan bahwa adanya serangan dari K'un-Lun dan Da-ba, atau Cho-po (Jawa),
serangan juga berlanjut tahun 787 masehi.

Inilah sedikit bukti bahwa kerajaan Mataram Kuno sebagai pendiri Borobudur adalah sebuah
kerajaan bercorak Maritim yang kuat yang mampu menggelar kekuatan dengan menyerang
kerajaan mancanegara. Tujuannya adalah mengontrol jalur lalu lintas perdagangan di Selat
Malaka dan laut China selatan.

Kembali ke relief Borobudur yang menampilkan alat musik dari berbagai negara. Sebuah
peradaban maju, ditunjukkan dengan adanya bangunan fisik, aktivitas budaya dan juga kemajuan
teknologi. Adanya Borobudur sendiri adalah kemajuan dalam hal rancang bangun paling rumit.
Bangunan batu tanpa semen namun saling kait mengkait untuk mempertahankan posisi statis
ribuan tahun. Ilmu arsitektur yang matang dan pastinya juga di topang ilmu hitung yang kuat.

Pada saat peradaban manusia sudah merambah luar angkasa misteri Borobudur pun masih
menyimpan keagungan kalau dilihat dari titik sains dan estetika. Ilmu tempa logam pastinya juga
berkempang. Dan juga adanya jiwa seni yang tinggi. Borobudur adalah perwujudan banyak
aspek, pengetahuan, ekonomi, politik, agama serta seni budaya.

Musik merepresantikan nilai spiritual dan juga kemajuan sebuah peradaban masyarakat. Adanya
sentuhan seni pada sebuah komunitas menunjukkan tingkat peradaban yang tinggi. Musik tidak
hanya sebuah olah suara dari sebuah alat namun lebih dalam dari itu. Kemajuan tatanan
masyarakat akan pencapaian peradaban.

Maka kita bisa menggambarkan bahwasanya pada waktu dibangunnya Borobudur, masyarakat
Nusantara (Mataram Kuno) punya peradaban yang maju. Melihat betapa seriusnya, betapa
kolosalnya dan betapa mengagumkannya Borobudur pastilah ada misi yang ingin dicapai oleh
sang pendiri.

Pertama, melengkapi dirinya sebagai pusat agama Budha. Mataram Kuno sebagai kerajaan
bercorak Budha yang besar ingin juga menunjukkan hegemoninya sebagai pusat agama
Budha. Kedua, dengan menjadi pusat studi Agama akan melanggengkan politik dan kekuasaan
kerajaan Mataram Kuno. Ketiga, secara ekonomi akan menguntungkan. Banyaknya peziarah
yang datang, sama dengan masuknya uang bagi kerajaan Mataram Kuno.

Denting peradaban di Borobudur, bukan hanya menguak sisi artistik musikal yang ada pada
waktu itu tapi lebih jauh dan dalam yang bisa diperdengarkan Borobudur. Penelitian tentang
musik dan instrumennya yang digagas oleh Sound Of Borobudur, ternyata menjadi celah yang
semakin menganga dan semakin dalam untuk memahami banyak hal: Astronomi, matematika,
antropologi, teologi, fisika, perdagangan bahkan biologi. Menurut pakar Zoologi, Cahyo
Rahmadi, relief Borobudur adalah katalog flora fauna jawa kuno. Pengkajian LIPI dan Balai
Konservasi Borobudur (BKB) berhasil mengidentifikasi 63 spesies tumbuhan serta 52 spesies
dari famili hewan. Borobudur seperti ingin didengarkan oleh pewarisnya. Ada mutiara indah
yang penuh keagungan tentang nilai kebajikan dan tatanan masyarakat.

Memaknai

Borobudur tidak hanya sebatas batu, yang diam membisu yang hanya diinjak-injak oleh
wisatawan yang datang. Jauh lebih dalam dari itu. Borobudur adalah kitab pengetahuan, sebuah
nilai yang kalau kita menimbanya disanalah mutiara itu sedikit demi sedikit terkuak lebar
menganga. Abad VIII nenek moyang kita--bangsa Indonesia--sudah membangun sebuah
mahakarya dengan kerumitan yang dramatis.

Pada saat yang sama Australia masih dihuni kangguru liar, Singapura hanyalah wilayah
belantara, Amerika Serikat masih dihuni byson, Dubai dan sekitarnya masih berupa padang pasir
kering dengan masyarakat nomaden. Sebuah kebanggaan yang teramat besar jika mampu
memaknai sebuah kenyataan sejarah lewat bangunan megah Borobudur dan posisinya terhadap
peradaban kala itu sampai saat ini. Kita keturunan manusia-manusia dengan peradaban maju.

Usulan menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, agar Borobudur jadi rumah Ibadah umat Budha
dunia bukan hanya destinasi wisata semata harus didukung dan segera diwujudkan. Karena
awalnya fungsi Borobudur memang untuk hal itu. Ada denting yang mengalun untuk
menyadarkan bangsa Indonesia bahwa nilai-nilai luhur nenek moyangnya jangan sampai
dilupakan.

Instrumen musik yang berupa relief di Candi Borobudur menunjukkan nilai mendalam akan
kemajuan peradaban Bumi Nusantara. Kita punya leluhur hebat, dan beliau telah meninggalkan
warisan untuk generasi selanjutnya. Kitalah generasi itu, maka tugas kita, menerima,
mempelajari dan melanjutkan nilai-nilai luhur tersebut.

Apa yang dilakukan Sound of Borobudur bukan romantisme kosong, bukan


pula chauvinisme sempit ini tentang sebuah jati diri yang tertimbun lama tanpa disadari. Manusia
Nusantara yang selalu merasa inferior (karena pengaruh kolonialisme) padahal nenek
moyangnya adalah pencipta peradaban unggul di dunia. Sudah saatnya Sound of Borobudur
Movement, membangunkan sekaligus menyadarkan tentang jati diri bangsa Indonesia yang
penuh keagungan dan nilai kebajikan buat umat manusia di seluruh dunia. Borobudur
adalah Wonderful Indonesia.
Dulu Kala Ketika Borobudur adalah
Ekosistem Musik Terbesar Dunia
Oleh: Detha Arya Tifada

Candi Borobudur adalah pusat musik dunia. Narasi tersebut berkembang seiring ditemukannya
pahatan puluhan alat musik pada relief Borobudur. Dalam konteks itu, seni musik --secara
menyakinkan---telah membudaya dalam keseharian leluhur bangsa sedari abad ke-8. Banyak
peneliti bahkan telah mengamininya. Kehadiran relief alat musik kemudian jadi wujud
penghargaan tinggi lelulur bangsa terhadap seni. Utamanya, dalam keanekaragaman instrumen
dan teknologi pembuatan alat musik.

Sejak diperkenalkan oleh Letnan Gubernur Hindia-Belanda, Thomas Stamford Raffles (1811-
1814) lewat mahakarya The History of Java (1817), Borobudur langsung memukau mata dunia.
Narasi Borobudur sebagai pusat ilmu pengetahuan di pulau Jawa mengemuka.

Alhasil, banyak peneliti maupun pelancong dari luar negeri ingin datang dan melihat langsung
kemegahan Borobudur. Pelancong asal Inggris Charles Walter Kinloch dan Naturalis Alfred
Russel Wallace adalah beberapa di antaranya.

Konon, Charles Walter Kinloch jadi pelancong pertama yang menulis buku tentang
petualangannya di Jawa. Hasil eksplorasinya mengelilingi Nusantara dalam dua bulan --Juni
hingga Juli 1852-- itu mampu menginspirasi banyak orang untuk datang ke bumi Khatulistiwa.

Namun, dari seluruh destinasi yang dituju, Candi Borobudur adalah yang paling dinantikan.
Charles Walter Kinloch ingin menjadi orang Inggris lainnya --setelah Raffles-- yang berkunjung
ke Candi Borobudur. Sebab, selama ini dirinya menganggap Borobudur laksana dongeng dari
negeri khalayan.

"Sejarah maupun dongeng tidak memberi kami banyak informasi berkaitan dengan reruntuhan-
reruntuhan unik ini. Semua yang kami tahu mengenai mereka adalah bahwa reruntuhan-
reruntuhan tersebut dibangun oleh umat Buddha," ungkap Charles Walter Kinloch dalam
buku Rambles in Java: Pengembaraan di Tanah Jawa (2019).

Tak cuma Charles Walter Kinloch. Alfreed Russel Wallace yang mengembara menjelajahi
Nusantara untuk memetakan penyebaran flora dan fauna sudah mengaku jatuh hati pada Jawa,
khususnya Borobudur. Dalam pada itu, ketika dirinya mulai menjelajahi bumi Nusantara dari
1854 sampai 1862, Alfred Russel Wallace menitikberatkan kunjungan ke Jawa untuk melihat
langsung kemegahan Borobudur. Pun Alfred Russel Wallace menyebut Jawa --termasuk
Borobudur-- sebagai tempat utama menikmati kemegahan mahakarya para leluhur kaum
bumiputra.
Ia menyebut candi itu dibangun di atas sebuah bukit dan terdiri dari sebuah kubah tengah dan
tujuh tingkat teras menutupi kaki bukit. Tiap terasnya membentuk serambi terbuka dan
dihubungkan dengan anak tangga dan pintu gerbang.

Selain terdapat ratusan patung, Alfred Russel Wallace menyadari jika dua sisi dinding teras
semuanya tertutup relief yang dasar yang diukuir pada batu keras. Relief tersebut dikerjakan
sampai mencapai tiga mil. Umumnya relief itu dibagi dua: Relief cerita dan relief non-cerita
(ornamen, hiasan, atribut).

Jika dipelajari dengan seksama, relief-relief menakjubkan itu akan memberikan informasi terkait
banyak hal. Relief Borobudur dapat bercerita terkait kejadian alam, teknologi yang digunakan,
bentuk bangunan, hingga budaya--termasuk alat musik. Oleh sebab itu, Alfred Russel Wallace
berseru bahwa pembangunan Piramida di Mesir nyaris tak ada apa-apanya, dibanding
pembangunan Borobudur.
"Agaknya, jumlah tenaga manusia dan keahlian yang dicurahkan untuk pembangunan piramida
terbesar di Mesir tidak berarti bila dibandingkan dengan tenaga yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan candi --Borobudur-- penuh patung pada bukit di pedalaman Pulau Jawa ini," tulis
Alfred Russel Wallace dalam Mahakaryanya Kepulauan Nusantara (2009).

Borobudur Pusat Musik Dunia

Pandangan Alfred Russel Wallace terkait kemegahan Borobudur bukan pepesan kosong
belaka. Kerumitan Borobudur dengan relief-reliefnya laksana sebuah kitab. Relief-relief itu
seakan mampu menjabarkan pengetahuan akan masa lalu, terutama terkait musik.

Yang mana, lebih dari 200 relief yang berada di 40 panil menampilkan 60-an jenis alat musik.
Masing-masing alat musik itu berjenis: petik, tiup, pukul, dan membran.

Peruntukkan alat musik pada masa itu --abad ke-8---pun beragam. Alat musik digunakan untuk
sajian pertunjukkan, upacara-upacara penting, hingga pengiring tarian-tarian sakral. Senada
dengan itu, relief alat musik jadi bukti penghargaan masyarakat Nusantara kepada seni dengan
level estetika yang tinggi.

Gambaran itulah yang diungkap oleh Etnomusikolog Belanda, Jaap Kunst (1891-1960).
Etnomusikolog yang juga musisi itu menjadi pelopor yang merekam nama-nama ratusan alat
musik yang dihimpun dari manuskrip Jawa Kuno.

Jaap Kunst melengkapi rekamannya dengan bumbu penjelasan mengenai periode awal mula
instrumen-instrumen tersebut hadir di tengah kaum bumiputra. Kunst juga mempelajari ragam
instrumen tersebut dari pahatan di dinding-dinding candi kuno, yakni Candi Borobudur.
Di Borobudur, Jaap Kunst berspekulasi gambar dari alat musik India nampak lebih mencolok di
dinding-dinding Borobudur. Jaap Kunst mencontohkan, instrumen senar petik, seruling vertikal,
dan kendang gerabah yang dikenal dengan nama ghatam. Apalagi, alat musik petik dari
India, bin, digambarkan dengan jelas di beberapa dinding Candi Nusantara, termasuk Candi
Panangguhan abad ke-14.
"Menariknya, beberapa instrumen yang digambarkan di dinding Borobudur tidak bisa ditemukan
di Jawa. Namun, masih bisa ditemukan di bagian lain Indonesia dan Asia Tenggara. Sebagai
contoh, organ mulut dan beberapa jenik instrumen petik masih bisa ditemukan di Kalimantan dan
daratan Asia Tenggara," tulis tokoh penting yang melanggengkan sejarah Gamelan, Sumarsam
dalam buku Memaknai Wayang dan Gamelan: Temu Silang Jawa, Islam, dan Global (2018).

