PT. Marindo memporeh fasilitas kredit dari BRI senilai Rp. 18.000.000,- jangka
waktu kredit adalah 1 tahun (12 bulan), bunga kredit dikenakan sebesar 14% per tahun.
Disamping itu PT. Marindo juga dikenakan biaya administrasi sebesar Rp. 360.000,- dan
biaya provisi dan komisi 1%.
Pertanyaan:
1. Berapa jumlah angsuran per bulan yang dibayar oleh PT. Marindo jika BRI
menggunakan metode flate rate.
2. Hitung pula jumlah angsuran per bulan untuk metode sliding rate.
3. Hitung pula angsuran per bulan angsuran yang harus dibayar oleh PT. Marindo jika BRI
menggunakan metode floating rate dengan asumsi tingkat suku bunga sebagai berikut:
Bulan 1 s/d bulan ke-4 suku bunga 14% per tahun
Bulan 5 s/d bulan ke-8 suku bunga 16% per tahun
Bulan 9 s/d bulan ke-12 suku bunga 15% per tahun
Jawab:
1. Sebelum menghitung jumlah suku bunga dengan flate rate maka terlebih dahulu perlu
dihitung jumlah pokok pinjaman yang harus dibayar oleh PT. Marindo. Rumus yang
digunakan untuk menghitung pokok pinjaman (PP) adalah sebagai berikut:
Jumlah Pinjaman
a. Pokok Pinjaman =
Jumlah Angsuran
Rp. 18.000.000,-
= = Rp. 1.500.000,-
12
% x Pinjaman
b. Suku Bunga =
Tahun
14% x Rp. 18.000.000
= = Rp. 210.000,-
12
Jumlah angsuran ini setiap bulan sama seperti terlihat dalam tabel di bawah ini.
2. Dengan metode Sliding Rate Pokok Pinjaman (PP) tetap sama dan yang berbeda adalah
perhitungan suku bunganya sebagai berikut:
Jumlah Pinjaman
a. Pokok Pinjaman =
Jumlah Angsuran
Rp. 18.000.000,-
= = Rp. 1.500.000,-
12
· Bulan ke-2
14% x Rp. 16.500.000,-
Bunga = x 1 = Rp. 192.500,-
12
PP = Rp. 1.500.000,-
Jumlah Angsuran Bulan ke-2 = Rp. 1.692.500,-
· Bulan ke-3
14% x Rp. 15.000.000,-
Bunga = x 1 = Rp. 175.000,-
12
PP = Rp. 1.500.000,-
Jumlah Angsuran Bulan ke-3 = Rp. 1.675.000,-
· Bulan ke-4
14% x Rp. 13.500.000,-
Bunga = x 1 = Rp. 157.500,-
12
PP = Rp. 1.500.000,-
Jumlah Angsuran Bulan ke-4 = Rp. 1.657.500,-
· Bulan ke-5
14% x Rp. 12.000.000,-
Bunga = x 1 = Rp. 140.000,-
12
PP = Rp. 1.500.000,-
Jumlah Angsuran Bulan ke-5 = Rp. 1.640.000,-
· Bulan ke-6
14% x Rp. 10.500.000,-
Bunga = x 1 = Rp. 122.500,-
12
PP = Rp. 1.500.000,-
Jumlah Angsuran Bulan ke-6 = Rp. 1.622.500,-
· Bulan ke-7
14% x Rp. 9.000.000,-
Bunga = x 1 = Rp. 105.000,-
12
PP = Rp. 1.500.000,-
Jumlah Angsuran Bulan ke-7 = Rp. 1.605.000,-
· Bulan ke-8
14% x Rp. 7.500.000,-
Bunga = x 1 = Rp. 87.500,-
12
PP = Rp. 1.500.000,-
Jumlah Angsuran Bulan ke-8 = Rp. 1.587.500,-
· Bulan ke-9
14% x Rp. 6.000.000,-
Bunga = x 1 = Rp. 70.000,-
12
PP = Rp. 1.500.000,-
Jumlah Angsuran Bulan ke-9 = Rp. 1.570.000,-
· Bulan ke-10
14% x Rp. 4.500.000,-
Bunga = x 1 = Rp. 52.500,-