Padangan dari Sumarsam serupa dengan yang diungkap gerakan Sound of Borobudur dalam
penelitian terbarunya. Gerakan yang dimotori oleh tiga musisi senior Indonesia --
Ir.Purwatjaraka, Trie Utami dan Dewa Budjana---menyebutkan alat musik yang terpahat di
dinding Borobudur tak saja memuat alat musik Indonesia semata, melainkan banyak pula alat
musik dunia yang terdokumentasi.

Beberapa di antaranya adalah Ranat Ek (Thailand), Balafon (Gabon), Marimba


(Congo/Tanzania), Garantung (Indonesia), Mridagam (India), Ghatam (India), Udu (Nigeria), Bo
(China), Bhusya (Nepal), Darbuka (Egypt), Tifa (Indonesia), Small Djembe (Mali/West Africa),
Traditional Drum (Srilanka), Muzavu (Tamil), African Drums, Tabla (India), Kendang
(Indonesia), Conga (Latin America), Pipa (China), Setar (Iran), Oud (Saudi Arabia), Biwa
(Japan), Lute (English), Ud (Turkey), hingga Bowed String (Italia).
Ada juga Dombra (Kazakhstan), Saung Gauk (Myanmar), Ngobi (Algeria), Sakota Yazh
(Tamil), Kora (Gambia), Ekidongo (Uganda), Harp, Zeze/Lunzenze (Kenya), One String Zither
(Peru), Kse Diev (Cambodia), Kwere (Tanzania), Sheng (China), Saenghwang (Korea),
Keledik/Kedire (Indonesia), Sape' (Indonesia), Shio (Japan), Traditional Flute (Europe), Bansuri
(India), Medieval Flute (Germany), Daegum (Korea), dan Suling atau seruling (Indonesia).

Peradaban Tinggi Leluhur Bangsa

Antropolog dari Universitas Negeri Makassar, Dimas Ario Sumilih turut angkat bicara mengenai
ragam alat musik yang terpahat di dinding Borobudur. Menurutnya, kehadiran pahatan ragam
alat musik pada relief candi Borobudur tak ubah cara lelulur bangsa menunjukkan keagungan,
kemasyhuran, dan peradaban tinggi pada zamannya. Untuk itu, tak salah jika gaung Borobudur
sebagai pusat musik dunia dijadikan bagian penting dalam kampanye pariwisata, Wonderful
Indonesia.

"Alat-alat musik yang dipahatkan di sana menunjukkan bahwa masa itu peradaban sudah berjaya
tidak hanya menegakkan etika, namun menuntut pada level estetika. Alat-alat musik yang
terdapat pada pahatan relief di Candi Borobudur menunjukkan keragaman dan kekayaan
instrumen musik yang dikenal, dipakai, dan dinikmati oleh masyarakat dalam tata
kehidupannya," cerita Dimas Ario Sumilih saat dihubungi penulis, 10 Mei.
Antropolog kelahiran Yogyakarta itu menambahkan ketika suatu bangsa mulai menyeimbangkan
antara level etika dan estetika. Maka hal itu dapat diidentikkan dengan suatu kemajuan dan
kesejahteraan. Dalam artian, pada masa itu --abad ke-9---leluhur bangsa telah mampu berpikir
melampau zamannya.

Pandangan itu serupa dengan yang diungkap oleh salah satu penggagas Sound of Borobudur,
Trie Utami: Ketika sebuah bangsa sudah bisa memainkan alat musik, artinya bangsa itu sudah
cerdas.

"Penjelasan sakralitas musik terkait Buddha di Indonesia tidak hanya terdapat pada ritus sejarah
seperti halnya penggambaran pada relief-relief candi, akan tetapi menjadi akrab dan menjadi
tradisi hingga saat ini. Eksistensi gamelan salah satu bukti nyata tradisi umat Buddha di Bali
yang bernilai religius karena dipercaya dapat menghubungkan dengan dunia tak kasat mata,"
tutup Nandhy Prasetyo dalam buku Spiritualitas Dalam Musik (2020).
Sound of Borobudur, Membunyikan Ulang
Sejarah Peradaban dan Budaya Bangsa
Oleh: Tety Polmasari

Siapa yang tidak kenal dengan Candi Borobudur yang berada di Kabupaten Magelang, Jawa
Tengah? Kemasyhurannya sampai terdengar di hampir seluruh dunia. Mahakarya arsitektur
Indonesia ini selalu dikunjungi wisatawan luar negeri maupun domestik.

Sebagai Wonderful Indonesia, kemegahan candi Budha ini bahkan menjadi bagian dari World
Heritage List atau situs warisan dunia yang dikeluarkan oleh UNESCO pada 1991. Ya, semua
orang akan dibuat takjub saat memandang Candi Borobudur yang menjadi tujuh keajaiban dunia
ini.

Candi Borubudur dibangun pada abad ke-8 dan ke-9 Masehi pada masa pemerintahan Dinasti
Syailendra. Kemegahan candi ini memang membuat banyak orang terpesona. Keberadaannya
semakin menarik karena dikelilingi pemandangan alam yang hijau nan asri sehingga terlihat
begitu cantik dan indah.

Saya termasuk yang sudah beberapa kali mengunjungi Candi Borobudur. Mulai sejak saya masih
pelajar, kuliah, bekerja. Dari saya masih single hingga memiliki tiga anak perempuan. Terakhir
mengunjungi Candi Borobudur saat liburan akhir tahun 2020 bersama keluarga saya.

Yang saya ketahui Candi Borobudur memiliki 1460 relief dan 504 stupa dengan bentuk
bangunan punden berundak-undak yang terdiri dari 10 tingkat. Relief-relief ini bercerita tentang
kejadian masa lampau yang terjadi pada masanya. Juga merekam kemajuan masyarakat Jawa
pada masa itu.

Namun, saya baru tahu kalau dari relief-relief itu ternyata ada yang menggambarkan beberapa
alat musik. Ada lebih dari 200 relief bertema musik yang berada di 40 panil yang menampilkan
lebih dari 60 jenis alat musik: petik, tiup, pukul, dan membran, dari berbagai daerah di nusantara
dan banyak negara di dunia.

Adapun jenis alat musik yang terdapat pada relief terdiri atas 4 jenis yaitu:
1. Jenis idiophone yaitu alat musik yang dipukul atau diketok. Alat pemukulnya ada yang
terbuat dari kayu atau besi. Contohnya, gong, kulintang, arumba, gambang, saron, gender,
kentongan, kerincingan, dan lainnya.

2. Jenis membraphone yaitu alat musik yang terbuat dari kulit yang berbentuk lingkaran.
Contohnya gendang, tambur, dogdog, kentingan, dan lain-lain.
3. Jenis chardophone, alat musik yang terbuat dari senar atau tali, yang dimainkan dengan cara
digesek. Contohnya biola, rebab, tatawangsa, gambus, dan rebab.

4. Jenis aerophone, yaitu alat musik yang ditiup yang bunyi iramanya dihasilkan dari getaran
udara yang diatur oleh lubang-lubang yang ada pada instrumen tersebut seperti seruling,
terompet.

Hebatnya lagi, dan ini yang membuat saya dan mungkin lainnya terkagum-kagum, bahwa relief-
relief ini sedikitnya terpahat 60 jenis alat musik yang sebarannya ada di seluruh provinsi di
Indonesia saat ini, dan di sejumlah negara dunia.

Jadi bukan sekedar menggambarkan alat musik yang dimainkan di masyarakat Jawa saja.
Bagaimana, bisa tahu coba? Apakah hasil kenang-kenangan yang diberikan tamu-tamu kerajaan
saat berkunjung ke Kerajaan Syailendra?

Adanya relief-relief ini bisa dikatakan Candi Borobudur adalah pusat musik dunia karena ada
ratusan alat musik tergambarkan di relief Candi Borobudur.

Hal ini diperkuat dengan sejarah peradaban manusia pada abad ke-8, yang telah menjadikan seni
musik sebagai budaya yang dalam kesehariannya, dan berfungsi sangat penting dalam kehidupan
sosial.

Saya jadi membayangkan berarti sejak dulu sudah ada pagelaran musik yang sungguh alunan
musiknya begitu indah layaknya orkestra. Saat alat musik itu dimainkan dan menciptakan irama,
sound of Borubudur pun menggema. Yang bisa jadi membuat tamu-tamu kerajaan kala itu
terpesona dan terhipnotis.
Yang bisa jadi mengalahkan kemajuan musik orkestra bangsa Eropa yang baru mengenalnya di
abad ke-14. Sementara bangsa kita sudah mengenal sistem orkestra 700 tahun lebih awal dari
bangsa Eropa. Dan itu berarti, pada abad 8, Indonesia sudah mengenal komposisi, aransemen,
progresi, dan segenap aspek musikal. Keren, bukan?

Saya jadi merasa bersalah mengapa beberapa kali berkunjung ke Candi Borobudur tidak terlalu
fokus pada relief-relief. Memperhatikan sih memperhatikan, tapi tidak terlalu didalami karena
pandangan mata bergeser ke titik yang lain. Terlebih pemandangan alam di sekitar Candi
Borobudur juga tidak kalah menakjubkan.

Bisa dimaklumi atas ketidaktahuan saya ini yang bisa jadi juga banyak yang seperti saya. Saya
atau kita dulu tahunya ke sini hanya berwisata, bahwa ini adalah candi termegah, lalu berfoto-
foto.

Eh, nyatanya segala ilmu pengetahuan ada tergambar di candi ini. Termasuk ilmu musik. Banyak
dari kita yang bisa dipastikan tidak menyadari kalau ternyata dari sekian relief itu bertemakan
alat musik. Bahkan, ditemukam pula banyak relief yang menggambarkan suatu ansambel musik
yang bermain bersama dalam satu panel.

Mengagumkan, bukan?

Karena itu, saya sangat berterima kasih kepada sekelompok musisi Indonesia yang mencoba
membunyikan kembali alat-alat musik yang terdapat dalam relief-relief Candi Borobudur. Tanpa
mereka, mungkin sampai sekarang saya tidak tahu sejarah musik dunia yang ternyata pusatnya
ada di Candi Borobudur.

Para musisi -- di antaranya ada Purwa Caraka, Dewa Budjana, Trie Utami, Bintang Indrianto,
Indro Kimpling, Bachtiar Djanan, Redy Eko Prastyo, Didik Nini Thowok, ini pun begitu
konsisten dan komitmen menggaungkan "Sound of Borobudur" selama 5 tahun terakhir ini .
Upaya yang layak mendapat apresiasi dari kita semua.
Para seniman Tanah Air ini pun telah sukses menciptakan ulang replika alat-alat musik yang
selama ini terukir di relief Candi Borobudur. Ada sekitar 17 jenis dawai atau alat musik petik
dibuat ulang. Semuanya disesuaikan dengan gambar yang terpahat di dalam relief candi
Borobudur. Ada juga beberapa macam alat tabuh dari gerabah dan jenis perkusi.

Yang membuat para musisi ini takjub (seperti halnya saya), ternyata, walaupun sudah berselang
13 abad berlalu masih banyak alat musik yang masih eksis dan dipakai sampai hari ini, baik di
Indonesia maupun di dunia. Bentuknya relatif masih sama, atau minimal berkembang dari suatu
bentuk yang dapat dikatakan serupa dengan pahatan masa silam di candi Borobudur.

Sejauh ini, para musisi ini sudah mengumpulkan sekitar 195-an alat musik yang dibuat
berdasarkan standarisasi Concert Grade. Alat musik ini bisa jadi akan terus bertambah sesuai
dengan temuan-temuan selanjutnya. Mereka masih terus mencari persamaan jenis dengan ratusan
instrumen musik lain di seluruh pelosok Nusantara.

Upaya re-interpretasi ini bagian dari perjalanan budaya, suatu usaha untuk membunyikan ulang
sejarah peradaban dan budaya suatu bangsa.

"Apa yang kami bangun bukan sekedar musik dan lagu. Kami juga tidak bekerja dalam rangka
ingin membentuk sebuah grup musik. Sound of Borobudur dalam pandangan kami adalah bunyi
peradaban bangsa kita," tegas Trie Utami yang akrab disapa Iie ini.

Sound of Borobudur adalah sebuah spirit yang melahirkan geliat dan upaya reaktualisasi dan
revitalisasi nilai-nilai luhur yang terpahat dan tersirat di setiap bagan relief dan lekuk candi.

"Bagi kami, Borobudur ibarat sebuah buku kehidupan yang siap dibuka, dibaca, dipelajari,
dipahami dan sangat mungkin untuk diwujudkan kembali," tambahnya.
Yuk kita dukung Sound of Borobudur ini, karena sejatinya Borobudur dan kawasan yang
melingkupinya adalah sebuah perpustakaan besar, sumber pengetahuan dan sumber data yang
bisa kita pelajari.

Dari Candi Borobudur, bukan sebatas cakupan relief candi, melainkan juga mencakup berbagai
siklus kehidupan manusia, jenis tingkah laku dan tipe manusia, flora fauna, kehidupan sosial
politik, dan kesenian.

Dari Candi Borobudur juga tergambar dengan jelas bangsa ini telah memiliki sistem tata nilai
luhur kebajikan dan kemanusiaan, yang melahirkan orang-orang berilmu pengetahuan tinggi dan
bermoral baik.

Rasanya saya sudah tidak sabar "Sound of Borobudur" diaktulisasikan dengan penampilan di
panggung yang megah. Yang disaksikan seluruh dunia.

Pasti megah seperti kemegahan Candi Borobudur. Pasti terdengar indah, yang bisa jadi lebih
indah dari musik-musik orkestra yang pernah saya dengar. Yang lebih pasti lagi,
menggemparkan seluruh dunia! Karena sejatinya "Sound of Borobudur adalah Musik untuk
Dunia".

Mendengarkan kembali alat-alat musik dari relief Candi Borobudur, yang kerap dimainkan pada
masanya, tentu menggetarkan jiwa. Dan, ini akan menjadi catatan sejarah bagi Indonesia, juga
dunia.

Bravo! Terima kasih para musisi Indonesia yang sudah membukakan mata saya dan masyarakat
lainnya. Indonesia pasti bangga, karena Indonesia memiliki orang-orang hebat!

Referensi: 1, 2
Sound of Borobudur Jangan Berhenti di
Konser
Oleh: Vicky Laurentina

Proyek Sound of Borobudur sudah bikin cukup banyak orang tepuk tangan. Tapi kini kita jadi
bertanya-tanya, kalau memang Sound of Borobudur akan membuat Borobudur jadi
pusat musik dunia, lantas apa manfaatnya buat bangsa kita?

Sekilas tentang Latar Sound of Borobudur


Buat Anda yang baru mendarat di artikel ini setelah memencet link di account social media saya,
saya ingin cerita dulu tentang Sound of Borobudur.

Kita hafal sekali bahwa Borobudur adalah candi besar yang jadi objek wisata favorit orang
banyak. Alasannya, sangat membanggakan jika bisa foto-fotoan di depan candi. Mungkin
sesekali selfie di dinding Borobudur yang penuh relief.

Kalau ditanya itu reliefnya berbentuk apa, jarang ada yang bisa mengerti. Mereka cuma tahu ada
salah satu reliefnya berbentuk gambar orang, lainnya gambar kembang, mungkin ada yang
bergambar gajah, gitu aja.

Jadi wajar kalau jarang ada yang jeli, bahwa ada puluhan relief di dinding Borobudur yang
berbentuk alat musik. Lebih parah lagi, tidak banyak yang jeli bahwa sebagian instumen musik
yang dipahat sebagai relief itu, sekarang tidak ada di Jawa, tapi ada di luar Jawa.

Ini jadi isu yang cukup pelik karena di kalangan orang Indonesia sendiri, orang masih
menganggap Borobudur sebagai monumen kuno semata. Borobudur hanya dianggap sebagai
monumen yang kebetulan berada di Magelang. Mungkin yang paling cinta pada Borobudur
adalah rakyat Jawa Tengah, sedangkan rakyat propinsi lain pun boro-boro, apalagi
mengharapkan rakyat di luar pulau Jawa mencintai Borobudur.

Karena tak cinta-cinta amat itu, maka membayar tiket masuk Candi Borobudur hanya sebatas
untuk foto-fotoan. Tapi tidak paham bahwa dinding Borobudur dengan relief-reliefnya itu sarat
ilmu. Dan jika ilmu itu dipelajari benar-benar, kita akan memahami suatu value yang kini hampir
hilang dari identitas kita sebagai bangsa Indonesia, yaitu identitas keanekaragaman.

Bagaimana caranya di Borobudur bisa ada relief sampe, padahal sampe itu bukan alat musik
orang Jawa, melainkan instrumen Dayak? Ini pertanda bahwa penduduk Jawa dan Kalimantan
sebetulnya masih berkerabat. Kalau memang berkerabat, seharusnya ya sering bekerja sama.
Istilahnya di masa kini, jangan ada gap antara orang Jawa dan orang Dayak, kira-kira begitu.
Saya balik lagi ke Sound of Borobudur. Dari relief berbentuk instrumen di dinding Borobudur,
para seniman yang digawangi Trie Utami dan Dewa Bujana rupa-rupanya terilhami untuk
menciptakan ulang instrumen-instrumen yang dipahat di relief-relief itu. Instumen itu kemudian
dibikin lagi dengan bentuk yang diupayakan sama persis dengan bentuk yang ada di relief.

Setelah instrumen itu jadi, lengkap bisa dibunyikan, maka seniman-seniman Sound of
Borobudur membuat komposisi lagu. Tercipta sekitar selusin lagu, lalu dipertunjukkan dalam
konser yang diproduksi musisi Purwa Caraka. Konser ini rupanya sudah diselenggarakan di
kawasan Magelang, dengan melibatkan kelompok seniman bernama Jaringan Kampung
(Japung), Anda bisa cari sendiri linknya di YouTube Sound of Borobudur.

Tapi kegiatan Sound of Borobudur nggak cuma bertujuan melahirkan instrumen di relief
Borobudur kembali. Panitianya punya agenda lebih lanjut: Mengkampanyekan bahwa Borobudur
sebetulnya adalah pusat musik dunia.

Bukan ambisi yang berlebihan. Karena ternyata, instrumen yang direliefkan di dinding
Borobudur ini nggak melulu gamelan doang. Atau sampe yang saya sebut tadi. Tapi juga banyak
alat musik dari bangsa lain, seperti sebut aja alat-alat musik dari Cina, India, Arab, bahkan
Afrika, dan mungkin juga Eropa.

Borobudur Itu Pusat Informasi?


Sebetulnya saya sendiri tidak terkejut. Pertama-tama, saya sejak awal sudah ragu bahwa Borobudur itu
murni berasal dari pikiran orang Jawa. Karena relief-relief di Borobudur sendiri menggambarkan
kehidupan Buddha, dan jika kita runut, kehidupan Buddha yang diceritakan di relief itu bukanlah berlatar
di bumi Jawa, tetapi di suatu tempat yang mungkin berada di India. Jadi kalau banyak alat musik India
yang terpahat sebagai relief di Borobudur, wajar. Artinya jika siapa tahu terjadi vandalisme yang merusak
relief Borobudur dan bangsa India ikutan protes, maka protes itu wajar.

Kedua, terlepas dari urusan permusikan pada relief, saya pernah terhenyak ketika sedang memotreti relief
Candi Borobudur 4 tahun yang lalu.

Saya menjumpai beberapa figur binatang yang tidak biasa, antara lain burung. Bukan sembarang burung,
melainkan burung kakatua.

Saya terhenyak. Kalau betul relief Candi Borobudur itu dipahat oleh orang Jawa, bagaimana caranya
orang Jawa bisa tahu ada bentuk burung dengan jambul yang khas seperti kakatua? Kakatua itu tidak
hidup di bumi Jawa lho, kakatua itu hidupnya di pulau Papua. Ngapain orang Jawa pada masa abad ke-9
itu jalan-jalan ke Papua yang jauh sekali sampai ketemu kakatua?

Dan kakatua bukan satu-satunya hewan aneh yang saya jumpai pada relief di Borobudur. Hewan lain
yang saya temukan reliefnya di Borobudur adalah singa. Singa lho, bukan harimau. Padahal di abad ke-9
ketika Borobudur didirikan, belum ada singa di pulau Jawa. Singa itu cuma ada di Afrika.
Jika orang Jawa sudah bisa menggambar singa di relief pada masa itu, berarti kemungkinannya cuma dua:
Orang Jawa telah berkelana sampai ke Afrika sehingga ketemu singa, atau ada orang Afrika yang jalan-
jalan ke kawasan Magelang dan bercerita tentang singa. Teori ini menyeret kita kepada kemungkinan
lain: Saat itu Borobudur sudah menjadi kota yang cukup ramai, sehingga memungkinkan banyak orang
dari berbagai bangsa berkumpul di sana untuk bertukar ilmu pengetahuan.

Artinya, Borobudur ini bukan tempat sembahyang doang. Borobudur ini adalah galeri tempat orang
memajang macam-macam informasi yang menjadi sumber pengetahuan buat banyak orang. Kalau seperti
perkataan salah satu pejabat di video Sound of Borobudur itu, Borobudur ini sebetulnya adalah
perpustakaan raksasa.

Kemudian saya jadi berpikir, jika memang relief Borobudur ini segitunya sebagai galeri sejarah
internasional, bagaimana caranya Borobudur ini supaya nggak mentok jadi objek wisata foto-fotoan
doang?

Pemusik-pemusik di Relief Borobudur


Jika kita melihat relief pada dinding Borobudur secara seksama, kita akan memahami bahwa pada masa
pembangunan Borobudur, seni musik itu sangat dihargai sampai-sampai orang mengabadikannya dalam
bentuk pahatan.

Orang memainkan musik ketika sedang di pasar. Orang memainkan musik ketika sedang menghadap
bangsawan. Genre musik yang dimainkan ketika sedang berada di pasar, berbeda dengan genre musik
yang dimainkan ketika sedang berada di rumah bangsawan.
Orang-orang di pasar lebih sering memainkan alat-alat musik yang ritmik, misalnya kendang, simbal,
atau damaru. Mungkin suasana untuk memainkan musiknya juga lebih bising, kelihatan di relief
Karmawibhangga yang lebih banyak bercerita tentang kehidupan duniawi masyarakat.

Berbeda jauh dengan orang-orang yang bermain musik di rumah bangsawan atau istana, lebih banyak
didominasi gambang dan suling. Sepertinya ambience yang diharapkan juga lebih syahdu, itu kelihatan di
relief Awadhana Jataka.

Instrumen yang dipahat di relief-relief itu, saat ini ternyata tersebar secara merata di seluruh Indonesia.
(Bahkan termasuk di pulau Papua, yang paling terakhir bebas dari buta huruf di Indonesia.)

Bahkan, banyak juga instrumen yang terpahat di relief itu, saat ini tidak berada di bumi Indonesia, tetapi
bisa ditemukan persamaannya di luar negeri. Beberapa instrumen di relief itu bahkan baru pertama kali
saya dengar namanya, misalnya dombra. Dombra ini sebetulnya instrumen petik, yang menggunakan
senar, berada di Kazakhstan, tapi bentuk reliefnya ada di Borobudur.

Ada juga instrumen bernama udu, yang sebetulnya seperti guci tempat air, tapi diberdayakan menjadi
instrumen pukul. Saat ini udu itu ditabuh sebagai pengganti drum di Nigeria, tapi, ya.. bentuk reliefnya
bisa ditemukan di Borobudur.
Begitu beragamnya instrumen yang terpahat pada relief Borobudur. Tapi kenapa, pengetahuan
masyarakat sekitar Magelang dan orang Indonesia masa kini tentang instrumen tradisional lebih
didominasi gamelan?

Nyatanya, turis-turis mancanegara, kalau datang ke Magelang, paling banter hanya dipertunjukkan seni
gamelan. Tak ada yang bercerita tentang sampe. Dombra. Biwa. Padahal instrumen-instrumen tadi ada di
reliefnya Borobudur, kan?

Perlunya Proyek Lanjutan Sound of Borobudur


Saya merasa, kalau kita mau merayakan keanekaragaman alat musik pada relief di Borobudur yang
merupakan aset berharga Wonderful Indonesia ini, nggak cukup hanya dengan bertepuk tangan melihat
Dewa Bujana dan Trie Utami memimpin rekan-rekannya memainkan kecapi di saluran YouTube-
nya Sound of Borobudur.

Instrumen-instrumen pada relief Candi Borobudur yang sudah diciptakan ulang oleh seniman-seniman
Japung ini perlu dikuratori dengan seksama, dan dipajang pada galeri khusus yang lokasinya tidak jauh-
jauh dari Candi Borobudur.

Tidak cuman dipajang lho, tapi turis perlu diundang untuk memainkan instrumen-instrumen ini, supaya
mereka bisa merasakan, "Oh ini lho alat musik yang dulu dimainkan oleh rakyat pada masa ketika
Borobudur masih jadi pusat peradaban kerajaan Mataram."

Bahkan bukan cuma untuk kepentingan pariwisata, karena peminat instrumen tradisional sebetulnya
beragam, terutama dari kalangan akademisi musik. Dengan adanya penciptaan instrumen dari relief Candi
Borobudur, maka Borobudur bisa menjadi laboratorium untuk praktikum musik tradisional yang menarik
minat ahli musik dari seluruh dunia. Bisa dibayangkan orang-orang dari akademi-akademi musik
internasional berduyun-duyun datang ke Magelang hanya untuk belajar bagaimana menciptakan
pertunjukan syahdu menggunakan sankha dan bar zither, sambil sesekali diiringi simbal mangkok.

Dengan menjadikan Borobudur di Magelang sebagai laboratorium musik, maka Sound of


Borobudur bukan lagi dikenal sebagai orkestra yang memainkan lagu hasil komposisi Dewa Bujana, tapi
juga menjadikan Borobudur pusat musik dunia sungguhan.