12
PP = Rp. 1.500.000,-
Jumlah Angsuran Bulan ke-10 = Rp. 1.552.500,-
· Bulan ke-11
14% x Rp. 3.000.000,-
Bunga = x 1 = Rp. 35.000,-
12
PP = Rp. 1.500.000,-
Jumlah Angsuran Bulan ke-11 = Rp. 1.535.000,-
· Bulan ke-12
14% x Rp. 1.500.000,-
Bunga = x 1 = Rp. 17.500,-
12
PP = Rp. 1.500.000,-
Jumlah Angsuran Bulan ke-11 = Rp. 1.517.500,-
Tabel Perhitungan Angsuran Pinjaman
PT. Marindo
Dengan Metode Sliding Rate
(dalam ribuan)
Bulan Sisa Pinjaman Pokok Pinjaman Bunga Angsuran
1 18.000,- 1.500,- 210,0- 1.710,0,-
2 16.500,- 1.500,- 192,5,- 1.692,5,-
3 15.000,- 1.500,- 175,0,- 1.675,0,-
4 13.500,- 1.500,- 157,5,- 1.657,5,-
5 12.000,- 1.500,- 140,0,- 1.640,0,-
6 10.500,- 1.500,- 122,5,- 1.622,5,-
7 9.000,- 1.500,- 105,0,- 1,605,0,-
8 7.500,- 1.500,- 87,5,- 1.587,5,-
9 6.000,- 1.500,- 70,0,- 1.570,0,-
10 4.500,- 1.500,- 52,5,- 1.552,5,-
11 3.000,- 1.500,- 35,0,- 1.535,0,-
12 1.500,- 1.500,- 17,5,- 1.535,0,-
Jumla 18.000,- 1.365,- 19.365,-
h
3. Dengan metode Floating Rate Pokok Pinjaman (PP) tetap sama yang berbeda adalah
perhitungan suku bunganya sebagai berikut:
Jumlah Pinjaman
a. Pokok Pinjaman =
Jumlah Angsuran
Rp. 18.000.000,-
= = Rp. 1.500.000,-
12
F. Analisis Rasio
Analisis rasio keuangan bank syari’ah maupun bank konvensional dilakukan dengan
menganalisis posisi neraca dan laporan laba rugi. Analisis ini dikelompokkan ke dalam 4
macam kategori, yaitu:
1. Rasio Likuiditas, adalah ukuran kemampuan bank dalam memenuhi kewajiban jangka
pendeknya, meliputi rasio lancar, rasio cepat, dan rasio pembiayaan terhadap dana pihak
ketiga.
Aset Lancar
Current Ratio =
Utang Lancar
Kas + Efek
Cash Ratio =
Utang Lancar
Total Pembiayaan
LDR =
Total Dana Pihak Ketiga
Sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia tingkat likuiditas bank dianggap sehat
apabila LDR nya 85% - 110%.[5]
2. Rasio Aktivitas, adalah ukuran untuk menilai tingkat efisiensi bank dalam
memanfaatkan sumber dana yang dimilikinya. Rasio ini meliputi: perputaran aktiva tetap, dan
perputaran ativa total.
3. Rasio Profitabilitas, adalah rasio yang menunjukkan tingkat efektivitas yang dicapai
melalui usaha operasional bank, yang meliputi: margin laba, dan pengembalian atas aktiva.
Laba Bersih
Return on Aset =
Total Aset
ROA menunjukkan kemampuan manajemen bank dalam menghasilkan laba dari pengelolaan
asset yang dimiliki.
Laba Bersih
Return on Equity =
Total Equity
ROE Menunjukkan kemampuan manajemen bank dalam mengelola modal yang tersedia
untuk mendapatkan laba. Semakin tinggireturn semakin baik karena berarti
dividen yang dibagikan atau ditanamkan kembali sebagai retained earning juga akan semakin
besar.