Kalau ingin semangat Sound of Borobudur tetap menggelora, kita jangan berhenti pada kegiatan
seremonial. Alat musik di relief Borobudur perlu dimainkan kembali, dan dikampanyekan kembali untuk
dilestarikan. Candi Warisan Dunia yang satu ini tidak cuma perlu dikagumi, tapi harus selalu ditelaah
kembali untuk digali value-nya, termasuk mengenai kekayaan seni musik di reliefnya. Nah, bisakah kita
melakukannya?
Ketika Suara Suling, Menembus Batas
Zaman
Oleh: Ko In

Alunan lembut suara suling mampu menembus relung hati terdalam.


Menentramkan dan melarutkan perasaan yang bergejolak menjadi lebih
tenang. Apalagi suling yang terbuat dari bilah bambu ditiup malam hari, saat
sepi dan sunyi. Seolah mengantar ke tempat yang jauh.
Suara seruling mampu membawa diri seperti terbang tinggi ke awan, mengantarkan pada orang
terkasih dan tersayang. Untuk duduk berdampingan menikmati cahaya bulan dalam
bingkai wonderful Indonesia.

Bulan terkadang malu-malu melihat insan yang sedang berdua. Terkadang sembunyi diantara
dedaunan, ranting dan dahan pohon di dekatnya.

Tiupan udara yang dikeluarkan lewat suling walau terkadang melengking. Tapi suaranya seperti
memanggil-manggil sebuah kerinduan akan perasaan tentram yang dapat menciptakan suasana
damai di sekelilingnya. Andai suara suling dapat digambarkan, mungkin tidak sulit mencari
padan kata untuk suara suling.

Pernah berdiri tidak jauh dari Candi Borobudur saat malam hari? Sambil mendengar sayup-sayup
suara suling dari kejauhan. Malam akan terasa bertambah syahdu menikmati keindahan
tumpukan batu yang tersusun rapi. Sambil mengagumi karya nenek moyang kita, yang tak
lekang dimakan zaman.
Alunan suaranya seolah mengantar kembali ke masa lalu. Andai suling benar-benar dapat
menjadi sound of Borobudur, sebagai salah satu alat musik yang mengumandangkan keindahan
Borobudur, yang tak pernah habis dimakan waktu.

Kapan suling dikenal ?


Belum ada yang mengetahui secara pasti kapan, oleh siapa dan dimana alat musik suling pertama kali
dibuat atau diciptakan. Jika di Candi Borobudur yang dibangun pada abad ke-7 atau sekitar tahun 750
pada wangsa Syailendra. Ada pahatan batu di dinding Borobudur, yang berbentuk relief orang
memainkan alat musik tiup (aerofon). Salah satunya suling. Maka tidak salah jika saat itu, alat musik tiup
suling, sudah banyak dikenal oleh orang pada masanya.

Di Candi Borobudur ditemukan 226 relief alat musik, yang terpahat pada 40 panel relief. Dengan
menampilkan lebih dari 40 jenis instrumen alat musik. Suling tidak ketinggalan. Ini mempertegas bahwa
alat musik tiup, sudah menjadi bagian dari kehidupan bermusik orang-orang pada zamannya.
Relief tersebut, salah satunya menggambarkan orang bermain suling. Apakah merupakan "catatan' dari
"buku besar" Candi Borobudur yang sengaja ditinggalkan oleh wangsa atau dinasti Syailendra untuk
orang-orang dimasa kini dan mendatang ? Sebagai bentuk warisan ilmu pengetahuan dan peradaban yang
sudah pernah ditempuh oleh sebuah generasi pada masanya.
Musik bagi manusia adalah bagian dari kehidupannya. Ketukan, pukulan atau petikan yang mulanya tak
berirama. Dapat disusun dan diatur sedemikian rupa sehingga menghasilkan suara yang enak di dengar
dan indah.

Musik bahasa penghubung nirwana dan dunia


Bermain musik adalah salah satu cara mengungkapkan kegembiraan dan suka cita. Musik juga dapat
dipergunakan sebagai alat untuk menyampaikan wujud syukur dan terima kasih kepada Sang Esa.
Dahulu, orang sudah melakukan dan tradisi tersebut masih dilanjutkan oleh sebagian orang pada masa
sekarang.

Musik adalah bahasa universal. Musik itu seperti bahasa penghubung antara surga atau nirwana, yang
mengabarkan tentang suasana gembira dan penuh suka cita dengan dunia.
Salah satu alat musik yang menjadi penghubung dan kerap dimainkan adalah suling.

Dalam mitologi Yunani dimana cerita dewa-dewa tumbuh subur di Yunani pada abad ke-5 Sebelum
Masehi (SM). Musik menjadi bagian tidak terpisahkan dalam tradisi budaya mereka. Mitos atau legenda
dan sejarah serta cerita rakyat yang berkembang di Yunani tidak lepas dari unsur musik serta tarian.

Ada alat musik petik seperti harpa, juga tiup seperti suling. Salah satu cerita legenda Yunani yang
menghadirkan musik dalam mitologi Yunani. Menceritakan peran musik dalan kisah pernikahan antara
Zeus dan Hera.

Dewa Apolo memainkan harpa, Dewa Hermes meniup seruling dan para Kerubi yang bersayap meniup
buluh perindu. Para penghuni Olympus bernyanyi sehingga bagaikan orkestra yang megah di surga.
Mitologi ini menunjukkan bagaimana alat musik seperti suling jauh sebelumnya sudah dikenal oleh orang
Yunani lewat mitos-mitos tentang kisah dewa dewi.

Apakah sebagian keberadaan relief alat musik, seperti suling. Semacam catatan bahwa orang-orang
dimasa dinasti Syailendra sudah mendengar kisah mitologi Yunani dan mengamini pentingnya alat musik
dan hidup penuh kegembiraan. Lewat musik di dinding candi sebagai pengetahuan untuk generasi kini
dan mendatang.

Sekali lagi ini asumsi yang patut dikaji lebih dalam kebenarannya. Demikian halnya dengan temuan
arkeologis yang menunjukkan bahwa suling diperkirakan sudah ada pada zaman purba. Didukung oleh
temuan alat musik suling dari bahan tulang hewan. Diduga peninggalan manusia purba Neanderthal, yang
berumur sekitar 40 ribu tahun lalu.
Boleh jadi, seruling atau alat-alat musik yang terpahat pada panel relief Candi Borobudur. Bukan alat-alat
musik baru, yang mereka kenal pada zaman Syailendra. Tetapi mereka abadikan sebagai gambaran
aktivitas kehidupan sosial pada zamannya. Mereka ingin meninggalkan pesan bahwa kehidupan mereka
sangat musikal. Alat musik dari seantero dunia ada di era Syailendra.
Era Kehidupan Musikal
Borobudur pusat musik dunia ? Bukan sesuatu yang mustahil jika menilik kemajuan peradaban dinasti
Syailendra pada masa itu.

Kemungkinan lainnya kehidupan musikal sangat berarti atau jadi nomena yang penting dalam kehidupan
sosial era wangsa Syailendra. Musik bukan hanya sebagai hiburan dan sarana rileksasi tetapi juga
sebagai alat untuk memompa semangat masyarakatnya manakala daya juang dan daya hidup melemah.

Dari kacamata ilmu psikologi, musik adalah alat yang dapat menjadi sarana melampiaskan berbagai
bentuk kekecewaan dan kegagalan yang sehat. Sekaligus salah satu terapi atau cara mengembalikan
semangat hidup dan semangat juang dalam menjalani kehidupan.

Seperti musik klasik karya Mozart disarankan diperdengarkan pada bayi-bayi yang masih ada di dalam
kandungan. Agar pertumbuhan mental anak setelah lahir memiliki berbagai kelebihan kemampuan dan
kecepatan daya tangkap pertumbuhan.

Musik memiliki berbagai jenis, aliran atau genre. Setiap orang boleh dikata hampir memiliki satu lagu
favorit. Ini menunjukkan bahwa musik selalu memberi warna tersendiri bagi pendengarnya. Apalagi jika
lirik lagu itu seperti mewakili kisah hidupnya, apapun bentuk pengalamannya. Apakah sedih atau
gembira.

Musik memberi warna-warni kehidupan


Tidak dapat disangkal, secara pribadi musik memberikan banyak warna sejak masih duduk sebagai siswa
dengan seragam putih biru. Radio adalah salah satu cara murah mendengarkan lagu dan musik favorit.

Musik dengan tempo rancak ngebeat di pagi hari ikut memompa semangat belajar di pagi hari. Sementara
musik dengan irama lebih lembut yang diputar oleh beberapa stasiun radio di malam hari. Membantu
konsentrasi belajar dengan menciptakan suasana tenang lewat lagu yang lebih banyak memperdengarkan
lagu-lagu lembut atau irama instrumen.
Boleh dikata, musik itu sahabat kehidupan. Sebab hidup itu sendiri tidak lain adalah nyanyian jiwa. Ada
yang terluka hatinya, ada pula yang berbunga-bunga. Sementara alat musik, ditangan pemusik menjadi
alat yang dapat membolak-balikkan rasa.

Sebagaimana lagu Gambang Suling, ingin dibawa dalam suasana meriah dengan tempo cepat atau
sebaliknya. Mendayu dengan tempo lambat. Apalagi jika dimainkan dengan alat musik suling, seolah
membawa jauh ke sebuah tempat, mengatasi ruang dan waktu serta zaman.

Tak ada generasi muda dan tua. Generasi old atau generasi now. Semua adalah manusia yang memainkan
aneka alat musik sambil menyanyikan lagu gembira.
Menembus Dimensi Kejayaan Musik
Nusantara melalui Sound of Borobudur
Oleh: Nurul Mutiara R A
“Di sudut-sudut dinding Borobudur itu ditemukan lebih dari 200 relief yang
menampilkan lebih dari 40 jenis instrumen alat musik mulai dari alat musik tiup, petik,
pukul, hingga gesek yang pada saat ini masih bisa ditemukan di 34 provinsi di Indonesia
bahkan dunia"

Membayangkan dimensi masa lalu

Membaca itu, ruang-ruang dalam pikiran saya tiba-tiba menjadi liar tak terkendali. Pandangan
mulai berimajinasi, seolah tengah menyaksikan drama kolosal yang dibuat pada setting masa
lampau layaknya drama sageuk—drama bernuansa sejarah atau kerajaan ala Korea Selatan.

Apabila kisah berdirinya Borobudur diilustrasikan dalam bentuk drama sageuk, tentu saja
keistimewaan masa itu bisa dilihat secara visual oleh berjuta mata di Indonesia bahkan dunia.
“Wow, ternyata Indonesia pada abad ke-8 seperti ini ya?”

Borobudur dibangun awal tahun 770 M-825 M pada masa pemerintahan Raja Samarotungga dari
Wangsa Syailendra. Konon, candi tersebut selesai dan diresmikan oleh Sang Putri,
Pramodawardhani, sebagai pusat ajaran Buddha terbesar dan juga menjadi sentral ilmu
pengetahuan.

Tak heran bila tempat ini disebut sentral ilmu pengetahuan. Dilihat dari tiap relief yang terpahat,
Borobudur memiliki beragam kisah seperti perkembangan ekonomi, flora, fauna, perdagangan,
persebaran agama hingga seni permusikan.

Borobudur pusat musik dunia. Percayakah kamu akan pernyataan tersebut? Ya, kamu harus
percaya. Sebab di bagian dinding-dinding candi ditemukan kurang lebih 226 relief yang
berhubungan dengan alat musik. Kalau ditilik dari dimensi masa lampau, 226 bukanlah angka
yang sedikit.

Benarkah tahun se-kuno itu sudah ada alat musik sebanyak itu dan siapa pengagas terciptanya
alat-alat musik tersebut sehingga tertera di relief-relief? Berbagai pertanyaan satu demi satu
mulai menguar dipikiran.

Ada sebuah puzzle masa lalu yang belum tersingkap dan itu membuat banyak orang penasaran.
Peradaban seperti apa yang dimiliki nusantara kala itu hingga manusia mampu menciptakan
bangunan luar biasa besar sehingga layak dinyatakan sebagai The World Heritage oleh UNESCO
pada 1991.

Apabila waktu 770 M-825 M dikaitkan dengan sejarah kerajaan negara lain, yakni Korea, maka
masa pemerintahan Raja Samarotungga masuk dalam periode Silla Bersatu (668-935).

Hayoo, siapa yang pernah menyaksikan drama sageuk berjudul The Great Queen
Seondeok. Well, drama tersebut mengambil latar waktu ketika Putri Deokman (Ratu Seondeok)
berkuasa di negeri bernama Silla (632-647 M) dimana kala itu Gegoryeo, Baekje dan Silla
belumlah bersatu.

Bila kamu pernah menontonnya, setidaknya kamu bisa melihat gambaran suasana istana dan
kentalnya tradisi yang ada di drama tersebut. Keren bukan? Kita patut bangga, sebab berdasarkan
relief yang terpahat di Borobudur, kita tahu bahwa Samarotungga adalah seorang raja yang
mengagungkan seni dan nilai-nilai religiusitas.

Sebagai sosok pecinta seni dan memiliki penghormatan tinggi pada ajaran Buddha, Samarotungga
berkeinginan mengukir berbagai memori peradaban kala itu melalui pembangunan Bhumi Sambhara
Budara yang berarti timbunan tanah, bukit atau tingkat-tingkat bangunan.

Terbukti, tiap relief di Borobudur mengandung beragam informasi, termasuk mengenai


persebaran alat-alat musik yang tidak hanya berasal dari nusantara, tetapi juga negara lain seperti
Thailand, India, China, Mesir, Jepang dan mungkin saja Korea.

Mengapa saya menyandingkan sejarah Borobudur dengan Drama Sageuk dan Sejarah
Kerajaan Korea?

Siapapun tahu bahwa saat ini Korea Selatan memiliki nilai khusus bagi generasi era kiwari,
terutama melalui film/drama yang dibuat begitu apik dan epik. Melalui drama sageuk serta
sedikit sejarah mengenai Korea, setidaknya pikiran kita jadi mudah mengilustrasikan kondisi
Mataram Kuno saat itu serupa. Ya, meskipun tak sama persis.

Bagi pecinta film/drama Korea berlatar sejarah kerajaan, rasanya sudah cukup mafhum dengan pernak-
pernik yang dimiliki cerita mulai dari makanan, pakaian, latar tempat, hingar-bingar tradisi kerajaan,
penokohan hingga segala unsur yang harus ada seperti tari-tarian serta musik.

Diceritakan bahwa ada seorang raja akan kedatangan tamu istimewa dari negeri lain. Sebuah
pesta penyambutan dipersiapkan. Acara akan dirayakan dengan kemewahan khas kerajaan.
Berbagai jenis hidangan lezat, tari-tarian indah dan alunan musik yang merdu pun dipersiapkan

Ketika upacara penyambutan berlangsung, para penari mulai gemulai menggerakkan anggota
tubuh mereka. Musik-musik layaknya gayageum (petik), daegeum (tiup),
haegeum (gesek) dan geomungo (dawai), dilantunkan dengan keras dan meriah. Para tamu
undangan yang hadir terlihat bahagia menikmati setiap nafas budaya dan seni yang disajikan
kerajaan.

Kemudian, melalui scene dari drama tersebut, sekelumit cerita bahwa Kerajaan Mataram pada
masa Dinasti Syailendra melakukan hal yang sama melintas di pikiran.

Pada zaman itu, ritual menjamu tamu, menyambut musim hingga perayaan besar keagamaan
juga menampilkan berbagai permainan alat musik layaknya di drama sageuk. Ya, semuanya
terpampang nyata dalam relief Karmawibhangga.

Menghidupkan Musik Masa lalu melalui Sound of Borobudur


Dimensi Masa Kini

Hari itu, tahun 2017 saya berkunjung pertama kali ke Candi Borobudur dalam rangkaian
acara field trip bersama 20 orang lebih. Para peserta field trip terlihat kagum menyaksikan
megahnya candi yang terlihat dari jauh. Sebab, itu kala pertama bagi kami berkunjung kesana.

Dibawah terik matahari, setiap orang mulai cekrak-cekrek mengambil gambar, mengabadikan
tiap momen yang bisa dibuat di atas pelataran Candi Borobudur.

Dibalik keberadaannya saat ini, apakah Borobudur hanya sebatas berfungsi


tempat wisata bagi orang Indonesia? Sungguh disayangkan bila itu benar. Sebab,
menurut saya, makna Borobudur lebih dari itu.

Pertama kali menjejak dan melihat tiap relief yang tergurat, ada rasa penasaran dalam benak ini
mengenai cerita dibalik fungsi Borobudur. Layaknya arsitektur yang dibangun di masa modern,
setiap pahatannya mengangumkan. Saya yakin proses memahatnya membutuhkan waktu lama.

Wisatawan awam mungkin menganggap Borobudur hanya sebagai tempat refreshing saja. Wajar
memang. Padahal lebih dari itu, bangunan tersebut merupakan bukti bahwa Indonesia di masa
lampau memiliki peradaban yang maju.

Yap, kita tidak pernah kalah dengan bangsa lain menyoal peradaban. Wonderful
Indonesia sebenarnya sudah tersemat bahkan sejak kita belum lahir ke dunia. Lantas, bagaimana
agar relief-relief itu tak sekadar guratan mati di atas baru?

Di salah satu relief bernama Karmawibangga, terukir cerita mengenai orang-orang yang
memainkan alat musik. Dialah Tri Utami dan rekan-rekannya yang sampai saat ini tengah
berusaha kuat menghidupkan relief tersebut dalam bentuk alat musik nyata.
Trie Utami, Rully Fabrian, Redy Eko Prastyo, KRMT Indro Kimpling Suseno, dan Bachtiar Djanan yang
tergabung dalam Japung Nusantara (Jaringan Kampung Nusantara) mulai berdiskusi banyak hal. Mereka
mempelajari berbagai literatur buku dan foto-foto sehingga alat musik yang hendak diwujudkan
nantinya memiliki kemiripan layaknya yang tergurat di relief Karmawibhangga.

Tak berhenti pada satu waktu, Trie Utami dan yang lainnya berinisiatif untuk terus bergerak
mengeksplorasi, meriset, mewujudkan, dan membunyikan kembali berbagai alat musik yang
terpahat di relief-relief Karmawibhangga, Jataka, Lalitavistara, Avadana, dan Gandavyuha di
candi Borobudur.

Hasil eksplorasi tersebut menghasilkan temuan lebih dari 200 relief yang terdapat di 40 panel di
candi ini, menampilkan lebih dari 40 jenis instrumen alat musik, seperti alat musik
musik kordofon (petik), aerofon (tiup), idiofon (pukul), dan membranofon (membran).

Dalam rangkaian kegiatan Borobudur Cultural Feast yang meliputi aktifitas Sonjo Kampung
dan selebrasi pentas seni budaya di 5 panggung, terdapat sesi bernama Sound of Borobudur.
Nah, di sesi inilah semua temuan dari relief-relief itu dimainkan dengan apik dan epik sehingga
membuat siapapun yang mendengarnya menjadi terkesima.

Sound of Borobudur menjadi sebuah gerakan yang bersumber dari gagasan untuk membunyikan
kembali berbagai alat musik yang wujudnya terpahat dalam relief-relief candi, dan menjadi bukti
kebesaran peradaban leluhur bangsa Indonesia yang telah mendunia pada masanya.

Menghidupkan musik-musik dari relief memang tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Namun demikian, melalui usaha serta dukungan dari banyak pihak, semua mimpi mengedukasi
masyarakat melalui seni bisa tercapai. Ini lho kekayaan yang harus kita sebarkan ke setiap orang!

Sound of Borobudur pantas dirayakan dan dijadikan momentum tahunan oleh pemerintah
sebagai ajang edukasi dan wisata. Sebab, ia merupakan inisiator yang bisa jadi melahirkan
gerakan-gerakan selanjutnya untuk memvisualisasikan peradaban negeri.

Saya berharap, Sound Of Borobudur tak hanya berhenti pada Tri Utami, Purwacaraka, Dewa
Budjana dan tokoh-tokoh penggagas lainnya, tetapi juga diteruskan eksplorasinya oleh generasi
muda di masa depan agar warta kemahsyuran nusantara di masa lampau tak pernah mati terkikis
zaman.

***

Tahun 2021. Saat ini kita memang berada jauh dari dimensi ketika Raja Samarotungga
menginisiasi pembangunan Candi Borobudur untuk banyak kepentingan. Namun demikian, kita
setidaknya paham bahwa leluhur kita merupakan manusia-manusia hebat yang mampu
menciptakan keajaiban dunia meski melalui banyak keterbatasan. Leluhur kita adalah sosok
cerdas sehingga sebagai generasi muda kita pantaslah bangga.
Sound of Borobudur adalah satu dari beribu cara yang bisa kita usahakan agar peradaban di
negeri ini tak pernah kandas. Masih banyak puzzle kejayaan yang harus diurai dari relief-relief
yang tergurat. Itu baru satu candi lho, belum bangunan peradaban lainnya yang ada di seluruh
negeri. Wonderful Indonesia!

Kawan, melalui terciptanya Borobudur dan peradaban maju yang menaunginya, kita sepantasnya
bangga menjadi bagian dari Indonesia. Ya, karena sejak dulu hingga selamanya, kita memiliki
leluhur bangsa yang hebat dan kuat. So, masih insecure dengan bangsa lain? Kalau saya sih
tidak!

Referensi :

soundofborobudur.org

Tirto.id

Japungnusantara

Wikipedia

Bumiborobudur.com

Journey.blok-a.com
Sound of Borobudur, Apakah Bukti Telah
Terciptanya Music Diplomacy and
Branding Sejak Masa Mataram Kuno?
Oleh: H.I.M

Borobudur telah menjadi bukti bahwa nenek moyang kita adalah arsitektur unggul yang mampu
menciptakan bangunan candi megah yang bisa dinikmati hingga saat ini.

Dibangun pada masa kerajaan Mataram Kuno sekitar abad ke-8 Masehi oleh Wangsa Syailendra.
Bangunan Candi Borobudur sejatinya tidak hanya sebagai sebagai tempat persembahyangan bagi
umat Buddha namun juga media peradaban masyarakat nusantara dan dunia melalui musik di
masa lalu.

Ini dibuktikan dengan munculnya berbagai relief orang memainkan alat musik yang banyak
bukan berasal dari tanah Jawa yang notabane-nya lokasi dari Mataram Kuno. Tentu ini menjadi
tanda bahwa ada momen spesial dimana musik dari berbagai belahan dunia bisa diperkenalkan
dalam peradaban Mataram Kuno dan diabadikan dalam relief Borobudur.

Menguntip dari artikel Kompasiana, pengunjung dapat menemukan lebih dari 200 relief yang
memperlihatkan 60 jenis alat musik yang terpahat indah di Candi Borobudur. Alat musik tersebut
ternyata berasal tidak hanya dari berbagai wilayah di Nusantara namun juga berbagai negara di dunia
(sumber klik disini).

Sangka menjadi salah satu alat musik yang berhasil direpresentasikan pada relief Borobudur.
Jika Sobat Kompasiana pernah menonton film Mahabharata dimana ada momen pasukan meniup
alat tiup dari kerang sebagai tanda persiapan perang. Alat tiup itulah yang dikenal dengan
Sangka.

Sangka termasuk sebagai aerophone yang dibunyikan dengan cara ditiup. Di berbagai daerah
alat tiup ini lebih dikenal sebagai Sangkakala karena mengandung
arti Sangka sebagai Cangkang Kerang dan Kala sebagai Penanda Waktu.

Dalam ajaran Islam pun, Sangkakala menjadi alat yang akan ditiupkan oleh Malaikat Israfil pada
hari kiamat. Tiupan sangkakala pertama sebagai penanda datangnya hari kiamat sedangkan
tiupan Sangkakala kedua merupakan tiupan untuk hari kebangkitan.

Alat tiup Sangka nyatanya telah dikenal luas dan menjadi budaya bagi masyarakat di India,
Nepal, Negara di Afrika, Kawasan Timur Tengah hingga berbagai negara di Eropa. Khusus di
Indonesia, alat tiup Sangka telah menjadi budaya dari masyarakat di Minahasa, Halmahera,
Pulau Seram dan Kepulauan Kei (sumber klik disini).

Merunjuk pada penyebarannya ternyata alat musik ini yang tidak berasal dari masyarakat
Mataram Kuno maka lumrah muncul.pertanyaan sederhana dalam diri kita.

Bagaimana alat musik dari daerah lain justru bisa ditampilkan sebagai bagian dari
karya relief Borobudur?

Saya pernah mendengar istilah bahwa ada 3 hal yang bisa menyatukan masyarakat dari berbagai
belahan dunia yaitu Agama, Olahraga dan Musik.

Contoh sederhana, ketika ada sebuah konser bertajuk Mengenang Karya Michael Jackson. Akan
ada jutaan masyarakat dunia yang rela berbondong-bondong datang untuk larut dan menjadi
bagian dari acara tersebut. Meskipun terkendala bahasa tidak menjadi penghalang karena musik
adalah bahasa universal.

Kembali pada kasus Borobudur, Kondisi ini bisa terjadi juga pada masa kejayaan Dinasti
Syailendra yang berhasil menyatukan masyarakat dunia melalui harmoni musik. Bahkan saya
menilai Mataram Kuno berhasil menerapkan diplomasi musik serta branding musik dengan cara
yang tidak biasa.