4. Rasio Biaya, adalah rasio yang menunjukkan tingkat efisiensi kinerja operasional bank.
Penentuan besarnya rasio ini dihitung dengan rumus:
Biaya Operasional
Rasio Biaya (BOPO) =
Pendapatan Operasional
Biaya operasional adalah biaya yang timbul dari aktivitas di dalam kegiatan utama
bank, sedangkan pendapatan operasional adalah pendapatan yang timbul dari aktivitas di
dalam kegiatan utama bank. Semakin rendah tingkat rasio biaya, maka akan semakin baik
tingkat efisiensi kinerja operasional bank. Begitu pula sebaliknya, apabila semakin tinggi
tingkat rasio biaya, maka akan semakin menurun tingkat efisiensi kinerja operasional bank itu
sendiri.
Selain 4 analisis rasio diatas, juga terdapat penilaian tingkat kesehatan bank yang mencakup
penilaian terhadap faktor-faktor yang terdiri dari: permodalan (capital) dan kualitas aset
(Asset quality).
1. Permodalan
Penilaian permodalan dimaksudkan untuk mengevaluasi kecukupan modal bank dalam
mengelola eksposur resiko saat ini dan dimasa mendatang. Rasio yang digunakan yaitu:
Modal Inti + Pelengkap
CAR =
ATMR
Perhitungan Modal dan Aktiva tertimbang Menurut Resiko (ATMR) berpedoman pada
ketentuan Bank Indonesia tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM).
Semakin tinggi rasio ini menunjukkan bahwa bank semakin solvable.
2. Kualitas Aset
Salah satu komponen yang digunakan yaitu rasio pembiayaan bermasalah (NPF) yang
bertujuan untuk mengukur proporsi pembiayaan bermasalah terhadap total pembiayaan.
Rumusnya yaitu:
JPB
NPF =
JP
Keterangan:
· JPB merupakan jumlah pembiayaan yang terogolong dalam kolektibitas Kurang
Lancar, Diragukan dan Macet sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia tentang Penilaian
Kualitas Aktiva Bank.
JP merupakan jumlah pembiayaan yang dimiliki oleh bank.
[1]http://agadhira.blogspot.com/2012/01/apa-beda-kredit-pada-bank-konvensional.html
Kredit ini kurang lebih memiliki arti yang sama dengan istilah pembiayaan dalam bank
syariah. Hanya mungkin yang membedakan secara mendasar adalah mengenai kontraprestasi
yang diberikan oleh masing-masing bank, yakni bunga untuk bank konvensional dan bagi
hasil untuk bank syariah.
Dalam memberikan kredit, bank harus melakukan analisis terlebih dahulu terhadap calon
nasabah. Ini untuk meyakinkan bank bahwa calon nasabah memang benar-benar dapat
dipercaya dan mampu mengembalikan dana yang dipinjamkan. Selain itu, bank juga harus
memperhatikan prinsip-prinsip pemberian kredit yang lazim disebut dengan the five C of
credit analysis atau prinsip 5 C’s, yaitu watak (character), kemampuan (capacity), modal
(capital), agunan (collateral), dan prospek usaha dari debitur (condition of economy). Namun
demikian, bank juga tetap harus mematuhi peraturan-peraturan baik yang dikeluarkan oleh
pemerintah maupun Bank Indonesia, salah satunya terkait dengan Batas Maksimum
Pemberian Kredit (BMPK) yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/3/PBI/2005
tentang BMPK sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
8/13/PBI/2006. Kendati begitu, dalam kenyataannya masih saja terdapat kredit yang
statusnya bermasalah, seperti halnya kredit macet. Kredit macet adalah suatu keadaan dimana
debitur baik perorangan atau perusahaan tidak mampu membayar kredit bank tepat pada
waktunya.[3]Di dunia perbankan, kredit macet lebih dikenal dengan nama Non-Performing
Loan (NPL). Kredit macet ini bisa disebabkan oleh faktor ekstern ataupun intern bank. Faktor
ekstern yakni yang berkaitan dengan nasabah, misalnya kecakapan nasabah dalam mengelola
usahanya, kondisi ekonomi nasabah, kemampuan nasabah terhadap risiko yang mungkin
terjadi, dan lainnya. Sedangkan faktor intern bank, seperti manajemen bank.
Contoh Kasus Kredit Macet
PT Dhiva Inter Sarana (DIS) merupakan perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan
pipa untuk sektor minyak dan gas. Perusahaan ini dimiliki Richard Setiawan, yang sekaligus
menjabat sebagai direktur utama perusahaan tersebut. Ayoritas produk yang dijual PT Dhiva
diimpor dari China, antara lain perusahaan Henyang Steel Tube, Sino Steel, Tianjin
Anshengda, Federal Hardware Engineering, Soconord, dan Heibei Yaosheng. Sementara
konsumen PT Dhiva adalah perusahaan produsen migas, seperti PT Pertamina (Persero),
Chevron Pacific Indonesia, VICO, Petro China dan Odira Energy Karang Agung. Kedekatan
PT Dhiva dengan sejumlah perusahaan migas tercermin pada Laporan Tahunan Indonesian
Geothermal Golf Community (IGGC) periode 2012-2013.[4]
Pada awal Januari 2015 media digemparkan dengan berita mengenai Manajemen Bank
Internasional Tbk yang menggugat pailit PT Dhiva Inter Sarana pada akhir Desember 2014,
Hal ini dikarenakan terhitung per tanggal 5 Juni 2014 PT Dhiva berutang kepada BII-
Maybank dengan total utang senilai US$ 67,669 juta atau setara Rp 812,03 miliar,[5] dengan
asumsi Rp 12.000,00 per dolar AS, yang beberapa bulan macet atau tidak membayar
angsuran. Utang tersebut jatuh tempo per Desember 2014. Adapun jumlah utang ini terdiri
dari utang pokok senilai US$ 53,587 juta, bunga US$ 2,667 juta, dan denda US$ 11,415 juta.
Total utang dari BII itu sendiri didapat dari beberapa skema, di antaranya fasilitas pinjaman
rekening koran senilai Rp 2,7 miliar, fasilitas demand loan US$ 44 juta, dan L/C Line 1 US$
8,7 juta yang jatuh tempo 7 Mei 2014, serta fasilitasL/C Line 2 sebesar US$ 6 juta yang jatuh
tempo pada 12 Juni 2014.[6]
Pihak BII telah beberapa kali mengirimkan surat dan melakukan pertemuan dengan pihak PT
Dhiva untuk meminta pelunasan kewajiban. Namun demikian, Dhiva Inter tidak kunjung
memenuhi kewajibannya membayar atas fasilitas kredit yang diterimanya. BII akhirnya
memutuskan memberi surat peringatan kepada termohon sebanyak dua kali pada 24 Oktober
dan 28 November 2014 dengan ancaman akan melakukan tindakan hukum bila tidak
membayar.[7] PT Dhiva pun tetap enggan membayar, hingga ujungnya pihak BII menempuh
jalur hukum terhadap masalah ini. Dan pada Rabu pagi, tanggal 7 Januari 2015, perkara ini
disidangkan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Dalam surat panggilan pengadilan tanggal 31
Desember 2014, tertera bahwa perkara ini adalah permohonan kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) terkait dengan masalah kredit macet oleh PT Dhiva.
Di mana dalam hal ini PT Bank Internasional Indonesia Tbk bertindak sebagai pemohon,
sedangkan PT Dhiva dan pemiliknya, Richard Setiawan selaku personel guarantee atau
penjamin, sebagai termohon.[8]
Pada dasarnya kasus kredit macet PT Dhiva ini mulai menyeruak setelah pemiliknya
berinvestasi di luar bisnis inti perusahaan. Dan pada Desember 2013, PT Dhiva meminta agar
pinjaman mereka direstrukturisasi. Akan tetapi, dari laporan audit internal BII-Maybank sejak
Agustus 2012 justru mendapati adanya indikasi sejumlah invoicedari pihak pemasok yang
ternyata fiktif. Adapun dalam laporan audit internal BII-Maybank tersebut tertera kalimat
sebagai berikut.
"BII Internal Audit Team indicated that some of the invoices from the suppliers are fictitious.
Further investigation is still being conducted (Tim Audit Internal BII mendapati indikasi
bahwa sejumlah invoice dari pihak pemasok ternyata fiktif. Investigasi lebih lanjut sedang
dilangsungkan),"[9]
Dalam laporan itu pula mencantumkan jumlah kredit PT Dhiva per tanggal 5 Juni 2014,
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, adalah Rp 649,29 miliar (menggunakan kurs pada
saat itu).