Pembangunan Borobudur Sebagai Bagian Dari Diplomasi Musik

Kita sadar bahwa pembangunan Candi Borobudur dilakukan dalam jangka waktu yang cukup
panjang bahkan diperkirakan lebih dari 50 tahun. Pada jangka panjang tersebut tentu ada upaya
pengenalan yang dilakukan oleh Keluarga Dinasti Syailendra yang memerintah Kerajaan
Mataram Kuno kepada kerajaan tetangga di Nusantara ataupun diluar negeri.

Kita ambil contoh sederhana, setiap tanggal 17 Agustus kita merayakan Hari Ulang Tahun
Republik Indonesia (HUT RI). Pemerintah pusat secara rutin mengundang negara tetangga dan
sahabat untuk ikut menjadi bagian dari kemeriahan peringatan HUT RI di Istana Merdeka.

Tujuan dari undangan tersebut sarat makna diplomasi karena pemerintah Indonesia ingin
memperkenalkan budaya dan kekayaan nusantara melalui atraksi yang ditampilkan selama
peringatan tersebut.

Presiden Jokowi bahkan meminta undangan menggunakan pakaian daerah serta melibatkan
atraksi nyanyian lagu dan permainan alat musik tradisional untuk diperkenalkan kepada tamu
dan media luar negeri.

Harapannya keunikan budaya dan tradisi di Nusantara semakin dikenal dan menjadi daya tarik
wisata masyarakat internasional dikemudian hari sekaligus memperkuat branding Wonderful
Indonesia. Ini karena ada ulasan media asing yang ikut mempromosikan keunikan tersebut.
Menurut saya pemerintah berhasil memainkan taktik soft diplomacy.

Ini pula lah yang dilakukan oleh Dinasti Syailendra untuk menggunakan momen pembangunan
Borobudur untuk menjadi media diplomasi kepada para kerajaan tetangga.

Mengingat dahulu mayoritas kerajaan di Asia Tenggara, Asia Selatan dan Asia Timur masih
kental bercorak Hindu-Buddha maka upaya diplomasi musik sangat berpotensi untuk diterapkan.

Pembangunan Candi Borobudur sebagai tempat pemujaan bagi umat Buddha terbesar di dunia
pastinya akan menarik perhatian dari kerajaan Buddha yang tersebar di berbagai kawasan Asia.
Perhatian ini tentu dimanfaatkan oleh Mataram Kuno untuk saling mengenalkan budaya melalui
kesenian musik.

Lokasi Candi Borobudur yang strategis karena diapit oleh 6 Gunung yaitu

1. Gunung Merapi,
2. Gunung Merbabu,
3. Gunung Sumbing,
4. Gunung Telemoyo,
5. Pegunungan Menoreh, dan
6. Gunung Tidar.

Bagi umat Hindu dan Buddha, Gunung masih dipercaya sebagai tempat suci bernaungnya para
dewa. Kondisi ini akan menarik kerajaan sekitar untuk berkunjung dan mendalami agama
Buddha di Borobudur.

Selain itu banyaknya ritual agama yang melibatkan alat musik seakan menjadi faktor pendukung
lainnya bahwa sangat penting dilakukan pengenalan alat musik secara terpusat di Mataram
Kuno.

Cara pengenalan ini mirip seperti upaya yang dilakukan penggiat seni Saung Angklung Udjo dan
House of Angklung yang mementaskan alat musik Angklung khas masyarakat Sunda di Markas
PBB. Pementasan ini berhasil menarik sekitar 500 diplomat dari 193 negara dan pejabat tinggi
PBB yang memenuhi ruangan ECOSOC di Markas PBB, New York (Sumber Klik Disini).

Kerajaan tetangga pun pastinya antusias menunjukkan kekayaan musik yang berkembang di
masyarakatnya untuk dipertontonkan kepada petinggi dan warga Mataram Kuno serta tamu
kerajaan lain yang hadir.

Munculnya 200 relief yang memperlihatkan 60 jenis alat musik menjadi tanda bahwa Mataram
Kuno berhasil menjadi penggagas pagelaran alat musik terakbar dimasa itu sebagai citra
dari Sound of Borobudur.
Saya menilai bahwa diplomasi musik pada masa Kerajaan Mataram Kuno berhasil tidak hanya
menyatukan harmoni dalam musik namun juga memperkenalkan alat musik tanah air dengan luar
negeri dan menjadi cikal bakal perkembangan atau perpaduan alat musik masa kini. Beberapa
diantaranya :

• Suling yang menjadi alat musik khas masyarakat Sunda dan Jawa memiliki kemiripan
dengan alat musik flute yang berkembang di Eropa.
• Kolintang alat musik pukul dari Bambu yang khas dari Minahasa mirip dengan
Xylophone dari Slovakia maupun Glockenspiel dari Jerman.
• Kendang sebagai alat musik pukul yang banyak digunakan oleh masyarakat Jawa dan
Bali memiliki kemiripan dengan Tifa daei Indonesia Timur maupun Janggu dari Korea.
• Siter sebagai alat petik dari Jawa Tengah memiliki kemiripan dengan Celempung Jawa
Barat, Gayageum dari Korea atau Saunggauk dari Myanmar.

Ada kemungkinan Mataram Kuno melalui diplomasi musik yang dilakukan selama pembangunan Candi
Borobudur ikut menginspirasi munculnya alat musik baru dari perpaduan alat musik yang diperkenalkan
saat masa kejayaannya. Tidaklah salah jika banyak pakar menyatakan bahwa Borobudur pusat musik
dunia. Mataram Kuno memiliki kontribusi besar terhadap peradaban kesenian alat musik saat ini.

Sound of Borobudur Sebagai Branding Musik Yang Mempesona

Keberhasilan lain yang dilakukan oleh keluarga Dinasti Syailendra adalah menciptakan branding
musik melalui Sound of Borobudur. Meskipun branding ini hasil pemikiran para tokoh budaya
saat ini namun euforia dan kemasan musik sudah dapat mewakili dari citra khas dari Suara
Borobudur itu sendiri.

Ketika pementasan angklung yang dilakukan oleh Saung Angklung Udjo berhasil menghipnotis
ratusan diplomat maka saya pun percaya saat Borobudur sebagai pusat musik dunia mampu
mengumpulkan puluhan atraksi musik dari penjuru dunia maka akan ada ratusan pemimpin
kerajaan dan perwakilannya yang ikut terkesima.

Di jaman kerajaan tentu hal ini bukan pekerjaan mudah mempertemukan perwakilan dari
kerajaan lain untuk tampil dalam 1 wadah dan lokasi yang sama. Borobudur menjadi jembatan
dalam merealisasikan hal tersebut dengan melibatkan para pemain musik tradisional dengan
agama sebagai perantara.

Terbukti alat musik yang bukan dari tanah air kita berhasil terdokumentasikan dengan baik di
relief Borobudur. Ini tanda bahwa branding Borobudur pusat musik dunia bisa diterima oleh
kerajaan lain. Bahkan Sound of Borobudur tidak hanya menjadi branding musik oleh Kerajaan
Mataram Kuno namun menjadi cikal bakal penguatan kekayaan budaya nusantara
melalui Wonderful Indonesia.

***
Kita patut berbangga bahwa sejatinya nenek moyang kita memiliki kemampuan diplomasi yang
baik dengan menempatkan musik sebagai instrumen diplomasi. Banyak kerajaan lain yang ikut
mengambil bagian dalam memperkenalkan alat musik tradisional dan mendukung Borobudur
sebagai pusat musik dunia saat itu.

Sound of Borobudur menjadi bukti bahwa musik bisa menyatukan masyarakat untuk bersama
menikmati euforia dari hadirnya sebuah karya maha besar yaitu Candi Borobudur sebagai Candi
Terbesar di Dunia. Semoga karya ini tetap memperkuat pariwisata melalui program Wonderful
Indonesia.

Artikel ini menjadi bagian dari keikutsertaan saya dalam lomba blogcompetition Peradaban
Bangsa Melalui Relief Alat Musik di Candi Borobudur yang diadakan oleh Kompasiana dengan
Kemenparekraf.

Semoga Bermanfaat

--HIM--
Gema Candi Borobudur dalam Maha
Karya "Sound of Borobudur"
Oleh: Riana Dewie
Pada sebuah perayaan Natal tahun 2008 silam, saya beserta kawan-kawan orang muda Katolik
saat itu "manggung" menggemakan beberapa lagu khas Natal. Jingle Bells adalah salah satu
judul yang kami nyanyikan, diwarnai dengan gerak dan tari juga iringan khas musik tradisional.

Berkolaborasi dengan para pemain musik dalam sebuah paguyuban seni tradisional di Jogja,
tentu ini semakin mewarnai aksi panggung kami. Beberapa alat musik yang dimainkan adalah
Bas betot, kencrung ukulele, gitar, drum, dan gendang.

Salah satu yang menarik dari aksi seni ini adalah betapa kolaborasi musik dan suara bisa
menghasilkan karya yang bisa dinikmati bersama. Saya tak mengatakan bahwa saya
menyumbang suara bagus disini. Lebih dari itu, harmonisasi terwujud karena selain lantunan
suara yang terdengar, harmonisasi antar alat musik berjalan bersamaan dan saling melengkapi.

Musik sendiri menjadi simbol dari keselarasan kehidupan, dan ia menjadi bagian seni yang selalu
memberi hiburan. Bagi saya yang juga menyukai musik, setiap kali mendengarkan alunan musik
ataupun lagu secara tak langsung dapat membangkitkan semangat hidup dan pengingat untuk
semakin bersyukur.

Alat Musik Tradisional Melestarikan Budaya Nusantara


Selain dapat membuat hati semakin rileks dan dapat mencairkan suasana, musik juga dapat
berfungsi sebagai pemeran cerita kehidupan. Seperti alunan musik yang mengiringi lagu-lagu
natal di atas menyuguhkan sebuah cerita suasana natal yang penuh sukacita di sepanjang jalan.
Ya, selalu ada makna dari setiap musik yang dimainkan.

Salah satu alat musik yang digunakan untuk mengiringi aksi panggung di atas adalah kendang
(gendang). Menurut Wikipedia, gendang adalah instrumen dalam gamelan yang salah satu fungsi
utamanya mengatur irama.

Alat musik ini dimainkan dengan cara ditabuh atau dipukul pada bagian membran atau
selaputnya. Saat ditabuh, selaput ini akan bergetar dan menghasilkan bunyi. Kabar baiknya,
ternyata gendang bukan sembarang alat musik.

Alat musik yang memberikan suasana tak sama dari setiap penabuhnya ini ternyata menjadi
salah satu alat musik tradisional khas Nusantara yang terpahat pada panel-panel relief di Candi
Borobudur. Wow, keren :D
Candi Borobudur Memiliki Pahatan Alat Musik yang Tak Ternilai
Proses menghayati dan menikmati musik memang menjadi sebuah pengalaman menyenangkan
dan membuat pendengar merasa nyaman. Dan inilah yang dapat kita dapatkan dari maha karya
beberapa seniman nusantara yang sukses membunyikan beberapa jenis alat musik yang terpahat
pada relief candi Borobudur.

Candi Borobudur ternyata menjadi pusat budaya dan seni dunia di masa lalu. Nah, ini bisa kita
buktikan sendiri saat berkunjung kesana, dimana 226 relief alat musik terpahat pada 40 panel
relief. Selain itu, 40 jenis instrumen alat musik juga bisa kita temukan disana.

Ini menjadi sebuah fakta yang sungguh istimewa karena pada jamannya, belum ada situs sejarah
lain yang memiliki kekayaan pahatan relief alat musik sebanyak ini. Tak heran jika banyak yang
menyebutkan bahwa Borobudur Pusat Musik Dunia, disamping sebagai titik pertemuan lintas
bangsa dan lintas budaya.

Akhirnya, beberapa jenis alat musik yang terpahat pada relief borobudur mulai dipelajari dengan
seksama, diteliti oleh para ahlinya dari waktu ke waktu hingga lahirlah "Sound of Borobudur".

"Sound of Borobudur" Menorehkan Sejarah Musik Baru untuk Dunia


Untuk mengenali kebesaran peradaban di masa lampau, itulah mengapa Sound Of Borobudur
Movement hadir mewarnai sejarah musik di negara kita. Karena budaya dan ilmu pengetahuan
diinterpretasikan melalui seni diharapkan dapat menjadi pemantik semangat agar masyarakat
semakin cinta tanah airnya.

Dengan adanya ini, kita semakin menyadari betapa warisan nenek moyang begitu berharga, baik
itu nilai dan tatanan diri, kemasyarakatan, kenegaraan dan tatanan untuk pengelolaan alam secara
seimbang.

Sound Of Borobudur Movement akan menjadi milik bersama apabila bisa dinikmati dan
dilestarikan dengan cara yang positif. Tak hanya menggambarkan musik khas Jawa Tengah,
namun mewakili nusantara. Beberapa alat musik yang terpahat adalah alat musik pukul, alat
musik dawai, alat musik tiup dan alat musik membran.

Tak heran jika para musisi nusantara yang hebat sukses membunyikan kembali alat musik yang
terpahat apda relief candi Borobudur. Salah satu alasannya adalah akrena candi berbentuk
piramid ini menyajikan data artefaktual tertua yang menggambarkan orkestrasi musik dengan
sangat lengkap.

Relief-relief di Borobudur ini juga menyajikan gambaran menarik tentang interaksi pemusik dan
audiens dalam berbagai aktivitas harian maupun seremoni. Tak heran, saat "Sound of
Borobudur" digemakan di ranah publik, antusias mayarakat sangat tinggi, bahkan lebih dari
ekspektasi.
Gerakan Sound of Borobudur adalah Sebuah Identitas Budaya

Rekonstruksi instrumen dari waktu ke waktu dilakukan dengan penuh perjuangan dan tentunya
ini memerlukan kekompakan yang luar biasa dalam tim. Saya pribadi sangat bersyukur dan
senang dengan adanya Sound of Borobudur ini, karena kekayaan musik dunia ternyata terpahat
di candi ini.

Terimakasih saya ucapkan kepada tim Japung Nusantara (Jaringan Kampung Nusantara) yang
berani mewujudnyatakan kekayaan nusantara ini. Mereka adalah Trie Utami, KRMT Indro
Kimpling Suseno, Rully Fabrian, Bachtiar Djanan juga Redy Eko Prastyo yang pertama kali
mengembangkan ide briliyan ini.

Saat ini Sound of Borobudur semakin terdengar gemanya di seluruh penjuru tanah air dengan
hiburan bernilai seni tinggi. Digawangi oleh Purwa Tjaraka sebagai Executive Producer, Sound
of Borobudur kini telah sukses menjadi sebuah orkestra besar yang melibatkan 40 musisi dalam
proses penciptaan, aransemen, dan album rekaman yang berisi 12 komposisi lagu.

Gerakan Sound of Borobudur adalah sebuah identitas budaya, karena didalamnya masyarakat
bisa belajar arti toleransi, persatuan, kerukunan dan semangat untuk semakin cinta tanah air.
Yeay, Wonderful Indonesia-ku :)

Riana Dewie
Membahanakan "Sound of Borobudur"
dalam Balutan Storynomic
Oleh: Ang Tek Khun
Mengenali ulang Candi Borobudur dan memahami jejak gerakan "Sound of Borobudur" di
mana Borobudur menjadi pusat musik dunia, membuat kita menatap peluang
terwujudnya Wonderful Indonesia melalui balutan Storynomic Tourism

SEORANG petinggi media asal Amerika, dibuat terpikat. Di pengujung kunjungan, matanya
berbinar. Kata-kata yang terucap olehnya, bernas dibalut ekspresi kagum.

Sepulang ke negerinya, ia pun lekas menerbitkan sebuah artikel refleksi yang didasarkan pada
kisah fabel dari relief yang didengar dan disaksikannya saat itu. Tulisannya yang menukil kisah
kura-kura, manis dan memukau banyak pembaca.

Semua itu bermula kala ia terbang dari Michigan dan tiba di Indonesia. Kami mengajaknya ke
Yogyakarta dan membawanya berkunjung ke Candi Borobudur. Di sana, insights membuncah di
benaknya.

Ia mungkin tak menyangka. Dalam perjalanan panjang untuk menjejak Jakarta, ia masih harus
menambah jam duduk untuk tiba di tempat yang namanya mirip. Lalu, menempuh jalan darat.
Dan, aha! Ia pun menjumpai peradaban tinggi di kawasan "antah-berantah" yang kita sebut
Borobudur.

Apa yang terjadi padanya? Dalam satu kali kunjungan, ia masuk dalam daya pukau Borobudur.
Rahasianya, tak selazim jutaan pengunjung, kami mengajaknya mengikuti "tata laksana" yang
semestinya. Dimulai dari menonton film dokumenter tentang Borobudur, lalu meniti jalur yang
seharusnya dalam mengitari format Mandala Candi Borobudur untuk menikmati panel-panel
relief dalam urutan yang semestinya.

Apa yang berkecamuk dalam dirinya? Itulah "sihir" storytelling!

Candi Borobudur dan Kekayaan Kisahnya


Candi Borobudur bukan untuk dikagumi secara data atau informasi, semisal dibangun
dengan puzzle dua jutaan bongkah batu vulkanik tanpa semen dengan masa kerja 75 tahun. Atau,
bangunan raksasa dari wangsa Syailendra yang menampung 1.460 panel relief cerita, 1.212 panel
relief dekoratif, dan 504 stupa.
Lebih dari itu, Borobudur adalah mahakarya dengan pesona dan kedalaman inspirasi bak kitab
terbuka yang tak tandas ditimba dalam menggali lelaku para leluhur serta warisan kebijaksanaan
hidup yang tak lekang oleh waktu.

Prof. Dr. W.F. Stutterheim (1929) memandang Candi Borobudur sebagai "replika" dari alam
semesta yang menurut ajaran Buddha terdiri atas Kamadhatu (unsur nafsu); Rupadhatu (unsur
wujud); dan Arupadhatu (unsur tak berwujud).

Prof. J. G. De Casparis (1950) memberi makna lain. Borobudur itu bertingkat 10, menggambarkan
falsafah Buddha Mahayana yang disebut Dasabodhisatwabhumi. Setiap orang yang ingin mencapai level
sebagai Buddha, harus melampaui 10 tingkat Bodhisatwa.

Kamadhatu adalah bagian kaki candi, menggambarkan kehidupan awam yang masih dikuasai
kama/nafsu (seksual). Bagian ini dipenuhi 160 panel relief Karmawibhangga yang
menggambarkan hukum karma, hukum sebab-akibat dari suatu perbuatan baik dan buruk.
Rupadhatu menggambarkan tingkat hidup manusia yang sudah terlepas dari kama, tetapi masih
terikat pada rupa (materi)---kekayaan duniawi. Tingkat ini terdiri dari empat lorong, dihiasi 1300
panel relief yang terentang 2,5 km.

Arupadhatu adalah denah lantai berbentuk lingkaran, dindingnya polos tanpa relief. Ini
menggambarkan tingkatan manusia yang telah terbebas dari rupa (nafsu terhadap materi).
Namun demikian, belum mencapai tingkat nirwana.

Di tingkat Arupadhatu, rapang Buddha berada dalam stupa dengan lubang berbentuk layang-
layang (diamond shape) yang melambangkan bahwa manusia, meskipun sudah berupaya
meninggalkan nafsu duniawi, kerap kali masih tergelincir oleh godaan.

Di atas tingkat Arupadhatu terdapat tiga tingkatan lagi, yaitu Nirwana, Parinirwana,
dan Mahaparinirwana. Sebagai tingkatan tertinggi, Mahaparinirwana dilambangkan dengan
stupa terbesar disebut Dhatugharba (Dhagoba). Stupa ini polos, tanpa lubang, melambangkan
manusia yang telah mencapai tingkat ketiadaan wujud yang sempurna.

Sekilas Relief Candi Borobudur


Candi Borobudur berhiaskan relief terpanjang di dunia (2,5 km). Relief ini terdiri dari beberapa
judul cerita. Susunan dan judul cerita relief pada dinding dan pagar langkan candi dapat disimak
pada bagan atau tabel berikut ini:

Karmawibhangga adalah relief berisi cerita yang mempunyai korelasi sebab-akibat (hukum
karma). Relief Karmawibhangga tidak hanya menggambarkan perbuatan jahat, tetapi juga
menggambarkan ajaran sebab-akibat dari perbuatan baik.
Lalitavistara berisi riwayat Sang Buddha, dimulai dari turunnya Sang Buddha dari surga Tusita,
yakni lahirnya Sang Buddha di dunia sebagai Pangeran Sidharta Gautama, putra Raja Sudhodana
dan permaisuri Maya dari Negeri Kapilawastu.
Buddhacarita memuat berbagai cerita tentang sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai
pangeran Sidharta. Berisi penonjolan perbuatan-perbuatan baik, seperti sikap rela berkorban dan
suka menolong--yang membedakan Sang Bodhisattwa dan makhluk lain.

Jatakamala berisi cerita fabel, yang melibatkan karakter satwa yang bersikap dan berpikir
sebagai manusia.

Avadhana hampir sama Buddhacarita, tetapi tokohnya bukan Sang Buddha, melainkan orang
lain. Cerita ini terhimpun dalam kitab Diwyawadana yang berarti perbuatan mulia kedewaan dan
kitab Avadanasataka atau seratus cerita Avadana.

Gandawyuha adalah deretan relief pada dinding lorong kedua, memuat cerita Sudhana yang
berkelana tanpa mengenal lelah dalam usaha mencari "pengetahuan tertinggi" tentang
"kebenaran sejati".

Relief dan Gerakan "Sound of Borobudur"


Borobudur merupakan kawasan yang kaya akan kisah untuk diceritakan. Dimulai dari nama pun,
telah disebut-sebut dalam beberapa versi berdasarkan ahlinya. Proses penemuan, proses
pemugaran, hingga masuk daftar Situs Warisan Budaya Dunia (World Heritage Site) UNESCO,
dan proses masuk dalam daftar Memori Dunia (Memory of The World).

Berdasarkan kawasan, tarikan garis lurus menghubungkan Candi Borobudur, Pawon, dan
Mendut menyimpan kisah menarik untuk diceritakan. Bagaimana para peziarah di masa lampau
menempuh jalan ini. Hingga proses menghidupkan jalur ini sebagai bagian dari pembangunan
KSPN.

Sejumlah "tugas" telah pula menunggu untuk tiba pada kerja-kerja kreatif menghidupkan panel-
panel relief menjadi story untuk Storynomic. Pada bagian inilah kita akan berjumpa dengan
gerakan bernama "Sound of Borobudur".

Di mana letak relief "Sound of Borobudur"? Berdasarkan pemetaan (bagan) relief di atas, kita
akan tiba pada panel-panel tersebut.

Pada relief Karmawibhangga, Lalitavistara, Jataka/Awadana, dan Gandawyuha, kita akan


bertemu pahatan alat-alat musik, antara lain Bar-zither, Lute, Harpa, dan berbagai macam
Gendang. Misalnya saja, Gendang tong, Gendang susun tiga, Gendang simetris, Gendang
silinder, Gendang por, dan Gendang tanah liat.

Terdapat pula Damaru, Alat pukul, Seruling, Seruling melintang, Sangkha, Terompet, Genta
bertangkai, Simbal piring, dan beberapa alat musik lainnya. Wow, Wonderful
Indonesia banget! Lebih dari 300 alat musik ada di sana.
Bentuk alat-alat musik tersebut saat ini tersebar di 34 provinsi di Indonesia. Beberapa alat musik
yang dipakai saat ini, masih menyerupai bentuk yang ada di relief candi.

Lebih luas lagi, ada kesamaan atau kemiripan yang signifikan antara bentuk alat musik di relief
Borobudur dengan alat musik yang saat ini masih dimainkan di lebih dari 40 negara di dunia.

Hipotesis tak terhindarkan muncul di benak bahwa Borobudur dulunya merupakan pusat musik
dunia. Dari sini musik dikenalkan ke seantero jagad. Atau sebaliknya, Borobudur merupakan
tempat berkumpulnya para musisi ternama dunia.

"Sound of Borobudur" kini telah menjadi gerakan yang menggaungkan kembali bunyian
Peradaban Borobudur yang terpendam selama ribuan tahun agar dapat dimanfaatkan di masa
depan. Salah satunya melalui media seni (sebagai produk budaya), yang digeliatkan oleh tiga
tokoh sentral, Trie Utami, Purwa Tjaraka, dan Dewa Budjana.

Embrio gerakan ini telah dimulai bertepatan dengan momentum Borobudur Culture Feast 2016.
Saat itu, bagi yang belum sempat membaca kisah ini, tengah berkumpul KRMT Indro Kimpling
Suseno, Trie Utami, Rully Febrian, Redy Eko Prastyo, dan Bachtiar Djanan. Mereka berdiskusi
dan membuka buku foto-foto karya Kassian Cephas tentang relief Karmawibhangga.

Kassian Cephas adalah fotografer Jawa yang berasal dari Kesultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat. Ia adalah fotografer profesional pribumi pertama pada masa itu. Pada tahun 1890-
1891 ia dipercaya untuk memotret relief-relief Karmawibhangga.
Keterbatasan dana membuat Cephas hanya bisa menyelesaikan 160 dari target 300 foto panel
relief. Foto-foto relief jepretannya baru dipublikasikan 30 tahun kemudian.

Sementara itu, ada nama Ali Gardy Rukmana, seniman muda dari Situbondo (Jawa Timur). Ia
mengemban amanah untuk mewujudkan alat musik yang semula hanya menghiasi panel relief.

"Sound of Borobudur" kembali digelar awal April 2021. Selain pertunjukkan musik, disajikan
pula Seminar dan Lokakarya bertajuk "Borobudur Pusat Musik Dunia". Tujuan seminar tak lain
untuk membangun landasan ilmiah bagi gerakan ini. Seminar ini menghadirkan 5 pakar dari
bidang Cultural Studies, Sejarah, Arkeologi, Antropologi, dan Etnomusikologi.