Terlepas dari itu semua, PT Dhiva ternyata tidak hanya memiliki utang kepada BII saja,
namun memiliki kreditur atau utang-utang kepada pihak lainnya. PT Dhiva juga memiliki
utang kepada Bank Permata senilai Rp 304,23 miliar. Dhiva juga diduga memiliki utang yang
berpotensi gagal bayar ke Bank DBS Indonesia sebesar Rp 197,79 miliar, Bank Central Asia
Tbk senilai Rp 850 juta, PT Orix Indonesia Finance senilai Rp 807,21 juta, Bank CIMB
Niaga Rp 14,23 miliar, dan kepada BRI senilai Rp 33 miliar.[10]
Kembali pada BII. Dengan adanya kasus kredit macet ini, pihak BII mengalami penurunan
pada tahun berjalan yang cukup signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. Sepanjang
Januari hingga September 2014 BII hanya membukukan laba Rp 340 miliar, jauh lebih
rendah dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya sebesar Rp 1,09 triliun.
Menurut Direktur Pengawas Perbankan 2 OJK, Riyanti A.Y. Sali, hal ini disebabkan
terjadinya penurunan laba tahun berjalan yang cukup besar. Laba tahun berjalan turun karena
pembentukan cadangan penghapusan kredit macet.
Dalam catatan laporan keuangan BII-Maybank akhir tahun 2013, disebutkan terdapat
kenaikan kredit yang masuk dalam kategori kredit bermasalah (non-performing loan atau
NPL), senilai Rp 675 miliar. Angka ini tercantum pada kategori utang dalam dolar AS di
sektor perdagangan, restoran dan hotel. Namun pada laporan keuangan per akhir September
2014, kredit bermasalah di pos tersebut tersisa Rp 7 miliar. Sementara itu, nilai write
off atau kredit yang dihapusbukukan dari neraca bertambah menjadi Rp 1 triliun. Kredit
bermasalah BII ini mulai melonjak per akhir tahun 2013 menjadi Rp 2 triliun, dibandingkan
pada akhir tahun sebelumnya yang berada di level Rp 1,27 triliun. Dan setahun kemudian,
pada posisi akhir September 2014, angkanya membengkak lagi menjadi Rp 2,43 triliun.[11]
Dilihat dari besarannya, nilai kredit bermasalah PT Dhiva tersebut memang cukup signifikan
dibandingkan dengan total kredit bermasalah BII-Maybank per akhir tahun 2013. Kredit
macet PT Dhiva ini menyumbang kontribusi mencapai 32%. Atas kredit bermasalah di tahun
2013 ini, pada laporan laba rugi Januari sampai dengan Desember 2013 telah disisihkan
provisi senilai Rp 787,55 miliar. Dan pada kurun waktu Januari sampai September 2014, juga
telah disisihkan provisi sebesar Rp 1,46 triliun.[12]
Analisis Kasus
Berdasarkan landasan teori dan uraian kasus di atas, adapun analisis terhadap kasus tersebut
adalah sebagai berikut.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, pada dasarnya setiap bank yang akan memberikan
kredit tentunya telah melakukan analisis terhadap calon nasabahnya. Begitu pula yang
dilakukan BII terhadap PT Dhiva Inter Sarana. Di samping itu juga didasarkan pada salah
satu ketentuan yang terdapat dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, yang berbunyi:
“Dalam memberikan kredit, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan
kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan.”
Ini menunjukkan bahwa pada saat BII memberikan pinjaman, ia yakin PT Dhiva akan mampu
mengembalikan pinjaman tersebut melalui analisis yang dilakukan. Namun seiring
berjalannya masa perkreditan, dalam suatu waktu bank ini bisa dikatakan mengalami
kecolongan. Di mana kemungkinan PT Dhiva tidak mampu membayar atau bermasalah
terhadap kreditnya telah diketahui sejak adanya audit internal pada Agustus 2012, namun
tidak segera ditanggapi hingga akhirnya justru masalah semakin rumit dan baru ditangani
dengan serius setelah kredit telah jatuh tempo. Padahal dalam hasil audit tersebut juga telah
dijelaskan mengenai indikasi sejumlah invoice dari pihak pemasok yang ternyata fiktif.
Mengacu pada Peraturan Bank Indonesia mengenai BMPK, pemberian kredit terhadap PT
Dhiva tergolong pada pemberian kredit kepada pihak yang tidak terkait, sehingga dalam hal
ini PT Dhiva bisa mendapatkan pinjaman kredit maksimal 25% dari modal BII.
Selain itu, dalam kasus ini penyebab kredit macet juga berasal dari faktor ekstern bank, yakni
terletak pada si nasabah. Dalam hal ini, PT Dhiva tidak memiliki kemampuan untuk
mengembalikan pinjaman kredit hingga jatuh tempo, yakni per Desember 2014. Sedang ia
juga telah menunggak pembayaran angsuran pokok beserta bunganya terhitung sejak
beberapa bulan sebelum pengumuman pihak BII terkait jumlah utang PT Dhiva per 5 Juni
2014. Sehingga dalam hal ini PT Dhiva dikatakan wanprestasi terhadap kewajibannya.
Sebagaimana ketentuan Pasal 27 ayat (3)Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/3/PBI/2005
tentang BMPK sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
8/13/PBI/2006, menyebutkan:
(3) Peminjam dianggap wanprestasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
apabila:
a. terjadi tunggakan pokok dan atau bunga dan atau tagihan lainnya selama 90 (sembilan
puluh hari);
b. tidak diterimanya pembayaran pokok dan atau bunga dan/atau tagihan lainnya pada
saat Penyediaan Dana jatuh tempo; atau
c. tidak dipenuhinya persyaratan lainnya selain pembayaran pokok dan/atau bunga yang
dapat mengakibatkan terjadinya wanprestasi.
Apabila dipadankan dengan ketentuan-ketentuan di atas dan ketentuan lainnya terkait dengan
pemberian kredit, maka alasan PT Dhiva dikatakan wanprestasi, antara lain:
a) PT Dhiva telah menunggak pembayaran angsuran pokok beserta bunga selama beberapa
bulan dan lebih dari 3 bulan atau 90 hari;
b) Hingga saat jatuh tempo per Desember 2014, PT Dhiva tetap belum melunasi pinjaman
yang diberikan. Padahal BII juga telahmengirimkan surat dan melakukan pertemuan dengan
pihak PT Dhiva untuk meminta pelunasan kewajiban, bahkan memberi surat peringatan
kepada termohon sebanyak dua kali pada 24 Oktober dan 28 November 2014 dengan
ancaman akan melakukan tindakan hukum bila tidak membayar. Naumn sekali lagi ini tidak
ditanggapi lanjut oleh PT Dhiva.
c) Tidak dipenuhinya surat peringatan oleh PT Dhiva juga dapat mengindikasikan bahwa
perusahaan ini beritikad tidak baik atau wanprestasi.
d) Di samping itu, sang pemilik perusahaan yang justruberinvestasi di luar bisnis inti
perusahaan menunjukkan bahwa pinjaman kredit tidak digunakan untuk tujuan yang
diarahkan, tidak untuk kegiatan operasional PT Dhiva menunjukkan pemberian kredit tidak
tepat sasaran.
Sebab-sebab seperti inilah yang menyebabkan pihak BII menempuh jalur hukum untuk
penyelesaian kasus.
Terlepas dari itu, kredit bermasalah ini tidak lantas membuat BII-Maybank limbung. Rasio
NPL netto BII Maybank dalam sembilan bulan pertama di tahun 2014 memang naik menjadi
1,79% dibandingkan pada periode yang sama di tahun sebelumnya yang sebesar 1,02%.
Namun, rasio tersebut masih terkendali. Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/2/PBI/2013
tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum Konvensional pada
Pasal 4 ayat (2) huruf d menyatakan bahwa suatu bank masuk dalam kategori pengawasan
intensif jika rasio NPL-nya secara netto melebihi 5%. Sedangkan NPL BII masih di bawah
5%, yakni masih di titik 1,79%.
Bunyi dari pasal tersebut adalah:
d. rasio kredit bermasalah (non performing loan) secara neto lebih dari 5% (lima persen)
dari total kredit.