Bingkai Storynomic Tourism untuk Pariwisata Indonesia


Indonesia telah menetapkan jalur Storynomic Tourism dalam membingkai pariwisata---
terutama pada lima Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) superprioritas, yaitu Danau
Toba, Borobudur, Likupang, Mandalika, dan Labuan Bajo.

"Kami memperkenalkan formula Storynomics Tourism. Sebuah pendekatan pariwisata yang


mengedepankan narasi, konten kreatif, dan living culture, serta menggunakan kekuatan budaya
sebagai DNA destinasi," ungkap Irfan Wahid, ketua tim Quick Win yang ditunjuk Presiden
Jokowi.

Penetapan strategi Storynomics Tourism berlandaskan pada kekayaan budaya Indonesia,


sehingga nantinya promosi kawasan wisata akan dilakukan dengan narasi storytelling yang
dikemas dalam konten menarik dengan menceritakan budaya lokal setempat.

Konsep ini menjadi salah satu upaya promosi dan komunikasi dalam membangkitkan sektor
pariwisata, terutama pascapandemi Covid-19 yang berfokus pada pariwisata berkualitas. Melalui
pendekatan ini, diharapkan bisa meyakinkan wisatawan untuk berkunjung ke sebuah destinasi
wisata.

Konsep Storynomics Tourism diakui oleh Tatiana Gromenko, pendiri SGB, platform digital
pariwisata Singapura, sebagai ide yang brilian. Menurut perempuan Rusia yang fasih berbahasa
Indonesia ini, konsep pariwisata dengan mengedepankan narasi kreatif memang mutlak
dibutuhkan di zaman digital.

Merujuk jejaknya, maka Storynomic membawa kita pada Robert McKee, yang bersama Thomas
Gerace menerbitkan buku dengan judul ini. Robert McKee adalah pakar storytelling, dengan
"koleksi" lebih dari 80 piala Oscar yang telah diraih mahasiswanya. Sementara Thomas Gerace
adalah CEO Skyword, seorang pakar di digital marketing.
Dalam konteks Indonesia, Titing Kartika dan Nova Riana telah menggunakan bingkai
Storynomic Tourism dalam membedah Tangkuban Parahu. Penelitiannya, "Storynomics Tourism
as an Effective Marketing Strategy on Tourism Destination (Case Study on Tangkuban Parahu,
West Java-Indonesia)", dapat kita jumpai di Tourism and Sustainable Development Review
Journal (TSDR), Volume 1 Number 1 (2020).

Betapa terbayang "Sound of Borobudur" akan membahana hingga manusia terjauh melalui
balutan Storynomic Tourism. Inilah refleksi optimis saya.
Meneropong "Orkestra Borobudur" pada
Masa Lampau
Oleh: Hendra Wardhana
Musik Indonesia dalam konteks nasional bisa dikatakan masih berusia muda. Tonggak
industrinya baru terpancang pada 1950-an ketika The Indonesian Music Company Limited mulai
merekam musik menggunakan piringan hitam.

Sejak saat itu musik Indonesia terus berkembang dengan beberapa akselerasi. Ragam genre
musik kemudian tumbuh subur di Indonesia karena masyarakatnya memiliki kecintaan dan selera
yang tinggi terhadap musik.

Kini, industri musik Indonesia dianggap sebagai yang terbesar di Asia Tenggara. Pengaruhnya
cukup membanggakan. Masyarakat negeri jiran seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei
Darussalam sangat menyukai karya para musisi Indonesia.

Begitu kuatnya daya pikat musik Indonesia hingga membuat Pemerintah Malaysia pernah
membatasi pemutaran lagu-lagu Indonesia di radio-radio mereka. Kebijakan tersebut diprotes
oleh warga Malaysia sendiri yang menganggap musik serta lagu dari Indonesia lebih enak
dinikmati, kekinian, dan tidak membosankan.

Bagaimana Musik Eksis di Masa Lampau?


Sementara itu dalam konteks Nusantara, eksistensi musik di tengah masyarakat diyakini telah
berkembang sejak berabad-abad lampau. Ini cukup masuk akal mengingat masyarakat Nusantara
pada zaman dulu diketahui telah memiliki tingkat kebudayaan yang tinggi. Tinggalan sejarah
seperti candi, perkakas logam, dan situs-situs bekas kerajaan menjadi buktinya.

Semua jejak peninggalan tersebut tidak sepenuhnya bersifat independen. Melainkan merupakan
bentuk kebudayaan yang bertalian dengan kemampuan atau kecerdasan untuk mencipta,
termasuk mencipta musik.

Secara sederhana dipahami bahwa jika masyarakat masa lampau bisa membuat perkakas dan
membangun karya arsitektur, maka mereka pun bisa memproduksi benda-benda kesenian, seperti
alat musik. Jika banyak di antara mereka mampu memahat batu, maka sangat mungkin sebagian
lainnya punya bakat menabuh instrumen penghasil nada.

Jangan lupakan pula bahwa masyarakat Nusantara dikenal religius sejak dulu. Sejak masa pra
Hindu-Budha, keyakinan terhadap roh nenek moyang dan kekuatan-kekuatan gaib yang
mengatur kehidupan sudah dipegang oleh masyarakat Nusantara. Lalu pada masa Hindu-Budha,
pengaruh agama semakin kuat.
Catatan pada prasasti maupun relief candi memperlihatkan bagaimana masyarakat Nusantara
telah melakukan banyak ritual pemujaan dan praktik keagamaan. Sebagian bentuk ritual atau
pemujaan tersebut masih dijumpai sekarang meski tidak sama persis. Menariknya dalam
praktiknya ritual-ritual tersebut sering dibarengi dengan kegiatan memainkan musik.

Diduga kuat bahwa hal itu merupakan warisan dari masa lampau. Artinya sejak dulu kegiatan
memainkan atau menabuh benda-benda untuk menghasilkan suara-suara ritmis dan mistis telah
dilakukan sebagai pengiring ritual pemujaan terhadap arwah atau dewa.

Seiring waktu dan berkembangnya pola kehidupan, masyarakat masa lampau menemukan bahwa
menabuh benda-benda bisa jadi media penghibur. Bunyi-bunyian yang teratur dirasakan sebagai
keindahan sehingga dengan memainkan atau mendengarnya hati bisa merasa senang.

Selanjutnya karena musik dianggap indah dan berharga, kemungkinan pula masyarakat
Nusantara pada masa lampau telah menyadari manfaat kegiatan bermusik dalam mendukung
kepentingan diplomasi, politik, dan ekonomi.

Dari semua hal itulah eksistensi musik pada masa lampau mulai berakar. Kecerdasan masyarakat
zaman dulu dalam memahat, membuat perkakas, merancang bangunan akhirnya semakin
lengkap dengan kecerdasaan bermusik.

Borobudur Pusat Musik Dunia


Sayangnya belum banyak catatan sejarah terungkap yang merinci bagaimana masyarakat
Nusantara mengenal dan mengembangkan kesenian bermusik. Juga belum terang dijelaskan
bagaimana lintasan perkembangan musik Nusantara dan korelasinya dengan musik Indonesia
saat ini. Katakanlah, adakah benang merah antara dangdut yang merupakan musik asli Indonesia
dengan kreasi musik masyarakat Nusantara pada masa lampau?

Memang ada catatan-catatan kuno, seperti Sastra Jawa Kuno, serta catatan China dan India kuno
yang menyinggung tentang kesenian di Nusantara. Akan tetapi informasinya kurang mendalam.
Sedangkan kebanyakan prasasti yang ditemukan di Indonesia lebih menonjolkan sosok raja dan
pemimpin beserta prestasinya atau tentang wilayah di mana prasasti itu dibuat.

Untungnya sejarah tidak seluruhnya kabur. Pada relief Candi Borobudur, terutama relief
Karmawibhangga, Lalitavistara, Wadariajataka, dan Gandawyuha terpahat rupa alat-alat musik yang
mirip dengan alat-alat musik masa kini. Di antaranya ialah suling, simbal, lute, cangka, saron, tifa, dan
kendang. Tak kurang 226 relief pada Candi Borobudur yang mengabadikan alat musik dan kegiatan
bermusik. Termasuk 45 relief ansambel, yakni gambaran sekelompok orang yang memainkan alat musik
secara bersama-sama.

Menariknya, sejumlah alat musik pada relief Candi Borobudur memiliki kemiripan dengan alat-
alat musik yang eksis dimainkan pada masa kini. Lebih mencengangkan lagi banyak alat musik
itu menyerupai alat musik dari negara-negara lain. Di antaranya ialah Ranat Ek (Thailand),
Balafon (Gabon), Marimba (Tanzania), Udu (Nigeria), Ghatum (India), Bo (China), Darbuka
(Mesir), Muzafu (Tamil), Bowed String (Italia), Biwa (Jepang), Oud (Arab Saudi), Dombra
(Kazakstan), Kora (Gambia), Saung Gauk (Myanmar), Ekidongo (Uganda), dan Daegum
(Korea).
Fakta tersebut sangat luar biasa. Mengingat usia Borobudur yang berasal dari abad ke-8 dan
konteks masyarakat pada saat itu, wajar jika muncul dugaan Borobudur Pusat Musik Dunia.

Orkestra Borobudur dan Borobudur Idol


Sangat penting untuk menggali lebih dalam makna dari banyaknya alat musik dan kegiatan
bermusik yang terpahat pada relief Borobudur. Mungkinkah pada masa itu Nusantara telah
tersohor sebagai bangsa yang besar dengan Borobudur sebagai ibukota kesenian?

Di Nusantara mungkin pernah berdiri semacam padepokan seni dan musik dengan Borobudur
sebagai pusatnya. Gema "Sound of Borobudur" menarik sejumlah pemusik dari berbagai penjuru
untuk datang. Sejumlah bangsa pun mungkin mengirimkan delegasi kesenian guna belajar musik
sekaligus menjalin persahabatan dengan Nusantara melalui Borobudur.

Para wakil dari berbagai bangsa itu berinteraksi. Mereka saling belajar dan bertukar keterampilan
seputar musik. Dengan sendirinya terjadi pengayaan musik. Maka kita bisa memperkirakan
mengapa dangdut yang diyakini sebagai musik asli Indonesia memiliki warna musik India, Arab,
dan Melayu. Itu akibat dari interaksi antara unsur musik Nusantara dengan musik dari bangsa
lain yang prosesnya sudah dimulai sejak berabad-abad silam.

Borobudur sebagai Pusat Musik Dunia juga mendorong orang-orang yang datang untuk saling
memeragakan keahlian bermusik mereka. Orang dari banyak bangsa memainkan alat musik
kebanggaan masing-masing.

Tidak berlebihan kalau kita membayangkan pada masa lampau ada semacam "Borobudur Band
Explosion" yang mementaskan kelompok-kelompok musik dari berbagai bangsa seperti halnya
kompetisi "Band Explosion" pada masa modern. Dari situlah Borobudur mengabadikan aneka
alat musik pada reliefnya. Selain itu, mungkin juga pernah ada "Borobudur Idol" pada masa itu.
Sebab kesenian musik tak hanya keterampilan menabuh instrumen, tapi meliputi juga kemahiran
bersenandung.

Adanya gambaran ensambel pada relief Borubudur mengindikasikan bahwa telah ada semacam
kolaborasi musik pada masa lampau. Pertemuan para pemain musik memungkinkan adanya
"Orkestra Borobudur". Tidaklah berlebihan membayangkan pada masa itu di Borobudur telah
ada pagelaran musik yang rutin digelar secara bersambungan dengan pelaksanaan ritual-ritual
keagamaan atau ulang tahun raja.

Bayangkan sekumpulan orang berpadu dan berbagi peran memainkan alat musik tiup, alat musik
pukul, alat musik petik, dan alat musik membraphone. Nada-nadanya yang memukau mengiringi
vokal-vokal indah sejumlah penyanyi. Sementara sekumpulan penari ikut bergerak dengan
liukan tubuh yang harmonis.

Mereka memainkan komposisi-komposisi ritmis tersebut di bawah langit Borobudur. Dikelilingi


penonton yang berusaha menangkap inspirasi dan menerjemahkannya menjadi kepuasaan serta
kebahagiaan. Begitulah mungkin Orkestra Borobudur pada masanya.

Terakhir, mari coba memaknai fenomena gamelan yang sekarang semakin banyak dipelajari oleh
negara-negara lain. Barangkali ini semacam kelanjutan gaung Sound of Borobudur yang telah
menembus zaman dan tak berhenti memukau dunia.

Sebagai warisan mahakarya, Sound of Borobudur sudah seharusnya kita bangkitkan dan
lestarikan. Sedangkan sebagai semangat peradaban, Sound of Borobudur dan Borobudur
Pusat Musik Dunia perlu terus kita kabarkan pada dunia, sebagaimana kita bangga
mengabarkan Wonderful Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai