Anda di halaman 1dari 259

MENANGIS DALAM KONSEP HADIS

Tesis
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Magister dalam Studi Ilmu-ilmu Agama
Bidang Tafsir Hadis

Oleh

Abdul Muiz, S.Ag.


NIM: 00.2.00.1.05.01.0180

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1428 H./2007 M.

i
ii
LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Tesis ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar Strata 2 di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya,
maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.

Jakarta, 31 Oktober 2007

Abdul Muiz

iii
MENANGIS DALAM KONSEP HADIS

Tesis
Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Magister dalam Studi Ilmu-ilmu Agama
Bidang Tafsir Hadis

Oleh:
Abdul Muiz, S.Ag.
NIM: 00.2.00.1.05.01.0180

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr.H. Ahmad Wahib Mu’thi, M.A. Dr.H. Ahmad Lutfi Fathullah, M.A.

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1428 H./2007 M.

iv
PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Tesis berjudul MENANGIS DALAM KONSEP HADIS telah diujikan


dalam sidang munaqasyah Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pada 27 September 2007. Tesis ini telah diterima sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Magister Agama (M.A.) pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 27 September 2007

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Dr. Fuad Jabali, MA Drs. Ikhwan, MA


NIP: 150 242 799 NIP: 150 254 958

Anggota,

Dr. Romlah Askar, MA Dr. Yusuf Rahman, MA


NIP: 150 254 101

Dr.H. Ahmad Wahib Mu’thi, M.A. Dr.H. Ahmad Lutfi Fathullah, M.A.
NIP: 150 183 152 NIP: 150

v
TRANSLITERASI ARAB-LATIN

1. Konsonan

‫ا‬ =
‫ف‬ = f
‫ب‬ = b ‫ق‬ = q
‫ت‬ = t ‫ك‬ = k
‫ث‬ = ts ‫ل‬ = l
‫ج‬ = j ‫م‬ = m
‫ح‬ = h ‫ن‬ = n
‫خ‬ = kh ‫و‬ = w
‫د‬ = d ‫هـ‬ = h
‫ذ‬ = dz ‫ء‬ = `
‫ر‬ = r ‫ى‬ = y
‫ز‬ = z
Vokal pendek
‫س‬ = s َ = a
‫ش‬ = sy
َ
= i
‫ص‬ = s ُ = u
‫ض‬ = d
Vokal Panjang
‫ط‬ = t
‫ا‬
َ
= â
‫ظ‬ = z
‫ع‬ = ‘ ‫ي‬ْ َ = î
=
‫غ‬ gh ‫ُ ْو‬ = û
Diftong

‫ي‬
ْ ‫أ‬ = ai

‫أ ْو‬ = au

vi
ABSTRAK

Sejak dilahirkan, bahkan sebelum lahir ke dunia, hingga Allah swt.

memanggil ke pangkuan-Nya, sosok agung Nabi Muhammad saw. sedemikian

menarik perhatian umat manusia. Penegasan Allah swt. bahwa beliau adalah

uswah hasanah bagi setiap orang beriman (QS.al-Ahzâb/33:21) dan beliau benar-

benar memiliki akhlak yang agung (QS.al-Qalam/68:4) memberikan motivasi

tersendiri bagi para sahabat, tabiin, dan salihin untuk senantiasa mencermati

seluruh perilaku dan gerak-gerik beliau, untuk selanjutnya ditiru dalam kehidupan

mereka.

Salah satu perilaku yang menarik untuk dikaji dan dicermati adalah

tangisan yang pernah terjadi pada diri teladan umat tersebut. Jika al-Qur’an

pernah menggambarkan bahwa di antara Ahli KItab ada orang-orang yang

beriman dan meneteskan air mata saat ayat-ayat suci al-Qur’an dilantunkan

(QS.al-Mâ’idah/5:83) dan para nabi serta keturunannya juga selalu menangis saat

mendengar lantunan ayat-ayat Allah swt. (QS.Maryam/19:58), lalau

bagaimanakah dengan keseharian hidup Rasulullah saw. yang dipandang sebagai

manusia paling bertakwa sepanjang sejarah?

Berdasarkan penelusuran penulis terhadap sebelas kitab (al-kutub al-tis’ah

dan dua kitab zuhd wa raqâ’iq), penulis menemukan kurang lebih 183 hadis yang

dinisbahkan kepada Rasulullah saw. (qaul dan fi’il) mengenai menangis dari 483

hadis yang berhasil penulis kumpulkan yang menggunakan term menangis.

Dari hasil penelitian penulis, dapat disimpulkan bahwa ternyata hari-hari

keberagamaan beliau banyak diwarnai dengan tangisan dan deraian air mata,

7
bukan dengan canda dan gelak tawa. Seluruh tangisan yang ditampilkan dalam

kehidupan beliau, tidak ada yang buruk dan bertentangan dengan petunjuk dan

tuntunan Allah swt.

Jika ditinjau dari segi hukum, maka menangis dapat dikategorikan menjadi

tiga bagian, yaitu: menangis yang dibolehkan, menangis yang terlarang, dan

menangis yang dianjurkan.

Menangis yang dibolehkan yaitu menangisi mayit secara wajar dan

menangis karena terharu. Hal ini dibuktikan dengan perilaku Rasulullah saw. yang

senantiasa menangis saat menyaksikan kematian orang-orang yang dicintainya.

Sedangkan menangis yang terlarang adalah menangisi mayit secara tidak wajar

dan berlebih-lebihan karena diiringi dengan nadb dan nauh/niyâhah, yaitu

menyebut-nyebut kebaikan si mayit secara berlebihan yang disertai dengan

ratapan, raungan, dan suara jeritan yang tinggi. Bahkan, biasanya dalam tradisi

jahiliyah, mereka juga memukul-mukul muka dan merobek-robek baju mereka.

Dalam kondisi demikian, si mayit ketika sebelum meninggal tidak memberikan

pesan agar cara menangis seperti itu ditinggalkan, atau bahkan dia memberikan

wasiat agar keluarganya menangisi dirinya kelak dengan cara seperti itu. Itulah

sebabnya, Rasulullah saw. bersabda: “Nayit itu akan disiksa di kuburnya tersebab

ratapan (orang yang hidup) kepadanya.” (H.R. al-Bukhârî)

Adapun menangis yang dianjurkan adalah menangis karena takut kepada

Allah swt., menangis saat membaca atau mendengarkan al-Qur’an, menangis saat

berzikir kepada Allah swt. dalam kesendirian, menangis saat menegakkan salat

dalam kekhusyuan, dan menangis saat mendengarkan nasehat keagamaan.

8
Imam Abû Dâwûd meriwayatkan dari Tsâbit dari Mutarrif dari Ayahnya,

ia berkata: “Saya melihat Raulullah saw. sedang salat dan di rongga dadanya

terdengar suara seperti orang yang berjalan kaki karena tangisannya.”

Satu hal yang dapat disimpulkan dari tesis ini adalah bahwa ternyata

ditemukan korelasi positif antara menangis dengan kesalihan pribadi. Menangis

adalah salah satu karakteristik orang-orang yang salih, di samping karakteristik

yang lainnya. Nabi Muhammad saw., para nabi, sahabat, tabiin, dan sâlihîn,

senantiasa mengisi hari-hari keberagamaan mereka dengan tetesan air mata

spiritual yang sarat makna. Tangisan mereka semakin mendekatkan diri mereka

kepada Sang Khalik. Tangisan mereka mampu mempengaruhi perbaikan kualitas

hidup mereka. Tangisan mereka adalah tangisan yang melahirkan implikasi positif

dalam kehidupan sosial.

Bagi kita sebagai umatnya, yang layak dan patut kita lakukan adalah

meniru dan mengikuti perilaku teladan kita itu dengan berupaya secara optimal

membersihkan jiwa dan hati kita (tazkiyah al-nafs). Salah satu proses tazkiyah al-

nafs adalah dengan melakukan berbagai ibadah ritual yang telah diajarkan oleh

Allah swt. dan Rasul-Nya sambil merenungi hikmah dan pesan moral yang

terkandung di dalamnya.

9
KATA PENGANTAR

Bismillâhirrahmânirrahîm

Segala puji dan syukur kepada Allah, Zat Yang Mengatur segala apa yang

ada di alam raya. Berkat qudrah dan iradah-Nya, alhamdulillâh, penulis akhirnya

dapat merampungkan tesis ini yang sudah sekian lama tertunda. Penulis sadar

betul, bahwa tesis ini masih menyimpan sekian kekurangan. Namun demikian, al-

faqîr mengharapkan agar Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang

berkenan menjadikannya sebagai salah satu amal salih yang benar-benar ikhlas

guna mendapatkan ridha dan berkah-Nya. Salawat dan salam senatiasa penulis

harapkan agar Allah swt. senantiasa mencurahkannya kepada teladan umat tanpa

cacat, Nabi Muhammad saw., keluarga, dan seluruh sahabatnya.

Penyelesaian tesis ini tidak lepas dari bantuan beberapa pihak. Oleh karena

itu, sebagai ungkapan kebahagiaan, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada:

1. Kepada kedua orang tua penulis, Abi Sadeli (Aba) dan Umi Suryani

(Ema) yang telah mendidik dan mengasuh penulis sejak saat di

kandungan hingga saat ini. Ucapan terima kasih ini juga penulis

sampaikan kepada mertua penulis, yaitu Ayahanda Sumardi dan Ibunda

Sri Rahayu, yang telah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk

mendampingi puteri keduanya dalam meniti kehidupan. Penulis berharap,

semoga Allah berkenan memasukkan mereka semua kelak ke dalam

golongan salihīn, dan membangkitkan mereka bersama para siddiqīn dan

syuhadā. Ucapan terima kasih ini juga penulis sampaikan kepada seluruh

10
abang dan adik yang keberadaannya turut memberikan andil dalam

membentuk jati diri penulis;

2. Istri tersayang (Yayang Dewi Darmawanti, A.Mk.) dan dua buah hati kami

tercinta (Muhammad Sayyidul Awliya Izzati dan Muhammad Hawdhi

Izzati). Keberadaan mereka semua adalah anugerah besar yang diberikan

kepada penulis dan menjadi dorongan tersendiri dalam menyelesaikan

tesis ini;

3. Kedua orang tua angkat penulis, Bapak H. Emon Soemitra dan Ibu Hj. Ika

Emon S. serta keluarga, yang telah banyak memberikan bantuan, baik

moril maupun materil. Semoga Allah memasukkan mereka semua min

ahlil khair;

4. Bapak Ust.Drs.H. Abdul Khalim, M.M., yang telah banyak memberikan

dorongan moril dan materil sehingga penulis merasa terpacu terus untuk

menyelesaikan tesis ini;

5. Bapak Prof.Dr.K.H. Said Agil Husein al-Munawwar, M.A. selaku mantan

Direktur Program Pasca Sarjana UIN Jakarta, sekaligus Ketua Konsentrasi

Tafsir Hadis dan Dosen, yang dalam banyak kesempatan perkuliahan telah

memberikan motivasi kepada penulis;

6. Bapak Prof.Dr. H. Ahmad Thib Raya, M.A. yang telah mengkritisi judul

tesis ini dan meng-acc-nya;

7. Bapak Dr. H. A. Wahib Mu’thi, M.A. dan Dr.H. Ahmad Lutfi Fathullah,

M.A. yang telah bersedia menjadi pembimbing. Bimbingan keduanya

sangat membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini;

11
8. Segenap dosen Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta yang telah menuangkan

ilmunya kepada penulis selama perkuliahan;

9. Kepada seluruh guru dan teman-teman yang telah banyak berpartisipasi

memberikan bantuan kepada penulis, seperti Ust.H. Lukman Hakim, Ust.

Fu’ad Thohari, M.A., Ust.H. Mulyadi, M.A., Drs.H. Slamet Khaeruddin,

M.A., Hadiyan, M.A., dan yang lainnya;

10. Pimpinan dan karyawan Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dan Perpustakaan Umum Iman Jama;

Akhirnya, dengan segala kerendahan dan ketulusan hati, penulis

mengharapkan adanya saran, koreksi, dan teguran dari berbagai pihak, demi

penyempurnaan tesis ini.

Semoga apa yang telah penulis lakukan ini dicatat sebagai bagian dari

amal saleh demi meraih ridha dan berkah-Nya. Sehingga memberikan manfaat

kepada setiap orang yang membacanya.

Hasbunallâh wa ni’mal wakîl ni’mal maulâ wa ni’man nasîr

Jakarta, Oktober 2007

Abdul Muiz

12
DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN
PERSETUJUAN PEMBIMBING
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
PEDOMAN TRANSLITERASI

ABSTRAK i
KATA PENGANTAR.......................................................................................... iv

DAFTAR ISI vii

BAB I PENDAHULUAN1
A. Latar Belakang dan Pokok Permasalahan ............................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..................................... 7
C. Kajian Pustaka......................................................................... 7
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................ 9
E. Metodologi .............................................................................. 9
F. Sistematika Pembahasan ....................................................... 11

BAB II MENANGIS DALAM PANDANGAN ISLAM 12


A. Pengertian Menangis............................................................. 12
B. Macam-macam Menangis ..................................................... 25
C. Menangis dalam Perspektif al-Quran.................................... 30
D. Antara Menangis dan Tertawa .............................................. 73

BAB III MENANGIS DALAM KONSEP HADIS 82


A. Beragam Tangisan Rasulullah saw. ...................................... 82
B. Hukum Menangis ................................................................ 110
C. Keutamaan Menangis.......................................................... 135

BAB IV MENANGIS DAN KESALIHAN PRIBADI 145


A. Pengertian dan Karakteristik Kesalihan .............................. 145
B. Menyucikan Hati sebagai Upaya Membiasakan Menangis 177

BAB V KESIMPULAN 229

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 231

13
INDEKS HADIS DAN ASAR .......................................................................... 236

14
DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN
PERSETUJUAN PEMBIMBING
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................ iv
ABSTRAK
KATA PENGANTAR......................................................................................... i
DAFTAR ISI ....................................................................................................... v

BAB I
......................................................................................................... P
ENDAHULUAN................................................................................ 1
G. Latar Belakang dan Pokok Permasalahan .................................... 1
H. Pembatasan dan Perumusan Masalah .......................................... 7
I. Kajian Pustaka.............................................................................. 8
J. Tujuan dan Kegunaan Penelitian.................................................. 9
K. Metodologi ................................................................................... 10
L. Sistematika Pembahasan .............................................................. 11

BAB II
......................................................................................................... M
ENANGIS DALAM PANDANGAN ISLAM...................................... 13
E. Pengertian Menangis .................................................................... 13
F. Macam-macam Menangis............................................................. 28
G. Menangis dalam Perspektif al-Quran ........................................... 33
H. Antara Menangis dan Tertawa...................................................... 81

BAB III
............................................................................................................. M
ENANGIS DALAM KONSEP HADIS ........................................... 90
D. Beragam Tangisan Rasulullah saw............................................... 90
E. Macam-macam Menangis Ditinjau dari Segi Hukum.................. 122
F. Keutamaan Menangis ................................................................... 150

BAB IV
............................................................................................................. M
ENANGIS DAN KESALEHAN PRIBADI..................................... 161
C. Pengertian dan Karakteristik Kesalehan....................................... 161
D. Menyucikan Hati sebagai Upaya Membiasakan Menangis ......... 185

15
BAB V
............................................................................................................. K
ESIMPULAN..................................................................................... 245

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 252


INDEKS HADIS DAN ASAR...…………………………………………… 258

16
TRANSLITERASI ARAB-LATIN

2. Konsonan

‫ا‬ =
‫ف‬ = f
‫ب‬ = b ‫ق‬ = q
‫ت‬ = t ‫ك‬ = k
‫ث‬ = ts ‫ل‬ = l
‫ج‬ = j ‫م‬ = m
‫ح‬ = h ‫ن‬ = n
‫خ‬ = kh ‫و‬ = w
‫د‬ = d ‫هـ‬ = h
‫ذ‬ = dz ‫ء‬ = `
‫ر‬ = r ‫ى‬ = y
‫ز‬ = z
Vokal pendek
‫س‬ = s َ = a
‫ش‬ = sy
َ
= i
‫ص‬ = s ُ = u
‫ض‬ = d
Vokal Panjang
‫ط‬ = t
‫ا‬
َ
= â
‫ظ‬ = z
‫ع‬ = ‘ ‫ي‬ْ َ = î
=
‫غ‬ gh ‫ُ ْو‬ = û
Diftong

‫ي‬
ْ ‫أ‬ = ai

‫أ ْو‬ = au

17
‫ﻓﻬﺮﺳﺖ اﻻﺣﺎدﻳﺚ واﻻﺛﺎر‬
‫اﻟﺼﻔﺤﺔ‬ ‫اﻟﺤﺪﻳﺚ‬ ‫اﻟﻨﻤﺮة‬
‫‪.1‬‬
‫ت َﻳ ْﻮ َم اْﻟ ِﻘﻴَﺎ َﻣ ِﺔ‬
‫ﻇُﻠﻤَﺎ ٌ‬
‫ﻈْﻠ َﻢ ُ‬
‫ن اﻟ ﱡ‬
‫ﻈْﻠ َﻢ َﻓِﺈ ﱠ‬
‫اﱠﺗﻘُﻮا اﻟ ﱡ‬
‫‪.2‬‬
‫ﺐ‬‫ﺴ ِ‬ ‫ﻦ ﻓِﻲ اﻟﱠﻨ َ‬ ‫س ُهﻤَﺎ ِﺑ ِﻬ ْﻢ ُآ ْﻔ ٌﺮ اﻟﻄﱠ ْﻌ ُ‬ ‫ا ْﺛﻨَﺘَﺎنِ ﻓِﻲ اﻟﻨﱠﺎ ِ‬
‫ﺖ‬
‫ﺣ ُﺔ ﻋَﻠَﻰ اْﻟ َﻤﱢﻴ ِ‬ ‫وَاﻟﱢﻨﻴَﺎ َ‬
‫‪.3‬‬
‫ﺐ‬
‫ﺟ ْﻌ َﻔ ٌﺮ َﻓُﺄﺻِﻴ َ‬ ‫ﺧ َﺬهَﺎ َ‬ ‫ﺐ ُﺛﻢﱠ َأ َ‬ ‫ﺧ َﺬ اﻟﺮﱠاَﻳ َﺔ زَ ْﻳ ٌﺪ َﻓُﺄﺻِﻴ َ‬ ‫َأ َ‬
‫‪.4‬‬
‫ﻦ‬
‫ﷲ ِﻣ ْ‬ ‫ﺧ ِﺮ َﻓْﻠَﻴَﺘ َﻌ ﱠﻮ ْذ ﺑِﺎ ِ‬ ‫ﺸ ﱡﻬ ِﺪ اﻵ ِ‬ ‫ﻦ اﻟﱠﺘ َ‬ ‫ﺣ ُﺪ ُآ ْﻢ ِﻣ ْ‬
‫غ َأ َ‬ ‫إِذَا َﻓ َﺮ َ‬
‫َأ ْرَﺑ ٍﻊ‬
‫‪.5‬‬
‫ﻞ ِﻣ ْﻨ ُﻪ ُآﻞﱠ َﻳ ْﻮ ٍم‬ ‫ﺴُ‬ ‫ﺣ ِﺪ ُآ ْﻢ َﻳ ْﻐَﺘ ِ‬‫ب َأ َ‬ ‫ن ﻧَ ْﻬﺮًا ِﺑﺒَﺎ ِ‬ ‫َأ َرَأ ْﻳُﺘ ْﻢ َﻟ ْﻮَأ ﱠ‬
‫ﻲ ٌء‬‫ﻦ َد َرِﻧ ِﻪ ﺷَ ْ‬ ‫ﻞ ُهﻦﱠ ِﻣ ْ‬ ‫ت َه ْ‬ ‫ﺲ َﻣﺮﱠا ٍ‬ ‫ﺧ ْﻤ َ‬ ‫َ‬
‫‪.6‬‬
‫ن ﻟِﻲ‬ ‫ﺳَﺘ ْﻐ ِﻔ َﺮ َﻟﻬَﺎ َﻓَﻠ ْﻢ ُﻳ ْﺆ َذ ْ‬ ‫ن َأ ْ‬ ‫ﺖ رَﺑﱢﻲ ﻓِﻲ َأ ْ‬ ‫ﺳَﺘ ْﺄ َذ ْﻧ ُ‬‫اْ‬
‫ن ﻟِﻲ َﻓﺰُورُوا‬ ‫ن َأزُو َر َﻗ ْﺒ َﺮهَﺎ َﻓُﺄ ِذ َ‬ ‫ﺳَﺘ ْﺄ َذ ْﻧُﺘ ُﻪ ﻓِﻲ َأ ْ‬ ‫وَا ْ‬
‫ت‬
‫اْﻟ ُﻘﺒُﻮ َر َﻓِﺈﱠﻧﻬَﺎ ُﺗ َﺬآﱢ ُﺮ اْﻟ َﻤ ْﻮ َ‬
‫‪.7‬‬
‫ﻻ‬‫ﻲ َﻳ ْﻮ َم اْﻟ ِﻘﻴَﺎ َﻣ ِﺔ ﺷَﻔِ ْﻴﻌًﺎ َ‬ ‫ن َﻓِﺈﱠﻧ ُﻪ َﻳ ْﺄِﺗ ْ‬ ‫ِإ ْﻗ َﺮؤُا اْﻟ ُﻘﺮْا َ‬
‫ﺻﺤَﺎِﺑ ِﻪ‬ ‫ْ‬
‫‪.8‬‬
‫ﺳِﺘ ْﻌﺪَادًا‪.‬‬ ‫ﺴُﻨ ُﻬ ْﻢ ِﻟﻤَﺎ َﺑ ْﻌ َﺪ ُﻩ ِإ ْ‬ ‫ﺣَ‬ ‫ت ذِ ْآﺮًا َوَأ ْ‬ ‫َأ ْآَﺜ ُﺮ ُه ْﻢ ِﻟْﻠ َﻤ ْﻮ ِ‬
‫س‬
‫ﻷ ْآﻴَﺎ ُ‬ ‫ﻚ ْا َ‬ ‫أُوَﻟِﺌ َ‬
‫‪.9‬‬
‫ت‬
‫َأ ْآِﺜﺮُوا ِذ ْآ َﺮ هَﺎ ِذ ِم اﻟﱠﻠﺬﱠاتِ َﻳ ْﻌﻨِﻲ اْﻟ َﻤ ْﻮ َ‬
‫‪.10‬‬
‫ﻦ ‪.......‬‬ ‫ب ِﺑ َﺪ ْﻣ ِﻊ اْﻟ َﻌ ْﻴ ِ‬‫ﻻ ُﻳ َﻌﺬﱢ ُ‬ ‫ﷲ َ‬ ‫ناَ‬ ‫ن ِإ ﱠ‬‫ﺴ َﻤﻌُﻮ َ‬ ‫ﻻ َﺗ ْ‬ ‫َأ َ‬
‫ب ِﺑُﺒﻜَﺎ ِء َأ ْهِﻠ ِﻪ‬‫ﺖ ُﻳ َﻌﺬﱠ ُ‬‫ن اْﻟ َﻤﱢﻴ َ‬ ‫َوِإ ﱠ‬
‫‪.11‬‬
‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ‬
‫ﻲ َ‬‫ﺠِﻨ ْ‬ ‫ﻻ َﺗ ْ‬ ‫ﻚ َو َ‬ ‫ﻋَﻠ ْﻴ َ‬
‫ﻲ َ‬ ‫ﺠِﻨ ْ‬‫ﻻ َﻳ ْ‬‫اَﻣَﺎ ِإﻧﱠ ُﻪ َ‬
‫‪.12‬‬
‫ن َأ ْﻗ َﺮَأ‬‫ﺳﱠﻠ َﻢ َأ ْ‬ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ‬ ‫ﷲ َ‬ ‫ﺻﱠﻠﻰ ا ُ‬ ‫ﷲ َ‬ ‫لاِ‬ ‫ﺳ ْﻮ ُ‬
‫ﻲ َر ُ‬ ‫َأ َﻣ َﺮِﻧ ْ‬
‫ﺳ ْﻮ َر ِة‬
‫ﻦ ُ‬ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ ِﻣ ْ‬ ‫ت َ‬ ‫ﻋَﻠﻰ اْﻟ ِﻤ ْﻨَﺒ ِﺮ‪َ ,‬ﻓ َﻘ َﺮْأ ُ‬ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو ُه َﻮ َ‬ ‫َ‬
‫ﺖ‬
‫ﻰ ِإذا َﺑَﻠ ْﻐ ُ‬ ‫ﺣﺘ ﱠ‬ ‫ﺴﺎ ِء َ‬ ‫اﻟﱢﻨ َ‬
‫ﻚ‬
‫ﻄ ْﻴَﺌِﺘ َ‬
‫ﺧِ‬
‫ﻋﻠَﻰ َ‬
‫ﻚ َ‬
‫ﻚ َو َأ ْﺑ ِ‬
‫ﻚ َﺑ ْﻴُﺘ َ‬
‫ﺴ ْﻌ َ‬
‫ﻚ َوْﻟَﻴ َ‬
‫ﻚ ِﻟﺴَﺎَﻧ َ‬
‫ﻋَﻠ ْﻴ َ‬
‫ﻚ َ‬
‫َأ ْﻣِﻠ ْ‬ ‫‪.13‬‬

‫‪18‬‬
‫‪.14‬‬
‫ن‬
‫ﺷﺮَاآَﺎ ِ‬ ‫ن َو ِ‬ ‫ﻼِ‬ ‫ﻦ َﻟ ُﻪ َﻧ ْﻌ َ‬ ‫ﻋﺬَاﺑًﺎ َﻣ ْ‬ ‫ﻞ اﻟﻨﱠﺎ ِر َ‬ ‫ن َأ ْه ِ‬ ‫ن َأ ْه َﻮ َ‬ ‫ِإ ﱠ‬
‫ﻏ ُﻪ‬
‫ﻦ ﻧَﺎ ٍر َﻳ ْﻐﻠِﻲ ِﻣ ْﻨ ُﻬﻤَﺎ ِدﻣَﺎ ُ‬ ‫ِﻣ ْ‬
‫‪.15‬‬
‫ﻼ ِة‬
‫ﺼَ‬ ‫ك اﻟ ﱠ‬ ‫ك وَاْﻟ ُﻜ ْﻔ ِﺮ َﺗ ْﺮ ُ‬ ‫ﺸ ْﺮ ِ‬ ‫ﻦ اﻟ ﱢ‬ ‫ﻞ َوَﺑ ْﻴ َ‬ ‫ﺟِ‬ ‫ﻦ اﻟ ﱠﺮ ُ‬ ‫ن َﺑ ْﻴ َ‬‫ِإ ﱠ‬
‫‪.16‬‬
‫ﻻ ﻣَﺎ‬ ‫ل ِا ﱠ‬ ‫ﻻ َﻧ ُﻘ ْﻮ ُ‬ ‫ن َو َ‬ ‫ﺤ ُﺰ ُ‬ ‫ﺐ َﻳ ْ‬ ‫ﻦ َﺗ ْﺪ َﻣ ُﻊ َواْﻟ َﻘْﻠ ُ‬ ‫ن اْﻟ َﻌ ْﻴ َ‬ ‫ِا ﱠ‬
‫ن‬
‫ﺤ ُﺰ ْوُﻧ ْﻮ َ‬ ‫ﻚ َﻟ ِﻤ ْ‬‫ُﻳ ْﺮﺿِﻲ رَﺑﱠﻨَﺎ َوِاﻧﱠﺎ ِﺑ ِﻔﺮَا ِﻗ َ‬
‫‪.17‬‬
‫ﻦ َآ َﻔﺮُوا‬ ‫ﻦ اﱠﻟﺬِﻳ َ‬ ‫ﻚ َﻟ ْﻢ َﻳ ُﻜ ْ‬ ‫ﻋَﻠ ْﻴ َ‬
‫ن َأ ْﻗ َﺮَأ َ‬ ‫ﷲ َأ َﻣ َﺮﻧِﻲ َأ ْ‬ ‫نا َ‬ ‫ِإ ﱠ‬
‫ل َﻧ َﻌ ْﻢ َﻓَﺒﻜَﻰ‬ ‫ﺳﻤﱠﺎﻧِﻲ ﻗَﺎ َ‬ ‫ل َو َ‬ ‫ب ﻗَﺎ َ‬ ‫ﻞ اْﻟ ِﻜﺘَﺎ ِ‬ ‫ﻦ َأ ْه ِ‬ ‫ِﻣ ْ‬
‫‪.18‬‬
‫ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ‬‫ن َ‬ ‫ﺻﻴَﺎ َم َر َﻣﻀَﺎ َ‬ ‫ض ِ‬ ‫ك َوَﺗﻌَﺎﻟَﻰ َﻓ َﺮ َ‬ ‫ﷲ َﺗﺒَﺎ َر َ‬ ‫نا َ‬ ‫ِإ ﱠ‬
‫ﻦ ﺻَﺎ َﻣ ُﻪ َوﻗَﺎ َﻣ ُﻪ‬ ‫ﺖ َﻟ ُﻜ ْﻢ ِﻗﻴَﺎ َﻣ ُﻪ َﻓ َﻤ ْ‬ ‫ﺳَﻨ ْﻨ ُ‬ ‫َو َ‬
‫‪.19‬‬
‫ن‬
‫ﻦ اْﻟ ُﻤَﺘﺤَﺎﱡﺑ ْﻮ َ‬ ‫ل َﻳ ْﻮ َم اْﻟ ِﻘﻴَﺎ َﻣ ِﺔ َأ ْﻳ َ‬ ‫ﷲ َﺗﻌَﺎﻟَﻰ َﻳُﻘ ْﻮ ُ‬ ‫ناَ‬ ‫ِإ ﱠ‬
‫ﻲ‬
‫ﻇﱢﻠ ْ‬ ‫ﻻ ِ‬ ‫ﻞ ِإ ﱠ‬‫ﻇﱠ‬ ‫ﻻ ِ‬ ‫ﻲ َﻳ ْﻮ َم َ‬ ‫ﻇﱢﻠ ْ‬‫ﻲ ِ‬ ‫ﻇﻠﱡ ُﻬ ْﻢ ِﻓ ْ‬ ‫ﻲ اْﻟَﻴ ْﻮ َم ُأ ِ‬ ‫ﻼِﻟ ْ‬ ‫ﺠَ‬ ‫ِﺑ َ‬
‫‪.20‬‬
‫ﻏ ْﺮ‬‫ﻞ َﺗ ْﻮَﺑ َﺔ اْﻟ َﻌ ْﺒ ِﺪ ﻣَﺎ َﻟ ْﻢ ُﻳ َﻐ ْﺮ ِ‬ ‫ﷲ َﻳ ْﻘَﺒ ُ‬ ‫نا َ‬ ‫ِإ ﱠ‬
‫‪.21‬‬
‫ﻞ ُﻣﺴَﻤًّﻰ‬ ‫ﺟٍ‬‫ﻞ ِإﻟَﻰ َأ َ‬ ‫ﻋﻄَﻰ َو ُآ ﱞ‬ ‫ﺧ َﺬ َوَﻟ ُﻪ ﻣَﺎ َأ ْ‬ ‫ﷲ ﻣَﺎ َأ َ‬ ‫ن ِ‬ ‫ِإ ﱠ‬
‫ﺐ‬
‫ﺴ ْ‬ ‫ﺤَﺘ ِ‬‫ﺼِﺒ ْﺮ َوْﻟَﺘ ْ‬ ‫َﻓْﻠَﺘ ْ‬
‫‪.22‬‬
‫ﻦ‬‫ن ْﺑ َ‬ ‫ﻋ ْﺜﻤَﺎ َ‬‫ﻞ ُ‬ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ َﻗﱠﺒ َ‬ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ‬ ‫ﷲ َ‬ ‫ﺻﻠﱠﻰ ا ُ‬ ‫ﻲ َ‬ ‫ن اﻟﱠﻨِﺒ ﱠ‬ ‫َأ ﱠ‬
‫ل ﻋَ ْﻴﻨَﺎ ُﻩ‬ ‫ﻲ َأ ْو ﻗَﺎ َ‬ ‫ﺖ َو ُه َﻮ َﻳ ْﺒ ِﻜ ْ‬ ‫ن َو ُه َﻮ ﻣَﱢﻴ ٌ‬ ‫ﻈ ُﻌ ْﻮ ٍ‬ ‫َﻣ ْ‬
‫ن‬
‫َﺗ ْﺬ ِرﻓَﺎ َ‬
‫‪.23‬‬
‫ن‬‫ن َﻓِﺈذَا َﻗ َﺮْأُﺗﻤُﻮ ُﻩ ﻓَﺎ ْﺑﻜُﻮا َﻓِﺈ ْ‬ ‫ﺤ ْﺰ ٍ‬ ‫ل ِﺑ ُ‬ ‫ن َﻧ َﺰ َ‬ ‫ن هَﺬَا اْﻟ ُﻘﺮْﺁ َ‬ ‫ِإ ﱠ‬
‫َﻟ ْﻢ َﺗ ْﺒﻜُﻮا َﻓَﺘﺒَﺎ َآﻮْا‬
‫‪.24‬‬
‫ﺣﻤَﺎ َء‬ ‫ﻋﺒَﺎ ِد ِﻩ اﻟ ﱡﺮ َ‬ ‫ﻦ ِ‬ ‫ﷲ ِﻣ ْ‬ ‫ﺣ ُﻢ ا ُ‬ ‫إِﻧﱠﻤَﺎ َﻳ ْﺮ َ‬
‫‪.25‬‬
‫ﻚ‬‫ﺴِ‬ ‫ﻞ اْﻟ ِﻤ ْ‬ ‫ﺴ ْﻮءِ َآﺤَﺎ ِﻣ ِ‬ ‫ﺢ وَاﻟ ﱡ‬ ‫ﺲ اﻟﺼﱠﺎِﻟ ِ‬ ‫ﺠِﻠ ْﻴ ِ‬ ‫ﻞ اْﻟ َ‬ ‫إِﻧﱠﻤَﺎ َﻣَﺜ ُ‬
‫ﺦ اْﻟ ِﻜ ْﻴ ِﺮ‬ ‫َوﻧَﺎ ِﻓ ِ‬
‫‪.26‬‬
‫ئ ﻣَﺎ َﻧﻮَى‬ ‫ل ﺑِﺎﻟﱢﻨﱠﻴ ِﺔ َوِإﱠﻧﻤَﺎ ﻻ ْﻣ ِﺮ ٍ‬ ‫ﻋﻤَﺎ ُ‬ ‫ﻻْ‬ ‫إِﻧﱠﻤَﺎ ْا َ‬
‫‪.27‬‬
‫ي‬
‫ﻏ ْﻴ ِﺮ ْ‬‫ﻦ َ‬ ‫ﺳ َﻤ َﻌ ُﻪ ِﻣ ْ‬ ‫ن َا ْ‬ ‫ﺐ َا ْ‬ ‫ﺣ ﱡ‬ ‫ﻲ ُا ِ‬ ‫ِإﱢﻧ ْ‬
‫‪.28‬‬
‫ﺴﻤَﻌُﻮنَ‬ ‫ﻻ ﺗَ ْ‬ ‫ﺳ َﻤ ُﻊ ﻣَﺎ َ‬ ‫ن َوَأ ْ‬ ‫ﻻ َﺗ َﺮ ْو َ‬ ‫إِﻧﱢﻲ أَرَى ﻣَﺎ َ‬
‫‪.29‬‬
‫ﺠﻨﱠ ُﺔ َو‬ ‫ﻲ اْﻟ َ‬‫ﻋَﻠ ﱠ‬‫ﺖ َ‬ ‫ﺿ ْ‬ ‫ﻋ ِﺮ َ‬ ‫ﻲ ِﺑَﻴ ِﺪ ِﻩ َﻟ َﻘ ْﺪ ُ‬‫ﺴ ْ‬ ‫ي َﻧ ْﻔ ِ‬‫أَ ْوﻟَﻰ َو اﱠﻟ ِﺬ ْ‬
‫اﻟﻨﱠﺎ ُر اِﻧﻔًﺎ‬
‫‪.30‬‬
‫ﻦ اﻟ ﱢﺬ ْآ ِﺮ‬ ‫ﺴ َﻤ ُﻊ ِﻣ َ‬ ‫ﺖ َﺗ ْ‬ ‫ﻋﻠَﻰ ﻣَﺎ آَﺎَﻧ ْ‬ ‫ﺖ َ‬ ‫َﺑ َﻜ ْ‬
‫‪.31‬‬
‫ﺞ وَاْﻟ ُﻌ ْﻤ َﺮ ِة َﻓِﺈﱠﻧ ُﻬﻤَﺎ ﻳَ ْﻨﻔِﻴَﺎنِ اْﻟ َﻔ ْﻘ َﺮ‬ ‫ﺤﱢ‬ ‫ﻦ اْﻟ َ‬ ‫ﺗَﺎِﺑ ُﻌﻮْا َﺑ ْﻴ َ‬
‫‪19‬‬
‫ب‬
‫وَاﻟ ﱡﺬُﻧ ْﻮ َ‬
‫‪.32‬‬
‫ت‬
‫ﻦ اْﻟ َﻤ ْﻮ ُ‬ ‫ﺤ َﻔ ُﺔ اْﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣ ِ‬
‫ُﺗ ْ‬
‫‪.33‬‬
‫ﻦ‬
‫ﺖ َو َﻣ ْ‬ ‫ﻋ َﺮ ْﻓ َ‬‫ﻦ َ‬ ‫ﻋﻠَﻰ َﻣ ْ‬ ‫ﻼ َم َ‬‫ﺴَ‬ ‫ﻄﻌَﺎ َم َوَﺗ ْﻘ َﺮُأ اﻟ ﱠ‬ ‫ﻄ ِﻌ ُﻢ اﻟ ﱠ‬ ‫ُﺗ ْ‬
‫ف‬
‫َﻟ ْﻢ َﺗ ْﻌ ِﺮ ْ‬
‫‪.34‬‬
‫ﻋ ْﻮدًا‬
‫ﻋ ْﻮدًا ُ‬ ‫ﺼ ْﻴ ِﺮ ُ‬ ‫ﺤ ِ‬ ‫ب آَﺎْﻟ َ‬
‫ﻋﻠَﻰ اْﻟ ُﻘُﻠ ْﻮ ِ‬ ‫ﻦ َ‬ ‫ض اْﻟ ِﻔَﺘ ُ‬‫ُﺗ ْﻌ َﺮ ُ‬
‫‪.35‬‬
‫ﺲ‬
‫ﺴِﻠ ِﻢ ﺧَ ْﻤ ٌ‬ ‫ﻋﻠَﻰ اْﻟ ُﻤ ْ‬ ‫ﺴِﻠ ِﻢ َ‬ ‫ﻖ اْﻟ ُﻤ ْ‬‫ﺣﱡ‬ ‫َ‬
‫‪.36‬‬
‫ن‬
‫ﺧ ْﻴ ُﺮ اﻟ ﱠﺪوَا ِء اْﻟُﻘﺮْا ُ‬ ‫َ‬
‫‪.37‬‬
‫ﺼﻠﱢﻲ‬‫ﺳﱠﻠ َﻢ ُﻳ َ‬ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ‬‫ﷲ َ‬ ‫ﺻﻠﱠﻰ ا ُ‬ ‫ﷲ َ‬ ‫ل اِ‬ ‫ﺖ َرﺳُﻮ َ‬ ‫َرَأ ْﻳ ُ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ‬‫ﻦ اْﻟُﺒﻜَﺎ ِء َ‬ ‫ﺻ ْﺪ ِر ِﻩ أَزِﻳ ٌﺰ َآَﺄزِﻳ ِﺰ اﻟ ﱠﺮﺣَﻰ ِﻣ ْ‬ ‫َوﻓِﻲ َ‬
‫ﺳﱠﻠ َﻢ‬
‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ‬‫ﷲ َ‬ ‫اُ‬
‫‪.38‬‬
‫ﻞ‬
‫ﻦ ُﻳﺨَﺎِﻟ ُ‬ ‫ﺣ ُﺪ ُآ ْﻢ َﻣ ْ‬
‫ﻈ ْﺮ َأ َ‬
‫ﺧِﻠ ْﻴِﻠ ِﻪ َﻓْﻠَﻴ ْﻨ ُ‬
‫ﻦ َ‬‫ﻋﻠَﻰ ِد ْﻳ ِ‬ ‫ﻞ َ‬ ‫ﺟُ‬ ‫اَﻟﺮﱠ ُ‬
‫‪.39‬‬
‫ﻇﻠﱡ ُﻪ‬
‫ﻻ ِ‬ ‫ﻞ ِإ ﱠ‬‫ﻇﱠ‬ ‫ﻻ ِ‬ ‫ﻇﱢﻠ ِﻪ َﻳ ْﻮ َم َ‬‫ﷲ ﻓِﻲ ِ‬ ‫ﻈﻠﱡ ُﻬ ْﻢ ا ُ‬ ‫ﺳ ْﺒ َﻌ ٌﺔ ُﻳ ِ‬
‫َ‬
‫‪.40‬‬
‫ﻦ‬
‫ﺐ ِﻣ َ‬
‫س َﻗ ِﺮ ْﻳ ٌ‬
‫ﻦ اﻟﻨﱠﺎ ِ‬
‫ﺐ ِﻣ َ‬
‫ﷲ َﻗ ِﺮ ْﻳ ٌ‬
‫ﻦا ِ‬ ‫ﺐ ِﻣ َ‬‫ﻲ َﻗ ِﺮ ْﻳ ٌ‬ ‫ﺨﱡ‬ ‫ﺴِ‬ ‫اَﻟ ﱠ‬
‫ﻦ اﻟﻨﱠﺎ ِر‬
‫ﺠﱠﻨ ِﺔ َﺑ ِﻌ ْﻴ ٌﺪ ِﻣ َ‬
‫اْﻟ َ‬
‫ﺠ ُﻤ َﻌ ِﺔ آَﻔﱠﺎرٌَة ِﻟﻤَﺎ ﺑَ ْﻴﻨَ ُﻬﻤَﺎ‬
‫ﻰ اْﻟ ُ‬
‫ﺠ ُﻤ َﻌ ِﺔ إِﻟ َ‬
‫ﺲ وَاْﻟ ُ‬
‫ﺨ ْﻤ ُ‬
‫ﻼ ُة اْﻟ َ‬
‫اَﻟﺼﱠ َ‬ ‫‪.41‬‬
‫‪.42‬‬
‫ل ُﺛﻢﱠ ِﺑ ﱡﺮ‬‫ي ﻗَﺎ َ‬ ‫ﺖ ُﺛﻢﱠ َأ ﱞ‬ ‫ﻋﻠَﻰ ﻣِﻴﻘَﺎِﺗﻬَﺎ‪َ /‬و ْﻗِﺘﻬَﺎ ُﻗْﻠ ُ‬ ‫ﻼ ُة َ‬ ‫ﺼَ‬ ‫اﻟ ﱠ‬
‫ﻦ‬
‫اْﻟﻮَاِﻟ َﺪ ْﻳ ِ‬
‫‪.43‬‬
‫ن ا ْﻣ ُﺮ ٌؤ ﻗَﺎَﺗَﻠ ُﻪ‬‫ﻞ َوِإ ِ‬ ‫ﺠ َﻬ ْ‬
‫ﻻ َﻳ ْ‬ ‫ﺚ َو َ‬ ‫ﻼ َﻳ ْﺮ ُﻓ ْ‬ ‫ﺟﱠﻨ ٌﺔ َﻓ َ‬ ‫اﻟﺼﱢﻴَﺎ ُم ُ‬
‫ﻲ ﺻَﺎﺋِ ٌﻢ‬ ‫ﻲ ﺻَﺎﺋِ ٌﻢ ِإﱢﻧ ْ‬ ‫ﻞ ِإﱢﻧ ْ‬ ‫َأ ْوﺷَﺎَﺗ َﻤ ُﻪ َﻓْﻠَﻴُﻘ ْ‬
‫‪.44‬‬
‫ﺠﻨﱠ ُﺔ وَاﻟﻨﱠﺎ ُر َﻓَﻠ ْﻢ َأ َر آَﺎْﻟَﻴ ْﻮ ِم ﻓِﻲ‬ ‫ﻲ اْﻟ َ‬ ‫ﻋَﻠ ﱠ‬‫ﺖ َ‬ ‫ﺿ ْ‬ ‫ﻋ ِﺮ َ‬ ‫ُ‬
‫ﺸ ﱢﺮ‬‫ﺨ ْﻴ ِﺮ وَاﻟ ﱠ‬ ‫اْﻟ َ‬
‫‪.45‬‬
‫ﺞ اْﻟ َﻤ ْﺒ ُﺮ ْو ُر‬‫ﺤﱡ‬ ‫َاْﻟ ُﻌ ْﻤ َﺮ ُة إِﻟَﻰ اْﻟ ُﻌ ْﻤ َﺮ ِة ُﺗ َﻜﻔﱢ ُﺮ ﻣَﺎ َﺑ ْﻴَﻨ ُﻬﻤَﺎ وَاْﻟ َ‬
‫ﺠﻨﱠﺔ‬
‫ﻻ اْﻟ َ‬ ‫ﺲ َﻟ ُﻪ ﺟَﺰَا ٌء ِإ ﱠ‬ ‫َﻟ ْﻴ َ‬
‫‪.46‬‬
‫ﷲ‬
‫ﺸَﻴ ِﺔ ا ِ‬ ‫ﺧْ‬ ‫ﻦ َ‬ ‫ﺖ ِﻣ ْ‬ ‫ﻦ َﺑ َﻜ ْ‬ ‫ﺴ ُﻬﻤَﺎ اﻟﻨﱠﺎ ُر ﻋَ ْﻴ ٌ‬ ‫ﻻ َﺗ َﻤ ﱡ‬ ‫ﻋَ ْﻴﻨَﺎنِ َ‬
‫ﷲ‬
‫ﻞا ِ‬ ‫ﺳﺒِﻴ ِ‬‫س ﻓِﻲ َ‬ ‫ﺤ ُﺮ ُ‬ ‫ﺖ َﺗ ْ‬‫ﻦ ﺑَﺎَﺗ ْ‬ ‫ﻋ ْﻴ ٌ‬‫َو َ‬
‫‪.47‬‬
‫ﻦ اﻟ ﱡﺪ ْﻧﻴَﺎ وَﻣَﺎ‬ ‫ﷲ ﺧَ ْﻴ ٌﺮ ِﻣ َ‬ ‫ﻞا ِ‬ ‫ﺳِﺒ ْﻴ ِ‬‫ﻲ َ‬ ‫ﺣ ٌﺔ ِﻓ ْ‬ ‫ﻏ ْﺪ َوٌة َأ ْو َر ْو َ‬ ‫َ‬
‫ﻓِ ْﻴﻬَﺎ‬
‫‪.48‬‬
‫ﷲ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ ا ُ‬ ‫ﻲ َ‬ ‫ﻦ َﻳ َﺪ ْﻳ ِﻪ َﻓ َﻌ ﱠﻮ َذ ُﻩ اﻟﱠﻨِﺒ ﱡ‬
‫ﺿ َﻌ ُﻪ َﺑ ْﻴ َ‬
‫ﻲ ِﺑ ِﻪ َﻓ َﻮ َ‬ ‫َﻓ ْﺄِﺗِﻨ ْ‬
‫ل‬‫ﻦ َأ ﱠو ِ‬ ‫ت ِﻣ ْ‬ ‫ب َوَأ ْرَﺑ ِﻊ اﻳَﺎ ٍ‬ ‫ﺤ ِﺔ اْﻟ ِﻜﺘَﺎ ِ‬ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ ِﺑﻔَﺎِﺗ َ‬ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ‬ ‫َ‬
‫‪20‬‬
‫ﺳ ْﻮ َر ِة اْﻟَﺒ َﻘ َﺮ ِة‬ ‫ُ‬
‫‪.49‬‬
‫ﻒ اْﻟ ِﻌﺒَﺎ َد ِة‬ ‫ﺼ ُ‬ ‫َاْﻟ ِﻔ ْﻜ ُﺮ ِﻧ ْ‬
‫‪.50‬‬
‫ﺷﻔَﺎ ًء‬‫ﻼ ِة ِ‬‫ﺼَ‬ ‫ن ﻓِﻰ اﻟ ﱠ‬ ‫ﻞ َﻓِﺈ ﱠ‬ ‫ﺼﱢ‬ ‫ُﻗ ْﻢ َﻓ َ‬
‫‪.51‬‬
‫ﺣ ِﺰَﺑ ُﻪ أَ ْﻣ ٌﺮ‬ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ إِذَا َ‬ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ‬ ‫ﷲ َ‬ ‫ﺻﻠﱠﻰ ا ُ‬ ‫ﻲ َ‬ ‫ن اﻟﱠﻨِﺒ ﱡ‬ ‫آَﺎ َ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ‬ ‫َ‬
‫‪.52‬‬
‫ي‬ ‫ﺟ ِﺰ ْ‬ ‫ﻲ َوَأﻧَﺎ َأ ْ‬ ‫ﺼﻴَﺎ َم َﻓِﺈﱠﻧ ُﻪ ِﻟ ْ‬ ‫ﻻ اﻟ ﱢ‬ ‫ﻦ ا َد َم َﻟ ُﻪ ِإ ﱠ‬ ‫ﻞ ا ْﺑ ِ‬ ‫ﻋ َﻤ ِ‬‫ُآﻞﱡ َ‬
‫ِﺑ ِﻪ‬
‫‪.53‬‬
‫ت‬
‫ﻞ ِﻟ َﻤﺎ َﺑ ْﻌ َﺪ اْﻟ َﻤ ْﻮ ِ‬ ‫ﻋ ِﻤ َ‬‫ﺴ ُﻪ َو َ‬ ‫ن َﻧ ْﻔ ُ‬ ‫ﻦ دَا َ‬ ‫ﺲ َﻣ ْ‬ ‫َاْﻟ َﻜ ْﻴ ُ‬
‫‪.54‬‬
‫ﺣﱠﻠ ٍﺔ‬‫ح ﻓِﻲ ُ‬ ‫ﺣﱠﻠ ٍﺔ َورَا َ‬ ‫ﺣ ُﺪ ُآ ْﻢ ﻓِﻲ ُ‬ ‫ﻒ ِﺑ ُﻜ ْﻢ إِذَا ﻏَﺪَا َأ َ‬ ‫َآ ْﻴ َ‬
‫ﺧﺮَى‬ ‫ﺖ ُأ ْ‬ ‫ﺤ َﻔ ٌﺔ َو ُر ِﻓ َﻌ ْ‬ ‫ﺻْ‬ ‫ﻦ َﻳ َﺪ ْﻳ ِﻪ َ‬ ‫ﺖ َﺑ ْﻴ َ‬ ‫ﺿ َﻌ ْ‬ ‫َو ُو ِ‬
‫ﺴَﺘ ُﺮ اْﻟ َﻜ ْﻌَﺒ ُﺔ‬ ‫ﺳَﺘ ْﺮُﺗ ْﻢ ُﺑﻴُﻮَﺗ ُﻜ ْﻢ َآﻤَﺎ ُﺗ ْ‬ ‫َو َ‬
‫‪.55‬‬
‫ﻼ َة َو َه ِﺬ ِﻩ‬ ‫ﺼَ‬ ‫ﻻ َه ِﺬ ِﻩ اﻟ ﱠ‬ ‫ﺖ ِإ ﱠ‬ ‫ﺷ ْﻴًﺄ ِﻣﻤﱠﺎ َأ ْد َر ْآ ُ‬ ‫ف َ‬ ‫ﻋ ِﺮ ُ‬ ‫ﻻَأ ْ‬ ‫َ‬
‫ﺖ‬
‫ﺿﱢﻴ َﻌ ْ‬ ‫ﻼ ُة َﻗ ْﺪ ُ‬ ‫اﻟﺼﱠ َ‬
‫‪.56‬‬
‫ﻻ ﺣَﻘًّﺎ‬ ‫ل ِإ ﱠ‬ ‫ﻻ َأ ُﻗ ْﻮ ُ‬ ‫َ‬
‫‪.57‬‬
‫ن َﻓ ُﻬ َﻮ‬ ‫ﷲ اْﻟ ُﻘﺮْا َ‬ ‫ﻞ اﺗَﺎ ُﻩ ا ُ‬ ‫ﺟٌ‬ ‫ﻦ رَ ُ‬ ‫ﻻ ﻓِﻰ ا ْﺛَﻨَﺘ ْﻴ ِ‬ ‫ﺳ َﺪ ِإ ﱠ‬ ‫ﻻ ﺗَﺤَﺎ ُ‬ ‫َ‬
‫َﻳ ْﺘُﻠ ْﻮ ُﻩ اﻧَﺎ َء اﻟﱠﻠ ْﻴﻞِ َو اﻟﱠﻨﻬَﺎ ِر‬
‫‪.58‬‬
‫ﺐ‬
‫ﺖ اْﻟ َﻘْﻠ َ‬‫ﻚ ُﺗ ِﻤ ْﻴ ُ‬‫ﺤَ‬ ‫ﻀِ‬ ‫ن َآ ْﺜ َﺮ َة اﻟ ﱠ‬ ‫ﻚ َﻓِﺈ ﱠ‬ ‫ﺤَ‬ ‫ﻀِ‬ ‫ﻻ ُﺗ ْﻜِﺜﺮُوااﻟ ﱠ‬ ‫َ‬
‫‪.59‬‬
‫ﻻ َﺗ َﺪﱡﺑ َﺮ‬‫ﻲ ِﻗﺮَا َء ٍة َ‬ ‫ﻻ ِﻓ ْ‬ ‫ﻻ ِﻓ ْﻘ َﻪ ﻓِ ْﻴﻬَﺎ َو َ‬ ‫ﻋﺒَﺎ َد ٍة َ‬ ‫ﻲ ِ‬ ‫ﺧ ْﻴ َﺮ ِﻓ ْ‬ ‫ﻻ َ‬ ‫َ‬
‫ﻓِ ْﻴﻬَﺎ‬
‫‪.60‬‬
‫ﻄَﻨ ُﻪ‬
‫ﻦ َﻣَﻠَﺄ َﺑ ْ‬ ‫ت َﻣ ْ‬ ‫ت اﻟﺴﱠﻤﻮَا ِ‬ ‫ﻞ َﻣَﻠ ُﻜ ْﻮ َ‬ ‫ﺧُ‬ ‫ﻻ َﻳ ْﺪ ُ‬ ‫َ‬
‫‪.61‬‬
‫ﷲ َﺗﻌَﺎﻟَﻰ‬ ‫ﻦ ِذ ْآ ِﺮ ا ِ‬ ‫ﻃﺒًﺎ ِﻣ ْ‬ ‫ﻚ َر ْ‬ ‫ل ِﻟﺴَﺎُﻧ َ‬ ‫ﻻ َﻳﺰَا ُ‬ ‫َ‬
‫‪.62‬‬
‫ﻞ‬
‫ﺟﱠ‬ ‫ﻋ ﱠﺰ َو َ‬ ‫ﺸَﻴ ِﺔ اﻟﱠﻠ ِﻪ َ‬ ‫ﺧْ‬ ‫ﻦ َ‬ ‫ﺣ ٌﺪ ﺑَﻜَﻰ ِﻣ ْ‬ ‫ﺞ اﻟﻨﱠﺎ َر َأ َ‬ ‫ﻻ َﻳِﻠ ُ‬ ‫َ‬
‫‪.63‬‬
‫ﺴ ِﻪ‬
‫ﺤﺐﱡ ِﻟَﻨ ْﻔ ِ‬ ‫ﺧ ْﻴ ِﻪ ﻣَﺎ ُﻳ ِ‬ ‫ﻻ ِ‬ ‫ﺤﺐﱠ ِ َ‬ ‫ﻰ ُﻳ ِ‬ ‫ﺣ ُﺪ ُآ ْﻢ ﺣَﺘ ﱠ‬ ‫ﻦ َأ َ‬ ‫ﻻ ُﻳ ْﺆ ِﻣ ُ‬ ‫َ‬
‫‪.64‬‬
‫ب‬
‫ﷲ اْﻟ َﻌ ْﻘ َﺮ َ‬ ‫ﻦا ُ‬ ‫َﻟ َﻌ َ‬
‫‪.65‬‬
‫ﻋ ْﻨ َﺪ َأَﺑ َﻮ ْﻳ ِﻪ‬‫ﺼ َﻌﺒًﺎ َهﺬَا َوﻣَﺎ ِﺑ َﻤ ﱠﻜ َﺔ ﻓَﺘًﻰ َأ ْﻧ َﻌ ُﻢ ِ‬ ‫ﺖ ُﻣ ْ‬ ‫َﻟ َﻘ ْﺪ َرَأ ْﻳ ُ‬
‫ﺳ ْﻮِﻟ ِﻪ‬ ‫ﷲ َو َر ُ‬ ‫ﻚ ُآﻠﱠ ُﻪ ﺣُﺒًّﺎ ِ‬ ‫ك َذِﻟ َ‬ ‫ُﺛﻢﱠ َﺗ َﺮ َ‬
‫‪.66‬‬
‫ﻲ َﻟ ُﻪ‬
‫ﻻ َﺑﻮَا ِآ َ‬ ‫ﺣ ْﻤ َﺰ َة َ‬ ‫ﻦ َ‬ ‫َﻟ ِﻜ ﱠ‬
‫‪.67‬‬
‫اﻟﻠﱠ ُﻬﻢﱠ ُأ ﱠﻣﺘِﻲ ُأ ﱠﻣﺘِﻲ َوَﺑﻜَﻰ‬
‫‪.68‬‬
‫ﻋ ْﺪَﺗﻨِﻲ‬ ‫ت ﻣَﺎ َو َ‬ ‫ﺠ ْﺰ ﻟِﻲ ﻣَﺎ وَﻋَ ْﺪﺗَﻨِﻲ اﻟﻠﱠ ُﻬﻢﱠ ﺁ ِ‬ ‫اﻟﻠﱠ ُﻬﻢﱠ َأ ْﻧ ِ‬
‫‪21‬‬
‫‪.69‬‬
‫ﻼ َوَﻟَﺒ َﻜ ْﻴُﺘ ْﻢ َآﺜِﻴﺮًا‬ ‫ﺤ ْﻜُﺘ ْﻢ َﻗﻠِﻴ ً‬ ‫ﻀِ‬ ‫ﻋَﻠ ُﻢ َﻟ َ‬ ‫ن ﻣَﺎ َأ ْ‬ ‫َﻟ ْﻮ َﺗ ْﻌَﻠﻤُﻮ َ‬
‫‪.70‬‬
‫ﻷ ْﻧُﺘ ُﻢ اْﻟَﻴ ْﻮ َم ﺧَ ْﻴ ٌﺮ ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ َﻳ ْﻮ َﻣِﺌ ٍﺬ‬ ‫َ‬
‫‪.71‬‬
‫ﻦ‬
‫ﻦ َوَأَﺛ َﺮ ْﻳ ِ‬ ‫ﻄ َﺮَﺗ ْﻴ ِ‬
‫ﻦ َﻗ ْ‬ ‫ﷲ ِﻣ ْ‬ ‫ﺐ إِﻟَﻰ ا ِ‬ ‫ﺣ ﱠ‬ ‫ﻲ ٌء َأ َ‬ ‫ﺲ ﺷَ ْ‬ ‫َﻟ ْﻴ َ‬
‫‪.72‬‬
‫ب َو َدﻋَﺎ‬ ‫ﺠُﻴ ْﻮ َ‬ ‫ﻖ اْﻟ ُ‬ ‫ﺷﱠ‬ ‫ﺨ ُﺪ ْو َد َو َ‬ ‫ب اْﻟ ُ‬ ‫ﺿ َﺮ َ‬ ‫ﻦ َ‬ ‫ﺲ ِﻣﻨﱠﺎ َﻣ ْ‬ ‫َﻟ ْﻴ َ‬
‫ﻋﻮَى اْﻟﺠَﺎ ِهِﻠﱠﻴ ِﺔ‬ ‫ِﺑ َﺪ ْ‬
‫‪.73‬‬
‫ﷲ ﺧَ ْﻴ ٌﺮ‬ ‫ﻋ ْﻨ َﺪ ا ِ‬ ‫ن ﻣَﺎ ِ‬ ‫ﻋَﻠ ُﻢ َأ ﱠ‬ ‫ن َأ ْ‬ ‫ﻻ َأآُﻮ َ‬ ‫ن َ‬ ‫ﻣَﺎ َأ ْﺑﻜِﻲ َأ ْ‬
‫ن‬
‫ﻦ َأ ْﺑﻜِﻲ َأ ﱠ‬ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ َوَﻟ ِﻜ ْ‬ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ‬ ‫ﷲ َ‬ ‫ِﻟ َﺮﺳُﻮِﻟ ِﻪ ﺻَﻠﱠﻰ ا ُ‬
‫ﺴﻤَﺎ ِء‬ ‫ﻦ اﻟ ﱠ‬ ‫ﻄ َﻊ ِﻣ ْ‬ ‫ﻲ َﻗ ْﺪ ا ْﻧ َﻘ َ‬‫ﺣَ‬ ‫اْﻟ َﻮ ْ‬
‫‪.74‬‬
‫ﻻ‬‫ﺧ ْﺒﺰًا ُﻣ َﺮ ﱠﻗﻘًﺎ َو َ‬ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ ُ‬ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ‬ ‫ﷲ َ‬ ‫ﺻﻠﱠﻰ ا ُ‬ ‫ﻲ َ‬ ‫ﻞ اﻟﱠﻨِﺒ ﱡ‬ ‫ﻣَﺎ َأ َآ َ‬
‫ﻲ اﷲ‬ ‫ﻃ ًﺔ ﺣَﺘﱠﻰ َﻟ ِﻘ َ‬ ‫ﺴ ُﻤ ْﻮ َ‬ ‫ﺷَﺎ ًة َﻣ ْ‬
‫‪.75‬‬
‫ﺧ ْﺒ ِﺰ‬
‫ﻦ ُ‬ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ ِﻣ ْ‬ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ‬ ‫ﷲ َ‬ ‫ﺻﻠﱠﻰ ا ُ‬ ‫ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ َ‬ ‫ل ُﻣ َ‬ ‫ﺷِﺒ َﻊ ا ُ‬ ‫ﻣَﺎ َ‬
‫ﷲ‬‫ل اِ‬ ‫ﺳ ْﻮ ُ‬‫ﺾ َر ُ‬ ‫ﻦ ﺣَﺘﱠﻰ ُﻗِﺒ ِ‬ ‫ﻦ ُﻣَﺘﺘَﺎِﺑ َﻌ ْﻴ ِ‬ ‫ﺷ ِﻌ ْﻴ ٍﺮ َﻳ ْﻮ َﻣ ْﻴ ِ‬‫َ‬
‫ﺳﱠﻠ َﻢ‬
‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ‬ ‫ﷲ َ‬ ‫ﺻﻠﱠﻰ ا ُ‬ ‫َ‬
‫‪.76‬‬
‫ﻏ ْﻴ ُﺮ اْﻟ ِﻤ ْﻘﺪَا ِد َوَﻟ َﻘ ْﺪ رَأَ ْﻳُﺘﻨَﺎ‬ ‫س َﻳ ْﻮ َم َﺑ ْﺪ ٍر َ‬ ‫ن ﻓِﻴﻨَﺎ ﻓَﺎرِ ٌ‬ ‫ﻣَﺎ آَﺎ َ‬
‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ‬‫ﷲ َ‬ ‫ل اﻟﱠﻠ ِﻪ ﺻَﻠﱠﻰ ا ُ‬ ‫ﻻ َرﺳُﻮ َ‬ ‫ﻻ ﻧَﺎﺋِ ٌﻢ ِإ ﱠ‬ ‫وَﻣَﺎ ﻓِﻴﻨَﺎ ِإ ﱠ‬
‫ﺢ‬
‫ﺻَﺒ َ‬ ‫ﺣﺘﱠﻰ َأ ْ‬ ‫ﺼﻠﱢﻲ َوَﻳ ْﺒﻜِﻲ َ‬ ‫ﺠ َﺮ ٍة ُﻳ َ‬ ‫ﺷَ‬ ‫ﺖ َ‬ ‫ﺤ َ‬ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ َﺗ ْ‬‫َو َ‬
‫‪.77‬‬
‫ﻦ‬
‫ﻄٍ‬ ‫ﻦ َﺑ ْ‬ ‫ﻲ ِوﻋَﺎ ًء ﺷَﺮًّا ِﻣ ْ‬ ‫ﻦ ا َد ِﻣ ﱟ‬ ‫ﻸ ا ْﺑ ُ‬‫ﻣَﺎ َﻣ َ‬
‫‪.78‬‬
‫ﻦ‬‫ﺴُ‬ ‫ﺤِ‬ ‫ﻼٌة َﻣ ْﻜُﺘ ْﻮَﺑ ٌﺔ َﻓُﻴ ْ‬ ‫ﺻَ‬ ‫ﻀ ُﺮ ُﻩ َ‬ ‫ﺤ ُ‬ ‫ﺴِﻠ ٍﻢ َﺗ ْ‬ ‫ئ ُﻣ ْ‬ ‫ﻦ ا ْﻣ ِﺮ ٍ‬ ‫ﻣَﺎ ِﻣ ِ‬
‫ﺖ آَﻔﱠﺎرٌَة‬ ‫ﻻ آَﺎَﻧ ْ‬ ‫ﻋﻬَﺎ ِإ ﱠ‬ ‫ﺸ ْﻮﻋَﻬَﺎ َو ُر ُآ ْﻮ َ‬ ‫ﺧُ‬ ‫ﺿ ْﻮ َءهَﺎ وَ ُ‬ ‫ُو ُ‬
‫ب‬
‫ﻦ اﻟ ﱡﺬُﻧ ْﻮ ِ‬ ‫ﻟِﻤَﺎ َﻗ ْﺒَﻠﻬَﺎ ِﻣ َ‬
‫‪.79‬‬
‫ن‬‫ع َوِإ ْ‬ ‫ﻋ ْﻴَﻨ ْﻴ ِﻪ ُدﻣُﻮ ٌ‬ ‫ﻦ َ‬ ‫ج ِﻣ ْ‬ ‫ﺨ ُﺮ ُ‬ ‫ﻦ َﻳ ْ‬ ‫ﻋ ْﺒ ٍﺪ ُﻣ ْﺆ ِﻣ ٍ‬ ‫ﻦ َ‬ ‫ﻣَﺎ ِﻣ ْ‬
‫ﷲ‬
‫ﺸَﻴ ِﺔ ا ِ‬ ‫ﺧْ‬ ‫ﻦ َ‬ ‫ب ِﻣ ْ‬ ‫س اﻟ ﱡﺬﺑَﺎ ِ‬ ‫ﻞ َرْأ ِ‬ ‫ن ِﻣ ْﺜ َ‬ ‫آَﺎ َ‬
‫‪.80‬‬
‫ﷲ‬‫ﻋ َﺪ ا ُ‬ ‫ﻻ ﺑَﺎ َ‬ ‫ﷲ ِإ ﱠ‬ ‫ﻞا ِ‬ ‫ﺳِﺒ ْﻴ ِ‬
‫ﻲ َ‬ ‫ﺼ ْﻮ ُم َﻳ ْﻮﻣًﺎ ِﻓ ْ‬ ‫ﻋ ْﺒ ٍﺪ َﻳ ُ‬ ‫ﻦ َ‬ ‫ﻣَﺎ ِﻣ ْ‬
‫ﺧ ِﺮ ْﻳﻔًﺎ‬ ‫ﻦ َ‬ ‫ﺳ ْﺒ ِﻌ ْﻴ َ‬
‫ﻦ اﻟﻨﱠﺎ ِر َ‬ ‫ﻋِ‬ ‫ﺟ َﻬ ُﻪ َ‬ ‫ﻚ اْﻟَﻴ ْﻮ ِم َو ْ‬ ‫ِﺑ َﺬِﻟ َ‬
‫‪.81‬‬
‫ن‬
‫ﻻِ‬ ‫ن َﻳ ْﻨ ِﺰ َ‬ ‫ﻻ َﻣَﻠﻜَﺎ ِ‬ ‫ﺢ اْﻟ ِﻌﺒَﺎ ُد ِﻓ ْﻴ ِﻪ ِإ ﱠ‬ ‫ﺼِﺒ ُ‬ ‫ﻦ َﻳ ْﻮ ٍم ُﻳ ْ‬ ‫ﻣَﺎ ِﻣ ْ‬
‫‪.82‬‬
‫ﺴ َﻔ َﺮ ِة اْﻟ ِﻜﺮَا ِم اْﻟَﺒ َﺮ َر ِة‬ ‫َاْﻟﻤَﺎ ِه ُﺮ ﺑِﺎاْﻟ ُﻘﺮْانِ َﻣ َﻊ اﻟ ﱠ‬
‫‪.83‬‬
‫س‬
‫ﻞ ﺑِﺎﻟﻨﱠﺎ ِ‬ ‫ﺼﱢ‬ ‫ُﻣﺮُوا َأﺑَﺎ َﺑ ْﻜ ٍﺮ َﻓْﻠُﻴ َ‬
‫‪.84‬‬
‫ﺴِﻠ ُﻤ ُﻪ‬
‫ﻻ ُﻳ ْ‬ ‫ﻈِﻠ ُﻤ ُﻪ َو َ‬ ‫ﻻ َﻳ ْ‬ ‫ﺴِﻠ ِﻢ َ‬ ‫ﺴِﻠ ُﻢ أَﺧُﻮ اْﻟ ُﻤ ْ‬ ‫َاْﻟ ُﻤ ْ‬
‫‪.85‬‬
‫ﺴِﻠ ُﻤ ُﻪ‬‫ﻻ ُﻳ ْ‬ ‫ﻈِﻠ ُﻤ ُﻪ َو َ‬ ‫ﻻ َﻳ ْ‬ ‫ﺴِﻠ ِﻢ َ‬ ‫ﺴِﻠ ُﻢ أَﺧُﻮ اْﻟ ُﻤ ْ‬ ‫َاْﻟ ُﻤ ْ‬
‫‪22‬‬
‫‪.86‬‬
‫ﻦ اْﻟ ِﻌْﻠ ِﻢ‬‫ﺠ ًﺔ ِﻣ ْ‬ ‫ﺞ َﻣ ﱠ‬ ‫ﺤ َﻜ ًﺔ َﻣ ﱠ‬ ‫ﺿْ‬ ‫ﻚ َ‬ ‫ﺤَ‬ ‫ﺿِ‬ ‫ﻦ َ‬ ‫َﻣ ْ‬
‫‪.87‬‬
‫ﺴَﻨ ٌﺔ‬
‫ﺣَ‬ ‫ﷲ َﻓَﻠ ُﻪ ِﺑ ِﻪ َ‬ ‫با ِ‬ ‫ﻦ ِآﺘَﺎ ِ‬ ‫ﺣ ْﺮﻓًﺎ ِﻣ ْ‬ ‫ﻦ َﻗ َﺮَأ َ‬ ‫َﻣ ْ‬
‫‪.88‬‬
‫ﻲ‬‫ﺤَ‬ ‫ﺣ ٌﺪ ُﻣ ِ‬ ‫ﷲ َأ َ‬ ‫ﻞ ُه َﻮ ا ُ‬ ‫ﻲ َﻣ ﱠﺮ ٍة ُﻗ ْ‬ ‫ﻦ َﻗ َﺮَأ ُآﻞﱠ َﻳ ْﻮ ٍم ﻣِﺎَﺋَﺘ ْ‬ ‫َﻣ ْ‬
‫ﻦ‬
‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ دَ ْﻳ ٌ‬ ‫ن َ‬ ‫ن َﻳ ُﻜ ْﻮ َ‬ ‫ﻻ َأ ْ‬ ‫ﺳَﻨ ًﺔ ِإ ﱠ‬ ‫ﻦ َ‬ ‫ﺴ ْﻴ َ‬
‫ﺧ ْﻤ ِ‬ ‫ب َ‬ ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ ُذُﻧ ْﻮ ُ‬ ‫َ‬
‫‪.89‬‬
‫ﺤﺸَﺎ ِء وَاْﻟ ُﻤ ْﻨ َﻜ ِﺮ َﻟ ْﻢ َﻳ ْﺰ َد ْد‬ ‫ﻦ اْﻟ َﻔ ْ‬ ‫ﻋِ‬ ‫ﻼُﺗ ُﻪ َ‬ ‫ﺻَ‬ ‫ﻦ َﻟ ْﻢ َﺗ ْﻨ َﻬ ُﻪ َ‬ ‫َﻣ ْ‬
‫ﻻ ُﺑ ْﻌﺪًا‬ ‫ﷲ ِإ ﱠ‬ ‫ﻦا ِ‬ ‫ِﻣ َ‬
‫‪.90‬‬
‫ﺲ ﻣِ ْﻨﻬُﻢ‬ ‫ﻦ َﻓَﻠ ْﻴ َ‬ ‫ﺴِﻠ ِﻤ ْﻴ َ‬ ‫ﻦ َﻟ ْﻢ َﻳ ْﻬَﺘ ﱠﻢ ِﺑَﺄ ْﻣ ِﺮ اْﻟ ُﻤ ْ‬ ‫َﻣ ْ‬
‫‪.91‬‬
‫ﻦ‬
‫ﻦ َﺑ ْﻴ ِ‬ ‫ﺴ ُﻪ ِﻣ ْ‬ ‫ع َﻧ ْﻔ ُ‬ ‫ل ُﺗ ْﻨ َﺰ ُ‬ ‫ﻋﻠَﻰ ُآﻞﱢ ﺣَﺎ ٍ‬ ‫ﺨ ْﻴ ٍﺮ َ‬ ‫ﻦ ِﺑ َ‬ ‫اْﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣ ُ‬
‫ﻞ‬
‫ﺟﱠ‬ ‫ﻋ ﱠﺰ َو َ‬ ‫ﺤ َﻤ ُﺪ اﻟﱠﻠ َﻪ َ‬ ‫ﺟ ْﻨَﺒ ْﻴ ِﻪ َو ُه َﻮ َﻳ ْ‬ ‫َ‬
‫‪.92‬‬
‫ﻒ‬
‫ﻻ ُﻳ ْﺆَﻟ ُ‬ ‫ﻒ َو َ‬ ‫ﻻ َﻳ ْﺄَﻟ ُ‬ ‫ﻦ َ‬ ‫ﺧ ْﻴ َﺮ ِﻓ ْﻴ َﻤ ْ‬ ‫ﻻ َ‬ ‫ﻒ َو َ‬ ‫ﻦ ُﻣ ْﺆﻟَ ٌ‬ ‫َاْﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣ ُ‬
‫‪.93‬‬
‫ﺴِﻠ ٍﻢ‬‫ت آَﻔﱠﺎرٌَة ِﻟ ُﻜﻞﱢ ُﻣ ْ‬ ‫َاْﻟ َﻤ ْﻮ ُ‬
‫‪.94‬‬
‫ﺲ‬
‫ﺳﻬَﺎ ِم ِإ ْﺑِﻠ ْﻴ َ‬ ‫ﻦ ِ‬ ‫ﺴ ُﻤ ْﻮ ٌم ِﻣ ْ‬ ‫ﻈ َﺮ ُة ﺳَ ْﻬ ٌﻢ َﻣ ْ‬ ‫اَﻟﻨﱠ ْ‬
‫‪.95‬‬
‫ﻦ‬
‫ﻦ ﺷَﺎ َء ِﻣ ْ‬ ‫ب َﻣ ْ‬ ‫ﷲ ﻓِﻲ ُﻗﻠُﻮ ِ‬ ‫ﺿ َﻌﻬَﺎ ا ُ‬ ‫ﺣ َﻤ ٌﺔ َو َ‬ ‫َه ِﺬ ِﻩ َر ْ‬
‫ﺣﻤَﺎ َء‬ ‫ﻻ اﻟ ﱡﺮ َ‬ ‫ﻋﺒَﺎ ِد ِﻩ ِإ ﱠ‬ ‫ﻦ ِ‬ ‫ﺣ ُﻢ اﻟﻠﱠ ُﻪ ِﻣ ْ‬ ‫ﻻ َﻳ ْﺮ َ‬ ‫ﻋﺒَﺎ ِد ِﻩ َو َ‬‫ِ‬
‫‪.96‬‬
‫ف اﻟﱠﻠ ْﻴَﻠ َﺔ‬‫ﻞ َﻟ ْﻢ ُﻳﻘَﺎ ِر ْ‬ ‫ﺟٌ‬ ‫ﻞ ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ رَ ُ‬ ‫َه ْ‬
‫‪.97‬‬
‫ﺠﱠﻨ َﺔ ﺣَﺘﱠﻰ ُﺗ ْﺆ ِﻣُﻨﻮْا‬ ‫ﺧﻠُﻮا اْﻟ َ‬ ‫ﻻ َﺗ ْﺪ ُ‬ ‫ﻲ ِﺑَﻴ ِﺪ ِﻩ َ‬‫ﺴ ْ‬ ‫ي َﻧ ْﻔ ِ‬‫َو اﱠﻟ ِﺬ ْ‬
‫‪.98‬‬
‫ب‬‫ن ِآﺘَﺎ َ‬ ‫ﷲ َﻳ ْﺘُﻠ ْﻮ َ‬ ‫تا ِ‬ ‫ﻦ ُﺑُﻴ ْﻮ ِ‬ ‫ﺖ ِﻣ ْ‬ ‫ﻲ َﺑ ْﻴ ٍ‬ ‫ﺟَﺘ َﻤ َﻊ ﻗَ ْﻮ ٌم ِﻓ ْ‬ ‫َوﻣَﺎا ْ‬
‫ﺴ ِﻜ ْﻴَﻨ ُﺔ‬‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ُﻢ اﻟ ﱠ‬ ‫ﺖ َ‬ ‫ﻻ َﻧ َﺰَﻟ ْ‬ ‫ﺳ ْﻮَﻧ ُﻪ َﺑ ْﻴَﻨ ُﻬ ْﻢ ِإ ﱠ‬ ‫ﷲ َوَﻳَﺘﺪَا َر ُ‬ ‫اِ‬
‫‪.99‬‬
‫ﻏ ِﻔ َﺮ َﻟ ُﻪ ﻣَﺎ‬ ‫ﺣِﺘﺴَﺎﺑًﺎ ُ‬ ‫ن ِإ ْﻳﻤَﺎﻧًﺎ وَا ْ‬ ‫ﻦ ﺻَﺎ َم َر َﻣﻀَﺎ َ‬ ‫َو َﻣ ْ‬
‫ﻦ َذ ْﻧِﺒ ِﻪ‬
‫َﺗ َﻘ ﱠﺪ َم ِﻣ ْ‬
‫‪.100‬‬
‫ﻄ ْﻴ ُﻊ‬‫ﺴَﺘ ِ‬ ‫ﻦ َﻳ ْ‬ ‫َو َﻣ ْ‬
‫‪.101‬‬
‫ﻞ َﻟ ُﻪ‬ ‫ﺤ َﻜ ُﻬ ْﻢ وَ ْﻳ ٌ‬ ‫ﻀِ‬ ‫ب ِﻟُﻴ ْ‬ ‫ث اْﻟ َﻘ ْﻮ َم ُﺛﻢﱠ َﻳ ْﻜ ِﺬ ُ‬ ‫ﺤﺪﱢ ُ‬ ‫ي ُﻳ َ‬ ‫ﻞ ﱢﻟﱠﻠ ِﺬ ْ‬‫وَ ْﻳ ٌ‬
‫ﻞ َﻟ ُﻪ‬
‫وَ ْﻳ ٌ‬
‫‪.102‬‬
‫ﻦ َﻗﺮَأهَﺎ وَﻟ َﻢ َْﻳَﺘ َﻔ ﱠﻜ ْﺮ ﻓِ ْﻴﻬَﺎ‬ ‫ﻞ ِﻟ َﻤ ْ‬ ‫وَ ْﻳ ٌ‬
‫‪.103‬‬
‫ﻼ ِة‬
‫ﺼَ‬ ‫ﺣﻨَﺎ ﺑِﺎﻟ ﱠ‬ ‫ل َأ ِر ْ‬ ‫ﻼُ‬ ‫ﻳَﺎ ِﺑ َ‬
‫‪.104‬‬
‫ت‬
‫ﺐ اْﻟ َﻌَﺒﺮَا ُ‬ ‫ﺴ َﻜ ُ‬ ‫ﻋ َﻤ ُﺮ ه ُﻬﻨَﺎ ُﺗ ْ‬ ‫ﻳَﺎ ُ‬
‫‪.105‬‬
‫ﻋﺪﱡوا‬ ‫ﻞ هَﺬَا َﻓَﺄ ِ‬ ‫ﺧﻮَاﻧِﻲ ِﻟ ِﻤ ْﺜ ِ‬ ‫ﻳَﺎ ِإ ْ‬
‫‪.106‬‬
‫ﻄ َﻊ‬‫ن ﺣَﺘﱠﻰ َﺗ ْﻨ َﻘ ِ‬ ‫ﻞ اﻟﻨﱠﺎ ِر َﻓَﻴ ْﺒ ُﻜ ْﻮ َ‬ ‫ﻋﻠَﻰ َأ ْه ِ‬ ‫ﻞ اْﻟُﺒﻜَﺎ ُء َ‬ ‫ﺳُ‬ ‫ُﻳ ْﺮ َ‬
‫ع‬
‫اﻟﺪﱡ ُﻣ ْﻮ ُ‬
‫‪23‬‬
24
BAB I

PENDAHULUAN

Pokok Permasalahan

Ketika kita memperhatikan beragam hasil ciptaan Allah swt., nyatalah bahwa
manusia merupakan sosok makhluk yang paling sempurna sekaligus unik
ketimbang makhluk lainnya. Apa yang ada dalam diri manusia, baik secara
fisik maupun psikis, senantiasa menarik untuk dikaji. (QS.Fussilat/41:53)
Satu di antara fenomena anfus yang tersirat dalam QS.Fussilat/41:53

tersebut adalah “menangis”. Dengan demikian, menangis (al-bukâ) merupakan

salah satu sunnatullah (law of nature) terhadap kejiwaan manusia.1

Jika selama ini dalam pandangan mayoritas masyarakat, menangis selalu

diidentikkan dengan “kecengengan” atau “keputusasaan”, sebuah predikat negatif

di mata umum, ternyata tidaklah demikian dalam perspektif al-Qur’an dan Hadis.

Sungguh menarik, ternyata dalam beberapa ayat al-Qur’an, Allah SWT.

menegaskan bahwa di antara karakteristik orang-orang yang beriman adalah

mereka yang senantiasa menyungkurkan muka untuk bersujud sambil menangis

setiap kali mendengar ayat-ayat al-Qur’an. Allah menyatakan bahwa para nabi

serta orang-orang yang mendapatkan petunjuk dan terpilih, apabila mendengar

ayat-ayat Allah swt., mereka menyungkur dengan bersujud sambil menangis

(QS.al-Isrâ/17:109 & QS.Maryam/19:58)

Menurut Syeikh Muh. ‘Ali al-Sâbûnî, hal ini terjadi karena dalam diri

mereka timbul rasa takut (khasy-yah) kepada Allah. Begitulah keadaan orang-

orang yang mempunyai derajat yang tinggi dan kebersihan jiwa (nafs) di sisi

Allah swt. Pernyataan Allah tersebut, ungkap al-Qurtubî, sekaligus menjadi

1
Abdul Mujib, Apa Arti Tangisan Anda, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 7

25
petunjuk (dalâlah) bahwa ayat-ayat al-Qur’an mampu memberikan pengaruh

kepada kalbu manusia.2

Jika demikian gambaran umum (deskripsi global) al-Qur’an tentang

menangis, lalu bagaimana pula gambaran atau konsep hadis yang merupakan

penjelas (mubayyin) terhadap ayat-ayat al-Qur’an dalam masalah ini: memerintah,

melarang, atau membiarkan begitu saja? Bagaimana realitas kehidupan Rasulullah

saw. yang dikenal sebagai manusia paripurna (insan kâmil) dalam perilakunya

sehari-hari?

Kajian tangisan-tangisan Rasulullah saw. menjadi menarik karena beliau

tidak sekedar sebagai tokoh bagi dunia Arab atau tokoh bagi umat Islam saja,

tetapi juga tokoh berpengaruh yang menjadi sorotan dunia sejak beliau dilahirkan

hingga dunia berakhir. Segala tindak-tanduknya menjadi pusat perhatian kawan

maupun lawan, muslim ataupun nonmuslim. Segenap sisi kehidupan beliau dicatat

dan diingat untuk dijadikan pelajaran sebagai teladan hidup manusia.

Umat Islam periode awal (sahabat) telah menjadikan Rasulullah saw.

sebagai pusat keagamaan dan keduniawian mereka sejak Allah swt. memberi

petunjuk kepada mereka dan menyelamatkan mereka dari kesesatan dan

kegelapan menuju hidayah dan cahaya. Perkataan, perbuatan, dan segala gerak-

gerik beliau adalah pusat perhatian dan kekaguman mereka (QS. al-

Ahzâb/33:21).3

Sikap seperti ini selanjutnya diestafetkan kepada generasi-generasi

berikutnya sehingga tercatatlah dalam sejarah berpuluh-puluh, bahkan ratusan

2
Muh. ‘Ali al-Sâbûnî Safwah al-Tafâsîr, (Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah,
1999/1420), Jilid 2, h. 221
3
Mustafâ al-Sibâ’î, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam. Penerjemah
Dr. Nurcholis Madjid (Jakarta:Pustaka Firdaus,1991), h. 13

26
riwayat yang menerangkan sifat dan pribadi beliau. Sifat anggota badan Nabi,

keringat Nabi, rambut Nabi, janggut Nabi, sorban Nabi, jubah Nabi, senyuman

Nabi, sifat pemaaf Nabi, termasuk dalam hal ini adalah tangisan Nabi, serta sifat-

sifat lainnya, baik yang berhubungan dengan perangai (khuluq) ataupun yang

berhubungan dengan gambaran fisik (khalq), dicatat dan menjadi pusat

pembahasan umat.4

Sebagai teladan yang telah dibakukan dan dilegalkan keabsahannya

melalui firman Ilahi yang tidak diragukan kebenarannya, maka dapat pula

dipastikan kualitas (mâhiyah) kepribadian hidup beliau. Beliau adalah orang

pertama yang mengimplementasikan segala titah al-Qur’an. Beliau adalah sosok

manusia yang perangainya, sebagaimana pernyataan ‘Aisyah r.a., adalah al-

Qur’an.5 Apabila beliau memerintah, maka beliaulah orang pertama yang

melakukannya. Apabila beliau melarang untuk mengerjakan sesuatu, maka beliau

pula orang pertama yang meninggalkannya. Demikian pula halnya dengan

menangis.

Melalui sabda-sabda mulianya, beliau hendak mengajarkan umatnya

membiasakan menangis dalam mengisi saat-saat keberagamaan, bukan dengan

canda dan gelak tawa.

Suatu ketika, sebagaimana diriwayatkan Imam al-Bukhârî (w. 256 H.) dari

Abdullâh bin Mas’ûd (w. 32 H.), bahwa Rasulullah saw. meminta kepada

Abdullâh bin Mas’ûd r.a. untuk membacakan al-Qur’an baginya. Iapun memenuhi

permintaan tersebut dengan membacakan surat al-Nisâ. Ketika sampai pada ayat,

4
Moenawar Khalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, (Jakarta: PT Bulan Bintang,
1994), Jilid 7, hal.211-321
5
Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, (Semarang: Toha Putra, tth), Juz 4, h. 402

27
“Maka bagaimanakah (halnya orang-orang kafir nanti), apabila Kami

mendatangkan seorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan

kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka (sebagai umatmu).” (QS.4:41),

beliau berkata: “Tahanlah!” Ketika itu, tampaklah kedua mata beliau

mencucurkan air mata.6 Pada kesempatan yang lain, tatkala putra beliau (Ibrâhîm)

meninggal dunia, beliau menitikkan air mata.7

Rasulullah saw. adalah manusia yang paling empati dan paling mudah

menangis saat melihat penderitaan orang lain. Suatu hari seorang sahabat

menginformasikan kepada beliau bahwa ada seorang sahabat lain yang anaknya

sedang mengalami sakaratul maut. Lalu anak itu diserahkan dan diletakkan di atas

pangkuan beliau. Melihat penderitaan anak tersebut, Rasulullah saw. menangis.8

Siti ‘Aisyah r.a., istri tercinta beliau, pernah pula menyaksikan suami

tercintanya tersebut menangis terisak-isak saat menegakkan qiyamulail, yang oleh

Siti ‘Aisyah, kejadian malam tersebut dianggap sebagai kejadian yang

mempesona.9

Tangisan-tangisan yang ditunjukkan oleh Nabi Muhammad saw. bukanlah

lambang keputusasaan dan kecengengan. Tangisan-tangisan tersebut adalah

tangisan yang terjadi karena kelembutan dan kebeningan hati beliau. Tangisan

Nabi yang terjadi di tengah masyarakat adalah tangisan kasih sayang (tangisan

empati). Dan tangisan Nabi saat shalat adalah karena kekhusyuan merasakan

6
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 4, Kitab Fadâ’il al-Qur’ân Bab Qaul al-Muqri li al-
Qâri hasbuk, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1986), h. 114
7
Ibid, Juz 2, Kitâb al-Janâ’iz Bab Qaul al-Nabi saw. Innâ bik lamahzûnûn, h. 85
8
Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah., Juz 1, Kitâb al-Janâ’iz Bâb Mâ Jâ fî al-Bukâ ‘alâ al-
Mayyit, no. hadis1588, (Indonesia: Maktabah Dahlân, tth) , h. 506
9
Ibn Katsîr, op.cit., Juz 1, h. 440; Jalaluddin Rakhmat, Renungan-renungan Sufistik,
(Bandung: Penerbit Mizan, 1999), h. 20

28
keagungan Allah swt. Keduanya adalah tangisan bermakna yang berkualitas dan

dapat mendekatkan diri kepada Allah. Keharmonisan hubungan vertikal dengan

Sang Khaliq (silah billâh) dan hubungan horizontal dengan sesama manusia (sila

bin nâs) merupakan wujud dari kesalihan pribadi, dan ini secara tegas dan jelas

tergambar dalam pribadi Nabi Muhammad saw. Tangisan-tangisan beliau adalah

tangisan ibadah yang sarat muatan makna. Tangisan-tangisan beliau adalah

tangisan ‘abdun sâlih yang dekat dengan Rabb-nya. Tangisan-tangisan beliau

adalah tangisan yang memberikan implikasi positif dalam kehidupan, tangisan

spiritual yang menimbulkan sikap optimis (rajâ) menghadapi hidup, dan

memberikan kesehatan mental beliau.

Di sisi lain ditemukan banyak Hadis (menurut hitungan penulis berjumlah 71

riwayat) yang secara tegas menyebutkan bahwa tangisan orang yang masih hidup

terhadap mayit akan menambah siksaan mayit tersebut. Padahal ditemukan pula

ayat yang secara zâhiriyah menegaskan bahwa seseorang tidak memikul dosa orang

lain (QS al-An’âm:164; al-Isrâ:15; Fatir:18; al-Zumar:7; al-Najm:38; al-Zalzalah:7-

8)

Oleh karena itu, jumhur ulama, di antaranya al-Muzannî, Ibrâhîm al-

Harbi dari kalangan ulama bermazhab Syâfi’î, termasuk Imam al-Nawawî (w.675

H.) mentakwilkan bahwa siksaan itu berlaku bagi orang yang berwasiat kepada

keluarganya agar mayatnya diratapi. Sedangkan jika keluarga yang menangisinya

tanpa wasiat sebelumnya, hal ini tidaklah terlarang,10 karena hal ini merupakan

rahmat Allah. Imam al-Nawawî menambahkan bahwa ulama sepakat yang

dimaksud dengan tangisan yang melahirkan siksaan adalah “Tangisan yang

10
al-Nawawî, Sahîh Muslim bi Syarh al-Nawawî, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 1994), Juz 3, h.
506

29
disertai dengan suara keras dan teriakan”, bukan semata-mata deraian air mata.11

Inilah sebagian dari tradisi jahiliyah yang tercela.

Ada pula yang memahami bahwa hadis-hadis tersebut berlaku bagi orang-

orang kafir, Yahudi, atau pelaku dosa lainnya sebagaimana yang terdapat dalam

riwayat Ibn ‘Abbâs (w.68 H.) dan ‘Aisyah (w.57 H.). Sedang huruf “ba” sendiri

tidak dipahami sebagai bermakna “sebab”, tetapi musahabah”

(berbarengan/menyertai) sehingga maknanya adalah bahwa orang-orang kafir,

Yahudi, atau pelaku dosa lainnya disiksa pada saat keluarganya menangisi

kematiannya, bukan ia disiksa karena tangisan keluarganya. Demikian ungkap

Imam al-Suyûtî (w. 911 H.).12

Dengan demikian, Rasulullah saw. melalui hadis-hadisnya tidak

memandang sama terhadap semua tangisan yang dilakukan atau dialami oleh

seseorang. Motif atau niat serta tujuan seseorang melakukan tangisan merupakan

landasan untuk menyatakan nilai tangisan seseorang. Islam tidak menginginkan

seseorang melakukan tangisan “apa adanya”, tetapi juga “bagaimana seharusnya”

sehingga, sebagaimana yang disebutkan di atas, tangisan seseorang menjadi

bernilai ibadah yang mendapatkan ridha Allah.

Berdasarkan hal tersebut, maka masalah pokok yang akan dibahas dalam

tesis ini adalah bagaimana sesungguhnya menangis dalam konsep hadis. Lebih

khusus lagi, tesis ini akan mengkaji tangisan Rasulullah saw. selama hidupnya.

Pembatasan dan Perumusan Masalah

11
Ibid
12
al-Suyûtî, Syarh Sunan al-Nasâ’î, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth), Juz 4, h. 18;
al-Nawawî, loc.cit.

30
Sebagai penjelas (mubayyin) al-Qur’an, posisi hadis sangat strategis dalam

membicarakan dan memecahkan sebuah persoalan yang terjadi, termasuk dalam

masalah menangis ini. Sebagai sebuah fenomena kejiwaan, banyak persoalan yang

muncul di seputar menangis ini. Disebabkan kesempatan dan kemampuan yang

terbatas, tesis ini secara khusus akan menjawab persoalan berikut ini:

Bagaimana hukum dan macam-macam menangis

Bagaimanakah keterkaitan antara menangis dengan kesalihan atau kesucian

hati seseorang?

Selain itu, dalam mengkaji masalah menangis dalam pandangan hadis ini,

penulis akan menggunakan sumber rujukan (al-kutub al-asliyyah) kepada al-kutub

al-tis’ah, yaitu: Sahîh al-Bukhârî, Sahîh Muslim, Sunan al-Tirmidzî, Sunan Abî

Dâwûd, Sunan al-Nasâ’î, Sunan Ibn Mâjah, al-Muwatta Mâlik, Musnad Ahmad

bin Hanbal, dan Musnad al-Dârimî, serta beberapa kitab Zuhud dan Raqâ’iq.

Penambahan dua jenis kitab yang terakhir ini dilakukan karena masalah menangis

sangat terkait dengan persoalan hati. Sementara masalah hati ini banyak dibahas

dalam keduanya.

C. Kajian Pustaka

Rasulullah saw. dengan hadis-hadisnya akan selalu menarik perhatian

banyak pemerhati untuk melakukan kajian terhadapnya. Berbagai sisi kehidupan

beliau: cara berpakaian, cara makan, cara berjalan, sorban yang dikenakan,

keringat yang dikucurkan, senyum-senyum yang dihadirkan, canda-canda beliau,

dan sebagainya, selalu menarik untuk dicermati dan dihayati.

31
Sejauh pelacakan penulis, belum ada suatu buku atau karya ilmiah yang

mengungkap persoalan ini secara khusus. Beberapa tulisan yang memiliki

keterkaitan dengan pembahasan ini adalah:

1. Buku berjudul “Apa Arti Tangisan Anda” karya Drs. Abdul Mujib, M.Ag.

yang dalam pembahasannya juga menyitir beberapa hadis masyhur tentang

menangis.

2. Jalaluddin Rakhmat dalam beberapa bukunya:

a. Reformasi Sufistik dalam sub pembahasan “Tobat Nasional dan

Tabaki”;

b. Meraih Cinta Ilahi dalam sub pembahasan “Menghidupkan Kembali

Tradisi Menangis”;

c. Renungan-renungan Sufistik dalam sub pembahasan “Mencari

Kenikmatan Shalat”.

Selain itu, penulis juga menemukan sebuah buku karya Nasy’at al-Masri

yang secara khusus membahas tentang senyuman-senyuman Rasulullah saw.

Buku yang telah diterjemahkan ke dalam edisi Indonesia dengan judul “Senyum-

senyum Rasulullah” itu diterbitkan oleh Penerbit Gema Insani Press. Sementara

tentang tangisan-tangisan beliau, belum penulis temukan.

Oleh karena itu, penulis akan mencoba untuk mengkaji persoalan

menangis ini dengan merujuk kepada kitab-kitab di atas. Untuk mendapatkan hasil

yang memuaskan, penulis akan menggunakan kitab-kitab syarh (penjelas) atas

kitab-kitab hadis tersebut, selebihnya tentu akan digunakan penalaran penulis

sendiri. Pembahasan juga akan disempurnakan dengan berbagai kitab tafsir yang

menjelaskan beberapa buah ayat tentang menangis.

32
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menghimpun berbagai informasi dalam hadis

tentang menangis. Dari informasi yang terhimpun diharapkan akan menghasilkan

nilai guna sebagai berikut:

1. Hasil kajian tentang menangis dalam konsep hadis diharapkan menjadi

pengetahuan yang memperkaya khazanah keislaman, khususnya di bidang

hadis dan juga sejarah (târîkh).

2. Diharapkan umat Islam dapat membedakan antara menangis yang

berkualitas sehingga dianjurkan atau bahkan diperintahkan untuk

dilakukan dengan menangis yang tidak berkualitas atau bahkan

menyesatkan sehingga harus ditinggalkan.

3. Melalui penelitian ini diharapkan umat Islam dapat mengikuti dan

membiasakan menangis yang dianjurkan sebagaimana gambaran di atas

dengan melakukan penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs). Sebagai kelanjutan

dari poin ketiga di atas, diharapkan agar umat Islam yang bersih jiwanya

akan mampu memberikan manfaat dan kebaikan kepada orang lain

sehingga akan terwujud Islam sebagai rahmah li al-‘âlamîn.

E. Metodologi

Dalam membahas permasalahan menangis ini, penulis sepenuhnya

melakukan studi kepustakaan (library research) dengan sumber utama al-kutub

al-tis’ah, yaitu: Sahîh al-Bukhârî, Sahîh Muslim, Sunan al-Tirmidzî, Sunan Abî

Dâwûd, Sunan al-Nasâ’î, Sunan Ibn Mâjah, al-Muwatta Mâlik, Musnad Ahmad

bin Hanbal, dan Musnad al-Dârimî, serta beberapa kitab Zuhud dan Raqâ’iq.

Adapun langkah-langkah yang penulis lakukan adalah sebagai berikut:

33
1. Penulis akan mengumpulkan seluruh hadis yang yang menggunakan term

menangis, seperti: al-bukâ, dama’at ‘ainâh, fâdat ‘ainâh, dzarafa, ‘abara,

inhamala, dan anîn, serta derivasi dari kata-kata tersebut; dari penelusuran

penulis terhadap kitab-kitab di atas, penulis berhasil menemukan kurang

lebih 484 hadis yang terkait dengan menangis;

2. Langkah selanjutnya, penulis akan mengklasifikasikan Hadis-hadis

tersebut sesuai dengan temanya; Dan dari 484 Hadis yang ada, penulis

menemukan 173 Hadis yang menjadi pokok pembahasan, baik yang

berbentuk verbal (qaul) ataupun praktis (fi’il);

3. Khusus untuk Hadis-hadis menangis yang terkait langsung dengan

kepribadian Nabi Muhammad saw., penulis akan mengkajinya secara

khusus dan lebih mendalam, karena di sinilah inti pembahasan tesis ini;

4. Dan terakhir, penulis akan mengkorelasikan antara menangis dengan

kesalehan pribadi. Tentunya pada langkah ini, akan dipaparkan juga

beberapa kiat untuk menyucikan hati sebagai sebuah upaya untuk dapat

melakukan tangisan yang bermakna yang biasa dilakukan oleh Rasulullah

saw., para sahabat, dan orang-orang salih.

Dalam tesis ini penulis tidak memberikan penilaian kualitas setiap Hadis

yang dicantumkan. Jika yang dicantumkan adalah riwayat Imam al-Bukhârî dan

Imam Muslim, maka hadis itu telah dianggap sahih. Namun, jika bersumber dari

kitab lain, maka penulis hanya akan menyampaikan penilaian dari ulama, dan

itupun tidak semuanya.

Untuk mendapatkan pemahaman yang dapat dipertanggungjawabkan dari

Hadis-hadis yang terdapat dalam kitab-kitab di atas, penulis akan merujuk kepada

34
kitab-kitab syarh. Selain dari itu, ada sumber-sumber lain yang digunakan sebagai

referensi penunjang, terutama yang langsung terkait dengan pembahasan tesis ini,

seperti kitab-kitab tafsir, tasauf, dan sejarah.

F. Sistematika Pembahasan

Penulisan tesis ini dibagi menjadi lima bab yang semuanya berisi hal-hal

pentingyang berhubungan dengan menangis.

Bab pertama adalah Pendahuluan yang berisi tentang penjelasan umum

seputar tesis. Bab ini terdiri dari: Pokok Permasalahan, Pembatasan dan

Perumusan Masalah, Kajian Pustaka, Tujuan dan Kegunaan Penelitian,

Metodologi, dan Sistematika Pembahasan.

Bab kedua membahas menangis dalam pandangan Islam. Pada bab ini

akan dijelaskan pengertian menangis, macam-macam menangis, menangis dalam

perspektif Al-Quran, dan antara menangis dan tertawa.

Bab ketiga akan membahas menangis dalam konsep Hadis. Dalam

pembahasan ini penulis akan menjelaskan Berbagai tangisan yang pernah terjadi

pada diri Rasulullah saw., macam-macam tangisan dilihat dari sisi hukum, dan

keutamaan menangis.

Bab keempat berjudul menangis dengan kesalehan pribadi. Bab ini terdiri

dari pengertian dan karakterisitik kesalehan serta menyucikan hati sebagai upaya

membiasakan menangis.

Sedangkan bab kelima sebagai bab terakhir adalah penutup yang berisi

kesimpulan dari pembahasan tesis ini dan saran.

35
BAB II

MENANGIS DALAM PANDANGAN ISLAM

Pengertian Menangis

Dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia” disebutkan bahwa “tangis” atau

“menangis” diartikan sebagai ungkapan perasaan sedih (kecewa, menyesal, dan

lain-lain) dengan mencucurkan air mata dan mengeluarkan suara (tersedu-sedu,

menjerit-jerit, dan sebagainya).13

al-Syaikh al-Tabarsî (w. 546 H.) dalam kitab “Majma’ al-Bayân fî Tafsîr

al-Qur’ân” mendefinisikan menangis (al-bukâ) sebagi berikut:

‫ﻋﻠَﻰ ا ْﻟ َﺨ ﱢﺪ‬
َ ‫ع‬
ِ ‫ي اﻟ ﱡﺪ ُﻣ ْﻮ‬
ِ ‫ﻏ ﱟﻢ ﻓِﻰ ا ْﻟ َﻮ ْﺟ ِﻪ َﻣ َﻊ َﺟ ْﺮ‬
َ ‫ﻦ‬
ْ‫ﻋ‬
َ ‫ﺾ َﻳ ْﻈ َﻬ ُﺮ‬
ُ ‫ﺣَﺎ ٌل ُﺗ ْﻘ َﺒ‬
“Menangis (al-bukâ) adalah suatu kondisi kemurungan hati yang lahir atau
tampak dari kedukaan di wajah yang disertai dengan deraian air mata di atas pipi.”14
Pengertian menangis di atas meniscayakan adanya cucuran atau tetesan air

mata dari orang yang menangis. Hal ini berbeda dengan pengertian sedih atau

duka cita. Term sedih dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia” diartikan sebagai:

(1) susah hati; merasa sangat pilu di hati; (2) menimbulkan rasa susah (pilu, dan

sebagainya) dalam hati; duka.15 Sedangkan “duka cita” sendiri diartikan sebagai:

kesedihan (hati); kesusahan (hati).16

Dalam ungkapan lain, “menangis” (weep) diartikan sebagai “to sheed tears

as expression of emotion.” (Mencucurkan air mata sebagai ungkapan emosi). Atau

“to express grief or anguish for lament” (Ungkapan kesedihan atau penderitaan

karena meratap atau menyesal).


13
Tim Penyusun, Kamus Besar bahasa Indonesia, , (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Cet.II, h.
1139
14
al-Tabarsî, Majma’ al-Bayân fī Tafsîr al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1994), Juz 5, h. 90
15
Ibid, h. 889
16
Ibid, h. 245

36
Dari pengertian yang telah dipaparkan di atas dapat dipahami bahwa

ekspresi menangis terkadang diwujudkan oleh gejala-gejala lahiriah, seperti

cucuran air mata, isakan atau lengkingan suara yang keluar dari mulut, mata

berkaca-kaca, keluarnya ingus dari hidung, ataupun gerakan-gerakan tangan, kaki,

atau kepala yang tak beraturan dan tak bertujuan. Terkadang ekspresi menangis

terpendam dalam batin, yang tampak hanyalah kemurungan dan kelesuan

wajah.17

Menangis, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas adalah sesuatu yang

telah dipahami secara umum oleh masyarakat. Karena menangis adalah fenomena

keseharian yang acap kali disaksikan dalam realitas kehidupan.

Dalam litertur utama Islam, yaitu al-Qur’an dan Hadis, ditemukan

beberapa istilah yang digunakan untuk menunjuk kepada pengertian menangis ini.

Istilah-istilah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Fâdat al-‘ain/al-a’yun/al-’uyûn (bercucuran air mata) dan segala

derivasinya

Kata “fāda” pada asalnya dinisbahkan kepada kata “al-mâ” (air). Orang

akan mengatakan “fâda al-mâ” (Air melimpah) jika air itu banyak sehingga

mengalir sampai ke tepian lembah. Jika dikatakan “Afâdat al-‘ain al-dam’a

tufîduhu ifâdah” maka maknanya adalah: Mata mencucurkan air mata yang

banyak. Contoh kalimat yang lain adalah:

a). Afâda fulân dam’ah, yang artinya “Si Fulan mencucurkan air matanya.”

17
Abdul Mujib, Apa Arti Tangisan Anda, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), Cet.I,
h. 1

37
b). Fâd al-mâ wa al-matar wa al-khair idzâ katsura, yang artinya “Air,

hujan, dan kebaikan melimpah, jika banyak.”

Dalam sebuah Hadis disebutkan “yafîd al-mâl” yang artinya “Harta

melimpah”. Maksudnya adalah banyak (yaktsuru).18

Di dalam al-Qur’an, kata ini (fâda) ditemukan pada dua tempat dan

keduanya dalam bentuk fi’il mudâri’ (tafīdu) serta dinisbahkan kepada lafal

‘a’yun”. Kedua ayat tersebut adalah:

‫ﻦ اﻟ ﱠﺪ ْﻣ ِﻊ ِﻣﻤﱠﺎ‬
َ ‫ﺾ ِﻣ‬
ُ ‫ﻋ ُﻴ َﻨ ُﻬ ْﻢ َﺗﻔِﻴ‬
ْ ‫ل َﺗﺮَى َأ‬ ِ ‫ل ِإﻟَﻰ اﻟ ﱠﺮﺳُﻮ‬ َ ‫ﺳ ِﻤﻌُﻮا ﻣَﺎ ُأ ْﻧ ِﺰ‬ َ ‫َوِإذَا‬
‫ﻦ‬ َ ‫ن َر ﱠﺑﻨَﺎ ءَا َﻣﻨﱠﺎ ﻓَﺎ ْآ ُﺘ ْﺒﻨَﺎ َﻣ َﻊ اﻟﺸﱠﺎ ِهﺪِﻳ‬
َ ‫ﻖ َﻳﻘُﻮﻟُﻮ‬ ‫ﺤﱢ‬ َ ‫ﻦ ا ْﻟ‬
َ ‫ﻋ َﺮﻓُﻮا ِﻣ‬
َ
Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul
(Muhammad), kamu melihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan
kebenaran (al-Qur’an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka
sendiri); seraya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah
kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran al-Qur’an dan
kenabian Muhammad saw.) . (QS.al-Maidah/5:83)

‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َﺗ َﻮﱠﻟﻮْا‬
َ ‫ﺣ ِﻤُﻠ ُﻜ ْﻢ‬
ْ ‫ﺟ ُﺪ ﻣَﺎ َأ‬
ِ ‫ﻻ َأ‬ َ ‫ﺖ‬َ ‫ﺤ ِﻤَﻠ ُﻬ ْﻢ ُﻗ ْﻠ‬
ْ ‫ك ِﻟ َﺘ‬
َ ‫ﻦ ِإذَا ﻣَﺎ َأ َﺗ ْﻮ‬
َ ‫ﻋﻠَﻰ اﱠﻟﺬِﻳ‬َ ‫ﻻ‬ َ ‫َو‬
‫ن‬ َ ‫ﺠﺪُوا ﻣَﺎ ُﻳ ْﻨ ِﻔﻘُﻮ‬
ِ ‫ﻻ َﻳ‬ ‫ﺣ َﺰﻧًﺎ َأ ﱠ‬ َ ‫ﻦ اﻟ ﱠﺪ ْﻣ ِﻊ‬َ ‫ﺾ ِﻣ‬ ُ ‫ﻋ ُﻴ ُﻨ ُﻬ ْﻢ َﺗﻔِﻴ‬
ْ ‫َوَأ‬
dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datang
kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: "Aku
tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu", lalu mereka kembali,
sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka
tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan. (QS.al-Taubah/9:92)
Sedangkan dalam Hadis, contohnya adalah sebagai berikut:

‫ﺖ ِإَﻟ ْﻴ ِﻪ َو ُه َﻮ‬
ْ ‫ﺳَﻠ‬َ ‫ َأ ْر‬ρ ‫ﻲ‬ ‫ن ا ْﺑ َﻨ ًﺔ ﻟِﻠ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ‬‫ﻋ ْﻨ ُﻬﻤَﺎ َأ ﱠ‬
َ ‫ﷲ‬ ِ ‫ﻲا‬ َ‫ﺿ‬ ِ ‫ﻦ َز ْﻳ ٍﺪ َر‬ ِ ‫ﻦ ُأﺳَﺎ َﻣ َﺔ ْﺑ‬ ْ‫ﻋ‬ َ
‫ن ا ْﺑ َﻨﺘِﻲ َﻗ ْﺪ‬ ‫ﺐ َأ ﱠ‬ ُ ‫ﺴ‬ ِ‫ﺤ‬ ْ ‫ﻲ َﻧ‬ ‫ﺳ ْﻌ ٌﺪ َوُأ َﺑ ﱞ‬ َ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ َو‬ َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو‬ َ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﺻﻠﱠﻰ ا‬ َ ‫ﻲ‬ ‫َﻣ َﻊ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ‬
‫ﻋﻄَﻰ‬ ْ ‫ﺧ َﺬ َوﻣَﺎ َأ‬ َ ‫ن ِﻟﱠﻠ ِﻪ ﻣَﺎ َأ‬‫ل ِإ ﱠ‬ ُ ‫ﻼ َم َو َﻳﻘُﻮ‬ َ‫ﺴ‬ ‫ﻞ ِإَﻟ ْﻴﻬَﺎ اﻟ ﱠ‬ َ‫ﺳ‬ َ ‫ﺷ َﻬ ْﺪﻧَﺎ َﻓَﺄ ْر‬
ْ ‫ت ﻓَﺎ‬ ْ ‫ﻀ َﺮ‬ ِ ‫ﺣ‬ ُ
‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َﻓﻘَﺎ َم‬ َ ‫ﺴ ُﻢ‬ ِ ‫ﺖ ُﺗ ْﻘ‬ْ ‫ﺳَﻠ‬ َ ‫ﺼ ِﺒ ْﺮ َﻓَﺄ ْر‬ ْ ‫ﺐ َو ْﻟ َﺘ‬ ْ ‫ﺴ‬ ِ ‫ﺤ َﺘ‬
ْ ‫ﻋ ْﻨ َﺪ ُﻩ ُﻣﺴَﻤًّﻰ َﻓ ْﻠ َﺘ‬ ِ ‫ﻲ ٍء‬ ْ ‫ﺷ‬ َ ‫َو ُآﻞﱡ‬
‫ﺳﱠﻠ َﻢ‬ َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو‬َ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﺻﻠﱠﻰ ا‬ َ ‫ﻲ‬ ‫ﺠ ِﺮ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ‬ ْ‫ﺣ‬ َ ‫ﻲ ﻓِﻲ‬ ‫ﺼ ِﺒ ﱡ‬‫ َو ُﻗ ْﻤﻨَﺎ َﻓ ُﺮ ِﻓ َﻊ اﻟ ﱠ‬ρ ‫ﻲ‬ ‫اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ‬
‫ﷲ‬ِ ‫لا‬ َ ‫ل َﻟ ُﻪ ﺳَ ْﻌ ٌﺪ ﻣَﺎ َهﺬَا ﻳَﺎ َرﺳُﻮ‬ َ ‫ َﻓﻘَﺎ‬ρ ‫ﻲ‬ ‫ﻋ ْﻴﻨَﺎ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ‬
َ ‫ﺖ‬ ْ ‫ﺿ‬ َ ‫ﺴ ُﻪ َﺗ َﻘ ْﻌ َﻘ ُﻊ َﻓﻔَﺎ‬ ُ ‫َو َﻧ ْﻔ‬
‫ﺣ ُﻢ اﻟﻠﱠ ُﻪ‬ َ ‫ﻻ َﻳ ْﺮ‬ َ ‫ﻋﺒَﺎ ِد ِﻩ َو‬
ِ ‫ﻦ‬ ْ ‫ﻦ ﺷَﺎ َء ِﻣ‬ ْ ‫ب َﻣ‬ ِ ‫ﷲ ﻓِﻲ ُﻗﻠُﻮ‬ ُ ‫ﺿ َﻌﻬَﺎ ا‬ َ ‫ﺣ َﻤ ٌﺔ َو‬ ْ ‫ل َه ِﺬ ِﻩ َر‬ َ ‫ﻗَﺎ‬
‫ﺣﻤَﺎ َء‬ َ ‫ﻻ اﻟ ﱡﺮ‬ ‫ﻋﺒَﺎ ِد ِﻩ ِإ ﱠ‬
ِ ‫ﻦ‬ ْ ‫ِﻣ‬
18
Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1990), Cet. I, Juz 7, h. 210

38
Dari Usâmah bi Zaid r.a. (berkata): Sesungguhnya seorang anak
perempuan Nabi saw. mengirimkan pesan kepada Nabi saw.saat beliau
bersama Sa’ad dan Ubay bin ka’ab. (Isi pesannya) ‘Kami menduga bahwa
ajal anak saya telah tiba, maka saksikanlah kami.’ Lalu Rasulpun
mengirimkan salam kepadanya dan bersabda, “Sesungguhnya apa yang
diambil dan apa yang diberi adalah milik Allah. Segala sesuatu di sisi-Nya
telah ada ketentuannya, maka harapkanlah ridha Allah dan bersabarlah. Lalu
Nabi saw. berdiri dan anak kecil yang tengah sakit itu diletakkan di
pangkuan beliau. Tak berapa lama kemudian, tubuh beliau bergetar dan air
matapun bercucuran. Melihat hal ini, Sa’d bertanya, “Ya Rasulullah, apa
artinya ini?”19 Beliau menjawab, “Ini adalah (tanda) kasih sayang yang
disemayamkan oleh Allah ke dalam kalbu orang yang dikehendaki-Nya di
antara hamba-hamba-Nya. Allah tidak akan melimpahkan kasih sayang
kecuali kepada orang-orang yang menyayangi (sesama).”(H.R. al-Bukhârî)20
2. Dami’at al-‘ainân (Bercucuran air mata) dan segala derivasinya.

Term “al-dam’” ini sejak awal penggunaannya memang dinisbahkan

kepada kata “al-‘ainân”. al-Dam’u yang bentuk jamaknya (plural) adalah

“admu’” dan “dumû’” bermakna air mata (mâ al-‘ain) Sedangkan orang yang

mudah menangis atau mencucurkan air mata disebut “al-dami’/al-dammâ’/al-

damû’/al-damî’”. Imam Husein bin Zaid bin Ali ridwânullâh alaihim

mendapatkan gelar (laqab) “dzû al-dam’ah” (Pemilik tetesan air mata) karena

seringnya atau banyaknya tetesan air mata yang keluar dari kedua kelopak

matanya.21

Dalam al-Qur’an, kata “al-dam’u” ditemukan pada dua tempat, yaitu

dalam surat al-Mâidah ayat 83 dan surat al-Taubah ayat 92 sebagaimana yang

telah dicantumkan pada poin pertama (fâda). Pada kedua ayat tersebut, term

“al-dam’” digunakan dalam bentuk masdar, yaitu “al-dam’” dan dinisbahkan

kepada kata “tafîdu”. Dan menurut Imam al-Alûsî (w. 1270 H.), lafazh “min”

19
Pertanyaan Sa’d ini muncul karena beliau pernah mendengar Rasulullah melarang
menangisi orang yang akan atau telah meninggal dunia.
20
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 7, Kitâb al-Mardâ wa al-Tibb Bâb ‘Iyâdah al-Sibyân,
(Beirût: Dâr al-Fikr, 1986), h. 5
21
Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab, Jilid 8, hal.91

39
yang mendahului kata “al-dam’i” pada kedua ayat tersebut bermakna “li al-ajl

wa al-sabab” (sebab).22

Dalam literatur Hadis, term “ad-dam’” ditemukan dalam berbagai bentuk:

mâdi/past tense (dami’at), mudâri/present tense (tadma’ân), dan mashdar/noun

(al-dam’, dam’uh, dan sebagainya). Sebagai contoh, berikut ini akan

dicantumkan salah satu Hadis yang menggunakan kata tersebut:

‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو ُه َﻮ‬َ ‫ن َأ ْﻗ َﺮَأ‬ْ ‫ َأ‬ρ ‫ﷲ‬ ِ ‫لا‬ ُ ‫ﺳ ْﻮ‬


ُ ‫ﻲ َر‬ ْ ‫ﷲ َأ َﻣ َﺮ ِﻧ‬ ِ ‫ﻋ ْﺒ ُﺪ ا‬ َ ‫ل‬ َ ‫ل َﻗﺎ‬ َ ‫ﻋ ْﻠ َﻘ َﻤ َﺔ َﻗﺎ‬
َ ‫ﻦ‬ْ‫ﻋ‬ َ
‫ﻒ ِا َذا‬َ ‫ﺖ ) َﻓ َﻜ ْﻴ‬ ُ ‫ﻰ ِإذا َﺑَﻠ ْﻐ‬‫ﺣﺘ ﱠ‬َ ‫ﺴﺎ ِء‬
َ ‫ﺳ ْﻮ َر ِة اﻟ ﱢﻨ‬
ُ ‫ﻦ‬ ْ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ ِﻣ‬َ ‫ت‬ ُ ‫ َﻓ َﻘ َﺮ ْأ‬,‫ﻋَﻠﻰ ا ْﻟ ِﻤ ْﻨ َﺒ ِﺮ‬َ
‫ل‬
ُ ‫ﺳ ْﻮ‬ ُ ‫ﻲ َر‬ ْ ‫ﻏ َﻤ َﺰ ِﻧ‬
َ ( ‫ﺷ ِﻬ ْﻴ ًﺪا‬ َ ‫ﻋَﻠﻰ ه ُﺆ‬
َ ِ ‫ﻻء‬ َ ‫ﻚ‬ َ ‫ﺟ ْﺌ َﻨﺎ ِﺑ‬
ِ ‫ﺸ ِﻬ ْﻴ ٍﺪ َو‬
َ ‫ﻞ ُا ﱠﻣ ٍﺔ ِﺑ‬ ‫ﻦ ُآ ﱢ‬ ْ ‫ﺟ ْﺌ َﻨﺎ ِﻣ‬
ِ
‫ن‬
ِ ‫ﻋ ْﻴﻨَﺎ ُﻩ َﺗ ْﺪ َﻣﻌَﺎ‬
َ ‫ت ِإَﻟ ْﻴ ِﻪ َو‬
ُ ‫ﻈ ْﺮ‬َ ‫ َ َﻧ‬ρ ‫ﷲ‬ ِ ‫ا‬
Dari ‘Alqamah ia berkata: Abdullâh berkata: Aku diperintahkan oleh
Rasulullah saw. untuk membacakan (al-Qur’an) untuknya, dan ketika itu beliau
berada di atas mimbar. Maka, akupun membacakan untuknya dari surat An-
Nisa. Ketika sampai pada ayat yang berbunyi “ Maka bagaimanakah (halnya
orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-
tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas
mereka itu (sebagai umatmu). “, Rasulullah saw. memberikan isyarat kepadaku
dengan tangannya (agar aku menghentikan bacaanku sesaat). Tatkala aku
menoleh dan memperhatikannya, terlihatnya kedua matanya berlinang air mata.
(H.R. al-Tirmidzî).23

3. al-Bukâ

Dalam “Kamus kontemporer Arab-Indonesia” karya Attabik Ali dan

Ahmad Zuhdi Muhdlor serta “Kamus Al-Munawwir” karya Ahmad Warson

M., kata “al-bukâ” diartikan sebagai ratapan atau tangisan.24


Menurut al-Farrâ (w. 207 H.), kata ini dapat dibaca panjang (yumadd) dan
dapat pula dibaca pendek (yuqassar). Jika dibaca panjang (‫)ﺑﻜﺎء‬, maka yang
dimaksud adalah suara yang mengiri tangisan ( ‫اﻟﺼﻮت اﻟﺬي ﻳﻜﻮن ﻣﻊ‬
22
al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1414 H./1994), Jilid 10, h. 233
23
al-Tirmidzî Sunan al-Tirmidzî, Juz 4, Abwâb Tafsîr al-Qur’ân, no. hadis 3213,
(Indonesia: Maktabah Dahlân, tth.), h. 304
24
Attabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor , Kamus kontemporer Arab-Indonesia,
(Yogyakarta: Penerbit Multi Karya Grafika, 1998), Cet.V, h. 346; Ahmad Warson M, Kamus Al-
Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), Cet.XIV, h. 103

40
‫)اﻟﺒﻜﺎء‬. Sedangkan jika dibaca pendek (‫)ﺑﻜﻰ‬, maka yang dimaksud adalah
“air mata dan keluarnya air mata ( ‫)اﻟﺪﻣﻮع وﺧﺮوﺟﻬﺎ‬. 25
Abu Zaid pernah menyenandungkan sebuah sya’ir yang ditujukan kepada

Ka’ab bin Malik:

‫وﻣﺎ ﻳﻐﻨﻰ اﻟﺒﻜﺎء وﻻ اﻟﻌﻮﻳﻞ‬ ‫ﺑﻜﺖ ﻋﻴﻨﻲ وﺣﻖ ﻟﻬﺎ ﺑﻜﺎهﺎ‬


“Mataku menitikkan air mata, dan itu memang haknya. Akan tetapi,
tangisan dan ratapan itu tidak memberikan arti apa-apa.”

Al-Khansa juga pernah menyenandungkan sebuah sya’ir yang di dalamnya

digunakan kata “al-bukâ” yang dipanjangkan (yaitu ‫)اﻟﺒﻜﺎء‬. Sya’ir tersebut

berbunyi:
‫ﻓﻤﻦ ذاﻳﺪﻓﻊ اﻟﺨﻄﺐ اﻟﺠﻠﻴﻼ‬ ‫دﻓﻌﺖ ﺑﻚ اﻟﺨﻄﻮب وأﻧﺖ ﺣﻲ‬
‫رأﻳﺖ ﺑﻜﺎءك اﻟﺤﺴﻦ اﻟﺠﻤﻴﻼ‬ ‫إذا ﻗﺒﺢ اﻟﺒﻜﺎء ﻋﻠﻰ ﻗﺘﻴﻞ‬
Aku serahkan segala urusan kepadamu saat engkau masih hidup
(Setelah kematianmu) kepada siapakah segala urusan besar diserahkan?
Jika menangisi orang yang terbunuh dianggap buruk
Maka aku yakin bahwa menangisi (kematian)-mu adalah baik dan indah

Orang yang sering menangis disebut “bakiyyun” (‫ )ﺑﻜﻲ‬atau “bakkâ” (‫)ﺑﻜﺎ‬.26

Dari pengertian di atas, maka dapat dipahami bahwa menangis dalam

pengertian “al-bukâ” meniscayakan adanya tetesan atau cucuran air mata yang

keluar dari kedua kelopak mata. Untuk memperjelas hal ini, Syaikh Abu ‘Ali

al-Fadl bin al-Hasan al-Tabarsî (w. 548 H.) mendefiniskan “al-bukâ’

(menangis) sebagai berikut;

‫ﺨ ﱢﺪ‬
َ ‫ﻋﻠَﻰ ا ْﻟ‬
َ ‫ع‬
ِ ‫ي اﻟ ﱡﺪ ُﻣ ْﻮ‬
ِ ‫ﺟ ْﺮ‬
َ ‫ﺟ ِﻪ َﻣ َﻊ‬
ْ ‫ﻏ ﱟﻢ ﻓِﻰ ا ْﻟ َﻮ‬
َ ‫ﻦ‬
ْ‫ﻋ‬َ ‫ﻈ َﻬ ُﺮ‬
ْ ‫ﺾ َﻳ‬
ُ ‫ل ُﺗ ْﻘ َﺒ‬
ٌ ‫ﺣَﺎ‬
“Menangis (al-bukâ) adalah suatu kondisi kemurungan hati yang lahir atau
tampak dari kedukaan di wajah yang disertai dengan deraian air mata di atas
pipi.”27

25
Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab., Jilid 14, h. 82
26
Ibid, h. 83
27
al-Tabarsî, Majma’ al-Bayân fī Tafsîr al-Qur’ân, Juz 5 h. 90

41
Dalam nas-nas agama, nampaknya istilah inilah yang paling poluler dan

paling banyak digunakan. Di dalam al-Qur’an saja, kata “al-bukâ” dengan

segala bentuknya ditemukan dalam tujuh tempat, yaitu: QS.al-Taubah:82,

Yûsuf:16, al-Isrâ:109, Maryam:58, al-Najm:43 & 60, dan al-Dukhân:29.

Sebagai contoh, berikut ini akan dikutip dua ayat dari ketujuh ayat di atas:

‫ن‬
َ ‫ﺴﺒُﻮ‬
ِ ‫ﺟﺰَا ًء ِﺑﻤَﺎ آَﺎﻧُﻮا َﻳ ْﻜ‬
َ ‫ﻼ َو ْﻟ َﻴ ْﺒﻜُﻮا َآﺜِﻴﺮًا‬
ً ‫ﺤﻜُﻮا َﻗﻠِﻴ‬
َ‫ﻀ‬
ْ ‫َﻓ ْﻠ َﻴ‬
Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai
pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan. (QS.al-Taubah/9:82)

‫ﺣ َﻤ ْﻠﻨَﺎ َﻣ َﻊ‬
َ ‫ﻦ‬ ْ ‫ﻦ ُذرﱢﻳﱠﺔِ ءَا َد َم َو ِﻣ ﱠﻤ‬ ْ ‫ﻦ اﻟ ﱠﻨﺒِﻴﱢﻴﻦَ ِﻣ‬
َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ْﻢ ِﻣ‬
َ ‫ﷲ‬
ِ ‫ﻦ َأ ْﻧ َﻌ َﻢ ا‬
َ ‫ﻚ اﱠﻟﺬِﻳ‬ َ ‫أُوَﻟ ِﺌ‬
‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ْﻢ‬
َ ‫ﺟﺘَﺒَ ْﻴﻨَﺎ ِإذَا ُﺗ ْﺘﻠَﻰ‬
ْ ‫ﻦ َه َﺪ ْﻳﻨَﺎ وَا‬ ْ ‫ﻞ َو ِﻣ ﱠﻤ‬
َ ‫ﺳﺮَاﺋِﻴ‬
ْ ‫ﻦ ُذرﱢﻳﱠﺔِ ِإ ْﺑﺮَاهِﻴ َﻢ َوِإ‬ ْ ‫ح َو ِﻣ‬ ٍ ‫ﻧُﻮ‬
‫و ُﺑﻜِﻴًّﺎ‬َ ‫ﺠﺪًا‬ ‫ﺳﱠ‬ ُ ‫ﺧﺮﱡوا‬
َ ‫ﻦ‬ ِ ‫ﺣ َﻤ‬ ْ ‫ت اﻟ ﱠﺮ‬ ُ ‫ءَاﻳَﺎ‬
Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu
para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat
bersama Nûh, dan dari keturunan Ibrâhîm dan Israel, dan dari orang-orang
yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-
ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur
dengan bersujud dan menangis. (QS.Maryam/19:58)

Sedangkan dalam Hadis, penggunaan lafal “al-bukâ” dengan segala

derivasinya untuk makna “menangis” terbilang yang paling banyak. Berikut

ini akan dicantumkan beberapa hadis yang menggunakan kata tersebut:

‫ﷲ‬
ِ ‫ﺸ َﻴ ِﺔ ا‬
ْ‫ﺧ‬َ ‫ﻦ‬ ْ ‫ﺣ ٌﺪ َﺑﻜَﻰ ِﻣ‬َ ‫ﺞ اﻟﻨﱠﺎ َر َأ‬ ُ ‫ﻻ َﻳِﻠ‬
َ ‫ل‬ َ ‫ ﻗَﺎ‬ρ ‫ﻲ‬ ‫ﻦ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ‬ْ‫ﻋ‬ َ ‫ﻦ َأﺑِﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة‬ ْ‫ﻋ‬ َ
‫ﷲ‬
ِ ‫ﻞا‬ ِ ‫ﺳﺒِﻴ‬َ ‫ﻏﺒَﺎ ٌر ﻓِﻲ‬ ُ ‫ﺠ َﺘ ِﻤ ُﻊ‬ْ ‫ﻻ َﻳ‬
َ ‫ع َو‬ ِ ‫ﻀ ْﺮ‬
‫ﻦ ﻓِﻲ اﻟ ﱠ‬ ُ ‫ﺣﺘﱠﻰ َﻳﻌُﻮ َد اﻟﱠﻠ َﺒ‬ َ ‫ﻞ‬ ‫ﺟﱠ‬
َ ‫ﻋ ﱠﺰ َو‬َ
‫ئ ﻓِﻲ‬
ُ ‫ﻦ ا ْﻟ ُﻤ ْﻘ ِﺮ‬
ِ ‫ﺣ َﻤ‬
ْ ‫ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟ ﱠﺮ‬
َ ‫ل َأﺑُﻮ‬َ ‫ئ َأ َﺑﺪًا َوﻗَﺎ‬
ٍ ‫ي ا ْﻣ ِﺮ‬
ْ ‫ﺨ َﺮ‬ ِ ‫ﺟ َﻬ ﱠﻨ َﻢ ﻓِﻲ َﻣ ْﻨ‬ َ ‫ن‬ُ ‫َو ُدﺧَﺎ‬
‫ﺴِﻠ ٍﻢ َأ َﺑﺪًا‬
ْ ‫ي ُﻣ‬
ْ ‫ﺨ َﺮ‬
ِ ‫َﻣ ْﻨ‬
Dari Abû Hurairah dari Nabi saw. beliau bersabda, “Tidak akan masuk ke
dalam neraka seseorang yang menangis karena takut (akan murka) Allah
sehingga susu perahan dapat kembali ke ambing/mamaenya. Dan (juga) tidak
akan berhimpun debu fi sabilillah dan asap neraka jahanam pada lubang
hidung seseorang selama-lamanya. Abû Abdirrahmân al-Muqri (dalam

42
riwayat lain) berkata: pada lubang hidung seorang muslim selama-lamanya.”
(H.R. Ahmad)28

‫ل‬
ُ ‫ي َﻳ ُﻘ ْﻮ‬‫ﺖ اﻟ ﱡﺰ ْه ِﺮ ﱠ‬ ُ ‫ﺳ ِﻤ ْﻌ‬
َ ‫ل‬ َ ‫ﻋ ْﺒ ِﺪ ا ْﻟ َﻌ ِﺰ ْﻳ ِﺰ ﻗَﺎ‬
َ ‫ﺧ ْﻮ‬ ُ ‫ﻲ َروَا ٍد َأ‬ ْ ‫ﻦ َأ ِﺑ‬
ِ ‫ن ْﺑ‬ َ ‫ﻋ ْﺜﻤَﺎ‬
ُ ‫ﻦ‬ ْ‫ﻋ‬ َ
‫ل‬
َ ‫ﻚ َﻓﻘَﺎ‬ َ ‫ﺖ َﻟ ُﻪ ﻣَﺎ ُﻳ ْﺒ ِﻜ ْﻴ‬
ُ ‫ﻲ َﻓ ُﻘ ْﻠ‬
ْ ‫ﻖ َو ُه َﻮ َﻳ ْﺒ ِﻜ‬ َ‫ﺸ‬ ِ ‫ﻚ ِﺑ َﺪ ْﻣ‬ٍ ‫ﻦ ﻣَﺎِﻟ‬ ِ ‫ﺲ ا ْﺑ‬
ِ ‫ﻋﻠَﻰ َأ َﻧ‬ َ ‫ﺖ‬ ُ ‫ﺧ ْﻠ‬
َ ‫َد‬
‫ﺖ‬
ْ ‫ﺿ ﱢﻴ َﻌ‬ُ ‫ﻼ ُة َﻗ ْﺪ‬ َ ‫ﻼ َة َو َه ِﺬ ِﻩ اﻟﺼﱠ‬ َ‫ﺼ‬ ‫ﻻ َه ِﺬ ِﻩ اﻟ ﱠ‬ ‫ﺖ ِإ ﱠ‬
ُ ‫ﺷ ْﻴًﺄ ِﻣﻤﱠﺎ َأ ْد َر ْآ‬
َ ‫ف‬ُ ‫ﻋ ِﺮ‬ ْ ‫ﻻَأ‬
َ
Dari ‘Usmân bin Abî Rawâd, saudara Abdul ‘Azîz, ia berkata: Saya
mendengar al-Zuhrî berkata: Saya datang kepada Anas bin malik di
Damaskus yang kebetulan ketika itu ia sedang menangis. Akupun bertanya
kepadanya: “Apa yang menyebabkan engkau menangis?” Ia menjawab, “Saya
tidak mengetahui lagi amal yang kudapati (di masa Nabi saw. Yang masih
diindahkan orang) selain salat. Itupun sudah disia-siakan orang .”(H.R. al-
Bukhârî) 29
4. al-Dzarf
Dalam kamus “lisân al-‘Arab”, al-Munjid, “Kamus kontemporer Arab-

Indonesia” karya Attabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor serta “Kamus Al-

Munawwir” karya Ahmad Warson M., kata al-dzarf bermakna “sabb al-

dam’” (mengalirkan atau meneteskan air mata). Dzarafa semakna dengan

kata “sâla” (mengalir). Dzarafat al-‘ain al-dam’ bermakna “Kelopak

matanya mengalirkan atau meneteskan air mata.”30

Dalam “Kamus Ilyas al-‘Ashri” disebutkan bahwa “dzarafat al-‘ain

dam’aha” bermakna “to shed tears: to water” yang artinya mencucurkan atau

meneteskan air mata.31

Dalam sebuah Hadis dari al-‘Irbâd ia berkata: “Rasulullah saw.

menyampaikan nasehat yang sangat berkesan kepada kami (mau’izah

28
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, (Beirût: Dâr al-Fikr, t.t.), Jilid 2, h. 505
29
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Kitâb Mawâqît al-Salâh Bâb Tadyî’ al-Salâh ‘an Waqtihâ,
Juz 1, h. 134
30
Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab., Juz 9, .h. 109; Lous Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-
A’lâm, (Beirût: Dâr al-Masyriq, 2002), Cet.XXXIX, h. 235; Ahmad Warson M., Kamus Al-
Munawwir, h. 445; Attabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus kontemporer Arab-Indonesia., h.
931
31
Ilyas Anton Ilyas dan Edwar Ilyas, Qamus Ilyas al-‘Ashri: ‘Arabi-Injilizi, (Beirut: Dar al-
Habl, 1972), h. 231

43
bâlighah) sehingga membuat yang mendengarnya mencucurkan air mata

(dzarafat minhâ al-‘uyûn).”32

Dalam al-Qur’an, kata ini tidak ditemukan penggunaannya. Sedangkan

dalam hadis adalah sebagai berikut:

‫ﺖ َو ُه َﻮ َﻳ ْﺒﻜِﻲ‬
ٌ ‫ن َو ُه َﻮ ﻣَ ﱢﻴ‬
ٍ ‫ﻈﻌُﻮ‬
ْ ‫ﻦ َﻣ‬
َ ‫ن ْﺑ‬
َ ‫ﻋ ْﺜﻤَﺎ‬ َ ‫ َﻗ ﱠﺒ‬ρ ‫ﻲ‬
ُ ‫ﻞ‬ ‫ن اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱠ‬
‫ﺸ َﺔ َأ ﱠ‬ َ ‫ﻦ ﻋَﺎ ِﺋ‬ ْ‫ﻋ‬ َ
33
‫ن‬
ِ ‫ﻋ ْﻴﻨَﺎ ُﻩ َﺗ ْﺬ ِرﻓَﺎ‬
َ ‫ل‬ َ ‫َأ ْو ﻗَﺎ‬
Dari ‘Aisyah (ia berkata): Sesungguhnya Nabi saw. mencium ‘Utsmân bin
Maz’ûn ketika ia telah menjadi mayat sambil menangis. (atau: kedua
matanya meneteskan air mata). (H.R. al-Tirmidzî dan Abû Dâwûd)

5. ‘Abrah (air mata)34

Kata “’abara” memiliki beberapa arti, yaitu:

a. Menta’birkan atau menafsirkan. Sebagai contoh adalah yang terdapat

dalam surat Yûsuf ayat 43 berikut ini:

‫ﺳ ْﺒ َﻊ‬
َ ‫ف َو‬
ٌ ‫ن ﻳَ ْﺄ ُآُﻠ ُﻬﻦﱠ ﺳَ ْﺒ ٌﻊ ﻋِﺠَﺎ‬
ٍ ‫ﺳﻤَﺎ‬
ِ ‫ت‬ ٍ ‫ﺳ ْﺒ َﻊ َﺑ َﻘﺮَا‬
َ ‫ﻚ ِإﻧﱢﻲ َأرَى‬ ُ ‫ل ا ْﻟ َﻤِﻠ‬
َ ‫َوﻗَﺎ‬
‫ن‬ْ ‫ي ِإ‬ َ ‫ﻸ َأ ْﻓﺘُﻮﻧِﻲ ﻓِﻲ ُر ْؤﻳَﺎ‬ ُ ‫ت ﻳَﺎَأ ﱡﻳﻬَﺎ ا ْﻟ َﻤ‬
ٍ ‫ﺧ َﺮ ﻳَﺎ ِﺑﺴَﺎ‬
َ ‫ﻀ ٍﺮ َوُأ‬
ْ ‫ﺧ‬ ُ ‫ت‬ ٍ ‫ﻼ‬ َ ‫ﺳ ْﻨ ُﺒ‬ ُ
َ‫ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ ﻟِﻠ ﱡﺮ ْؤﻳَﺎ ﺗَ ْﻌ ُﺒﺮُون‬
Raja berkata (kepada orang-orang terkemuka dari kaumnya):
"Sesungguhnya aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-
gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh
bulir (gandum) yang hijau dan tujuh bulir lainnya yang kering." Hai orang-
orang yang terkemuka: "Terangkanlah kepadaku tentang takbir mimpiku
itu jika kamu dapat menakbirkan mimpi."(QS.Yûsuf/12:43)

32
Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab, Juz 9, .h. 109
33
al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 2, Abwâb al-Janâ’iz Bâb Mâ Jâ fî Taqbîl al-Mayyit no.
hadis 994 h. 229; Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 3, Kitâb al-Janâ’iz Bab fî Taqbîl al-Mayyit
(Jakarta: Dâr al-Hikmah, tth.), h. 201; Menurut Imam al-Tirmidzî, kualitas hadis ini adalah hasan
sahih.
34
Ibid, .h. 529-533; Ahmad Warson M., Kamus Al-Munawwir, hal. 887-889; Attabik Ali
dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, h. 104, 1268

44
Orang yang menafsirkan mimpi disebut “’âbir” yaitu orang yang

mencermati sesuatu, karena ia mencermati dua sisi mimpi, lalu ia

memikirkan ujung-ujungnya, ia cermati segala yang terjadi dalam mimpi,

dari awal hingga akhir. Ini semua diambil dari kata “al-‘ibr” yang artinya

tepi atau sisi sungai

b. ‘Abara bermakna marra wa fâta yang artinya berlalu atau lewat. Oleh

karena itu orang yang melewati suatu jalan disebut “âbir sabîl”. Dalam

al-Qur’an disebutkan:

‫ﺣﺘﱠﻰ‬ َ ‫ﺳﻜَﺎرَى‬ ُ ‫ﻼ َة َوَأ ْﻧ ُﺘ ْﻢ‬ َ‫ﺼ‬ ‫ﻻ َﺗ ْﻘ َﺮﺑُﻮا اﻟ ﱠ‬ َ ‫ﻦ ءَاﻣَﻨُﻮا‬ َ ‫ﻳَﺎَأ ﱡﻳﻬَﺎ اﱠﻟﺬِﻳ‬
‫ﺴﻠُﻮا‬ ِ ‫ﺣﺘﱠﻰ َﺗ ْﻐ َﺘ‬ َ ٍ‫ﻻ ﻋَﺎ ِﺑﺮِي ﺳَﺒِﻴﻞ‬ ‫ﺟ ُﻨﺒًﺎ ِإ ﱠ‬ُ ‫ﻻ‬ َ ‫ن َو‬ َ ‫َﺗ ْﻌَﻠﻤُﻮا ﻣَﺎ َﺗﻘُﻮﻟُﻮ‬
‫ﻂ‬
ِ ‫ﻦ ا ْﻟﻐَﺎ ِﺋ‬ َ ‫ﺣ ٌﺪ ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ ِﻣ‬
َ ‫ﺳ َﻔ ٍﺮ َأ ْو ﺟَﺎ َء َأ‬
َ ‫ﻋﻠَﻰ‬ َ ‫ن ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ َﻣ ْﺮﺿَﻰ َأ ْو‬ ْ ‫َوِإ‬
‫ﺻﻌِﻴﺪًا ﻃَﻴﱢﺒًﺎ‬ َ ‫ﺠﺪُوا ﻣَﺎ ًء َﻓ َﺘ َﻴ ﱠﻤﻤُﻮا‬ ِ ‫ﺴ ُﺘ ُﻢ اﻟ ﱢﻨﺴَﺎ َء َﻓَﻠ ْﻢ َﺗ‬ ْ ‫ﻻ َﻣ‬
َ ‫َأ ْو‬
‫ﻏﻔُﻮرًا‬ َ ‫ﻋﻔُﻮًّا‬ َ ‫ن‬ َ ‫ن اﷲ آَﺎ‬ ‫ﺴﺤُﻮا ِﺑ ُﻮﺟُﻮ ِه ُﻜ ْﻢ َوَأ ْﻳﺪِﻳ ُﻜ ْﻢ ِإ ﱠ‬ َ ‫ﻓَﺎ ْﻣ‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu
dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan,
(jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub,
terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit
atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu
telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan
tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.
(Q.S.al-Nisâ/4:43)
c. ‘Abara bermakna tadabbara (merenungi /mengkaji).jika dikatakan

“’abaral kitâb”, maka maknanya adalah : ia merenungi isi kandungan

kitab itu tanpa mengeraskan bacaannya.

d. ‘Abara bermakna wazana (menimbang) contoh:

‫ﻋﺒﺮ اﻟﻤﺘﺎع واﻟﺪراهﻢ‬


Artinya: Ia menimbang perhiasan dan dirham

45
e. Jika kata ‘abara ini berkembang menjadi i’tabara minh ( ‫إﻋﺘﺒﺮ‬
‫)ﻣﻨﻪ‬, maka maknanya adalah ta’ajjaba (takjub/heran)
f. I’tabara ( ‫) إﻋﺘﺒﺮ‬ dapat pula diartikan mengambil pelajaran. Ibrah

artinya pelajaran. Dalam al-Qur’an disebutkan:

‫ﺼﺎ ِر‬
َ ‫ﻻ ْﺑ‬
َ ‫ﻋ َﺘ ِﺒ ُﺮ ْوا َﻳﺎ ُاوِﻟﻲ ْا‬
ْ ‫… َﻓﺎ‬
…Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-
orang yang mempunyai pandangan.(Q.S. Al-Hasyr/58:2)

g. al-‘Abûr = anak kambing

h. al-‘Abîr = campuran minyak wangi yang dipadukan dengan za’faran.

Adapula yang menyatakan bahwa yang dimaksud al-‘abir adalah

za’faran.

i. ‘Abara ( ‫ )ﻋﺒﺮ‬dan ista’bara( ‫ )إﺳﺘﻌﺒﺮ‬bermakna “bakâ” yang artinya


“menangis’. al-‘Abrah bermakna “al-dam’ah” yang artinya air mata.

Ada pula yang mengartikan al-‘abrah dengan:

1) Bercucuran air mata tanpa mendengar suara tangisan.

2) Air mata sebelum bercucuran.

3) Gejolak (taraddud) tangisan di dalam dada

4) Kesedihan tanpa tangisan

Jama’ ‘abrah adalah ‘abarât atau ‘ibar. Dari sekian arti di atas, makna yang

paling sahih adalah yang pertama (al-dam’ah). Jika dikatakan “’abarat ‘ainuh

was ta’barat” (‫واﺳﺘﻌﺒﺮت‬ ‫)ﻋﺒﺮت ﻋﻴﻨﻪ‬ maka maknanya adalah ‫دﻣﻌﺖ‬


atau ‫ﺟﺮت ﻋﻴﻨﻪ‬ yang artinya bercucuran air matanya. Orang yang

bercucuran air matanya disebut “al-‘âbir” ( ‫)اﻟﻌﺎﺑﺮ‬

46
j. Kata “al-‘ubr” memiliki beberapa makna berikut ini:

1) Perempuan yang kehilangan anaknya

2) Menangis karena sedih

3) Yang banyak

4) Kelompok orang

5) Awan yang berjalan cepat

6) Yang amat kuat

Dalam al-Qur’an tidak ditemukan penggunakan “’abrah” yang bermakna

menangis atau mencucurkan air mata. Sedangkan dalam Hadis di antaranya

adalah sebagai berikut:

‫ﺷ َﻔ َﺘ ْﻴ ِﻪ‬
َ ‫ﺿ َﻊ‬
َ ‫ﺠ َﺮ ُﺛﻢﱠ َو‬ َ ‫ اﻟ‬ρ ‫ﷲ‬
َ‫ﺤ‬ ِ ‫لا‬ ُ ‫ﺳ ْﻮ‬
ُ ‫ﻞ َر‬ َ ‫ﺳ َﺘ ْﻘ َﺒ‬
ْ ‫ل ِإ‬
َ ‫ﻋ َﻤ َﺮ ﻗَﺎ‬
ُ ‫ﻦ‬ ِ ‫ﻦ ا ْﺑ‬ ِ‫ﻋ‬ َ
‫ﻲ‬ْ ‫ب َﻳ ْﺒ ِﻜ‬ ِ ‫ﺨﻄﱠﺎ‬ َ ‫ﻦ ا ْﻟ‬
ِ ‫ﺖ َﻓِﺈذَا ُه َﻮ ِﺑ ُﻌ َﻤ َﺮ ْﺑ‬َ ‫ﻼ ُﺛﻢﱠ ا ْﻟ َﺘ َﻔ‬ ً ‫ﻃ ِﻮ ْﻳ‬
َ ‫ﻲ‬ ْ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َﻳ ْﺒ ِﻜ‬
َ
35
‫ت‬
ُ ‫ﺐ ا ْﻟ َﻌ َﺒﺮَا‬
ُ ‫ﺴ َﻜ‬ ْ ‫ﻋ َﻤ ُﺮ ه ُﻬﻨَﺎ ُﺗ‬
ُ ‫ل ﻳَﺎ‬ َ ‫َﻓﻘَﺎ‬
Dari Ibn ‘Umar r.a. ia berkata: Rasulullah saw. menghadap hajar (aswad)
lalu beliau meletakkan kedua bibirnya di atas batu tersebut sambil menangis
cukup lama. Kemudian beliau berpaling dan tiba-tiba saja ada ‘Umar bin
Khattab yang juga menangis. Lalu beliau bersabda: “Ya Umar, di sinilah air
mata akan banyak bertetesan.” (H.R. al-Bukhârî dan Ibn Mâjah)
6. Anîn (rintihan atau tangisan)

Anîn berasal dari kata “anna-ya’innu-anînan” yang artinya merintih,

mengerang, atau mengaduh. Jika dikatakan “anna al-rajul min al-waja’i” maka

artinya adalah “Seseorang merintih atau mengerang karena sakit yang

dideritanya.” 36 Orang yang banyak merintih disebut “annaan, unaan, unanah”.

35
Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Manâsik Bâb Istilâm al-Hajar no. Hadis 2945
(Indonesia: Maktabah Dahlân, tth.), h. 982; Lihat pula Hadis yang menggunakan term ‘abrah pada: al-
Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 6, Kitâb Tafsîr al-Qur’ân Bâb Inna al-ladzîn Yuhibbûna an Tasyî’a al-
Fâhisyah h. 11-13;
36
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, h. 45; Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab.,
Juz 13, h. 28

47
Di dalam al-Qur’an tidak ditemukan satupun ayat yang menggunakan term

ini. Sedangkan dalam Hadis adalah sebagai berikut:

‫ﻻ ْﻧﺼَﺎ ِر‬ َ ‫ﻦ ْا‬ َ ‫ن ا ْﻣ َﺮ َء ًة ِﻣ‬ ‫ﻋ ْﻨ ُﻬﻤَﺎ َأ ﱠ‬ َ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﻲا‬ َ‫ﺿ‬ ِ ‫ﷲ َر‬ ِ ‫ﻋ ْﺒ ِﺪ ا‬


َ ‫ﻦ‬ ِ ‫ﻦ ﺟَﺎ ِﺑ ِﺮ ْﺑ‬ ْ‫ﻋ‬ َ
‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ‬
َ ‫ﻚ ﺷَ ْﻴﺌًﺎ َﺗ ْﻘ ُﻌ ُﺪ‬ َ ‫ﻞ َﻟ‬ ُ ‫ﺟ َﻌ‬
ْ ‫ﻻ َأ‬ َ ‫ﷲ َأ‬ ِ ‫لا‬ َ ‫ﺳ ْﻮ‬ُ ‫ ﻳَﺎ َر‬ρ ‫ﷲ‬ ِ ‫لا‬ ِ ‫ﺳ ْﻮ‬
ُ ‫ﺖ ِﻟ َﺮ‬ ْ ‫ﻗَﺎَﻟ‬
‫ﺻ ِﻨ َﻊ‬ ُ ‫ي‬ ْ ‫ﺖ َﻟ ُﻪ ا ْﻟ ِﻤ ْﻨ َﺒ َﺮ اﱠﻟ ِﺬ‬ْ ‫ﺖ َﻓ َﻌ ِﻤَﻠ‬ ِ ‫ﺷ ْﺌ‬ِ ‫ن‬ ْ ‫ل ِإ‬َ ‫ﻼﻣًﺎ َﻧﺠﱠﺎرًا ﻗَﺎ‬ َ‫ﻏ‬ ُ ‫ﻲ‬ ْ ‫ن ِﻟ‬ ‫َﻓِﺈ ﱠ‬
‫ﻖ‬
‫ﺸﱠ‬ َ ‫ن َﺗ ْﻨ‬ْ ‫ت َأ‬ ْ ‫ﺣﺘﱠﻰ آَﺎ َد‬ َ ‫ﺐ ﻋِ ْﻨﺪَهَﺎ‬ ُ ‫ﻄ‬ ُ‫ﺨ‬ ْ ‫ن َﻳ‬َ ‫ﻲ آَﺎ‬ ْ ‫ﺨَﻠ ُﺔ اﱠﻟ ِﺘ‬
ْ ‫ﺖ اﻟﻨﱠ‬ِ ‫ﺣ‬ َ ‫َﻓﺼَﺎ‬
‫ﻲ‬
‫ﺼ ِﺒ ﱢ‬ ‫ﻦ اﻟ ﱠ‬ َ ‫ﺖ َﺗ ِﺌﻦﱡ َأ ِﻧ ْﻴ‬ ْ ‫ﺠ َﻌَﻠ‬ َ ‫ﻀ ﱠﻤﻬَﺎ ِإَﻟ ْﻴ ِﻪ َﻓ‬
َ ‫ﺧ َﺬهَﺎ َﻓ‬َ ‫ ﺣَﺘﱠﻰ َأ‬ρ ‫ﻲ‬ ‫ل اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ‬ َ ‫َﻓ َﻨ َﺰ‬
‫ﻦ‬
َ ‫ﺴ َﻤ ُﻊ ِﻣ‬ ْ ‫ﺖ َﺗ‬ ْ ‫ﺖ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﺎ آَﺎ َﻧ‬ ْ ‫ل َﺑ َﻜ‬ َ ‫ت ﻗَﺎ‬ْ ‫ﺳ َﺘ َﻘ ﱠﺮ‬
ْ ‫ﺣﺘﱠﻰ ا‬ َ ‫ﺖ‬ ُ ‫ﺴﻜﱠ‬ َ ‫ي ُﻳ‬ ْ ‫اﱠﻟ ِﺬ‬
37
‫اﻟ ﱢﺬ ْآ ِﺮ‬
Dari Jâbir bin ‘Abdillâh r.a. ia berkata: Seorang wanita Ansar bertanya
kepada Rasulullah saw. : Ya Rasulullah, bolehkan saya buatkan untuk Tuan
sebuah bangku tempat duduk Tuan? Karena sessungguhnya saya mempunyai
anak muda tukang kayu.” Nabi menjawab: “Kalau anda mau, silakan!” Wanita
itu berkata: “Maka saya buatkan sebuah mimbar untuk beliau. Pada hari
Jumat Nabi duduk di mimbar itu. Pohon kurma yang berada di samping beliau
berkhutbah itu berteriak sehingga hamper belah. Nabi saw. turun, lalu beliau
pegang pohon kurma itu dan mendekapnya. Pohon kurma itupun menangis
seperti tangisan seorang anak kecil yang didiamkan (ibunya). (Beliau
mendekapnya) sampai pohon kurma itu tenang. Nabi bersabda: “Ia menangis
seperti itu karena mendengar zikir (pelajaran yang disampaikan Rasul).” (H.R.
al-Bukhârî)

7. Inhamalat al-‘ain

Kata “inhamala” jika dinisbahkan kepada kata “al-‘ain” maka maknanya

adalah “menangis”. Sehingga dalam “Kamus Al-Munawwir” dan “Kamus

Kontemporer Arab-Indonesia”, kata “inhamalat ‘ainuh” bermakna bercucuran

air matanya.38

37
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî., Juz 3, Kitâb al-Buyû’ Bâb al-Najjâr, h.14; Lihat juga
Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, Juz 3, h. 300
38
Ahmad Warson M., Kamus Al-Munawwir, h. 1518; Attabik Ali dan Ahmad Zuhdi
Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, h. 268

48
Di dalam al-Qur’an, tidak ditemukan satupun ayat yang menggunakan kata

ini. Sedangkan dalam Hadis, ditemukan beberapa contoh, di antaranya yang

diriwayatkan oleh Imam Abû Dâwûd dalam Kitab al-‘Ilm berikut ini:

‫ﻲ‬
‫ﻋَﻠ ﱠ‬َ ‫ ِإ ْﻗ َﺮ ْأ‬ρ ‫ﺴ ُﻌ ْﻮ ٍد ﻗﺎل ﻗﺎل ﻟﻲ رﺳﻮل اﷲ‬ ْ ‫ﻦ َﻣ‬ ِ ‫ﷲ ْﺑ‬ِ ‫ﻋ ْﺒ ِﺪ ا‬َ ِ‫ﻦ‬ ْ‫ﻋ‬ َ
‫ﺣﺐﱡ‬ ِ ‫ﻲ ُا‬
ْ ‫ل ِإ ﱢﻧ‬َ ‫ﻚ ُا ْﻧ ِﺰلَ؟ ﻗَﺎ‬
َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ‬
َ ‫ﻚ َو‬
َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ‬
َ ‫ل ﻗﻠﺖ َا ْﻗ َﺮُأ‬ َ ‫ﺳﻮرة اﻟﻨﺴﺎء ﻗَﺎ‬
‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ ﺣﺘﻰ اﻧﺘﻬﻴﺖ ِإﻟَﻰ َﻗ ْﻮِﻟ ِﻪ‬ َ ‫ل َﻓ َﻘﺮَأت‬ َ ‫ي ﻗَﺎ‬
ْ ‫ﻏ ْﻴ ِﺮ‬
َ ‫ﻦ‬ ْ ‫ﺳ َﻤ َﻌ ُﻪ ِﻣ‬
ْ ‫ن َا‬ْ ‫َا‬
‫ﺸ ِﻬ ْﻴ ٍﺪ( اﻻﻳﺔ ﻓَﺮﻓﻌﺖ رأﺳﻲ ﻓﺈذا‬ َ ‫ﻞ ُا ﱠﻣ ٍﺔ ِﺑ‬
‫ﻦ ُآ ﱢ‬ْ ‫ﺟ ْﺌ َﻨﺎ ِﻣ‬
ِ ‫ﻒ ِا َذا‬َ ‫) َﻓ َﻜ ْﻴ‬
39
‫ﻋﻴﻨﺎﻩ ﺗﻬﻤﻼن‬
Dari ‘Abdullâh bin Mas’ûd r.a. ia berkata: Rasulullah saw. berkata kepadaku:
‘Bacakanlah untukku surat al-Nisâ!’ Ibn Mas’ûd berkata: Aku
bertanya:’Apakah aku akan membacakannya untukmu, sedangkan ia
diturunkan kepadamu?‘ Beliau menjawab: ‘Sesungguhnya aku suka
mendengarnya dari orang lain.‘ Ibn Mas’ûd berkata: Akupun membacakannya
sehingga ketika sampai pada ayat “(Maka bagaimanakah {halnya orang-orang
kafir nanti}, apabila kami mendatangkan seorang saksi {Rasul} dari tiap-tiap
umat”) – QS. al-Nisâ:41 Kuangkat kepalaku. Tiba-tiba (kulihat) kedua mata
beliau meneteskan air mata.” (H.R. Abû Dâwûd)

B. Macam-macam Menangis

Di dalam al-Qur’an, Allah menyatakan:

‫ﻖ‬
‫ﺤﱡ‬َ ‫ﻦ َﻟ ُﻬ ْﻢ َأﻧﱠ ُﻪ ا ْﻟ‬
َ ‫ﺣﺘﱠﻰ َﻳ َﺘ َﺒ ﱠﻴ‬
َ ‫ﺴ ِﻬ ْﻢ‬
ِ ‫ق َوﻓِﻲ َأ ْﻧ ُﻔ‬
ِ ‫ﺳ ُﻨﺮِﻳ ِﻬ ْﻢ ءَاﻳَﺎ ِﺗﻨَﺎ ﻓِﻲ اﻟﻶﻓَﺎ‬
َ
‫ﺷَﻬِﻴ ٌﺪ‬ ‫ﻲ ٍء‬
ْ ‫ﺷ‬
َ ‫ﻚ َأﻧﱠ ُﻪ ﻋَﻠَﻰ ُآﻞﱢ‬
َ ‫ﻒ ِﺑ َﺮ ﱢﺑ‬
ِ ‫َأ َوَﻟ ْﻢ َﻳ ْﻜ‬
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami
di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka
bahwa al-Qur'an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi
kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?
(QS.Fussilat/41:53)
Dalam ayat ini, Allah swt. ingin menegaskan dan menjelaskan kepada

orang-orang musyrik dan orang-orang yang ingkar bahwa al-Qur’an adalah hak

dan benar-benar turun dari sisi Allah, bukan buatan manusia sebagaimana

anggapan musuh-musuh Islam. Ada dua cara yang ditempuh Allah untuk

39
Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 3, Kitâb al-‘Ilm Bâb fî al-Qisâs, h. 324

49
penegasan itu, yaitu: (1) Mencermati dan mengkaji segala ciptaan Allah di

segenap ufuk, baik langit, bumi, matahari, bulan, bintang, tumbuh-tumbuhan, dan

lain-lain; (2) Mengkaji anfus atau jiwa dengan segala fenomenanya.

Menurut Imam al-Qurtubî (w. 567 H.), sebagaimana yang juga dikutip

oleh Imam ‘Ali al-Sâbûnî, bahwa yang dimaksud “anfus” di sini adalah

mencakup kelembutannya, hikmahnya, sampai saluran anus (dubur) dan air

seninya (qubul). Termasuk pula makna anfus di sini kedua bola mata yang dapat

meneteskan air mata (menangis) yang dapat digunakan untuk melihat segala

sesuatu.40 Oleh karena itu, mempelajari tangisan manusia merupakan salah satu

realisasi dari upaya pemahaman surat Fussilat ayat 53 di atas.

Menangis adalah salah satu fenomena psikologis yang dialami oleh

seluruh manusia. Menangis merupakan salah satu ekspresi emosi yang di-sunnah-

kan (ditentukan) oleh Allah swt. kepada seluruh manusia. Pada lazimnya,

menangis, menandakan suasana kepedihan (al-huzn), sementara tertawa

menandakan suasana kegembiraan (al-farh).41

Namun harus ditegaskan bahwa menangis tidak selalu mengarah kepada

sifat-sifat buruk, sebagaimana halnya tertawa juga tidak selalu mengarah kepada

sifat-sifat yang baik. Nilai keduanya sangat ditentukan oleh sikap diri dan motivasi

atau niat yang menyertainya. Seseorang yang menangis karena iba dan peduli

40
al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1987), Cet. I, Juz 15, h.
374-375; ‘Ali al-Sâbûnî, Safwah al-Tafâsîr, (Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 1999), cet.I, Jilid 3,
h. 128
41
Dalam Tafsir al-Qurtubî yang dikutip dari dialog Rasulullah saw. dengan malaikat Jibril,
dinyatakaan bahwa yang dimaksud “Allah menetapkan tawa dan tangis’ adalah menetapkan sebab-
sebabnya, seperti kegembiraan mendatangkan tawa dan kesulitan mendatangkan tangis. Menurut Al-
Hasan, Allah swt. menjadikan tertawa disebabkan melihat penghuni surga yang shalih, dan menjadikan
tangis disebabkan melihat penghuni neraka yang durhaka. Menurut Dzû al-Nûn, orang-orang yang
beriman dan ahli ma’rifat dapat tertawa akibat cahaya ma’rifatnya. Sedangkan orang-orang kafir dan
suka bermaksiat akan menangis karena kegelapan maksiatnya. Sahal bin ‘Abdullâh pernah
menegaskan bahwa Allah menjadikan tertawa orang-orang yang taat karena kasih sayang (rahmat)-
Nya, dan menjadikan menangis orang-orang yang maksiat dengan kebencian (sukht)-Nya. Lihat: al-Qur
tûbî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân , Juz 17, h. 116-117

50
terhadap urusan saudara muslimnya misalnya, maka tangisan itu dalam pandangan

Allah dinilai ibadah. Pada saat itu, ia telah berpartisipasi dan ikut terlibat secara

psikologis terhadap urusan saudaranya. Dalam sebuah Hadis yang masyhur,

Rasulullah saw. bersabda:

‫ﺲ ِﻣ ْﻨﻬُﻢ‬
َ ‫ﻦ َﻓَﻠ ْﻴ‬
َ ‫ﺴِﻠ ِﻤ ْﻴ‬
ْ ‫ﻦ َﻟ ْﻢ َﻳ ْﻬ َﺘ ﱠﻢ ِﺑَﺄ ْﻣ ِﺮ ا ْﻟ ُﻤ‬
ْ ‫َﻣ‬
Siapa yang tidak ikut peduli memperhatikan urusan umat Islam, maka ia
tidak termasuk golongan mereka.(H.R. al-Baihaqi)42

Sementara seseorang yang tertawa dengan tujuan mengejek, maka

tertawanya itu akan membawa akibat buruk bagi dirinya, dan tentunya ia akan

mendapat murka dari Allah swt.

Oleh karena itu, di dalam pandangan psikologi Islam, menangis tidak

hanya dilihat dari pendekatan “apa adanya” , tetapi juga “bagaimana seharusnya”.

Artinya, yang dilakukan tidak sekedar mendeskripsikan pengertian, macam-

macam dan fungsi menangis yang terjadi pada seseorang, tetapi lebih jauh dan

lebih penting adalah bagaimana kita mampu memberikan sublimasi43 tangisan itu

sehingga lebih bermakna dan berimplikasi positif pada kepribadian, terutama

implikasi yang bermuatan spiritual ubudiyah.

Psikologi Islam selalu menggunakan pola berpikir positif (positive

thinking) dalam memaknai tangisan, bukan pola berpikir negarif (negative

thinking) yang selama ini dipakai oleh kebanyakan psikolog modern. Psikologi

Islam tidak sekedar mempersoalkan tangisan itu sendiri, tetapi lebih

mempersoalkan alasan-alasan, motif-motif, serta niat yang menyertainya.44

42
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqī dalam kitab “al-Syu’ab” dari Anas dari Nabi
saw. Lihat: al-Sakhâwî, al-Maqâsid al-Hasanah, (Beirût: Dâr al-Hijrah, 1986), hal.428
43
Sublimasi adalah pengarahan terhadap impuls (motif, kecenderungan, dan kesadaran untuk
berbuat) yang tidak bisa diterima ke dalam bentuk penyaluran yang bisa dapat diterima.
44
Abdul Mujib, Apa Arti Tangisan Anda, hal.6

51
Untuk lebih jelasnya, pendekatan “bagaimana seharusnya” dalam

menangis dapat disimpulkan dalam suatu pernyataan: “Bagaimana kita mampu

memiliki hasrat untuk menangis bermakna, yang memotivasi kehidupan kita

untuk senantiasa mencari makna tangisan dan mendambakan tangisan yang

bermakna. Singkatnya, bagaimana kita memperoleh hikmah (wisdom) dari

tangisan itu.”45

Sebuah tangisan dapat dikatakan bermakna apabila memiliki salah satu ciri

dari ciri-ciri berikut ini:

1. Berimplikasi positif pada aktualisasi diri atau realisasi diri;

2. Mendorong individu bersikap optimis dan produktif serta menghilangkan

sikap pesimis dan cengeng;

3. Membantu dalam mencapai kesehatan mental;

4. Memiliki muatan spiritualitas dan transenden.46

Menurut Imam Ibn al-Qayyim al-Jauzi (w. 751 H.), ada beberapa macam

tangisan, yaitu:47

1. Tangisan kasih sayang dan kelembutan.

2. Tangisan karena takut

3. Tangisan cinta dan kerinduan

4. Tangisan kebahagiaan dan kegembiraan.

5. Tangisan kekhawatiran karena suatu hal yang menyakitkan dan tidak ada

kemampuan untuk menanggungnya.

6. Tangisan kesedihan.

45
Ibid, hal.8
46
Ibid, hal. 8-9
47
Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Zâd al-Ma’âd fî Hady Khair al-‘Ibâd, (Beirut: Mu’assasah al-
Risâlah, 1998), Cet. Ke-3, h.176-178

52
Perbedaan antara tangisan kesedihan dengan tangisan rasa takut adalah

kalau tangisan kesedihan itu terjadi karena kejadian yang telah berlalu, baik

karena mendapatkan sesuatu yang tidak disukai atau hilangnya suatu yang

dicintainya. Sedangkan tangisan rasa takut terjadi karena sesuatu hal yang

akan terjadi di kemudian hari.

Adapun perbedaan antara tangisan kebahagiaan dan kegembiraan

dengan tangisan kesedihan adalah kalau air mata tangis kebahagiaan itu

dingin, sementara hati dalam keadaan gembira. Sedang air mata kesedihan itu

panas, dengan hati yang penuh kesedihan.

7. Tangisan ketidakberdayaan dan kelemahan.

8. Tangisan kemunafikan, yakni menetesnya air mata sementara hatinya tetap

membatu, sehingga pelakunya tampak demikian khusyu, padahal hatinya

paling keras di antara manusia.

9. Tangisan pinjaman, pesanan, atau sewaan, seperti tangisan orang yang

meratap karena diupah, sebagaimana perkataan Umar, “Dia menjual air

matanya dan menangisi kesedihan orang lain.”

10. Tangisan kesepakatan atau ikut-ikutan, yaitu jika melihat orang lain tertimpa

suatu hal, lalu dia menangis bersama mereka, tanpa mengetahui apa yang mereka

tangisi.

C. Menangis dalam Perspektif al-Qur’an

Di dalam al-Qur’an tidak banyak ditemukan ayat yang berbicara tentang

menangis. Menurut penelusuran penulis berdasarkan kitab “al-Mu’jam al-

53
Mufahras li Alfâz al-Qur’ân” karya Muh. Fu’âd ‘Abd al-Bâqî, bahwa di dalam

kitab suci umat Islam tersebut hanya ditemukan sembilan ayat yang berbicara

tentang menangis dengan konteks yang berbeda-beda. Kesembilan ayat tersebut

menggunakan term yang berbeda-beda, namun seluruhnya bermuara kepada

makna menangis sebagaimana yang dimaksud dalam tulisan ini. Tujuh ayat di

antaranya menggunakan kata “al-bukâ” dengan berbagai derivasinya, yaitu:

Q.S.9:82 (dalam bentuk perintah dengan lam al-amr dan fi’il mudâri’), 12:16 (fi’il

mudâri’’), 17:109 (fi’il mudâri’), 19:58 (jama’: bukiyyâ), 53:43 (fi’il mâdî), 53:60

(fi’il mudâri’), dan 44:29 (fi’il mâdi). Sedangkan dua ayat yang lainnya

menggunakan kata “tafîdu” yang dinisbahkan dengan kata “al-dam’”, yaitu dalam

surat al-Mâidah ayat 83 dan surat al-Taubah ayat 92.

1. Tangisan Kaum Munafikin di Neraka

Kalangan munafikin adalah kelompok yang sangat licik dan

menimbulkan problem tersendiri dalam dakwah Nabi Muhammad saw.

Mereka bagaikan api dalam sekam, duri dalam daging. Hal ini disebabkan

karena mereka memiliki dua wajah sehingga dapat menimbulkan roman wajah

yang berbeda-beda sesuai dengan kepentingan mereka. Karena sedemikian

pentingnya bagi Nabi Muhammad saw. dan umat Islam untuk mengetahui

karakteristik orang-orang munafik, hatta dalam al-Qur’an terdapat satu surat

khusus yang bernama Surat al-Munâfiqûn. Hal ini dimaksudkan agar mereka

lebih meningkatkan kehati-hatian dan kewaspadaan terhadap gerak-gerik

kaum munafik.

54
Di samping surat al-Munâfiqûn, surat al-Taubah adalah di antara surat

yang banyak mengungkap tentang kaum munafikin. Ada beberapa sifat

mereka yang diungkap dalam surat tersebut, yaitu:

a. Kebimbangan dan keraguan orang-orang munafik mendorong mereka untuk

memohon izin agar tidak ikut berperang bersama Nabi Muhammad saw. (ayat

45)

b. Kalaupun mereka berangkat untuk berperang, mereka hanya akan

mengacaukan barisan kaum muslimin (ayat 47-48).

c. Mencari-cari alasan agar tidak ikut berperang (ayat 49).

d. Mereka membenci umat Islam yang mendapat kebaikan dan senang saat

umat Islam mendapat musibah (ayat 50).

e. Mereka bersumpah palsu bahwa mereka adalah golongan umat Islam (ayat

56).

f. Mereka tidak senang (mencela) pembagian sedekah atau zakat yang

dilakukan oleh Nabi saw. (ayat 58-61).

g. Mereka khawatir akan diturunkan surat yang menerangkan serta

membongkar apa yang ada di dalam hati mereka (ayat 64).

h. Mereka mengolok-olokkan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya (ayat 65).

i. Ikrar orang-orang munafik tidak dapat dipercaya (ayat75-78).

j. Mereka mencela sedekah yang dilakukan oleh orang-orang mukmin (ayat

79).

k. Mereka merasa senang karena tidak ikut berjihad (ayat 81).

Setelah Allah menjelaskan segala sikap dan perilaku orang-orang

munafik yang sungguh tercela, Allahpun menyebutkan balasan terhadap

mereka. Pada ayat 79 ditegaskan bahwa Allah swt. membalas penghinaan

55
mereka karena mereka telah menghina orang-orang mukmin yang

bersedekah. Di akhirat kelak, untuk merekapun telah disiapkan azab yang

amat pedih.

Pada ayat selanjutnya (ayat 80), ditegaskan bahwa permohonan ampun

yang dimunajatkan oleh Nabi saw. untuk mereka, meski dilakukan hingga 70

kali, tetap saja Allah tidak akan mengampuninya. Imam Ibn Katsîr

menjelaskan bahwa dengan ayat ini Allah memberitakan kepada Nabi saw.

bahwa orang-orang munafik bukanlah orang-orang yang layak untuk

dimohonkan ampun. Oleh karena itu, meskipun Nabi saw. beristighfar

sebanyak-banyaknya (tujuh puluh kali), Allah tetap saja tidak akan

mengampuni mereka. Penyebutan angka tujuh puluh dalam ayat tersebut tidak

bermakna pembatasan (tahdîd), namun hanya menunjukkan intensitas yang

tinggi (mubâlaghah).48

Permohonan ampun untuk mereka menjadi tidak bermanfaat, karena

mereka sendiri kufur. “dzâlika bi annahum kafarû” (Yang demikian itu karena

mereka kufur). Demikian alasan Allah yang tercantum pada ayat tersebut.

Lebih jelas lagi, Dr. Wahbah Zuhaili menjelaskan bahwa orang-orang

munafik itu kufur dan mengingkari Allah swt dan Rasul-Nya. Mereka tidak

mengikrarkan ke-Esa-an Allah, tidak mengakui kerasulan Nabi saw., dan

senantiasa berada dalam pengingkaran. Hati mereka tidak pernah siap untuk

menerima kebaikan (al-khair) dan cahaya (al-nûr). Dan memang sudah menjadi

48
Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, (Semarang: Toha Putra, t.t.), Juz 2, hal.376

56
sunnatullah bahwa kebaikan tidak akan dianugerahkan kepada kaum yang terus-menerus

kufur, tidak taat, dan tidak ada niat atau keinginan untuk beriman dan bertaubat.49

Bandingkanlah dengan ayat 5 dan 6 surat al-Munûfiqûn. Dalam ayat

tersebut dijelaskan, meskipun Rasulullah saw. telah memanggil mereka

(orang-orang munafik) untuk dimohonkan ampun, tetap saja mereka tidak

menyahut, bahkan berpaling dari beliau. Karenanya, Allahpun menegaskan

bahwa untuk orang-orang munafik, dimintakan ampun atau tidak, Allah tetap

tidak akan mengampuni mereka. Mereka adalah orang-orang fasik yang secara

jelas melanggar hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya.

Setelah pada ayat 80 dijelaskan satu sifat buruk orang-orang munafik

yang lain, yaitu merasa senang berdiam diri untuk tidak berperang dan

membenci jihad fi sabilillah, maka Allah menegaskan pada ayat 82:

‫ن‬
َ ‫ﺴﺒُﻮ‬
ِ ‫ﺟﺰَا ًء ِﺑﻤَﺎ آَﺎﻧُﻮا َﻳ ْﻜ‬
َ ‫ﻼ َو ْﻟ َﻴ ْﺒﻜُﻮا َآﺜِﻴﺮًا‬
ً ‫ﺤﻜُﻮا َﻗﻠِﻴ‬
َ‫ﻀ‬ْ ‫َﻓ ْﻠ َﻴ‬
Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai
pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan.(QS.At-Taubah/9:82)
Jika ayat tersebut dicermati, sesungguhnya ia berbentuk perintah (amr)

yang tersusun dari lam al-amr dan fi’il mudâri’. Namun, jika lebih dicermati,

maka maknanya adalah berita (khabar) atau ancaman (tahdîd). Demikianlah

pandangan Dr. Wahbah Zuhaili, Imam al-Alûsî (w. 1270 H.), Imam Ali al-

Sabûnî, Imam al-Râzî (w. 544 H.), Imam al-Tabarsî (w. 548 H.), dan

pengarang Ruhul Bayan (Isma’il Haqqi al-Buruswi).50

49
Wahbah Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1991), Juz 10, h. 328
50
Ibid, jilid, hal.331; al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, (Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H./1994 M.), jilid
20, h.220; Ali al-Sâbûnî, Safwah al-Tafâsîr, jilid I, h.552; al-Tabarsî, Majma’ al-Bayân, Juz 5, h.91;
Ismail Haqqi al-Buruswi, Tafsir Ruhul Bayan. Penerjemah Drs. Syihabuddin (Bandung: C.V.
Diponegoro, 1998), Jilid 26, h. 153

57
Bahkan menurut Imam al-Alûsî (w. 1270 H.), informasi yang

disampaikan dalam bentuk perintah (sîghat al-amr) menunjukkan keniscayaan

terjadinya sesuatu itu. Sebab, dalam kaidah ushul fiqh disebutkan bahwa

sîghat amr (kalimat perintah) pada dasarnya meniscayakan makna wajib

sehingga ia banyak digunakan untuk makna itu. Atau, karena bentuk perintah

tidak mengandung pengertian benar (sidq) dan dusta (kadzib) sebagaimana

yang dikandung dalam kalimat berita. Begitulah penegasan Asy-Syihab.51

Melalui ayat ini, Allah menginformasikan kondisi mereka di dunia dan di

akhirat. Tersebab sikap dan keburukan mereka, maka mereka akan merasakan

sedikit tertawa (kebahagiaan) di dunia dan banyak menangis (sengsara) di

akhirat sebagai wujud penyesalan dan akibat ulah mereka sendiri. Tawa mereka

di dunia, meski terjadi sampai kematian menjemput mereka, masih terlalu

sedikit jika dibandingkan dengan tangisan mereka di akhirat yang kekal abadi

dan tanpa batas.

Menurut Ibn ‘Abbâs r.a. (w. 68 H.), sebagaimana yang dikutip Imam

Ibnu Kasīr (w. 774 H.) dan al-Syaikh ‘Ali al-Sâbûnî, dunia itu sedikit, maka

silakan orang-orang munafik tertawa sekehendak mereka. Jika dunia telah

berakhir (terjadi hari kiamat) dan semua manusia kembali kepada Allah swt.,

maka mereka (orang-orang munafik) akan mulai menangis dan tidak akan

pernah terputus untuk selamanya.

Ada sebuah keterangan yang menyebutkan bahwa orang-orang munafik

akan menangis dalam neraka seusia dunia. Air matanya tiada henti berderai

dan rasa kantuknya tidak akan hilang dengan tidur.52 Dalam sebuah Hadis

riwayat Imam Ibn Mâjah (w.273 H.) dikatakan:

51
al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, Jilid 10, h. 220-221
52
Ibid; Ismail Haqqi al-Buruswi, Tafsir Ruhul Bayan, Jilid 10, h. 523

58
‫ﻞ‬
ِ ‫ﻋﻠَﻰ َأ ْه‬َ ‫ﻞ ا ْﻟ ُﺒﻜَﺎ ُء‬
ُ‫ﺳ‬ َ ‫ ُﻳ ْﺮ‬ρ ‫ﷲ‬ ِ ‫لا‬ ُ ‫ﺳ ْﻮ‬
ُ ‫ل َر‬ َ ‫ل ﻗَﺎ‬ َ ‫ﻚ ﻗَﺎ‬ٍ ‫ﻦ ﻣَﺎِﻟ‬ ِ ‫ﺲ ْﺑ‬
ِ ‫ﻦ َأ َﻧ‬ ْ‫ﻋ‬ َ
‫ﻲ‬
ْ ‫ﺼ ْﻴ َﺮ ِﻓ‬
ِ ‫ﺣﺘﱠﻰ َﻳ‬َ ‫ن اﻟ ﱠﺪ َم‬ َ ‫ع ُﺛﻢﱠ َﻳ ْﺒ ُﻜ ْﻮ‬
ُ ‫ﻄ َﻊ اﻟﺪﱡ ُﻣ ْﻮ‬ ِ ‫ﺣﺘﱠﻰ َﺗ ْﻨ َﻘ‬ َ ‫ن‬ َ ‫اﻟﻨﱠﺎ ِر َﻓ َﻴ ْﺒ ُﻜ ْﻮ‬
53
‫ت‬
ْ ‫ﺠ َﺮ‬ َ ‫ﻦ َﻟ‬
ُ ‫ﺖ ِﻓ ْﻴ ِﻪ اﻟﺴﱡ ُﻔ‬ ْ ‫ﺳَﻠ‬ِ ‫َﻟ ْﻮ ُأ ْر‬.‫ﺧ ُﺪ ْو ِد‬
ْ ‫ﺟ ْﻮ ِه ِﻬ ْﻢ َآ َﻬ ْﻴ َﺌ ِﺔ ا ْﻟُﺄ‬ُ ‫ُو‬
Tangisan diutus (oleh Allah) kepada penghuni neraka. Merekapun
menangis hingga air matanya kering. Selanjutnya merekapun menangis
dengan mengucurkan darah hingga wajahnya berubah seperti habis
dicambuki. Seandainya perahu-perahu dilayarkan, niscaya akan
berjalan”(H.R. Ibn Mâjah)
Berkenaan dengan azab yang yang dirasakan oleh orang-orang munafik,

Dr. Wahbah Zuhaili dalam tafsirnya menyampaikan hadis berikut ini:

‫ﻞ اﻟ ﱠﻨﺎ ِر‬ ِ ‫ن َأ ْه‬


َ ‫ن َأ ْه َﻮ‬‫ ِإ ﱠ‬ρ ‫ﷲ‬ِ ‫لا‬ ُ ‫ل َرﺳُﻮ‬ َ ‫ل ﻗَﺎ‬
َ ‫ﻦ َﺑﺸِﻴ ٍﺮ ﻗَﺎ‬ِ ‫ن ْﺑ‬ِ ‫ﻦ اﻟ ﱡﻨ ْﻌﻤَﺎ‬ْ‫ﻋ‬ َ
‫ﻏ ُﻪ َآﻤَﺎ‬ ُ ‫ﻦ ﻧَﺎ ٍر َﻳ ْﻐﻠِﻲ ِﻣ ْﻨ ُﻬﻤَﺎ ِدﻣَﺎ‬ ْ ‫ن ِﻣ‬ِ ‫ﺷﺮَاآَﺎ‬ِ ‫ن َو‬ ِ‫ﻼ‬ َ ‫ﻦ َﻟ ُﻪ َﻧ ْﻌ‬
ْ ‫ﻋﺬَاﺑًﺎ َﻣ‬ َ
‫ﻷ ْه َﻮ ُﻧ ُﻬ ْﻢ‬َ ‫ﻋﺬَاﺑًﺎ َوِإ ﱠﻧ ُﻪ‬َ ‫ﺷ ﱡﺪ ِﻣ ْﻨ ُﻪ‬
َ ‫ﺣﺪًا َأ‬
َ ‫ن َأ‬‫ﻞ ﻣَﺎ ﻳَﺮَى َأ ﱠ‬ ُ‫ﺟ‬َ ‫َﻳ ْﻐِﻠﻰ ا ْﻟ ِﻤ ْﺮ‬
54
‫ﻋﺬَاﺑًﺎ‬
َ
Dari Nu’mân bin Basyîr ia berkata: Rasulullah saw. bersabda:
“Sesungguhnya penghuni neraka yang paling ringan siksanya pada hari
kiamat adalah seseorang yang memiliki dua alas kaki sedang kedua talinya
terbuat dari api neraka, dan dari keduanya otaknya bergolak mendidih seperti
mendidihnya (air dalam) ketel. Dia tidak melihat (mengira) bahwa ada orang
lain yang azabnya lebih pedih daripadanya. Padahal sesungguhnya dialah
yang paling ringan azabnya.” (H.R. Muslim)
Menurut Imam al-Alûsî (w. 1270 H.), ayat 82 surat al-Taubah ini dapat

pula dipahami bahwa tertawa ini merupakan kinayah dari kebahagiaan (al-

farh) dan menangis adalah kinayah dari duka cita atau kesedihan (al-ghamm).

Artinya orang-orang munafik, kalaupun mereka merasakan kebahagiaan di

dunia, maka kebahagiaan itu hanyalah sedikit dan sebentar. Sebab, tatkala

perputaran dunia berakhir sebagai tanda dimulainya babak kehidupan yang

baru (akhirat), maka duka cita dan kesedihan akan segera mulai mereka

53
Dalam sanad Hadis in terdapat Yazîd bin Abân al-Raqasyi yang merupakan rawi daif. Ibn
Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Zuhd Bâb Sifât al-Nâr no. hadis 4324, h. 1446
54
Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Imân Bâb Ahwân Ahl al-Nâr ‘adzâban, h. 110

59
nikmati, dan itu akan terus mereka rasakan kekal abadi.55

Menurut Ibn ‘Atiyyah, al-bukâ (menangis) dan al-dahk (tertawa) yang

disebutkan dalam ayat di atas, keduanya dapat pula terjadi di dunia. Hal ini

sebagaimana bunyi sebuah Hadis berikut ini:

‫ل‬
ُ ‫ن َﻳﻘُﻮ‬ َ ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ آَﺎ‬
َ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﻲا‬ َ‫ﺿ‬
ِ ‫ن َأﺑَﺎ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة َر‬‫ﺐ َأ ﱠ‬ِ ‫ﺴ ﱠﻴ‬
َ ‫ﻦ ا ْﻟ ُﻤ‬
ِ ‫ﺳﻌِﻴ ِﺪ ْﺑ‬
َ ‫ﻦ‬ ْ‫ﻋ‬َ
‫ﻼ َوَﻟ َﺒ َﻜ ْﻴ ُﺘ ْﻢ‬ً ‫ﺤ ْﻜ ُﺘ ْﻢ َﻗﻠِﻴ‬
ِ‫ﻀ‬
َ ‫ﻋَﻠ ُﻢ َﻟ‬
ْ ‫ن ﻣَﺎ َأ‬َ ‫ َﻟ ْﻮ َﺗ ْﻌَﻠﻤُﻮ‬ρ ‫ﷲ‬ ِ ‫لا‬ ُ ‫ل َرﺳُﻮ‬ َ ‫ﻗَﺎ‬
56
‫َآﺜِﻴﺮًا‬
Dari Sa’îd bin al-Musayyab bahwa Abû Hurairah r.a. berkata: Rasulullah
saw. bersabda: “Seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya
kalian akan sedidkit tertawa dan banyak menangis.” (H.R. al-Bukhârî)
Maksudnya, tatkala orang-orang munafik telah banyak melakukan

berbagai kemaksiatan yang mengotori diri mereka dan kemudian mereka mau

merenunginya dengan tenang, niscaya mereka akan banyak menangis dan

sedikit tertawa menyesali perbuatan yang telah mereka lakukan.57

Duka dan derita yang mereka rasakan adalah akibat dari perilaku mereka

yang buruk di dunia (jazâ’an bimâ kânû yaksibûn). Menurut Imam Al-Alusi,

perpaduan antara dua shighat, yaitu mâdi (kânû) dan mudâri (yaksibûn)

menunjukkan bahwa perbuatan maksiat itu mereka lakukan secara terus-

menerus.58

Demikianlah keadaan orang-orang munafik di akhirat. Mereka adalah

contoh dari orang-orang yang tidak memahami hakikat dan arti sebuah

kehidupan. Kehidupan dunia tidak ditempatkan sebagaimana mestinya sesuai

55
al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, Jilid 10, h. 220-221
56
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 7, Kitâb al-Riqâq Bâb Qaul al-Nabi saw. lau Ta’lamûna
mâ A’lamu, hal.186 & Juz 7 Kitâb al-Aimân wa al-Nudzûr Bâb Kaif Kânat Yamîn al-Nabi, h. 219; al-
Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 3, Abwâb al-Zuhd Bâb Mâ Jâ fî Qaul al-Nabi saw. lau Ta’lamûna no.
hadis 2414 h. 381; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Zuhd Bâb al-Huzn wa al-Bukâ, no.
hadis 4190, h. 1402; Ahmad, al-Musnad., Jilid 2, h. 257. Menurut Imam al-Tirmidzî, nilai Hadis ini
adalah sahih
57
al-Âlûsî, Rûh al-Ma’ânî, Jilid 10, h. 220-221
58
Ibid

60
dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan pasca kehidupan dunia,

tidak disadari oleh mereka akan terbentang sebuah negeri luas tanpa batas dan

kekal abadi. Sebagai biasnya, merekapun bertindak semau dan sekehendak

mereka dengan memperturutkan ke mana hawa nafsu melangkah. Tersebab

bergelimang dengan berbagai maksiat, hatinya telah tertutup sehingga tidak

lagi mampu melihat dan membedakan antara yang hak dan yang batil.

2. Tangisan Pembual 59

Di dalam al-Qur’an, kisah Yûsuf a.s diceritakan cukup lengkap dalam

sebuah surat yang juga dinamakan “Surat Yûsuf”.

Yusuf bernama lengkap Yûsuf al-Sâdiq bin Ya’qûb al-Sâfî bin Ishâq bin

Ibrâhîm. Beliau adalah seorang nabi yang kegantengannya diabadikan dalam

al-Qur’an. Menurut riwayat Anas, Rasulullah saw. bersabda: “Yûsuf dan

Ibunya telah diberikan sebagian dari keelokan.” Dalam riwayat lain

diterangkan bahwa jika Yûsuf berjalan di jalan yang sempit di kota Mesir,

terlihat wajahnya bersinar dan memantulkan cahaya ke dinding-dinding

sekitarnya sebagaimana sinar mentari yang menerpa dinding.60

Di dalam al-Qur’an, kisah Yûsuf diawali dengan mimpi yang dialaminya

ketika ia berusia kurang lebih 12 tahun.61 Dalam mimpinya itu, sebagaimana

yang diceritakan dalam al-Qur’an, Yusuf melihat sebelas bintang, matahari,

dan bulan, dan semuanya sujud di hadapannya.

Menurut para ahli tafsir, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ibnu

Kasir, sesungguhnya ta’bir mimpi itu adalah bahwa sebelas bintang yang

59
Dalam istilah lain disebut dengan “Air Mata Buaya”.
60
al-Tsa’labî, Qisâs al-Anbiyâ, (Beirût: Dâr al-Fikr, tth.), Cet. IV, h.143
61
Ibid, h.147

61
dilihatnya adalah simbol saudara-saudaranya yang berjumlah sebelas orang.

Sedangkan matahari dan bulan adalah simbol ibu dan ayahnya. Tafsiran

seperti ini diterima dari Ibn ‘Abbâs (w. 68 H.), al-Dahhâk, Qatâdah (w. 117

H.), Sufyân al-Tsaurî (w. 161 H.), dan Abdurrahmân bin Zaid bin Aslam . Dan

tafsir Yûsuf ini baru terwujud setelah 40 atau 80 tahun kemudian.62

Mendengar mimpi anaknya tersebut, Nabi Ya’qûb meminta kepada Yûsuf

agar tidak menceritakannya kepada saudara-saudaranya. Sebab, jika mereka

mengetahui, niscaya mereka dengki dan akan berusaha mencelakakan Yûsuf.

Menurut al-Tsa’labî (w. 428 H.), sejak mimpi itu dialami oleh Yûsuf, Nabi

Ya’qûb sebagai ayahnya bertambah sayang, cinta, dan dekat dengannya.

Kondisi ini menimbulkan kedengkian di hati saudara-saudaranya yang lain.

Mereka berusaha memisahkan antara ayah (Nabi Ya’qub) dan anaknya

(Yûsuf) agar kasih sayang (mahabbah) hanya ditumpahkan kepada mereka.63

Di antara mereka ada yang mengusulkan agar Yûsuf dibunuh saja, dan

setelah itu mereka akan menjadi orang-orang yang baik (QS.12:9). Namun ada

pula yang mengusulkan agar Yûsuf dimasukkan ke dalam sumur sehingga

memungkinkan untuk dipungut oleh kafilah yang lewat dan dibawa jauh.

Ternyata, usulan terakhir inilah yang disepakati.

Setelah menyusun siasat busuknya, mereka pun memohon izin kepada

ayah mereka, Ya’qûb, agar mengizinkan Yûsuf bermain bersama mereka.

Mendengar keinginan putra-putranya, nabi Ya’qûb berkata:

62
Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz 2, hal. 468
63
al-Tsa’labî, Qisâs al-Anbiyâ, h.143

62
‫ﻋ ْﻨ ُﻪ‬
َ ‫ﺐ َوَأ ْﻧ ُﺘ ْﻢ‬
ُ ‫ن َﻳ ْﺄ ُآَﻠ ُﻪ اﻟﺬﱢ ْﺋ‬
ْ ‫ف َأ‬
ُ ‫ن َﺗ ْﺬ َهﺒُﻮا ِﺑ ِﻪ َوَأﺧَﺎ‬
ْ ‫ﺤ ُﺰ ُﻧﻨِﻲ َأ‬
ْ َ‫ل ِإﻧﱢﻲ ﻟَﻴ‬
َ ‫ﻗَﺎ‬
‫ن‬ َ ‫ﻏَﺎ ِﻓﻠُﻮ‬
Berkata Ya’qûb; "Sesungguhnya kepergian kamu bersama Yusuf amat
menyedihkanku dan aku khawatir kalau-kalau dia dimakan serigala, sedang
kamu lengah daripadanya." (Q.S. Yûsuf/12:13)

Jawaban yang disampaikan Nabi Ya’qûb menambah kecemburuan mereka.

Sesungguhnya mereka tidak dapat menyanggah dua alasan yang disampaikan

oleh ayah mereka, yaitu kesedihan beliau karena ditinggalkan oleh putra

tercinta (Yûsuf), dan kekhawatiran Yusuf akan diterkam atau dimakan

serigala. Untuk menjawab alasan kedua, mereka berkata:64

‫ن‬
َ ‫ﺳﺮُو‬
ِ ‫ﺼﺒَ ٌﺔ ِإﻧﱠﺎ ِإذًا َﻟﺨَﺎ‬
ْ ‫ﻋ‬
ُ ‫ﻦ‬
ُ‫ﺤ‬
ْ ‫ﺐ َو َﻧ‬
ُ ‫ﻦ َأ َآَﻠ ُﻪ اﻟﺬﱢ ْﺋ‬
ْ ‫ﻗَﺎﻟُﻮا َﻟ ِﺌ‬
Mereka berkata: "Jika ia benar-benar dimakan serigala, sedang kami
golongan (yang kuat), sesungguhnya kami kalau demikian adalah orang-
orang yang merugi." (Q.S. Yûsuf/12:14)

Rupanya desakan anak-anaknya dapat meyakinkan Nabi Ya’qub. Merekapun

pergi membawa Yûsuf untuk melaksanakan persekongkolan jahat. Namun, Allah

memberitahukan ke dalam jiwa si anak (Yûsuf) bahwa itu hanya ujian yang akan

berakhir, dan dia akan tetap hidup bahkan akan menceritakan kepada saudara-

saudaranya itu tentang sikap dan tindakan mereka ini.65

Pada ayat ke-15 tidak dijelaskan bagaimana mereka menjerumuskan

Yûsuf. Namun diduga, bahwa sebelum Yusuf dilemparkan ke dalam sumur,

terlebih dahulu mereka membuka bajunya .Baju itulah yang mereka bawa dan

dijadikan sebagai bukti di hadapan ayah mereka.66

64
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 1423 H./2002 M.),
Vol.6, h. 393
65
Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’an, (Jakarta: GIP, 2004), Cet.I, jilid 12, h. 229
66
Hamka, Tafsir Al Azhar, (Jakarta:Pustaka Panjimas, 1985), Juzu XII, h. 195

63
al-Tabâtaba’î mengemukakan bahwa ayat 15 ketika sampai pada uraian

“sepakat memasukkannya ke dasar sumur” berhenti sejenak, tidak

menceritakan apa yang terjadi saat itu – sedih dan menyesal – karena telinga

tidak mampu mendengar apa yang mereka lakukan terhadap anak tak berdosa

itu. Padahal, merekapun tahu betapa besar cinta kasih ayah mereka terhadap

Yusuf, calon nabi, putra para nabi. Sungguh terkutuk kedengkian yang

membinasakan saudara di tangan saudara-saudaranya.67

Setelah mereka melakukan kejahatan terhadap saudara mereka, maka kini

mulailah mereka melakukan aksi penipuan dan kedustaan yang amat hina

terhadap ayah kandung mereka sendiri, nabi Ya’qûb a.s. Setelah mereka

menunggu cukup lama, merekapun datang kepada ayah mereka di malam hari

saat gelap mulai tiba, sesaat setelah hilangnya mega merah, sisa-sisa cahaya

matahari setelah tenggelam. Hal ini mereka lakukan agar aksi penipuan

mereka melalui air muka yang dibuat-buat tidak terlihat jelas oleh ayah

mereka. Demikian yang dijelaskan oleh sebagian ahli tafsir.68 Mereka datang

sambil menangis mengucurkan air mata dengan harapan ayah mereka akan

mempercayai apa yang akan mereka sampaikan. Tentang hal ini, Allah

menggambarkannya melalui firman-Nya:

‫ﻖ‬
ُ ‫ﺴ َﺘ ِﺒ‬
ْ ‫ن ﻗَﺎﻟُﻮا ﻳَﺎَأﺑَﺎﻧَﺎ ِإﻧﱠﺎ َذ َه ْﺒﻨَﺎ َﻧ‬ َ ‫ﻋﺸَﺎ ًء َﻳ ْﺒﻜُﻮ‬ ِ ‫وَﺟَﺎءُوا َأﺑَﺎ ُه ْﻢ‬
‫ﻦ َﻟﻨَﺎ َوَﻟ ْﻮ‬
ٍ ‫ﺖ ِﺑ ُﻤ ْﺆ ِﻣ‬َ ‫ﺐ وَﻣَﺎ َأ ْﻧ‬ ُ ‫ﻋﻨَﺎ َﻓَﺄ َآَﻠ ُﻪ اﻟﺬﱢ ْﺋ‬
ِ ‫ﻋ ْﻨ َﺪ َﻣﺘَﺎ‬
ِ ‫ﻒ‬
َ ‫ﺳ‬ ُ ‫وَﺗَﺮَ ْآﻨَﺎ ﻳُﻮ‬
‫ﺖ‬
ْ ‫ﺳ ﱠﻮَﻟ‬ َ ‫ﻞ‬ ْ ‫ل َﺑ‬ َ ‫ب ﻗَﺎ‬ٍ ‫ﺼ ِﻪ ِﺑ َﺪ ٍم َآ ِﺬ‬
ِ ‫ﻋﻠَﻰ َﻗﻤِﻴ‬ َ ‫ُآﻨﱠﺎ ﺻَﺎ ِدﻗِﻴﻦ َوﺟَﺎءُوا‬
‫ن ﻋَﻠَﻰ ﻣَﺎ‬ ُ ‫ﺴ َﺘﻌَﺎ‬
ْ ‫ﷲ ا ْﻟ ُﻤ‬ُ ‫ﻞ وَا‬ ٌ ‫ﺼ ْﺒ ٌﺮ ﺟَﻤِﻴ‬ َ ‫ﺴ ُﻜ ْﻢ أَ ْﻣﺮًا َﻓ‬ ُ ‫َﻟ ُﻜ ْﻢ َأ ْﻧ ُﻔ‬
‫ن‬ َ ‫ﺼﻔُﻮ‬ ِ ‫َﺗ‬

67
M. Qurasih Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Vol.6, h. 396
68
Ibid, h. 397-398; Wahbah Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, Juz 12, h. 224

64
Kemudian mereka datang kepada ayah mereka di sore hari sambil
menangis. Mereka berkata: "Wahai ayah kami, sesungguhnya kami pergi
berlomba-lomba dan kami tinggalkan Yusuf di dekat barang-barang kami, lalu
dia dimakan serigala, dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami,
sekalipun kami adalah orang-orang yang benar." Mereka datang membawa
baju gamisnya (yang berlumuran) dengan darah palsu. Ya`qub berkata:
"Sebenarnya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk)
itu; maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang
dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan." (Q.S.
Yûsuf/12:16-18)
Dendam yang membara itu telah melalaikan mereka dari memperindah

kebohongannya. Seandainya pikiran mereka tenang sejak pertama kali nabi

Ya’qûb mengizinkan mereka membawa Yûsuf, niscaya mereka tidak akan

berbuat begitu. Akan tetapi, mereka tergesa-gesa dan tidak sabar, mereka takut

tidak akan mendapatkan kesempatan lagi. Begitulah, pembuatan cerita tentang

serigala secara terang-terangan itu menunjukkan ketergesa-gesaan, padahal

ayahnya kemarin sudah memperingatkan mereka tentang serigala itu. Maka,

tidaklah wajar kalau mereka pergi pagi-pagi untuk meninggalkan Yusuf

dimakan serigala yang kemarin mereka sudah diperingatkan oleh ayah

mereka itu. Karena ketergesa-gesaan seperti ini, mereka datang dengan

membawa baju gamis Yûsuf yang telah dilumuri darah secara tidak cermat.

Sungguh nyata sekali dusta mereka sehingga disebut darah palsu (dam

kadzib), sebagaimana air mata mereka adalah air mata palsu atau dusta.

3. Tangisan Ahli Kitab Saat Mendengar al-Qur’an

al-Qur’an adalah kitab kebenaran. Seratus persen tanpa diselipi oleh

keraguan sedikitpun, ia berasal dari Allah Yang Mahahaq lagi Mahabijaksana.

Ia diwahyukan oleh Allah kepada Rasul dan Nabi pilihan-Nya, Muhammad

saw. melalui malaikat Jibril.

65
ٍ‫ﺣﻜِﻴ ٍﻢ ﺧَﺒِﻴﺮ‬
َ ‫ن‬
ْ ‫ﻦ َﻟ ُﺪ‬
ْ ‫ﺖ ِﻣ‬
ْ ‫ﺼَﻠ‬
‫ﺖ ءَاﻳَﺎ ُﺗ ُﻪ ُﺛﻢﱠ ُﻓ ﱢ‬
ْ ‫ﺣ ِﻜ َﻤ‬
ْ ‫ب ُأ‬
ٌ ‫اﻟﺮ آِﺘَﺎ‬
Alif Lâm Râ, (inilah) suatu kitab yang secara terperinci yang diturunkan
dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu. (QS.Hûd/11:1)

‫ﻋﻠِﻴ ٍﻢ‬
َ ‫ﺣﻜِﻴ ٍﻢ‬
َ ‫ن‬
ْ ‫ﻦ َﻟ ُﺪ‬
ْ ‫ن ِﻣ‬
َ ‫ﻚ َﻟ ُﺘَﻠﻘﱠﻰ ا ْﻟ ُﻘ ْﺮءَا‬
َ ‫َوِإ ﱠﻧ‬
Dan sesungguhnya kamu benar-benar diberi al-Qur’an dari sisi (Allah)
Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (QS.al-Naml/27:6)

‫و َﻧﺬِﻳﺮًا‬
َ ‫ﻻ ُﻣﺒَﺸﱢﺮًا‬
‫ك ِإ ﱠ‬
َ ‫ﺳ ْﻠﻨَﺎ‬
َ ‫ل وَﻣَﺎ َأ ْر‬
َ ‫ﻖ َﻧ َﺰ‬
‫ﺤﱢ‬َ ‫ﻖ َأ ْﻧ َﺰ ْﻟﻨَﺎ ُﻩ َوﺑِﺎ ْﻟ‬
‫ﺤﱢ‬َ ‫َوﺑِﺎ ْﻟ‬
Dan Kami turunkan (al-Qur’an itu dengan sebenar-benarnya dan al-
Qur’an itu telah turun dengan (membawa) kebenaran. Dan Kami tidak
mengutus kamu, melainkan sebagai pembawa berita gembira dan pemberi
peringatan. (QS.al-Isrâ/17:105)

‫ن‬
ْ ‫ﻋﺒَﺎ ِد ِﻩ َأ‬
ِ ‫ﻦ‬
ْ ‫ﻦ َﻳﺸَﺎ ُء ِﻣ‬
ْ ‫ﻋﻠَﻰ َﻣ‬
َ ‫ﻦ َأ ْﻣ ِﺮ ِﻩ‬
ْ ‫ح ِﻣ‬ ِ ‫ﻼ ِﺋ َﻜ َﺔ ﺑِﺎﻟﺮﱡو‬ َ ‫ل ا ْﻟ َﻤ‬
ُ ‫ُﻳ َﻨﺰﱢ‬
‫ن‬ ِ ‫ﻻ َأﻧَﺎ ﻓَﺎ ﱠﺗﻘُﻮ‬
‫ﻻ ِإَﻟ َﻪ ِإ ﱠ‬
َ ‫َأ ْﻧ ِﺬرُوا َأﻧﱠ ُﻪ‬
Dia menurunkan para malaikat dengan (membawa) wahyu dengan
perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya,
yaitu: "Peringatkanlah olehmu sekalian, bahwasanya tidak ada Tuhan (yang
hak) melainkan Aku, maka hendaklah kamu bertakwa kepada-Ku". (QS.al-
Nahl/16:2)

‫ب‬
ُ ‫ﺖ َﺗ ْﺪرِي ﻣَﺎ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ‬ َ ‫ﻦ أَ ْﻣﺮِﻧَﺎ ﻣَﺎ ُآ ْﻨ‬
ْ ‫ﻚ رُوﺣًﺎ ِﻣ‬ َ ‫ﺣ ْﻴﻨَﺎ ِإَﻟ ْﻴ‬
َ ‫ﻚ َأ ْو‬َ ‫َو َآ َﺬِﻟ‬
‫ﻋﺒَﺎ ِدﻧَﺎ‬
ِ ‫ﻦ‬ ْ ‫ﻦ َﻧﺸَﺎ ُء ِﻣ‬
ْ ‫ﺟ َﻌ ْﻠﻨَﺎ ُﻩ ﻧُﻮرًا َﻧ ْﻬﺪِي ِﺑ ِﻪ َﻣ‬
َ ‫ﻦ‬ْ ‫ن َوَﻟ ِﻜ‬ ُ ‫ﻻﻳﻤَﺎ‬ ِ ‫ﻻ ْا‬ َ ‫َو‬
ٍ‫ﺴﺘَﻘِﻴﻢ‬ ْ ‫ط ُﻣ‬
ٍ ‫ﺻﺮَا‬ ِ ‫ﻚ ﻟَﺘَ ْﻬﺪِي ِإَﻟﻰ‬ َ ‫َوِإ ﱠﻧ‬
Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (al-Qur’an) dengan
perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al
Qur'an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan
al-Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami
kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-
benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (QS.al-Syûrâ/42:52)
al-Qur’an adalah ruh Robbani yang dengannya, akal dan hati menjadi hidup.

Ia juga merupakan dustur Ilahi yang mengatur kehidupan individu dan bangsa-

bangsa.

66
Allah menurunkannya secara berangsur-angsur sesuai dengan kejadian-

kejadian yang berlangsung, sehingga ia lebih melekat dalam hati, lebih

dipahami oleh akal manusia, menuntaskan masalah-masalah dengan ayat-ayat

Allah, memberikan jawaban atas pertanyaan. Juga untuk menguatkan hati

Rasulullah saw. dalam menghadapi cobaan dan kesulitan yang dialami oleh

beliau dan para sahabat. Allah swt. berfirman:

‫ﺖ‬
َ ‫ﻚ ِﻟُﻨَﺜﱢﺒ‬
َ ‫ﺣ َﺪ ًة َآ َﺬِﻟ‬
ِ ‫ﺟ ْﻤَﻠ ًﺔ وَا‬
ُ ‫ن‬ُ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ اْﻟ ُﻘ ْﺮءَا‬
َ ‫ل‬
َ ‫ﻻ ُﻧ ﱢﺰ‬
َ ‫ﻦ َآ َﻔﺮُوا َﻟ ْﻮ‬ َ ‫ل اﱠﻟﺬِﻳ‬
َ ‫َوﻗَﺎ‬
‫ﻖ‬
‫ﺤﱢ‬َ ‫ﻻ ﺟِ ْﺌﻨَﺎكَ ﺑِﺎْﻟ‬ ‫ﻞ ِإ ﱠ‬
ٍ ‫ﻚ ِﺑ َﻤَﺜ‬
َ ‫ﻻ َﻳ ْﺄﺗُﻮَﻧ‬ َ ‫ﻼ َو‬ ً ‫ك َو َرﱠﺗْﻠﻨَﺎ ُﻩ َﺗ ْﺮﺗِﻴ‬
َ ‫ِﺑ ِﻪ ُﻓﺆَا َد‬
‫ﻦ َﺗ ْﻔﺴِﻴﺮًا‬ َ‫ﺴ‬ َ‫ﺣ‬ ْ ‫َوَأ‬
Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa al-Qur’an itu tidak
diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat
hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar).
Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang
ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang
paling baik penjelasannya. (QS.al-Furqân/25:32-33)
Sebagai kitab kebenaran yang menjadi pedoman hidup, ia diperuntukkan

bagi seluruh manusia. Allah menegaskan:

‫ﻦ‬
َ ‫ت ِﻣ‬ ٍ ‫س َو َﺑ ﱢﻴﻨَﺎ‬ ِ ‫ن ُهﺪًى ﻟِﻠﻨﱠﺎ‬ ُ ‫ل ﻓِﻴ ِﻪ ا ْﻟ ُﻘ ْﺮءَا‬
َ ‫ن اﱠﻟﺬِي ُأ ْﻧ ِﺰ‬ َ ‫ﺷ ْﻬ ُﺮ َر َﻣﻀَﺎ‬ َ
‫ن‬
َ ‫ﻦ آَﺎ‬ ْ ‫ﺼ ْﻤ ُﻪ َو َﻣ‬ ُ ‫ﺸ ْﻬ َﺮ َﻓ ْﻠ َﻴ‬
‫ﺷ ِﻬ َﺪ ِﻣ ْﻨ ُﻜ ُﻢ اﻟ ﱠ‬َ ‫ﻦ‬ ْ ‫ن َﻓ َﻤ‬ِ ‫ا ْﻟ ُﻬﺪَى وَا ْﻟ ُﻔ ْﺮﻗَﺎ‬
‫ﻻ‬
َ ‫ﺴ َﺮ َو‬ ْ ‫ﷲ ِﺑ ُﻜ ُﻢ ا ْﻟ ُﻴ‬
ُ ‫ﺧ َﺮ ُﻳﺮِﻳ ُﺪ ا‬ َ ‫ﻦ َأﻳﱠﺎ ٍم ُأ‬ْ ‫ﺳ َﻔ ٍﺮ َﻓ ِﻌ ﱠﺪ ٌة ِﻣ‬
َ ‫َﻣﺮِﻳﻀًﺎ َأ ْو ﻋَﻠَﻰ‬
‫ﻋﻠَﻰ ﻣَﺎ َهﺪَا ُآ ْﻢ‬ َ ‫ﷲ‬ َ ‫ﺴ َﺮ َوِﻟ ُﺘ ْﻜ ِﻤﻠُﻮا ا ْﻟ ِﻌ ﱠﺪ َة َوِﻟ ُﺘ َﻜ ﱢﺒﺮُوا ا‬ْ ‫ُﻳﺮِﻳ ُﺪ ِﺑ ُﻜ ُﻢ ا ْﻟ ُﻌ‬
‫ن‬ َ ‫ﺸ ُﻜﺮُو‬ ْ ‫َوَﻟ َﻌﱠﻠ ُﻜ ْﻢ َﺗ‬
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia
dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang
hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri
tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu,
dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari
yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan
hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan
kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS.al-Baqarah/2:185)

67
‫ﻦ َﻧﺬِﻳﺮًا‬
َ ‫ن ِﻟ ْﻠﻌَﺎَﻟﻤِﻴ‬
َ ‫ﻋ ْﺒ ِﺪ ِﻩ ِﻟ َﻴﻜُﻮ‬
َ ‫ﻋﻠَﻰ‬
َ ‫ن‬
َ ‫ل ا ْﻟ ُﻔ ْﺮﻗَﺎ‬
َ ‫ك اﱠﻟﺬِي َﻧ ﱠﺰ‬
َ ‫َﺗﺒَﺎ َر‬
Maha Suci Allah yang telah menurunkan menjadi pemberi peringatan
kepada seluruh alam. (QS.al-Furqân/25:1)

‫ِﻟ ْﻠﻌَﺎَﻟﻤِﻴﻦ‬ ‫ﻻ ذِ ْآ ٌﺮ‬


‫ن ُه َﻮ ِإ ﱠ‬
ْ ‫ِإ‬
al-Qur’an itu tiada lain hanyalah peringatan bagi semesta alam. (QS.al-
Takwîr/81:27)
al-Qur’an bukanlah suatu kitab yang hanya ditujukan bagi suatu bangsa,

sementara yang lainnya tidak, tidak juga hanya untuk satu warna kulit

manusia, atau satu wilayah tertentu, dan tidak juga hanya untuk satu jenis

manusia. al-Qur’an tidak juga diperuntukkan hanya bagi kalangan rasionalis,

sementara kalangan intuitif dan esoteris tidak disentuhnya, atau sebaliknya.

al-Qur’an tidak hanya untuk kalangan rohaniawan, sementara kalangan

materialis dibiarkan, dan begitu sebaliknya. al-Qur’an tidak hanya

mementingkan kalangan individualis, sementara kalangan sosialis diabaikan.

al-Qur’an tidak hanya bagi kalangan idealis, sementara kalangan realis tidak

dihiraukan. al-Qur’an tidak hanya diberikan kepada kalangan penguasa,

sementara rakyat banyak tidak dipedulikan. al-Qur’an tidak hanya untuk para

konglomerat yang bergelimang dengan harta, sementara fakir miskin tidak

disinggung. al-Qur’an tidak sekedar mementingkan kalangan pria, sedang

para wanita dilepaskan. al-Qur’an adalah kitab bagi seluruh golongan

manusia dan tuntunan bagi semua orang dari Allah Robbul ‘aalamiin.69

al-Qur’an adalah cahaya yang Allah anugerahkan kepada umat manusia.

Cahayanya dapat diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Mereka

yang berilmu pengetahuan, boleh jadi akan mengakui kebenaran al-Qur’an

69
Yusuf Qardhawi, Berinteraksi dengan Al-Quran, Penerjemah Abdul hayyi al-Kattani
(Jakarta: Gema Insani Press1999), Cet. I, h. 98-99

68
dan beriman kepadanya karena ilmu yang dimilikinya. Hal ini sebagaimana

yang difirmankan oleh Allah dalam surat al-Hajj ayat 54:

‫ﺖ‬
َ ‫ﺨ ِﺒ‬
ْ ‫ﻚ َﻓ ُﻴ ْﺆ ِﻣﻨُﻮا ِﺑ ِﻪ َﻓ ُﺘ‬
َ ‫ﻦ َر ﱢﺑ‬
ْ ‫ﻖ ِﻣ‬
‫ﺤﱡ‬َ ‫ﻦ أُوﺗُﻮا ا ْﻟ ِﻌ ْﻠ َﻢ َأﻧﱠ ُﻪ ا ْﻟ‬
َ ‫َوِﻟ َﻴ ْﻌَﻠ َﻢ اﱠﻟﺬِﻳ‬
‫ﺴ َﺘﻘِﻴ ٍﻢ‬ ْ ‫ط ُﻣ‬ ٍ ‫ﺻﺮَا‬ ِ ‫ﻦ ءَاﻣَﻨُﻮا ِإﻟَﻰ‬ َ ‫ﷲ َﻟﻬَﺎ ِد اﱠﻟﺬِﻳ‬ َ ‫نا‬ ‫َﻟ ُﻪ ُﻗﻠُﻮ ُﺑ ُﻬ ْﻢ َوِإ ﱠ‬
dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya al-
Qur'an itulah yang hak dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan tunduk hati
mereka kepadanya, dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi petunjuk bagi
orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.

Allah juga menggambarkan tentang perilaku dan sikap ahli kitab terhadap

al-Qur’an dan terhadap Nabi Muhammad saw. Memang banyak di antara

mereka yang dikategorikan sebagai orang-orang fasik sebagaimana yang

disebutkan dalam surat al-Maidah ayat 59 berikut ini:

‫ل‬
َ ‫ﷲ َوﻣَﺎ ُأ ْﻧ ِﺰ‬
ِ ‫ن ءَاﻣَﻨﱠﺎ ﺑِﺎ‬
ْ ‫ﻻ َأ‬
‫ن ِﻣﻨﱠﺎ ِإ ﱠ‬ َ ‫ﻞ َﺗ ْﻨ ِﻘﻤُﻮ‬ْ ‫ب َه‬ ِ ‫ﻞ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ‬َ ‫ﻞ ﻳَﺎَأ ْه‬
ْ ‫ُﻗ‬
‫ن‬ َ ‫ﺳﻘُﻮ‬
ِ ‫ن َأ ْآ َﺜ َﺮ ُآ ْﻢ ﻓَﺎ‬
‫ﻞ َوَأ ﱠ‬ ُ ‫ﻦ َﻗ ْﺒ‬
ْ ‫ل ِﻣ‬
َ ‫إِﻟَ ْﻴﻨَﺎ َوﻣَﺎ ُأ ْﻧ ِﺰ‬
Katakanlah: "Hai Ahli kitab, apakah kamu memandang kami salah,
hanya lantaran kami beriman kepada Allah, kepada apa yang diturunkan
kepada kami dan kepada apa yang diturunkan sebelumnya, sedang
kebanyakan di antara kamu benar-benar orang-orang yang fasik?"
Namun, Dr.M.Quraish Shihab menjelaskan bahwa redaksi ayat di atas

tidak meniscayakan bahwa semua ahli kitab memiliki karakteristik yang sama.
70
Lihat pula beberapa ayat berikut ini:

‫ﻦ َﺑ ْﻌ ِﺪ إِﻳﻤَﺎ ِﻧ ُﻜ ْﻢ ُآﻔﱠﺎرًا‬
ْ ‫ب َﻟ ْﻮ َﻳ ُﺮدﱡو َﻧ ُﻜ ْﻢ ِﻣ‬ ِ ‫ﻞ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ‬ِ ‫ﻦ َأ ْه‬ ْ ‫َو ﱠد آَﺜِﻴ ٌﺮ ِﻣ‬
‫ﻋﻔُﻮا‬
ْ ‫ﻖ ﻓَﺎ‬ ‫ﺤﱡ‬ َ ‫ﻦ َﻟ ُﻬ ُﻢ ا ْﻟ‬َ ‫ﻦ َﺑ ْﻌ ِﺪ ﻣَﺎ َﺗ َﺒ ﱠﻴ‬ ْ ‫ﺴ ِﻬ ْﻢ ِﻣ‬ ِ ‫ﻋ ْﻨ ِﺪ َأ ْﻧ ُﻔ‬
ِ ‫ﻦ‬ ْ ‫ﺣَﺴَﺪًا ِﻣ‬
‫ﺮ‬ ٌ ‫ﻲ ٍء َﻗﺪِﻳ‬ ْ ‫ﺷ‬ َ ‫ن اﻟﱠﻠﻪَ ﻋَﻠَﻰ ُآﻞﱢ‬ ‫ﷲ ِﺑَﺄ ْﻣ ِﺮ ِﻩ ِإ ﱠ‬
ُ ‫ﻲا‬ َ ‫ﺻﻔَﺤُﻮا ﺣَﺘﱠﻰ َﻳ ْﺄ ِﺗ‬ ْ ‫وَا‬
Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat
mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena
dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka
kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah

70
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), Cet. I, h. 354

69
mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu. (QS.al-Baqarah/2:109)

‫ﻻ‬
‫ن ِإ ﱠ‬
َ ‫ﻀﻠﱡﻮ‬
ِ ‫ﻀﻠﱡﻮ َﻧ ُﻜ ْﻢ وَﻣَﺎ ُﻳ‬
ِ ‫ب َﻟ ْﻮ ُﻳ‬
ِ ‫ﻞ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ‬
ِ ‫ﻦ َأ ْه‬
ْ ‫ت ﻃَﺎ ِﺋ َﻔ ٌﺔ ِﻣ‬ ْ ‫َو ﱠد‬
‫ن‬ َ ‫ﺸ ُﻌﺮُو‬ ْ ‫ﺴ ُﻬ ْﻢ َوﻣَﺎ َﻳ‬
َ ‫َأ ْﻧ ُﻔ‬
Segolongan dari Ahli Kitab ingin menyesatkan kamu, padahal mereka
(sebenarnya) tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak
menyadarinya. (QS. Ali Imran:69)

‫ب‬
َ ‫ﻦ أُوﺗُﻮا ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ‬
َ ‫ﻦ اﱠﻟﺬِﻳ‬
َ ‫ن ُﺗﻄِﻴﻌُﻮا َﻓﺮِﻳﻘًﺎ ِﻣ‬ْ ‫ﻦ ءَاﻣَﻨُﻮا ِإ‬ َ ‫ﻳَﺎأَ ﱡﻳﻬَﺎ اﱠﻟﺬِﻳ‬
‫ﻦ‬ َ ‫ﻳَ ُﺮدﱡو ُآ ْﻢ َﺑ ْﻌ َﺪ إِﻳﻤَﺎ ِﻧ ُﻜ ْﻢ آَﺎ ِﻓﺮِﻳ‬
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari
orang-orang yang diberi Al Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan
kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman. (QS. Ali ‘Imrân/3:100)

‫ن‬
ْ ‫ﻦ ِإ‬ ْ ‫ﻚ َو ِﻣ ْﻨ ُﻬ ْﻢ َﻣ‬
َ ‫ن َﺗ ْﺄ َﻣ ْﻨ ُﻪ ِﺑ ِﻘ ْﻨﻄَﺎ ٍر ُﻳ َﺆ ﱢد ِﻩ ِإَﻟ ْﻴ‬
ْ ‫ﻦ ِإ‬ ْ ‫ب َﻣ‬ ِ ‫ﻞ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ‬
ِ ‫ﻦ َأ ْه‬
ْ ‫َو ِﻣ‬
‫ﻚ ِﺑَﺄ ﱠﻧ ُﻬ ْﻢ‬
َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ ﻗَﺎ ِﺋﻤًﺎ َذِﻟ‬ َ ‫ﺖ‬ َ ‫ﻻ ﻣَﺎ ُد ْﻣ‬ ‫ﻚ ِإ ﱠ‬ َ ‫ﻻ ُﻳ َﺆ ﱢد ِﻩ ِإَﻟ ْﻴ‬َ ‫َﺗ ْﺄ َﻣ ْﻨ ُﻪ ِﺑﺪِﻳﻨَﺎ ٍر‬
‫ب‬
َ ‫ﷲ ا ْﻟ َﻜ ِﺬ‬ ِ ‫ن ﻋَﻠَﻰ ا‬ َ ‫ﻞ َو َﻳﻘُﻮﻟُﻮ‬ ٌ ‫ﻦ ﺳَﺒِﻴ‬ َ ‫ﻻ ﱢﻣﻴﱢﻴ‬ ُ ‫ﺲ ﻋَﻠَ ْﻴﻨَﺎ ﻓِﻲ ْا‬ َ ‫ﻗَﺎﻟُﻮا َﻟ ْﻴ‬
‫ن‬ َ ‫َو ُه ْﻢ َﻳ ْﻌَﻠﻤُﻮ‬
Di antara Ahli Kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan
kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara
mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu Dinar,
tidak dikembalikannya padamu, kecuali jika kamu selalu menagihnya. Yang
demikian itu lantaran mereka mengatakan: "Tidak ada dosa bagi kami
terhadap orang-orang umi. Mereka berkata dusta terhadap Allah, padahal
mereka mengetahui. (QS.Ali Imrân/3:75)

‫ﷲ ءَاﻧَﺎ َء‬
ِ ‫تا‬
ِ ‫ن ءَاﻳَﺎ‬
َ ‫ب ُأ ﱠﻣ ٌﺔ ﻗَﺎ ِﺋ َﻤ ٌﺔ َﻳ ْﺘﻠُﻮ‬
ِ ‫ﻞ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ‬
ِ ‫ﻦ َأ ْه‬
ْ ‫ﺳﻮَا ًء ِﻣ‬ َ ‫َﻟ ْﻴﺴُﻮا‬
‫ن‬ َ ‫ﺠﺪُو‬ُ‫ﺴ‬ ْ ‫اﻟﱠﻠ ْﻴﻞِ َو ُه ْﻢ َﻳ‬
Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang
berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di
malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang). (QS.Ali
Imrân/3:113)

‫ﺟ ُﺪ ٍر‬
ُ ‫ﻦ َورَا ِء‬ ْ ‫ﺼ َﻨ ٍﺔ َأ ْو ِﻣ‬
‫ﺤ ﱠ‬َ ‫ﻻ ﻓِﻲ ُﻗﺮًى ُﻣ‬ ‫ﺟﻤِﻴﻌًﺎ ِإ ﱠ‬ َ ‫ﻻ ُﻳﻘَﺎ ِﺗﻠُﻮ َﻧ ُﻜ ْﻢ‬ َ
‫ﻚ ِﺑَﺄ ﱠﻧ ُﻬ ْﻢ ﻗَ ْﻮ ٌم‬
َ ‫ﺟﻤِﻴﻌًﺎ َو ُﻗﻠُﻮ ُﺑ ُﻬ ْﻢ ﺷَﺘﱠﻰ َذِﻟ‬
َ ‫ﺴ ُﺒ ُﻬ ْﻢ‬
َ‫ﺤ‬ْ ‫ﺳ ُﻬ ْﻢ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻬ ْﻢ ﺷَﺪِﻳ ٌﺪ َﺗ‬
ُ ‫َﺑ ْﺄ‬
‫ن‬ َ ‫ﻻ َﻳ ْﻌ ِﻘﻠُﻮ‬ َ

70
Mereka tiada akan memerangi kamu dalam keadaan bersatu padu, kecuali
dalam kampung-kampung yang berbenteng atau di balik tembok.
Permusuhan antara sesama mereka adalah sangat hebat. Kamu kira mereka
itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu karena
sesungguhnya mereka adalah kaum yang tiada mengerti. (QS.al-
Hasyr/59:14)
Beberapa ayat di atas memberikan isyarat dan memberikan petunjuk

kepada umat Islam bahwa kita tidak boleh menggeneralkan ahli kitab. Kita

tidak boleh menganggap bahwa semua ahli kitab salah dan fasik. Bahkan

dalam surat Ali Imran ayat 199 al-Qur’an menegaskan bahwa sebagian ahli

kitab beriman kepada Allah dan al-Qur’an.

‫ل‬
َ ‫ل ِإَﻟ ْﻴ ُﻜ ْﻢ وَﻣَﺎ ُأ ْﻧ ِﺰ‬
َ ‫ﷲ َوﻣَﺎ ُأ ْﻧ ِﺰ‬ِ ‫ﻦ ﺑِﺎ‬ ُ ‫ﻦ ُﻳ ْﺆ ِﻣ‬
ْ ‫ب َﻟ َﻤ‬
ِ ‫ﻞ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ‬ ِ ‫ﻦ َأ ْه‬
ْ ‫ن ِﻣ‬ ‫َوِإ ﱠ‬
‫ﻚ َﻟ ُﻬ ْﻢ‬َ ‫ﻼ أُوَﻟ ِﺌ‬
ً ‫ﷲ ﺛَﻤَﻨًﺎ َﻗﻠِﻴ‬ ِ ‫تا‬ ِ ‫ن ﺑِﺂﻳَﺎ‬ َ ‫ﺸ َﺘﺮُو‬ْ ‫ﻻ َﻳ‬ َ ‫ﷲ‬ ِ ‫ﻦ‬ َ ‫ﺷﻌِﻴ‬ ِ ‫ِإَﻟ ْﻴ ِﻬ ْﻢ ﺧَﺎ‬
‫ب‬ ِ ‫ﺤﺴَﺎ‬ ِ ‫ﺳﺮِﻳ ُﻊ ا ْﻟ‬ َ ‫ﷲ‬َ ‫نا‬ ‫ﻋ ْﻨ َﺪ َر ﱢﺑ ِﻬ ْﻢ ِإ ﱠ‬
ِ ‫ﺟ ُﺮ ُه ْﻢ‬
ْ ‫َأ‬
Dan sesungguhnya di antara ahli kitab ada orang yang beriman kepada
Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan
kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak
menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka memperoleh
pahala di sisi Tuhan-nya. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya.
(QS.Ali ‘Imrân/3:199)

Tidak sedikit di antara ahli kitab yang secara tulus ikhlas mengakui

kebenaran agama Islam dan memeluknya. Salah seorang yang populer di

antara mereka adalah ‘Abdullâh bin Salâm (w. 43 H.). al-Qurtûbî (w. 567 H.)

dalam tafsirnya meriwayatkan, bahwa ketika turun firman Allah:

‫ن َﻓﺮِﻳﻘًﺎ‬
‫ن َأ ْﺑﻨَﺎ َء ُه ْﻢ َوِإ ﱠ‬
َ ‫ب َﻳ ْﻌ ِﺮﻓُﻮ َﻧ ُﻪ آَﻤَﺎ َﻳ ْﻌ ِﺮﻓُﻮ‬
َ ‫ﻦ ءَا َﺗ ْﻴﻨَﺎ ُه ُﻢ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ‬
َ ‫اﱠﻟﺬِﻳ‬
‫ن‬ َ ‫ﻖ َو ُه ْﻢ َﻳ ْﻌَﻠﻤُﻮ‬
‫ﺤﱠ‬ َ ‫ن ا ْﻟ‬ َ ‫ِﻣ ْﻨ ُﻬ ْﻢ َﻟ َﻴ ْﻜ ُﺘﻤُﻮ‬
Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat
dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya
sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan
kebenaran, padahal mereka mengetahui. (QS. al-Baqarah/2:146)

71
Sayyidina ‘Umar r.a. (w. 23 H.) bertanya kepada Abdullâh bin Salâm:

“Apakah engkau mengenal Muhammad sebagaimana engkau mengenal

anakmu?” ‘Abdullâh menjawab: “Ya, bahkan lebih. (Malaikat) yang

terpercaya turun dari langit kepada manusia yang terpercaya di bumi,

menjelaskan sifat (cirinya), maka kukenal dia; (sedang anakku) aku tidak tahu

apa yang telah dilakukan ibunya.”71

Sebagai Zat yang telah menurunkan al-Qur’an dan pemegang segala

kekuasaan, Allah berhak untuk memberikan hidayah-Nya kepada siapa saja

yang dikehendaki-Nya (QS.39:23), termasuk ahli kitab. Itulah sebabnya, ahli

kitab yang tidak bersikap apriori kepada Nabi Muhammad saw. dan al-Qur’an,

akan mengakui kebenaran yang dikandung oleh kitab suci tersebut. Bahkan,

ketika sebagian rangkaian ayat-ayat kitab suci itu dibacakan, berlinanglah air

mata mereka. Dalam surat al-Maidah ayat 83 Allah menyatakan:

‫ﻦ‬
َ ‫ﺾ ِﻣ‬
ُ ‫ﻋ ُﻴ َﻨ ُﻬ ْﻢ َﺗﻔِﻴ‬ ْ ‫ل ﺗَﺮَى َأ‬ ِ ‫ل إِﻟَﻰ اﻟ ﱠﺮﺳُﻮ‬ َ ‫ﺳ ِﻤﻌُﻮا ﻣَﺎ ُأ ْﻧ ِﺰ‬
َ ‫َوِإذَا‬
‫ن رَ ﱠﺑﻨَﺎ ءَاﻣَﻨﱠﺎ ﻓَﺎ ْآ ُﺘ ْﺒﻨَﺎ َﻣ َﻊ‬
َ ‫ﻖ َﻳﻘُﻮﻟُﻮ‬
‫ﺤﱢ‬َ ‫ﻦ ا ْﻟ‬
َ ‫ﻋ َﺮﻓُﻮا ِﻣ‬ َ ‫اﻟ ﱠﺪ ْﻣ ِﻊ ِﻣﻤﱠﺎ‬
‫ﻦ‬ َ ‫اﻟﺸﱠﺎ ِهﺪِﻳ‬
Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul
(Muhammad) kamu melihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan
kebenaran (al-Qur’an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka
sendiri); seraya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah
kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran al-Qur’an dan
kenabian Muhammad saw.) (QS.al-Maidah/5:83)
Ayat di atas menjelaskan ayat sebelumnya (82) yang menyatakan bahwa

orang Nasrani di zaman Rasulullah saw. lebih dekat kepada orang-orang

mukmin daripada orang-orang Yahudi dan musyrik. Di antara mereka

terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib yang masih bersih hatinya sehingga

71
Ibid, h. 358

72
ketika sebagian ayat al-Qur’an dilantunkan kepada mereka, merekapun

menangis karena mengetahui dan menyadari bahwa itu adalah haq (benar).

Menurut Ibn ‘Abbâs r.a. (w. 68 H.), ayat ini turun berkenaan dengan

Najasyi dan para koleganya ketika Ja’far bin Abî Tâlib (w. 8 H.) membacakan

kepada mereka ayat-ayat al-Qur’an. Menurut Ibn ‘Abbâs (w. 68 H.),

Rasulullah mengkhawatirkan para sahabatnya yang banyak menerima

gangguan dari orang-orang musyrik di Mekah. Beliaupun mengutus Ja’far bin

Abî Tâlib dan Ibn Mas’ûd (w. 32 H.)bersama rombongan untuk datang kepada

Raja Najasyi. Beliau bersabda: “Sesungguhnya ia (Najasyi) adalah seorang

raja yang baik (sâlih) yang tidak pernah berbuat zalim terhadap seseorang.

Pergilah kepadanya sehingga Allah akan memberikan kelapangan kepada

kaum muslimin.” Ketika kaum muslimin ini tiba di Habsyah, Najasyi sangat

menghormatinya. Najasyi bertanya kepada mereka: “Apakah kalian

mengetahui sesuatu yang diturunkan kepada kalian?” Mereka menjawab:

“Ya.” Selanjutnya beliau memerintahkan mereka untuk membacakan ayat-

ayat al-Qur’an, sementara di sekitarnya hadir beberapa pendeta dan rahib.

Setiap kali membacakan ayat al-Qur’an, berlinanglah air mata mereka karena

mereka mengetahui bahwa itu adalah benar.72

Ada pula riwayat yang diterima oleh Sa’îd bin Musayyab (w.193 H.), Abû

Bakar bin Abdurrahmân, Hârits bin Hisyâm (w. 15 H.), dan ‘Urwah bin Zubair

(w. 94 H.). Mereka semua mengatakan bahwa Rasulullah saw. telah mengutus

‘Amr bin Umayyah al-Damrî (w. 59 H.) membawa sepucuk surat kepada Najasyi.

Ketika telah diterima oleh Najasyi, iapun membaca surat Rasulullah itu. Isi surat

Rasulullah itu meminta kepada Najasyi agar berkenan memberikan perlindungan

72
al-Wâhidî, Asbâb al-Nuzûl, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1994), h.113

73
kepada sahabat-sahabat beliau yang datang ke negeri itu yang dipimpin oleh

Ja’far bin Abî Tâlib (w. 8 H.) Setelah itu, Raja Najasyi meminta agar semua

orang-orang muhajirin itu dipanggil, termasuk pimpinannya (Ja’far). Kemudian,

baginda meminta agar para pendeta dan rahib juga turut hadir dalam pertemuan

itu. Ketika telah berkumpul, Baginda memerintahkan Ja’far agar membaca

sebagian ayat-ayat al-Qur’an di hadapan para pendeta dan rahib. Ja’farpun

membacakan surat Maryam. Mendengar surat Maryam yang dibacakan,

berimanlah mereka semua sambil mencucurkan air mata.73

Dalam riwayat lain yang mirip dengan riwayat di atas yang diterima dari

Qatâdah (w.117 H.) disebutkan, bahwa orang-orang Quraisy tidak senang

melihat kaum muslimin meminta perlindungan ke negeri Habsyah di bawah

kekuasaan raja Najasyi. Merekapun mengutus dua orang utusan, yaitu ‘Amr

bin ‘As (w. 43 H.) dan ‘Ummârah bin Wâlid untuk menghadap raja Najasyi.

Utusan itu akan meminta kepada Baginda agar menyerahkan kaum Muhajirin

kepada mereka untuk dibawa pulang ke Mekah. Akan tetapi, Najasyi tidak

mau menuruti kedua utusan itu sebelum Baginda mendengar sendiri dari kaum

muslimin, apa sebenarnya pendirian mereka terhadap Nabi baru itu. Ketika

kaum muslimin dan kedua utusan Quraisy itu telah berkumpul di satu majlis,

Najasyipun bertanya tentang Nabi baru itu. Ja’far bin Abî Tâlib (w.8 H.),

sebagai ketua rombongan, menjawab, “Memang, kepada kami telah diutus

seorang Nabi, sebagaimana yang juga pernah diutus kepada umat-umat

sebelum kami. Dia telah menyeru kepada kami untuk beriman kepada Allah

Yang Mahatunggal. Dia telah menyuruh kami berbuat ma’ruf. Dia telah

73
Hamka, Tafsir Al Azhar, Juzu 7, hal. 6; al-Tabarsî, Majma’ al-Bayân, , Juz 3, h. 384;
Fakhruddîn al-Râzî, Mafâtîh al-Ghaib, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1985), Cet.III, Juz 12, h. 72

74
melarang kami berbuat kemunkaran. Dia telah memerintahkan kami supaya

menghubungkan kasih sayang dan jangan memutuskannya. Dia telah

memerintahkan kami memenuhi janji dan tidak mengingkarinya. Tetapi

sayang sekali, kaum kami telah benci kepada kami lantaran itu sehingga kami

diusir karena beriman kepadanya. Maka, kamipun memohon perlindungan

kepada engkau. Itulah sebabnya, kami datang ke sini.”

Mendengar itu, Najasyi terharu dan serta merta menyambutnya dengan

baik. ‘Amr bin ‘As (w. 43 H.) tidak kehabisan akal. Iapun berkata dengan

nada hasutan, “Mereka berkata tentang Isâ, berbeda sekali dengan yang kamu

percayai.” Najasyipun bertanya kepada kaum Muhajirin. Mereka menjawab,

“Kami bersaksi bahwa Isa adalah hamba Allah, Rasul Allah, kalimat Allah,

dan ruh-Nya. Ia dilahirkan oleh seorang perawan yang suci.” Najasyi

menyambut: “Memang begitu, kalian tidak salah.” Lalu Baginda berkata

kepada ‘Amr dan kawannya: “Kalau kalian bukan tamuku, niscaya telah aku

hukum kalian.”

Karena gagal, kedua utusan itu kembali ke Mekah dengan tangan hampa.

Sementara Najasyi tertarik kepada Islam dan memeluknya. Ketika Ja’far akan

kembali ke Madinah, karena Rasul juga telah hijrah ke Madinah, Najasyi

Ashamah itu mengutus pula beberapa pendeta dan rahib dalam rangka

mempererat silaturrahim dengan Rasulullah saw. Menurut riwayat Ibn Jarîr

(w.310 H.) dan Ibn Abî Hâtim (w.328 H.) yang diterima dari al-Suddî (w.127

H.), jumlah utusan yang datang bersama Ja’far adalah dua belas orang, tujuh

pendeta dan lima rahib. Ketika mereka telah hadir di majlis Rasulullah,

75
dibacakanlah sebagian ayat al-Qur’an. Mereka terharu dan menangis

mendengarkannya, dan pada akhirnya memeluk Islam.74

Riwayat-riwayat di atas, menandaskan bahwa Baginda Najasyi ataupun

para pendeta dan rahib, telah menunjukkan sikap obyektif dalam menyikapi

ayat-ayat al-Qur’an. Keterpesonaan kalbu mereka, tak dapat dipungkiri. Apa

yang diinformasikan al-Qur’an, memang sesuai dengan kabar gembira yang

mereka nanti-nanti tentang akan diutusnya Muhammad saw. Dengan linangan

air mata tanda ketulusan, mereka beriman kepada al-Qur’an dan memeluk

agama Islam, seraya berkata: “Robbanaa aamannaa faktubnaa ma’asy

syaahidiin” (Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama

orang-orang yang menjadi saksi {atas kebenaran al-Qur’an dan kenabian Nabi

Muhammad saw.}).75 Menurut al-Syaikh ‘Ali al-Sâbûnî, tangisan yang terjadi

pada diri mereka disebabkan rasa takut terhadap Allah karena kehalusan kalbu

mereka serta pengaruh positif dari ayat-ayat al-Qur’an yang membekas dalam

hati mereka. Tangisan seperti inilah tangisan positif yang dicintai dan diridhai

oleh Allah dan Rasul-Nya. Tangisan seperti inilah yang membuat neraka

enggan untuk menyentuhnya apalagi membakarnya.

Ada pula rangkaian ayat lain yang menggambarkan bahwa di antara ahli

kitab ada yang mengakui kebenaran al-Qur’an.

‫و َﻧﺬِﻳﺮًا‬
َ ‫ﻻ ُﻣﺒَﺸﱢﺮًا‬ ‫ك ِإ ﱠ‬
َ ‫ﺳ ْﻠﻨَﺎ‬
َ ‫ل وَﻣَﺎ َأ ْر‬َ ‫ﻖ َﻧ َﺰ‬
‫ﺤﱢ‬ َ ‫ﻖ َأ ْﻧ َﺰ ْﻟﻨَﺎ ُﻩ َوﺑِﺎ ْﻟ‬
‫ﺤﱢ‬َ ‫َوﺑِﺎ ْﻟ‬
‫ﺚ َو َﻧ ﱠﺰ ْﻟﻨَﺎ ُﻩ‬ ٍ ‫س ﻋَﻠَﻰ ُﻣ ْﻜ‬ ِ ‫ﻋﻠَﻰ اﻟﻨﱠﺎ‬ َ ‫َو ُﻗ ْﺮءَاﻧًﺎ َﻓ َﺮ ْﻗﻨَﺎ ُﻩ ِﻟ َﺘ ْﻘ َﺮَأ ُﻩ‬
ْ ‫ﻦ أُوﺗُﻮا ا ْﻟ ِﻌ ْﻠ َﻢ ِﻣ‬
‫ﻦ َﻗ ْﺒِﻠ ِﻪ‬ َ ‫ن اﱠﻟﺬِﻳ‬‫ﻻ ُﺗ ْﺆ ِﻣﻨُﻮا ِإ ﱠ‬
َ ‫ﻞ ءَاﻣِﻨُﻮا ِﺑ ِﻪ َأ ْو‬ ْ ‫ﻼ ُﻗ‬ ً ‫َﺗ ْﻨﺰِﻳ‬
‫ن‬
َ ‫ن آَﺎ‬
ْ ‫ن َر ﱢﺑﻨَﺎ ِإ‬
َ ‫ﺳ ْﺒﺤَﺎ‬
ُ ‫ن‬ َ ‫ﺠﺪًا َو َﻳﻘُﻮﻟُﻮ‬ ‫ﺳﱠ‬ ُ ‫ن‬ ِ ‫ﻸ ْذﻗَﺎ‬
َ ‫ن ِﻟ‬
َ ‫ﺨﺮﱡو‬ ِ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ْﻢ َﻳ‬
َ ‫ِإذَا ُﻳ ْﺘﻠَﻰ‬
‫ﺧﺸُﻮﻋًﺎ‬ ُ ‫ن َو َﻳﺰِﻳ ُﺪ ُه ْﻢ‬
َ ‫ن َﻳ ْﺒﻜُﻮ‬
ِ ‫ﻸ ْذﻗَﺎ‬
َ ‫ن ِﻟ‬
َ ‫ﺨﺮﱡو‬ ِ ‫ﻋ ُﺪ َر ﱢﺑﻨَﺎ ﻟَﻤَ ْﻔﻌُﻮﻻً َو َﻳ‬ْ ‫َو‬
74
Hamka, Tafsir Al Azhar, Juzu 7, h. 7
75
Wahbah Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, Juz 7, h. 9

76
Dan Kami turunkan (al-Qur’an) itu dengan sebenar-benarnya dan al-
Qur’an itu telah turun dengan (membawa) kebenaran. Dan Kami tidak
mengutus kamu, melainkan sebagai pembawa berita gembira dan pemberi
peringatan. Dan al-Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur
agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami
menurunkannya bagian demi bagian. Katakanlah: "Berimanlah kamu
kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya
orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila al-Qur’an
dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil
bersujud,dan mereka berkata: "Maha Suci Tuhan kami; sesungguhnya janji
Tuhan kami pasti dipenuhi".Dan mereka menyungkur atas muka mereka
sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk. (QS.al-Isrâ/17:105-109)
Ayat di atas juga menjelaskan bahwa ahli kitab yang berpengetahuan dan

shalih yang berpegang teguh kepada kitab mereka, tidak mengganti dan

mengubah-ubahnya, ketika kepada mereka dibacakan ayat-ayat al-Qur’an,

maka hati mereka akan bergetar. Mereka segera sujud di atas bumi

meletakkan wajah mereka, sebagai wujud pengagungan kepada Allah dan

sebagai tanda syukur atas anugerah nikmat-Nya. Merekapun tidak mampu

menahan deraian air mata dari bola matanya. Ayat-ayat al-Qur’an yang

dibacakan itu telah menambah rasa takut (khasy-yah) dan rendah diri

(tawâ du’) mereka di hadapan Allah.76

Menurut Mujâhid, di antara ahli kitab yang berperilaku seperti ini adalah

Zaid bin ‘Amr bin Naufal dan Waraqah bin Naufal dari Mekah, serta

‘Abdullâh bin Salâm (w. 43 H.) dari Madinah. Mereka inilah orang-orang

yang pandai dan bersih hatinya sehingga mau beriman kepada al-Qur’an.

Zaid bin Naufal adalah seorang yang banyak melakukan pengembaraan,

terutama ke negeri Syam, dan banyak bertanya. Meski ia belum memeluk

suatu agama, namun ia mengakui dan meyakini bahwa Allah itu Esa dan ia

sangat membenci penyembahan berhala.

76
‘Ali al-Sâbûnî, Safwah al-Tafâsîr, Jilid 2, h. 179; Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm,
Juz 3, h. 68; Wahbah Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, Juz 15, h. 185

77
Waraqah bin Naufalpun telah mempelajari agama Nasrani sehingga ia

mengetahui isi Injil. Dia telah mendapatkan intisari ajaran tauhid Nabi Isâ a.s.

Oleh karena itu, ketika Siti Khadîjah (keponakannya) membawa Muhammad

saw. menemuinya setelah mendapatkan wahyu melalui malaikat Jibril, serta

merta ia mengatakan bahwa yang datang itu adalah namus, malaikat Jibril,

atau Ruh Kudus, yang juga pernah datang kepada Musa dan Isa. Dia beriman

kepada Muhammad saw. Dia juga mengatakan, bahwa kelak Muhammad saw.

akan dimusuhi dan diusir dari negerinya. Andaikata ketika itu, dia masih ada,

tentu ia akan membela Muhammad saw. Demikian tekad Waraqah bin Naufal.

Sedangkan ‘Abdullâh bin Salâm (w. 43 H.) adalah seorang pendeta

Yahudi Madinah yang berwawasan dan berpikiran luas. Ketika Rasulullah

saw. mulai hijrah ke Madinah, ia menyelinap di antara kerumunan orang untuk

memperhatikan dan mendengarkan pidato Rasulullah saw. yang pertama.

Pidatonya tidak panjang dan tidak banyak bunga. Dia sungguh tertarik dan

bersaksi “Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.”

Begitulah sikap orang-orang salih yang berilmu. Mereka dengar dan

mereka sujud, sambil berkata, “Mahasuci Tuhan kami. Sesungguhnya janji

Tuhan kami pasti dipenuhi.”(ayat 108)

Menurut Dr. Wahbah Zuhaili, sujud yang mereka lakukan ini, secara tidak

langsung merupakan sindiran kepada orang-orang Jahiliyah dan orang-orang

musyrik. Meskipun mereka (Orang-orang Jahiliyah dan musyrikin) tidak

beriman kepada al-Qur’an, akan tetapi orang-orang pilihan dan para

cendikiawan ahli kitab yang membaca kitab-kitab terdahulu, mengetahui

tentang wahyu dan syari’at, mereka beriman dan membenarkannya. Mereka

78
yakin bahwa Muhammad saw. adalah nabi yang dijanjikan dalam kitab-kitab

yang mereka baca. Mereka menyungkurkan wajah mereka, bersujud,

menangis, dalam keadaan khusyu’ dan rendah diri karena takut kepada Allah,

serta karena beriman dan membenarkan kitab dan Rasul-Nya.77

Tangisan yang mereka tunjukan adalah tangisan terpuji yang disukai Allah

dan rasul-Nya. dalam salah satu sabdanya, Rasulullah saw. bersabda:

‫ﻻ‬
َ ‫ن‬ِ ‫ﻋ ْﻴﻨَﺎ‬
َ ‫ل‬ ُ ‫ َﻳﻘُﻮ‬ρ ‫ﷲ‬ ِ ‫ل ا‬َ ‫ﺖ َرﺳُﻮ‬ ُ ‫ﺳ ِﻤ ْﻌ‬
َ ‫ل‬ َ ‫س ﻗَﺎ‬ ٍ ‫ﻋﺒﱠﺎ‬
َ ‫ﻦ‬ ِ ‫ﻦ ا ْﺑ‬ْ‫ﻋ‬َ
‫س ﻓِﻲ‬
ُ ‫ﺤ ُﺮ‬ ْ ‫ﺖ َﺗ‬ْ ‫ﻦ ﺑَﺎ َﺗ‬
ٌ ‫ﻋ ْﻴ‬
َ ‫ﷲ َو‬ِ ‫ﺸ َﻴ ِﺔ ا‬
ْ‫ﺧ‬َ ‫ﻦ‬ْ ‫ﺖ ِﻣ‬ ْ ‫ﻦ َﺑ َﻜ‬
ٌ ‫ﺴ ُﻬﻤَﺎ اﻟﻨﱠﺎ ُر ﻋَ ْﻴ‬‫ﺗَﻤَ ﱡ‬
78
‫ﷲ‬
ِ ‫ﺳَﺒِﻴﻞِ ا‬
Dari Ibnu Abbas ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Ada dua mata yang
tidak akan disentuh oleh api neraka, yaitu: mata yang menangis karena takut
kepada Allah dan mata yang begadang menjaga (kemanan kaum muslimin) di
jalan allah.” (HR al-Tirmidzî).

4. Tangisan Orang yang Berhalangan Berjihad

Dalam pandangan Islam, jihad adalah perbuatan yang amat mulia. Oleh

karena itu, jihad menjadi sebuah keniscayaan dalam hidup seorang mukmin.

Tanpanya, keimanan seseorang patut untuk dipertanyakan.

Seorang pakar al-Qur’an, al-Râghib al-Isfahânî (w. 502 H.), dalam kitab

“Mu’jam Mufradât Alfâz al-Qur’ân” menegaskan bahwa jihad dan mujahadah

adalah mengerahkan segala tenaga untuk mengalahkan musuh. Jihad terdiri

dari tiga macam: (1) Menghadapi musuh yang nyata, (2) Menghadapi setan,

77
Wahbah Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, Juz 15, hal.186
78
Ibid; Nilai Hadis ini hasan garib. Lihat al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 3, Abwâb al-
Jihâd Bâb Mâ Jâ fî Fadl al-Hars fî Sabîl al-Lâh, no. hadis 1690, h. 96

79
(3) Menghadapi nafsu yang terdapat dalam diri masing-masing. Ketiga makna

jihad ini, menurut Al-Isfahani (w. 502 H.), dicakup oleh ayat berikut ini:79

‫ﻚ‬
َ ‫ﷲ أُوَﻟ ِﺌ‬
ِ ‫ﺟﺮُوا وَﺟَﺎهَﺪُوا ﻓِﻲ ﺳَﺒِﻴﻞِ ا‬َ ‫ﻦ هَﺎ‬
َ ‫ﻦ ءَاﻣَﻨُﻮا وَاﱠﻟﺬِﻳ‬ َ ‫ن اﱠﻟﺬِﻳ‬
‫ِإ ﱠ‬
‫ر رَﺣِﻴ ٌﻢ‬
ٌ ‫ﷲ ﻏَﻔُﻮ‬
ُ ‫ﷲ وَا‬ ِ ‫ﺣ َﻤ َﺔ ا‬
ْ ‫ن َر‬َ ‫َﻳ ْﺮﺟُﻮ‬
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan
berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS.al-Baqarah/2:218)

‫ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ ﻓِﻲ‬
َ ‫ﻞ‬ َ ‫ﺟ َﻌ‬
َ ‫ﺟ َﺘﺒَﺎ ُآ ْﻢ َوﻣَﺎ‬ْ ‫ﺟﻬَﺎ ِد ِﻩ ُه َﻮ ا‬ ِ ‫ﻖ‬ ‫ﺣﱠ‬ َ ‫ﷲ‬ ِ ‫وَﺟَﺎهِﺪُوا ﻓِﻲ ا‬
‫ﻞ‬
ُ ‫ﻦ َﻗ ْﺒ‬
ْ ‫ﻦ ِﻣ‬ َ ‫ﺴِﻠﻤِﻴ‬
ْ ‫ﺳﻤﱠﺎ ُآ ُﻢ ا ْﻟ ُﻤ‬
َ ‫ج ِﻣﱠﻠ َﺔ َأﺑِﻴ ُﻜ ْﻢ ِإ ْﺑﺮَاهِﻴ َﻢ ُه َﻮ‬ٍ ‫ﺣ َﺮ‬
َ ‫ﻦ‬ ْ ‫ﻦ ِﻣ‬ ِ ‫اﻟﺪﱢﻳ‬
‫ﺷ َﻬﺪَا َء ﻋَﻠَﻰ‬ ُ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ َو َﺗﻜُﻮﻧُﻮا‬ َ ‫ﺷﻬِﻴﺪًا‬ َ ‫ل‬ ُ ‫ن اﻟ ﱠﺮﺳُﻮ‬ َ ‫َوﻓِﻲ هَﺬَا ِﻟ َﻴﻜُﻮ‬
‫ﷲ ُه َﻮ‬ ِ ‫ﺼﻤُﻮا ﺑِﺎ‬ ِ ‫ﻋ َﺘ‬ ْ ‫ﺼَﻠﻮ َة َوءَاﺗُﻮا اﻟ ﱠﺰ َآﻮ َة وَا‬ ‫س ﻓَﺄَﻗِﻴﻤُﻮا اﻟ ﱠ‬ ِ ‫اﻟﻨﱠﺎ‬
‫ﺮ‬ ُ ‫ﻻ ُآ ْﻢ َﻓ ِﻨ ْﻌ َﻢ ا ْﻟ َﻤ ْﻮﻟَﻰ َو ِﻧ ْﻌ َﻢ اﻟ ﱠﻨﺼِﻴ‬
َ ‫َﻣ ْﻮ‬
Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-
benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan
untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu
Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari
dahulu, dan (begitu pula) dalam (al-Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi
saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap
manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah
kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik
Pelindung dan sebaik-baik Penolong. (QS.al-Hajj/22:78)
Dalam kehidupan seorang mukmin, jihad tidak dapat dipisahkan. Seorang

mukmin akan senantiasa berusaha untuk berjihad dengan harta dan jiwanya

sekuat kemampuannya. Allah menegaskan:

‫ﺴ ِﻬ ْﻢ‬
ِ ‫ﻦ ءَاﻣَﻨُﻮا َﻣ َﻌ ُﻪ ﺟَﺎهَﺪُوا ِﺑَﺄ ْﻣﻮَاِﻟ ِﻬ ْﻢ َوَأ ْﻧ ُﻔ‬ َ ‫ل وَاﱠﻟﺬِﻳ‬ ُ ‫ﻦ اﻟ ﱠﺮﺳُﻮ‬ ِ ‫َﻟ ِﻜ‬
‫ﷲ َﻟ ُﻬ ْﻢ‬ ُ ‫ﻋ ﱠﺪ ا‬ َ ‫ن َأ‬ َ ‫ﻚ ُه ُﻢ ا ْﻟ ُﻤ ْﻔِﻠﺤُﻮ‬
َ ‫ت َوأُوَﻟ ِﺌ‬ُ ‫ﺨ ْﻴﺮَا‬َ ‫ﻚ َﻟ ُﻬ ُﻢ ا ْﻟ‬
َ ‫َوأُوَﻟ ِﺌ‬
‫ﻚ ا ْﻟ َﻔ ْﻮ ُز‬ َ ‫ﻦ ﻓِﻴﻬَﺎ َذِﻟ‬ َ ‫ﻷ ْﻧﻬَﺎ ُر ﺧَﺎِﻟﺪِﻳ‬
َ ‫ﺤ ِﺘﻬَﺎ ا‬ْ ‫ﻦ َﺗ‬ْ ‫ﺠﺮِي ِﻣ‬ ْ ‫ت َﺗ‬ٍ ‫ﺟﻨﱠﺎ‬ َ
‫ﻌﻈِﻴ ُﻢ‬ َ ‫ا ْﻟ‬
Tetapi Rasul dan orang-orang yang beriman bersama dia, mereka berjihad
dengan harta dan diri mereka. Dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh
kebaikan; dan mereka itulah (pula) orang-orang yang beruntung. Allah telah

79
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, h.506-507

80
menyediakan bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai,
mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. (QS.al-Taubah/9:88-
89)
Sebagai Zat Yang Mahabijaksana, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal

perbuatan hamba-Nya yang ikhlas, semata-mata mencari keridhaan-Nya. Dia

akan mencintai dan melindungi hamba yang berjihad dengan hati bersih dan

niat yang tulus. Perhatikanlah firman Allah berikut ini:

‫ن‬
ٌ ‫ﺳﺒِﻴِﻠ ِﻪ ﺻَﻔًّﺎ َآَﺄ ﱠﻧ ُﻬ ْﻢ ُﺑ ْﻨﻴَﺎ‬
َ ‫ن ﻓِﻲ‬
َ ‫ﻦ ُﻳﻘَﺎ ِﺗﻠُﻮ‬
َ ‫ﺤﺐﱡ اﱠﻟﺬِﻳ‬
ِ ‫ﷲ ُﻳ‬
َ ‫ن ا‬
‫ِإ ﱠ‬
‫ص‬ٌ ‫َﻣ ْﺮﺻُﻮ‬
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya
dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang
tersusun kokoh.(QS.al-Saff/61:4)
Kecintaan merupakan tingkatan tertinggi dari ridha-Nya. Semua kaum

mukmin mendapatkan predikat ini. Semua berlomba-lomba untuk

mendapatkan cinta dari-Nya, sehingga hamba yang takwa senantiasa mencari

jalan untuk mendekatkan diri kepada-Nya demi mendapatkan kasih sayang

dan cinta dari-Nya. Hamba yang ikhlas mengadakan transaksi yang mulia ini

kepada Allah, sebagaimana yang disebutkan dalam surat al-Taubah ayat 111

berikut ini:

‫ﺠﱠﻨ َﺔ‬ َ ‫ن َﻟ ُﻬ ُﻢ ا ْﻟ‬‫ﺴ ُﻬ ْﻢ َوَأ ْﻣﻮَاَﻟ ُﻬ ْﻢ ِﺑَﺄ ﱠ‬


َ ‫ﻦ ا ْﻟ ُﻤ ْﺆﻣِﻨِﻴﻦَ َأ ْﻧ ُﻔ‬ َ ‫ﺷ َﺘﺮَى ِﻣ‬ ْ‫ﷲ ا‬ َ ‫ن ا‬ ‫ِإ ﱠ‬
‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ ﺣَﻘًّﺎ ﻓِﻲ اﻟﱠﺘ ْﻮرَا ِة‬ َ ‫ﻋﺪًا‬ ْ ‫ن َو‬َ ‫ن َوُﻳ ْﻘ َﺘﻠُﻮ‬ َ ‫ﷲ َﻓ َﻴ ْﻘُﺘﻠُﻮ‬ ِ ‫ن ﻓِﻲ ﺳَﺒِﻴﻞِ ا‬ َ ‫ُﻳﻘَﺎ ِﺗﻠُﻮ‬
‫ﺸﺮُوا ِﺑ َﺒ ْﻴ ِﻌ ُﻜ ُﻢ‬
ِ ‫ﺳ َﺘ ْﺒ‬
ْ ‫ﷲ ﻓَﺎ‬ ِ ‫ﻦا‬ َ ‫ﻦ أَ ْوﻓَﻰ ِﺑ َﻌ ْﻬ ِﺪ ِﻩ ِﻣ‬ ْ ‫ن َو َﻣ‬ ِ ‫ﻞ وَا ْﻟ ُﻘ ْﺮءَا‬ ِ ‫ﻹ ْﻧﺠِﻴ‬ِ ‫وَا‬
‫ﻌﻈِﻴ ُﻢ‬ َ ‫ﻚ ُه َﻮ ا ْﻟ َﻔ ْﻮ ُز ا ْﻟ‬َ ‫اﱠﻟﺬِي ﺑَﺎ َﻳ ْﻌُﺘ ْﻢ ِﺑ ِﻪ َو َذِﻟ‬
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan
harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang
pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi)
janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan al-Qur’an. Dan siapakah
yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah
dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang
besar.

81
Dalam berbagai hadisnya, Rasulullah saw. acapkali memberikan

pernyataan bahwa jihad adalah suatu aktivitas mulia demi meraih predikat

mulia dalam kehidupan seorang mukmin. Itulah sebabnya, beliau juga

memotivasi umatnya untuk merealisasikannya dalam kehidupan nyata.

ُ ‫ ُﻗ ْﻠ‬ρ ‫ﷲ‬
‫ﺖ‬ ِ ‫لا‬ َ ‫ﺖ َرﺳُﻮ‬ ُ ‫ﺳَﺄ ْﻟ‬
َ ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ‬
َ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﻲا‬ َ‫ﺿ‬ ِ ‫ﺴﻌُﻮ ٍد َر‬ ْ ‫ﻦ َﻣ‬ ِ ‫ﷲ ْﺑ‬
ِ ‫ﻋ ْﺒ ِﺪ ا‬
َ ‫ﻋﻦ‬
‫ﺖ ُﺛﻢﱠ‬
ُ ‫ﻼ ُة ﻋَﻠَﻰ ﻣِﻴﻘَﺎ ِﺗﻬَﺎ ُﻗ ْﻠ‬َ‫ﺼ‬ ‫ل اﻟ ﱠ‬ َ ‫ﻞ ﻗَﺎ‬ُ‫ﻀ‬ َ ‫ﻞ َأ ْﻓ‬
ِ ‫ي ا ْﻟ َﻌ َﻤ‬ ‫ﷲ َأ ﱡ‬ِ ‫لا‬ َ ‫ﻳَﺎ َرﺳُﻮ‬
‫ﷲ‬
ِ ‫ﺠﻬَﺎ ُد ﻓِﻲ ﺳَﺒِﻴﻞِ ا‬ ِ ‫ل ا ْﻟ‬َ ‫ي ﻗَﺎ‬ ‫ﺖ ُﺛﻢﱠ َأ ﱞ‬ ُ ‫ﻦ ُﻗ ْﻠ‬
ِ ‫ل ُﺛﻢﱠ ِﺑ ﱡﺮ ا ْﻟﻮَاِﻟ َﺪ ْﻳ‬َ ‫ي ﻗَﺎ‬‫َأ ﱞ‬
80
ْ ‫ َوَﻟ ْﻮ ا‬ρ ِ‫ل اﻟﱠﻠﻪ‬
‫ﺳ َﺘ َﺰ ْد ُﺗ ُﻪ َﻟﺰَا َدﻧِﻲ‬ ِ ‫ﻦ َرﺳُﻮ‬ ْ‫ﻋ‬ َ ‫ﺖ‬ ‫ﺴ َﻜ ﱡ‬
َ ‫َﻓ‬
Dari Abdullâh bin Mas’ûd r.a. ia berkata: Saya bertanya kepada Rasulullah
saw.: “Perbuatan apakah yang paling utama?” Beliau menjawab: “Shalat
pada waktunya.” Saya bertanya (lagi): “Kemudian apa lagi?” Beliau
menjawab: “Berbakti kepada kedua orang tua (Birrul walidain).” Saya
bertanya (lagi): “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab: “Berjihad di jalan
Allah.” (HR.al-Bukhârî)

‫ﷲ‬
ِ ‫لا‬ ِ ‫ﺳ ْﻮ‬
ُ ‫ﻞ إِﻟَﻰ َر‬ ٌ‫ﺟ‬ُ َ‫ل ﺟَﺎ َء ر‬ َ ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ‬
َ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﻲا‬ َ‫ﺿ‬ ِ ‫ﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة َر‬ ْ ‫ﻦ َأ ِﺑ‬
ْ‫ﻋ‬َ
‫ﻞ‬
ْ ‫ل َه‬ َ ‫ﺟ ُﺪ ُﻩ ﻗَﺎ‬
ِ ‫ﻻ َأ‬ َ ‫ل‬ َ ‫ﺠﻬَﺎ َد ﻗَﺎ‬
ِ ‫ل ا ْﻟ‬ ُ ‫ﻞ َﻳ ْﻌ ِﺪ‬ ٍ ‫ﻋ َﻤ‬
َ ‫ﻋﻠَﻰ‬ َ ‫ﻲ‬ ْ ‫ل ُدﱡﻟ ِﻨ‬َ ‫ َﻓﻘَﺎ‬ρ
‫ﻻ َﺗ ْﻔ َﺘ ُﺮ‬َ ‫ك َﻓ َﺘ ُﻘ ْﻮ َم َو‬
َ ‫ﺠ َﺪ‬
ِ‫ﺴ‬ْ ‫ﻞ َﻣ‬ َ‫ﺧ‬ ُ ‫ن َﺗ ْﺪ‬ ْ ‫ج ا ْﻟ ُﻤﺠَﺎهِ ُﺪ َأ‬َ ‫ﺧ َﺮ‬
َ ‫ﻄ ْﻴ ُﻊ ِإذَا‬ ِ ‫ﺴ َﺘ‬
ْ ‫َﺗ‬
81
‫ﻄ ْﻴ ُﻊ‬
ِ ‫ﺴ َﺘ‬
ْ ‫ﻦ َﻳ‬ ْ ‫ل َو َﻣ‬َ ‫ﻄ ُﺮ ﻗَﺎ‬
ِ ‫ﻻ ُﺗ ْﻔ‬
َ ‫ﺼ ْﻮ ُم َو‬ ُ ‫َو َﺗ‬
Dari Abû Hurairah ra. Ia berkata: Seorang lelaki datang kepada Rasulullah
saw. kemudian berkata: “Tunjukkanlah kepadaku suatu amalan yang
(nilainya) seimbang dengan jihad!” Beliau menjawab: “Aku tidak
menemukannya.” Orang itu berkata: “Dapatkah seorang mujahid yang keluar
rumah menuju masjid, kemudian ia beribadah terus-menerus, berpuasa terus
tanpa berbuka?” Beliau berkata: “Siapakah yang mampu melakukan hal itu?”
(HR.al-Bukhârî)

‫ﻲ‬
ْ ‫ﺣ ٌﺔ ِﻓ‬ َ ρ ‫ﷲ‬
َ ‫ﻏ ْﺪ َو ٌة َأ ْو َر ْو‬ ِ ‫لا‬ُ ‫ﺳ ْﻮ‬ ُ ‫ل َر‬ َ ‫ل ﻗَﺎ‬ َ ‫ﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة ﻗَﺎ‬ْ ‫ﻦ َأ ِﺑ‬
ْ‫ﻋ‬ َ
82
‫ﻦ اﻟ ﱡﺪ ْﻧﻴَﺎ َوﻣَﺎ ﻓِ ْﻴﻬَﺎ‬
َ ‫ﷲ ﺧَ ْﻴ ٌﺮ ِﻣ‬ ِ ‫ﻞا‬ ِ ‫ﺳ ِﺒ ْﻴ‬
َ

80
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 3, Kitâb al-Jihâd Bâb Fadl al-Jihâd wa al-Siyar, h. 200
81
Ibid
82
al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb al-Jihâd Bâb Fadl Ghadwah, no. hadis 3115, h. 506; Ibn
Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Jihâd Bâb Fadl al-Ghadwah, hal.921

82
Dari Abû Hurairah ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Pergi berjuang di

jalan Allah lebih baik daripada dunia dengan segala isinya.” (HR. al-Nasâ’î dan

Ibn Mâjah)

Melalui penjelasan Allah dan Rasul-Nya di atas, seorang mukmin semakin

paham bahwa jihad betul-betul bagian dari amal shalih yang utama menuju

kemuliaan hidup. Para sahabat berlomba-lomba untuk membuktikan cinta

mereka kepada Allah dan Rasul-Nya dengan berjihad di jalan Allah, dengan

harta dan jiwa mereka. Mereka hanya mempunyai dua pilihan, hidup sebagai

orang mulia atau mati dalam keadaan syahid (‘isy karîman aw mut syahîdan).

Para sahabat berkompetisi secara sehat untuk membela agama Islam melalui

jihad. Apapun yang mereka miliki, itulah yang mereka serahkan dan kerahkan

demi kemuliaan Islam dan kaum muslimin (izzah al-Islâm wa al-muslimîn).

Ada kebahagiaan yang mereka rasakan ketika mampu bersama-sama

Rasul maju berjihad di medan juang, sesuatu yang amat kontradiktif yang

terjadi dengan orang-orang munafik. Para sahabat yang setia akan merasakan

kegundahan dan kesedihan ketika mereka tidak dapat ikut berpartisipasi

menegakkan agama melalui aktivitas mulia tersebut. Inilah yang Allah

gambarkan dalam surat al-Taubah ayat 91-92:

‫ﻻ‬
َ ‫ﻦ‬ َ ‫ﻻ ﻋَﻠَﻰ اﱠﻟﺬِﻳ‬ َ ‫ﻻ ﻋَﻠَﻰ ا ْﻟ َﻤ ْﺮﺿَﻰ َو‬ َ ‫ﻀ َﻌﻔَﺎ ِء َو‬‫ﻋﻠَﻰ اﻟ ﱡ‬ َ ‫ﺲ‬ َ ‫َﻟ ْﻴ‬
‫ﷲ َو َرﺳُﻮِﻟ ِﻪ ﻣَﺎ ﻋَﻠَﻰ‬ ِ ‫ﺼﺤُﻮا‬ َ ‫ج ِإذَا َﻧ‬ ٌ ‫ﺣ َﺮ‬ َ ‫ن‬ َ ‫ن ﻣَﺎ ُﻳ ْﻨ ِﻔﻘُﻮ‬ َ ‫ﺠﺪُو‬ ِ ‫َﻳ‬
‫ﻦ ِإذَا ﻣَﺎ‬
َ ‫ﻻ ﻋَﻠَﻰ اﱠﻟﺬِﻳ‬ َ ‫ﷲ ﻏَﻔُﻮ ٌر رَﺣِﻴ ٌﻢ َو‬ ُ ‫ﻦ ﺳَﺒِﻴﻞٍ وَا‬ ْ ‫ﻦ ِﻣ‬ َ ‫ﺴﻨِﻴ‬ ِ‫ﺤ‬ ْ ‫ا ْﻟ ُﻤ‬
‫ﺾ‬
ُ ‫ﻋ ُﻴ ُﻨ ُﻬ ْﻢ َﺗﻔِﻴ‬
ْ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َﺗ َﻮﱠﻟﻮْا َوَأ‬
َ ‫ﺣ ِﻤُﻠ ُﻜ ْﻢ‬
ْ ‫ﺟ ُﺪ ﻣَﺎ َأ‬
ِ ‫ﻻ َأ‬
َ ‫ﺖ‬ َ ‫ﺤ ِﻤَﻠ ُﻬ ْﻢ ُﻗ ْﻠ‬
ْ ‫ك ِﻟ َﺘ‬
َ ‫َأ َﺗ ْﻮ‬
‫ن‬ َ ‫ﺠﺪُوا ﻣَﺎ ُﻳ ْﻨ ِﻔﻘُﻮ‬ ِ ‫ﻻ َﻳ‬
‫ﺣ َﺰﻧًﺎ َأ ﱠ‬ َ ‫ﻦ اﻟ ﱠﺪ ْﻣ ِﻊ‬ َ ‫ِﻣ‬
Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah,
atas orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa
yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan

83
Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikit pun untuk menyalahkan orang-orang yang
berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan tiada
(pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya
kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: "Aku tidak memperoleh
kendaraan untuk membawamu", lalu mereka kembali, sedang mata mereka
bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa
yang akan mereka nafkahkan.
Menurut riwayat Ibn Abî Hâtim (w, 328 H.) dari Zaid bin Tsâbit (w. 45

H.) disebutkan bahwa ketika Zaid bin Tsâbit sedang menulis surat Bara’ah

sampai ayat perintah berperang, ia meletakkan penanya di telinga. Rasulullah

saw. menunggu wahyu kelanjutannya. Datanglah seorang yang buta dan

bertanya: “Bagaimana dengan saya yang buta ini, ya Rasulullah?” Maka,

turunlah ayat 91 di atas.83

Ayat 91 di atas memberikan dispensasi kepada orang-orang yang lemah,

sakit, atau tidak memiliki apa-apa untuk tidak ikut berjihad. Mereka tidak ikut

berjihad bukan karena alasan yang dibuat-buat, tetapi karena itulah kondisi

sesungguhnya yang ada dalam diri mereka. Akan tetapi, keinginan yang kuat

dalam jiwa mereka untuk berjihad di jalan Allah menimbulkan kesedihan dan

tangisan tersendiri, ketika mereka tidak mendapatkan kesempatan untuk

melakukannya. Itulah yang digambarkan pada ayat berikutnya (92) “…lalu

mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan,

lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan…”

Imam al-Wâhidî (w. 427 H.) menyebutkan dalam kitab “Asbâb al-Nuzûl”

bahwa ayat 92 ini turun berkenaan dengan para sahabat yang berlinang air

mata mereka karena tidak bisa ikut berjihad. Jumlah mereka ada tujuh, yaitu:

Ma’qal bin Yasâr (w.60 H.), Sakhr bin Khunais, ‘Abdullâh bin Ka’b al-

83
Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz 2, h. 381; Wahbah Zuhaili, Tafsîr al-Munîr., Juz
10, h. 348

84
Ansâri (w. 30 H.), Salim bin ‘Umair, Tsa’labah bin Ghanîmah, dan ‘Abdullâh

bin Mughaffal (w. 60 H.). Ketika mereka datang kepada Rasulullah dan

berkata: “Ya Nabiyyallah, sesungguhnya Allah azza wajalla menganjurkan

kami untuk keluar bersamamu. Bawalah kami untuk berperang bersamamu!”

Nabi menjawab: "Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu"

Mendengar ucapan Nabi ini, merekapun kembali sambil menangis berlinang

air mata. Sedangkan menurut Mujahid (w.101 H.), ayat ini turun kepada Bani

Muqrin, yaitu: Ma’qil, Suwaid, dan Nu’mân bin Muqrin.84 Pendapat Mujahid

(w. 101 H.) inilah yang kemudian menjadi pendapat mayoritas ulama.

Demikian yang dikatakan oleh Dr. Wahbah Zuhaili.85

Dalam riwayat lain dari Ibn ‘Abbâs (w.68 H.) dikemukakan, bahwa ketika

Rasulullah saw. memerintahkan orang-orang untuk berangkat jihad

bersamanya, datanglah sekelompok sahabat, di antaranya Abdullah bin

Mughaffal bin Muqrin al-Muzanni (w.60 H.). Lalu mereka berkata: “Ya

Rasulullah, bawalah kami (untuk berjihad)!” Nabi menjawab: “Demi Allah,

saya tidak memperoleh kendaraan untuk membawa kalian.” Merekapun

akhirnya kembali sambil menangis menyesali diri mereka karena tidak

memiliki tunggangan dan bekal untuk berperang. Maka, Allahpun

menurunkan: Dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka

datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu

berkata: "Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu", lalu mereka

84
Dalam riwayat yang disampaikan Al-Wahidi kurang satu. Lihat al-Wâhidî, Asbâb al-
Nuzûl, h. 144; Sedangkan dalam al-Tafsîr al-Munîr disebutkan bahwa orang-orang tersebut adalah:
Sâlim bin ‘Umair, ‘Ali bin Zaid, Abû Lailâ Abdurrahmân bin Ka’ab, ‘Amr bin al-Hammâm,
‘Abdullâh bin Mughaffal al-Muzannî (atau ‘Abdullâh bin ‘Amr al-Muzannî), Harma bin ‘Abdullâh,
dan ‘Iyad bin Sariyah al-Fazzârî. Lihat: Wahbah Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, Juz 10, h. 351
85
Ibid., Juz 10, h. 349

85
kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan,

lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan. (QS.al-

Taubah/9:92)86

Itulah tangisan kesedihan yang telah ditunjukkan oleh para sahabat yang

bersih hatinya, yang selalu ingin menunjukkan cinta mereka kepada Islam.

Tangisan seperti inilah tangisan yang dibenarkan dan mendapatkan ridha dari

Allah. Tangisan mereka adalah tangisan murni dan karenanya bernilai ibadah,

bukan tangisan pembual yang diada-adakan agar terkesan memiliki niat yang

baik.

Dengan turunnya ayat di atas, maka kewajiban berjihad bagi orang yang

berhalangan dengan uzur yang dibenarkan menjadi gugur. Tiga uzur yang

dibenarkan sebagaimana yang tergambar dari ayat 91-92 di atas adalah: karena

lemah, karena sakit, dan karena fakir. Bagi orang yang memiliki salah satu di

antara tiga uzur di atas, maka mereka tidak berhak mendapat celaan dan dosa

karena tidak berangkat berperang.

5. Tangisan Para Nabi dan Keturunannya saat Mendengar Ayat-ayat

Allah

Satu di antara cara al-Qur’an menyampaikan sebuah kebenaran adalah

melalui kisah atau cerita nabi, rasul, dan umat terdahulu. Kisah-kisah itu

banyak mengandung ibrah atau pelajaran, baik bagi Nabi Muhammad ataupun

bagi umatnya. Menurut Syaikh Mannâ’ al-Qattân, setidaknya ada 6 manfaat

kisah yang disampaikan Allah dalam al-Qur’an, yaitu:

86
Ibid; Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz 2, h. 381; K.H.Q. Shaleh, Asbabun Nuzul,
(Bandung: Penerbit cv, Diponegoro, 1984), h. 258

86
a. Menjelaskan dasar atau prinsip dakwah Islam.

b. Memantapkan hati Nabi Muhammad saw. dan umatnya dalam beragama.

c. Membenarkan eksistensi para nabi terdahulu, mengingat mereka, dan

mengabadikan peninggalan-peninggalannya.

d. Menampakkan kebenaran dakwah Nabi Muhammad saw.

e. Menundukkan ahli kitab tentang kebenaran dan hidayah yang mereka

sembunyikan melalui hujjah yang jelas.

f. Kisah merupakan salah satu cara penyampaian yang enak didengar telinga

dan sangat berpengaruh bagi jiwa.87

Dalam surat Maryam, Allah banyak menceritakan kisah orang-orang

shalih terdahulu, seperti nabi Zakariyyâ a.s., nabi Yahyâ a.s., Maryam, nabi

Isâ a.s., nabi Ibrâhîm a.s., dan nabi Mûsâ a.s. Allah memerintahkan kepada

kekasih-Nya, Nabi Muhammad saw., untuk mengingat nabi-nabi yang utama

itu yang memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah. Setelah kisah-kisah itu

disampaikan, maka pada ayat 58 dari surat Maryam, Allah berfirman:

‫ﻦ‬
ْ ‫ﻦ ُذرﱢﻳﱠﺔِ ءَا َد َم َو ِﻣ ﱠﻤ‬ْ ‫ﻦ ِﻣ‬ َ ‫ﻦ اﻟ ﱠﻨ ِﺒﻴﱢﻴ‬
َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ْﻢ ِﻣ‬
َ ‫ﷲ‬ُ ‫ﻦ َأ ْﻧ َﻌ َﻢ ا‬
َ ‫ﻚ اﱠﻟﺬِﻳ‬ َ ‫أُوَﻟ ِﺌ‬
‫ﻦ هَﺪَ ْﻳﻨَﺎ‬
ْ ‫ﻞ َو ِﻣ ﱠﻤ‬ َ ‫ﺳﺮَاﺋِﻴ‬ْ ‫ﻦ ُذرﱢﻳﱠﺔِ ِإ ْﺑﺮَاهِﻴ َﻢ َوِإ‬ ْ ‫ح َو ِﻣ‬ٍ ‫ﺣَﻤَ ْﻠﻨَﺎ َﻣ َﻊ ﻧُﻮ‬
‫و ُﺑﻜِﻴًّﺎ‬
َ ‫ﺠﺪًا‬
‫ﺳﱠ‬ ُ ‫ﺧﺮﱡوا‬ َ ‫ﻦ‬ ِ ‫ﺣ َﻤ‬ ْ ‫ت اﻟ ﱠﺮ‬
ُ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ْﻢ ءَاﻳَﺎ‬
َ ‫ﺟﺘَﺒَ ْﻴﻨَﺎ ِإذَا ُﺗ ْﺘﻠَﻰ‬
ْ ‫وَا‬
Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu
para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat
bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israel, dan dari orang-orang
yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-
ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur
dengan bersujud dan menangis. (QS.Maryam/19:58)
Menurut Ibn Katsîr (w. 774 H.), bahwa yang dimaksud dengan para nabi

itu tidak sebatas yang disebutkan dalam surat Maryam saja, tetapi mencakup
87
Mannâ’ al-Qattân, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Riyâd: Mansyûrât al-‘Asr al-Hadîts,
1973), h. 307

87
seluruh nabi. Menurut al-Suddî (w. 127 H.) dan Ibn Jarîr (w. 310 H.), yang

dimaksud dari keturunan Adam adalah Idrîs, dari keturunan pengikut bahtera

Nûh adalah Ibrâhîm, dari keturunan Ibrâhîm adalah Ishâq, Ya’qûb, dan

Ismâ’îl, dan dari keturunan Israil (Daud) adalah Mûsâ, Hârûn, Zakariyyâ,

Yahyâ, dan Isâ bin Maryam. Ibn Jarîr menegaskan: “Oleh karena itu,

keturunan mereka dibedakan meski semuanya kembali kepada Adam. Sebab,

di antara mereka terdapat yang bukan dari keturunan pengikut bahtera Nûh,

yaitu Idrîs. Ia adalah kakek dari nabi Nûh.” Menurut Ibn Katsîr (w.774 H.),

inilah pendapat yang paling jelas. Idris berada dalam garis keturunan nabi

Nuh. Konon dikatakan, ia termasuk nabi dari kalangan bani Israil.88

Mereka itulah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah. Mereka

adalah manusia, bukan jenis makhluk lainnya. Tetapi mereka terpilih sebagai

penyampai risalah Ilahi yang suci kepada umat manusia di bumi. Merekalah

orang-orang yang telah mendapatkan hidayah (petunjuk) hakiki dari Allah,

yaitu Islam. Mereka menjadi manusia terpilih, karena hidup mereka dihiasi

dengan iman dan takwa. Itulah beberapa karakteristik mulia yang dimiliki oleh

manusia-manusia mulia. Dan ada satu lagi karakteristik positif mereka yang

mendapat pujian dari Allah, yaitu “Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang

Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud

dan menangis.”

Mereka semua adalah orang-orang yang telah diberi nikmat, diberi

petunjuk, dan merupakan manusia pilihan di sisi Allah. Namun, ketinggian

dan kemuliaan martabat mereka di sisi Allah tidak membuat mereka menjadi

manusia sombong dan angkuh, terlebih di hadapan Sang Penguasa. Mereka

88
Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz 3, h.126-127

88
hanyalah ‘ibâdullâh, hamba-hamba Allah. Bila malaikat Jibril datang

menyampaikan wahyu kepada mereka, mereka menyungkur, berlutut, dan

bersujud merendahkan diri sambil menangis. Hal itu mereka lakukan karena

rasa takut (khasy-yah) mereka kepada Allah, sedangkan mereka sendiri

memiliki martabat yang luhur, jiwa yang suci, serta kedekatan kepada Yang

Mahakuasa. Ayat ini sekaligus menjadi dalil bahwa ayat-ayat Allah Yang

Maha Rahman memiliki pengaruh yang dapat membekas dalam kalbu89

Sikap seperti itulah yang juga harus ditunjukkan oleh seluruh manusia

sebagai hamba-Nya. Tidak ada alasan dan dalil apapun bagi seseorang untuk

membangkang dan durhaka kepada Allah. Dengan segala kerendahan hati,

sambil berlutut dan bersujud, manusia harus dengan sungguh-sungguh

mengakui dirinya sebagai abdi dan Allah sebagai Tuhannya.

Bukankah jika Allah ingin mengangkat derajat hamba-Nya, dipanggilnya

hamba itu dengan sebutan “abdi” (hamba, sahaya, atau budak)? Ketika Allah

menceritakan tentang anugerah yang Ia karuniakan kepada Nabi kita dengan

meng-isra-kan beliau pada surat al-Isrâ ayat 1, Allah menyebut nabi kita

dengan “’abdihi” (hamba-Nya).Ketika Allah menceritakan nabi Zakariyyâ, Ia

menyebutnya “’Abduhû Zakariyyâ” (hamba-Nya, Zakariyyâ).Dalam surat al-

Isrâ ayat 3, Allah menyebut Nuh dengan “’abdan syakûrâ” (hamba yang

bersyukur). Ketika nabi Mûsâ menuntut ilmu kepada seseorang, seseorang itu

disebut oleh Allah sebagai “’abdan min ‘ibadina” (Seorang hamba di antara

hamba-hamba Kami). Nabi Sulaiman juga disebut-Nya sebagai “ni’mal ‘abdu”

(hamba yang paling baik), demikian pula dengan nabi Ayyûb.

89
al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, Juz 16, h. 157; ‘Ali al-Sâbûnî, Safwah al-Tafâsîr., Jilid 2, h. 221

89
Begitulah para nabi yang mulia. Semakin ditambah anugerah nikmat oleh

Allah, bertambah pula sujud dan deraian air mata sebagai wujud tunduk dan

cinta kepada Allah, seraya mengakui bahwa diri mereka adalah hamba Allah.

Menurut Ibn Katsîr (w.774 H.), para ulama sepakat untuk melakukan sujud

pada ayat ini sebagai bentuk iqtidâ dan ittibâ’ (mengikuti) kebiasaan mereka.90

Bahkan menurut Imam al-Alûsî (w.1270 H.), ayat ini menjadi dalil

dianjurkannya untuk bersujud dan menangis ketika membaca membaca al-

Qur’an.91

Para ulama memberikan petunjuk agar ketika berjumpa atau mendengar

ayat-ayat yang dikategorikan sebagai ayat sajadah, hendaknya kita melakukan

sujud tilawah. Dan ketika kita telah sampai pada ayat 58 dari surat Maryam

ini, kita dianjurkan untuk membaca doa berikut ini:92

‫ﻼ َو ِة‬
َ ‫ﻋ ْﻨ َﺪ ِﺗ‬
ِ ‫ﻦ‬
َ ‫ﻦ ا ْﻟﺒَﺎ ِآ ْﻴ‬
َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ُﻢ ا ْﻟ َﻤ ْﻬ ِﺪ ﱢﻳ ْﻴ‬
َ ‫ك ا ْﻟ ُﻤ ْﻨ َﻌ ِﻢ‬
َ ‫ﻋﺒَﺎ ِد‬
ِ ‫ﻦ‬
ْ ‫ﻲ ِﻣ‬
ْ ‫ﺟ َﻌ ْﻠ ِﻨ‬
ْ ‫اَﻟﻠّ ُﻬﻢﱠ ا‬
‫ﻚ‬
َ ‫اﻳَﺎ ِﺗ‬
Ya Allah, jadikanlah aku termasuk hamba-hamba-Mu yang telah
dianugerahkan nikmat, mendapatkan petunjuk, bersujud kepada-Mu dan
menangis ketika membaca ayat-ayat-Mu.”
Begitulah tangisan yang ditunjukkan oleh hamba-hamba-Nya yang shalih

dan terpilih. Demikianlah tangisan yang lahir karena adanya rasa takut akan

siksa Allah, kerinduan kepada Allah, dan sebagai wujud syukur atas segala

anugerah nikmat yang sedemikian melimpah dari Allah.

6. Allah Berkuasa Menjadikan Seseorang Menangis dan Tertawa

90
Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz 3, h. 127
91
al-Âlûsî, Rûh al-Ma’ânî, Juz 16, h. 158
92
Fakhr al-Dîn al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, Jilid 11, h. 235; Hamka, Tafsire Al Azhar., Juzu
16, h. 71

90
Salah satu nama Allah yang terdapat dalam al-asmâ al-husna adalah “al-

Khâliq” (Yang Maha Pencipta). Kata ini terambil dari akar kata “khalq” yang

arti dasarnya adalah “mengukur” atau “memperhalus”, yang kemudian

berkembang menjadi “menciptakan dari tiada”, “menciptakan tanpa suatu

contoh terlebih dahulu”, “mengatur”, “membuat”, dan sebagainya. 93

Biasanya kata “khalaqa” dalam berbagai bentuknya memberikan

aksentuasi tentang kehebatan dan kebesaran Allah dalam ciptaan-Nya, berbeda

dengan “ja’ala” (menjadikan) yang mengandung penekanan terhadap manfaat

yang harus atau dapat diperoleh dari suatu yang dijadikan-Nya itu.

Keberadaan nama Allah tersebut menandaskan kepada manusia, bahwa

Dia-lah Zat Yang Mahakuasa untuk menciptakan segala sesuatu di alam dunia

ini, baik yang bersifat materi ataupun immateri. Dia yang menciptakan

manusia, Dia pula yang mematikannya. Dia yang menciptakan bumi, dan Dia

pula yang kelak akan menghancurkannya. Dia yang menciptakan laki-laki, dan

Dia pula yang menciptakan perempuan. Bahkan, segala gejala kejiwaan yang

terdapat dalam diri manusia, termasuk tertawa dan menangis, Dia pula yang

menciptakannya. Perhatikanlah firman Allah berikut ini:

‫ﻖ‬
َ ‫ﺧَﻠ‬
َ ‫َوَأ ﱠﻧ ُﻪ‬ ‫ﺣﻴَﺎ‬
ْ ‫َوَأ‬ ‫ت‬
َ ‫ َوَأ ﱠﻧ ُﻪ ُه َﻮ َأﻣَﺎ‬.‫ﻚ َوَأ ْﺑﻜَﻰ‬ َ ‫ﺤ‬
َ‫ﺿ‬ ْ ‫َوَأ ﱠﻧ ُﻪ ُه َﻮ َأ‬
‫ﻷ ْﻧﺜَﻰ‬ ُ ‫ﻦ اﻟ ﱠﺬ َآ َﺮ وَا‬
ِ ‫ﺟ ْﻴ‬
َ ‫اﻟ ﱠﺰ ْو‬
Dan bahwasanya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis.dan
bahwasanya Dialah yang mematikan dan menghidupkan.dan bahwasanya
Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan.
(QS.al-Najm/53:43-45)

al-Wâhidî (w.427 H.) meriwayatkan dari ‘Aisyah (w.57 H.), ia (‘Aisyah)

berkata: Suatu ketika Rasulullah saw. melewati suatu kaum yang sedang

93
M. Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi, (Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2001), Cet.IV,
h. 75

91
tertawa. Maka Rasulpun bersabda: “Seandainya kalian mengetahui apa yang

aku ketahui, niscaya kalian akan banyak menangis dan sedikit tertawa.” Maka,

datanglah malaikat Jibril membawa ayat “ dan bahwasanya Dialah yang

menjadikan orang tertawa dan menangis.” Lalu, Rasul kembali kepada kaum

tadi dan berkata: “Tidaklah aku melangkah empat puluh langkah, sehingga

Jibril a.s. datang kepadaku dan berkata: “Datangilah mereka kembali dan

katakanlah, sesungguhnya Allah azza wajalla berfirman ayat “ dan


94
bahwasanya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis.”

Menurut Imam Ibn Katsîr (w.774 H.), Allah-lah yang telah menjadikan

dalam diri hamba-hamba-Nya tertawa dan menangis serta faktor-faktor yang

menimbulkan keduanya.95 Segala kebahagiaan dan kesedihan, segala suka dan

duka, Dia-lah yang menciptakan. Dia yang berkuasa menjadikan seseorang

tertawa di dunia, dan Dia pula yang menjadikan seseorang menangis di alam

fana ini. Menurut Mujahid, Allah-lah yang menjadikan penghuni surga tertawa

(bahagia) di surga dan menjadikan penghuni neraka menangis (menderita) di

neraka.96 Allah juga yang berkuasa menjadikan bumi tertawa dengan

tumbuhnya berbagai macam tumbuhan dan menjadikan langit menangis

dengan turunnya curah hujan.97

Dalam tafsir al-Qurtubî (w.567 H.) disebutkan, al-Hasan (w.110 H.)

berkata: “Allah menjadikan para ahli surga tertawa di surga dan menjadikan

para ahli neraka menangis di neraka.” Ada pula yang mengatakan bahwa

Allah yang menjadikan seseorang yang Ia kehendaki tertawa di dunia dengan

94
al-Wâhidî, Asbâb al-Nuzûl, h. 222
95
Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz 4, h. 259
96
Ali al-Sâbûnî, Safwah al-Tafâsîr, Jilid 3, h. 279
97
al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, Juz 27, h. 104

92
memberinya sesuatu yang menyenangkannya. Dia pula yang membuat

seseorang yang Ia inginkan menangis di dunia dengan memberinya sesuatu

yang menyedihkan. Ada pula yang mengatakan bahwa Allah menjadikan

pohon tertawa dengan bunganya dan menjadikan awan menangis dengan

hujan. Dzû al-Nûn al-Misrî berkata: “Allah menjadikan hati orang-orang yang

beriman dan orang-orang arif tertawa dengan cahaya ma’rifat-Nya, dan

menjadikan hati orang-orang kafir dan pelaku maksiat menangis dengan

gelapnya keingkaran dan kemaksiatan mereka.” Sahal bin ‘Abdullâh berkata:

“Allah membuat tertawa bagi orang-orang yang taat dengan rahmat-Nya dan

membuat pelaku maksiat menangis dengan kemurkaan-Nya..”98

Tertawa dan menangis adalah kelebihan yang Allah berikan khusus kepada

manusia. Tidak semua jenis hewan dapat tertawa dan menangis seperti

manusia. Ada binatang yang dapat tertawa, namun tidak dapat menangis,

seperti kera. Ada pula yang bisa menangis, namun tidak bisa tertawa seperti

unta. Yusuf bin al-Husain berkata: Thahir al-Muqaddisi pernah ditanya:

“Apakah malaikat tertawa?” Ia menjawab: “Mereka tidak tertawa, begitu pula

yang berada di bawah ‘arsy, sejak diciptakan neraka jahanam.”99

Kegembiraan dan kesedihan tidaklah akan terlepas dari kehidupan

manusia. Ada saatnya kita tertawa-tawa karena mendapatkan sesuatu yang

menggembirakan hati. Namun, bisa saja di saat kita berada dalam kebahagiaan

yang memuncak, kita mendapatkan sesuatu yang menyebabkan hati sedih dan

menangis. Terkadang kesusahan mengandung kebahagiaan, dan ada pula

kegembiraan yang amat mengharukan. Lihatlah kedua orang tua yang


98
al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân , Juz 17, h. 116-117
99
Abul Fida M.Izzat M.Arif, Air Mata Orang-orang Shalih, (Jakarta: Penerbit Pustaka
Tazkia, 2004), Cet.I, h. 12

93
menyaksikan prosesi khidmat akad nikah anaknya. Mereka bergembira, dan

dalam kegembiraannya mereka mencucurkan air mata. Semua itu diatur oleh

Allah. Itulah sebabnya, kita diajarkan agar tidak terlalu bergembira ketika

datang sesuatu yang menyenangkan hati. Kita diperintahkan untuk

mensyukurinya. Begitu pula ketika datang sesuatu yang menyedihkan, kita

diperintahkan agar bersikap sabar.100

7. Celaan Allah Kepada Orang yang Tidak Menangis Mendengar Berita

Hari Kiamat

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, nilai menangis

dan tertawa sangat ditentukan oleh motif dan niat yang menyertainya. Tertawa

jika disertai dengan niat yang baik, maka ia bernilai ibadah. Namun, jika

disertai dengan niat yang buruk, seperti mengejek, maka tertawa itu akan

membawa akibat yang buruk bagi yang bersangkutan. Inilah yang ditunjukkan

oleh surat al-Najm ayat 59-60 berikut ini:

‫ن‬
َ ‫َﺗ ْﺒﻜُﻮ‬ ‫ﻻ‬
َ ‫ن َو‬
َ ‫ﺤﻜُﻮ‬
َ‫ﻀ‬ْ ‫ن َو َﺗ‬
َ ‫ﺠﺒُﻮ‬
َ ‫ﺚ َﺗ ْﻌ‬
ِ ‫ﺤﺪِﻳ‬
َ ‫ﻦ َهﺬَا ا ْﻟ‬
ْ ‫َأ َﻓ ِﻤ‬
“Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu
mentertawakan dan tidak menangis?”

Ayat yang berbentuk kalimat tanya (istifhâm) ini merupakan bentuk celaan

(taubîkh) terhadap sikap orang-orang musyrik. Orang-orang musyrik itu,

ketika disampaikan kepada mereka ayat-ayat al-Qur’an yang

menginformasikan tentang akan terjadinya hari kiamat dan hal-hal lainnya,

mereka tertawa sebagai ejekan dan olokan, dan tidak menangis sebagaimana

yang dilakukan oleh orang-orang yang yakin sebagaimana tercantum dalam

100
Hamka, Tafsir Al Azhar, Juz 27, h. 127-128

94
ayat: Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan

mereka bertambah khusyuk.(QS.17:109)101

Mereka seharusnya menangis, bukan justru tertawa mendengar berita

tentang hari kiamat, karena tidak memiliki bekal sama sekali sebagai

persiapan menghadapi kehidupan yang abadi itu. Tidakkah Rasulullah saw.

setelah turun ayat ini, tidak lagi pernah tertawa, kecuali hanya sekedar

tersenyum saja.102 Padahal, beliau adalah insan kamil yang telah dijamin

masuk surga. Lantas, apa yang seharusnya ditunjukkan oleh orang-orang

selain beliau yang hidupnya bergelimang dengan dosa dan maksiat? Jika

seseorang tidak menangis di dunia mendengar titah-titah Ilahi, maka kelak di

akhirat ia akan menangis air mata dan darah akibat penderitaan dan

penyesalan yang dialaminya.

8. Tangisan Langit dan Bumi

Di atas telah disinggung, bahwa menangis tidak hanya mampu dilakukan

oleh manusia saja, tetapi juga oleh langit dan bumi. Keduanya memiliki

perasaan menangis dan tertawa. Jika penderitaan menimpa orang-orang

shalih, maka langit dan bumi ikut menangis. Tetapi, jika penderitaan itu

menimpa orang-orang durhaka yang membangkang Allah dan rasul-Nya,

keduanya enggan bersedih dan menangis. Bahkan menurut Imam al-Qurtubî

(w.567 H.), makhluk-makhluk seperti langit, bumi, angin, dan udara ikut

bersedih dan menangis jika terdapat orang shalih meninggal dunia, sebab ia

101
Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm., Juz 4, h. 260; ‘Ali al-Sâbûnî, Safwah al-Tafâsîr,
Jilid 3, h. 280
102
al-Âlûsî, Rûh al-Ma’ânî, Juz 27, h. 111

95
telah melakukan berbagai aktivitas yang baik dengan menggunakan sarana dan

fasilitas kebaikan di dalamnya. Sebaliknya, mereka akan cuek dan enggan

menangis ketika ada orang-orang durhaka yang meninggal, sebab ia sering

berbuat kerusakan di dalamnya.103 Allah telah menciptakan langit dan bumi

dengan segala isinya sebagai tempat pemenuhan amanah manusia, ternyata

tidak digunakan sebagaimana mestinya, sehingga ia tidak peduli dengan

kematian orang-orang yang jahat itu.104 Begitulah juga yang terjadi dengan

Fir’aun dan bala tentaranya, saat mati digulung ombak, sebagaimana yang

ditunjukkan oleh surat al-Dukhân ayat 29 berikut ini:

‫ﻦ‬
َ ‫ﻈﺮِﻳ‬
َ ‫ُﻣ ْﻨ‬ ‫ض َوﻣَﺎ آَﺎﻧُﻮا‬
ُ ‫ﻷ ْر‬
َ ‫ﺴﻤَﺎ ُء وَا‬
‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ُﻢ اﻟ ﱠ‬
َ ‫ﺖ‬
ْ ‫ﻓَﻤَﺎ َﺑ َﻜ‬
Maka langit dan bumi tidak menangisi mereka dan mereka pun tidak diberi
tangguh.
Fir’aun adalah sosok manusia yang terkenal angkuh dan sombong luar

biasa. Tersebab kekuasaan yang dimilikinya, ia akhirnya mendeklarasikan

dirinya sebagai tuhan yang paling tinggi di hadapan para pembesarnya dan

rakyatnya (QS.79:24). Ia tidak mengakui ada tuhan selain dirinya. Ia akan

membunuh dan membantai siapa saja yang berusaha untuk menggoyang

kekuasaannya dan tidak mengakui dirinya sebagai tuhan. Apa yang telah

dilakukan oleh Fir’aun dan para pengikutnya adalah bentuk dosa terbesar yang

pada akhirnya tidak mendapatkan ampunan dari Allah, karena ruh telah berada

di kerongkongan.

103
Pandangan Imam al-Qurtubî ini didasarkan kepada Imam ‘Ali r.a.yang menyatakan: “Jika
hamba salih meninggal dunia, niscaya akan menangis tempat shalatnya di bumi dan tempat naik
amalnya dari langit dan bumi.” Lihat ‘Abdullâh Ibn al-Mubârak, al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, (Kairo: Dâr
al-‘Aqîdah, 2004), Cet. I, h. 220
104
Abdul Mujib, Apa Arti Tangisan Anda, h. 3

96
Tentang ayat di atas (QS.44:29), Imam Ibn Katsîr menjelaskan bahwa

mereka tidak memiliki amal-amal salih yang akan naik ke langit yang

menyebabkan langit akan menangis. Mereka juga tidak punya satu tempatpun

di bumi yang mereka gunakan untuk mengabdi kepada Allah. Itulah sebabnya,

keduanya tidak menangisi mereka dan mereka berhak untuk segera

mendapatkan azab dari Allah tanpa ditangguhkan. Itu semua terjadi, karena

kekufuran, dosa, dan pembangkangan yang telah mereka lakukan. 105

Menurut al-Janabazi, kata langit mewakili alam ruhani (ruhani-samawi),

sedang kata bumi mewakili alam jasmani (jasmani-ardî). Artinya, orang-orang

durhaka selalu berbuat kerusakan di alam jasmani dan ruhani. Karenanya,

mereka tidak memiliki kebaikan jasmani dan ruhani, sehingga kematian dan

penderitaan yang dialaminya tidak patut untuk ditangisi.106

D. Antara Menangis dan Tertawa

Dalam surat al-Dzariyat ayat 49 Allah menyatakan:

‫ن‬
َ ‫َﺗ َﺬ ﱠآﺮُو‬ ‫ﻦ َﻟ َﻌﱠﻠ ُﻜ ْﻢ‬
ِ ‫ﺟ ْﻴ‬
َ ‫ﺧَﻠ ْﻘﻨَﺎ َز ْو‬
َ ‫ﻲ ٍء‬
ْ ‫ﺷ‬
َ ‫ﻦ ُآﻞﱢ‬
ْ ‫َو ِﻣ‬
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu
mengingat akan kebesaran Allah.”
Merujuk pada ayat di atas, maka pembahasan menangis tidak terlepas dari

pembahasan tertawa. Hal ini penting dibahas untuk: (1) mengetahui perbedaan

ciri-ciri dan macam-macam menangis dan tertawa; (2) mengetahui manfaat

menangis dan tertawa; dan (3) mengetahui sebab-sebab menangis dan tertawa,

serta motivasi yang menyertainya. Dengan mengetahui hal-hal tersebut, maka

105
Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz 4, h. 142
106
Abdul Mujib, Apa Arti Tangisan Anda, h. 4

97
diharapkan setiap individu dapat menjaga keseimbangan jiwanya dalam

menghadapi segala hal yang terjadi pada dirinya.107

Sebagai salah satu sunnatullah, menangis dan tertawa sama-sama memiliki

peluang yang sama untuk diklaim sebagai ekspresi jiwa yang posisitif atau

negatif. Seluruh perilaku manusia, termasuk dalam hal menangis dan tertawa,

tidak netral etik, namun sarat etik. Artinya, menangis dan tertawa akan dapat

melahirkan hukum kontradiktif, pahala atau dosa dan manfaat atau madharat.

Menangis dan tertawa yang bermanfaat akan menimbulkan pahala bagi

pelakunya, sedangkan yang tidak bermanfaat (madarat) akan melahirkan

konsekuensi dosa bagi pelakunya.

Lihatlah beberapa kasus yang umum kita saksikan dalam kehidupan

manusia. Seseorang akan tertawa ketika mengetahui dirinya lulus mengikuti tes

memasuki sebuah perusahaan yang didambakan. Namun, ia akan menangis ketika

mengetahui bahwa dirinya tidak lulus dalam tes tersebut. Seorang guru akan

tertawa menghadapi muridnya yang pandai dan patuh. Tetapi ia akan menangis

menghadapi murid-murid yang sangat sulit menerima pelajaran dan membangkang.

Seorang dokter yang berhasil menyembuhkan pasien akan tertawa dengan

keberhasilannya itu. Namun ia akan menangis ketika pengobatannya gagal, bahkan

membawa kematian bagi pasiennya. Seorang ibu yang mengandung akan tertawa ketika

mengetahui bayinya lahir dengan sempurna, sehat, tanpa cacat sedikitpun. Namun, ia

akan menangis ketika bayi yang dilahirkannya dalam keadaan cacat.

Contoh-contoh di atas adalah kewajaran yang lazim terjadi di tengah

masyarakat. Meski demikian, yang perlu dipahami adalah apa arti dan fungsi dari

107
Ibid, h. 60

98
tangisan atau tertawa yang dilakukan oleh seseorang. Ini sangat perlu untuk

diketahui dengan harapan agar jiwanya tetap stabil, dan yang tak kalah

pentingnya, agar perilakunya dalam menangis dan tertawa sesuai dengan yang

dikehendaki oleh agama.

Dalam “Kamus Besar bahasa Indonesia” kata “tawa” diartikan: ungkapan

rasa gembira, senang, geli, dan sebagainya dengan mengeluarkan suara (pelan,

sedang, keras) melalui alat ucap.108

Menurut Hanna Djumhana Bastaman, tertawa merupakan

pengejawantahan dari humor, karena keduanya sama-sama menciptakan situasi

riang, lucu dan jenaka, meskipun dalam hal-hal tertentu keduanya tidak selalu

sejalan. Tertawa menjadi fenomena insani, sebab dalam tertawa mengundang

intensionalitas, yaitu tertawa kepada (laughing at) dan tertawa bersama (laughing

with). Selain itu, tertawa selalu menciptakan suatu perspektif mengambil jarak dan

sekaligus menciptakan suatu relasi dalam corak tertentu antara pihak yang

menertawakan dengan pihak yang ditertawakan, termasuk menertawakan diri sendiri.109

Tertawa yang wajar akan menghantarkan seseorang kepada suasana

psikologis yang menyenangkan, menggembirakan, dan membahagiakan.

Hidupnya terasa damai, tenang, tanpa dikejar-kejar oleh rasa takut dan cemas. Hal

ini berbeda sekali jika seseorang tertawa terbahak-bahak dan terpingkal-pingkal.

Tertawa seperti ini adalah tidak wajar dan telah melampaui batas sehingga akan

mengakibatkan kekerasan hati (qaswah al-qalb) yang dapat menjauhkan diri dari

Allah swt.

108
Tim Penyusun, Kamus Besar bahasa Indonesia, h. 1150
109
Hanna Djumhana Bastaman, Meraih hidup Bermakna: Kisah Pribadi dengan
Pengalaman Tragis, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 81-82

99
Berikut ini akan disebutkan beberapa macam tertawa positif, yaitu yang

dianggap baik menurut kriteria agama dan baik pula untuk aktualisasi insani.

Macam-macamnya adalah:

1. Tertawa yang menunjukkan keriangan dan kegembiraan karena mendapatkan

nikmat yang tak terhitung dari Allah. Perhatikanlah firman Allah:

‫ﺮ ٌة‬
َ‫ﺸ‬ِ ‫ﺴ َﺘ ْﺒ‬
ْ ‫ُﻣ‬ ‫ﺣ َﻜ ٌﺔ‬
ِ ‫ﺴ ِﻔ َﺮ ٌة ﺿَﺎ‬
ْ ‫ُوﺟُﻮ ٌﻩ َﻳ ْﻮ َﻣ ِﺌ ٍﺬ ُﻣ‬
“Banyak muka pada hari itu berseri-seri, tertawa dan gembira
ria.”(QS’Abasa/80:38-39)
Tertawa yang dimaksud oleh ayat di atas adalah tertawa yang dialami

oleh para penghuni surga pada hari kiamat kelak. Syaikh Ali as-Sabuni

menjelaskan, bahwa wajah-wajah penghuni surga ketika itu bersinar terang

karena senang dan gembira. Mereka juga tertawa gembira dan bahagia dengan

kemuliaan Allah dan keridhaan-Nya, serta dengan kenikmatan abadi yang

mereka lihat dan mereka rasakan di surga itu.110

2. Tertawa sebagai tanda syukur karena mendapatkan anugerah yang

mengagumkan. Dengan tertawa, ia berharap agar anugerah itu tidak dicabut,

namun akan tetap diberikan selama-lamanya. Hal ini berbeda, jika anugerah

Allah itu disikapi dengan wajah cemberut sehingga Pemberinya tidak akan

memberinya lagi dan ia tergolong sebagi orang yang tidak bersyukur.

Perhatikanlah ayat berikut ini:

‫ﻚ اﱠﻟﺘِﻲ‬َ ‫ﺷ ُﻜ َﺮ ِﻧ ْﻌ َﻤَﺘ‬
ْ ‫ن َأ‬
ْ ‫ﻋﻨِﻲ َأ‬
ْ ‫ب َأ ْو ِز‬
‫ل َر ﱢ‬ َ ‫ﻦ َﻗ ْﻮِﻟﻬَﺎ َوﻗَﺎ‬
ْ ‫ﺣﻜًﺎ ِﻣ‬ ِ ‫ﺴ َﻢ ﺿَﺎ‬ ‫َﻓَﺘَﺒ ﱠ‬
‫ﺧْﻠﻨِﻲ‬
ِ ‫ﻞ ﺻَﺎِﻟﺤًﺎ َﺗ ْﺮﺿَﺎ ُﻩ َوَأ ْد‬ َ ‫ﻋ َﻤ‬ْ ‫ن َأ‬
ْ ‫ي َوَأ‬ ‫ﻲ وَﻋَﻠَﻰ وَاِﻟ َﺪ ﱠ‬ ‫ﻋَﻠ ﱠ‬
َ ‫ﺖ‬َ ‫َأ ْﻧ َﻌ ْﻤ‬
َ‫ك اﻟﺼﱠﺎﻟِﺤِﻴﻦ‬ َ ‫ﻋﺒَﺎ ِد‬
ِ ‫ﻚ ﻓِﻲ‬َ ‫ﺣ َﻤِﺘ‬
ْ ‫ِﺑ َﺮ‬
Maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut
itu. Dan dia berdoa: "Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri

110
‘Ali al-Sâbûnî, Safwah al-Tafâsîr, Jilid 3, h. 522

100
nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang
ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridai; dan
masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu
yang saleh". (QS.al-Naml/27:19)

Tertawa Sulaiman as. di atas, oleh psikologi kontemporer

dikategorikan sebagai tertawa gila, sebab tertawa itu tanpa disertai bukti

empiris yang menyebabkan seseorang menjadi tertawa. Namun psikologi

Islam menilainya lain. Apa yang dilakukan oleh Sulaiman as.adalah di antara

wujud syukur atas mukjizat yang telah diberikan kepadanya, yaitu

kemampuannya untuk mampu mendengarkan dan memahami komunikasi

yang dilakukan oleh sekelompok semut. Bahkan, kisah Qurani ini

menjustifikasi kebenaran, bahwa ada di antara umat Nabi Muhammad saw.

yang memiliki kemampuan untuk menangkap dan memahami bahasa binatang

tertentu. Orang yang tidak mengerti, boleh jadi akan menduganya sebagai

orang gila. Namun, sesungguhnya ia tertawa dan tersenyum karena ada sebab-

sebab metafisik (al-ghaibiyah). Inilah karunia atau karamah yang Allah

berikan kepadanya.111

3. Tertawa yang dapat dijadikan terapi (pengobatan) diri, sehingga hidupnya

penuh gairah, optimis, dan riang gembira. Allport menyatakan: “Orang yang

sakit jiwa (neurotis) yang belajar menertawakan dirinya sendiri dapat menjadi

suatu cara untuk membina diri atau barangkali untuk pengobatan.”112

Dalam suatu kisah disebutkan, bahwa ‘Umar bin Khattâb terkadang

tertawa sendiri ketika ia merenungi masa lalunya yang unik. Betapa tidak

menggelikan, ia pernah membuat sebuah patung yang terbuat dari bahan roti

untuk kemudian disembah. Namun, ketika perutnya terasa lapar, iapun


111
Abdul Mujib, Apa Arti Tangisan Anda, h. 64
112
Hanna Djumhana Bastaman, Meraih hidup Bermakna: Kisah Pribadi dengan
Pengalaman Tragis, h. 87

101
memakannya. Ia telah mencipatkan tuhan dengan tangannya sendiri, dan ia

pula yang merusaknya.

Di samping tertawa positif sebagaimana yang disebutkan di atas, ada pula

tertawa negatif. Macam-macamnya adalah:

1. Tertawa yang melalaikan dari ingat (dzikr) kepada Allah. Allah menyatakan:

‫ﺴ ْﻮ ُآ ْﻢ ِذ ْآﺮِي َو ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ ِﻣ ْﻨ ُﻬ ْﻢ‬
َ ‫ﺨﺮِﻳًّﺎ ﺣَﺘﱠﻰ َأ ْﻧ‬
ْ‫ﺳ‬
ِ ‫ﺨ ْﺬ ُﺗﻤُﻮ ُه ْﻢ‬
َ ‫ﻓَﺎ ﱠﺗ‬
‫ن‬ َ ‫ﺤﻜُﻮ‬ َ‫ﻀ‬ ْ ‫َﺗ‬
Lalu kamu menjadikan mereka buah ejekan, sehingga (kesibukan) kamu
mengejek mereka menjadikan kamu lupa mengingat Aku, dan adalah kamu
selalu menertawakan mereka.(QS.al-Mu’minûn/23:110)

Dalam sebuah Hadis dinyatakan:

‫ل‬
ُ ‫ﻻ َأ ُﻗ ْﻮ‬
َ ‫ل‬
َ ‫ﻋ ُﺒﻨَﺎ ﻗَﺎ‬
ِ ‫ﻚ ُﺗﺪَا‬
َ ‫ﷲ ِإ ﱠﻧ‬
ِ ‫لا‬
َ ‫ﺳ ْﻮ‬
ُ ‫ل ﻗَﺎُﻟﻮْا ﻳَﺎ َر‬
َ ‫ﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة ﻗَﺎ‬
ْ ‫ﻦ َأ ِﺑ‬
ْ‫ﻋ‬َ
113
‫ﻻ ﺣَﻘًّﺎ‬
‫ِإ ﱠ‬
Dari Abû Hurairah ia berkata: Mereka (sahabat) berkata: Ya Rasulullah,
sesungguhnya engkau telah bersenda gurau dengan kami. Rasulullah
menjawab: “Sesungguhnya aku tidak mengatakan kecuali yang benar.”(HR al-
Tirmidzî dan Ahmad)

2. Tertawa yang mengejek atas peringatan Rasulullah. Hal ini sebagaimana yang

ditunjukkan oleh surat al-Najm ayat 59-60 berikut ini:

‫ن‬
َ ‫َﺗ ْﺒﻜُﻮ‬ ‫ﻻ‬
َ ‫ن َو‬
َ ‫ﺤﻜُﻮ‬
َ‫ﻀ‬ْ ‫ن َو َﺗ‬
َ ‫ﺠﺒُﻮ‬
َ ‫ﺚ َﺗ ْﻌ‬
ِ ‫ﺤﺪِﻳ‬
َ ‫ﻦ َهﺬَا ا ْﻟ‬
ْ ‫َأ َﻓ ِﻤ‬
Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu
mentertawakan dan tidak menangis? (QS.al-Najm/53:59-60)

Ayat yang berbentuk kalimat tanya (istifhâm) ini merupakan bentuk celaan

(taubîkh) terhadap sikap orang-orang musyrik. Orang-orang musyrik itu,

ketika disampaikan kepada mereka ayat-ayat al-Qur’an yang

113
al- Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 3, Abwâb al-Birr wa al-Silah, h. 241; Ahmad, al-
Musnad, Juz 2, h. 340

102
menginformasikan tentang akan terjadinya hari kiamat dan hal-hal lainnya,

mereka tertawa sebagai ejekan dan olokan, dan tidak menangis sebagaimana

yang dilakukan oleh orang-orang yang yakin sebagaimana tercantum dalam

ayat: Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan

mereka bertambah khusyuk.(QS.17:109)

Lihat pula ayat berikut ini;

‫ن‬
َ ‫ﺤﻜُﻮ‬
َ‫ﻀ‬
ْ ‫َﻓَﻠﻤﱠﺎ ﺟَﺎ َء ُه ْﻢ ﺑِﺂﻳَﺎ ِﺗﻨَﺎ إِذَا ُه ْﻢ ﻣِ ْﻨﻬَﺎ َﻳ‬
Maka tatkala dia datang kepada mereka dengan membawa mukjizat-
mukjizat Kami dengan serta merta mereka mentertawakannya. (QS.al-
Zukhrûf/43:47)
3. Tertawa terbahak-bahak dan terpingkal-pingkal yang dapat mengeraskan hati.

Rasulullah saw. bersabda:

‫ن‬
‫ﻀﺤِﻚَ َﻓِﺈ ﱠ‬ َ ρ‫ﷲ‬
‫ﻻ ُﺗ ْﻜﺜِﺮُوااﻟ ﱠ‬ ِ ‫لا‬
ُ ‫ﺳ ْﻮ‬
ُ ‫ل َر‬
َ ‫ل ﻗَﺎ‬ َ ‫ﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة ﻗَﺎ‬
ْ ‫ﻦ َأ ِﺑ‬
ْ‫ﻋ‬ َ
114
‫ﺐ‬
َ ‫ﺖ ا ْﻟ َﻘ ْﻠ‬ُ ‫ﻚ ُﺗ ِﻤ ْﻴ‬
َ‫ﺤ‬ ِ‫ﻀ‬ ‫َآ ْﺜ َﺮ َة اﻟ ﱠ‬
Dari Abû Hurairah ia berkata: Rasulullah saw. Bersabda: “Janganlah
kalian memperbanyak tertawa, karena memperbanyak tertawa itu dapat
mengeraskan hati.”(HR al-Tirmidzî, Ibn Mûjah, dan Ahmad )

‫ﻦ‬
ْ ‫ﺠ ًﺔ ِﻣ‬
‫ﺞ َﻣ ﱠ‬
‫ﺤ َﻜ ًﺔ َﻣ ﱠ‬
ْ‫ﺿ‬
َ ‫ﻚ‬
َ ‫ﺤ‬
ِ‫ﺿ‬َ ‫ﻦ‬
ْ ‫ل َﻣ‬
َ ‫ﻦ ﻗَﺎ‬
ٍ ‫ﺴ ْﻴ‬
َ‫ﺣ‬ُ ‫ﻦ‬
ِ ‫ﻲ ْﺑ‬
‫ﻋِﻠ ﱢ‬
َ ‫ﻦ‬ ْ‫ﻋ‬ َ
115
‫ا ْﻟ ِﻌ ْﻠ ِﻢ‬
Barangsiapa yang tertawa dengan satu tertawaan (yang keras), maka
(sebagian) ilmunya dicabut dengan sekali cabutan.(HR al-Dûrimî dari ‘Ali bin
Husein)

114
Sanad Hadis ini sahih karena para rawinya tsiqât. Lihat: Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz
2, Kitâb al-Zuhd Bâb al-Huzn wa al-Bukâ, no. Hadis 4193 h. 1403; al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî.,
Juz 3, Abwâb al-Zuhd, no. hadis 2407, h. 377-378; Ahmad, al-Musnad, Juz 2, h. 340; Isnad Hadis ini
sahih dan para rawinya tsiqat.
115
al-Dârimî, Sunan al-Dârimî, Juz 1, Kitâb al-Muqaddimah Bâb al-Rihlah fî Talab al-‘Ilm,
no. hadis 583, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 2000), Cet. I, , h. 136

103
4. Tertawa kedustaan yang dapat menyakitkan hati orang lain. Ia sengaja

mendustakan (membuat-buat) cerita agar orang lain menertawakannya.

Rasulullah saw. bersabda:

ρ‫ﷲ‬ ِ ‫لا‬ َ ‫ﺳ ْﻮ‬ُ ‫ﺖ َر‬ ُ ‫ﺳ ِﻤ ْﻌ‬ َ ‫ل‬ َ ‫ﺟ ﱢﺪ ِﻩ ﻗَﺎ‬


َ ‫ﻦ‬ ْ‫ﻋ‬ َ ‫ﻦ َأ ِﺑ ْﻴ ِﻪ‬ ْ‫ﻋ‬َ ‫ﺣ ِﻜ ْﻴ ٍﻢ‬
َ ‫ﻦ‬ ِ ‫ﻦ َﺑ ْﻬ ِﺰ ْﺑ‬ ْ‫ﻋ‬ َ
116
‫ﻞ َﻟ ُﻪ‬
ٌ ‫ﻞ َﻟ ُﻪ وَ ْﻳ‬
ٌ ‫ﺤ َﻜ ُﻬ ْﻢ وَ ْﻳ‬
ِ‫ﻀ‬ْ ‫ب ِﻟ ُﻴ‬ ُ ‫ث ا ْﻟ َﻘ ْﻮ َم ُﺛﻢﱠ َﻳ ْﻜ ِﺬ‬
ُ ‫ﺤﺪﱢ‬
َ ‫ي ُﻳ‬ ْ ‫ﻞ ﱢﻟﱠﻠ ِﺬ‬
ٌ ‫ل وَ ْﻳ‬
ُ ‫َﻳ ُﻘ ْﻮ‬
Dari Bahz bin Hakim dari Bapaknya dari Kakeknya ia berkata: Saya
mendengar Rasulullah saw. Bersabda: “Celakalah orang yang menceritakan suatu
kaum, kemudian ia mendustakan ceritanya agar orang lain menertawakannya.
Celakalah baginya, celakalah baginya.” (HR. al-Tirmidzî, Abû Dâwûd, dan
Ahmad)

Berdasarkan uraian di atas, maka seorang muslim dituntut harus benar-

benar pandai menempatkan kapan ia menangis dan kapan ia tertawa. Sebab,

dalam pandangan al-Qur’an, tidak ada sesuatupun yang lahir dari diri manusia,

melainkan ada konsekuensi yang akan diterimanya. Jika baik dan sesuai dengan

tuntunan agama, maka ia akan menerima ganjaran pahala. Namun, jika buruk dan

tidak sesuai dengan petunjuk agama, ia akan menerima dosa. Dan kesemuanya itu

akan sangat berpengaruh kepada suasana kehidupan yang akan ia rasakan, bahagia

ataupun sengsara, di dunia ataupun di akhirat. Tentang menangis dan tertawa ini,

Rasulullah mengingatkan kita melalui sabdanya:

‫ﷲ‬
ِ ‫ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ وَا‬
َ ‫ل ﻳَﺎ ُأ ﱠﻣ َﺔ ُﻣ‬َ ‫ ﻗَﺎ‬ρ ‫ﷲ‬ ِ ‫لا‬ َ ‫ﺳ ْﻮ‬
ُ ‫ن َر‬
‫ﷲ ﻋَ ْﻨﻬَﺎ َأ ﱠ‬ ُ ‫ﻲا‬ َ‫ﺿ‬ ِ ‫ﺸ َﺔ َر‬َ ‫ﻦ ﻋَﺎ ِﺋ‬ ْ‫ﻋ‬ َ
117
‫ﺖ‬
ُ ‫ﻞ َﺑﻠﱠ ْﻐ‬
ْ ‫ﻻ َه‬ َ ‫ﻼ َأ‬
ً ‫ﺤ ْﻜُﺘ ْﻢ َﻗِﻠ ْﻴ‬
ِ‫ﻀ‬َ ‫ﻋَﻠ ُﻢ َﻟ َﺒ َﻜ ْﻴُﺘ ْﻢ آَﺜِ ْﻴﺮًا َوَﻟ‬
ْ ‫ن ﻣَﺎ َأ‬
َ ‫َﻟ ْﻮ َﺗ ْﻌَﻠ ُﻤ ْﻮ‬
Dari ‘Aisyah r.a. sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: Wahai umat
Muhammad! Demi Allah, seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui,
niscaya kalian akan banyak menangis dan sedikit tertawa. Ingatlah, bukankah aku
telah menyampaikan.(HR.al-Bukhârî dan Muslim)
116
al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 3, Abwâb al-Zuhd Bâb Mâ Jâ Man Takallama, no.
hadis 2417, h. 382; Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 4, Kitâb al-Âdâb Bâb fî al-Kadzib, no. hadis
4990, h. 298; al-Dârimî, Sunan al-Dârimî, Jilid 2, Kitâb al-Isti’dzân Bâb fî al-lazdî yakdzibu, no. hadis
2702, h. 176; Ahmad, al-Musnad, Juz 5, h. 5; Abdullâh bin al-Mubârak, al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, h.
393
117
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî., Juz 6, Kitâb al-Nikâh Bâb al-Ghairah, h. 156; Muslim,
Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb Salâh al-Istisqâ Bâb Salâh al-Kusûf., h. 357-358

104
BAB III
MENANGIS DALAM KONSEP HADIS

A. Beragam Tangisan Rasulullah SAW.

1. Tangisan Rasulullah saw. Saat Mendengar Ayat al-Qur’an

Dalam sebuah hadis riwayat Imam al-Bukhârî (w.256 H.), Imam Muslim
(w.261 H.), Imam Abû Dâwûd (w.275 H.), Imam al-Tirmidzî (w.279 H.), dan
Imam Ahmad (w.241 H.) disebutkan:

‫ل َا ْﻗ َﺮُأ‬
َ ‫ﻲ ﻗَﺎ‬ ‫ﻋَﻠ ﱠ‬َ ‫ﺴ ُﻌ ْﻮ ٍد ِإ ْﻗ َﺮ ْأ‬
ْ ‫ﻦ َﻣ‬ ِ ‫ﷲ ْﺑ‬ِ ‫ ِﻟ َﻌ ْﺒ ِﺪ ا‬ρ ‫ﻲ‬ ‫ل اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ‬َ ‫ل ﻗَﺎ‬َ ‫ﻦ ِإ ْﺑﺮَا ِه ْﻴ َﻢ ﻗَﺎ‬ْ‫ﻋ‬ َ
‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ‬
َ ‫ل َﻓ َﻘ َﺮَأ‬ َ ‫ي ﻗَﺎ‬
ْ ‫ﻏ ْﻴ ِﺮ‬ َ ‫ﻦ‬ ْ ‫ﺳ َﻤ َﻌ ُﻪ ِﻣ‬
ْ ‫ن َا‬ْ ‫ﺣﺐﱡ َا‬ ِ ‫ﻲ ُا‬
ْ ‫ل ِإ ﱢﻧ‬َ ‫ﻚ ُا ْﻧﺰِلَ؟ ﻗَﺎ‬
َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ‬ َ ‫ﻚ َو‬ َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ‬
َ
‫ﺸ ِﻬ ْﻴ ٍﺪ‬ َ ‫ﻞ ُا ﱠﻣ ٍﺔ ِﺑ‬
‫ﻦ ُآ ﱢ‬ ْ ‫ﺟ ْﺌ َﻨﺎ ِﻣ‬ ِ ‫ﻒ ِا َذا‬ َ ‫ﺳ ْﻮ َر ِة اﻟ ﱢﻨﺴَﺎ ِء ِإﻟَﻰ َﻗ ْﻮِﻟ ِﻪ ) َﻓ َﻜ ْﻴ‬ُ ‫ل‬ ِ ‫ﻦ َا ﱠو‬ ْ ‫ِﻣ‬
118
‫ﺷ ِﻬ ْﻴ ًﺪا( ﻓَﺒَﻜَﻰ‬ َ ِ ‫ﻻء‬ َ ‫ﻋَﻠﻰ ه ُﺆ‬ َ ‫ﻚ‬ َ ‫ﺟ ْﺌ َﻨﺎ ِﺑ‬
ِ ‫َو‬
Dari Ibrahim dia berkata: “Nabi saw. pernah berkata kepada Abdullah bin
Mas’ud r.a.: ‘Bacakanlah untukku (al-Qur’an)!’ Ibnu Mas’ud berkata: ’Apakah aku
akan membacakannya untukmu, sedangkan ia diturunkan kepadamu?‘ Beliau
menjawab: ‘Sesungguhnya aku suka mendengarnya dari orang lain.‘ lalu Ibnu
Mas’ud membacakannya dari awal surat An-nisa sehingga ketika sampai pada ayat
“(Maka bagaimanakah {halnya orang-orang kafir nanti}, apabila kami mendatangkan
seorang saksi {Rasul} dari tiap-tiap umat dan kami mendatangkan kamu
{Muhammad} sebagai saksi atas mereka itu {sebagai umatmu}”) – QS. al-Nisâ:41
Maka beliau pun menangis.”

Allah memang menganjurkan kepada umat Islam untuk mentadabburi

ayat-ayat al-Qur’an. Dan tetesan air mata Rasul di atas adalah wujud dari

perenungan (tadabbur) beliau terhadap ayat al-Qur’an.

118
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 5, Kitâb Tafsîr al-Qur’ân Bâb Fakaif Idzâ Ji’nâ min
Kull Ummah, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1986), h.180 & Juz 6 kitâb fadâ’il al-Qur’ân Bâb Qaul al-Muqri
li al-Qâri Hasbuk, h. 113-114; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Masâjid wa Mawâdi’ al-
Salâh Bâb Fadl Istimâ’ al-Qur’ân wa Talab al-Qirâ’ah min Hâfizihli al-Istimâ’ wa al-Bukâ ‘inda
al-Qirâ’ah, (Indonesia: Dâr Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiyyah, tth), h. 320; al-Tirmidzî, Sunan al-
Tirmidzî, Jilid 4, Abwâb Tafsîr al-Qur’ân Bâb wa min Sûrah al-Nisâ, no. Hadis 3213, (Indonesia:
Maktabah Dahlân, t.t.), h. 304; Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 3, Kitâb al-‘Ilm Bâb fî al-
Qisas, no. Hadis 3668, (Jakarta: Dâr al-Hikmah, tth.)h. 324; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2,
Kitâb al-Zuhd Bâb al-Huzn wa al-Bukâ, no. Hadis 4194, (Indonesia: Maktabah Dahlân, t.t.), h.
1403

105
‫ﻬ ﺎ‬
َ ‫َا ْﻗ َﻔﺎُﻟ‬ ‫ب‬
ٍ ‫ﻋَﻠﻰ ُﻗُﻠ ْﻮ‬
َ ‫ن َا ْم‬
َ ‫ن ا ْﻟ ُﻘ ْﺮا‬
َ ‫ﻼ َﻳ َﺘ َﺪ ﱠﺑ ُﺮ ْو‬
َ ‫َا َﻓ‬
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran ataukah hati
mereka terkunci?” (QS. Muhammad/47:24)
Itulah sebabnya, Imam al-Qurtubî (w.567 H.) mengatakan: ”Para ulama

mengatakan: ’Diwajibkan bagi pembaca al-Qur’an untuk menghadirkan hatinya

serta bertafakkur (merenungkan) saat membacanya, karena dia sedang membaca

khitâb (firman) Allah yang ditujukan kepada hamba-hambanya.” Oleh karena itu,

barangsiapa yang membaca al-Qur’an dengan tidak bertafakkur padanya, sedang

dia termasuk orang yang mempunyai kemampuan untuk memahami dan

mentafakkurinya, maka dia sama seperti orang yang tidak membacanya dan tidak

sampai pada tujuan dari bacaannya itu.”119

Rasulullah saw. setiap kali mendengarkan atau membaca Kitabullah senantiasa

menyaksikannya dengan hati dan pemahaman, tidak lengah dan tidak lalai. Kondisi inilah

yang memberikan pengaruh kuat kepada beliau sehingga tatkala al-Qur’an dibacakan,

maka beliau akan diliputi rasa takut dan akhirnya meneteskan air mata. Tetesan air mata

yang keluar saat beliau mendengar firman Allah di atas, menurut para ulama

sebagaimana yang dikutip oleh Imam al-Qurtubî (w.567 H.) terjadi karena keagungan

kandungan ayat tersebut, yaitu pemandangan yang menyeramkan dan keadaan yang

mencekam di hari kiamat. Saat itu para nabi akan dihadirkan sebagai saksi bagi umat

mereka untuk membenarkan dan mendustakan. Sedang Nabi saw. akan dihadirkan

sebagai saksi bagi umatnya dan umat yang lain.120

Ketika menjelaskan hadis di atas, Ibn Hajar al-‘Asqalânî (w.852 H.) mengutip

pandangan Imam al-Ghazâlî (w.505 H.) yang menyatakan: “Disunahkan menangis saat

119
Khumais As-Sa’id, Menangislah Sebagaimana Rasulullah saw. dan Para Sahabat
Menangis, (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 1426/2005), h. 51
120
Ibid, h. 78

106
membaca al-Qur’an. Dan cara menghadirkan tangis saat membaca al-Qur’an adalah

dengan menghadirkan kepada kalbunya rasa sedih dan rasa takut, dengan merenungi

segala ancaman yang keras dan janji-janji di dalamnya. Kemudian mengingatkan segala

pelanggaran yang dia lakukan dalam hal tersebut. Jika dia tidak bisa menghadirkan

kesedihan, maka hendaklah dia menangis atas hilangnya kemampuan untuk itu dan

menilai hal itu sebagai musibah yang paling parah.” 121

Dalam riwayat lain juga disebutkan bahwa Rasulullah saw. pernah

menangis saat merenungi surat Ibrâhîm ayat 36 dan surat al-Mâidah ayat 118

berikut ini:

‫ﻋ ﱠﺰ‬
َ ‫ﷲ‬ ِ ‫لا‬ َ ‫ﻼ َﻗ ْﻮ‬ َ ‫ َﺗ‬ρ ‫ﻲ‬ ‫ن اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱠ‬‫ص َأ ﱠ‬ ِ ‫ﻦ ا ْﻟﻌَﺎ‬ ِ ‫ﻦ ﻋَ ْﻤﺮِو ْﺑ‬ ِ ‫ﷲ ْﺑ‬ ِ ‫ﻋ ْﺒ ِﺪ ا‬ َ ‫ﻦ‬ ْ‫ﻋ‬ َ
‫ﻦ َﺗ ِﺒ َﻌﻨِﻲ‬ ْ ‫س َﻓ َﻤ‬ ِ ‫ﻦ اﻟﻨﱠﺎ‬ ْ ‫ﻦ َآﺜِﻴﺮًا ِﻣ‬ َ ‫ﺿَﻠ ْﻠ‬
ْ ‫ب إِﻧﱠ ُﻬﻦﱠ َأ‬ ‫ﻞ ﻓِﻲ ِإ ْﺑﺮَاهِﻴ َﻢ َر ﱢ‬ ‫ﺟﱠ‬َ ‫َو‬
‫ك‬
َ ‫ﻋﺒَﺎ ُد‬ ِ ‫ن ُﺗ َﻌ ﱢﺬ ْﺑ ُﻬ ْﻢ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻬ ْﻢ‬ْ ‫ﻼم ِإ‬ َ‫ﺴ‬‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ اﻟ ﱠ‬ َ ‫ل ﻋِﻴﺴَﻰ‬ َ ‫َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ ِﻣﻨﱢﻲ اﻵ َﻳ َﺔ َوﻗَﺎ‬
‫ل اﻟﱠﻠ ُﻬﻢﱠ ُأ ﱠﻣﺘِﻲ‬ َ ‫ﺤﻜِﻴ ُﻢ َﻓ َﺮ َﻓ َﻊ َﻳ َﺪ ْﻳ ِﻪ َوﻗَﺎ‬ َ ‫ﺖ ا ْﻟ َﻌﺰِﻳ ُﺰ ا ْﻟ‬َ ‫ﻚ َأ ْﻧ‬َ ‫ن َﺗ ْﻐ ِﻔ ْﺮ َﻟ ُﻬ ْﻢ َﻓِﺈ ﱠﻧ‬
ْ ‫َوِإ‬
‫ﻚ‬
َ ‫ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ َو َر ﱡﺑ‬
َ ‫ﺐ إِﻟَﻰ ُﻣ‬ ْ ‫ﻞ ا ْذ َه‬ ُ ‫ﺟ ْﺒﺮِﻳ‬
ِ ‫ﻞ ﻳَﺎ‬ ‫ﺟﱠ‬َ ‫ﻋ ﱠﺰ َو‬ َ ‫ﷲ‬ ُ ‫لا‬ َ ‫ُأ ﱠﻣﺘِﻲ َو َﺑﻜَﻰ َﻓﻘَﺎ‬
‫ل‬
ُ ‫ﺧ َﺒ َﺮ ُﻩ َرﺳُﻮ‬ ْ ‫ﺴَﺄَﻟ ُﻪ َﻓَﺄ‬ َ ‫ﻼم َﻓ‬ َ‫ﺴ‬ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ اﻟ ﱠ‬
َ ‫ﻞ‬ ُ ‫ﺟ ْﺒﺮِﻳ‬
ِ ‫ﻚ َﻓَﺄﺗَﺎ ُﻩ‬ َ ‫ﺴ ْﻠ ُﻪ ﻣَﺎ ُﻳ ْﺒﻜِﻴ‬ َ ‫ﻋَﻠ ُﻢ َﻓ‬
ْ ‫َأ‬
‫ﻞ‬
ْ ‫ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ َﻓ ُﻘ‬
َ ‫ﺐ إِﻟَﻰ ُﻣ‬ ْ ‫ﻞ ا ْذ َه‬ ُ ‫ﺟ ْﺒﺮِﻳ‬ِ ‫ﷲ ﻳَﺎ‬ ُ ‫لا‬ َ ‫ﻋَﻠ ُﻢ َﻓﻘَﺎ‬
ْ ‫ل َو ُه َﻮ َأ‬ َ ‫ ِﺑﻤَﺎ ﻗَﺎ‬ρ ‫ﷲ‬ ِ ‫ا‬
‫ك‬
َ ‫ﻻ َﻧﺴُﻮ ُء‬ َ ‫ﻚ َو‬ َ ‫ﻚ ﻓِﻲ ُأ ﱠﻣ ِﺘ‬ َ ‫ﺳ ُﻨ ْﺮﺿِﻴ‬ َ ‫ِإﻧﱠﺎ‬
Dari ‘Abdullâh bin ‘Amr bin al-‘As r.a. bahwa Nabi saw. membaca firman
Allah dalam surat Ibrâhîm (Ya Tuhanku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah
menyesatkan kebanyakan manusia. Maka, barangsiapa yang mengikutiku, maka
sesungguhnya orang itu termasuk golonganku…QS.Ibrâhîm:36). Dan Isa a.s
berkata (Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah
hamba-hamba Engkau. Dan jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya
Engkau-lah Yang Mahaperkasa lagi Maha Bijaksana. – QS.al-Mâidah:118-) Lalu
beliau mengangkat kedua tangannya seraya berucap sambil menangis: “Ya Allah,
umatku, umatku!” lalu Allah berfirman: “Wahai Jibril, pergilah kepada
(datangilah) Muhammad, dan Tuhanmu lebih mengetahui, lalu tanyakan
kepadanya, apa yang menyebabkanmu menangis!” Kemudian Jibril mendatangi
beliau dan bertanya kepadanya. Maka Rasulullah saw. memberitahu kepada Jibril
a.s. mengenai apa yang dikatakan, dan Dia lebih mengetahui.Lalu Allah

121
Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî Syarh Sahîh al-Bukhârî, (Beirût: Dâr al-Fikr,
1414/1993), Juz 10, h. 121

107
berfirman: “Wahai Jibril, pergilah kepada (datangilah) Muhammad dan
katakanlah, ‘Sesungguhnya Kami akan meridhaimu terhadap umatmu dan tidak
akan berbuat buruk kepadamu.’” (H.R. Muslim)122
Menurut Imam al-Nawawî (w.675 H.), Hadis di atas mengandung

beberapa hal, yaitu:

Pertama: Besarnya rasa kasih sayang yang sempurna serta perhatian Rasul

terhadap kemaslahatan segala urusan umat beliau. Hal ini ditunjukkan dengan

disebutnya umat beliau sambil menangis agar diselamatkan dari siksa Allah.

Kedua: Disunnahkan untuk mengangkat tangan ketika berdoa.

Ketiga: Kabar gembira untuk umat Nabi Muhammad saw. bahwa Allah

akan memperlakukannya dengan sebaik-baiknya.

Keempat: Keagungan kedudukan Nabi saw. di sisi Allah serta besarnya

kasih sayang Allah kepada beliau.123

Imam Ibn Mâjah (w.273 H.) juga meriwayatkan Hadis yang

menganjurkan menangis saat membaca al-Qur’an:

‫ص َو َﻗ ْﺪ‬
ٍ ‫ﻦ أَﺑِﻲ َوﻗﱠﺎ‬ ُ ‫ﺳ ْﻌ ُﺪ ْﺑ‬
َ ‫ﻋَﻠ ْﻴﻨَﺎ‬َ ‫ل َﻗ ِﺪ َم‬َ ‫ﺐ ﻗَﺎ‬ ِ ‫ﻦ اﻟﺴﱠﺎِﺋ‬ ِ ‫ﻦ ْﺑ‬
ِ ‫ﺣ َﻤ‬ ْ ‫ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟ ﱠﺮ‬َ ‫ﻦ‬ ْ‫ﻋ‬ َ
‫ﻦ َأﺧِﻲ‬ ِ ‫ﺣﺒًﺎ ﺑِﺎ ْﺑ‬
َ ‫ل َﻣ ْﺮ‬ َ ‫ﺧَﺒ ْﺮُﺗ ُﻪ َﻓﻘَﺎ‬
ْ ‫ﺖ َﻓَﺄ‬
َ ‫ﻦ َأ ْﻧ‬
ْ ‫ل َﻣ‬ َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َﻓ َﻘﺎ‬
َ ‫ﺖ‬ ُ ‫ﺴﱠﻠ ْﻤ‬َ ‫ﺼ ُﺮ ُﻩ َﻓ‬
َ ‫ُآﻒﱠ َﺑ‬
‫ن هَﺬَا‬ ُ ‫ َﻳﻘُﻮ‬ρِ ‫ل اﷲ‬
‫ل ِإ ﱠ‬ َ ‫ﺖ َرﺳُﻮ‬ ُ ‫ﺳ ِﻤ ْﻌ‬
َ ‫ن‬ ِ ‫ت ﺑِﺎْﻟ ُﻘﺮْﺁ‬ِ ‫ﺼ ْﻮ‬ ‫ﻦ اﻟ ﱠ‬ ُ‫ﺴ‬ َ‫ﺣ‬ َ ‫ﻚ‬ َ ‫ﺑَﻠَﻐَﻨِﻲ َأﱠﻧ‬
‫ن َﻟ ْﻢ َﺗ ْﺒﻜُﻮا َﻓَﺘﺒَﺎ َآﻮْا َوَﺗ َﻐﱠﻨﻮْا ِﺑ ِﻪ‬ ْ ‫ن َﻓِﺈذَا َﻗ َﺮْأُﺗﻤُﻮ ُﻩ ﻓَﺎ ْﺑﻜُﻮا َﻓِﺈ‬ ٍ ‫ﺤ ْﺰ‬ُ ‫ل ِﺑ‬ َ ‫ن َﻧ َﺰ‬ َ ‫اْﻟ ُﻘﺮْﺁ‬
124
.‫ﺲ ِﻣﻨﱠﺎ‬ َ ‫ﻦ ِﺑ ِﻪ َﻓَﻠ ْﻴ‬
‫ﻦ َﻟ ْﻢ َﻳَﺘ َﻐ ﱠ‬
ْ ‫َﻓ َﻤ‬
Dari Abdurrahmân bin al-Sâ’ib ia berkata: “Sa’ad bin Abî Waqqâs datang
kepada kami, dan ketika itu penglihatannya sudah terganggu. Aku mengucapkan
salam kepadanya, lalu ia bertanya: ’Siapa anda? ‘Akupun memberitahu tentang

122
Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Îmân Bâb Du’â al-Nabî saw.li Ummatih wa
Bukâ’ih Syafaqah ‘alaihim, h.107
123
al-Nawawî, Sahîh Muslim bi Syarh al-Nawawî, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 1415/1994), Jilid 2,
h. 80
124
Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah,Juz 1, Kitâb Iqâmah al-Salâh wa al-Sunnah fîhâ Bâb fî
Husn al-Saut bi al-Qur’ân, no. Hadis 1337 h. 424; Dalam sanad ini terdapat Abû Râfi’ (Ismâ’îl ibn
Râfi’). Dia adalah rawi daif dan matruk.

108
diriku. Iapun berkata: ’Selamat datang wahai anak saudaraku! Telah sampai berita
kepadaku bahwa engkau memiliki suara yang indah saat membaca al-Qur’an. Aku
telah mendengar Rasulullah saw. bersabda: ‘Sesungguhnya al-Qur’an turun
dengan kesedihan. Jika kalian membacanya, maka menangislah. Jika tidak
menangis, maka hendaklah pura-pura menangis. Merdukanlah bacaan al-Qur’an .
Barangsiapa yang tidak memerdukan al-Qur’an dengan suaranya, maka ia tidak
termasuk golongan kami.” (H.R. Ibn Mâjah)

Dan menurut Imam al-Nawawî (w.675 H.), menangis saat membaca al-

Qur’an adalah sifat para arifin dan syi’ar para salihin. 125

2. Tangisan Rasulullah saw. Menyaksikan Kematian Orang-orang yang Dicintai

a) Tangis Rasulullah saw. Saat Menyaksikan Kematian Anaknya (Ibrâhîm).

Mengingat kematian secara proporsional adalah di antara sifat orang-orang

mukmin. Bahkan Rasul menyebutkan bahwa mukmin yang cerdas adalah yang

senantiasa mengingat kematian dan paling banyak mempersiapkan bekal untuk

kehidupan sesudahnya.126 Sedangkan orang yang sibuk mengurus urusan dunia,

yang terpasung oleh tipu dayanya dan yang cinta pada kemegahannya, hatinya

akan lalai dan lengah untuk mengingat kematian. Jika diingatkan, maka dia

akan berlari darinya. Mereka itulah yang oleh Allah disinyalir melalui firman-

Nya:

‫ﻋﺎِﻟ ِﻢ‬
َ ‫ن ِاَﻟﻰ‬
َ ‫ﻼ ِﻗ ْﻴ ُﻜ ْﻢ ُﺛ ﱠﻢ ُﺗ َﺮ ﱡد ْو‬
َ ‫ن ِﻣ ْﻨ ُﻪ َﻓِﺎ ﱠﻧ ُﻪ ُﻣ‬ َ ‫ي َﺗ ِﻔ ﱡﺮ ْو‬ ْ ‫ت اﱠﻟ ِﺬ‬ َ ‫ن ا ْﻟ َﻤ ْﻮ‬
‫ﻞ ِا ﱠ‬ْ ‫ُﻗ‬
‫ن‬ َ ‫ﺸ َﻬﺎ َد ِة َﻓ ُﻴ َﻨ ﱢﺒ ُﺌ ُﻜ ْﻢ ِﺑ َﻤﺎ ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ َﺗ ْﻌ َﻤُﻠ ْﻮ‬
‫ﺐ َواﻟ ﱠ‬ ِ ‫ا ْﻟ َﻐ ْﻴ‬
Katakanlah: "Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka
sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan
dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu
Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan". (QS.al-Jumu’ah/62:8)
Bagi orang yang bertaubat, mengingat kematian merupakan sarana

untuk membangkitkan rasa takut hatinya sehingga ia benar-benar bertaubat.

125
Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî Syarh Sahîh al-Bukhârî, Juz 10, h. 121
126
Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Zuhd, Bâb Dzikr al-Maut wa al-Isti’dâd
lah, no. Hadis 4259, h. 1423

109
Bahkan, mungkin dia akan membenci kematian karena takut akan dijemput

secara tiba-tiba sedangkan dirinya belum melakukan taubat secara sempurna

dan belum memperbaiki serta mempersiapkan bekal hidupnya kelak.

Kebencian seperti ini dapat dimaklumi karena akan memotivasi dirinya untuk

meningkatkan kuantitas dan kualitas amal saleh.

Sedangkan orang arif akan senantiasa mengingat kematian, karena ia

merupakan sarana pertemuan dirinya dengan kekasihnya. Kematian adalah

pintu gerbang yang mengalihkan seseorang dari alam dunia yang fana menuju

alam akhirat yang kekal abadi. Bagi orang-orang yang arif & salih, muncul

keyakinan bahwa di balik kematian telah menunggu beragam kebahagiaan dan

kenikmatan hidup serta jauh dari hingar bingarnya kehidupan dunia yang

penuh tipu daya dan kesemuan.

Kematian dalam pandangan ulama adalah pelajaran bagi orang yang

mau mengambil pelajaran dan pemikiran bagi orang yang mau berpikir.127 .

Perhatikanlah sikap Rasulullah saw. saat putra tercintanya dijemput kematian!

‫ﻋﻠَﻰ‬ َ ρ‫ﷲ‬ ِ ‫لا‬ ِ ‫ﺳ ْﻮ‬


ُ ‫ﺧ ْﻠﻨَﺎ َﻣ َﻊ َر‬ َ ‫ل َد‬ َ ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ‬ َ ‫ﷲ‬ُ ‫ﻲا‬ َ‫ﺿ‬ ِ ‫ﻚ َر‬ ٍ ‫ﻦ ﻣَﺎِﻟ‬ ِ ‫ﺲ ْﺑ‬ ٍ ‫ﻦ َا َﻧ‬ ْ‫ﻋ‬ َ
‫ ِا ْﺑﺮَا ِه ْﻴ َﻢ‬ρ ‫ﷲ‬ ِ ‫لا‬ ُ ‫ﺳ ْﻮ‬
ُ ‫ﺧ َﺬ َر‬ َ ‫ﻻ ْﺑﺮَا ِه ْﻴ َﻢ َﻓَﺎ‬ ِ ‫ن ﻇِ ْﺌﺮًا‬ َ ‫ﻒ اﻟﻘﻴﻦ َوآَﺎ‬ ٍ ‫ﺳ ْﻴ‬ َ ‫ﻲ‬ ْ ‫َا ِﺑ‬
‫ل‬
ِ ‫ﺳ ْﻮ‬ ُ ‫ﻋ ْﻴﻨَﺎ َر‬ َ ‫ﺖ‬ْ ‫ﺠ َﻌَﻠ‬
َ ‫ﺴ ِﻪ َﻓ‬ِ ‫ﻚ َوِا ْﺑﺮَا ِه ْﻴ ُﻢ ِﺑ َﻨ ْﻔ‬َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َﺑ ْﻌ َﺪ َذِﻟ‬
َ ‫ﺧ ْﻠﻨَﺎ‬َ ‫ﺷ ﱠﻤ ُﻪ ُﺛﻢﱠ َد‬ َ ‫َﻓ َﻘ ﱠﺒَﻠ ُﻪ َو‬
‫ﺖ ﻳَﺎ‬ َ ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ َوَا ْﻧ‬
َ ‫ﷲ‬ُ ‫ﻲا‬ َ‫ﺿ‬ ِ ‫ف َر‬ ٍ ‫ﻋ ْﻮ‬ َ ‫ﻦ‬ ِ ‫ل َﻟ ُﻪ ﻋَ ْﺒﺪُاﻟ ﱠﺮﺣْﻤﻦِ ْﺑ‬ َ ‫ن َﻓﻘَﺎ‬ ِ ‫ َﺗ ْﺬ ِرﻓَﺎ‬ρ ‫ﷲ‬ ِ ‫ا‬
‫ ِا ﱠ‬ρ ‫ل‬
‫ن‬ َ ‫ﺧﺮَى َﻓﻘَﺎ‬ ْ ‫ﺣ َﻤ ٌﺔ ُﺛﻢﱠ َا ْﺗ َﺒ َﻌﻬَﺎ ﺑُِﺎ‬
ْ ‫ف ِا ﱠﻧﻬَﺎ َر‬ ٍ ‫ﻋ ْﻮ‬ َ ‫ﻦ‬ َ ‫ل ﻳَﺎ ا ْﺑ‬َ ‫ل اﷲِ؟ َﻓﻘَﺎ‬ ُ ‫ﺳ ْﻮ‬ُ ‫َر‬
‫ﻚ‬
َ ‫ﻻ ﻣَﺎ ُﻳ ْﺮﺿِﻲ َر ﱠﺑﻨَﺎ َوِاﻧﱠﺎ ِﺑ ِﻔﺮَا ِﻗ‬ ‫ل ِا ﱠ‬ ُ ‫ﻻ َﻧ ُﻘ ْﻮ‬
َ ‫ن َو‬ ُ ‫ﺤ ُﺰ‬ ْ ‫ﺐ َﻳ‬ ُ ‫ﻦ َﺗ ْﺪ َﻣ ُﻊ َواْﻟ َﻘ ْﻠ‬ َ ‫ا ْﻟ َﻌ ْﻴ‬
128
.‫ن‬ َ ‫ﺤ ُﺰ ْو ُﻧ ْﻮ‬ْ ‫َﻟ ِﻤ‬
127
Ahmad Farîd, al-Bahr al-Râ’iq fi al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, (T.tp.: al-Maktabah al-
Taufîqiyyah, t.t.), h. 261-262
128
al-Bukhârî, Sahiîh al-Bukhârî, Juz 2, Kitâb al-Janâ’iz Bâb Qaul al-Nabî innâ bik
Lamahzûnûn, h. 84-85; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 2, Kitâb al-Fadâ‘il Bâb Rahmatih saw. al-
Sibyân wa al-‘Îyâl wa Tawâdu’ih wa Fadl Dzâlik h. 324-325; al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî,
Juz 2, Abwâb al-Janâ’iz Bâb Mâ Jâ’a fî al-Rukhsah fî al-Bukâ ‘alâ al-Mayyit, no. Hadis 1011, h.
237; Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 3, Kitâb al-Janâ’iz Bâb fî al-Bukâ ‘alâ al-Mayyit, no.
Hadis 3126, h. 193; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 1, Kitâb al-Janâ’iz Bâb Mâ Jâ’a î al-Bukâ

110
Dari Anas bin Mâlik r.a. dia berkata : Kami pernah masuk bersama
Rasulullah ke rumah Abû Saif, seorang pandai besi dan dia adalah sebagai
zi’ir (istrinya menyusui) bagi Ibrahim, lalu Rasulullah saw. memegang
Ibrahim, kemudian memeluk dan menciuminya. Setelah itu, kamipun masuk
menemuinya sedang Ibrâhîm terbujur seorang diri. Maka kedua mata
Rasulullah meneteskan air mata, lalu Abdurrahmân bin Auf bertanya kepada
beliau: ‘Engkau juga menangis, ya Rasulullah? “beliau pun menjawab:
“Wahai Ibn ‘Auf, sesungguhnya tetesan air mata ini adalah rahmat.”
Kemudian diikuti dengan lainnya, lalu beliaupun bersabda; “Sesungguhnya
mata ini telah berlinang, hati bersedih, dan kami tidak mengatakan kecuali apa
yang diridhai oleh Tuhan kami. Dan sesungguhnya kami sangat bersedih atas
kepergianmu, wahai Ibrâhîm.” (H.R. al-Bukhârî, Muslim, al-Tirmidzî, Abû
Dâwûd, Ibn Mâjah, dan Ahmad)
Sebagaimana yang tersebut pada hadis di atas, ketika Ibrâhîm telah

mendekati kematian, Rasulullah saw. tidak dapat menahan tetesan air

matanya. Kenyataan ini menakjubkan para sahabat yang hadir, karena dalam

berbagai sabdanya beliau senantiasa memotivasi sahabatnya untuk bersabar

ketika musibah datang dan pernyataan beliau bahwa mayat akan disiksa

karena tangisan keluarganya. Dengan penuh keheranan, Abdurrahmân bin

‘Auf (w. 32 H.) bertanya: “Dan engkau ya Rasulullah (menangis)? “Dalam

redaksi Hadis yang disampaikan Abdurrahmân bin ‘Auf, bunyi pertanyaan

Abdurrahmân bin ‘Auf sebagai berikut:

129
‫ﻦ ا ْﻟ ُﺒ َﻜﺎِء‬
ِ‫ﻋ‬
َ ‫ َا َوَﻟ ْﻢ َﺗ ْﻨ َﻪ‬,‫ﻲ‬
ْ ‫ﷲ َﺗ ْﺒ ِﻜ‬
ِ ‫لا‬
َ ‫ﺳ ْﻮ‬
ُ ‫ﺖ ﻳَﺎ َر‬
ُ ‫َﻓ ُﻘ ْﻠ‬
Saya bertanya: “Ya Rasulullah, anda menangis? Bukankah anda melarang
(kami) dari menangis?”
Atas keheranan sahabatnya itu, Rasul menegaskan: “Wahai Ibn ‘Auf,

sesungguhnya tangisan ini adalah rahmat. Sesungguhnya mata telah

meneteskan airnya, hati bersedih, dan kami hanya mengatakan apa yang

diridhai Tuhan kami. Sesungguhnya kami sangat bersedih atas kepergianmu

‘alâ al-Mayyit, no. Hadis 1589, h. 506-507; Ahmad, Musnad Ahmad, Juz 3, h. 237
129
Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî, Juz 3, h. 526

111
wahai Ibrahim.”

Menurut Ibnu Batal dan lainnya sebagaimana yang dikutip Imam Ibn

Hajar (w.852 H.), Hadis ini menjelaskan adanya tangisan dan kesedihan yang

dibolehkan. Tetesan air mata yang keluar karena lembutnya kalbu tanpa murka

terhadap keputusan Allah tidaklah dilarang. Hadis di atas juga mengandung

anjuran untuk mencium anak, menyusui anak, mengunjungi orang yang lebih

kecil, menghadiri orang yang akan meninggal, menyayangi keluarga, serta

kebolehan menginformasikan kesedihan meskipun menyembunyikannya lebih

utama. 130

Hal yang senada diungkapkan oleh Imam al-Nawawî (w.675 H.).

Beliau mengatakan: “Dalam hadis tersebut mengandung makna dibolehkannya

menangis dan bersedih atas orang yang sakit. Hal tersebut tidak bertentangan

dengan konsep ridha terhadap takdir (Allah). Bahkan, tangisan itu dipandang

sebagai rahmat yang Allah jadikan di dalam hati hamba-hambanya. Yang dicela

itu adalah ratapan yang berlebihan (nadb & niyâhah), kata-kata celaka (wail &

tsubur), serta ucapan-ucapan batil lainnya. Iulah sebabnya, Rasul mengatakan

:’Dan kami tidak mengatakan kecuali yangmembuat ridha Tuhan kami!’131

Al-Hasan (w.110 H.) mengatakan: “kematian menyingkap dunia.

Dunia tidak meninggalkan kebahagiaan bagi orang yang berakal. Tidaklah

seorang hamba menguatkan hatinya untuk mengingat kematian, melainkan di

matanya dunia tampak kecil dan semua yang ada di dalamnya menjadi hina.132

Pada suatu hari, Ibn Mu’tî pernah melihat rumahnya, lalu ia terkagum-kagum

130
Ibid, Juz 3, h. 526 ; Muh. Syams al-Haqq Abâdî, ‘Aun al-Ma’bûd Syarh Sunan Abî
Dâwûd, (Beirût: Dâr al-Fikr, tth), Juz 8, h. 394
131
al-Nawawî, Sahîh Muslim bi Syarh al-Nawawî., Jilid 8, h. 85
132
Ahmad Farîd, al-Bahr al-Râ’iq fî al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, h. 260

112
pada keindahannya dan kemudian menangis seraya berucap, “Demi Allah,

kalau bukan karena kematian, niscaya aku akan bahagia bersamamu. Dan

kalau bukan karena kita akan kembali ke kuburan yang sempit, niscaya kami

akan menyenangi dunia.” 133

Oleh karena itu, sudah sepatutnya bagi orang yang kematian menjadi

tempat kembalinya, tanah sebagai tempat pembaringannya, cacing sebagai

teman setia, Munkar dan Nakir sebagai teman duduknya, kuburan sebagai

tempat tinggalnya, dan kiamat sebagai waktu yang dijanjikan baginya serta

surga dan neraka sebagai tempat kembalinya, hendaklah dia tidak memiliki

pemikiran lain, kecuali hal tersebut, dan tidak menyiapkan diri kecuali hanya

untuk itu saja.”134

Rasulullah adalah manusia yang telah mencapai ketakwaan tertinggi

dan orang yang paling takut kepada Allah. Namun, kematian anaknya tak

urung membuatnya menangis karena cinta kasihnya. Dengan ingat kematian,

beliau juga mendapatkan kenikmatan tersendiri dalam hatinya. Itulah

sebabnya, kitapun harus mengikuti prilaku mulia Rasul ini.

b) Tangisan Rasulullah saw. Saat Menyaksikan Kematian Cucunya

Sebagaimana beliau menangis saat menyaksikan anaknya, Ibrâhîm,

meninggal dunia, beliau pun menangis dan meneteskan air mata kasih

sayangnya menyaksikan kematian cucunya (Umâmah bin Zainab)135

Disebutkan dalam sebuah Hadis:

‫ﺖ‬ َ ‫ َﻳ ْﻘﻀِﻲ َﻓَﺄ ْر‬ρ ‫ﻲ‬


ْ ‫ﺳَﻠ‬ ‫ت اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ‬
ِ ‫ﺾ َﺑﻨَﺎ‬
ِ ‫ﻦ ِﻟ َﺒ ْﻌ‬
ٌ ‫ن ا ْﺑ‬
َ ‫ل آَﺎ‬
َ ‫ﻦ ُأﺳَﺎ َﻣ َﺔ ﻗَﺎ‬
ْ‫ﻋ‬
َ
133
Ibid
134
Ibid, h. 262
135
Muhammad bin ‘Allân al-Siddîqî, Dalîl al-Fâlihîn, (Beirût: Dâr al-Fikr, tth), Jilid 3, h.
404

113
‫ﻞ‬
ٍ‫ﺟ‬ َ ‫ﻞ ِإﻟَﻰ َأ‬ ‫ﻋﻄَﻰ َو ُآ ﱞ‬ ْ ‫ﺧ َﺬ َوَﻟ ُﻪ ﻣَﺎ َأ‬
َ ‫ﷲ ﻣَﺎ َأ‬ ِ ‫ن‬‫ﻞ ِإ ﱠ‬ َ‫ﺳ‬ َ ‫ن ﻳَ ْﺄﺗِﻴَﻬَﺎ َﻓَﺄ ْر‬
ْ ‫ِإَﻟ ْﻴ ِﻪ َأ‬
‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َﻓﻘَﺎ َم‬َ ‫ﺖ‬ ْ ‫ﺴ َﻤ‬َ ‫ﺖ ِإَﻟ ْﻴ ِﻪ َﻓَﺄ ْﻗ‬
ْ ‫ﺳَﻠ‬َ ‫ﺐ َﻓَﺄ ْر‬ ْ ‫ﺴ‬ِ ‫ﺤ َﺘ‬ْ ‫ﺼ ِﺒ ْﺮ َو ْﻟ َﺘ‬ْ ‫ُﻣﺴَﻤًّﻰ َﻓ ْﻠ َﺘ‬
‫ﻋﺒَﺎ َد ُة‬ ُ ‫ﺐ َو‬ ٍ ‫ﻦ َآ ْﻌ‬ ُ ‫ﻲ ْﺑ‬
‫ﻞ َوُأ َﺑ ﱡ‬ ٍ ‫ﺟ َﺒ‬
َ ‫ﻦ‬ُ ‫ﺖ َﻣ َﻌ ُﻪ َو ُﻣﻌَﺎ ُذ ْﺑ‬ ُ ‫ َو ُﻗ ْﻤ‬ρ ‫ﷲ‬ ِ ‫لا‬ ُ ‫َرﺳُﻮ‬
‫ﺴ ُﻪ‬ ُ ‫ﻲ َو َﻧ ْﻔ‬ ‫ اﻟ ﱠ‬ρ ‫ﷲ‬
‫ﺼ ِﺒ ﱠ‬ ِ ‫ل ا‬ َ ‫ﺧ ْﻠﻨَﺎ ﻧَﺎوَﻟُﻮا َرﺳُﻮ‬ َ ‫ﺖ َﻓَﻠﻤﱠﺎ َد‬ ِ ‫ﻦ اﻟﺼﱠﺎ ِﻣ‬ ُ ‫ْﺑ‬
َ ‫ َﻓﻘَﺎ‬ρ ‫ﷲ‬
‫ل‬ ِ ‫لا‬ ُ ‫ل َآَﺄ ﱠﻧﻬَﺎ ﺷَ ﱠﻨ ٌﺔ َﻓ َﺒﻜَﻰ َرﺳُﻮ‬ َ ‫ﺴ ْﺒ ُﺘ ُﻪ ﻗَﺎ‬
ِ‫ﺣ‬ َ ‫ﺻ ْﺪ ِر ِﻩ‬
َ ‫َﺗ َﻘ ْﻠ َﻘﻞُ ﻓِﻲ‬
‫ﻋﺒَﺎ ِد ِﻩ‬
ِ ‫ﻦ‬ ْ ‫ﷲ ِﻣ‬ ُ ‫ﺣ ُﻢ ا‬ َ ‫ل إِ ﱠﻧﻤَﺎ َﻳ ْﺮ‬ َ ‫ﻋﺒَﺎ َد َة َأ َﺗ ْﺒﻜِﻲ َﻓﻘَﺎ‬ ُ ‫ﻦ‬ ُ ‫ﺳ ْﻌ ُﺪ ْﺑ‬ َ
136
.‫ﺣﻤَﺎ َء‬ َ ‫اﻟ ﱡﺮ‬
Dari Usâmah bin Zaid ia berkata: “seorang anak perempuan Nabi saw.
telah mengirimkan surat kepada beliau, ‘sesungguhnya anakku (mendekati)
kematian, maka kunjungilah kami.’ Maka beliau mengirimkan (surat balasan)
sambil menyampaikan salam dan mengucapkan,’Sesungguhnya milik Allah-
lah apa yang telah di ambil-Nya Dan kepunyaan Allah-lah apa yang telah
diberikan-Nya. Dan setiap yang ada disisi-Nya ada ajal yang telah ditentukan,
maka sabarlah dan carilah ridha Allah,’lalu putri Rasul itu mengirimkan surat
lagi kepada beliau agar mempertimbangkan untuk mengunjunginya.
Kemudian beliaupun berdiri dan ikut juga bersamanya Sa’ad bin Ubadah,
Mu’âdz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsâbit, dan beberapa orang
lainnya. Lalu anak kecil itu diangkat (untuk diserahkan) kepada Rasulullah
saw. sedang jiwa anak itu bergetar tersengal-sengal. Usâmah mengatakan,
‘Seolah-olah aku mengira beliau mengatakan, ‘Jiwanya bagai syannun (suara
tempat air dari kulit yang digerakkan), ‘Lalu air mata beliau bercucuran. Maka
Sa’ad bertanya: “wahai Rasulullah, apa ini?’ Maka beliau menjawab: ‘Ini
adalah rahmat yang Allah jadikan dalam hati hamba-hamba-Nya.
Sesungguhnya Allah melimpahkan rahmat kepada hamba-hamba-Nya yang
penyayang.” (H.R. al-Bukhârî)
Rasa sakit yang diderita orang saat sakaratul maut tidak dapat

digambarkan dengan kata-kata. Tarikan nyawa oleh malaikat Izrail

melemahkan seluruh anggota tubuh, sehingga boleh jadi tidak ada suara dan

teriakan dari calon mayit karena rasa sakit yang terlalu dalam. Kedukaan demi

kedukaan dialami oleh orang yang tengah sakaratul maut hingga akhirnya

136
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 2, Kitâb al-janâ’iz Bâb Qaul al-Nabî Yu’adzdzabu
al-Mayyit bi Ba’d Bukâ Ahlih ‘Alaih, h. 80, Juz 7, Kitâb al-Aimân wa al-Nudzûr Bâb Qaul Allâh
Ta’âlâ wa Aqsamû bi al-Lâh Jahd Aimânihim, h. 223-224, Juz 8, Kitâb al-Tauhîd Bâb Qaul al-Lâh
Tabâraka wa ta’âlâ Qul Ud’u Allâh, h. 165, Juz 8, Kitâb al-Tauhîd Bâb Mâ Jâ’a fî Qaul Allâh
Ta’âlâ Inna Rahmah Allâh Qarîb min al-Muhsinîn, 186; Muslim, Sahîh Muslim., Juz 1, Kitâb al-
Janâ’iz Bâb al-Bukâ ‘alâ al-Mayyit, h. 367; Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 3, Kitâb al-Janâ’iz
Bâb fî al-Bukâ ‘alâ al-Mayyit, no. Hadis 3125, h. 193; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 1, Kitâb
al-janâ’iz Bâb Mâ Jâ’a fî al-Bukâ ‘alâ al-Mayyit, no. Hadis 1580, h. 506

114
nyawa sampai ke tenggorokan.

Pada saat itu pandangannya terputus dari dunia dan penghuninya, dan

ditutup pula pintu taubat. Ketika itu, hanya penyesalan yang mengitari para

pelaku dosa dan maksiat. Mengenai hal ini, Mujahid mengatakan bahwa yang

dimaksud firman Allah dalam surat al-Nisâ: 18

‫ﺣ َﺪ ُه ُﻢ‬َ ‫ﻀ َﺮ َا‬ َ ‫ﺣ‬ َ ‫ﺣ ًﱠﺘﻰ ِا َذا‬ َ ‫ت‬ ِ ‫ﺴ ﱢﻴ َﺌﺎ‬ ‫ن اﻟ ﱠ‬ َ ‫ﻦ َﻳ ْﻌ َﻤُﻠ ْﻮ‬


َ ‫ﺖ اﻟ ﱠﺘ ْﻮ َﺑ ُﺔ ِﻟﱠﻠ ِﺬ ْﻳ‬ ِ ‫ﺴ‬ َ ‫َوَﻟ ْﻴ‬
‫ﻋ َﺘ ْﺪ َﻧﺎ‬
ْ ‫ﻚ َا‬
َ ‫ن َو ُه ْﻢ ُآ ﱠﻔﺎ ٌر ُاوَﻟ ِﺌ‬َ ‫ﻦ َﻳ ُﻤ ْﻮ ُﺗ ْﻮ‬
َ ‫ﻻاﱠﻟ ِﺬ ْﻳ‬
َ ‫ن َو‬ َ ‫ﺖ اﻵ‬ ُ ‫ﻲ ُﺗ ْﺒ‬ ْ ‫ل ِا ﱢﻧ‬ َ ‫ت َﻗﺎ‬ ُ ‫ا ْﻟ َﻤ ْﻮ‬
‫ﻤﺎ‬ ً ‫ﻋ َﺬا ًﺑﺎ َاِﻟ ْﻴ‬
َ ‫َﻟ ُﻬ ْﻢ‬
Dan tidaklah tobat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan
kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara
mereka, (barulah) ia mengatakan: "Sesungguhnya saya bertobat sekarang"
Dan tidak (pula diterima tobat) orang-orang yang mati sedang mereka di
dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang
pedih.(QS.al-Nisâ/4:18)
Adalah “Apabila orang tersebut telah melihat malaikat maut”

Rasulullah saw.sendiri menegaskan:

‫ﻞ َﺗ ْﻮ َﺑ َﺔ ا ْﻟ َﻌ ْﺒ ِﺪ ﻣَﺎ َﻟ ْﻢ‬
ُ ‫ﷲ َﻳ ْﻘ َﺒ‬
َ ‫نا‬ َ ‫ ﻗَﺎ‬ρ ‫ﻲ‬
‫ل ِإ ﱠ‬ ‫ﻦ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ‬
ْ‫ﻋ‬َ ‫ﻋ َﻤ َﺮ‬
ُ ‫ﻦ‬ِ ‫ﻦ ا ْﺑ‬
ْ‫ﻋ‬ َ
137
‫ﻏ ْﺮ‬
ِ ‫ُﻳ َﻐ ْﺮ‬
“Dari Ibn ‘Umar r.a. dari Nabi saw., beliau bersabda: ‘Sesungguhnya
Allah menerima taubat seorang hamba selama (ruh) belum sampai di
tenggorokan.” (H.R. al-Tirmidzî)

c) Tangisan Rasulullah saw. Menyaksikan Kematian Putrinya

Sebagaimana Rasulullah saw. menangis ketika anaknya, Ibrâhîm,

dipanggil ke rahmatullah, beliau juga meneteskan air mata ketika anaknya

yang lain meninggal dunia.

‫ ﺻَﻐِﻴﺮَ ٌة‬ρ ‫ﷲ‬


ِ ‫لا‬
ِ ‫ﺖ ِﻟ َﺮﺳُﻮ‬
ٌ ‫ت ﺑِ ْﻨ‬
ْ ‫ﻀ َﺮ‬
ِ ‫ﺣ‬
ُ ‫ل ﻟَﻤﱠﺎ‬
َ ‫س ﻗَﺎ‬
ٍ ‫ﻋﺒﱠﺎ‬
َ ‫ﻦ‬
ِ ‫ﻦ ا ْﺑ‬
ْ‫ﻋ‬
َ
137
al-Tirmiżī, Sunan al-Tirmidzî, Juz 5, Abwâb al-Da’awât, no. Hadis 3603, h. 207; Ibn
Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Zuhd Bâb Dzikr al-Taubah, no. Hadis 4253, h. 1420;
Nilai Hadis ini hasan garib.

115
‫ﻋَﻠ ْﻴﻬَﺎ‬
َ ‫ﺿ َﻊ َﻳ َﺪ ُﻩ‬ َ ‫ﺻ ْﺪ ِر ِﻩ ُﺛﻢﱠ َو‬ َ ‫ ﻓَﻀَ ﱠﻤﻬَﺎ ِإﻟَﻰ‬ρ ‫ﷲ‬ ِ ‫لا‬ ُ ‫ﺧ َﺬهَﺎ َرﺳُﻮ‬َ ‫َﻓَﺄ‬
‫ل َﻟﻬَﺎ‬ َ ‫ﻦ َﻓﻘَﺎ‬ ْ ‫ َﻓ َﺒ َﻜ‬ρ ‫ﷲ‬
َ ‫ﺖ ُأمﱡ َأ ْﻳ َﻤ‬ ِ ‫لا‬ ِ ‫ي َرﺳُﻮ‬ ْ ‫ﻦ َﻳ َﺪ‬ َ ‫ﻲ َﺑ ْﻴ‬َ ‫ﺖ َو ِه‬ْ ‫ﻀ‬َ ‫َﻓ َﻘ‬
‫ﺖ‬
ْ ‫ك َﻓﻘَﺎَﻟ‬ ِ ρ‫ﷲ‬
ِ ‫ﻋ ْﻨ َﺪ‬ ِ ‫لا‬ ُ ‫ﻦ َو َرﺳُﻮ‬ َ ‫ ﻳَﺎ ُأمﱠ َأ ْﻳ َﻤ‬ρ ‫ﷲ‬
َ ‫ﻦ َأ َﺗ ْﺒﻜِﻴ‬ ِ ‫لا‬ ُ ‫َرﺳُﻮ‬
‫ ِإﻧﱢﻲ‬ρ ‫ﷲ‬ ِ ‫لا‬ ُ ‫ل َرﺳُﻮ‬ َ ‫ َﻳ ْﺒﻜِﻲ َﻓﻘَﺎ‬ρ ‫ﷲ‬ ِ ‫لا‬ ُ ‫ﻻ َأ ْﺑﻜِﻲ َو َرﺳُﻮ‬ َ ‫ﻣَﺎ ﻟِﻲ‬
‫ﺨ ْﻴ ٍﺮ‬
َ ‫ﻦ ِﺑ‬ ُ ‫ ا ْﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣ‬ρ ‫ﷲ‬ ُ ‫لا‬ ُ ‫ل َرﺳُﻮ‬ َ ‫ﺣ َﻤ ٌﺔ ُﺛﻢﱠ ﻗَﺎ‬ ْ ‫ﺖ َأ ْﺑﻜِﻲ َوَﻟ ِﻜ ﱠﻨﻬَﺎ َر‬ ُ ‫ﺴ‬ْ ‫َﻟ‬
‫ﻋ ﱠﺰ‬ َ َ‫ﺤ َﻤ ُﺪ اﻟﱠﻠﻪ‬ ْ ‫ﺟ ْﻨ َﺒ ْﻴ ِﻪ َو ُه َﻮ َﻳ‬
َ ‫ﻦ‬
ِ ‫ﻦ َﺑ ْﻴ‬
ْ ‫ﺴ ُﻪ ِﻣ‬ ُ ‫ع َﻧ ْﻔ‬ ُ ‫ل ُﺗ ْﻨ َﺰ‬
ٍ ‫ﻋَﻠَﻰ ُآﻞﱢ ﺣَﺎ‬
138
.‫ﻞ‬‫ﺟﱠ‬َ ‫َو‬
Dari Ibnu Abbas ra dia berkata: Ketika puteri Rasulullah saw. akan
mendekati ajal kematian, beliau mengambil puterinya lalu menggendongnya,
merangkul ke dadanya dan selanjutnya meletakkan tangan beliau ke tubuh
puterinya. Kemudian puterinya itupun meninggal di hadapan beliau. Maka,
Ummu Aiman menangis (dengan keras) sehingga Rasulullah saw. bersabda:
“Apakah engkau menangis di dekat Rasulullah?” Ummu Aiman balik
bertanya: “mengapa aku tidak menangis, sedangkan engkaupun pernah
menangis?” Beliau menjawab: “Sesungguhnya aku tidak menangis.
Sesungguhnya (tangisan saya) merupakan rahmat.” Beliaupun melanjutkan
dengan sabdanya: “Sesungguhnya seorang mukmin selalu berada dalam
kebaikan dalam setiap keadaan. Sesungguhnya nyawanya dicabut dari dua
sisinya sedang dia dalam keadaan memuji Allah.”
Demikianlah seharusnya yang ditunjukkan seorang mukmin. Apapun

yang menimpa seorang mukmin, ia akan selalu menyikapinya dengan positif.

Jika kebaikan, ia akan syukuri. Dan jika ketidakbaikan, ia akan sabar.

Adapun tetesan air mata Rasulullah saw. bukanlah wujud ketidakrelaan

beliau terhadap kematian putrinya, tetapi sebagai tanda cinta dan kasih

sayangnya kepada orang yang menghadap Ilahi.

d) Tangisan Rasulullah saw. Saat Kematian ‘Utsmân bin Maz’ûn

Salah seorang sahabat yang dicintai oleh Rasulullah saw. dan lebih

dulu memasuki taman Islam adalah ‘Utsmân bin Maz’ûn (w.2 H.), seorang

ahli ibadah lagi bertakwa, seorang mukhlis lagi bersih, pemberani yang tak

138
al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb al-Janâ’iz Bâb fî al-Bukâ ‘alâ al-Mayyit, no. Hadis
1840, (Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), Cet.I., h 314-315

116
pernah gentar, dan seorang pemimpin yang tangguh.

Untuk orang seperti inilah beliau meneteskan air mata ketika Allah

memanggil ke pangkuan-Nya.

‫ﺖ َو ُه َﻮ‬
ٌ ‫ن َو ُه َﻮ ﻣَ ﱢﻴ‬
ٍ ‫ﻈ ُﻌ ْﻮ‬
ْ ‫ﻦ َﻣ‬
َ ‫ن ْﺑ‬
َ ‫ﻋ ْﺜﻤَﺎ‬
ُ ‫ﻞ‬َ ‫ َﻗ ﱠﺒ‬ρ ‫ﻲ‬ ‫ن اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱠ‬ ‫ﺸ َﺔ َأ ﱠ‬
َ ‫ﻦ ﻋَﺎ ِﺋ‬ْ‫ﻋ‬ َ
139
‫ن‬
َ ‫ﻋ ْﻴﻨَﺎ ُﻩ َﺗ ْﺬ ِرﻓَﺎ‬
َ ‫ل‬ َ ‫ﻲ َأ ْو ﻗَﺎ‬ْ ‫َﻳ ْﺒ ِﻜ‬
Dari ‘Aisyah (ia berkata): Sesungguhnya Nabi saw. mencium ‘Utsmân bin
Maz’ûn ketika ia telah menjadi mayat sambil menangis. (atau: kedua matanya
meneteskan air mata). (H.R.al- Tirmidzî dan Abû Dâwûd)
Betapa beliau berduka atas kematian ‘Utsmân bin Maz’ûn. Beliau

peluk dan cium sambil meneteskan air mata saat sahabat tercintanya itu

meninggal dunia. Air mata Rasulullah saw. adalah laksana lempengan permata

yang berkilauan di atas pipinya.

Sikap yang ditunjukkan oleh teladan umat ini mengindikasikan

mulianya kedudukan sahabat ‘Utsmân bin Maz’ûn. Beliau adalah sahabat

muhajirin pertama yang meninggal dunia di Madinah, sebagaimana dia adalah

orang pertama yang dimakamkan di Baqi.

Ketika Rasulullah saw. mengutamakan kelompok minoritas yang

beriman yang berada dalam penindasan seraya menyuruh mereka untuk

hijrah ke Habasyah, maka ‘Utsmân bin Maz’ûn adalah pemimpin golongan

pertama dari kalangan orang-orang Muhajirin yang ditemani oleh puteranya,

al-Sâ’ib, yang menghadapkan wajahnya ke negeri yang jauh dari tipu daya

musuh Allah, Abu Jahal, serta kebengisan kaum kafir Quraisy.

e) Tangisan Rasulullah saw. atas Syahidnya Panglima Mu’tah

Allah swt. berfirman dalam surat al-Taubah ayat 111:

139
al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 2, Abwâb al-Janâ’iz Bâb Mâ Jâ’a fî Taqbîl al-
Mayyit, no. Hadis 994, h. 229; Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 3, Kitâb al-Janâ’iz Bâb fî
Taqbîl al-Mayyit, no. Hadis 3163, h. 201

117
,‫ﺠ ﱠﻨ َﺔ‬
َ ‫ن َﻟ ُﻬ ُﻢ ا ْﻟ‬
‫ﺴ ُﻬ ْﻢ َوَأ ْﻣﻮَاَﻟ ُﻬ ْﻢ ِﺑَﺄ ﱠ‬ َ ‫ﻦ َأ ْﻧ ُﻔ‬
َ ‫ﻦ ا ْﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣ ِﻨ ْﻴ‬
َ ‫ﺷ َﺘﺮَى ِﻣ‬ ْ‫ﷲا‬ َ ‫نا‬ ‫ِإ ﱠ‬
‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ ﺣَﻘًّﺎ ﻓِﻰ‬ َ ‫ﻋﺪًا‬ ْ ‫ َو‬.‫ن‬ َ ‫ن َو ُﻳ ْﻘ َﺘُﻠ ْﻮ‬ َ ‫ﷲ َﻓ َﻴ ْﻘ ُﺘُﻠ ْﻮ‬ِ ‫ﻞ ا‬ ِ ‫ﺳ ِﺒ ْﻴ‬
َ ‫ﻲ‬ ْ ‫ن ِﻓ‬ َ ‫ﻳُﻘ ِﺘُﻠ ْﻮ‬
,‫ﷲ‬
ِ ‫ﻦ ا‬ َ ‫ﻦ أَ ْوﻓَﻰ ِﺑ َﻌ ْﻬ ِﺪ ِﻩ ِﻣ‬ ْ ‫ َو َﻣ‬.‫ن‬ ِ ‫ﻞ َواْﻟ ُﻘﺮْا‬ ِ ‫ﺠ ْﻴ‬
ِ ‫ﻻ ْﻧ‬
ِ ‫اﻟ ﱠﺘ ْﻮرَا ِة َو ْا‬
‫ﻈ ْﻴ ُﻢ‬ ِ ‫ﻚ ُه َﻮ ا ْﻟ َﻔ ْﻮ ُز ا ْﻟ َﻌ‬َ ‫ َو َذِﻟ‬,‫ي ﺑَﺎ َﻳ ْﻌ ُﺘ ْﻢ ِﺑ ِﻪ‬ ْ ‫ﺸ ُﺮوْا ِﺑ َﺒ ْﻴ ِﻌ ُﻜ ُﻢ اﱠﻟ ِﺬ‬
ِ ‫ﺳ َﺘ ْﺒ‬
ْ ‫ﻓَﺎ‬
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan
harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di
jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) Janji
yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan al-Qur’an. Dan siapakah
yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah
dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang
besar. (QS. al-Taubah/9:111)
Imam ‘Ali al-Sâbûnî menjelaskan bahwa firman Allah ini merupakan

perumpamaan (tamtsîl) yang paling jelas dan gamblang tentang balasan untuk

orang-orang yang berjihad. Allah akan membalasnya dengan surga atas

pengerahan dan pengorbanan harta dan jiwa mereka di jalan-Nya, dan itu

diungkapkan-Nya dengan term “jual-beli”.140

Di antara para mujahid yang membenarkan janji Allah di atas adalah

tiga orang sahabat Rasulullah, yaitu: Zaid bin Hârits (w.8 H.), Ja’far bin Abî

Tâlib (w. 8 H.), dan Abdullâh bin Rawâhah (w.8 H.). Ketiganya telah menjadi

syuhada dalam perang Mu’tah.

َ ‫ َأ‬ρ ‫ﻲ‬
‫ﺧ َﺬ اﻟﺮﱠا َﻳ َﺔ‬ ‫ل اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ‬
َ ‫ل ﻗَﺎ‬َ ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ‬
َ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﻲا‬ َ‫ﺿ‬ ِ ‫ﻚ َر‬ ٍ ‫ﻦ ﻣَﺎِﻟ‬ِ ‫ﺲ ْﺑ‬ ِ ‫ﻦ َأ َﻧ‬
ْ‫ﻋ‬ َ
‫ﻦ‬
ُ ‫ﷲ ْﺑ‬ ُ ‫ﻋ ْﺒ ُﺪ ا‬
َ ‫ﺧ َﺬهَﺎ‬ َ ‫ﺐ ُﺛﻢﱠ َأ‬َ ‫ﺟ ْﻌ َﻔ ٌﺮ َﻓُﺄﺻِﻴ‬ َ ‫ﺧ َﺬهَﺎ‬ َ ‫ﺐ ُﺛﻢﱠ َأ‬ َ ‫زَ ْﻳ ٌﺪ َﻓُﺄﺻِﻴ‬
‫ﺧ َﺬهَﺎ‬ َ ‫ن ُﺛﻢﱠ َأ‬ِ ‫ َﻟ َﺘ ْﺬ ِرﻓَﺎ‬ρ ‫ﷲ‬ ِ ‫لا‬ ِ ‫ﻲ َرﺳُﻮ‬ ْ ‫ﻋ ْﻴ َﻨ‬
َ ‫ن‬ ‫ﺐ َوِإ ﱠ‬ َ ‫ﺣ َﺔ َﻓُﺄﺻِﻴ‬ َ ‫َروَا‬
141
.‫ﺢ َﻟ ُﻪ‬
َ ‫ﻏ ْﻴ ِﺮ ِإ ْﻣ َﺮ ٍة َﻓ ُﻔ ِﺘ‬
َ ‫ﻦ‬ ْ ‫ﻦ ا ْﻟ َﻮﻟِﻴ ِﺪ ِﻣ‬
ُ ‫ﺧَﺎِﻟ ُﺪ ْﺑ‬
Dari Anas bin Malik r.a. ia berkata: Nabi saw. bersabda: “Panji dipegang
oleh Zaid lalu terbunuh. Kemudian panji diteruskan oleh Ja’far, lalu iapun

140
Ali al-Sâbûnî, Safwah al- Tafâsîr, (Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 1420/1999),
Jilid 1, h. 564
141
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 2, Kitâb al-Janâ’iz Bâb al-Rajul Yan’â ilâ Ahl al-
mayyit bi Nafsih, h. 72; Juz 3, Kitâb al-Jihâd wa al-Siyar, h. 203; Juz 4, Kitâb Fadâ’il Ashâb al-
Nabî saw. Bâb Manâqib Khâlid Ibn Wâlid, h. 218; Juz 5, Kitâb al-Maghâzî Bâb ‘Umrah al-Qadâ
h. 87

118
terbunuh. Selanjutnya dipegang oleh Abdullah bin Rawahah, lalu iapun
terbunuh.” Sesungguhnya kedua mata beliau meneteskan air mata. Kemudian
panji diambil alih oleh Khalid bin Walid hingga kemenanganpun dpaat
diraih.” (H.R. al-Bukhârî)

f) Tangisan Rasulullah saw. atas Syahidnya Hamzah

Allah swt. menguatkan Islam, salah satunya adalah dengan kegigihan

Hamzah (w.3 H.), paman Rasulullah saw. Dengan semangat membara,

Hamzah membela Rasulullah saw. dan para sahabatnya.

Hamzah memang tidak dapat membendung segala kekerasan dan

siksaan kafir Quraisy. Tetapi keislamannya seolah-olah menjadi benteng dan

perisai, di samping menjadi daya tarik bagi kabilah Arab. Terlebih ketika

diikuti pula oleh keislaman ‘Umar bin Khattâb r.a (w.23 H.).

Panji pertama yang dipercayakan oleh Rasulullah saw. kepada umat

Islam, diserahkan kepada Hamzah r.a. (w.3 H.) Dan ketika pasukan Islam

berhadap-hadapan dengan kaum kafir di perang Badar, Hamzah telah

menunjukkan keberanian yang sangat luar biasa.142

Sahabat yang mulia ini syahid dalam perang Uhud di tangan seorang

budak Habsyi yang bernama Wahsyi. Setelah Hamzah wafat dengan lemparan

tombak Wahsyi, Wahsyipun mengambil hatinya dan mempersembahkannya

kepada Hindun bin ‘Utbah (istri Abû Sufyân) sesuai pesan.

Maka Hindun yang Ayahnya telah tewas di tangan kaum muslimin

dalam perang Badar, mengigit dan mengunyah hati Hamzah karena dendam

dan amarah murka.143

Betapa sedih dan pedih Rasulullah saw. menghadapi kenyataan pahit ini,

sehingga tatkala beliau kembali dari perang Uhud dan menyaksikan wanita-wanita

142
Khalid Muh. Khalid, Karakteristik Perihidup Shahabat Rasulullah, (Jakarta: Pustaka
Amani, 1997), Cet.I, h. 200-201
143
Ibid, h. 207

119
Ansar menangisi suami mereka yang terbunuh, beliaupun bertambah sedih.

‫ﻦ‬
َ ‫ﻞ َﻳ ْﺒﻜِﻴ‬
ِ ‫ﺷ َﻬ‬ْ‫ﻷ‬ َ ‫ َﻣ ﱠﺮ ِﺑ ِﻨﺴَﺎ ِء‬ρ ‫ﷲ‬
َ ‫ﻋ ْﺒ ِﺪ ا‬ ِ ‫لا‬ َ ‫ن َرﺳُﻮ‬ ‫ﻋ َﻤ َﺮ َأ ﱠ‬ ُ ‫ﻦ‬ ِ ‫ﻦ ا ْﺑ‬ْ‫ﻋ‬ َ
‫ﻲ َﻟ ُﻪ‬َ ‫ﻻ َﺑﻮَا ِآ‬
َ ‫ﺣ ْﻤ َﺰ َة‬َ ‫ﻦ‬ ‫ َﻟ ِﻜ ﱠ‬ρ ‫ﷲ‬ ِ ‫لا‬ ُ ‫ل َرﺳُﻮ‬ َ ‫ﺣ ٍﺪ َﻓﻘَﺎ‬
ُ ‫َه ْﻠﻜَﺎ ُهﻦﱠ َﻳ ْﻮ َم ُأ‬
َ ‫ َﻓﻘَﺎ‬ρ ‫ﷲ‬
‫ل‬ ِ ‫لا‬ُ ‫ﻆ َرﺳُﻮ‬ َ ‫ﺳ َﺘ ْﻴ َﻘ‬
ْ ‫ﺣ ْﻤ َﺰ َة ﻓَﺎ‬ َ ‫ﻦ‬ َ ‫ﻷ ْﻧﺼَﺎ ِر َﻳ ْﺒﻜِﻴ‬َ ‫َﻓﺠَﺎ َء ِﻧﺴَﺎ ُء ا‬
‫ﻚ َﺑ ْﻌ َﺪ‬
ٍ ‫ﻋﻠَﻰ هَﺎِﻟ‬َ ‫ﻦ‬ َ ‫ﻻ َﻳ ْﺒﻜِﻴ‬َ ‫ﻦ َو‬ َ ‫ﻦ َﺑ ْﻌ ُﺪ ُﻣﺮُو ُهﻦﱠ َﻓ ْﻠ َﻴ ْﻨ َﻘِﻠ ْﺒ‬َ ‫ﻦ ﻣَﺎ ا ْﻧ َﻘَﻠ ْﺒ‬
‫ﺤ ُﻬ ﱠ‬َ ‫َو ْﻳ‬
144
(‫ )رواﻩ اﺑﻦ ﻣﺎﺟﺔ واﻟﻄﺒﺮي‬.‫ا ْﻟ َﻴ ْﻮ ِم‬
3. Tangisan Rasulullah saw. di Depan Makam Ummu Kultsûm

Seperti halnya para nabi dan rasul yang lain, Nabi saw. memiliki istri dan

anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan. Kenyataan ini merupakan indikasi

kesempurnaan dan kelengkapan hidup, bukan aib atau kekurangan. Di dalam al-

Qur’an Allah menegaskan:

….ً‫ﺟ َﻌ ْﻠﻨَﺎ َﻟ ُﻬ ْﻢ أَ ْزوَاﺟًﺎ وَ ُذرﱢﻳﱠﺔ‬


َ ‫ﻚ َو‬
َ ‫ﻦ َﻗ ْﺒِﻠ‬
ْ ‫ﻼ ِﻣ‬
ً ‫ﺳ‬
ُ ‫ﺳ ْﻠﻨَﺎ ُر‬
َ ‫َوَﻟ َﻘ ْﺪ َأ ْر‬
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum kamu
dan kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan…(QS.al-
Ra’d/13:38)
Di antara wanita yang dinikahi oleh beliau adalah Siti Khadîjah (w.619

M.) yang usianya terpaut 15 tahun. Dari perkawinannya dengan Khadijah, beliau

dikaruniai dua orang putera dan empat orang puteri, yaitu: al-Qâsim (wafat

sebelum kenabian), ‘Abdullâh (wafat sebelum kenabian), Zainab (w.7 H.),

Ruqayyah (w.2 H.), Ummu Kultsûm (w.9 H.), dan Fatimah al-Zahrâ (w.11 H.).

Kedua puteranya meninggal dalam usia kanak-kanak.145

Sedang semua puteri beliau, kecuali Fâtimah meninggal ketika beliau

masih hidup. Fâtimah sendiri meninggal dunia 6 bulan setelah beliau wafat.

Rasulullah menyambut kematian anaknya satu demi satu dengan penuh

144
Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 1, Kitâb al-Janâ’iz bâb Mâ jâ’a fî al-Bukâ ‘alâ al-
Mayyit, no. Hadis 1591, h. 507;Abû Ja’far Muhammad bin Jarîr al-Tabarî, Târîkh al-Umam wa al-
Mulûk, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1987), Cet.I, Jilid 3, h. 133
145
HMH. Al-Hamid Al-Husaini, Baitun Nubuwwah, (Bandung:Pustaka Hidayah, 1997),
Cet. III , h. 70-71

120
kesabaran dan ketabahan yang tidak tertandingi. Berikut ini adalah salah satu

sikap beliau memberikan ucapan selamat jalan kepada puterinya, Ummu Kultsûm.

ρ‫ﷲ‬ ِ ‫لا‬ ِ ‫ﺷ ِﻬ ْﺪﻧَﺎ ﺑِ ْﻨﺘًﺎ ِﻟ َﺮﺳُﻮ‬َ ‫ل‬ َ ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ‬


َ ‫ﻲ اﻟﻠﱠ ُﻪ‬َ‫ﺿ‬ ِ ‫ﻚ َر‬ ٍ ‫ﻦ ﻣَﺎِﻟ‬ ِ ‫ﺲ ْﺑ‬ِ ‫ﻦ َأ َﻧ‬ ْ‫ﻋ‬ َ
‫ن‬
ِ ‫ﻋ ْﻴ َﻨ ْﻴ ِﻪ َﺗ ْﺪ َﻣﻌَﺎ‬
َ ‫ﺖ‬
ُ ‫ل َﻓ َﺮَأ ْﻳ‬َ ‫ﺲ ﻋَﻠَﻰ ا ْﻟ َﻘ ْﺒ ِﺮ ﻗَﺎ‬ ٌ ِ‫ ﺟَﺎﻟ‬ρ ‫ﷲ‬ ِ ‫لا‬ ُ ‫ل َو َرﺳُﻮ‬ َ ‫ﻗَﺎ‬
‫ل‬
َ ‫ﺤ َﺔ َأﻧَﺎ ﻗَﺎ‬َ ‫ﻃ ْﻠ‬ َ ‫ل أَﺑُﻮ‬ َ ‫ف اﻟﱠﻠ ْﻴَﻠ َﺔ َﻓﻘَﺎ‬
ْ ‫ﻞ َﻟ ْﻢ ُﻳﻘَﺎ ِر‬ٌ‫ﺟ‬ُ َ‫ﻞ ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ ر‬
ْ ‫ل َه‬ َ ‫ل َﻓﻘَﺎ‬َ ‫ﻗَﺎ‬
146
‫ل ﻓِﻲ َﻗ ْﺒ ِﺮهَﺎ‬َ ‫ل َﻓ َﻨ َﺰ‬
َ ‫ل ﻗَﺎ‬ْ ‫ﻓَﺎ ْﻧ ِﺰ‬
Dari Anas bin Mâlik, dia berkata: “Kami pernah menghadapi pemakaman
salah seorang puteri Rasulullah saw. Dia berkata, sementara Rasul duduk di dekat
kuburan, lalu aku melihat kedua matanya meneteskan air mata, kemudian beliau
bersabda; ‘Apakah ada salah seorang di antara kalian yang tidak berjima tadi
malam? ‘Abu Thalhah menjawab: ‘Aku’ Beliau berkata: ‘Kalau begitu’ turunlah
engkau!’ maka Abu Thalhah pun menuruni kuburan Ummu Kaltsûm.” (H.R. al-
Bukhârî)
Begitulah sikap Rasulullah saw.memberikan ucapan selamat jalan kepada

puteri tercintanya. Beliau duduk sambil melihat kubur dan meneteskan air mata

dengan penuh keridhaan menerima takdir Ilahi. Rasulullah memberi salam

perpisahan dengan penuh khidmat dan tenang yang disertai linangan air mata

kejujuran, di mana seakan-akan beliau berkata kepadanya: “Sampai bertemu lagi

puteriku di pelataran kiamat dan surga yang dijanjikan, insya Allah.”

4. Tangisan Rasulullah saw. saat Berziarah Kubur

Alam kubur atau alam barzakh adalah suatu masa tanpa batas tertentu yang akan

dialami oleh semua manusia tanpa terkecuali. Dan menurut pandangan Ahlus Sunnah

wal Jama’ah bahwa ketika manusia telah meninggal dunia, pasti ia akan ditanya oleh

malaikat Munkar dan Nakir, baik jika mayat itu dikuburkan ataupun tidak.147

Bahagia dan sengsaranya seseorang di alam kubur sangat ditentukan oleh amal

146
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 2, Kitâb al-Janâ’iz Bâb Qaul al-Nabi
saw.Yu’adzdzabu al-Mayyit bi Ba’d Bukâ Ahlih ‘Alaih, h. 80 & Juz 2, Kitâb al-Janâ’iz Bâb Man
Yadkhulu Qabr al-Mar’ah, h. 93
147
Sayid Sabiq, Aqidah Islam, (Bandung: CV Diponegoro, 1999), h. 389-390

121
ketika ia hidup di dunia. Jika amalnya baik, maka ia akan mendapatkan kenikmatan. Dan

jika amalnya buruk, maka ia akan mendapatkan siksa kubur. Itulah sebabnya, Rasulullah

saw. mengajarkan kepada umatnya agar berlindung dari siksa kubur.

Dalam sebuah Hadis dari Abû Hurairah r.a.(w.57 H.) bahwa Nabi saw. bersabda:

‫ﺸ ﱡﻬ ِﺪ‬
َ ‫ﻦ اﻟ ﱠﺘ‬
ْ ‫ﺣ ُﺪ ُآ ْﻢ ِﻣ‬ َ ‫ ِإذَا َﻓ َﺮ‬ρ‫ﷲ‬
َ ‫غ َأ‬ ِ ‫لا‬ ُ ‫ل َرﺳُﻮ‬ َ ‫ل ﻗَﺎ‬
ُ ‫ﻋﻦ َأ َﺑﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة َﻳﻘُﻮ‬
‫ب ا ْﻟ َﻘ ْﺒ ِﺮ‬
ِ ‫ﻋﺬَا‬
َ ‫ﻦ‬ ْ ‫ﺟ َﻬ ﱠﻨ َﻢ َو ِﻣ‬
َ ‫ب‬ِ ‫ﻋﺬَا‬ َ ‫ﻦ‬ ْ ‫ﻦ َأ ْر َﺑ ٍﻊ ِﻣ‬
ْ ‫ﷲ ِﻣ‬ ِ ‫ﺧ ِﺮ َﻓ ْﻠ َﻴ َﺘ َﻌ ﱠﻮ ْذ ﺑِﺎ‬
ِ ‫اﻵ‬
148
‫ل‬
ِ ‫ﺟﺎ‬‫ﺢ اﻟ ﱠﺪ ﱠ‬ِ ‫ﺷ ﱢﺮ ا ْﻟ َﻤﺴِﻴ‬َ ‫ﻦ‬ْ ‫ت َو ِﻣ‬ ِ ‫ﺤﻴَﺎ وَا ْﻟ َﻤﻤَﺎ‬
ْ ‫ﻦ ِﻓ ْﺘ َﻨ ِﺔ ا ْﻟ َﻤ‬
ْ ‫َو ِﻣ‬
Dari Abû Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah saw. Bersabda: “Jika salah
seorang di antara kalian selesai dari tasyahud akhir, maka hendaklah ia
memohon perlindungan kepada Allah dari empat hal, yaitu: dari azab neraka,
dari azab kubur, dari fitnah kehidupan dan kematian, serta dari fitnah al-Masîh
al-Dajjâl.” (H.R. Muslim)
Membicarakan alam kubur identik dengan membicarakan kematian.

Sedangkan membicarakan dan mengingat kematian sangat dianjurkan oleh

Rasulullah saw. Dalam sebuah Hadis disebutkan:

‫ َأ ْآِﺜﺮُوا ِذ ْآ َﺮ هَﺎ ِذ ِم اﻟﱠﻠﺬﱠاتِ َﻳ ْﻌﻨِﻲ‬ρ ‫ﷲ‬


ِ ‫لا‬
ُ ‫ل َرﺳُﻮ‬
َ ‫ل ﻗَﺎ‬
َ ‫ﻦ أَﺑِﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة ﻗَﺎ‬ْ‫ﻋ‬ َ
149
‫ت‬
َ ‫اْﻟ َﻤ ْﻮ‬
Dari Abû Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda:
“Perbanyaklah untuk mengingat pemutus kenikmatan” yaitu kematian. (H.R.
al-Tirmidzî, al-Nasâ’î, Ibn Mâjah, dan Ahmad)
Hal yang perlu diketahui adalah bahwa azab kubur adalah azab alam

barzakh sebagaimana firman Allah yang berbunyi:

‫ن‬
َ ‫خ إِﻟَﻰ َﻳ ْﻮ ِم ُﻳ ْﺒ َﻌ ُﺜ ْﻮ‬
ٌ ‫ﻦ َورَا ِﺋ ِﻬ ْﻢ َﺑ ْﺮ َز‬
ْ ‫َو ِﻣ‬
148
Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Masâjid wa Mawâdi’ al-Salâh Bâb Mâ
Yusta’âdzu minh fî al-Salâh, h. 237
149
al-Tirmidzî Sunan al-Tirmidzî, Juz 3, Abwâb al-Zuhd Bâb Mâ Jâ’a fî Dzikr al-Maut,
no. Hadis 2409, h. 378-379; al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb al-Janâ’iz Bâb Katsrah dzikr al-
Maut, no. Hadis 1821, h. 311-312; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Zuhd Bâb Dzikr
al-Maut wa al-Isti’âdzah, no. Hadis 4258, h. 1422; Ahmad, al-Musnad, Juz 2, h. 293; al-Nawawî,
Riyâd al- Sâlihîn, (Kairo: Matba’ah al-Istiqâmah, 1357/1939), h. 258-259; Sa’id Hawwa,
Mensucikan Jiwa, (Jakarta: Robbani Press, 2003), Cet. III, h.123; Nilai Hadis ini hasan sahih
garib.

122
“Dan di belakang mereka terdapat alam barzakh sampai waktu mereka
dibangkitkan.” (QS. al-Mu’minûn/23:100)
Kenyataan adanya azab kubur ini disadari betul oleh Rasulullah saw. sehingga

beliau menjadi orang yang paling takut dan bertakwa di antara manusia. Beliau diliputi

rasa takut yang sebenar-benarnya saat menyaksikan orang menggali kubur. Beliaupun

segera mendatangi mereka dan melihat kuburan serta menangis karena takut pada

berbagai peristiwa menyeramkan selama masa yang menakutkan itu.

Tentang hal ini, disebutkan dalam Hadis berikut ini:

‫ﺷﻔِﻴ ِﺮ‬
َ ‫ﻋﻠَﻰ‬َ ‫ﺲ‬ َ ‫ﺠَﻠ‬ َ ‫ﺟﻨَﺎ َز ٍة َﻓ‬ِ ‫ ﻓِﻲ‬ρ ‫ﷲ‬ ِ ‫لا‬ ِ ‫ل ُآﻨﱠﺎ َﻣ َﻊ َرﺳُﻮ‬ َ ‫ﻦ ا ْﻟ َﺒﺮَا ِء ﻗَﺎ‬
ْ‫ﻋ‬َ
‫ﻋﺪﱡوا‬
ِ ‫ﻞ َهﺬَا َﻓَﺄ‬ ِ ‫ﺧﻮَاﻧِﻲ ِﻟ ِﻤ ْﺜ‬
ْ ‫ل ﻳَﺎ ِإ‬
َ ‫ﻞ اﻟ ﱠﺜﺮَى ُﺛﻢﱠ ﻗَﺎ‬
‫ا ْﻟ َﻘ ْﺒ ِﺮ َﻓ َﺒﻜَﻰ ﺣَﺘﱠﻰ َﺑ ﱠ‬
Dari al-Barâ dia berkata: Ketika kami bersama Rasulullah saw. berada di
hadapan jenazah, lalu beliau duduk di sisi kuburan. Beliaupun menangis hingga air
matanya membasahi tanah. Selanjutnya beliau bersabda: “Wahai saudara-saudaraku,
untuk hari seperti ini, hendaklah kalian menyiapkan diri!” (H.R. Ibn Mâjah)150
Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa beliaupun menangis ketika
berziarah ke kubur ibunya.
‫ﺣ ْﻮَﻟ ُﻪ‬
َ ‫ﻦ‬ْ ‫ َﻗ ْﺒ َﺮ ُأ ﱢﻣ ِﻪ َﻓ َﺒﻜَﻰ وَأَ ْﺑﻜَﻰ َﻣ‬ρ ‫ﻲ‬ ‫ل زَا َر اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ‬َ ‫ﻦ أَﺑِﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة ﻗَﺎ‬ ْ‫ﻋ‬َ
‫ﺳ َﺘ ْﺄ َذ ْﻧ ُﺘ ُﻪ ﻓِﻲ‬
ْ ‫ن ﻟِﻲ وَا‬ ْ ‫ﺳ َﺘ ْﻐ ِﻔ َﺮ ﻟَﻬَﺎ َﻓَﻠ ْﻢ ُﻳ ْﺆ َذ‬
ْ ‫ن َأ‬ْ ‫ﺖ رَﺑﱢﻲ ﻓِﻲ َأ‬ ُ ‫ﺳ َﺘ ْﺄ َذ ْﻧ‬
ْ‫لا‬
َ ‫َﻓﻘَﺎ‬
151
‫ت‬
َ ‫ن ﻟِﻲ َﻓﺰُورُوا ا ْﻟ ُﻘﺒُﻮ َر َﻓِﺈ ﱠﻧﻬَﺎ ُﺗ َﺬآﱢ ُﺮ ا ْﻟ َﻤ ْﻮ‬ َ ‫ن َأزُو َر َﻗ ْﺒ َﺮهَﺎ َﻓُﺄ ِذ‬
ْ ‫َأ‬
Dari Abû Hurairah r.a. ia berkata: “Nabi saw. pernah berziarah ke makam
ibunya lalu menangis dan membuat orang di sekitarnya ikut menangis. Lalu beliau
bersabda: ‘Aku telah meminta izin kepada Tuhanku untuk memohonkan ampunan
baginya tetapi tidak diberikan izin. Dan aku meminta izin kepada-Nya untuk
berziarah ke kuburannya, maka Dia-pun memberikan izin kepadaku. Oleh karena
itu, berziarahlah ke kuburan, karena sesungguhnya ia mengingatkan kepada
kematian.’”(H.R. Muslim, Abû Dâwûd, al-Nasâ’î, dan Ibn Mâjah,)
Sesungguhnya hati itu dapat khusyu dan mata dapat meneteskan airnya

150
Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Zuhd Bâb al-Huzn wa al-Bukâ, no.
Hadis 4195, h. 1403
151
Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Janâ’iz Bâb Isti’dzân al-Nabî saw. Rabbah
‘Azza wa Jalla fî Ziyârah Qabr Ummih, h. 289; Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 3, Kitâb al-
Janâ’iz Bâb fî Ziyârah al-Qûbûr, no. Hadis 3234, h. 218; al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î., Kitâb al-
Janâ’iz Bâb Ziyârah Qabr al-Musyrik, no. Hadis 2031, h. 342; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Majah, Juz
1, Kitâb al-Janâ’iz Bâb Mâ Jâ’a fî Ziyârah Qubûr al-Musyrikîn, no. Hadis 1572, h. 501

123
karena mengetahui berbagai peristiwa menyeramkan pada saat yang menegangkan

itu. Rasulullah sendiri takut dan bersegera merenungkan liang lahad. Air mata

beliau menetes sehingga membasahi pipi, bahkan tanah. Lalu apa yang harus kita

lakukan dengan setumpuk dosa dan kemaksiatan diri kita?

Tidak ada seorangpun yang dapat menjamin, apakah ketika ia masuk ke

dalam kubur ia dapat menjawab pertanyaan atau tidak? Apakah kuburnya menjadi

luas dan menjadi bagian dari taman surga atau justru menyempit dan menjadi

bagian dari liang neraka.

Untuk kondisi itulah beliau meminta kepada umatnya agar mempersiapkan

bekal menghadapi alam yang belum pernah dialami oleh seorangpun. Meski beliau

dijamin masuk surga, namun beliau biasa menangis dan bertaubat dalam sehari

tidak kurang dari seratus kali, sedangkan kita tertawa terbahak-bahak. Beliau biasa

takut akan siksa Allah, sementara kita justru berangan-angan dan merasa aman.

Beliau selalu menyiapkan diri untuk menghadapi kematian yang merupakan

keniscayaan bagi semua manusia, sementara kita selalu bersikap masa bodoh.

Tetesan air mata beliau adalah tetesan air mata spiritual yang dapat

mendekatkan diri kepada Allah. Tetesan air mata seperti inilah yang mampu

menggerakkan pelakunya untuk melakukan introspeksi dan evaluasi diri sehingga

selalu melakukan perbaikan diri dalam kehidupan.

a. Tangisan Rasulullah saw. Saat Menjenguk Sa’ad bin ‘Ubâdah

Rasulullah saw. adalah prototipe manusia yang sangat cinta dan peduli

kepada sesama, terlebih kepada sahabat-sahabatnya. Sebagai “rahmatan lil

‘aalamiin”, kebaikan dan kemurahan beliau acapkali dirasakan dan dinikmati oleh

orang-orang yang ada di sekitarnya. Beliau menyadari betul segala hak dan

124
kewajiban manusia dalam hidup bermasyarakat.

Dalam sebuah hadis shahih yang diriwayatkan Imam al-Bukhârî dan Imam

Muslim, Nabi saw. bersabda:

ُ ‫ َﻳﻘُﻮ‬ρ ‫ﷲ‬
‫ل‬ ِ ‫لا‬ َ ‫ﺖ َرﺳُﻮ‬ ُ ‫ﺳ ِﻤ ْﻌ‬
َ ‫ل‬ َ ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ‬
َ ‫ﷲ‬
ُ ‫ﻲا‬ َ‫ﺿ‬ ِ ‫ﻋﻦ أَﺑﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة َر‬
‫ع‬
ُ ‫ﺾ وَا ﱢﺗﺒَﺎ‬
ِ ‫ﻋﻴَﺎ َد ُة ا ْﻟ َﻤﺮِﻳ‬
ِ ‫ﻼ ِم َو‬
َ‫ﺴ‬ ‫ﺲ َر ﱡد اﻟ ﱠ‬ ٌ ‫ﺴِﻠ ِﻢ ﺧَ ْﻤ‬ْ ‫ﺴِﻠ ِﻢ ﻋَﻠَﻰ ا ْﻟ ُﻤ‬ ْ ‫ﻖ ا ْﻟ ُﻤ‬
‫ﺣﱡ‬ َ
152
‫ﺲ‬
ِ ‫ﻃ‬ ِ ‫ﺖ ا ْﻟﻌَﺎ‬
ُ ‫ﺸﻤِﻴ‬ْ ‫ﻋ َﻮ ِة َو َﺗ‬
ْ ‫ﺠﻨَﺎ ِﺋ ِﺰ وَإِﺟَﺎﺑَ ُﺔ اﻟ ﱠﺪ‬
َ ‫ا ْﻟ‬
Dari Abû Hurairah r.a. sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: “Hak
seorang muslim terhadap muslim yang lain ada lima, yaitu (1) menjawab salam;
(2) menjenguk orang yang sakit; (3) mengantar jenazah; (4) memenuhi undangan;
dan (5) mendoa’akan yang bersin.” (Muttafaq ‘alaih)
Apa yang Rasul katakan dan ajarkan, beliaulah orang pertama yang

merealisasikannya. Hal ini dibuktikan tatkala Sa’ad bin ‘Ubâdah (w.15 H.),

pembawa bendera Ansar, jatuh sakit.

Sa’ad bin ‘Ubâdah (w. 15 H.) adalah pemuka suku Khazraj di kota

Madinah. Ia pernah mendapat siksaan kejam dari kafir Quraisy kota Mekah.

Kekejaman kafir Quraisy tersebut mempertebal semangatnya hingga diputuskan

secara bulat untuk membela Rasulullah saw., para sahabatnya, dan agama Islam

secara mati-matian.

Tentang keagungan beliau, Ibn Abbâs r.a. (w.68 H.) pernah berkata: “Di

setiap peperangannya, Rasulullah saw. mempunyai dua bendera: Bendera

Muhajirin di tangan Ali bin Abi Thalib (w.40 H.) dan bendera Ansar di tangan

Sa’ad bin ‘Ubâdah.”153

Itulah sebabnya, tatakala Sa’ad bin ‘Ubâdah jatuh sakit, Rasulullah saw.

datang menjenguk dan menitikkan air mata karena empati melihat penderitaan

152
al-Bukhârî, Sahih al-Bukhârî, Juz 2, Kitab al-Jana’iz Bâb al-Amr bi Ittibâ’ al-Janâ’iz,
h. 70; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 2, Kitâb al-Salâm Bâb min Haqq al-Muslim li al-Muslim Radd
al-Salâm, h. 266; al-Nawawî, Riyâd al-Sâlihîn, h. 354-355
153
Khalid Muh. Khalid, Karakteristik Perihidup Shahabat Rasulullah, h. 571-574

125
sahabatnya itu.

‫ﺷ ْﻜﻮَى‬ َ ‫ﻋﺒَﺎ َد َة‬ ُ ‫ﻦ‬ ُ ‫ﺳ ْﻌ ُﺪ ْﺑ‬


َ ‫ﺷ َﺘﻜَﻰ‬ ْ‫لا‬ َ ‫ﻋ ْﻨ ُﻬﻤَﺎ ﻗَﺎ‬ َ ‫ﷲ‬ُ ‫ﻲا‬ َ‫ﺿ‬ ِ ‫ﻋ َﻤ َﺮ َر‬ ُ ‫ﻦ‬ ِ ‫ﷲ ْﺑ‬ ِ ‫ﻋ ْﺒ ِﺪ ا‬ َ ‫ﻦ‬ ْ‫ﻋ‬ َ
‫ص‬
ٍ ‫ﻦ َأﺑِﻲ َوﻗﱠﺎ‬ ِ ‫ﺳ ْﻌ ِﺪ ْﺑ‬َ ‫ف َو‬ ٍ ‫ﻋ ْﻮ‬
َ ‫ﻦ‬ ِ ‫ﻦ ْﺑ‬ِ ‫ﺣ َﻤ‬ َ ‫ َﻳﻌُﻮ ُد ُﻩ َﻣ َﻊ‬ρ ‫ﻲ‬
ْ ‫ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟ ﱠﺮ‬ ‫َﻟ ُﻪ ﻓَﺄَﺗَﺎ ُﻩ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ‬
‫ﺷ َﻴ ِﺔ‬
ِ ‫ﺟ َﺪ ُﻩ ﻓِﻲ ﻏَﺎ‬ َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َﻓ َﻮ‬
َ ‫ﻞ‬ َ‫ﺧ‬َ ‫ﻋ ْﻨ ُﻬ ْﻢ َﻓَﻠﻤﱠﺎ َد‬
َ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﻲا‬ َ‫ﺿ‬ ِ ‫ﺴﻌُﻮ ٍد َر‬ ْ ‫ﻦ َﻣ‬ ِ ‫ﷲ ْﺑ‬ ِ ‫ﻋ ْﺒ ِﺪ ا‬ َ ‫َو‬
‫ َﻓَﻠﻤﱠﺎ رَأَى ا ْﻟ َﻘ ْﻮ ُم‬ρ ‫ﻲ‬ ‫ﷲ ﻓَﺒَﻜَﻰ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ‬ِ ‫لا‬ َ ‫ﻻ ﻳَﺎ َرﺳُﻮ‬ َ ‫ل َﻗ ْﺪ ﻗَﻀَﻰ ﻗَﺎﻟُﻮا‬ َ ‫َأ ْهِﻠ ِﻪ َﻓﻘَﺎ‬
‫ﻻ‬
َ ‫ﻦ َو‬ ِ ‫ب ِﺑ َﺪ ْﻣ ِﻊ ا ْﻟ َﻌ ْﻴ‬
ُ ‫ﻻ ُﻳ َﻌﺬﱢ‬ َ ‫ﷲ‬َ ‫نا‬ ‫ن ِإ ﱠ‬َ ‫ﺴ َﻤﻌُﻮ‬ ْ ‫ﻻ َﺗ‬ َ ‫ َﺑ َﻜﻮْا َﻓﻘَﺎ‬ρ ‫ﻲ‬
َ ‫ل َأ‬ ‫ُﺑﻜَﺎ َء اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ‬
‫ﺖ‬
َ ‫ن ا ْﻟ َﻤ ﱢﻴ‬ ‫ﺣ ُﻢ َوِإ ﱠ‬ َ ‫ب ِﺑ َﻬﺬَا َوَأﺷَﺎ َر ِإﻟَﻰ ِﻟﺴَﺎ ِﻧ ِﻪ َأ ْو َﻳ ْﺮ‬ ُ ‫ﻦ ُﻳ َﻌﺬﱢ‬ ْ ‫ﺐ َوَﻟ ِﻜ‬ ِ ‫ن ا ْﻟ َﻘ ْﻠ‬
ِ ‫ﺤ ْﺰ‬ ُ ‫ِﺑ‬
154
‫ب ِﺑ ُﺒﻜَﺎ ِء َأ ْهِﻠ ِﻪ‬ُ ‫ُﻳ َﻌﺬﱠ‬
Dari Abdullâh bin ‘Umar, dia berkata: Sa’ad bin ‘Ubâdah pernah
mengeluhkan suatu hal kepadanya. Lalu Nabi saw. datang menjenguknya
bersama Abdurrahmân bin ‘Auf, Sa’ad bin Abî Waqqâs, dan Abdullâh bin
Mas’ûd. Ketika beliau masuk menemuinya, beliau mendapatkannya telah
dikerumuni oleh keluarganya. Lalu beliau bertanya: “Apakah dia sudah
meninggal?” Mereka menjawab: “Belum, ya Rasulullah!” Maka, Nabipun
menangis. Ketika orang-orang melihat tangisan Nabi saw., merekapun ikut
menangis. Lalu beliaupun bersabda: “Tidakkah kalian mendengar,
sesungguhnya Allah tidak akan mengazab karena tetesan air mata dan tidak
juga karena kesedihan hati. Tetapi dia akan menyiksa karena ini – Beliau
menunjuk ke lidahnya – atau Dia mengasihi. Dan sesungguhnya mayit itu
disiksa dengan sebab tangisan keluarganya kepadanya.” (H.R. al-Bukhârî &
Muslim)
Sikap Rasulullah saw. dengan menjenguk sahabat yang sakit dan menangis

di dekatnya mengindikasikan keeratan hubungannya dengan sahabatnya tersebut.

Kemuliaan posisi beliau sebagai pemimpin tertinggi dan manusia paling mulia

tidak menjadi penghalang untuk menunjukkan kasih sayangnya, meski dengan

turun dan mendatangi orang yang berada di bawah beliau.

b. Tangisan Rasulullah saw. untuk Mush’ab bin ‘Umair

Mush’ab bin ‘Umair adalah seorang remaja Quraisy terkemuka yang

paling ganteng dan tampan, penuh dengan jiwa dan semangat kepemudaan. Ia

lahir dan dibesarkan dalam kesenangan. Mungkin tidak seorangpun di antara

154
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 2, Kitâb al-Janâ’iz Bâb al-Bukâ ‘ind al-Marîd, h.
85; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Janâ’iz Bâb al-Bukâ ‘alâ al-Mayyit, h. 368

126
anak-anak muda Mekah yang beruntung dimanjakan oleh kedua orang tuanya

seperti Mus’ab bin ‘Umair.

Namun, ketika ia memeluk agama Islam, ia rela meninggalkan segala

kemewahan dan fasilitas dari orang tuanya.

Pada suatu hari ia tampil di hadapan beberapa sahabat yang sedang duduk

bersama Rasulullah. Saat melihat Mus’ab, mereka menundukkan kepala dan

memejamkan mata, sementara beberapa orang menitikkan air mata karena duka.

Mereka melihat Mus’ab mengenakan jubah usang yang bertambal, suatu hal yang

sangat berbeda ketika Mus’ab belum memeluk Islam.

Rasulullah sendiri menatapnya dengan pandangan penuh arti, disertai

dengan cinta kasih dan syukur. Beliau bersabda:

‫ﷲ‬
ِ ‫ﻚ ُآﻠﱠ ُﻪ ﺣُﺒًّﺎ‬
َ ‫ك َذِﻟ‬
َ ‫ﻋ ْﻨ َﺪ َأَﺑ َﻮ ْﻳ ِﻪ ُﺛﻢﱠ َﺗ َﺮ‬
ِ ‫ﺼ َﻌﺒًﺎ َهﺬَا َوﻣَﺎ ِﺑ َﻤ ﱠﻜ َﺔ َﻓﺘًﻰ َأ ْﻧ َﻌ ُﻢ‬
ْ ‫ﺖ ُﻣ‬
ُ ‫َﻟ َﻘ ْﺪ َرَأ ْﻳ‬
155
‫ﺳ ْﻮِﻟ ِﻪ‬
ُ ‫َو َر‬
Dahulu saya melihat Mush’ab ini tidak ada yang mengimbanginya dalam
memperoleh kesenangan dari orang tuanya. Kemudian ditinggalkannya semua itu,
demi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya.
Dalam sebuah Hadis diriwayatkan:

‫ﺐ‬
ٍ ‫ﻦ أَﺑِﻲ ﻃَﺎِﻟ‬ َ ‫ﻲ ْﺑ‬ ‫ﻋِﻠ ﱠ‬
َ ‫ﺳ ِﻤ َﻊ‬ َ ‫ﻦ‬ ْ ‫ﻲ ﺣَ ﱠﺪﺛَﻨِﻲ َﻣ‬ ‫ﻇﱢ‬ِ ‫ﺐ ا ْﻟ ُﻘ َﺮ‬ ٍ ‫ﻦ َآ ْﻌ‬ ِ ‫ﺤ ﱠﻤ ِﺪ ْﺑ‬
َ ‫ﻦ ُﻣ‬ْ‫ﻋ‬ َ
‫ﻦ‬
ُ ‫ﺐ ْﺑ‬ ُ ‫ﺼ َﻌ‬
ْ ‫ﻃَﻠ َﻊ ُﻣ‬ َ ‫ﺠ ِﺪ ِإ ْذ‬ ِ‫ﺴ‬ْ ‫ ﻓِﻲ ا ْﻟ َﻤ‬ρ ‫ﷲ‬ ِ ‫لا‬ ِ ‫س َﻣ َﻊ َرﺳُﻮ‬ ٌ ‫ﺠﻠُﻮ‬ ُ َ‫ل ِإﻧﱠﺎ ﻟ‬
ُ ‫َﻳﻘُﻮ‬
ρ‫ﷲ‬ ِ ‫لا‬ ُ ‫ﻻ ُﺑ ْﺮدَ ٌة َﻟ ُﻪ ﻣَ ْﺮﻗُﻮﻋَ ٌﺔ ِﺑ َﻔ ْﺮ ٍو َﻓَﻠﻤﱠﺎ رَﺁ ُﻩ َرﺳُﻮ‬ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ ِإ ﱠ‬
َ ‫ﻋ َﻤ ْﻴ ٍﺮ ﻣَﺎ‬ ُ
‫ل‬
ُ ‫ل َرﺳُﻮ‬ َ ‫ﻦ اﻟ ﱢﻨ ْﻌ َﻤ ِﺔ وَاﱠﻟﺬِي ُه َﻮ ا ْﻟ َﻴ ْﻮ َم ﻓِﻴ ِﻪ ُﺛﻢﱠ ﻗَﺎ‬ ْ ‫ن ﻓِﻴ ِﻪ ِﻣ‬ َ ‫َﺑﻜَﻰ ِﻟﱠﻠﺬِي آَﺎ‬
‫ﻦ‬
َ ‫ﺖ َﺑ ْﻴ‬ْ ‫ﺿ َﻌ‬ ِ ‫ﺣﱠﻠ ٍﺔ َو ُو‬ ُ ‫ح ﻓِﻲ‬ َ ‫ﺣﱠﻠ ٍﺔ َورَا‬ ُ ‫ﺣ ُﺪ ُآ ْﻢ ﻓِﻲ‬ َ ‫ﻏﺪَا َأ‬َ ‫ﻒ ِﺑ ُﻜ ْﻢ إِذَا‬ َ ‫ َآ ْﻴ‬ρ‫ﷲ‬ِ ‫ا‬
‫ﺴ َﺘ ُﺮ ا ْﻟ َﻜ ْﻌ َﺒ ُﺔ ﻗَﺎﻟُﻮا‬
ْ ‫ﺳ َﺘ ْﺮ ُﺗ ْﻢ ُﺑﻴُﻮ َﺗ ُﻜ ْﻢ َآﻤَﺎ ُﺗ‬
َ ‫ﺧﺮَى َو‬ ْ ‫ﺖ ُأ‬ْ ‫ﺤ َﻔ ٌﺔ َو ُر ِﻓ َﻌ‬
ْ‫ﺻ‬ َ ‫َﻳ َﺪ ْﻳ ِﻪ‬
‫غ ِﻟ ْﻠ ِﻌﺒَﺎ َد ِة َو ُﻧ ْﻜﻔَﻰ‬ ُ ‫ﻦ َﻳ ْﻮ َﻣ ِﺌ ٍﺬ ﺧَ ْﻴ ٌﺮ ِﻣﻨﱠﺎ ا ْﻟ َﻴ ْﻮ َم َﻧ َﺘ َﻔ ﱠﺮ‬ُ‫ﺤ‬ْ ‫ﷲ َﻧ‬ ِ ‫ل ا‬ َ ‫ﻳَﺎ َرﺳُﻮ‬

155
Khalid Muh. Khalid, Karakteristik Perihidup Shahabat Rasulullah, h. 44-45

127
156
َ ρ‫ﷲ‬
‫ﻷ ْﻧ ُﺘ ْﻢ ا ْﻟ َﻴ ْﻮ َم ﺧَ ْﻴ ٌﺮ ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ َﻳ ْﻮ َﻣ ِﺌ ٍﺬ‬ ِ ‫لا‬
ُ ‫ل َرﺳُﻮ‬
َ ‫ا ْﻟ ُﻤ ْﺆ َﻧ َﺔ َﻓﻘَﺎ‬
Dari Muhammad bin Ka’ab al-Qurazî (ia berkata): Telah menceritakan
kepada kami orang yang mendengar ‘Alî bin Abî Tâlib berkata: Sesungguhnya
kami sedang duduk-duduk bersama Rasulullah saw. di masjid. Tiba-tiba
muncullah Mus’ab bin ‘Umair. Tidak ada yang dikenakannya kecuali sebuah
selendang (burdah) yang ditambal dengan kulit. Ketika Rasulullah melihatnya,
beliau menangisi (perbedaan) antara kenikmatan yang dahulu ada pada dirinya
dengan sesuatu yang saat ini ada pada dirinya (berupa ujian dan kesulitan hidup).
Kemudian Rasulullah bersabda: “Bagaimana keadaan kalian jika salah seorang di
antara kalian pergi di pagi hari dengan mengenakan pakaian dan pergi di sore hari
dengan mengenakan pakaian yang lain. Juga di hadapannya diletakkan piring
(berisi makanan) dan kemudian diganti lagi dengan makanan yang lain. Juga
kalian hiasi rumah kalian sebagaimana ka’bah dihiasi?157 Para sahabat menjawab:
“Wahai Rasulullah, kami ketika itu, tentu lebih baik. Sebab kami memiliki waktu
luang untuk beribadah dan kebutuhan makanan kami juga tercukupi.” Maka
Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya keadaanmu pada hari ini lebih baik
daripada saat itu.” (H.R. al-Tirmidzî)
Rasul saw. menangis karena sedih sekaligus bangga dengan keteguhan

iman Mush’ab dan keberaniannya meninggalkan segala kemewahan dunia demi

meraih ridha Allah.

Sungguh Mus’ab bin ‘Umair (w.3 H.) dahulunya adalah seorang pemuda

Quraisy yang dimanja. Jika ia memakai pakaian, maka pakaian tersebut adalah

yang paling mahal, paling indah, dan paling mewah. Para ahli sejarahnya

menyebutnya: “Ia bagaikan wewangian penduduk Mekah.” Semua kemanjaan,

kebahagiaan, dan kenikmatan, ada pada dirinya. 158

Namun, tatkala sinar Islam menyusup ke dalam kalbunya, keadaan

berubah total. Kenikmatan dunia rela ia tinggalkan, demi meraih kenikmatan yang

ada pada sisi Allah.

c. Tangisan Rasulullah saw. saat Menegakkan Salat

156
al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 4, Abwâb Sifah al-Qiyâmah Bâb 15, no. Hadis
2594, h. 61; Nilai Hadis ini hasan garib.
157
Ungkapan Rasul ini merupakan isyarat melimpahnya harta yang dimiliki seseorang
sehingga pakaiannya berganti-ganti, makanannya juga demikian, dan rumahnya dihiasi dengan
hiasan indah lagi mahal. Lihat Muh. Abdurrahmân al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwadzî, (Beirût:
Dâr al-Fikr, t.t.), Jilid 7, h. 176
158
Khumais As-Sa’id, Menangislah Sebagaimana Rasulullah saw. dan Para Sahabat
Menangis, h. 168

128
Salat adalah kondisi terdekat antara seorang hamba dengan Sang Khalik.

Dalam salat, seorang hamba memiliki kesempatan untuk berdialog, bermunajat,

serta menyampaikan segala keluhannya kepada Allah swt. itulah sebabnya, salat

bagi Rasulullah, dan juga selayaknya bagi umat Islam, menjadi sesuatu yang

sangat disenangi. Hal ini dapat dilihat dari ketekunan dan kekhusyuan beliau

dalam menegakkan shalat.

Dalam sebuah Hadis disebutkan:

َ ‫ ُﻳ‬ρ ‫ﷲ‬
‫ﺼﻠﱢﻲ‬ ِ ‫لا‬
َ ‫ﺖ َرﺳُﻮ‬
ُ ‫ل َرَأ ْﻳ‬ َ ‫ﻦ أَﺑِﻴﻪِ ﻗَﺎ‬
ْ‫ﻋ‬
َ ‫ف‬ ٍ ‫ﻄ ﱢﺮ‬ َ ‫ﻦ ُﻣ‬ْ‫ﻋ‬ َ ‫ﺖ‬ ٍ ‫ﻦ ﺛَﺎ ِﺑ‬
ْ‫ﻋ‬
َ
159
ρ ‫ﺻ ْﺪ ِر ِﻩ أَزِﻳ ٌﺰ َآَﺄزِﻳ ِﺰ اﻟ ﱠﺮﺣَﻰ ِﻣ ْﻦ ا ْﻟ ُﺒﻜَﺎ ِء‬
َ ‫َوﻓِﻲ‬
Dari Tsâbit dari Mutarrif dari Ayahnya, ia berkata: Saya melihat
Rasulullah saw. sedang salat dan di dalam rongga dadanya terdengar suara seperti
suara orang yang berjalan kaki karena tangisnya. (H.R. Abû Dâwûd)
Dalam riwayat lain disebutkan:

‫ﻏ ْﻴ ُﺮ ا ْﻟ ِﻤ ْﻘﺪَا ِد‬
َ ‫س َﻳ ْﻮ َم َﺑ ْﺪ ٍر‬
ٌ ِ‫ن ﻓِﻴﻨَﺎ ﻓَﺎر‬
َ ‫ل َﻣﺎ آَﺎ‬
َ ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ‬
َ ‫ﷲ‬ُ ‫ﻲا‬ َ‫ﺿ‬ِ ‫ﻲ َر‬ ‫ﻋِﻠ ﱟ‬ َ ‫ﻦ‬ْ‫ﻋ‬ َ
‫ﺼﻠﱢﻲ‬ َ ‫ﺠ َﺮ ٍة ُﻳ‬ َ‫ﺷ‬َ ‫ﺖ‬ َ ‫ﺤ‬ ْ ‫ َﺗ‬ρ ‫ﷲ‬ ِ ‫لا‬ َ ‫ﻻ َرﺳُﻮ‬ ‫ﻻ ﻧَﺎﺋِ ٌﻢ ِإ ﱠ‬
‫َوَﻟ َﻘ ْﺪ َرَأ ْﻳُﺘﻨَﺎ وَﻣَﺎ ﻓِﻴﻨَﺎ ِإ ﱠ‬
160
.‫ﺢ‬ َ ‫ﺻ َﺒ‬
ْ ‫ﺣﺘﱠﻰ َأ‬ َ ‫َو َﻳ ْﺒﻜِﻲ‬
Dari ‘Alî bin Abî Tâlib r.a. dia berkata: “Pada waktu perang Badar, di
antara kami tidak terdapat penunggang kuda kecuali Miqdâd. Dan aku melihat
tidak ada seorangpun di antara kami yang terbangun kecuali Rasulullah saw. yang
tengah berada di bawah pohon sedang mengerjakan shalat dan menangis sampai
pagi hari.” ( H.R. Ahmad)
Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Ibn Khuzaimah dalam kitab

“Sahih”-nya kitab “al-salâh” bab “al-dalîl ‘alâ anna al-bukâ lâ yaqta’ al-salâh”

no.899 dan dia menilainya sahih.. Ibn Hibbân juga meriwayatkan dalam “Kitab al-

Salâh” bab “dzikr ibâhah al-bukâ fî al-salâh” no.2254, dan dia menilainya

159
Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Jilid 1, kitâb al-Salâh Bâb al-Bukâ fi al-Salâh, no
Hadis 904, h. 238; Lihat juga Abdullâh bin al-Mubârak, al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, Bâb Mâ Jâ’a fî
Fadl al-‘Ibâdah, no. Hadis 98, (Kairo: Dâr al-‘Aqîdah, 2004), Cet.I, h. 123
160
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Juz 1, h. 125

129
‫‪sahih.161‬‬

‫‪Hadis di atas menunjukkan bahwa menangis dalam salat tidak‬‬

‫‪membatalkan salat, bahkan dianjurkan karena dicontohkan oleh Rasulullah.‬‬

‫‪Tangisan dalam salat boleh jadi menunjukkan kekhusyuan pelakunya. Namun‬‬

‫‪yang harus ditekankan adalah hendaknya tangisan itu tidak semata-mata terjadi‬‬

‫‪dalam salat, namun harus berimplikasi secara positif dalam kehidupan sehari-‬‬

‫‪hari, baik secara individual maupun sosial.‬‬

‫‪d. Tangisan Rasulullah saw. Saat Perang Badar‬‬

‫ن‬
‫ل َﻟﻤﱠﺎ آَﺎ َ‬ ‫ب ﻗَﺎ َ‬ ‫ﺨﻄﱠﺎ ِ‬ ‫ﻦ ا ْﻟ َ‬ ‫ﻋ َﻤ ُﺮ ْﺑ ُ‬ ‫ل ﺣَ ﱠﺪﺛَﻨِﻲ ُ‬ ‫س ﻗَﺎ َ‬ ‫ﻋﺒﱠﺎ ٍ‬ ‫ﻦ َ‬ ‫ﷲ ْﺑ ِ‬ ‫ﻋ ْﺒ ِﺪ ا ِ‬‫ﻦ َ‬ ‫ﻋْ‬ ‫َ‬
‫ﺻﺤَﺎ ُﺑ ُﻪ‬ ‫ﻒ َوَأ ْ‬ ‫ﻦ َو ُه ْﻢ أَ ْﻟ ٌ‬ ‫ﺸ ِﺮآِﻴ َ‬ ‫ﷲ ‪ ρ‬إِﻟَﻰ ا ْﻟ ُﻤ ْ‬ ‫لا ِ‬ ‫ﻈ َﺮ َرﺳُﻮ ُ‬ ‫َﻳ ْﻮ ُم َﺑ ْﺪ ٍر َﻧ َ‬
‫ﷲ ‪ ρ‬ا ْﻟ ِﻘ ْﺒَﻠ َﺔ ُﺛﻢﱠ َﻣ ﱠﺪ َﻳ َﺪ ْﻳ ِﻪ‬ ‫ﻲا ِ‬ ‫ﻞ َﻧ ِﺒ ﱡ‬ ‫ﺳ َﺘ ْﻘ َﺒ َ‬
‫ﻼ ﻓَﺎ ْ‬‫ﺟ ً‬ ‫ﺸ َﺮ َر ُ‬ ‫ﻋَ‬ ‫ﺴ َﻌ َﺔ َ‬ ‫ث ﻣِﺎ َﺋ ٍﺔ َو ِﺗ ْ‬ ‫ﻼ ُ‬ ‫َﺛ َ‬
‫ﻋ ْﺪ َﺗﻨِﻲ‬ ‫ت ﻣَﺎ َو َ‬ ‫ﺠ ْﺰ ﻟِﻲ ﻣَﺎ وَﻋَ ْﺪﺗَﻨِﻲ اﻟﻠﱠ ُﻬﻢﱠ ﺁ ِ‬ ‫ﻒ ِﺑ َﺮ ﱢﺑ ِﻪ اﻟﻠﱠ ُﻬﻢﱠ َأ ْﻧ ِ‬ ‫ﻞ َﻳ ْﻬ ِﺘ ُ‬ ‫ﺠ َﻌ َ‬ ‫َﻓ َ‬
‫ض‬
‫ﻷ ْر ِ‬ ‫ﻻ ُﺗ ْﻌ َﺒ ْﺪ ﻓِﻲ ا َ‬ ‫ﻼ ِم َ‬ ‫ﺳَ‬ ‫ﻞ ا ْﻟِﺈ ْ‬‫ﻦ َأ ْه ِ‬ ‫ﻚ َه ِﺬ ِﻩ ا ْﻟ ِﻌﺼَﺎ َﺑ َﺔ ِﻣ ْ‬ ‫ن ُﺗ ْﻬِﻠ ْ‬ ‫اﻟﻠﱠ ُﻬﻢﱠ ِإ ْ‬
‫ﻦ‬‫ﻋْ‬ ‫ﻂ ِردَا ُؤ ُﻩ َ‬ ‫ﺳ َﻘ َ‬ ‫ﻞ ا ْﻟ ِﻘ ْﺒَﻠ ِﺔ ﺣَﺘﱠﻰ َ‬ ‫ﺴ َﺘ ْﻘ ِﺒ َ‬
‫ﻒ ِﺑ َﺮ ﱢﺑ ِﻪ ﻣَﺎدًّا َﻳ َﺪ ْﻳ ِﻪ ُﻣ ْ‬ ‫ل َﻳ ْﻬ ِﺘ ُ‬ ‫ﻓَﻤَﺎ زَا َ‬
‫ﻦ‬‫ﺧ َﺬ ِردَا َء ُﻩ َﻓَﺄ ْﻟﻘَﺎ ُﻩ ﻋَﻠَﻰ َﻣ ْﻨ ِﻜ َﺒ ْﻴ ِﻪ ُﺛﻢﱠ ا ْﻟ َﺘ َﺰ َﻣ ُﻪ ِﻣ ْ‬ ‫َﻣ ْﻨ ِﻜ َﺒ ْﻴ ِﻪ َﻓَﺄﺗَﺎ ُﻩ أَﺑُﻮ َﺑ ْﻜ ٍﺮ َﻓَﺄ َ‬
‫ﻚ ﻣَﺎ‬ ‫ﺠ ُﺰ َﻟ َ‬ ‫ﺳ ُﻴ ْﻨ ِ‬
‫ﻚ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ َ‬ ‫ﻚ َر ﱠﺑ َ‬ ‫ﺷ َﺪ ُﺗ َ‬‫ك ُﻣﻨَﺎ َ‬ ‫ﷲ َآﻔَﺎ َ‬ ‫ﻲا ِ‬ ‫ل ﻳَﺎ َﻧ ِﺒ ﱠ‬ ‫َورَا ِﺋ ِﻪ َوﻗَﺎ َ‬
‫ب َﻟ ُﻜ ْﻢ أَﻧﱢﻲ‬ ‫ﺳ َﺘﺠَﺎ َ‬ ‫ن َر ﱠﺑ ُﻜ ْﻢ ﻓَﺎ ْ‬ ‫ﺴ َﺘﻐِﻴﺜُﻮ َ‬ ‫ﻞ ِإ ْذ َﺗ ْ‬ ‫ﺟﱠ‬ ‫ﻋ ﱠﺰ َو َ‬ ‫ﷲ َ‬ ‫لا ُ‬ ‫ك َﻓَﺄ ْﻧ َﺰ َ‬‫ﻋ َﺪ َ‬ ‫َو َ‬
‫ل أَﺑُﻮ‬ ‫ﻼ ِﺋ َﻜ ِﺔ ﻗَﺎ َ‬ ‫ﷲ ﺑِﺎ ْﻟ َﻤ َ‬ ‫ﻦ َﻓَﺄ َﻣ ﱠﺪ ُﻩ ا ُ‬ ‫ﻼ ِﺋ َﻜ ِﺔ ُﻣ ْﺮ ِدﻓِﻴ َ‬ ‫ﻦ ا ْﻟ َﻤ َ‬ ‫ﻒ ِﻣ ْ‬ ‫ُﻣ ِﻤﺪﱡ ُآ ْﻢ ِﺑَﺄ ْﻟ ٍ‬
‫ﺸ َﺘ ﱡﺪ‬ ‫ﻦ َﻳ ْﻮ َﻣ ِﺌ ٍﺬ َﻳ ْ‬ ‫ﺴِﻠﻤِﻴ َ‬ ‫ﻦ ا ْﻟ ُﻤ ْ‬ ‫ﻞ ِﻣ ْ‬‫ﺟٌ‬ ‫ل َﺑ ْﻴ َﻨﻤَﺎ رَ ُ‬ ‫س ﻗَﺎ َ‬ ‫ﻋﺒﱠﺎ ٍ‬ ‫ﻦ َ‬ ‫ﺤ ﱠﺪ َﺛﻨِﻲ ا ْﺑ ُ‬ ‫ﻞ َﻓ َ‬‫ُز َﻣ ْﻴ ٍ‬
‫ط َﻓ ْﻮ َﻗ ُﻪ‬ ‫ﺴ ْﻮ ِ‬ ‫ﺿ ْﺮ َﺑ ًﺔ ﺑِﺎﻟ ﱠ‬ ‫ﺳ ِﻤ َﻊ َ‬ ‫ﻦ َأﻣَﺎ َﻣ ُﻪ ِإ ْذ َ‬ ‫ﺸ ِﺮآِﻴ َ‬ ‫ﻦ ا ْﻟ ُﻤ ْ‬‫ﻞ ِﻣ ْ‬ ‫ﺟٍ‬ ‫ﻓِﻲ َأ َﺛ ِﺮ َر ُ‬
‫ﺨ ﱠﺮ‬ ‫ك َأﻣَﺎ َﻣ ُﻪ َﻓ َ‬ ‫ﺸ ِﺮ ِ‬ ‫ﻈ َﺮ إِﻟَﻰ ا ْﻟ ُﻤ ْ‬ ‫ﺣ ْﻴﺰُو ُم َﻓ َﻨ َ‬ ‫ل َأ ْﻗ ِﺪ ْم َ‬ ‫س َﻳﻘُﻮ ُ‬ ‫ت ا ْﻟﻔَﺎ ِر ِ‬ ‫ﺻ ْﻮ َ‬ ‫َو َ‬
‫ﻀ ْﺮ َﺑ ِﺔ‬‫ﺟ ُﻬ ُﻪ َآ َ‬ ‫ﺷﻖﱠ َو ْ‬ ‫ﻄ َﻢ َأ ْﻧ ُﻔ ُﻪ َو ُ‬ ‫ﺧِ‬ ‫ﻈ َﺮ ِإَﻟ ْﻴ ِﻪ َﻓِﺈذَا ُه َﻮ َﻗ ْﺪ ُ‬ ‫ﺴ َﺘ ْﻠ ِﻘﻴًﺎ َﻓ َﻨ َ‬
‫ُﻣ ْ‬
‫ل‬
‫ﻚ َرﺳُﻮ َ‬ ‫ث ِﺑ َﺬِﻟ َ‬ ‫ﺤ ﱠﺪ َ‬ ‫ي َﻓ َ‬ ‫ﻷ ْﻧﺼَﺎ ِر ﱡ‬ ‫ﺟ َﻤ ُﻊ َﻓﺠَﺎ َء ا َ‬ ‫ﻚ َأ ْ‬ ‫ﻀ ﱠﺮ َذِﻟ َ‬ ‫ﺧ َ‬ ‫ط ﻓَﺎ ْ‬ ‫ﺴ ْﻮ ِ‬ ‫اﻟ ﱠ‬
‫ﺴﻤَﺎ ِء اﻟﺜﱠﺎِﻟ َﺜ ِﺔ َﻓ َﻘ َﺘﻠُﻮا َﻳ ْﻮ َﻣ ِﺌ ٍﺬ ﺳَ ْﺒﻌِﻴﻦَ‬ ‫ﻦ َﻣ َﺪ ِد اﻟ ﱠ‬ ‫ﻚ ِﻣ ْ‬ ‫ﺖ َذِﻟ َ‬ ‫ﺻ َﺪ ْﻗ َ‬‫ل َ‬ ‫ﷲ ‪َ ρ‬ﻓﻘَﺎ َ‬ ‫ا ِ‬
‫ﻷﺳَﺎرَى‬ ‫ﺳﺮُوا ا ُ‬ ‫س َﻓَﻠﻤﱠﺎ َأ َ‬ ‫ﻋﺒﱠﺎ ٍ‬ ‫ﻦ َ‬ ‫ل ا ْﺑ ُ‬ ‫ﻞ ﻗَﺎ َ‬‫ل َأﺑُﻮ ُز َﻣ ْﻴ ٍ‬ ‫ﺳﺮُوا ﺳَ ْﺒﻌِﻴﻦَ ﻗَﺎ َ‬ ‫َوَأ َ‬
‫ﻷﺳَﺎرَى‬ ‫ﻻ ِء ا ُ‬ ‫ن ﻓِﻲ َه ُﺆ َ‬ ‫ﻋ َﻤ َﺮ ﻣَﺎ َﺗ َﺮ ْو َ‬ ‫ﻷﺑِﻲ َﺑ ْﻜ ٍﺮ َو ُ‬ ‫ﷲ‪َ ρ‬‬ ‫لا ِ‬ ‫ل َرﺳُﻮ ُ‬ ‫ﻗَﺎ َ‬
‫ﺧ َﺬ ِﻣ ْﻨ ُﻬ ْﻢ‬‫ن َﺗ ْﺄ ُ‬‫ﺸﻴ َﺮ ِة أَرَى َأ ْ‬ ‫ﷲ ُه ْﻢ َﺑﻨُﻮ ا ْﻟ َﻌ ﱢﻢ وَا ْﻟ َﻌ ِ‬ ‫ﻲا ِ‬ ‫ل َأﺑُﻮ َﺑ ْﻜ ٍﺮ ﻳَﺎ َﻧ ِﺒ ﱠ‬ ‫َﻓﻘَﺎ َ‬
‫‪161‬‬
‫‪Khumais As-Sa’id, Menangislah Sebagaimana Rasulullah saw. dan Para Sahabat‬‬
‫‪Menangis, h. .92‬‬

‫‪130‬‬
‫ل‬
َ ‫ﻼ ِم َﻓﻘَﺎ‬ َ‫ﺳ‬ ْ ‫ن َﻳ ْﻬ ِﺪ َﻳ ُﻬ ْﻢ ﻟِﻺ‬ ْ ‫ﷲ َأ‬ ُ ‫ن َﻟﻨَﺎ ُﻗ ﱠﻮ ًة ﻋَﻠَﻰ ا ْﻟ ُﻜﻔﱠﺎ ِر ﻓَﻌَﺴَﻰ ا‬ ُ ‫ِﻓ ْﺪ َﻳ ًﺔ َﻓ َﺘﻜُﻮ‬
‫ﷲ‬
ِ ‫لا‬ َ ‫ﷲ ﻳَﺎ َرﺳُﻮ‬ ِ ‫ﻻ وَا‬ َ ‫ﺖ‬ ُ ‫ب ُﻗ ْﻠ‬ ِ ‫ﺨﻄﱠﺎ‬ َ ‫ﻦ ا ْﻟ‬َ ‫ ﻣَﺎ ﺗَﺮَى ﻳَﺎ ا ْﺑ‬ρ ‫ﷲ‬ ِ ‫لا‬ ُ ‫َرﺳُﻮ‬
‫ﻋﻨَﺎ َﻗ ُﻬ ْﻢ‬
ْ ‫ب َأ‬َ ‫ﻀ ِﺮ‬ ْ ‫ن ُﺗ َﻤ ﱢﻜﻨﱠﺎ َﻓ َﻨ‬ ْ ‫ﻣَﺎ أَرَى اﱠﻟﺬِي َرأَى َأﺑُﻮ َﺑ ْﻜ ٍﺮ َوَﻟ ِﻜﻨﱢﻲ َأرَى َأ‬
‫ن َﻧﺴِﻴﺒًﺎ ِﻟ ُﻌ َﻤ َﺮ‬ ٍ‫ﻼ‬ َ ‫ﻦ ُﻓ‬ ْ ‫ﻋ ُﻨ َﻘ ُﻪ وَ ُﺗﻤَﻜﱢﻨﱢﻲ ِﻣ‬ ُ ‫ب‬ َ ‫ﻀ ِﺮ‬ ْ ‫ﻞ َﻓ َﻴ‬ ٍ ‫ﻋﻘِﻴ‬ َ ‫ﻦ‬ ْ ‫ﻋﻠِﻴًّﺎ ِﻣ‬ َ ‫ﻦ‬ َ ‫َﻓ ُﺘ َﻤ ﱢﻜ‬
‫ﷲ‬
ِ ‫لا‬ ُ ‫ي َرﺳُﻮ‬ َ ‫ﺻﻨَﺎدِﻳ ُﺪهَﺎ َﻓ َﻬ ِﻮ‬ َ ‫ﻻ ِء َأ ِﺋ ﱠﻤ ُﺔ ا ْﻟ ُﻜ ْﻔ ِﺮ َو‬َ ‫ن َه ُﺆ‬ ‫ﻋ ُﻨ َﻘ ُﻪ َﻓِﺈ ﱠ‬
ُ ‫ب‬ َ ‫ﺿ ِﺮ‬ ْ ‫َﻓَﺄ‬
‫ﺖ َﻓِﺈذَا‬ ُ ‫ﺟ ْﺌ‬
ِ ‫ﻦ ا ْﻟ َﻐ ِﺪ‬ْ ‫ن ِﻣ‬ َ ‫ﺖ َﻓَﻠﻤﱠﺎ آَﺎ‬ ُ ‫ل َأﺑُﻮ َﺑ ْﻜ ٍﺮ َوَﻟ ْﻢ َﻳ ْﻬ َﻮ ﻣَﺎ ُﻗ ْﻠ‬ َ ‫ ﻣَﺎ ﻗَﺎ‬ρ
‫ﺧﺒِ ْﺮﻧِﻲ‬ ْ َ‫ﷲ أ‬ِ ‫لا‬ َ ‫ﺖ ﻳَﺎ َرﺳُﻮ‬ ُ ‫ن ُﻗ ْﻠ‬ ِ ‫ﻦ َﻳ ْﺒ ِﻜﻴَﺎ‬ ِ ‫ َوَأﺑُﻮ َﺑ ْﻜ ٍﺮ ﻗَﺎ‬ρ ‫ﷲ‬
ِ ‫ﻋ َﺪ ْﻳ‬ ِ ‫لا‬ ُ ‫َرﺳُﻮ‬
‫ن َﻟ ْﻢ‬ ْ ‫ﺖ َوِإ‬ ُ ‫ت ُﺑ َﻜﺎ ًء َﺑ َﻜ ْﻴ‬ ُ ‫ﺟ ْﺪ‬ َ ‫ن َو‬ ْ ‫ﻚ َﻓِﺈ‬َ ‫ﺣ ُﺒ‬ِ ‫ﺖ َوﺻَﺎ‬ َ ‫ﻲ ٍء َﺗ ْﺒﻜِﻲ َأ ْﻧ‬ ْ ‫ﺷ‬ َ ‫ي‬ ‫ﻦ َأ ﱢ‬ ْ ‫ِﻣ‬
‫ض‬
َ ‫ﻋ َﺮ‬ َ ‫ َأ ْﺑﻜِﻲ ِﻟﱠﻠﺬِي‬ρ ‫ﷲ‬ ِ ‫لا‬ ُ ‫ل َرﺳُﻮ‬ َ ‫ﺖ ِﻟ ُﺒﻜَﺎ ِﺋ ُﻜﻤَﺎ َﻓﻘَﺎ‬ُ ‫ﺟ ْﺪ ُﺑﻜَﺎ ًء َﺗﺒَﺎ َآ ْﻴ‬ ِ ‫َأ‬
‫ﻦ‬
ْ ‫ﻋﺬَا ُﺑ ُﻬ ْﻢ َأ ْدﻧَﻰ ِﻣ‬ َ ‫ﻲ‬ ‫ﻋَﻠ ﱠ‬ َ ‫ض‬ َ ‫ﻋ ِﺮ‬ ُ ‫ﺧ ِﺬ ِه ْﻢ ا ْﻟﻔِﺪَاءَ َﻟ َﻘ ْﺪ‬
ْ ‫ﻦ َأ‬ ْ ‫ﻚ ِﻣ‬َ ‫ﺻﺤَﺎ ُﺑ‬ ْ ‫ﻲ َأ‬ ‫ﻋَﻠ ﱠ‬
َ
‫ﻞ ﻣَﺎ‬ ‫ﺟﱠ‬ َ ‫ﻋ ﱠﺰ َو‬ َ ‫ﷲ‬ ُ ‫لا‬ َ ‫ َوَأ ْﻧ َﺰ‬ρ ‫ﷲ‬ ِ ‫ﻲا‬ ‫ﻦ َﻧ ِﺒ ﱢ‬ْ ‫ﺠ َﺮ ٍة َﻗﺮِﻳ َﺒ ٍﺔ ِﻣ‬ َ‫ﺷ‬ َ ‫ﺠ َﺮ ِة‬ َ‫ﺸ‬ ‫َه ِﺬ ِﻩ اﻟ ﱠ‬
‫ض إِﻟَﻰ َﻗ ْﻮِﻟ ِﻪ‬ ِ ‫ﻷ ْر‬ َ ‫ﻦ ﻓِﻲ ا‬ َ‫ﺨ‬ ِ ‫ﺳﺮَى ﺣَﺘﱠﻰ ُﻳ ْﺜ‬ ْ َ‫ن َﻟ ُﻪ أ‬ َ ‫ن َﻳﻜُﻮ‬ ْ ‫ﻲ َأ‬ ‫ن ِﻟ َﻨ ِﺒ ﱟ‬َ ‫آَﺎ‬
‫ﷲ ا ْﻟ َﻐﻨِﻴ َﻤ َﺔ َﻟ ُﻬ ْﻢ‬
ُ ‫ﻞا‬ ‫ﺣﱠ‬َ ‫ﻻ ﻃَﻴﱢﺒًﺎ َﻓَﺄ‬ ً‫ﻼ‬ َ‫ﺣ‬ َ ‫ﻏ ِﻨ ْﻤ ُﺘ ْﻢ‬
َ ‫َﻓ ُﻜﻠُﻮا ﻣِﻤﱠﺎ‬
Dari Ibn ‘Abbâs r.a. dia berkata: ‘Umar bin Khattâb r.a. pernah
memberitahukanku, ia berkata: Ketika terjadi perang Badar, Rasulullah melihat ke
arah orang-orang musyrik. Mereka berjumlah seribu orang, sedangkan sahabat-
sahabat beliau hanya berjumlah 319 orang. Kemudian Nabi saw. menghadap
kiblat lalu mengangkat tangannya seraya berseru kepada Rabb-nya: “Ya Allah,
wujudkanlah untukku apa yang telah Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah,
berikanlah (kepadaku) apa yang Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, jika
Engkau hancurkan pasukan dari para pemeluk Islam ini, niscaya Engkau tidak
akan disembah lagi di muka bumi.” Beliau masih terus berseru kepada Tuhannya
dengan mengangkat kedua tangannya sambil menghadap kiblat sehingga
selendang beliau jatuh dari atas pundaknya. Lalu Abu Bakar mendatangi beliau
dan mengangkat selendang itu dan kemudian meletakkannya kembali di atas
kedua pundak beliau sambil berkata; “Wahai Nabiyullah, cukuplah seruanmu
kepada Rabb-mu. Sesungguhnya Dia akan mewujudkan apa yang telah Dia
janjikan kepadamu.” Maka Allah-pun menurunkan ayat ([Ingatlah], ketika kalian
memohon pertolongan kepada Rabb-mu, lalu Dia memperkenankan bagi kalian,
‘Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu
malaikat yang datang berturut-turut.’ QS.al-Anfâl:9). Lalu, Allahpun
mendatangkan untuknya malaikat. Abû Zumail menceritakan, Ibn ‘Abbâs
mengatakan: Ketika pada saat itu ada seorang lelaki muslim yang sedang
mengejar seorang lelaki musyrik yang ada di depannya, tiba-tiba dia mendengar
suara pukulan cambuk di atasnya dan suara penunggang kuda yang berteriak:
“Majulah Haizum (nama kuda)!” Lalu ia memperhatikannya, dan ternyata
hidungnya telah luka dan wajahnya robek seperti terkena pukulan cambuk, dan
semuanyapun menjadi hitam. Lalu datanglah seorang Ansar dan menceritakan hal
itu kepada Rasulullah. Rasulpun bersabda: “Engkau benar. Itu adalah berasal dari
bantuan langit ketiga.” Pada saat itu mereka dapat membunuh 70 orang dan

131
menawan 70 pasukan. Abu Zumail menceritakan, Ibn ‘Abbâs mengatakan: Ketika
mereka menawan beberapa orang tawanan, Rasulullah bersabda kepada Abû Bakar dan
‘Umar: “Bagaimana pendapat kalian tentang para tawanan tersebut?” Maka Abû Bakar
menjawab: “Wahai Nabiyullah, mereka adalah bani al-‘Amm dan al-‘Asyîrah (termasuk
keluarga). Menurutku, kita ambil saja fidyah (tebusan) dari mereka sehingga menjadi
kekuatan bagi kita untuk melawan orang-orang kafir. Mudah-mudahan saja Allah
memberikan petunjuk kepada mereka untuk memeluk Islam.” Selanjutnya Rasulullah
bertanya: “Bagaimana menurutmu, wahai Ibn al-Khattâb?”Akupun menjawab: “Demi
Allah, tidak, wahai Rasulullah. Saya tidak sependapat dengan Abû Bakar. Menurut saya,
hendaknya engkau memberikan wewenang kepada kami sehingga kami penggal leher
mereka. Berikan tugas kepada ‘Alî untuk menghadapi Aqil, lalu ia memenggal lehernya.
Dan berikan tugas kepadaku untuk menghadapi si Fulan, lalu aku penggal lehernya.
Sesungguhnya mereka itu adalah pemimpin dan pemuka orang-orang kafir.” Ternyata,
Rasulullah saw. menerima pendapat Abû Bakar da menolak pendapatku. Pada keesokan
harinya aku datang. Saat itu, aku dapati Rasulullah saw. dan Abû Bakar tengah menangis.
Lalu aku bertanya: “Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku, apa sebabnya engkau
dan sahabatmu ini menangis! Jika aku bisa menangis, maka aku akan menangis. Dan
jika aku tidak bisa menangis, maka aku akan berpura-pura menangis tersebab tangisan
kalian berdua.” Maka Rasulullah saw. bersabda: “Aku menangis karena sesuatu yang
diperlihatkan kepadaku disebabkan tindakan sahabat-sahabatmu mengambil fidyah
(tebusan). Sesungguhnya telah diperlihatkan kepadaku azab mereka lebih dekat daripada
pohon ini, sebuah pohon yang dekat Nabiyullah saw. Sedangkan Allah telah menurunkan
ayat (Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat
melumpuhkan musuhnya di muka bumi…QS.al-Anfâl:67) sampai firman-Nya yang
berbunyi (Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu
sebagai makanan yang halal lagi baik. QS. al-Anfâl:69). Dengan demikian, Allahpun
telah menghalalkan harta rampasan perang untuk mereka. (H.R. Muslim & Ahmad) 162
Ayat ini, menurut al-Syaikh ‘Alî al-Sâbûnî, merupakan celaan terhadap Nabi saw.

dan para sahabatnya yang telah mengambil tebusan dari para tawanan perang. Allah lebih

menghendaki balasan akhirat yang kekal abadi, ketimbang harta tebusan yang sesaat.163

Itulah sebabnya, menurut al-Syaikh Muh. al-Ghazâlî, di antara yang akan

dihisab oleh Allah dengan hisab yang keras terhadap kaum muslimin adalah sikap

mereka terhadap para tawanan pada perang Badar.164

162
Muslim, Sahîh Muslim, Juz 2, Kitâb al-Jihâd wa al-Siyar Bâb al-Imdâd bi al-
Malâ’ikah fî Ghazwah badrwa Ibâhah al-Ghanâ’im, h. 84-85; Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, Juz
1, h. 31,33; Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta: Penerbit Tintamas, 1984), cet.IX, h. 275;
al-Wâhidî, Asbâb al-Nuzûl, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1994/1414), h. 133-134
163
‘Alî al-Sâbûnî, Safwah al-Tafâsîr, Jilid 1, h. 514-515
164
Khumais As-Said, Menangislah Sebagaimana Rasulullah saw. dan Para Sahabat
Menangis, h. 111

132
Macam-macam Menangis Ditinjau dari Segi Hukum

Jika ditinjau dari segi hukum, maka aktivitas menangis dapat

dikategorikan menjadi tiga bagian, yaitu: Menangis yang dibolehkan, menangis

yang terlarang, dan menangis yang dianjurkan.

1. Menangis yang Dibolehkan

a) Menangisi Mayit secara Wajar

Dalam kajian Hadis, menangisi mayit mendapatkan perhatian tersendiri

dari para ulama. Hal ini disebabkan karena banyaknya jalur periwayatan

tentang hal tersebut dan adanya dugaan bahwa redaksi hadis menangisi mayit

bertentangan dengan dalil-dalil yang lain, baik dari al-Qur’an ataupun Hadis,

secara zahir.

Berdasarkan penelusuran penulis, setidaknya didapatkan 71 jalur

periwayatan dalam masalah ini dengan redaksi yang tidak terlalu jauh

berbeda. Dari jumlah tersebut, 47 riwayat secara tegas menandaskan bahwa

tangisan dapat melahirkan siksaan bagi mayit, dan 24 riwayat di antaranya

menjelaskan klarifikasi atau koreksi yang dilakukan Siti ‘Aisyah r.a.

terhadap Hadis-hadis tersebut yang diriwayatkan ‘Umar r.a. (w.23 H.) dan

Abdullah bin Umar r.a. (w.73 H.)

Apakah klarifikasi yang dilakukan Siti ‘Aisyah r.a.(w.57 H.)

menggugurkan keberadaan Hadis-hadis tersebut?

al-Syaikh Ibn al-Qayyim al-Jauzî (w.751 H.) dalam Syarh Sunan Abî

Dâwûd menjelaskan bahwa riwayat ‘Umar dan Ibn ‘Umar telah disepakati

oleh sekelompok sahabat yang lain. Riwayat inipun dicantumkan dalam “al-

Sahîhain”. Sahabat Anas dan Abû Mûsâpun menjadi saksi terhadap riwayat

‘Umar r.a. Sahabat lain yang ikut terlibat dalam periwayatan ini adalah Hafsah,

133
Suhaib, dan Mughîrah bin Syu’bah. Demikian Ibn al-Qayyim.165

Ibn Qutaibah juga menegaskan bahwa penolakan ‘Aisyah terhadap

Hadis tersebut adalah dugaan (zann) dan ta’wil beliau sendiri. Sedangkan

dugaan itu tidak dapat menolak eksistensi Hadis Rasulullah saw., kecuali

jika’Aisyah menyampaikan sabda Rasul yang bertentangan atau bertolak

belakang dengan Hadis menangisi mayit, tentu pernyataannya dapat

diterima. Apalagi Hadis tentang menangisi mayit ini banyak diriwayatkan

oleh sahabat, di antaranya ‘Umar, ‘Imrân ibn Husain, Ibn ‘Umar, dan Abû

Mûsâ al-Asy’arî.166

Memang, jika matan hadis dipahami secara literal – bahwa perbuatan

orang lain menyebabkan siksaan mayit – bertentangan dengan nash-nash

agama dan akal sehat. Berikut ini beberapa nas yang dianggap bertentangan

dengan makna lahiriyah Hadis:

:‫ ﻓﺎﻃﺮ‬, 15:‫ اﻻﺳﺮاء‬, 164: ‫ﻻ ﺗﺰر وازرة وزر أﺧﺮى )اﻻﻧﻌﺎم‬


( 38:‫ اﻟﻨﺠﻢ‬, 7:‫ اﻟﺰﻣﺮ‬,
‫ ةﻣﻦ ﻳﻌﻤﻞ ﻣﺜﻘﺎل ذرة ﺷﺮا ﻳﺮﻩ‬.‫ﻓﻤﻦ ﻳﻌﻤﻞ ﻣﺜﻘﺎل ذرة ﺧﻴﺮا ﻳﺮﻩ‬
( 8-7:‫)اﻟﺰﻟﺰﻟﺔ‬
(21 :‫آﻞ اﻣﺮئ ﺑﻤﺎ آﺴﺐ رهﻴﻦ )اﻟﻄﻮر‬
( 38:‫آﻞ ﻧﻔﺲ ﺑﻤﺎ آﺴﺒﺖ رهﻴﻨﺔ )اﻟﻤﺪﺛﺮ‬
Imam Ibn Katsîr (w.774 H.), ketika menafsirkan surat al-An’âm ayat

164 di atas mengatakan:

Hal ini merupakan informasi yang akan terjadi pada hari kiamat mengenai
pembalasan, hukum, dan keadilan Allah. Sesungguhnya setiap diri hanya akan
dibalas berdasarkan amal perbuatannya. Jika baik (amalnya), maka baik pula
(balasannya). Jika buruk (amalnya), maka buruk pula (balasannya).
Sesungguhnya kesalahan seseorang tidak ditanggung oleh orang lain. Inilah di

165
Ibn al-Qayyim, Syarh Sunan Abî Dâwûd, (Beirût: Dâr al-Fikr, tth.), Juz 8, h. 400-401
166
Ibn Qutaibah, ta’wîl Mukhtalaf al-Hadîts, (Beirût: Mu’assasah al-Kutub al-
Tsaqâfiyyah, 1988), Cet. I, h. 162

134
antara wujud keadilan-Nya. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam QS Fâtir
ayat 18 dan Tâhâ ayat 112.167
Sedangkan di antara Hadis yang berseberangan maknanya adalah;

‫هﺬا إﺑﻨﻚ؟ ﻗﺎل ﻧﻌﻢ ﻗﺎل اﻣﺎ إﻧﻪ ﻻ ﻳﺠﻨﻲ ﻋﻠﻴﻚ وﻻ‬:ρ‫ﻗﻮﻟﻪ‬
168
‫ﺗﺠﻨﻲ ﻋﻠﻴﻪ‬
Jika diakui bahwa kedua jenis teks-teks ini sebagai bertentangan,

maka kita dapat memasukkannya sebagai bagian dari pembahasan “’Ilm

Mukhtalaf al-Hadîts” (Ilmu tentang Kontroversialitas Hadis). Untuk

menyelesaikannya ada empat alternatif, yaitu:

1. Metode al-jam’u wa al-taufîq (memadukan dan menyelaraskan makna)

2. Metode al-naskh (menentukan yang awal dan yang akhir)

3. Metode al-tarjîh (menentukan yang terbaik)

4. Metode al-tawaqquf (penangguhan sementara)169

Sebelum lebih jauh penulis menjelaskan makna Hadis tersebut,

perlu juga dipahami: Apakah yang dimaksud dengan “tangisan” di sini

terbatas hanya pada tangisan keluarga atau juga tangisan orang lain.

Permasalahan ini muncul karena dalam Hadis ditemukan redaksi yang

berbunyi “‫ﻋﻠﻴﻪ‬ ‫( “ ﺑﺒﻜﺎء أهﻠﻪ‬tersebab tangisan keluarganya kepadanya),


sedang redaksi lain berbunyi “‫اﻟﺤﻲ‬ ‫( ”ﺑﺒﻜﺎء‬tersebab tangisan orang yang

167
Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm., Juz 2, h. 199
168
Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 4, Kitâb al-Diyât bâb lâ Yu’khadzu Ahad bi
Jarîrah Akhîh au Abîh, no. Hadis 4495, h. 168; al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’i, Kitâb al-Qasâmah wa
al-Qûd Bâb Hal Yu’khdzu Ahad bi Jarîrah Ghairih, no. hadis 4842, h. 776-777; Ibn Mâjah, Sunan
Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Diyât Bâb lâ Yajnî Ahad ‘alâ Ahad, no. Hadis 2671, h. 890; al-Dârimî,
Sunan al-Dârimî, Juz 2, Kitâb al-Diyât Bâb lâ Yu’khadzu Ahad bi Jinâyah Ghairih, no. Hadis
2388, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 2000), Cet.ke-1, h. 53-54; Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Juz 3,
h. 499, Juz 4, h. 163, 345, uz 5, h. 81; 168 al-Kandahlawi, Aujaz al-Masâlik, (Beirût: Dâr al-Fikr,
1989), Juz 4, h. 272-273
169
Al-Suyûtî, Tadrîb al-Râwî, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Hadîtsah, 1966), Jilid 1, h. 197-
202

135
hidup).

Imam al-Kandahlawi dalam “Awjaz al-Masâlik ilâ Muwatta Mâlik”

dan al-Syaikh Badruddîn al-‘Aini (w.855 H.) dalam “’Umdah al-Qârî”

memahami bahwa berdasarkan zahir Hadis (metode al-jam’u wa al-taufîq),

maka yang dimaksud adalah tangisan secara umum, baik dari keluarganya

ataupun bukan keluarganya.

Jumhur ulama, di antaranya al-Muzannî (w. 264 H.), Ibrâhîm al-Harbî,

sebagian ulama Syafi’iyah termasuk Imam al-Nawawî (w. 675 H.),

mentakwilkan bahwa siksa itu berlaku bagi orang yang berwasiat kepada

keluarganya untuk diratapi setelah kematiannya. Sedangkan jika keluarganya


170
menangisinya tanpa wasiat sebelumnya, hal ini tidaklah terlarang, karena

hal ini merupakan rahmat Allah. Begitulah yang juga ditunjukkan oleh Rasul

saw. saat kematian anggota keluarganya sambil mengatakan,“Ini merupakan

rahmat yang dianugerahkan Allah kepada hati hamba-hamba-Nya. Allah

hanya memberikan rahmat kepada hamba-hamba yang penyayang.”Dan yang

perlu ditegaskan adalah bahwa menurut para ulama sebagaimana yang

dikatakan Imam al-Nawawî, tangisan yang melahirkan siksaan bagi mayit

adalah tangisan yang disertai suara keras dan teriakan, bukan semata-mata

deraian air mata.171

Oleh karena itu, menurut al-Syaikh Muhammad Zakariyyâ al-

Kandahlawi, jika mayit ditangisi tanpa wasiat darinya sebelumnya, maka ia

170
Ibid, Juz 3, h. 505; Al-‘Aini, ‘Umdah al-Qârî, (Beirût; Dâr al-Fikr, 1989.), Juz 8, h.
79; Khalîl Ahmad, Bazl al-Majhûd, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth.), Juz 3, h. 96
171
al-Nawawî, Sahîh Muslim bi Syarh al-Nawawî, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 1994), Juz 3, h.
506

136
tidak mendapat azab. Hal ini sesuai dengan firman Allah “Seseorang yang

berdosa tidak menanggung dosa orang lain.”172 Tentunya jika memang ia

melihat bahwa di keluarganya tidak ada kebiasaan yang terlarang itu.

Sementara itu, Ibn Qutaibah memberikan pemahaman yang agak

berbeda. Menurut beliau, jika yang dimaksud adalah mayit kafir, hal ini

tidak ada masalah. Karena memang mayit kafir setiap saat mendapatkan

siksaan. Sedangkan jika yang dimaksudkan adalah mayit muslim, maka

perlu ditegaskan, bahwa yang dimaksud dalam surat Al-An’am ayat 64

adalah hal-hal yang terkait dengan hukum dunia.

Lebih lanjut beliau mengatakan, sesungguhnya siksa Allah jika

sudah datang, akan menimpa secara merata kepada semua orang, yang jahat

atau yang baik. Begitulah yang digambarkan Allah dalam surat al-Anfâl

ayat 25 dan al-Rûm ayat 41. Tentang hal ini, Ummu Salamah pernah

bertanya kepada: “Ya Rasulullah, apakah kami akan dihancurkan padahal di

tengah-tengah kami banyak orang-orang salih?” Beliau menjawab: “Ya,

jika keburukan telah menyebar.”173

Dengan demikian, menangisi mayit, baik dia kerabat ataupun

bukan, jika dilakukan secara wajar, tidaklah dianggap sebagai perbuatan

tercela dan terlarang. Itulah sebabnya, Imam al-Nawawî (w.675 H.) dalam

kitab “Riyâd al-Sâlihîn” memberikan judul “Bab Jawâz al-Bukâ ‘alâ al-

Mayyît bi Ghair Nadb walâ Niyâhah” (Bab yang menerangkan kebolehan

menangisi mayit tanpa disertai dengan ratapan dan tangisan kuat). Adapun

172
al-Kandahlawi, Aujaz al-Masâlik, Juz 4, h. 271
173
Ibn Qutaibah, Ta’wîl Mukhtalaf al-Hadîts, h. 160-161

137
“niyâhah” (tangisan/ratapan yang disertai teriakan) dipandang sebagai

keharaman. Demikian Imam al-Nawawî (w.675 H.).174

b) Menangis karena Terharu

Kepergian Rasulullah saw. dan terputusnya wahyu membuat Ummu

Aiman, Abû Bakar (w.13 H.), dan ‘Umar (w.23 H.) menangis. Hal ini

sebagaimana yang termuat dalam Hadis berikut ini:

‫ﷲ‬
ِ ‫لا‬ ِ ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ َﺑ ْﻌ َﺪ َوﻓَﺎ ِة َرﺳُﻮ‬ َ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﻲا‬ َ‫ﺿ‬ ِ ‫ل أَﺑُﻮ َﺑ ْﻜ ٍﺮ َر‬ َ ‫ل ﻗَﺎ‬ َ ‫ﺲ ﻗَﺎ‬ ٍ ‫ﻦ َأ َﻧ‬ْ‫ﻋ‬ َ
‫ﷲ‬
ِ ‫لا‬ ُ ‫ن َرﺳُﻮ‬ َ ‫ﻦ َﻧﺰُو ُرهَﺎ َآﻤَﺎ آَﺎ‬ َ ‫ﻖ ِﺑﻨَﺎ إِﻟَﻰ ُأمﱢ َأ ْﻳ َﻤ‬ ْ ‫ﻄِﻠ‬ َ ‫ ِﻟ ُﻌ َﻤ َﺮ ا ْﻧ‬ρ
‫ﻋ ْﻨ َﺪ‬
ِ ‫ﻚ َﻣﺎ‬ ِ ‫ﻻ ﻟَﻬَﺎ ﻣَﺎ ُﻳ ْﺒﻜِﻴ‬ َ ‫ﺖ َﻓﻘَﺎ‬ ْ ‫ َﻳﺰُو ُرهَﺎ َﻓَﻠﻤﱠﺎ ا ْﻧﺘَﻬَ ْﻴﻨَﺎ ِإَﻟ ْﻴﻬَﺎ َﺑ َﻜ‬ρ
‫ن ﻣَﺎ‬ ‫ﻋَﻠ ُﻢ َأ ﱠ‬
ْ ‫ن َأ‬ َ ‫ﻻ َأآُﻮ‬ َ ‫ن‬ ْ ‫ﺖ ﻣَﺎ َأ ْﺑﻜِﻲ َأ‬ ْ ‫ َﻓﻘَﺎَﻟ‬ρ ‫ﷲ ﺧَ ْﻴ ٌﺮ ِﻟ َﺮﺳُﻮِﻟ ِﻪ‬ ِ ‫ا‬
‫ﻦ‬
ْ ‫ﻄ َﻊ ِﻣ‬ َ ‫ﻲ َﻗ ْﺪ ا ْﻧ َﻘ‬
َ‫ﺣ‬ ْ ‫ن ا ْﻟ َﻮ‬
‫ﻦ َأ ْﺑﻜِﻲ َأ ﱠ‬ ْ ‫ َوَﻟ ِﻜ‬ρ ‫ﷲ ﺧَ ْﻴ ٌﺮ ِﻟ َﺮﺳُﻮِﻟ ِﻪ‬ ِ ‫ﻋ ْﻨ َﺪ ا‬
ِ
175
‫ن َﻣ َﻌ َﻬﺎ‬ِ ‫ﻼ َﻳ ْﺒ ِﻜﻴَﺎ‬
َ ‫ﺠ َﻌ‬
َ ‫ﻋﻠَﻰ ا ْﻟ ُﺒﻜَﺎ ِء َﻓ‬ َ ‫ﺠ ْﺘ ُﻬﻤَﺎ‬ َ ‫ﺴﻤَﺎ ِء َﻓ َﻬ ﱠﻴ‬
‫اﻟ ﱠ‬
Dari Anas, dia berkata: Sepeninggal Rasulullah saw.Abû Bakar r.a.
pernah berkata kepada ‘Umar: “Marilah kita berkunjung ke (rumah) Ummu
Aiman sebagaimana Rasulullah saw. biasa mengunjunginya. Ketika kami
sampai di tempatnya, Ummu Aiman menangis.” Maka keduanya berkata
kepadanya: “Apa yang membuatmu menangis? Apa yang ada di sisi Allah
adalah lebih baik bagi Rasul-Nya.sa.” Lalu Ummu Aiman berkata: “Aku
tidak menangis karena tidak mengetahui bahwa apa yang ada di sisi Allah
lebih baik bagi Rasul-Nya saw. Akan tetapi, aku menangis karena wahyu
telah terputus dari langit.” Maka hal itu membuat Abu Bakar dan Umar
tersentuh sehingga keduanya menangis bersamanya. (H.R. Muslim dan Ibn
Mâjah)
Tangisan yang ditunjukkan oleh Ummu Aiman r.a., Abû Bakar r.a.

(w.13 H.), dan ‘Umar r.a. (w.23 H.), adalah tangisan yang teramat wajar

karena mengenang teladan tercinta mereka, Rasulullah saw. dengan segala

kemuliannya. Maka, jika mereka berperilaku seperti itu, kitapun

174
al-Nawawî, Riyâd al-Sâlihîn,(Kairo: Matba’ah al-Istiqâmah, 1357/1939), h. 363;
Lihatlah Hadis-hadis tentang tangisan Rasulullah saw. Menyaksikan kematian orang-orang yang
dicintainya pada pembahasan terdahulu!
175
Hadis ini sahih. Muslim, Sahîh Muslim, Juz 2, Kitâb Fadâ’il al-Sahâbah r.a.Bâb min
fadâ’il Ummi Aiman r.a., h. 379; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 1, Kitâb al-Janâ’iz Bâb Dzikr
Wafâtih wa Dafnih saw., no. Hadis 1635, h. 523-524

138
diperkenankan menangis mengenang kemuliaan, keshalihan dan perjuangan

mereka memuliakan Islam. Kita menangis karena kita tertinggal jauh dari

mereka dalam melakukan amal salih sebagai bekal di akhirat. Kita menangis,

karena banyak noda dan dosa yang menghiasi hari-hari kita. Bahkan, jika

tangisan kita memberikan implikasi positif dalam kehidupan, boleh jadi ia

akan bernilai ibadah di sisi Allah.

Tentang tangisan yang terjadi karena keterharuan juga pernah terjadi

pada seorang sahabat, Ubay bin Ka’ab r.a. (w.21 H.) Beliau menangis saat

namanya disebut oleh Allah. Hal ini sebagaimana yang tercantum dalam Hadis

berikut ini:

‫ﷲ‬
َ ‫نا‬ ‫ﻲ ِإ ﱠ‬
‫ﻷ َﺑ ﱟ‬ُ ρ‫ﻲ‬ ‫ل اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ‬
َ ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ‬
َ ‫ﷲ‬
ُ ‫ﻲا‬ َ‫ﺿ‬ ِ ‫ﻚ َر‬ ٍ ‫ﻦ ﻣَﺎِﻟ‬ ِ ‫ﺲ ْﺑ‬
ِ ‫ﻦ َأ َﻧ‬
ْ‫ﻋ‬ َ
‫ل‬
َ ‫ب ﻗَﺎ‬
ِ ‫ﻞ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ‬
ِ ‫ﻦ َأ ْه‬
ْ ‫ﻦ َآ َﻔﺮُوا ِﻣ‬ َ ‫ﻦ اﱠﻟﺬِﻳ‬
ْ ‫ﻚ َﻟ ْﻢ َﻳ ُﻜ‬
َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ‬
َ ‫ن َأ ْﻗ َﺮَأ‬
ْ ‫َأ َﻣ َﺮﻧِﻲ َأ‬
176
‫ل َﻧ َﻌ ْﻢ َﻓ َﺒﻜَﻰ‬
َ ‫ﺳﻤﱠﺎﻧِﻲ ﻗَﺎ‬ َ ‫َو‬
Dari Anas, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda kepada Ubay bin
Ka’ab: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kepadaku untuk membacakan
kepadamu ‘lam yakun al-ladzîna kafarû’ (Surat al-Bayyinah).” Ubay bertanya:
“Apakah Allah menyebut namaku kepadamu?” Beliau menjawab: “Ya (Dia
telah menyebut namamu kepadaku).” Lantas Anas berkata: “Maka Ubaypun
menangis.” (H.R. al-Bukhârî, Muslim, al-Tirmidzî, dan Ahmad)
Tangisan yang dilakukan Ubay bin Ka’ab (w.21 H.) di hadapan

Rasulullah saw. karena terharu dengan berita yang disampaikan oleh beliau.

Sikap beliau sendiri yang tidak mencegahnya, menunjukkan bahwa tangisan

seperti ini dibolehkan. Tangisan ini terjadi karena terharu dan bahagia

namanya disebut oleh Zat Yang Mahamulia kepada manusia termulia, yaitu

176
al-Bukhârî, Sahih al-Bukhârî, Juz 4, Kitâb al-Manâqib Bâb Manâqib Ubay bin ka’ab
r.a., h.228, Juz 6, Kitâb Tafsîr al-Qur’ân Bâb Sûrah Lam Yakun, h. 90; ; Muslim, Sahîh Muslim,
Juz I, Kitâb al-Masâjid wa Mawâdi’ al-Salâh Bâb Istihbâb Qirâ’ah al-Qur’ân ‘alâ Ahl al-Fadl wa
al-Hudzdzâqh fîh, 320, Juz 2, Kitâb Fadâ’il al-Sahâbah r.a. Bâb min fadâ’il Ubay bin Ka’ab wa
Jamâ’ah min al-Ansâr r.a., h. 383; al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 5, Abwâb al-Manâqib bâb
Manâqib Mu’âdz ibn Jabal wa Zaid ibn Tsâbit wa Ubay ibn ka’ab wa Abî ‘Ubaidah ibn al-Jarrâh
r.a., no. Hadis 3880, h. 330; Ahmad, Musnad Ahmad, Juz 3, h. 218

139
Rasulullah saw.

2. Menangis yang Dilarang

Jika menangisi mayit secara wajar sebagai wujud kasih sayang kepada

sesama dibolehkan, maka jika hal itu dilakukan secara berlebih-lebihan, ia

menjadi tercela dan karenanya dilarang.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Hadis mengenai

menangisi mayit setidaknya didapatkan 71 jalur periwayatan dengan redaksi

yang tidak terlalu jauh berbeda. Dari jumlah tersebut, 47 riwayat secara tegas

menandaskan bahwa tangisan dapat melahirkan siksaan bagi mayit, dan 24

riwayat di antaranya menjelaskan klarifikasi atau koreksi yang dilakukan Siti

‘Aisyah r.a.(w.57 H.) terhadap Hadis-hadis tersebut yang diriwayatkan ‘Umar

r.a. (w.23 H.) dan Abdullâh bin ‘Umar r.a. (w.73 H.).

Apakah klarifikasi yang dilakukan Siti ‘Aisyah r.a. menggugurkan

keberadaan Hadis-hadis tersebut?

al-Syaikh Ibn al-Qayyim al-Jauzi (w.751 H.) dalam Syarh Sunan Abî

Dâwûd menjelaskan bahwa riwayat ‘Umar r.a. (w.23 H.) dan Ibn ‘Umar

r.a.(w.73 H.) telah disepakati oleh sekelompok sahabat yang lain. Riwayat

inipun dicantumkan dalam “al-Sahîhain”. Sahabat Anas dan Abû Mûsâpun

menjadi saksi terhadap riwayat ‘Umar r.a. Sahabat lain yang ikut terlibat

dalam periwayatan ini adalah Hafsah, Suhaib, dan Mughîrah bin Syu’bah.

Demikian Ibn al-Qayyim.177

Berikut ini beberapa pemahaman yang disampaikan para ulama

berkaitan dengan keragaman redaksi hadis tersebut:

177
Ibn al-Qayyim, Syarh Sunan Abî Dâwûd, Juz 8, h. 400-401

140
Pertama: Imam Badruddîn al-‘Aini (w.855 H.) menyatakan bahwa

berdasarkan riwayat Imam al-Baihaqî (w.548 H. dalam “Sunan”-nya, Imam

al-Syâfi’î (w.204 H.) cenderung kepada pendapat Siti ‘Aisyah (w.57 H..

Pandangan istri Nabi ini dinilai lebih terpelihara berdasarkan al-Qur’an dan

Sunnah. Di antara ayat-ayat yang mendukung adalah: QS. Ali ‘Imrân/3:164;

al-Isrâ/17:15; Fâtir/35:18; al-Zumar/39:38-39; Tâhâ/20:15, dan al-Zalzalah:78.

Sedangkan Hadis yang mendukung adalah Hadis yang telah dicantumkan di

atas. Imam al-Syâfi’î berpendapat bahwa dengan Hadis tersebut Rasulullah,

sebagaimana juga Allah, ingin menjelaskan bahwa kejahatan yang dilakukan

setiap orang akan menjadi tanggung jawabnya sendiri, bukan tanggung jawab

orang lain.178

Akan tetapi, menurut al-Qurtubî (w.567 H.) bahwa pengingkaran

‘Aisyah terhadap Hadis dimaksud dan menghukumkan bahwa rawi (‘Umar r.a.

dan Ibn ‘Umar r.a.) telah melakukan kesalahan, atau lupa, atau diduga hanya

mendengar sebagian redaksi saja merupakan dugaan yang jauh. Bahkan oleh

Ibn Qutaibah (w.236 H.) dinilai hanya sebagai dugaan (zannî) dan penakwilan

Siti ‘Aisyah saja. Sebab para sahabat yang meriwayatkan makna Hadis

tersebut banyak dan mereka tidak meragukannya. Kalaupun menurut beberapa

riwayat Ibn Abî Mulaikah bahwa ketika Ibn ‘Umar r.a. mendengar

“sanggahan” ‘Aisyah berdiam diri saja, menurut al-Qurtubî (w.567 H.) hal ini

bukan karena beliau ragu. Boleh jadi menurut beliau, Hadis riwayat beliau

memungkinkan untuk menerima takwil, atau mungkin kondisi yang tidak

178
al-Kandahlawi, Aujaz al-Masâlik, Juz 4, h. 270; Badruddîn al-‘Ainî, ‘Umdah al-Qârî,
Juz 8, h. 79

141
memungkinkan beliau berbicara.179

Kedua: Jumhur ulama, di antaranya al-Muzannî (w.264 H.), Ibrâhîm

al-Harbî, sebagian ulama Syafi’iyah termasuk Imam al-Nawawî,

mentakwilkan bahwa siksa itu berlaku bagi orang yang berwasiat kepada

keluarganya untuk diratapi setelah kematiannya. Sedangkan jika keluarganya


180
menangisinya tanpa wasiat sebelumnya, hal ini tidaklah terlarang, karena

hal ini merupakan rahmat Allah. Begitulah yang juga ditunjukkan oleh Rasul

saw. saat kematian anggota keluarganya sambil mengatakan, “Ini merupakan

rahmat yang dianugerahkan Allah kepada hati hamba-hamba-Nya. Allah

hanya memberikan rahmat kepada hamba-hamba yang penyayang.”

Dalam tradisi jahiliyah telah dikenal wasiat seseorang agar diratapi

setelah kematiannya. Hal ini tergambar dalam perkataan syair Tarfah bin al-

‘Abd:

‫ﺐ ﻳَﺎ ُامﱠ‬
ِ ‫ﺠ ْﻴ‬
َ ‫ﻋﻠَﻰ ا ْﻟ‬
َ ‫ﻲ‬
ْ ‫ﺷ ﱢﻘ‬
ُ ‫َو‬ @ ‫ﻲ ِﺑﻤَﺎ َأﻧَﺎ َأ ْهُﻠ ُﻪ‬
ْ ‫ﺖ ﻓَﺎ ْﻧ ِﻌ ْﻴ ِﻨ‬
‫ِإذَا ِﻣ ﱡ‬
181
‫َﻣ ْﻌ َﺒ ِﺪ‬
Jika aku meninggal kelak, maka ratapilah diriku dengan ratapan yang
layak untukku, dan robek-robeklah saku baju, wahai Ummu Ma’bad.

Imam al-Nawawî (w.675 H.) menyampaikan pendapat sekelompok

ulama bahwa Hadis ini berlaku bagi orang yang berwasiat untuk ditangisi dan

diratapi atau juga orang yang tidak berwasiat agar hal itu ditinggalkan. Siapa

saja yang berwasiat untuk ditangisi dan diratapi atau tidak berwasiat agar hal

itu ditinggalkan, maka ia berhak mendapat azab.

Mendukung pendapat di atas, Ibn al-Murâbit menegaskan:

179
Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî,,Juz 3, h. 154; Ibn Qutaibah, Ta’wîl Mukhtalaf al-
Hadîts, (Beirût: Mu’assasah al-Kutub as-Tsaqâfiyyah, 1988), Cet., h. 162
180
Ibid, Juz 3, h. 505; Badruddîn Al-‘Ainî, ‘Umdah al-Qârî, Juz 8, h. 79; Khalîl Ahmad,
Bazl al-Majhûd, (Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth.), Juz 3, h. 96
181
Badruddîn al-‘Ainî, ‘Umdah al-Qârî, Juz 8, h. 79

142
Jika seseorang telah mengetahui larangan meratapi (mayit) dan dia
tahu bahwa keluarganya mempunyai kebiasaan tersebut dan ia tidak
menginformasikan keharaman perbuatan itu serta tidak melarangnya, maka
jika ia mendapat siksa, maka itu berdasarkan perbuatannya sendiri, tidak
semata-mata perbuatan orang lain. 182

Oleh karena itu, menurut al-Syaikh Muhammad Zakariyyâ al-

Kandahlawi, jika mayit ditangisi tanpa wasiat darinya sebelumnya, maka ia

tidak mendapat azab. Hal ini sesuai dengan firman Allah “Seseorang yang

berdosa tidak menanggung dosa orang lain.”183 Tentunya jika memang ia

melihat bahwa di keluarganya tidak ada kebiasaan yang terlarang itu.

Ketiga: Apakah yang dimaksud tangisan dalam Hadis ini secara

mutlak atau secara tertentu?

Imam al-Nawawî (w.675 H.) menjelaskan bahwa ulama sepakat yang

dimaksud tangisan yang melahirkan siksaan bagi mayit adalah tangisan yang

disertai suara keras dan teriakan, bukan semata-mata deraian air mata.184 Inilah

sebagian dari tradisi jahiliyah yang tercela.

Oleh karena itu, dengan memadukan berbagai riwayat antara yang

menggunakan lafal “bi bukâ ahlih” dan yang menggunakan lafal “bi ba’d bukâ

ahlih” (riwayat Ibn ‘Abbâs r.a.), serta yang menggunakan lafal yang berakar kata

dari “niyâhah”, dipahami bahwa tidak semua tangisan menyebabkan siksaan bagi

mayit. Hanya tangisan yang disertai dengan teriakan keraslah yang terlarang.

Itulah sebabnya, Imam al-Nawawî dalam kitab “Riyâd al-Sâlihîn” memberikan

judul “Bâb Jawâz al-Bukâ ‘alâ al-Mayyit bi Ghair Nadb walâ Niyâhah” (Bab yang

menerangkan kebolehan menangisi mayit tanpa disertai dengan ratapan dan

182
al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî, Juz 3, h. 154-155
183
al-Kandahlawi, Aujaz al-Masâlik, Juz 4, h. 271
184
al-Nawawî, Sahîh Muslim bi Syarh al-Nawawî, Juz 3, h. 506

143
tangisan kuat). Adapun “niyâhah” (tangisan/ratapan yang disertai teriakan)

dipandang sebagai keharaman. Demikian Imam al-Nawawî.185

Muhammad bin ‘Allân al-Siddîqî (w. 1057 H.) menjelaskan bahwa yang

dimaksud “niyâhah” adalah mengangkat suara dengan keras sambil menyebutkan

kebaikan-kebaikan mayit (padahal yang mereka anggap baik adalah buruk dalam

pandangan Islam), meski tidak dengan ungkapan bersajak. Termasuk yang

diharamkan juga adalah mengangkat suara dengan menangis sampai melampaui

batas walau tanpa ratapan dan teriakan.186

Itulah pula sebabnya, Imam al-Bukhârî memberikan judul dalam kitabnya

dengan “Bab Qaul al-Nabî Yu’adzdzab al-Mayyit bi Ba’d Bukâ Ahlih ‘alaih Idzâ

kâna al-Nauh min Sunnatih” (Bab yang menjelaskan ucapan Nabi “mayit disiksa

tersebab sebagian tangisan keluarganya kepadanya” jika ratapan merupakan

kebiasaannya). Menurut al-‘Asqalânî (w.852 H.), hal ini merupakan pembatasan

Imam al-Bukhârî (w.256 H.) sebagaimana riwayat Ibn ‘Abbâs r.a. (w.68 H.)

dengan lafal “ba’d” (muqayyad) terhadap riwayat Ibn ‘Umar r.a. (w.73 H.) yang

menggunakan redaksi global. Ini artinya tidak setiap tangisan yang terlarang,

tetapi tangisan tertentu sebagaimana yang dijelaskan di atas.187

Perhatikanlah beberapa Hadis yang mencela sikap-sikap jahiliyah tersebut:

‫ب‬
َ ‫ﺿ َﺮ‬
َ ‫ﻦ‬ َ ‫ َﻟ ْﻴ‬ρ ‫ﻲ‬
ْ ‫ﺲ ِﻣﻨﱠﺎ َﻣ‬ ‫ل اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ‬
َ ‫ل ﻗَﺎ‬َ ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ‬
َ ‫ﷲ‬
ُ ‫ﻲا‬
َ‫ﺿ‬ ِ ‫ﷲ َر‬ ِ ‫ﻋ ْﺒ ِﺪ ا‬
َ ‫ﻦ‬
ْ‫ﻋ‬َ
188
‫ﻋﻮَى ا ْﻟﺠَﺎ ِهِﻠ ﱠﻴ ِﺔ‬ ْ َ‫ب وَدَﻋَﺎ ﺑِﺪ‬َ ‫ﺠﻴُﻮ‬
ُ ‫ﻖ ا ْﻟ‬
‫ﺷﱠ‬َ ‫ﺨﺪُو َد َو‬
ُ ‫ا ْﻟ‬

185
al-Nawawî, Riyâd al-Salihîn, h. 363
186
Muhammad bin ‘Allân al-Siddîqî, Dalîl al-Fâlihîn, (Beirût: Dâr al-Fikr, tth.), jilid 3, h.
405
187
al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî, Juz 3, h. 152
188
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 2, Kitâb al-Janâ’iz Bâb laisa minnâ man Daraba al-
Khudûd, h. 83; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Îmân Bâb Tahrîm Darb al-Khudûd wa
Syaqq al-Juyûb wa al-Du’â bi Da’wâ al-Jâhiliyyah, h. 56

144
Dari ‘Abdullâh r.a. ia berkata: Nabi saw. bersabda: “Bukanlah termasuk
dari kebiasaan kami orang yang menampar-nampar pipi, merobek pakaian, dan
berteriak dengan cara jahiliyah.” (Muttafaq ‘alaih )

‫س ُهﻤَﺎ ِﺑ ِﻬ ْﻢ‬ ِ ‫ ا ْﺛ َﻨﺘَﺎ‬ρ ‫ﷲ‬


ِ ‫ن ﻓِﻲ اﻟﻨﱠﺎ‬ ِ ‫لا‬ُ ‫ل َرﺳُﻮ‬ َ ‫ل ﻗَﺎ‬
َ ‫ﻦ أَﺑِﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة ﻗَﺎ‬ ْ‫ﻋ‬ َ
‫ﺖ‬
ِ ‫ﻋﻠَﻰ ا ْﻟ َﻤ ﱢﻴ‬
َ ‫ﺐ وَاﻟ ﱢﻨﻴَﺎﺣَ ُﺔ‬
ِ ‫ﺴ‬َ ‫ﻦ ﻓِﻲ اﻟ ﱠﻨ‬ ُ ‫ُآ ْﻔ ٌﺮ اﻟﻄﱠ ْﻌ‬
Dari Abû Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah SAW. bersabda: “Ada dua
hal yang dapat menyebabkan manusia menjadi kufur, yaitu mencela keturunan
dan meratapi mayit.” (H.R. Muslim)189

3. Tangisan yang Dianjurkan

a). Menangis karena Takut kepada Allah

Dalam berbagai Hadis, Rasulullah saw. menyatakan kemuliaan

seorang yang mencucurkan air mata karena takut (khasy-yah) kepada

Allah sehingga tidak akan disentuh oleh api neraka kelak di hari kiamat.

Hadis-hadis tersebut adalah:

‫ﻞ َﺑﻜَﻰ‬
ٌ‫ﺟ‬ ُ َ‫ﺞ اﻟﻨﱠﺎ َر ر‬ َ ρ‫ﷲ‬
ُ ‫ﻻ َﻳِﻠ‬ ِ ‫لا‬ُ ‫ل َرﺳُﻮ‬ َ ‫ل ﻗَﺎ‬
َ ‫ﻦ َأﺑِﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة ﻗَﺎ‬
ْ‫ﻋ‬َ
‫ﻏﺒَﺎ ٌر‬
ُ ‫ﺠ َﺘ ِﻤ ُﻊ‬
ْ ‫ﻻ َﻳ‬
َ ‫ع َو‬ِ ‫ﻀ ْﺮ‬‫ﻦ ﻓِﻲ اﻟ ﱠ‬
ُ َ‫ﷲ ﺣَﺘﱠﻰ َﻳﻌُﻮ َد اﻟﱠﻠﺒ‬ ِ ‫ﺸ َﻴ ِﺔ ا‬
ْ‫ﺧ‬َ ‫ﻦ‬ ْ ‫ِﻣ‬
190
‫ﺟ َﻬ ﱠﻨ َﻢ‬
َ ‫ن‬ُ ‫ﷲ َو ُدﺧَﺎ‬ ِ ‫ﻓِﻲ ﺳَﺒِﻴﻞِ ا‬
Dari Abû Hurairah ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Seseorang
yang menangis karena takut kepada Allah tidak akan masuk ke dalam
neraka sehingga air susu kembali ke teteknya. Tidak juga akan bersatu
debu yang beterbangan di jalan Allah dengan asap neraka jahanam.” (H.R.
al-Tirmidzî dan al-Nasâ’î)

‫ﻻ‬
َ ِ‫ل ﻋَ ْﻴﻨَﺎن‬ ُ ‫ َﻳﻘُﻮ‬ρ ‫ﷲ‬ ِ ‫لا‬َ ‫ﺖ َرﺳُﻮ‬ ُ ‫ﺳ ِﻤ ْﻌ‬
َ ‫ل‬ َ ‫س ﻗَﺎ‬ ٍ ‫ﻋﺒﱠﺎ‬َ ‫ﻦ‬ ِ ‫ﻦ ا ْﺑ‬ْ‫ﻋ‬َ
‫س ﻓِﻲ‬
ُ ‫ﺤ ُﺮ‬ ْ ‫ﺖ َﺗ‬ْ ‫ﻦ ﺑَﺎ َﺗ‬
ٌ ‫ﻋ ْﻴ‬
َ ‫ﷲ َو‬
ِ ‫ﺸ َﻴ ِﺔ ا‬
ْ‫ﺧ‬َ ‫ﻦ‬ْ ‫ﺖ ِﻣ‬ ْ ‫ﻦ َﺑ َﻜ‬
ٌ ‫ﺴ ُﻬﻤَﺎ اﻟﻨﱠﺎ ُر ﻋَ ْﻴ‬
‫ﺗَﻤَ ﱡ‬
191
‫ﷲ‬
ِ ‫ﺳَﺒِﻴﻞِ ا‬
189
Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Îmân Bâb itlâq Ism al-Kufr ‘alâ al-Ta’n fî al-
Nasab wa al-Niyâhah ‘alâ al-Mayyit, h. 46
190
Menurut Imam al-Tirmidzî, nilai Hadis ini hasan sahih. Lihat : al-Tirmidzî, Sunan al-
Tirmidzî, Juz 3, Abwâb al-Jihâd Bâb Mâ Jâ’a fi fadl al-Ghubârfî Sabîil al-Lâh, no. Hadis 1683, h.
93, dan Juz 3 Abwâb al-Zuhd Bâb Mâ Jâ’a fî Fadl al-Bukâ min Khasy-yah al-Lâh, no. Hadis 2413,
h. 380; al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb al-Jihâd Bâb Fadl man ‘Amila fî Sabîl al-Lâh ‘alâ
Qadamih, no. Hadis 3105, h. 505
191
Hadis ini hasan garib. Lihat; Ibid, Juz 3, Abwâb al-Jihâd Bâb Mâ Jâ’a fî Fadl al-Hars fî

145
Dari Ibn ‘Abbas, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw.
bersabda: “Ada dua mata (yang pemiliknya) tidak akan disentuh oleh api
neraka, yaitu: mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata
yang selalu terjaga di jalan Allah.” (H.R. al-Tirmidzî)

‫ﻦ‬
ْ ‫ﷲ ِﻣ‬ ِ ‫ﺐ إِﻟَﻰ ا‬ ‫ﺣ ﱠ‬َ ‫ﻲ ٌء َأ‬
ْ َ‫ﺲ ﺷ‬
َ ‫ل َﻟ ْﻴ‬َ ‫ ﻗَﺎ‬ρ ‫ﻲ‬ ‫ﻦ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ‬
ْ‫ﻋ‬َ ‫ﻦ َأﺑِﻲ ُأﻣَﺎ َﻣ َﺔ‬ ْ‫ﻋ‬َ
‫ﻄ َﺮ ُة َد ٍم‬
ْ ‫ﷲ َو َﻗ‬
ِ ‫ﺸ َﻴ ِﺔ ا‬
ْ‫ﺧ‬ َ ‫ع ﻓِﻲ‬ ٍ ‫ﻦ ُدﻣُﻮ‬ ْ ‫ﻄ َﺮ ٌة ِﻣ‬ْ ‫ﻦ َﻗ‬ِ ‫ﻦ َوَأ َﺛ َﺮ ْﻳ‬
ِ ‫ﻄ َﺮ َﺗ ْﻴ‬
ْ ‫َﻗ‬
‫ﷲ َوَأ َﺛ ٌﺮ ﻓِﻲ‬ ِ ‫ن َﻓَﺄ َﺛ ٌﺮ ﻓِﻲ ﺳَﺒِﻴﻞِ ا‬
ِ ‫ﻷ َﺛﺮَا‬
َ ‫ﷲ َوَأﻣﱠﺎ ا‬ ِ ‫ق ﻓِﻲ ﺳَﺒِﻴﻞِ ا‬ ُ ‫ُﺗ ْﻬﺮَا‬
192
‫ﷲ‬
ِ ‫ﺾا‬ ِ ‫ﻦ َﻓﺮَا ِﺋ‬ ْ ‫ﻀ ٍﺔ ِﻣ‬
َ ‫َﻓﺮِﻳ‬
Dari Abî Umâmah dari Nabi saw., beliau bersabda: “Tidak ada
sesuatu yang lebih dicintai oleh Allah selain dua tetesan dan dua atsar
(bekas/pengaruh), yaitu: tetesan air mata karena takut kepada Allah dan
tetesan darah yang ditumpahkan di jalan Allah. Adapun dua atsar itu
adalah atsar di jalan Allah dan atsar dalam melaksanakan kewajiban dari
Allah.”(H.R. al-Tirmidzî)

‫ﻋ ْﺒ ٍﺪ‬ ْ ‫ ﻣَﺎ ِﻣ‬ρ ‫ﷲ‬


َ ‫ﻦ‬ ِ ‫لا‬ ُ ‫ل َرﺳُﻮ‬ َ ‫ل ﻗَﺎ‬
َ ‫ﺴﻌُﻮ ٍد ﻗَﺎ‬ ْ ‫ﻦ َﻣ‬ِ ‫ﷲ ْﺑ‬ِ ‫ﻋ ْﺒ ِﺪ ا‬
َ ‫ﻦ‬ ْ‫ﻋ‬ َ
‫ب‬
ِ ‫س اﻟ ﱡﺬﺑَﺎ‬ ِ ‫ﻞ َر ْأ‬
َ ‫ن ِﻣ ْﺜ‬ َ ‫ن آَﺎ‬
ْ ‫ع َوِإ‬ ٌ ‫ﻋ ْﻴ َﻨ ْﻴ ِﻪ ُدﻣُﻮ‬
َ ‫ﻦ‬ ْ ‫ج ِﻣ‬ ُ ‫ﺨ ُﺮ‬ْ ‫ﻦ َﻳ‬ٍ ‫ُﻣ ْﺆ ِﻣ‬
‫ﷲ‬
ُ ‫ﺣ ﱠﺮ َﻣ ُﻪ ا‬َ ‫ﻻ‬‫ﺟ ِﻬ ِﻪ ِإ ﱠ‬
ْ ‫ﺣﺮﱢ َو‬ُ ‫ﻦ‬ ْ ‫ﺐ ﺷَ ْﻴﺌًﺎ ِﻣ‬ُ ‫ﷲ ُﺛﻢﱠ ُﺗﺼِﻴ‬ ِ ‫ﺸ َﻴ ِﺔ ا‬
ْ‫ﺧ‬ َ ‫ﻦ‬ ْ ‫ِﻣ‬
193
‫ﻋَﻠَﻰ اﻟﻨﱠﺎ ِر‬
Dari ‘Abdullâh bin Mas’ûd, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda:
“Setiap hamba beriman yang keluar dari kedua kelopak matanya tetesan air
mata, meski sebanyak kepala lalat, lalu menimpa sesuatu karena panas
wajahnya, niscaya Allah akan haramkan dirinya (dijilat) api neraka. (H.R. Ibn
Mâjah)
Keempat Hadis di atas menegaskan bahwa orang yang menangis

karena takut kepada Allah, merasakan keagungan dan kebesaran-Nya, dan

khawatir akan ditimpa murka dan azab-Nya yang teramat pedih, akan

dijauhkan dari api neraka. Sabda-sabda Rasul di atas memang berbentuk

berita, namun pada hakikatnya ia memerintahkan dan memberikan

motivasi kepada umatnya untuk senantiasa menangis karena takut kepada

Sabîl al-Lâh no. hadis 1690, h.96. Dengan redaksi yang agak berbeda, hadis ini juga diriwayatkan
oleh Imam al-Dârimî dan Imam Ahmad bin Hanbal.; Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa
suatu ketika ‘Abdullâh bin ‘Amr sujud sambil menangis, lalu beliau berkata: “Apakah anda heran
dengan tangisan saya?” Selanjutnya beliau memandang bulan dan berkata: “Sesungguhnya ini
(bulan) sungguh menangis karena takut kepada Allah.” Lihat ‘Abdullâh bin al-Mubârak, Al-Zuhd
wa al-Raqâ’iq, Bâb Fadl Dzikr al-Lâh ‘Azza wa Jalla, no. Hadis 1145, h. 589
192
al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 3, Abwâb al-Jihâd Bâb 25, no. hadis 1720, h.109;
Kualitas Hadis ini hasan garib
193
Hadis ini daif. Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Zuhd Bâb al-Huzn wa al-
bukâ, no. Hadis 4197, h. 1404

146
Allah sehingga diselamatkan dari pedihnya api neraka. Bukankah selamat

dan aman dari api neraka merupakan harapan setiap orang sebagaimana

yang tercantum dalam doa sapu jagad yang teramat masyhur.

Orang yang takut kepada Allah dengan sebenar-benarnya akan

berupaya sekuat tenaga untuk menjauhkan diri dari berbagai maksiat, dan

sebaliknya akan selalu mendekatkan diri kepada Allah. Kalaupun suatu ketika

ia melakukan suatu dosa, ia akan segera ingat kepada Allah dan bertaubat

kepada-Nya.

Menangis karena takut kepada Allah akan selalu dibarengi dengan

perasan hina dan rendah diri di hadapan-Nya, penyesalan, kelembutan,

kekhusyuan, dan kesyahduan di hadapan-Nya. Ia akan mengerahkan

segala kemampuan yang dimilikinya demi kemulian Islam dan kaum

muslimin (izz al-Islâm wa al-muslimîn) dan demi keselamatannya dari

murka dan siksa Allah.

Imam Abû al-Faraj Ibn al-Jauzî (w. 597 H.) pernah berkata: “Takut

adalah bara yang menghanguskan gejolak syahwat.”194

Keutamaan rasa takut itu tergantung bagaimana rasa takut itu dapat

menghanguskan nafsu syahwat, membendung maksiat, dan menumbuhkan

rasa taat. Rasa takut kepada Allah juga dapat menumbuhkan sikap iffah

(menjaga diri), wara’, takwa, mujahadah, serta amalan-amalan utama yang

dapat mendekatkan diri kepada Allah.

Rasa takut merupakan manifestasi dari ilmu. Semakin tinggi ilmu

seseorang, semakin bertambah pula rasa takutnya kepada Allah

(QS.Fâtir/35:28).

Adapun sebab-sebab takut itu amatlah banyak. Yang paling pokok

194
Abdurrahman As-Sinjari, et.al., Menangis karena Takut pada Allah, (Jakarta: Pustaka
AL-Kautsar, 2005), Cet. Ke-14, h. 11;

147
adalah bahwa takut itu terpuji jika dikaitkan dengan kekurangan amal

ibadah dan ketaatannya kepada Allah serta banyaknya maksiat yang

dilakukan. Oleh karena itu, orang yang hatinya benar-benar takut kepada

Allah, ia mesti akan berusaha sekuat tenaga mencegah anggota tubuhnya

dari perbuatan dosa dan terus mengikatnya dengan perilaku taat. Jiwa dan

raganya diusahakan senantiasa sibuk dengan apa yang ia takutkan, seakan

tiada kesempatan lagi untuk yang lain. Itulah sebabnya, dalam kondisi

seperti ini, orang tersebut akan meneteskan air mata yang akan diiringi

dengan perilaku taat dan patuh kepada tuntunan agama.195

‘Aisyah r.a. (w.57 H.) pernah berkata: “Saya tidak pernah melihat

Rasulullah saw. tertawa hingga nampak langit-langit mulutnya. Akan

tetapi, beliau hanya tersenyum. Dan apabila beliau melihat awan ataupun

angina, beliau nampak murung.” Kemudian Aisyah r.a. bertanya kepada

Rasulullah saw., “Orang-orang jika melihat awan mereka bergembira,

berharap akan turun hujan. Namun mengapa jika engkau melihatnya

seolah-olah ketakutan tampak di wajahmu?” Maka Rasulullah saw.

bersabda: “Wahai Aisyah, aku khawatir jika hal itu merupakan azab.

Sebab, telah diazab suatu kaum dengan sapuan angina, dan tatkala melihat

datngnya azab itu mereka berkata sebagaimana yang disebut dalam Al-

Quran, ‘Inilah awan yang menurunkan hujan.’ (QS.al-Ahqâf/46:24).”196

Wuhaib bin al-Ward berkata: “Tatkala Allah menghardik Nûh a.s.

tentang diri anaknya, dengan firman-Nya, ’Sesungguhnya Aku

memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang

yang tidak berpengetahuan.’(QS.Hûd/11:46), maka beliau menangis

195
Ahmad Suyuti, Percik-percik Kesucian, (Jakarta: Pustaka Amani, 1996), h. 147
196
Ibid, h. 14

148
selama tiga ratus tahun hingga di bawah kedua mata beliau ada semacam

anak sungai akibat menangis.”197

Sahabat Abû ‘Ubaidah al-Jarrâh r.a. berkata: “Andaikan saja aku ini

seekor kambing gibas yang kemudian disemblih keluargaku, lalu mereka

memakan dagingku dan menghirup kuahnya.”198

b) Menangis Saat Mendengar atau Membaca al-Qur’an

al-Qur’an adalah bacaan yang luar biasa menakjubkan. Rangkaian

ayat-ayatnya yang merupakan firman Allah sedemikian memiliki daya

tarik kepada setiap orang yang mau mentadabburinya. Mendengarnya

dapat menggetarkan hati dan menambah keimanan. Itulah sebabnya, Nabi

saw. menangis menitikkan air mata saat mendengar ayat-ayat al-Qur’an.

Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Ibrahim bahwa Nabi saw.

pernah berkata kepada ‘Abdullâh bin Mas’ûd: “Bacakanlah (al-Qur’an)

untukku!” Ibnu Mas’ûd berkata: “Apakah saya akan membacakan (al-

Qur’an) kepadamu, padahal kepadamulah (al-Qur’an) diturunkan?” Beliau

menjawab: “Sesungguhnya saya senang mendengar al-Qur’an dari orang

lain.” Lalu Ibn Mas’ûdpun membacakan untuknya dari awal surat An-

Nisa. Ketika sampai pada ayat

‫ﻻ ِء‬
َ ‫ﻋَﻠﻰ ه ُﺆ‬
َ ‫ﻚ‬
َ ‫ﺟ ْﺌ َﻨﺎ ِﺑ‬
ِ ‫ﺸ ِﻬ ْﻴ ٍﺪ َو‬
َ ‫ﻞ ُا ﱠﻣ ٍﺔ ِﺑ‬
‫ﻦ ُآ ﱢ‬
ْ ‫ﺟ ْﺌ َﻨﺎ ِﻣ‬
ِ ‫ﻒ ِا َذا‬
َ ‫َﻓ َﻜ ْﻴ‬
‫ﻬ ْﻴ ًﺪا‬
ِ‫ﺷ‬ َ
Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami
mendatangkan seorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami
mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai
umatmu). (Q.S.al-Nisâ/4:41)

197
Ibn Qudâmah, Minhâj al-Qâsidîn, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1997), Cet. I, h. 399
198
Ibid, h. 400

149
Maka beliaupun menangis.199

Menurut Imam Ibn Katsîr (w. 774 H.), melalui ayat ini Allah

menginformasikan tentang kedahsyatan suasana hari kiamat, yaitu ketika

seluruh nabi dan rasul didatangkan untuk memberikan kesaksian kepada


200
umatnya. Suasana yang menyeramkan dan mencekam itulah yang

membuat tetesan air mata Rasulullah saw. mengalir.

Dari kalangan sahabat, Abû Bakar al-Siddîq r.a. (w.13 H.)yang juga

sekaligus mertua Rasulullah saw. dikenal sebagai orang yang amat mudah

menitikkan air mata saat membaca al-Qur’an, baik di dalam salat ataupun

di luar salat. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan dalam Hadis berikut ini:

‫ﺷ َﺘ ﱠﺪ‬ْ ‫ل َﻟﻤﱠﺎ ا‬ َ ‫ﻦ أَﺑِﻴﻪِ ﻗَﺎ‬ ْ‫ﻋ‬َ ‫ﺧ َﺒ َﺮ ُﻩ‬ ْ ‫ﷲ َأﻧﱠ ُﻪ َأ‬ِ ‫ﻋ ْﺒ ِﺪ ا‬َ ‫ﻦ‬ ِ ‫ﺣ ْﻤ َﺰ َة ْﺑ‬َ ‫ﻦ‬ ْ‫ﻋ‬ َ
‫ل ُﻣﺮُوا َأﺑَﺎ َﺑ ْﻜ ٍﺮ‬َ ‫ﻼ ِة َﻓﻘَﺎ‬
َ‫ﺼ‬ ‫ﻞ َﻟ ُﻪ ﻓِﻲ اﻟ ﱠ‬ َ ‫ َو‬ρ ‫ﷲ‬
َ ‫ﺟ ُﻌ ُﻪ ﻗِﻴ‬ ِ ‫لا‬ ِ ‫ِﺑ َﺮﺳُﻮ‬
‫ﻖ إِذَا َﻗ َﺮَأ‬ ٌ ‫ﻞ رَﻗِﻴ‬
ٌ‫ﺟ‬ُ َ‫ن َأﺑَﺎ َﺑ ْﻜ ٍﺮ ر‬ ‫ﺸ ُﺔ ِإ ﱠ‬
َ ‫ﺖ ﻋَﺎ ِﺋ‬ ْ ‫ﻞ ﺑِﺎﻟﻨﱠﺎسِ ﻗَﺎَﻟ‬ ‫ﺼﱢ‬ َ ‫َﻓ ْﻠ ُﻴ‬
‫ﺼﻠﱢﻲ‬ َ ‫ل ُﻣﺮُو ُﻩ َﻓ ُﻴ‬َ ‫ﺼﻠﱢﻲ َﻓﻌَﺎ َو َد ْﺗ ُﻪ ﻗَﺎ‬ َ ‫ل ُﻣﺮُو ُﻩ َﻓ ُﻴ‬ َ ‫ﻏَﻠ َﺒ ُﻪ ا ْﻟ ُﺒﻜَﺎ ُء ﻗَﺎ‬
َ
201
‫ﻒ‬
َ ‫ﺳ‬ ُ ‫ﺐ ﻳُﻮ‬ُ ‫ﺣ‬ِ ‫ﺻﻮَا‬ َ ‫ِإﻧﱠ ُﻜﻦﱠ‬
Dari Hamzah bin ‘Abdullâh, sesungguhnya ia mengkhabarkan dari
ayahnya, ia berkata: Ketika Nabi menderita sakit (yang
menghantarkannya kepada kematian), dikatakan kepada beliau (untuk
menjadi imam) dalam salat. Beliau bersabda: “Perintahkanlah Abû Bakar
agar salat (dan menjadi imam) bersama yang lain!” ‘Aisyah berkata:
“Sesungguhnya Abû Bakar adalah seorang yang lembut (mudah sedih).
Jika ia membaca al-Qur’an, niscaya selalu menangis.” Beliau bersabda
kembali: “Perintahkanlah ia (Abû Bakar) untuk (memimpin) salat!”
‘Aisyahpun mengulangi perkataannya. Nabi bersabda lagi:
“Perintahkanlah ia (Abu Bakar) untuk (memimpin) salat. Sesungguhnya
kalian (para wanita) bagaikan orang-orang yang hidup pada masa Nabi
Yûsuf.” (H.R. al-Bukhârî dan Ibn Mâjah)
Itulah Abû Bakar al-Siddîq r.a. (w.13 H.), sahabat Rasulullah yang

199
Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, kitâb al-Masâjid wa Mawâd’i al-Salâh Bâb Istihbâb
Qirâ’ah al-Qur’ân ‘alâ Ahl al-Fadl wa al-Hudzdzâq, h. 320
200
Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm., Juz 1, h. 498
201
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 1, Kitâb al-Adzân Bâb Ahl al-‘Ilm wa al-Fadl Haqq
bi al-Imâmah, h. 165 & 167; Bâb Idzâ Sallâ Tsumma Amma Qaumah, h.174; Bâb Idzâ Bakâ al-
Imâm fî al-Salâh, h. 176; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 1, Kitâb Iqâmah al-Salâh wa al-
Sunnah fîh Bâb Mâ Jâ’a fî Salah Rasul al-Lâh saw. Fî Maradih, no. Hadis 1232, h. 389

150
mudah bersedih, berhati lembut, banyak mencucurkan air mata, yang

seandainya ditimbang dengan umat ini, niscaya dia akan menyalahkan

semuanya. Dia merupakan orang yang paling mulia sepeninggal Nabi

Muhammad saw. dan juga para nabi. Dia orang yang banyak memiliki

kelebihan dan keutamaan yang sangat populer. Tentang dirinya, Allah

pernah berfirman:

‫ﻲ‬
َ ‫ﻦ َآ َﻔ ُﺮ ْوا َﺛﺎ ِﻧ‬ َ ‫ﺟ ُﻪ اﱠﻟ ِﺬ ْﻳ‬
َ ‫ﺧ َﺮ‬ ْ ‫ﷲ ِا ْذ َا‬ ُ ‫ﺼ َﺮ ُﻩ ا‬ َ ‫ﺼ ُﺮ ْو ُﻩ َﻓ َﻘ ْﺪ َﻧ‬
ُ ‫ﻻ َﺗ ْﻨ‬ ‫ِا ﱠ‬
‫ﷲ َﻣ َﻌ َﻨﺎ‬ َ ‫نا‬ ‫ن ِا ﱠ‬
ْ ‫ﺤ َﺰ‬ْ ‫ﻻ َﺗ‬ َ ‫ﺣ ِﺒ ِﻪ‬
ِ ‫ﺼﺎ‬ َ ‫ل ِﻟ‬ ُ ‫ﻦ ِا ْذ ُه َﻤﺎ ِﻓﻲ ا ْﻟ َﻐﺎ ِر ِا ْذ َﻳ ُﻘ ْﻮ‬
ِ ‫ا ْﺛ َﻨ ْﻴ‬
‫ﻞ َآِﻠ َﻤ َﺔ‬ َ ‫ﺠ ُﻨ ْﻮ ٍد ﻟ ﱠﻢ ْ َﺗ َﺮ ْو َهﺎ َو‬
َ ‫ﺟ َﻌ‬ ُ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َوَا ﱠﻳ َﺪ ُﻩ ِﺑ‬
َ ‫ﺳ ِﻜ ْﻴ َﻨ َﺘ ُﻪ‬
َ ‫ﷲ‬
ُ ‫لا‬ َ ‫َﻓَﺎ ْﻧ َﺰ‬
‫ﺣ ِﻜ ْﻴ ٌﻢ‬
َ ‫ﻋ ِﺰ ْﻳ ٌﺰ‬
َ ُ ‫ﻲ ا ْﻟ ُﻌ ْﻠ َﻴﺎ َواﷲ‬ َ ‫ﷲ ِه‬ ِ ‫ﺴ ْﻔَﻠﻰ َو َآِﻠ َﻤ ُﺔ ا‬ ‫ﻦ َآ َﻔ ُﺮوا اﻟ ﱡ‬ َ ‫اﱠﻟ ِﺬ ْﻳ‬

Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya
Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin
Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua
orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada
temannya: "Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta
kita." Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad) dan
membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah
menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat
Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S.
al-Taubah/9:40)
‘Umar bin Khattâb r.a. (w. 23 H.) pernah mendengar suatu ayat

yang dibaca, lalu dia jatuh sakit hingga beberapa hari. Lalu pada suatu hari

ia mengambil segenggam tanah, seraya berkata: “Andaikan saja aku

menjadi tanah seperti ini. Andaikan saja aku bukan sesuatu yang diingat.

Andaikan saja ibuku tidak pernah melahirkanku.” Sementara di wajahnya

saat itu terlihat dua garis hitam karena banyak meangis.202

Suatu ketika Fudail bin Iyâd (w. 187 H.) membaca al-Qur’an

202
Ibn Qudâmah, Minhâj al-Qâsidîn, h. 399

151
dengan wajah bersedih, penuh rasa harap, pelan dan lamban seolah-olah ia

berbicara dengan seseorang. Jika beliau membaca ayat yang menceritakan

keadaan surga, beliau mengulanginya. Begitulah cara beliau berinteraksi

dengan kalam Ilahi, penuh kesungguhan untuk dapat menyerap mutiara-

mutiara tak ternilai harganya yang dapat menggetarkan kalbu dan

meneteskan air mata.

c). Menangis saat Berzikir kepada Allah dalam Kesendirian

Rasulullah saw. menyatakan bahwa seseorang yang mengingat

(berzikir) dalam kesendirian sehingga mencucurkan air mata akan

mendapatkan naungan Allah di hari kiamat.

‫ﻇﱢﻠ ِﻪ َﻳ ْﻮ َم‬
ِ ‫ﷲ ﻓِﻲ‬ ُ ‫ﻈﻠﱡ ُﻬ ْﻢ ا‬ ِ ‫ﺳ ْﺒ َﻌ ٌﺔ ُﻳ‬
َ ‫ل‬ َ ‫ ﻗَﺎ‬ρ ‫ﻲ‬ ‫ﻦ اﻟﱠﻨ ِﺒ ﱢ‬ْ‫ﻋ‬ َ ‫ﻦ َأﺑِﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة‬ ْ‫ﻋ‬ َ
‫ﻞ‬ٌ‫ﺟ‬ ُ ‫ﻋﺒَﺎ َد ِة َرﱢﺑ ِﻪ َو َر‬ِ ‫ﺸَﺄ ﻓِﻲ‬ َ ‫ب َﻧ‬ ‫ل َوﺷَﺎ ﱞ‬ ُ ‫ﻹﻣَﺎ ُم ا ْﻟﻌَﺎ ِد‬ِ ‫ﻇﻠﱡ ُﻪ ا‬
ِ ‫ﻻ‬ ‫ﻞ ِإ ﱠ‬
‫ﻇﱠ‬ِ ‫ﻻ‬ َ
‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ‬
َ ‫ﺟﺘَﻤَﻌَﺎ‬ ْ‫ﷲا‬ ِ ‫ن َﺗﺤَﺎﺑﱠﺎ ﻓِﻲ ا‬ ِ‫ﻼ‬ َ‫ﺟ‬ ُ ‫ﺟ ِﺪ َو َر‬ ِ ‫ﻖ ﻓِﻲ ا ْﻟ َﻤﺴَﺎ‬ ٌ ‫َﻗ ْﻠُﺒ ُﻪ ُﻣﻌَﱠﻠ‬
‫ل‬
َ ‫ل َﻓﻘَﺎ‬ ٍ ‫ﺟﻤَﺎ‬
َ ‫ﺐ َو‬ ٍ ‫ﺼ‬ ِ ‫ت َﻣ ْﻨ‬ ُ ‫ﻃَﻠ َﺒ ْﺘ ُﻪ ا ْﻣ َﺮَأ ٌة ذَا‬
َ ‫ﻞ‬ ٌ‫ﺟ‬ ُ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َر‬َ ‫َو َﺗ َﻔ ﱠﺮﻗَﺎ‬
‫ﺷﻤَﺎُﻟ ُﻪ ﻣَﺎ‬ ِ ‫ﻻ َﺗ ْﻌَﻠ َﻢ‬ َ ‫ﺣﺘﱠﻰ‬ َ ‫ﺧﻔَﻰ‬ ْ َ‫ق أ‬
َ ‫ﺼ ﱠﺪ‬َ ‫ﻞ َﺗ‬ ٌ‫ﺟ‬ ُ ‫ﷲ َو َر‬ َ ‫فا‬ ُ ‫ِإﻧﱢﻲ َأﺧَﺎ‬
203
‫ﺖ ﻋَ ْﻴﻨَﺎ ُﻩ‬
ْ ‫ﺿ‬ َ ‫ﷲ ﺧَﺎِﻟﻴًﺎ َﻓﻔَﺎ‬ َ ‫ﻞ َذ َآ َﺮ ا‬ ٌ‫ﺟ‬ ُ ‫ﻖ َﻳﻤِﻴُﻨ ُﻪ َو َر‬ ُ ‫ُﺗ ْﻨ ِﻔ‬
Dari Abû Hurairah r.a. dari Nabi saw., beliau bersabda: Ada tujuh
golongan yang akan dinaungi oleh Allah di dalam naungan-Nya pada saat
tidak ada naungan selain naungan-Nya, yaitu: (1) imam (pemimpin) yang
adil, (2) pemuda yang senantiasa beribadah kepada Allah, (3) seseorang
yang hatinya selalau dipertautkan dengan masjid, (4) dua orang yang
saling mencintai karena Allah. Mereka berkumpul dan berpisah karena
Allah, (5) seseorang yang dibujuk oleh seorang (wanita) yang berpangkat
dan cantik (untuk melakukan zina), maka dia mengatakan, ‘Sesungguhnya
aku takut kepada Allah.’ (6) seseorang yang bersedekah lalu dia
menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang

203
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 1, Kitâb al-Adzân Bâb Man Jalasa fî al-Masjid
Yantaziru al-Salâh wa Fadl al-Masâjid, h. 160-161, Juz 7, Kitâb al-Riqâq Bâb Min Khasy-yah al-
Lâh, h. 185; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Zakâh Bâb Fadl Ikhfâ al-Sadaqah, h. 412; al-
Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 4, Abwâb al-Zuhd Bâb Mâ Jâ’a fî al-Hubb fi al-Lâh, no. Hadis
2499, h. 24-25; al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb Adab al-Qudâh Bâb al-Imâm al-‘Âdil, no.
Hadis 5390, h. 851; Mâlik, al-Muwatta, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 1993), Cet.I, h. 726; Ahmad, al-
Musnad, Juz 1, h. 374; ‘Abdullâh bin al-Mubârak, al-Zuhd waal-Raqâ’iq, Bâb fadl Dzikr al-lâh
‘Azza wa Jalla, h. 550-551

152
diinfakkan oleh tangan kanannya, dan (7) orang yang mengingat
(berdzikir kepada) Allah dalam kesedirian sehingga meneteskan air
mata.(H.R. al-Bukhârî, Muslim, al-Tirmidzî, al-Nasâ’î, Mâlik, dan
Ahmad)
Seorang muslim yang menyendiri dengan Rabb-nya dengan

mengakui segala kemaksiatan, kejahatan, dan berbagai dosa yang telah

dilakukannya, mengingat dan menyebut Pencipta dan Penguasa dirinya

seraya bersimpuh memohon ampunan-Nya, bertaubat di hadapan-Nya,

dan benar-benar sangat menyesal. Siapa saja orang yang berperilaku

seperti tersebut, maka tetesan air matanya akan mengalir karena

keikhlasan dirinya bersimpuh di hadapan Sang Khalik.

Dalam hadis yang lain, Rasulullah saw. menganjurkan agar

seseorang selalu menangisi segala dosa dan kesalahannya agar dapat

meraih kesuksesan.

‫ﻚ‬
ْ ‫ل َأ ْﻣِﻠ‬
َ ‫ﷲ ﻣَﺎ اﻟ ﱠﻨﺠَﺎةُ؟ ﻗَﺎ‬ ِ ‫لا‬َ ‫ﺳ ْﻮ‬
ُ ‫ﺖ ﻳَﺎ َر‬ ُ ‫ل ُﻗ ْﻠ‬
َ ‫ﻦ ﻋَﺎ ِﻣ ٍﺮ ﻗَﺎ‬ ِ ‫ﻋ ْﻘ َﺒ َﺔ ْﺑ‬
ُ ‫ﻦ‬ْ‫ﻋ‬ َ
204
‫ﻚ‬
َ ‫ﻄ ْﻴ َﺌ ِﺘ‬
ِ‫ﺧ‬َ ‫ﻚ ﻋَﻠَﻰ‬ ِ ‫ﻚ َو َأ ْﺑ‬
َ ‫ﻚ َﺑ ْﻴ ُﺘ‬
َ ‫ﺴ ْﻌ‬
َ ‫ﻚ َو ْﻟ َﻴ‬َ ‫ﻚ ِﻟﺴَﺎ َﻧ‬ َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ‬
َ
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir ia berkata: Saya bertanya: “Ya Rasulullah,
Bagaimana caranya untuk mendapatkan keberhasilan itu?” Beliau
menjawab: “Tahanlah lisanmu (agar hanya kebaikan yang keluar darinya),
hendaknya rumahmu memberikan keluasan kepadamu (nyman tinggal di
rumah), dan menangislah atas segala kesalahanmu!”(H.R. al-Tirmidzî)

Dengan demikian, zikir dalam kesendirian dapat melembutkan hati

dan mencairkan kebekuan. Zikirlah yang mencucurkan air mata dan

melembutkan kejumudan mata. Zikir jugalah yang hanya mampu

memberikan ketenangan dan kedamaian hati seorang muslim.

‫ﻦ‬
‫ﻄ َﻤ ِﺌ ﱡ‬
ْ ‫ﷲ َﺗ‬
ِ ‫ﻻ ِﺑ ِﺬ ْآ ِﺮ ا‬
َ ‫ﷲ َأ‬
ِ ‫ﻦ ُﻗﻠُﻮ ُﺑ ُﻬ ْﻢ ِﺑ ِﺬ ْآ ِﺮ ا‬
‫ﻄ َﻤ ِﺌ ﱡ‬
ْ ‫ﻦ ءَاﻣَﻨُﻮا َو َﺗ‬
َ ‫اﱠﻟﺬِﻳ‬
204
al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 4, Abwâb al-Zuhd Bâb Mâ Jâ’a fî Hifz al-Lisân,
no. Hadis 2517, h. 31; ‘Abdullâh bin al-Mubârak, al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, Bâb Mâ Jâ’a fî al-Huzn
wa al-Bukâ, h.132; Kualitas Hadis ini hasan.

153
‫ب‬
ُ ‫ا ْﻟ ُﻘﻠُﻮ‬
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi
tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat
Allah-lah hati menjadi tenteram. (Q.S. al-Ra’d/13:28)

d). Menangis saat Menegakkan Salat

Salat adalah kondisi terdekat antara seorang hamba dengan Sang

Khalik. Dalam shalat, seorang hamba memiliki kesempatan untuk

berdialog, bermunajat, serta menyampaikan segala keluhannya kepada

Allah swt. itulah sebabnya, salat bagi Rasulullah, dan juga selayaknya bagi

umat Islam, menjadi sesuatu yang sangat disenangi. Hal ini dapat dilihat

dari ketekunan dan kekhusyuan beliau dalam menegakkan salat.

Dalam sebuah Hadis disebutkan:

ρ ‫ﷲ‬
ِ ‫ل ا‬
َ ‫ﺖ َرﺳُﻮ‬ ُ ‫ل َرَأ ْﻳ‬
َ ‫ﻦ أَﺑِﻴﻪِ ﻗَﺎ‬
ْ‫ﻋ‬َ ‫ف‬ ٍ ‫ﻄ ﱢﺮ‬َ ‫ﻦ ُﻣ‬ ْ‫ﻋ‬
َ ‫ﺖ‬
ٍ ‫ﻦ ﺛَﺎ ِﺑ‬
ْ‫ﻋ‬َ
205
ρ ‫ﻦ ا ْﻟ ُﺒﻜَﺎ ِء‬
ْ ‫ﺻ ْﺪ ِر ِﻩ أَزِﻳ ٌﺰ َآَﺄزِﻳ ِﺰ اﻟ ﱠﺮﺣَﻰ ِﻣ‬
َ ‫ﺼﻠﱢﻲ َوﻓِﻲ‬ َ ‫ُﻳ‬
Dari Tsâbit dari Mutarrif dari Ayahnya, ia berkata: Saya melihat
Rasulullah saw. sedang salat dan di dalam rongga dadanya terdengar suara
seperti suara orang yang berjalan kaki karena tangisnya. (H.R. Abû
Dâwûd)
Dalam riwayat lain disebutkan:

‫س َﻳ ْﻮ َم َﺑ ْﺪ ٍر‬
ٌ ِ‫ن ﻓِﻴﻨَﺎ ﻓَﺎر‬ َ ‫ل ﻣَﺎ آَﺎ‬ َ ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ‬
َ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﻲا‬ َ‫ﺿ‬ ِ ‫ﻲ َر‬ ‫ﻋِﻠ ﱟ‬ َ ‫ﻦ‬ ْ‫ﻋ‬ َ
ρ‫ﷲ‬ ِ ‫لا‬ َ ‫ﻻ َرﺳُﻮ‬‫ﻻ ﻧَﺎﺋِ ٌﻢ ِإ ﱠ‬‫ﻏ ْﻴ ُﺮ ا ْﻟ ِﻤ ْﻘﺪَا ِد َوَﻟ َﻘ ْﺪ َرَأ ْﻳ ُﺘﻨَﺎ َوﻣَﺎ ِﻓﻴﻨَﺎ ِإ ﱠ‬
َ
206
.‫ﺢ‬َ ‫ﺻ َﺒ‬
ْ ‫ﺣﺘﱠﻰ َأ‬ َ ‫ﺼﻠﱢﻲ وَﻳَ ْﺒﻜِﻲ‬ َ ‫ﺠ َﺮ ٍة ُﻳ‬ َ‫ﺷ‬ َ ‫ﺖ‬ َ ‫ﺤ‬ ْ ‫َﺗ‬
Dari ‘Alî bin Abî Tâlib r.a. dia berkata: “Pada waktu perang Badar,
di antara kami tidak terdapat penunggang kuda kecuali Miqdad. Dan aku
melihat tidak ada seorangpun di antara kami yang terbangun kecuali
Rasulullah saw. yang tengah berada di bawah pohon sedang mengerjakan
shalat dan menangis sampai pagi hari.” ( H.R. Ahmad)

205
Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd., Jilid 1, Kitâb al-Salâh Bâb al-Bukâ fî al-Salâh, no.
Hadis 904, h. 238; Lihat juga ‘Abdullâh bin al-Mubârak, al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, Bâb Mâ Jâ’a fî
Fadl al-‘Ibâdah, h. 123
206
Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, Juz 1, h. 125

154
Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Ibn Khuzaimah dalam kitab

“Sahîh”-nya kitab “al-Salâh” bab “al-Dalîl ‘alâ anna al-bukâ lâ yaqta’ al-

Salâh” no.899 dan dia menilainya sahih.. Ibn Hibbân juga meriwayatkan

dalam “Kitab al-Salâh” bab “Dzikr Ibâha al-bukâ fi al-Salâh” no.2254, dan

dia menilainya sahih.207

Hadis di atas menunjukkan bahwa menangis dalam salat tidak

membatalkan salat, bahkan dianjurkan karena dicontohkan oleh

Rasulullah. Tangisan dalam salat boleh jadi menunjukkan kekhusyuan

pelakunya. Namun yang harus ditekankan adalah hendaknya tangisan itu

tidak semata-mata terjadi dalam salat, namun harus berimplikasi secara

positif dalam kehidupan sehari-hari, baik secara individual maupun sosial.

e). Menangis saat Mendengar Nasehat

Para sahabat Rasulullah saw. adalah orang-orang yang sedemikian

konsentrasi saat teladan mereka mereka bertutur. Mereka sangat meyakini

bahwa segala yang keluar dari lisannya adalah kebenaran yang dapat

dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan demi meraih kebahagiaan

sejati di dunia dan akhirat. Dalam sebuah riwayat diceritakan betapa para

sahabat tak mampu membendung tetesan air mata dari kelopak mata

mereka saat Rasulullah menyampaikan nasehat-nasehatnya.

‫ﻦ‬
َ ‫ﺣ ْﻴ‬
ِ ‫ج‬ َ ‫ﺧ َﺮ‬ َ ρ‫ﻲ‬ ‫ن اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱠ‬
‫ﻋ ْﻨ ُﻪ َأ ﱠ‬
َ ‫ﷲ‬ُ ‫ﻲا‬ َ‫ﺿ‬ ِ ‫ﻚ َر‬ ٍ ‫ﻦ ﻣَﺎِﻟ‬ ِ ‫ﺲ ْﺑ‬ ِ ‫ﻦ َأ َﻧ‬ْ‫ﻋ‬َ
‫ﺳﱠﻠ َﻢ ﻗَﺎ َم ﻋَﻠَﻰ ا ْﻟ ِﻤ ْﻨ َﺒ ِﺮ َﻓ َﺬ َآ َﺮ‬ َ ‫ﻈ ْﻬ َﺮ َﻓَﻠﻤﱠﺎ‬‫ﺼﻠﱠﻰ اﻟ ﱡ‬ َ ‫ﺲ َﻓ‬ ُ ‫ﺖ اﻟﺸﱠ ْﻤ‬ ِ ‫ﻏ‬ َ ‫زَا‬
‫ﺐ‬
‫ﺣ ﱠ‬ َ ‫ﻦ َأ‬ ْ ‫ل َﻣ‬ َ ‫ﻋﻈَﺎﻣًﺎ ُﺛﻢﱠ ﻗَﺎ‬ ِ ‫ﻦ َﻳ َﺪ ْﻳﻬَﺎ ُأ ُﻣ ْﻮرًا‬
َ ‫ن َﺑ ْﻴ‬ ‫ﻋ َﺔ َو َذ َآ َﺮ َأ ﱠ‬ َ ‫اﻟﺴﱠﺎ‬
‫ﻲ ٍء‬ْ ‫ﺷ‬ َ ‫ﻦ‬ ْ‫ﻋ‬ َ ‫ﻲ‬ ْ ‫ﺴَﺄُﻟ ْﻮ ِﻧ‬
ْ ‫ﻻ َﺗ‬ َ ‫ﷲ‬ِ ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ َﻓ َﻮ ا‬
َ ‫ل‬ْ ‫ﺴَﺄ‬
ْ ‫ﻲ ٍء َﻓ ْﻠ َﻴ‬
ْ ‫ﺷ‬َ ‫ﻦ‬ ْ‫ﻋ‬ َ ‫ل‬ َ ‫ﺴَﺄ‬
ْ ‫ن َﻳ‬
ْ ‫َأ‬
207
Khumais As-Sa’id, Menangislah Sebagaimana Rasulullah dan Para Sahabat
Menangis,, h. .92

155
‫س‬
ُ ‫ﺲ َﻓَﺄ ْآ َﺜ َﺮ اﻟﻨﱠﺎ‬ ٌ ‫ل َأ َﻧ‬ َ ‫ﻲ هَﺬَا ﻗَﺎ‬ ْ ‫ﻲ َﻣﻘَﺎ ِﻣ‬ ْ ‫ﺖ ِﻓ‬ ُ ‫ﺧ َﺒ ْﺮُﺗ ُﻜ ْﻢ ِﺑ ِﻪ ﻣَﺎ ُد ْﻣ‬ ْ ‫ﻻ َأ‬
‫ِإ ﱠ‬
‫ﺲ َﻓﻘَﺎ َم‬ٌ ‫ل َأ َﻧ‬ َ ‫ﻲ َﻓﻘَﺎ‬ْ ‫ﺳُﻠ ْﻮ ِﻧ‬
َ ‫ل‬ َ ‫ن َﻳ ُﻘ ْﻮ‬ْ ‫ َأ‬ρ ‫ﷲ‬ ِ ‫لا‬ ُ ‫ﺳ ْﻮ‬ُ ‫ا ْﻟُﺒﻜَﺎ َء َو َأ ْآ َﺜ َﺮ َر‬
‫ﻋ ْﺒ ُﺪ‬
َ ‫ل اﻟﻨﱠﺎ ُر َﻓﻘَﺎ َم‬ َ ‫ﷲ ﻗَﺎ‬ ِ ‫لا‬ َ ‫ﺳ ْﻮ‬ُ ‫ﻲ ﻳَﺎ َر‬ ْ ‫ﺧِﻠ‬
َ ‫ﻦ َﻣ ْﺪ‬ َ ‫ل َأ ْﻳ‬َ ‫ﻞ َﻓﻘَﺎ‬ ٌ‫ﺟ‬ُ َ‫ِإَﻟ ْﻴ ِﻪ ر‬
‫ل‬
َ ‫ﺣﺬَا َﻓ ُﺔ ﻗَﺎ‬ ُ ‫ك‬ َ ‫ل َأُﺑ ْﻮ‬
َ ‫ﷲ ﻗَﺎ‬ ِ ‫لا‬ َ ‫ﺳ ْﻮ‬ ُ ‫ﻲ ﻳَﺎ َر‬ ْ ‫ﻦ َأ ِﺑ‬
ْ ‫ل َﻣ‬ َ ‫ﺣﺬَا َﻓ َﺔ َﻓﻘَﺎ‬ ُ ‫ﻦ‬ ُ ‫ﷲ ْﺑ‬ ِ ‫ا‬
‫ل‬
َ ‫ﻋ َﻤ ُﺮ ﻋَﻠَﻰ ُر ْآ َﺒ َﺘ ْﻴ ِﻪ َﻓﻘَﺎ‬ ُ ‫ك‬ َ ‫ﻲ َﻓ َﺒ َﺮ‬ َ ‫ﻲ‬
ْ ‫ﺳُﻠ ْﻮ ِﻧ‬ ْ ‫ﺳُﻠ ْﻮ ِﻧ‬
َ ‫ل‬ َ ‫ن َﻳ ُﻘ ْﻮ‬
ْ ‫ُﺛﻢﱠ َأ ْآ َﺜ َﺮ َأ‬
‫ﺖ‬
َ ‫ﺴ َﻜ‬ َ ‫ل َﻓ‬ َ ‫ﻻ ﻗَﺎ‬ ً ‫ﺳ ْﻮ‬ُ ‫ َر‬ρ ‫ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ‬ َ ‫ﻼ ِم دِﻳْﻨﺎً َو ِﺑ ُﻤ‬ َ‫ﺳ‬ ْ ‫ﷲ رَﺑًّﺎ َو ِﺑﺎْﻹ‬ ِ ‫ﺿ ْﻴﻨَﺎ ﺑِﺎ‬ ِ ‫َر‬
‫ أَ ْوﻟَﻰ َو‬ρ ‫ﷲ‬ ِ ‫لا‬ ُ ‫ﺳ ْﻮ‬
ُ ‫ل َر‬ َ ‫ﻚ ُﺛﻢﱠ ﻗَﺎ‬ َ ‫ﻋ َﻤ ُﺮ َذِﻟ‬ُ ‫ل‬ َ ‫ﻦ ﻗَﺎ‬ َ ‫ﺣ ْﻴ‬ِ ρ‫ﷲ‬ ِ ‫لا‬ ُ ‫ﺳ ْﻮ‬ُ ‫َر‬
‫ﻲ‬
ْ ‫ﺠﻨﱠ ُﺔ َو اﻟﻨﱠﺎ ُر ا ِﻧﻔًﺎ ِﻓ‬ َ ‫ﻲ ا ْﻟ‬
‫ﻋَﻠ ﱠ‬ َ ‫ﺖ‬ ْ ‫ﺿ‬ َ ‫ﻋ ِﺮ‬ ُ ‫ﻲ ِﺑ َﻴ ِﺪ ِﻩ َﻟ َﻘ ْﺪ‬ ْ ‫ﺴ‬ِ ‫ي َﻧ ْﻔ‬ ْ ‫اﱠﻟ ِﺬ‬
‫ﺨ ْﻴ ِﺮ‬ َ ‫ﻲ َﻓَﻠ ْﻢ َأ َر آَﺎ ْﻟ َﻴ ْﻮ ِم ﻓِﻰ ا ْﻟ‬ ْ ‫ﺻﱢﻠ‬ َ ‫ﻂ َو َأﻧَﺎ ُأ‬ ِ ‫ض هَﺬَا ا ْﻟﺤَﺎ ِﺋ‬ ِ ‫ﻋ ْﺮ‬ ُ
208
‫ﺸ ﱢﺮ‬
‫وَاﻟ ﱠ‬
Dari Anas bin Mâlik r.a. (berkata): Sesungguhnya Nabi saw. pernah
keluar saat matahari tergelincir, lalu beliau salat zuhur. Ketika beliau salam
(dari salatnya), beliau berdiri di atas mimbar dan kemudian menyampaikan
hal-hal mengenai hari kiamat. Beliau menyebutkan bahwa menjelang
kedatangan hari kiamat akan datang masalah-masalah yang besar. Lalu
beliau berkata: “Barangsiapa yang ingin bertanya tentang sesuatu, maka
sampaikanlah. Demi Allah, apapun yang kalian tanyakan, niscaya akan aku
jelaskan selama aku masih berada di tempat ini.” Anas berkata: (Saat itu)
orang-orang banyak menangis dan Rasulullah saw. banyak mengatakan
“Bertanyalah kepadaku!” Anas berkata: Lantas seseorang berdiri dan
bertanya: “(Kelak) saya akan masuk ke mana?” Rasul menjawab: “Neraka.”
Lalu ‘Abdullâh bin Huzafah bertanya: “Siapakah ayahku?” Beliau
menjawab: “Ayahmu adalah Huzafah.” Kemudian Rasulullah banyak
berkata: “Bertanyalah kepadaku, bertanyalah kepadaku!”. Lalu Umar duduk
menderum di atas kedua lututnya dan berkata: “Aku rela Allah sebagai
Tuhan-(ku), Islam sebagai agama-(ku), dan Muhammad saw. sebagai rasul-
(ku). Anas berkata: Rasulullah saw. terdiam saat Umar mengucapkan
kalimat tersebut. Kemudian beliau bersabda: Lebih utama. Demi Zat yang
jiwaku berada dalam genggaman-Nya, sungguh baru saja telah diperlihatkan
kepadaku surga dan neraka di sisi dinding ini ketika aku sedang shalat. Aku
belum pernah melihat kebaikan dan keburukan seperti yang terjadi pada hari
ini.”
Dengan riwayat yang lain, Rasulullah saw. menambahkan

sabdanya tersebut dengan kalimat:

208
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 8, Kitâb al-I’tisâm bi al-Kitâb wa al-Sunnah Bâb Mâ
Yukrahu min Katsrah al-Su’âl, h. 143; lihat pula hadis yang semakna pada al-Tirmidzî, Sunan al-
Tirmidzi, Juz 4, Abwâb al-‘Ilm Bâb fî Man Da’â ilâ Hudâ fa utbi’a au ilâ Dalâlah, no. Hadis 2816,
h. 149-150; Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 4, Kitâb al-Sunnah bâb fî Luzûm al-Sunnah, no.
Hadis 4607, h. 200-201; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 1, Kitâb al-Muqaddimah Bâb Ittibâ’
Sunnah al-Khulafâ al-Râsyidîn al-Mahdiyyîn, no. Hadis 42, h. 15-16; al-Dârimî, Sunan al-Dârimî,
Juz 1, Kitâb al-Muqaddimah Bâb Ittibâ’ al-Sunnah, no. Hadis 95, h. 45; Ahmad, Musnad Ahmad,
Juz 4, h. 126-127

156
209
‫ﻼ َوَﻟ َﺒ َﻜ ْﻴ ُﺘ ْﻢ َآﺜِﻴﺮًا‬
ً ‫ﺤ ْﻜ ُﺘ ْﻢ َﻗﻠِﻴ‬
ِ‫ﻀ‬
َ ‫ﻋَﻠ ُﻢ َﻟ‬
ْ ‫ن ﻣَﺎ َأ‬
َ ‫َوَﻟ ْﻮ َﺗ ْﻌَﻠﻤُﻮ‬
Dan seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya
kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” (H.R. Al-Bukhārī &
Muslim)
Menurut Imam al-Nawawî bahwa makna Hadis ini adalah

Rasulullah saw. tidak pernah melihat kebaikan yang lebih banyak

daripada apa yang dilihatnya di surga, dan tiak pernah melihat keburukan

yang lebih banyak daripada yang disaksikannya di neraka. Andaikan saja

para sahabat dan umat Islam yang lain dapat melihat yang beliau lihat pasti

mereka akan sedikit tertawa dan banyak menangis.210

Nasehat seperti inilah yang telah membuat para sahabat mencucurkan

air mata karena mereka membayangkan apa yang akan terjadi dengan

kedahsyatan hari kiamat. Dan jika hari kiamat terjadi, yang mereka

khawatirkan adalah bagaimana mereka mempertanggungjawabkan semua

amal mereka selama di dunia dan ke mana pula Alah akan menempatkan

mereka, surga yang penuh dengan kenikmatan atau neraka yang penuh

dengan segala kepedihan.

B. Keutamaan Menangis

Jika menangis dalam pandangan Rasulullah saw. diperbolehkan bahkan

dianjurkan, maka tentunya hal ini banyak mengandung hikmah atau keutamaan

yang besar bagi umatnya untuk meraih kebahagiaan hakiki di dunia dan di akhirat.

Adapun keutamaan menangis itu adalah sebagai berikut:

1. Menangis dapat memotivasi seseorang untuk banyak merenungi makna

209
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 5, Kitâb Tafsîr al-Qur’ân Bâb Qaulih Lâ Tas’alû
‘an asy-yâ’a in tubda lakum Tasu’kum, h.190; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 2, Kitâb al-Fadâ’il Bâb
tauqîrih saw. waTark Iktsâr Su’âlih ‘ammâ lâ Darûrah ilaih, h. 338
210
Khumais As-Sa’id, Menangislah Sebagaimana Rasulullah saw. dan Para Sahabat
Menangis, h. 20

157
kehidupan sehingga ia akan tekun beribadah.

Dalam berbagai riwayat disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:

“Seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit
211
tertawa dan banyak menangis.”

‫ﺐ‬
َ ‫ﻄ‬ َ‫ﺨ‬ َ ‫ﻲ ٌء َﻓ‬ ْ َ‫ﺻﺤَﺎ ِﺑ ِﻪ ﺷ‬ ْ ‫ﻦ َأ‬ْ‫ﻋ‬ َ ρ‫ﷲ‬ ِ ‫لا‬ َ ‫ل َﺑَﻠ َﻎ َرﺳُﻮ‬ َ ‫ﻚ ﻗَﺎ‬ٍ ‫ﻦ ﻣَﺎِﻟ‬ ِ ‫ﺲ ْﺑ‬ ِ ‫ﻦ َأ َﻧ‬
ْ‫ﻋ‬ َ
‫ﺸ ﱢﺮ َوَﻟ ْﻮ‬‫ﺨ ْﻴ ِﺮ وَاﻟ ﱠ‬ َ ‫ﺠﻨﱠ ُﺔ وَاﻟﻨﱠﺎ ُر َﻓَﻠ ْﻢ َأ َر آَﺎ ْﻟ َﻴ ْﻮ ِم ﻓِﻲ ا ْﻟ‬ َ ‫ﻲ ا ْﻟ‬‫ﻋَﻠ ﱠ‬
َ ‫ﺖ‬ ْ ‫ﺿ‬ َ ‫ﻋ ِﺮ‬ ُ ‫ل‬ َ ‫َﻓﻘَﺎ‬
‫ﻋﻠَﻰ‬ َ ‫ل َﻓﻤَﺎ أَﺗَﻰ‬ َ ‫ﻼ َوَﻟ َﺒ َﻜ ْﻴ ُﺘ ْﻢ َآ ِﺜﻴﺮًا ﻗَﺎ‬ ً ‫ﺤ ْﻜ ُﺘ ْﻢ َﻗﻠِﻴ‬ ِ‫ﻀ‬ َ ‫ﻋَﻠ ُﻢ َﻟ‬ ْ ‫ن ﻣَﺎ َأ‬ َ ‫َﺗ ْﻌَﻠﻤُﻮ‬
‫ﻦ‬
ٌ ‫ﺧﻨِﻴ‬ َ ‫ﺳ ُﻬ ْﻢ َوَﻟ ُﻬ ْﻢ‬َ ‫ل ﻏَﻄﱠﻮْا ُرءُو‬ َ ‫ﺷ ﱡﺪ ِﻣ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ‬ َ ‫ ﻳَ ْﻮ ٌم َأ‬ρ ‫ﷲ‬ ِ ‫لا‬ ِ ‫ب َرﺳُﻮ‬ ِ ‫ﺻﺤَﺎ‬ ْ ‫َأ‬
‫ل‬
َ ‫ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ َﻧﺒِﻴًّﺎ ﻗَﺎ‬
َ ‫ﻼ ِم دِﻳﻨًﺎ َو ِﺑ ُﻤ‬
َ‫ﺳ‬ ْ‫ﻹ‬ ِ ‫ﷲ رَﺑًّﺎ َوﺑِﺎ‬ ِ ‫ل َرﺿِﻴﻨَﺎ ﺑِﺎ‬ َ ‫ﻋ َﻤ ُﺮ َﻓﻘَﺎ‬
ُ ‫ل َﻓﻘَﺎ َم‬َ ‫ﻗَﺎ‬
‫ﻦ‬
َ ‫ﺖ ﻳَﺎ أَﻳﱡﻬَﺎ اﱠﻟﺬِﻳ‬ ْ ‫ن َﻓ َﻨ َﺰَﻟ‬
ٌ‫ﻼ‬ َ ‫ك ُﻓ‬ َ ‫ل َأﺑُﻮ‬ َ ‫ﻦ أَﺑِﻲ ﻗَﺎ‬ ْ ‫ل َﻣ‬ َ ‫ﻞ َﻓﻘَﺎ‬ُ‫ﺟ‬ ُ ‫ك اﻟﺮﱠ‬ َ ‫َﻓﻘَﺎ َم ذَا‬
212
‫ﺴ ْﺆ ُآ ْﻢ‬
ُ ‫ن ُﺗ ْﺒ َﺪ َﻟ ُﻜ ْﻢ َﺗ‬
ْ ‫ﺷﻴَﺎ َء ِإ‬
ْ ‫ﻦ َأ‬ْ‫ﻋ‬َ ‫ﺴَﺄﻟُﻮا‬ ْ ‫ﻻ َﺗ‬َ ‫ﺁ َﻣﻨُﻮا‬
Dari Anas bin Mâlik, dia berkata: pernah disampaikan kepada Rasulullah
saw. sesuatu tentang sahabat-sahabatnya. Lalu beliau berkhutbah seraya berkata:
“Telah diperlihatkan kepadaku surga dan neraka, di mana aku tidak pernah
melihat seperti hari ini dalam hal kebaikan dan keburukan. Seandainya kalian
mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak
menangis.” Anas mengatakan: “Para sahabat Rasulullah saw. pernah didatangi
oleh suatu hari yang lebih memberatkan (menyedihkan) daripada hari itu. Mereka
menutupi kepala mereka dan mereka menangis dengan keras.” Ia (Anas) berkata:
“Umarpun berdiri dan berkata, ‘Aku ridha Allah sebagai Tuhanku, Islam sebagai
agamaku, dan Muhammad sebagai Nabiku.’ Ia berkata: “Lelaki itupun berdiri
kemudian berkata, ‘Siapakah ayahku?’ Ia menjawab, ‘Ayahku adalah Fulan.’
Maka turunlah ayat (Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan
(kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan
kamu). (H.R. al-Bukhârî dan Muslim)

‫ﺳ َﻤ ُﻊ ﻣَﺎ‬ْ ‫ن َوَأ‬
َ ‫ﻻ َﺗ َﺮ ْو‬ َ ‫ إِﻧﱢﻲ أَرَى ﻣَﺎ‬ρ ‫ﷲ‬ ِ ‫لا‬ ُ ‫ل َرﺳُﻮ‬ َ ‫ل ﻗَﺎ‬ َ ‫ﻦ َأﺑِﻲ َذ ﱟر ﻗَﺎ‬ ْ‫ﻋ‬
َ
‫ﺿ ُﻊ َأ ْر َﺑ ِﻊ‬
ِ ‫ﻂ ﻣَﺎ ﻓِﻴﻬَﺎ َﻣ ْﻮ‬ ‫ن َﺗ ِﺌ ﱠ‬
ْ ‫ﺣﻖﱠ ﻟَﻬَﺎ َأ‬ ُ ‫ﺴﻤَﺎ ُء َو‬ ‫ﺖ اﻟ ﱠ‬ ْ ‫ﻃ‬‫ن َأ ﱠ‬ َ ‫ﺴ َﻤﻌُﻮ‬ ْ ‫ﻻ َﺗ‬
َ
‫ﻋَﻠ ُﻢ‬
ْ ‫ن ﻣَﺎ َأ‬ َ ‫ﷲ َﻟ ْﻮ َﺗ ْﻌَﻠﻤُﻮ‬
ِ ‫ﷲ وَا‬ ِ ‫ﺟﺪًا‬ ِ ‫ﺟ ْﺒ َﻬ َﺘ ُﻪ ﺳَﺎ‬
َ ‫ﻚ وَاﺿِ ٌﻊ‬ ٌ ‫ﻻ َو َﻣَﻠ‬‫َأﺻَﺎ ِﺑ َﻊ ِإ ﱠ‬
‫ش‬
ِ ‫ﻋﻠَﻰ ا ْﻟ ُﻔ ُﺮ‬ َ ِ‫ﻼ َوَﻟ َﺒ َﻜ ْﻴ ُﺘ ْﻢ َآﺜِﻴﺮًا َوﻣَﺎ َﺗَﻠ ﱠﺬ ْذ ُﺗ ْﻢ ﺑِﺎﻟ ﱢﻨﺴَﺎء‬ ً ‫ﺤ ْﻜ ُﺘ ْﻢ َﻗﻠِﻴ‬ِ‫ﻀ‬َ ‫َﻟ‬
211
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî,, Juz 7, Kitâb al-Riqâq Bâb Qaul al-Nabî saw. Lau
ta’lamûna mâ A’lamu, hal.186 & Juz 7 kitâb al-Aimân wa al-Nudzûr Bâb Kaif Kânat yamîn al-
Nabî saw., h.218-219; al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî., Juz 3, Abwâb al-Zuhd Bâb Mâ Jâ’a fi Qaul
al-Nabî saw. Lau ta’lamûna mâ A’lamu, no. Hadis 2414, h. 380-381; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah,
Juz 2, Kitâb al-Zuhd Bâb al-Huzn wa al-Bukâ, no. Hadis 4190 & 4191, h. 1402; Ahmad, al-
Musnad, Jilid 2, h. 257. Menurut Imam al-Tirmidzî, nilai Hadis ini adalah sahih
212
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 5, Kitâb Tafsîr al-Qur’ân Bâb Qaulih Ta’âlâ lâ
Tas’alû ‘an Asy-yâ’a in Tubda lakum Tasu’kum, h.190; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 2, Kitâb al-
Fadâ’il Bâb Tauqîrih saw. Wa Tark Iktsâr Su’âlih ‘ammâ lâ darûrah ilaih, h. 338

158
‫ﺠ َﺮ ًة‬
َ‫ﺷ‬
َ ‫ﺖ‬
ُ ‫ت أَﻧﱢﻲ ُآ ْﻨ‬
ُ ‫ﷲ َﻟ َﻮ ِد ْد‬
ِ ‫ن ِإﻟَﻰ ا‬
َ ‫ﺠَﺄرُو‬
ْ ‫ت َﺗ‬
ِ ‫ﺼ ُﻌﺪَا‬
‫ﺟ ُﺘ ْﻢ إِﻟَﻰ اﻟ ﱡ‬
ْ ‫ﺨ َﺮ‬َ ‫َوَﻟ‬
213
‫ﻀ ُﺪ‬
َ ‫ُﺗ ْﻌ‬
Dari Abû Dzar ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya aku
melihat apa yang tidak kalian lihat dan aku mendengar apa yang kalian tidak
dengar. Langit telah berkeriut dan itu memang sudah menjadi haknya. Di sana
tidak ada tempat untuk menyisipkan empat jari melainkan di sana ada malaikat
yang meletakkan dahinya untuk bersujud kepada Allah. Demi Allah, seandainya
kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan
banyak menangis, kalian juga tidak akan bersenang-senang dengan wanita (istri)
di tempat tidur, kalianpun akan keluar ke jalan-jalan untuk memohon pertolongan
kepada Allah” (H.R. At-Tirmiżī dan Ibn Mājah)
Melalui Hadis-hadis di atas dan yang senada dengannya, Nabi Muhammad

saw. ingin menegaskan, bahwa seandainya manusia mengetahui berbagai siksaan

dan kepedihan yang Allah berikan kepada para pendurhaka serta hiruk pikuknya

hari penghitungan kelak, pasti mereka akan sedikit tertawa dan lebih banyak

menangis. Artinya, rasa takut (khauf) mereka berada di atas rasa harap (rajâ)

mereka. Menurut al-Hâfiz, bahwa yang dimaksud dengan pengetahuan di sini

adalah terkait dengan keagungan Allah, siksa bagi para pendurhaka, huru-hara

atau kepelikan yang terjadi saat kematian, saat di alam kubur, dan hari kiamat

kelak.214

2. Menangis dapat menyebabkan seseorang mendapatkan naungan Allah di hari

kiamat. Dalam salah sebuah riwayat disebutkan:

‫ﻇﱢﻠ ِﻪ َﻳ ْﻮ َم‬
ِ ‫ﷲ ﻓِﻲ‬ ُ ‫ﻈﻠﱡ ُﻬ ْﻢ ا‬
ِ ‫ﺳ ْﺒ َﻌ ٌﺔ ُﻳ‬ َ ‫ ﻗَﺎ‬ρ ‫ﻲ‬
َ ‫ل‬ ‫ﻦ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ‬ْ‫ﻋ‬َ ‫ﻦ أَﺑِﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة‬ ْ‫ﻋ‬ َ
‫ﻞ‬
ٌ‫ﺟ‬ ُ ‫ﻋﺒَﺎ َد ِة َر ﱢﺑ ِﻪ َو َر‬
ِ ‫ﺸَﺄ ﻓِﻲ‬ َ ‫ب َﻧ‬ ‫ل َوﺷَﺎ ﱞ‬ ُ ‫ﻹﻣَﺎ ُم ا ْﻟﻌَﺎ ِد‬
ِ ‫ﻇﻠﱡ ُﻪ ا‬
ِ ‫ﻻ‬ ‫ﻞ ِإ ﱠ‬
‫ﻇﱠ‬ِ ‫ﻻ‬ َ
‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ‬
َ ‫ﺟ َﺘ َﻤﻌَﺎ‬ ْ‫ﷲ ا‬ ِ ‫ن َﺗﺤَﺎﺑﱠﺎ ﻓِﻲ ا‬ ِ‫ﻼ‬َ‫ﺟ‬ ُ ‫ﺟ ِﺪ َو َر‬ ِ ‫ﻖ ﻓِﻲ ا ْﻟ َﻤﺴَﺎ‬ ٌ ‫َﻗ ْﻠ ُﺒ ُﻪ ُﻣﻌَﱠﻠ‬
‫ل ِإﻧﱢﻲ‬ َ ‫ل َﻓﻘَﺎ‬ ٍ ‫ﺟﻤَﺎ‬َ ‫ﺐ َو‬ٍ ‫ﺼ‬ ِ ‫ت َﻣ ْﻨ‬ ُ ‫ﻃَﻠ َﺒ ْﺘ ُﻪ ا ْﻣ َﺮَأ ٌة ذَا‬
َ ‫ﻞ‬ٌ‫ﺟ‬ُ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َر‬
َ ‫وَﺗَﻔَﺮﱠﻗَﺎ‬

213
al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 3, Abwâb al-Zuhd Bâb Mâ Jâ’a fî Qaul al-Nabî
saw. Lau Ta’lamûna mâ A’lamu, no. Hadis 2414, h. 380-381; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2,
Kitâb al-Zuhd Bâb al-Huzn wa al-Bukâ, no. Hadis 4190, h. 1402. Menurut Imam al-Tirmidzî nilai
hadis ini hasan garib.
214
Muh. Abdurrahmân al-Mubarakfûrî, Tuhfah al-Ahwadzî, Juz 6, h. 603

159
‫ﻖ‬
ُ ‫ﺷﻤَﺎُﻟ ُﻪ ﻣَﺎ ُﺗ ْﻨ ِﻔ‬
ِ ‫ﻻ َﺗ ْﻌَﻠ َﻢ‬
َ ‫ﺧﻔَﻰ ﺣَﺘﱠﻰ‬ ْ َ‫ق أ‬ َ ‫ﺼ ﱠﺪ‬َ ‫ﻞ َﺗ‬
ٌ‫ﺟ‬ ُ ‫ﷲ َو َر‬ َ ‫ف ا‬ ُ ‫َأﺧَﺎ‬
215
‫ﺖ ﻋَ ْﻴﻨَﺎ ُﻩ‬
ْ ‫ﺿ‬
َ ‫ﷲ ﺧَﺎﻟِﻴًﺎ َﻓﻔَﺎ‬
َ ‫ﻞ َذ َآ َﺮ ا‬
ٌ‫ﺟ‬ُ ‫َﻳﻤِﻴ ُﻨ ُﻪ َو َر‬
Dari Abû Hurairah r.a. dari Nabi saw., beliau bersabda: Ada tujuh
golongan yang akan dinaungi oleh Allah di dalam naungan-Nya pada saat
tidak ada naungan selain naungan-Nya, yaitu: (1) imam (pemimpin) yang adil,
(2) pemuda yang senantiasa beribadah kepada Allah, (3) seseorang yang
hatinya selalau dipertautkan dengan masjid, (4) dua orang yang saling
mencintai karena Allah. Mereka berkumpul dan berpisah karena Allah, (5)
seseorang yang dibujuk oleh seorang (wanita) yang berpangkat dan cantik
(untuk melakukan zina), maka dia mengatakan, ‘Sesungguhnya aku takut
kepada Allah.’ (6) seseorang yang bersedekah lalu dia menyembunyikannya
sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan
kanannya, dan (7) orang yang mengingat (berzikir kepada) Allah dalam
kesedirian sehingga meneteskan air mata.(H.R. al-Bukhârî, Muslim, al-
Tirmidzî, al-Nasâ’î, Mâlik, dan Ahmad)

Seorang muslim yang menyendiri dengan Rabb-nya dengan mengakui

segala kemaksiatan, kejahatan, dan berbagai dosa yang telah dilakukannya,

mengingat dan menyebut Pencipta dan Penguasa dirinya seraya bersimpuh

memohon ampunan-Nya, bertaubat di hadapan-Nya, dan benar-benar sangat

menyesal. Siapa saja orang yang berperilaku seperti tersebut, maka tetesan air

matanya akan mengalir karena keikhlasan dirinya bersimpuh di hadapan Sang

Khaliq. Dengan demikian, zikir dalam kesendirian dapat melembutkan hati dan

mencairkan kebekuan. Zikirlah yang mencucurkan air mata dan melembutkan

kejumudan mata. Zikir jugalah yang hanya mampu memberikan ketenangan dan

kedamaian hati seorang muslim.

‫ﻦ‬
‫ﻄ َﻤ ِﺌ ﱡ‬
ْ ‫ﷲ َﺗ‬
ِ ‫ﻻ ِﺑ ِﺬ ْآ ِﺮ ا‬
َ ‫ﷲ َأ‬
ِ ‫ﻦ ُﻗﻠُﻮ ُﺑ ُﻬ ْﻢ ِﺑ ِﺬ ْآ ِﺮ ا‬
‫ﻄ َﻤ ِﺌ ﱡ‬
ْ ‫ﻦ ءَا َﻣﻨُﻮا َو َﺗ‬
َ ‫اﱠﻟﺬِﻳ‬
‫ب‬ ُ ‫ا ْﻟ ُﻘﻠُﻮ‬

215
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 1, Kitâb al-Adzân Bâb Man Jalasa fî al-Masjid
Yantaziru al-Salâh wa Fadl al-Masâjid, h. 160-161; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Zakâh
Bâb Fadl Ikhfâ al-Sadaqah, h. 412; al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 4, Abwâb al-Zuhd Bâb Mâ
Jâ’a fî al-Hubb fî al-Lâh, no. Hadis 2500, h. 24-25; al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb Adab al-
Qudâh Bâb al-Imâm al-‘Âdil, no. Hadis 5390, h. 851; Mâlik, al-Muwatta, h. 726; Ahmad, Musnad
Ahmad, Juz 1, h. 374; ‘Abdullâh bin al-Mubârak, al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, Bâb Fadl Dzikr al-Lâh
‘Azza wa Jalla, no. Hadis 1053, h. 550-551

160
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram
dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati
menjadi tenteram. (Q.S. al-Ra’d/13:28)
3. Menangis yang dilakukan karena takut kepada Allah akan membebaskan pelakunya

dari siksa api neraka. Hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.

4. Menangis dapat membantu seseorang dalam mentadabburi al-Qur’an.

Allah memang menganjurkan kepada umat Islam untuk mentadabburi

ayat-ayat al-Qur’an

‫ب َا ْﻗ َﻔﺎُﻟ َﻬﺎ‬
ٍ ‫ﻋَﻠﻰ ُﻗُﻠ ْﻮ‬
َ ‫ن َا ْم‬
َ ‫ن ا ْﻟ ُﻘ ْﺮا‬
َ ‫ﻼ َﻳ َﺘ َﺪ ﱠﺑ ُﺮ ْو‬
َ ‫َا َﻓ‬
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran ataukah hati
mereka terkunci?” (QS. Muhammad/47:24)

Itulah sebabnya, Imam al-Qurtubî (w.567 H.) mengatakan: ”Para ulama

mengatakan: ’Diwajibkan bagi pembaca al-Qur’an untuk menghadirkan hatinya

serta bertafakkur (merenungkan) saat membacanya, karena dia sedang membaca

khitâb (firman) Allah yang ditujukan kepada hamba-hambanya.” Oleh karena itu,

barangsiapa yang membaca al-Qur’an dengan tidak bertafakkur padanya, sedang

dia termasuk orang yang mempunyai kemampuan untuk memahami dan

mentafakkurinya, maka dia sama seperti orang yang tidak membacanya dan tidak

sampai pada tujuan dari bacaannya itu.”216

Rasulullah saw. setiap kali mendengarkan atau membaca Kitabullah senantiasa

menyaksikannya dengan hati dan pemahaman, tidak lengah dan tidak lalai. Kondisi inilah

yang memberikan pengaruh kuat kepada beliau sehingga tatkala Al-Quran dibacakan,

maka beliau akan diliputi rasa takut dan akhirnya meneteskan air mata.

Ibn Hajar al-‘Asqalânî (w.852 H.) mengutip pandangan Imam al-Ghazâlî

216
Khumais As-Sa’id, Menangislah Sebagaimana Rasulullah saw. Dan Para Sahabat
Mmenangis, .h. 51

161
(w.505 H.) yang menyatakan: “Disunahkan menangis saat membaca al-Qur’an.

Dan cara menghadirkan tangis saat membaca al-Qur’an adalah dengan

menghadirkan kepada kalbunya rasa sedih dan rasa takut, dengan merenungi

segala ancaman yang keras dan janji-janji di dalamnya. Kemudian mengingatkan

segala pelanggaran yang dia lakukan dalam hal tersebut. Jika dia tidak bisa

menghadirkan kesedihan, maka hendaklah dia menangis atas hilangnya

kemampuan untuk itu dan menilai hal itu sebagai musibah yang paling parah.” 217

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah saw. pernah menangis

saat merenungi surat Ibrâhîm ayat 36 dan surat al-Mâidah ayat 118 berikut ini:

‫ﻋ ﱠﺰ‬
َ ‫ﷲ‬ ِ ‫لا‬ َ ‫ﻼ َﻗ ْﻮ‬ َ ‫ َﺗ‬ρ ‫ﻲ‬ ‫ن اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱠ‬‫ص َأ ﱠ‬ ِ ‫ﻦ ا ْﻟﻌَﺎ‬ ِ ‫ﻦ ﻋَ ْﻤﺮِو ْﺑ‬ ِ ‫ﷲ ْﺑ‬ ِ ‫ﻋ ْﺒ ِﺪ ا‬ َ ‫ﻦ‬ ْ‫ﻋ‬ َ
‫ﻦ َﺗ ِﺒ َﻌﻨِﻲ‬ْ ‫س َﻓ َﻤ‬ ِ ‫ﻦ اﻟﻨﱠﺎ‬ ْ ‫ﻦ َآﺜِﻴﺮًا ِﻣ‬ َ ‫ﺿَﻠ ْﻠ‬
ْ ‫ب إِﻧﱠ ُﻬﻦﱠ َأ‬ ‫ﻞ ﻓِﻲ ِإ ْﺑﺮَاهِﻴ َﻢ َر ﱢ‬ ‫ﺟﱠ‬َ ‫َو‬
‫ك‬
َ ‫ﻋﺒَﺎ ُد‬ ِ ‫ن ُﺗ َﻌﺬﱢ ْﺑ ُﻬ ْﻢ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻬ ْﻢ‬ْ ‫ﻼم ِإ‬ َ‫ﺴ‬‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ اﻟ ﱠ‬ َ ‫ل ﻋِﻴﺴَﻰ‬ َ ‫َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ ِﻣﻨﱢﻲ اﻵ َﻳ َﺔ َوﻗَﺎ‬
‫ل اﻟﻠﱠ ُﻬﻢﱠ ُأ ﱠﻣﺘِﻲ‬ َ ‫ﺤﻜِﻴ ُﻢ َﻓ َﺮ َﻓ َﻊ َﻳ َﺪ ْﻳ ِﻪ َوﻗَﺎ‬ َ ‫ﺖ ا ْﻟ َﻌﺰِﻳ ُﺰ ا ْﻟ‬َ ‫ﻚ َأ ْﻧ‬َ ‫ن َﺗ ْﻐ ِﻔ ْﺮ َﻟ ُﻬ ْﻢ َﻓِﺈ ﱠﻧ‬
ْ ‫َوِإ‬
‫ﻚ‬
َ ‫ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ َو َر ﱡﺑ‬
َ ‫ﺐ إِﻟَﻰ ُﻣ‬ ْ ‫ﻞ ا ْذ َه‬ ُ ‫ﺟ ْﺒﺮِﻳ‬
ِ ‫ﻞ ﻳَﺎ‬ ‫ﺟﱠ‬َ ‫ﻋ ﱠﺰ َو‬ َ ‫ﷲ‬ ُ ‫لا‬ َ ‫ُأ ﱠﻣﺘِﻲ َو َﺑﻜَﻰ َﻓﻘَﺎ‬
‫ل‬
ُ ‫ﺧ َﺒ َﺮ ُﻩ َرﺳُﻮ‬ ْ ‫ﺴَﺄَﻟ ُﻪ َﻓَﺄ‬ َ ‫ﻼم َﻓ‬ َ‫ﺴ‬ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ اﻟ ﱠ‬
َ ‫ﻞ‬ ُ ‫ﺟ ْﺒﺮِﻳ‬
ِ ‫ﻚ َﻓَﺄﺗَﺎ ُﻩ‬ َ ‫ﺴ ْﻠ ُﻪ ﻣَﺎ ُﻳ ْﺒﻜِﻴ‬ َ ‫ﻋَﻠ ُﻢ َﻓ‬
ْ ‫َأ‬
‫ﻞ‬
ْ ‫ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ َﻓ ُﻘ‬
َ ‫ﺐ إِﻟَﻰ ُﻣ‬ ْ ‫ﻞ ا ْذ َه‬ ُ ‫ﺟ ْﺒﺮِﻳ‬ِ ‫ﷲ ﻳَﺎ‬ ُ ‫لا‬ َ ‫ﻋَﻠ ُﻢ َﻓﻘَﺎ‬
ْ ‫ل َو ُه َﻮ َأ‬ َ ‫ ِﺑﻤَﺎ ﻗَﺎ‬ρ ‫ﷲ‬ ِ ‫ا‬
‫ك‬
َ ‫ﻻ َﻧﺴُﻮ ُء‬ َ ‫ﻚ َو‬ َ ‫ﻚ ﻓِﻲ ُأ ﱠﻣ ِﺘ‬ َ ‫ﺳ ُﻨ ْﺮﺿِﻴ‬ َ ‫ِإﻧﱠﺎ‬
Dari ‘Abdullâh bin ‘Amr bin al-‘As r.a. bahwa Nabi saw. membaca firman
Allah dalam surat Ibrâhîm (Ya Tuhanku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah
menyesatkan kebanyakan manusia. Maka, barangsiapa yang mengikutiku, maka
sesungguhnya orang itu termasuk golonganku…QS.Ibrâhîm:36). Dan Isa a.s
berkata (Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah
hamba-hamba Engkau. Dan jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya
Engkau-lah Yang Mahaperkasa lagi Maha Bijaksana. – QS. al-Mâidah:118-) Lalu
beliau mengangkat kedua tangannya seraya berucap sambil menangis: “Ya Allah,
umatku, umatku!” lalu Allah berfirman: “Wahai Jibril, pergilah kepada
(datangilah) Muhammad, dan Tuhanmu lebih mengetahui, lalu tanyakan
kepadanya, apa yang menyebabkanmu menangis!” Kemudian Jibril mendatangi
beliau dan bertanya kepadanya. Maka Rasulullah saw. memberitahu kepada Jibril
a.s. mengenai apa yang dikatakan, dan Dia lebih mengetahui.Lalu Allah
berfirman: “Wahai Jibril, pergilah kepada (datangilah) Muhammad dan

217
Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî., Juz 10, h. 121

162
katakanlah, ‘Sesungguhnya Kami akan meridhaimu terhadap umatmu dan tidak
akan berbuat buruk kepadamu.’” (H.R. Muslim)218
Menurut Imam al-Nawawî, Hadis di atas mengandung beberapa hal, yaitu:

Pertama: Besarnya rasa kasih sayang yang sempurna serta perhatian Rasul

terhadap kemaslahatan segala urusan umat beliau. Hal ini ditunjukkan dengan

disebutnya umat beliau sambil menangis agar diselamatkan dari siksa Allah.

Kedua: Disunnahkan untuk mengangkat tangan ketika berdoa.

Ketiga: Kabar gembira untuk umat Nabi Muhammad saw. bahwa Allah akan

memperlakukannya dengan sebaik-baiknya.

Keempat: Keagungan kedudukan Nabi saw. di sisi Allah serta besarnya kasih

sayang Allah kepada beliau.219

Imam Ibn Mâjah juga meriwayatkan Hadis yang menganjurkan menangis

saat membaca al-Qur’an

‫ص‬
ٍ ‫ﻦ أَﺑِﻲ َوﻗﱠﺎ‬ ُ ‫ﺳ ْﻌ ُﺪ ْﺑ‬ َ ‫ل َﻗ ِﺪ َم ﻋَﻠَ ْﻴﻨَﺎ‬
َ ‫ﺐ ﻗَﺎ‬ ِ ‫ﻦ اﻟﺴﱠﺎ ِﺋ‬ ِ ‫ﻦ ْﺑ‬ ِ ‫ﺣ َﻤ‬ْ ‫ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟ ﱠﺮ‬ َ ‫ﻦ‬ ْ‫ﻋ‬ َ
‫ﺣﺒًﺎ‬
َ ‫ل َﻣ ْﺮ‬ َ ‫ﺧ َﺒ ْﺮ ُﺗ ُﻪ َﻓﻘَﺎ‬
ْ ‫ﺖ َﻓَﺄ‬
َ ‫ﻦ َأ ْﻧ‬ْ ‫ل َﻣ‬ َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َﻓﻘَﺎ‬
َ ‫ﺖ‬ ُ ‫ﺴﱠﻠ ْﻤ‬ َ ‫ﺼ ُﺮ ُﻩ َﻓ‬ َ ‫َو َﻗ ْﺪ ُآﻒﱠ َﺑ‬
ρ‫ﷲ‬ ِ ‫لا‬ َ ‫ﺖ َرﺳُﻮ‬ ُ ‫ﺳ ِﻤ ْﻌ‬ َ ِ‫ت ﺑِﺎ ْﻟ ُﻘﺮْﺁن‬ ِ ‫ﺼ ْﻮ‬ ‫ﻦ اﻟ ﱠ‬ ُ‫ﺴ‬ َ‫ﺣ‬ َ ‫ﻚ‬ َ ‫ﻦ أَﺧِﻲ َﺑَﻠ َﻐﻨِﻲ َأ ﱠﻧ‬ ِ ‫ﺑِﺎ ْﺑ‬
‫ن َﻟ ْﻢ َﺗ ْﺒﻜُﻮا‬ْ ‫ن َﻓِﺈذَا َﻗ َﺮْأُﺗﻤُﻮ ُﻩ ﻓَﺎ ْﺑﻜُﻮا َﻓِﺈ‬ ٍ ‫ﺤ ْﺰ‬ ُ ‫ل ِﺑ‬ َ ‫ن َﻧ َﺰ‬ َ ‫ن َهﺬَا ا ْﻟ ُﻘ ْﺮﺁ‬ ‫ل ِإ ﱠ‬ُ ‫َﻳﻘُﻮ‬
220
.‫ﺲ ِﻣﻨﱠﺎ‬
َ ‫ﻦ ِﺑ ِﻪ َﻓَﻠ ْﻴ‬
‫ﻦ َﻟ ْﻢ َﻳَﺘ َﻐ ﱠ‬ْ ‫َﻓَﺘﺒَﺎ َآﻮْا َوَﺗ َﻐﱠﻨﻮْا ِﺑ ِﻪ َﻓ َﻤ‬
Dari ‘Abdurrahmân bin al-Sâ’ib ia berkata: “Sa’ad bin Abî Waqqâs datang
kepada kami, dan ketika itu penglihatannya sudah terganggu. Aku mengucapkan
salam kepadanya, lalu ia bertanya: ’Siapa anda? ‘Akupun memberitahu tentang
diriku. Iapun berkata: ’Selamat datang wahai anak saudaraku! Telah sampai berita
kepadaku bahwa engkau memiliki suara yang indah saat membaca al-Qur’an. Aku
telah mendengar Rasulullah saw. bersabda: ‘Sesungguhnya al-Qur’an turun
dengan kesedihan. Jika kalian membacanya, maka menangislah. Jika tidak
menangis, maka hendaklah pura-pura menangis. Merdukanlah bacaan al-Qur’an.
Barangsiapa yang tidak memerdukan al-Qur’an dengan suaranya, maka ia tidak

218
Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Îman Bâb Du’â al-Nabî saw. Li Ummatih wa
Bukâ’ih Syafaqah ‘alaihim, h.107
219
al-Nawawî, Sahîh Muslim bi Syarh al-Nawawî, Jilid 2, h. 80
220
Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 1, Kitâb Iqâmah al-Salâh, Bâb fî Husn al-Saut bi al-
Qur’ân, no. Hadis 1337, h. 424

163
termasuk golongan kami.” (H.R. Ibn Mâjah)
Dan menurut Imam al-Nawawî, menangis saat membaca al-Qur’an adalah

sifat para arifin dan syi’ar para salihin. 221

5. Menangisi segala kesalahan merupakan salah satu kiat meraih kesuksesan.

Seluruh umat Islam, tanpa terkecuali, pasti mengidamkan kebahagiaan

hidup di dunia dan di akhirat yang kekal abadi dalam bentuk surga yang penuh

dengan kenikmatan. Sedangkan neraka yang penuh dengan beragam siksa yang

memedihkan dan menghinakan membuat semua orang tidak pernah

mengharapkannya, bahkan semuanya berdoa agar dihindari dari siksa neraka.

Akan tetapi, kenikmatan dunia yang penuh kesemuan telah menterlenakan dan

menipu manusia dari tujuan hidup yang sebenarnya. Dorongan nafsu dan bisikan

setan telah menyebabkan seseorang tidak lagi melihat akhirat dan menjadikannya

sebagai orientasi hidup dalam jangka panjang. Orientasi hidupnya hanyalah

terbatas pada kehidupan jangka pendek, yaitu yang hanya memberikan

kenikmatan sesaat. Merka menjual kenikmatan yang kekal abadi dengan materi

dunia yang tiada berarti.

Dalam kondisi seperti ini, muhasabah (introspeksi diri) menjadi

sedemikian penting dan berarti dalam kehidupan setiap manusia. Muhasabah

adalah upaya untuk introspeksi diri, menghitung-hitung, atau menimbang amal-

amal yang telah kita lakukan. Aktivitas ini lazimnya dilakukan setiap hari saat

seseorang hendak memejamkan matanya menuju peraduannya. Ia kembali

mengenang segala peristiwa yang terjadi pada hari itu. Ada bahagia dan sengsara,

221
Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî., Juz 10, h. 121

164
ada suka dan duka, ada senang dan marah, ada damai dan galau kesal, ada tenang

dan hiruk pikuk, dan sebagainya. Saat itu, seorang muslim akan menimbang,

berapa banyak dosa yang sudah ia lakukan sehingga menimbulkan murka Sang

Khaliq dan karenanya ia haus beristighfar.. Dan berapa banyak pula kebaikan

yang telah berhasil ia persembahkan sehingga harus disyukuri.

Salah seorang ulama berkata: “Para orang tua kami selalu menghisab diri

dari apa yang mereka perbuat dan apa yang mereka ucapkan, kemudian mereka

menulisnya dalam sebuah daftar. Jika salat isya telah usai, mereka mengeluarkan

daftar amal dan ucapannya kemudian menghisabnya. Jika amalan yang diperbuat

adalah amalan buruk yang perlu istigfar, maka mereka bertaubat dan beristigfar.

Namun jika amalannya adalah amalan yang baik dan perlu disyukuri, maka

merekapun bersyukur kepada Allah hingga mereka tertidur. Dan kamipun

mengikuti jejak mereka. Kami mencatat apa yang kami perbuat dan kami

menghisabnya.”222

Dikisahkan bahwa pada suatu malam seseorang seang tidur di atas tikar

bersama anaknya. Tiba-tiba tubuh anaknya menggigil. Si ayahpun bertanya: “Hai

anakku, apakah engkau sakit?” Anak itu menjawab: “Tidak ayah! Ayah, besok

adalah hari kamis, di mana ustadz akan memeriksa ilmu yang kudapati dalam

seminggu. Aku khawatir ustadz akan menemukan kesalahan dariku sehingga ia

memarahi ataupun memukulku.”

Kemudian sang ayah bangkit dari tidurnya seraya berkata: “Wahai

anakku, aku lebih layak untuk takut menghadapi hari yang ditampakkannya

amalanku di hadapan Allah dengan dosa-dosa yang telah aku perbuat di dunia,

222
Abdurrahman As-Sinjari et.al., Menangis karena Takut pada Allah, h. 33-34

165
sebagaimana firman Allah, ‘Dan mereka akan dibawa ke hadapan Rabb-mu

dengan berbaris. Sesungguhnya kamu datang kepada kami sebagaimana kami

menciptakan kamu pada kali pertama. Bahkan kamu mengatakan bahwa kami

sekali-kali tidak menetapkan bagi kamu waktu (memenuhi) perjanjian.’(QS.al-

Kahfi/18:48)” 223

Oleh karena itu, dalam sebuah kesempatan Rasulullah saw. menganjurkan

agar seseorang selalu menangisi segala dosa dan kesalahannya, bahkan menangis

seperti ini dipandang sebagai salah satu kiat agar dapat meraih kesuksesan. Dalam

sebuah hadis disebutkan:

‫ﻚ‬
َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ‬
َ ‫ﻚ‬
ْ ‫ل َأ ْﻣِﻠ‬
َ ‫ﷲ ﻣَﺎ اﻟ ﱠﻨﺠَﺎةُ؟ ﻗَﺎ‬
ِ ‫لا‬ َ ‫ﺳ ْﻮ‬
ُ ‫ﺖ ﻳَﺎ َر‬
ُ ‫ل ُﻗ ْﻠ‬
َ ‫ﻦ ﻋَﺎ ِﻣ ٍﺮ ﻗَﺎ‬ ِ ‫ﻋ ْﻘ َﺒ َﺔ ْﺑ‬
ُ ‫ﻦ‬ ْ‫ﻋ‬ َ
224
‫ﻚ‬
َ ‫ﻄ ْﻴ َﺌ ِﺘ‬
ِ‫ﺧ‬َ ‫ﻋَﻠﻰ‬َ ‫ﻚ‬ِ ‫ﻚ َو َأ ْﺑ‬
َ ‫ﻚ َﺑ ْﻴ ُﺘ‬
َ ‫ﺴ ْﻌ‬
َ ‫ﻚ َو ْﻟ َﻴ‬ َ ‫ِﻟﺴَﺎ َﻧ‬
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir ia berkata: Saya bertanya: “Ya Rasulullah,
Bagaimana caranya untuk mendapatkan keberhasilan itu?” Beliau menjawab:
“Tahanlah lisanmu (agar hanya kebaikan yang keluar darinya), hendaknya
rumahmu memberikan keluasan kepadamu (nyaman tinggal di rumah), dan
menangislah atas segala kesalahanmu!”(H.R. al-Tirmidzî)

223
Ibid, h. 34-35
224
al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 3, Abwâb al-Zuhd Bâb Mâ Jâ’a fî Hifz al-Lisân,
no. Hadis 2517,h. 31; ‘Abdullâh bin al-Mubârak, al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, Bâb Mâ Jâ’a fî al-Huzn
wa al-Bukâ, no. Hadis 119, h.132; Kualitas Hadis ini hasan.

166
BAB IV
MENANGIS DAN KESALEHAN PRIBADI

Pengertian dan Karakteristik Kesalehan


Kata “sâlih” ( ‫ )ﺻﺎﻟﺢ‬berasal dari akar kata “salaha” atau “saluha” ( ‫)ﺻﻠﺢ‬

yang maknanya merupakan antonim dari kata “fasâd” ( ‫)ﻓﺴﺎد‬ yang berarti

“rusak”.225

Kata “sâlih” juga diartikan sebagai “bermanfaat dan sesuai” Dengan

demikian, amal saleh adalah pekerjaan yang apabila dilakukan, maka suatu

kerusakan akan terhenti atau menjadi tiada. Atau dapat pula diartikan sebagai

suatu pekerjaan yang dengan melakukannya diperoleh manfaat dan kesesuaian.226

Sementara itu, Syaikh Muh. ‘Abduh (w.1323 H.)mendefinisikan amal

saleh dengan “Segala perbuatan yang berguna bagi pribadi, keluarga, kelompok,

dan manusia secara keseluruhan.” Sedangkan Syaikh al-Zamakhsyarî (w.538 H.)

berpendapat bahwa amal salih adalah “Segala perbuatan yang sesuai dengan dalil

akal, al-Qur’an, dan atau Sunnah Nabi Muhammad saw.”227

Seorang yang salih ialah yang aktivitasnya mengakibatkan terhindarnya

madharat, atau yang pekerjaannya memberikan manfaat kepada pihak-pihak lain,

atau pekerjaannya sesuai dengan petunjuk Ilahi, akal sehat, atau dapat istiadat

yang baik.228

225
Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1990), Cet. Ke-1, Juz II, h. 516
226
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997),
Cet. II, h. 480
227
Ibid
228
Ibid

167
Menurut al-Zajjâj (w. 310 H.), sebagaimana dikutip oleh Imam al-Qurtubî

w.567 H.), seorang yang salih adalah yang menunaikan segala kewajiban yang

Allah tetapkan dan memenuhi hak-hak manusia.229

Sedangkan Imam al-Tabarsî (w.548 H.)mendefinisikan bahwa orang yang

salih adalah orang yang membaguskan aktivitasnya dan kemudian berbuat segala

yang baik, tidak yang buruk.230

Dalam pada itu, al-Sayyid Muh. Syatâ al-Dimyati mendefinisikan salih

sebagai berikut:

231
‫اﻟﺼﺎﻟﺢ هﻮ اﻟﻘﺎﺋﻢ ﺑﺤﻘﻮق اﷲ وﺣﻘﻮق اﻟﻌﺒﺎد‬
“Orang yang salih adalah orang yang menunaikan segala hak Allah dan
hak-hak manusia.”

Menurut penelusuran penulis, di dalam al-Qur’an, kata “sâlih” dalam bentuk

tunggal (mufrad) disebutkan sebanyak empat puluh empat kali, dalam bentuk

tatsniyah (dua) sekali (QS.66:10), dan dalam bentuk jamak (plural) sebanyak 29

kali.232

Di dalam kitab suci tersebut ditegaskan bahwa para nabi dan rasul

dikategorikan sebagai orang-orang salih (Lihat QS.2:130; 3:39,46; 6:85; 16:122;

21:72,86; 29:27; 37:112, dan 68:50).

Predikat “salih” adalah suatu posisi atau derajat yang tinggi di sisi

Allah.233 Sebab, sebagaimana yang dikatakan Dr. Wahbah Zuhaili, orang-orang

229
al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1407/1987), Cet.I, Juz 4, h.
79
230
al-Tabarsî, Majma’ al-Bayân, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1414/1994), Juz 7, h. 89
231
al-Sayyid Muh. Syata al-Dimyati, Iânah al-Tâlibîn, (Semarang: Toha Putra, tth), Juz 1, h.
165
232
M. Fu’âd ‘Abd al-Bâqî, Mu’jam al-Mufahras li Alfâz al-Qur’ân al-Karîm, (Indonesia:
Maktabah Dahlân, t.t.), h. 521-522
233
M. ‘Ali al-Sâbûnî, Safwah al-Tafâsîr, (Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 1999),
cet.I,, Juz II, h. 148

168
saleh adalah para pemberi petunjuk (al-hudâh) kepada umat manusia, karena ia

merupakan martabat para nabi.234

Itulah sebabnya, banyak para nabi yang bermunajat kepada Allah swt. agar

dimasukkan ke dalam golongan orang-orang salih. Di antara para nabi yang

mengharapkan hal itu adalah nabi Yûsuf (QS.12:101), nabi Ibrâhîm (QS.26:83),

dan nabi Sulaimân a.s. (QS.27:19). Bukan hanya itu, nabi Ibrâhîm a.s. berdoa

kepada Allah agar dianugerahkan anak atau keturunan yang salih (QS.37:100).

Di dalam surat al-Nisâ ayat 69, kelak di akhirat nanti di dalam surga,

orang-orang salih akan disandingkan dengan para nabi, para siddîqîn, dan para

syuhadâ. Allah swt. menyatakan:

‫ﻦ‬
َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ْﻢ ِﻣ‬
َ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﻦ َأ ْﻧ َﻌ َﻢ ا‬
َ ‫ﻚ َﻣ َﻊ اﱠﻟﺬِﻳ‬
َ ‫ل َﻓﺄُوَﻟ ِﺌ‬
َ ‫ﷲ َواﻟ ﱠﺮﺳُﻮ‬ َ ‫ﻄ ِﻊ ا‬
ِ ‫ﻦ ُﻳ‬
ْ ‫َو َﻣ‬
‫رﻓِﻴ ًﻘﺎ‬ َ ‫ﻚ‬ َ ‫ﻦ أُوَﻟ ِﺌ‬
َ‫ﺴ‬ُ‫ﺣ‬ َ ‫ﻦ َو‬
َ ‫ﺸ َﻬﺪَا ِء وَاﻟﺼﱠﺎِﻟﺤِﻴ‬ ‫ﻦ وَاﻟ ﱡ‬
َ ‫ﺼﺪﱢﻳﻘِﻴ‬
‫اﻟﻨﱠﺒِﻴﱢﻴﻦَ وَاﻟ ﱢ‬
Dan barangsiapa yang menta`ati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni`mat oleh Allah, yaitu:
Nabi-nabi, para siddîqîn, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh.
Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.(QS.al-Nisâ/4:69)
Ketinggian derajat orang-orang salih (sâlihîn) sehingga senantiasa

mendapatkan pujian dan penghargaan dari Allah swt. memotivasi umat Islam

untuk meraih predikat tersebut. Akan tetapi, masalahnya kemudian adalah, apakah

kriteria atau ciri-ciri orang yang salih itu?

Berdasarkan hasil kajian penulis terhadap teks-teks al-Qur’an dan Hadis,

ada empat belas kriteria orang-orang salih. Salah satu di antaranya adalah

menangis saat mendengar al-Qur’an. Poin inilah yang akan banyak dibahas karena

memang yang sangat berhubungan dengan tema yang sedang dibahas. Sedangkan

234
Wahbah Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr,(Beirut: Dâr al-Fikr, 1991)Juz XX, h. 202

169
tiga belas kriteria lainnya hanya akan dipaparkan secara singkat. Keempat belas

kriteria itu adalah sebagai berikut:

1. Menangis saat Mendengar al-Qur’an

Di dalam al-Qur’an, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, ada

sepuluh ayat yang menegaskan bahwa para nabi dan rasul dikategorikan sebagai

orang-orang salih. Kesepuluh ayat tersebut adalah QS.2:130; 3:39,46; 6:85;

16:122; 21:72,86; 29:27; 37:112, dan 68:50.

Sementara itu, dalam surat Maryam setelah Allah menyampaikan kisah-

kisah orang salih seperti nabi Zakariyyâ, nabi Yahyâ, nabi ‘Îsâ, nabi Mûsâ, nabi

Ibrâhîm, dan Maryam, maka pada ayat 58 dalam surat tersebut Allah menyatakan:

‫ﺣ َﻤ ْﻠﻨَﺎ‬
َ ‫ﻦ‬ ْ ‫ﻦ ُذرﱢﻳﱠﺔِ ءَا َد َم َو ِﻣ ﱠﻤ‬ ْ ‫ﻦ ِﻣ‬َ ‫ﻦ اﻟ ﱠﻨ ِﺒﻴﱢﻴ‬
َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ْﻢ ِﻣ‬
َ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﻦ َأ ْﻧ َﻌ َﻢ ا‬
َ ‫ﻚ اﱠﻟﺬِﻳ‬
َ ‫أُوَﻟ ِﺌ‬
‫ﺟﺘَﺒَ ْﻴﻨَﺎ إِذَا‬
ْ ‫ﻦ َه َﺪ ْﻳﻨَﺎ وَا‬ ْ ‫ﻞ َو ِﻣ ﱠﻤ‬ َ ‫ﺳﺮَاﺋِﻴ‬ْ ‫ﻦ ُذرﱢﻳﱠﺔِ ِإ ْﺑﺮَاهِﻴ َﻢ َوِإ‬ ْ ‫ح َو ِﻣ‬ ٍ ‫َﻣ َﻊ ﻧُﻮ‬
‫و ُﺑﻜِﻴًّﺎ‬َ ‫ﺠﺪًا‬ ‫ﺳﱠ‬ ُ ‫ﺧﺮﱡوا‬ َ ‫ﻦ‬ ِ ‫ﺣ َﻤ‬ ْ ‫ت اﻟ ﱠﺮ‬
ُ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ْﻢ ءَاﻳَﺎ‬َ ‫ُﺗ ْﺘﻠَﻰ‬
“Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu
para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama
Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israel, dan dari orang-orang yang telah Kami
beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha
Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan
menangis.” (QS.Maryam/19:58)
Selain itu, Allah juga menggambarkan dalam dua tempat di al-Qur’an

tentang tangisan Ahli Kitab ketika mereka mendengar lantunan kalam Ilahi yang

penuh hikmah dan kebenaran, yaitu dalam surat al-Mâ’idah ayat 83 dan surat al-

Isrâ ayat 105-109.235

‫ﻦ اﻟ ﱠﺪ ْﻣ ِﻊ‬
َ ‫ﺾ ِﻣ‬ ُ ‫ﻋ ُﻴ َﻨ ُﻬ ْﻢ َﺗ ِﻔ ْﻴ‬
ْ ‫ل َﺗ َﺮى َا‬ ِ ‫ﺳ ْﻮ‬ ُ ‫ل ِاَﻟﻰ اﻟ ﱠﺮ‬ َ ‫ﺳ ِﻤ ُﻌ ْﻮا َﻣﺎُا ْﻧ ِﺰ‬َ ‫َوِا َذا‬
‫ﻦ‬َ ‫ﺸﺎ ِه ِﺪ ْﻳ‬
‫ن َر ﱠﺑ َﻨﺎ ا َﻣ ﱠﻨﺎ َﻓﺎ ْآ ُﺘ ْﺒ َﻨﺎ َﻣ َﻊ اﻟ ﱠ‬ َ ‫ﻖ َﻳ ُﻘ ْﻮُﻟ ْﻮ‬
‫ﺤﱢ‬َ ‫ﻦ ا ْﻟ‬ َ ‫ﻋ َﺮ ُﻓ ْﻮا ِﻣ‬
َ ‫ِﻣ ﱠﻤﺎ‬
235
Penjelasan tentang ayat ini telah dipaparkan secara panjang lebar pada Bab II dalam
pembahasan “Menangis dalam Perspektif al-Qur’an”.

170
Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul
(Muhammad), kamu melihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan
kebenaran (al-Qur'an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri);
seraya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama
orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran al-Qur’an dan kenabian
Muhammad saw.) (QS.al-Mâidah/5:83)

‫و َﻧﺬِﻳﺮًا‬
َ ‫ﻻ ُﻣﺒَﺸﱢﺮًا‬ ‫ك ِإ ﱠ‬َ ‫ﺳ ْﻠﻨَﺎ‬ َ ‫ل َوﻣَﺎ َأ ْر‬َ ‫ﻖ َﻧ َﺰ‬
‫ﺤﱢ‬َ ‫ﻖ َأ ْﻧ َﺰ ْﻟﻨَﺎ ُﻩ َوﺑِﺎ ْﻟ‬‫ﺤﱢ‬ َ ‫َوﺑِﺎ ْﻟ‬
‫ﻞ‬ْ ‫ﻼ ُﻗ‬ ً ‫ﺚ َو َﻧ ﱠﺰ ْﻟﻨَﺎ ُﻩ َﺗ ْﻨﺰِﻳ‬ ٍ ‫ﻋﻠَﻰ ُﻣ ْﻜ‬ َ ‫س‬ ِ ‫َو ُﻗ ْﺮءَاﻧًﺎ َﻓ َﺮ ْﻗﻨَﺎ ُﻩ ِﻟ َﺘ ْﻘ َﺮَأ ُﻩ ﻋَﻠَﻰ اﻟﻨﱠﺎ‬
‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ْﻢ‬
َ ‫ﻦ َﻗ ْﺒِﻠ ِﻪ ِإذَا ُﻳ ْﺘﻠَﻰ‬ ْ ‫ﻦ أُوﺗُﻮا ا ْﻟ ِﻌ ْﻠ َﻢ ِﻣ‬َ ‫ن اﱠﻟﺬِﻳ‬
‫ﻻ ُﺗ ْﺆ ِﻣﻨُﻮا ِإ ﱠ‬ َ ‫ءَاﻣِﻨُﻮا ِﺑ ِﻪ َأ ْو‬
‫ﻋ ُﺪ َر ﱢﺑﻨَﺎ‬
ْ ‫ن َو‬
َ ‫ن آَﺎ‬
ْ ‫ن َر ﱢﺑﻨَﺎ ِإ‬َ ‫ﺳ ْﺒﺤَﺎ‬ ُ ‫ن‬ َ ‫ﺠﺪًا َو َﻳﻘُﻮﻟُﻮ‬ ‫ﺳﱠ‬ ُ ‫ن‬ ِ ‫ﻸ ْذﻗَﺎ‬َ ‫ن ِﻟ‬
َ ‫ﺨﺮﱡو‬
ِ ‫َﻳ‬
‫ﺧﺸُﻮﻋًﺎ‬ ُ ‫ن َو َﻳﺰِﻳ ُﺪ ُه ْﻢ‬
َ ‫ن َﻳ ْﺒﻜُﻮ‬ِ ‫ﻸ ْذﻗَﺎ‬
َ ‫ن ِﻟ‬
َ ‫ﺨﺮﱡو‬ِ ‫ﻟَﻤَ ْﻔﻌُﻮﻻً َو َﻳ‬
Dan Kami turunkan (al-Qur’an) itu dengan sebenar-benarnya dan al-
Qur’an itu telah turun dengan (membawa) kebenaran. Dan Kami tidak mengutus
kamu, melainkan sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Dan
al-Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu
membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya
bagian demi bagian. Katakanlah: "Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah
beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi
pengetahuan sebelumnya apabila al-Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka
menyungkur atas muka mereka sambil bersujud,dan mereka berkata: "Maha Suci
Tuhan kami; sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi".Dan mereka
menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk.
(QS.al-Isrâ/17:105-109)
Firman-firman Allah di atas, sesungguhnya menjelaskan kepada umat

manusia betapa al-Qur’an memiliki dayat tarik luar biasa bagi pembaca dan

pendengarnya. Al-Qur’an laksana “sihir” yang mampu mengguncangkan jiwa

orang-orang yang bersentuhan dengannya. Sehingga buat mereka yang

mendapatkan hidayah pencerahan dari Ilahi, maka mereka akan mengikuti apa

yang diinginkan oleh ayat tersebut.

Kondisi seperti ini sangat disadari oleh orang-orang kafir sehingga

mereka melarang teman-teman mereka untuk mendengarkan al-Qur’an karena

khawatir akan terkena “sihir al-Qur’an”. Allah berfirman:

171
‫ن وَا ْﻟﻐَﻮْا ﻓِﻴ ِﻪ َﻟ َﻌﱠﻠ ُﻜ ْﻢ‬
ِ ‫ﺴ َﻤﻌُﻮا ِﻟ َﻬﺬَا ا ْﻟ ُﻘ ْﺮءَا‬
ْ ‫ﻻ َﺗ‬
َ ‫ﻦ َآ َﻔﺮُوا‬
َ ‫ل اﱠﻟﺬِﻳ‬َ ‫َوﻗَﺎ‬
‫ن‬ َ ‫َﺗ ْﻐِﻠﺒُﻮ‬
Dan orang-orang yang kafir berkata: "Janganlah kamu mendengar dengan
sungguh-sungguh akan Al Qur'an ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya
kamu dapat mengalahkan (mereka). (QS. Fussilat/41:26)
Berbeda dengan orang-orang kafir, orang-orang yang bersih hatinya akan

selalu memendam kerinduan untuk membaca dan mendengarkan al-Qur’an, baik

dalam salat ataupun di luar salat. Pada bab tiga telah disebutkan tangisan-tangisan

yang terjadi pada diri Rasulullah saw. Salah satu di antaranya adalah saat beliau

mendengarkan al-Qur’an atau saat beliau membacanya dalam salat.

Selain beliau, dalam perjalanan sejarah ditemukan banyak riwayat yang

mengisahkan deraian air mata orang-orang salih saat mereka membaca atau

mendengarkan al-Qur’an. Berikut ini adalah beberapa orang di antara mereka:

a. Abû Bakr al-Siddîq r.a.

Abû Bakr al-Siddîq adalah sahabat sekaligus mertua Rasulullah saw. yang

paling utama dan dijamin masuk surga. Beliau dikenal sebagai orang yang

mudah menitikkan air mata saat membaca al-Qur’an, baik di dalam salat

ataupun di luar salat. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan dalam Hadis

berikut ini:

‫ل‬
ِ ‫ﺷ َﺘ ﱠﺪ ِﺑ َﺮﺳُﻮ‬
ْ ‫ل ﻟَﻤﱠﺎ ا‬
َ ‫ﻦ َأﺑِﻴ ِﻪ ﻗَﺎ‬
ْ‫ﻋ‬ َ ‫ﺧ َﺒ َﺮ ُﻩ‬
ْ ‫ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟﱠﻠﻪِ َأﻧﱠ ُﻪ َأ‬
َ ‫ﻦ‬
ِ ‫ﺣ ْﻤ َﺰ َة ْﺑ‬
َ ‫ﻦ‬ ْ‫ﻋ‬َ
‫ل ُﻣﺮُوا‬ َ ‫ﻼ ِة َﻓﻘَﺎ‬
َ‫ﺼ‬ ‫ﻞ َﻟ ُﻪ ﻓِﻲ اﻟ ﱠ‬ َ ‫ﺟ ُﻌ ُﻪ ﻗِﻴ‬
َ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ َو‬ َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو‬
َ ‫اﻟﱠﻠﻪِ ﺻَﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ‬
‫ﻖ إِذَا‬
ٌ ‫ﻞ رَﻗِﻴ‬ ٌ‫ﺟ‬ ُ َ‫ن َأﺑَﺎ َﺑ ْﻜ ٍﺮ ر‬
‫ﺸ ُﺔ ِإ ﱠ‬
َ ‫ﺖ ﻋَﺎ ِﺋ‬ْ ‫س ﻗَﺎَﻟ‬ ِ ‫ﻞ ﺑِﺎﻟﻨﱠﺎ‬ ‫ﺼﱢ‬
َ ‫َأﺑَﺎ َﺑ ْﻜ ٍﺮ َﻓ ْﻠ ُﻴ‬

172
‫ﺼﻠﱢﻲ‬
َ ‫ل ُﻣﺮُو ُﻩ َﻓ ُﻴ‬
َ ‫ﺼﻠﱢﻲ َﻓﻌَﺎ َو َد ْﺗ ُﻪ ﻗَﺎ‬
َ ‫ل ُﻣﺮُو ُﻩ َﻓ ُﻴ‬َ ‫ﻏَﻠ َﺒ ُﻪ ا ْﻟ ُﺒﻜَﺎ ُء ﻗَﺎ‬
َ ‫َﻗ َﺮَأ‬
236
‫ﻒ‬
َ ‫ﺳ‬ُ ‫ﺐ ﻳُﻮ‬ ُ ‫ﺣ‬ ِ ‫ﺻﻮَا‬ َ ‫إِﻧﱠ ُﻜﻦﱠ‬
Dari Hamzah bin ‘Abdullâh, sesungguhnya ia mengkhabarkan dari
ayahnya, ia berkata: Ketika Nabi menderita sakit (yang menghantarkannya
kepada kematian), dikatakan kepada beliau (untuk menjadi imam) dalam
shalat. Beliau bersabda: “Perintahkanlah Abû Bakar agar shalat (dan menjadi
imam) bersama yang lain!” ‘Aisyah berkata: “Sesungguhnya Abû Bakar
adalah seorang yang lembut (mudah sedih). Jika ia membaca al-Qur’an,
niscaya selalu menangis.” Beliau bersabda kembali: “Perintahkanlah ia (Abu
Bakar) untuk (memimpin) shalat!” Aisyahpun mengulangi perkataannya. Nabi
bersabda lagi: “Perintahkanlah ia (Abû Bakar) untuk (memimpin) shalat.
Sesungguhnya kalian (para wanita) bagaikan orang-orang yang hidup pada
masa nabi Yûsuf.” (H.R. al-Bukhârî)

Itulah Abû Bakr al-Siddîq, sahabat Rasulullah yang mudah bersedih,

berhati lembut, banyak mencucurkan air mata, yang seandainya ditimbang

dengan umat ini, niscaya dia akan memenanginya. Dia merupakan orang yang

paling mulia sepeninggal Nabi Muhammad saw. dan juga para nabi. Dia orang

yang banyak memiliki kelebihan dan keutamaan yang sangat populer. Tentang

dirinya, Allah pernah berfirman:

‫ﻦ‬
ِ ‫ﻲ ا ْﺛ َﻨ ْﻴ‬
َ ‫ﻦ َآ َﻔ ُﺮ ْوا َﺛﺎ ِﻧ‬ َ ‫ﺟ ُﻪ اﱠﻟ ِﺬ ْﻳ‬
َ ‫ﺧ َﺮ‬
ْ ‫ﷲ ِا ْذ َا‬ُ ‫ﺼ َﺮ ُﻩ ا‬ َ ‫ﺼ ُﺮ ْو ُﻩ َﻓ َﻘ ْﺪ َﻧ‬ ُ ‫ﻻ َﺗ ْﻨ‬ ‫ِا ﱠ‬
‫ﷲ‬
ُ ‫لا‬ َ ‫ﷲ َﻣ َﻌ َﻨﺎ َﻓ َﺎ ْﻧ َﺰ‬
َ ‫نا‬ ‫ن ِا ﱠ‬ ْ ‫ﺤ َﺰ‬ ْ ‫ﻻ َﺗ‬
َ ‫ﺣ ِﺒ ِﻪ‬
ِ ‫ﺼﺎ‬َ ‫ل ِﻟ‬ ُ ‫ِا ْذ ُه َﻤﺎ ِﻓﻲ ا ْﻟ َﻐﺎ ِر ِا ْذ َﻳ ُﻘ ْﻮ‬
‫ﻦ َآ َﻔ ُﺮوا‬ َ ‫ﻞ َآِﻠ َﻤ َﺔ اﱠﻟ ِﺬ ْﻳ‬َ ‫ﺟ َﻌ‬َ ‫ﺠ ُﻨ ْﻮ ٍد ﻟ ﱠﻢ ْ َﺗ َﺮ ْو َهﺎ َو‬
ُ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َوَا ﱠﻳ َﺪ ُﻩ ِﺑ‬
َ ‫ﺳ ِﻜ ْﻴ َﻨ َﺘ ُﻪ‬
َ
‫ﻜ ْﻴ ٌﻢ‬
ِ‫ﺣ‬ َ ‫ﻋ ِﺰ ْﻳ ٌﺰ‬ َ ُ ‫ﻲ ا ْﻟ ُﻌ ْﻠ َﻴﺎ َواﷲ‬َ ‫ﷲ ِه‬ ِ ‫ﺴ ْﻔَﻠﻰ َو َآِﻠ َﻤ ُﺔ ا‬ ‫اﻟ ﱡ‬
Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah
telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah)
mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika
keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya:
"Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita." Maka Allah
menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan
236
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 1, Kitâb al-Adzân Bâb Ahl al-‘Ilm wa al-Fadl Ahaqq
bi al-Imâmah, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1986), h. 165 & 166; Bâb Man Asma’ al-Nâs Takbîr al-Imâm,
h. 174; Bâb Idzâ Bakâ al-Imâm fî al-Salâh, h. 176; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 1, Kitâb
Iqâmah al-Salâh wa al-Sunnah fîhâ Bâb Mâ Jâ’a fî Salâh Rasûlillâh saw. fî Maradih, no. Hadis
1232, (Indonesia: Maktabah Dahlan, t.t.), h. 389

173
tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah menjadikan seruan orang-
orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S. At-Taubah/9:40)

Dalam riwayat yang lain disebutkan:

‫ج‬
َ ‫ﺸ َﺔ َز ْو‬ َ ‫ن ﻋَﺎ ِﺋ‬ ‫ﻦ اﻟ ﱡﺰ َﺑ ْﻴ ِﺮ َأ ﱠ‬ ُ ‫ﻋ ْﺮ َو ُة ْﺑ‬
ُ ‫ﺧ َﺒ َﺮﻧِﻲ‬ ْ ‫ل َأ‬ َ ‫ب ﻗَﺎ‬ ٍ ‫ﺷﻬَﺎ‬ ِ ‫ﻦ‬ ِ ‫ﻦ ا ْﺑ‬ ْ‫ﻋ‬ َ
‫ن‬
ِ ‫ﻻ َو ُهﻤَﺎ َﻳﺪِﻳﻨَﺎ‬ ‫ي ِإ ﱠ‬
‫ﻞ َأ َﺑ َﻮ ﱠ‬ ْ ‫ﻋ ِﻘ‬ ْ ‫ﺖ َﻟ ْﻢ َأ‬ْ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ ﻗَﺎَﻟ‬
َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو‬ َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ‬ َ ‫ﻲ‬ ‫اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ‬ َ ِ‫ل اﻟﱠﻠﻪ‬ ُ ‫ﻻ َﻳ ْﺄﺗِﻴﻨَﺎ ﻓِﻴ ِﻪ َرﺳُﻮ‬ ‫ﻦ َوَﻟ ْﻢ َﻳ ُﻤﺮﱠ ﻋَﻠَ ْﻴﻨَﺎ ﻳَ ْﻮ ٌم ِإ ﱠ‬ َ ‫اﻟﺪﱢﻳ‬
‫ﻷﺑِﻲ َﺑ ْﻜ ٍﺮ ﻓَﺎ ْﺑ َﺘﻨَﻰ‬ َ ‫ﺸ ﱠﻴ ًﺔ ُﺛﻢﱠ َﺑﺪَا‬ ِ‫ﻋ‬ َ ‫ﻲ اﻟ ﱠﻨﻬَﺎ ِر ُﺑ ْﻜ َﺮ ًة َو‬ ْ ‫ﻃ َﺮ َﻓ‬
َ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ‬َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو‬ َ
‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ‬
َ ‫ﻒ‬ ُ ‫ن َﻓ َﻴ ِﻘ‬َ ‫ﺼﻠﱢﻲ ﻓِﻴ ِﻪ َو َﻳ ْﻘ َﺮُأ ا ْﻟ ُﻘﺮْﺁ‬ َ ‫ن ُﻳ‬ َ ‫ﺠﺪًا ِﺑ ِﻔﻨَﺎ ِء دَا ِر ِﻩ َﻓﻜَﺎ‬ ِ‫ﺴ‬ ْ ‫َﻣ‬
‫ن أَﺑُﻮ‬َ ‫ﻈﺮُونَ ِإَﻟ ْﻴ ِﻪ َوآَﺎ‬ ُ ‫ن ِﻣ ْﻨ ُﻪ وَﻳَ ْﻨ‬ َ ‫ﺠﺒُﻮ‬َ ‫ﻦ َوَأ ْﺑﻨَﺎ ُؤ ُه ْﻢ َﻳ ْﻌ‬َ ‫ﺸ ِﺮآِﻴ‬ ْ ‫ِﻧﺴَﺎ ُء ا ْﻟ ُﻤ‬
‫ﻚ‬
َ ‫ع َذِﻟ‬ َ ‫ن َﻓَﺄ ْﻓ َﺰ‬َ ‫ﻋ ْﻴ َﻨ ْﻴ ِﻪ إِذَا َﻗ َﺮَأ ا ْﻟ ُﻘﺮْﺁ‬َ ‫ﻚ‬ ُ ‫ﻻ َﻳ ْﻤِﻠ‬ َ ‫ﻼ َﺑﻜﱠﺎ ًء‬ ً‫ﺟ‬ ُ ‫َﺑ ْﻜ ٍﺮ َر‬
‫ﻦ‬
َ ‫ﺸ ِﺮآِﻴ‬ ْ ‫ﻦ ا ْﻟ ُﻤ‬ ْ ‫ﺶ ِﻣ‬ ٍ ‫ف ُﻗ َﺮ ْﻳ‬َ ‫ﺷﺮَا‬ ْ ‫َأ‬
Dari Ibn Syihâb ia berkata: ‘Urwah ibn Zubair mengabarkan kepadaku
bahwa ‘Aisyah istri Nabi saw. berkata: “Aku tidak berpikir tentang kedua
orang tuaku selain bahwa keduanya menganut agama (Islam). Tidak pernah
kami melewati suatu hari melainkan Rasulullah selalu mendatangi kami setiap
pagi dan petang. Lalu Abû Bakar memiliki sebuah pemikiran, maka
dibangunlah sebuah masjid di halaman rumahnya. Ia biasa salat di dalamnya
dan membaca al-Qur’an, sementara perempuan-perempuan musyrikin dan
anak-anaknya berdiri dan merasa takjub dengan perilaku Abû Bakar. Mereka
senantiasa memperhatikannya. Abû Bakar adalah seorang lelaki yang
senantiasa menangis dan tidak kuasa menahan air matanya ketika membaca al-
Qur’an. Keadaan ini mengagetkan tokoh-tokoh Quraisya dari kalangan orang-
orang musyrik.” (H.R. al-Bukhârî)237

b. ‘Umar ibn al-Khattâb r.a.

Dia adalah orang yang mempunyai kedudukan terhormat, kokoh, perkasa

dan kuat dalam pendirian. Disebutkan dalam biografinya, bahwa beliau suka

menangis sehingga ada bekas menghitam di kedua pipinya.

237
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 1 Kitâb al-Salâh Bâb al-Masjid Yakûnu fî al-Tarîq
min Ghair Darar bi al-Nâs, h. 122; Juz 3 kitâb al-Kafâlah Bâb Jiwâr Abû Bakr fî ‘Ahd al-Nabi
saw. wa ‘Aqdih, h. 58-59; Juz 4 Kitâb al-Manâqib Bâb Hijrah al-Nabi saw. ilâ al-Madînah wa
Ashâbih, h. 254-258

174
Disebutkan bahwa beliau pernah salat bersama kaum muslimin pada masa

khilafahnya. Seringkali dia membaca surat Yûsuf dalam salat isya dan subuh.

Setiap kali beliau membaca surat ini, maka tangisnya pasti terdengar hingga

saf (barisan) yang paling belakang.238

‘Amr bin Syu’bah meriwayatkan tentang Umar r.a. bahwa pada suatu

malam dia mengunjungi Abû Dardâ. Tatkala keduanya sudah duduk

berdampingan, Abû dardâ berkata: “Wahai ‘Umar, apakah engkau masih ingat

sebuah hadis yang disampaikan Rasulullah saw. kepada kita, ‘Hendaklah

bekal salah seorang di antara kamu di dunia ini seperti bekal seorang

musafir.’ ‘Umar berkata: “Benar”. Abû Dardâ berkata: “Wahai saudaraku, lalu

apa yang kita lakukan sepeninggal Rasulullah?” Dan akhirnya keduanya tetap

dalam keadaan menangis hingga fajar menyingsing keesokan harinya.239

Pernah suatu ketika beliau mendengar firman Allah “Inna ‘adzâba rabbik

lawâqi’” (Sesungguhnya azab Tuhanmu pasti terjadi), ia jatuh sakit hingga

dikunjungi oleh sahabatnya yang tidak mengetahui kenapa ia sakit.240

c. Ubay ibn Ka’ab

Dalam riwayat yang sahih disebutkan:

‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ‬
َ ‫ﻲ ﺻَﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ‬ ‫ل اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ‬َ ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ‬ َ ‫ﻲ اﻟﱠﻠ ُﻪ‬
َ‫ﺿ‬ِ ‫ﻚ َر‬ ٍ ‫ﻦ ﻣَﺎِﻟ‬ ِ ‫ﺲ ْﺑ‬ ِ ‫ﻦ َأ َﻧ‬ْ‫ﻋ‬َ
‫ﻦ َآ َﻔﺮُوا‬ َ ‫ﻦ اﱠﻟﺬِﻳ‬
ْ ‫ﻚ َﻟ ْﻢ َﻳ ُﻜ‬ َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ‬
َ ‫ن َأ ْﻗ َﺮَأ‬
ْ ‫ن اﻟﱠﻠﻪَ َأ َﻣ َﺮﻧِﻲ َأ‬‫ﻲ ِإ ﱠ‬‫ﻷ َﺑ ﱟ‬
ُ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ‬َ ‫َو‬
‫ل َﻧ َﻌ ْﻢ َﻓ َﺒ َﻜﻰ‬
َ ‫ﺳﻤﱠﺎﻧِﻲ ﻗَﺎ‬
َ ‫ل َو‬ َ ‫ب ﻗَﺎ‬
ِ ‫ﻞ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ‬
ِ ‫ﻦ َأ ْه‬
ْ ‫ِﻣ‬
238
‘Abd al-Rahmân al-Sinjari et.al., Menangis karena takut pada Allah, Penerjemah Farid
Ma’ruf dan katur Suhardi (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), h. 76; Khumais al-Sa’id,
Menangislah sebagaimana Rasulullah saw. dan Para sahabat Menangis, Penerjemah M. Abdul
Ghoffar (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2005), h. 54
239
Ibid
240
M. lili Nur Aulia, Kubisikkan untukmu, (Jakarta: Tarbawi Press, 2007), h. 25

175
Dari Anas ibn Mâlik r.a. ia berkata: Nabi saw. bersabda kepada Ubay:
“Sesungguhnya Allah memerintahkanku untuk membacakan kepadamu surat
lam yakun al-ladzîna kafarû” ubay bertanya: “Apakah Allah menyebut
namaku?”Beliau menjawab: “Ya”. Maka, Ubaypun menangis.” (H.R. al-
Bukhari, Muslim, dan al-Tirmidzî)241
Menurut Ibn ‘Allân, penyebab tangisnya Ubay ibn ka’ab adalah boleh jadi

karena dia merasa gembira dan senang dengan penyebutan itu. Atau karena

khusyu dan takut karena merasa kurang bersykur atas segala nikmat. Atau

karena merasa dirinya terlalu hina, takut, sekaligus heran.242

Begitulah memang keadaan orang-orang salih yang senantiasa menjalani

hari-harinya dengan kekhusyuan dan keterikatan yang mendalam dengan

Sang Khalik. Antara sikap optimis (raja) dan pesimis (khauf) berpadu menjadi

satu sehingga melahirkan motivasi dalam meningkatkan kualitas ibadah

mereka.

d. Sa’id ibn Jubair

Sa’îd ibn Jubair al-Tâ’i pernah berkata: “Aku pernah mendengar Sa’id ibn

Jubair mengimami mereka pada bulan Ramadhan, di mana dia mengulang

ayat-ayat ini:

‫ن ِإ ِذ‬
َ ‫ف َﻳ ْﻌَﻠﻤُﻮ‬َ ‫ﺴ ْﻮ‬
َ ‫ﺳَﻠﻨَﺎ َﻓ‬
ُ ‫ﺳ ْﻠﻨَﺎ ِﺑ ِﻪ ُر‬
َ ‫ب وَﺑِﻤَﺎ َأ ْر‬
ِ ‫ﻦ َآ ﱠﺬﺑُﻮا ﺑِﺎ ْﻟ ِﻜﺘَﺎ‬َ ‫اﱠﻟﺬِﻳ‬
‫ﺤﻤِﻴ ِﻢ ُﺛﻢﱠ ﻓِﻲ‬َ ‫ن ﻓِﻲ ا ْﻟ‬ َ ‫ﺤﺒُﻮ‬ َ‫ﺴ‬
ْ ‫ﻞ ُﻳ‬ ُ‫ﺳ‬ ِ َ‫ﺴﻼ‬ ‫ﻋﻨَﺎ ِﻗ ِﻬ ْﻢ وَاﻟ ﱠ‬
ْ ‫ل ﻓِﻲ َأ‬ ُ ‫ﻏﻠَﺎ‬
ْ‫ﻷ‬َ‫ا‬
‫ن‬ َ ‫ﺠﺮُو‬َ‫ﺴ‬ ْ ‫اﻟﻨﱠﺎ ِر ُﻳ‬

241
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 4, Kitâb Manâqib al-Ansâr Bâb Manâqib Ubay ibn
Ka’ab, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1986), h. 228; Juz 6 Kitâb Tafsîr al-Qur’ân Bâb Sûrah Lam Yakun, h.
90; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Masâjid wa Mawâdi’ al-Salâh Bâb Istihbâb Qirâ’ah al-
Qur’ân ‘alâ Ahl al-Fadl wa al-Hudzdzâq fîh, (Indonesia: Dâr Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t.), h.
320; Juz 2 Kitâb Fadâ’il al-Sahâbah Bâb min Fadâ’il Ubay ibn Ka’ab, h. 383; al-Tirmidzî, Sunan
al-Tirmidzî, Juz 5, Abwâb al-Manâqib Bâb Manâqib Mu’âdz ibn Jabal wa Zaid ibn Tsâbit wa
Ubay ibn Ka’ab wa Abî ‘Ubaidah ibn al-Jarrâh r.a. (Indonesia: Maktabah Dahlân, t.t.), h. 330
242
Ibn ‘Allân, Dalîl al-Fâlihîn, Juz 2, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 374

176
(Yaitu) orang-orang yang mendustakan Al Kitab (Al Qur'an) dan wahyu
yang dibawa oleh rasul-rasul Kami yang telah Kami utus. Kelak mereka akan
mengetahui, ketika belenggu dan rantai dipasang di leher mereka, seraya
mereka diseret, ke dalam air yang sangat panas, kemudian mereka dibakar
dalam api. (QS. al-Mu’min/40:70-72)
al-Qâsim mengatakan: “Aku pernah melihat Sa’id ibn Jubair bangun

malam dan mengerjakan salat, lalu membaca:

‫ﺖ َو ُه ْﻢ‬
ْ ‫ﺴ َﺒ‬
َ ‫ﺲ ﻣَﺎ َآ‬
ٍ ‫ن ﻓِﻴ ِﻪ ِإﻟَﻰ اﻟﱠﻠﻪِ ُﺛﻢﱠ ُﺗﻮَﻓﱠﻰ ُآﻞﱡ َﻧ ْﻔ‬
َ ‫ﺟﻌُﻮ‬
َ ‫وَا ﱠﺗﻘُﻮا َﻳ ْﻮﻣًﺎ ُﺗ ْﺮ‬
‫ن‬ َ ‫ﻈَﻠﻤُﻮ‬ ْ ‫ﻻ ُﻳ‬ َ
Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu
itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri
diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang
mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan). (QS. al-Baqarah/2:281)
Dia mengualanginya sampai lebih dari dua puluh kali. Diapun biasa

menangis pada malam hari sampai matanya tampak muram.243

e. Muhammad ibn al-Munkadir

Beliau termasuk pelopor qari al-Qur’an dan Hadis. Dia pasti tidak mampu

menahan tangisnya setiap kali membaca sebuah Hadis Rasulullah saw. Dan

jika seeorang yang menanyakan Hadis, beliaupun menangis.

Pada suatu malam beliau salat sambil menangis. Keluarganya merasa

gundah dengan tangisannya. Ketika mereka bertanya sebab tangisannya, justru

malah membuat beliau menangis semakin menjadi-jadi. Lalu mereka

mengirim utusan agar keadaannya itu disampaikan kepada rekannya, Abû

Hâzim Salamah ibn Dînâr. Tak lama kemudian Abû Hâzim menemui

Muhammad ibn al-Munkadir sambil bertanya: “Apa yang membuatmu

243
Khumais al-Sa’id, Menangislah sebagaimana Rasulullah saw. dan Para sahabat
Menangis, h. 542-53

177
menangis?” Ia menjawab: “Aku teringat sebuah ayat.” Lalu Abû Hâzim

bertanya: “Ayat apakah itu?” Muhammad ibn al-Munkadir menjawab: “Dan

jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum mereka perkirakan.”

Setelah itu, justru keduanya menangis dengan tangisan yang menghiba.

Dan setiap kali Abû Hâzim menjenguk Muhammad ibn al-Munkadir, dia

membaca ayat ini, dan keduanyapun menangis.244

f. ‘Abdullâh ibn Rawâhah r.a.

Beliau adalah orang yang selalu berpikir setiap turun ayat al-Qur’an dan

sabar setiap menerima bendera perang. Dia mati syahid di al-Balqa pada

waktu perang Mu’tah antara kaum muslimin dengan pasukan Romawi.

Dari ‘Urwah ibn Zubair berkata: “Tatkala Ibn Rawâhah hendak berangkat

ke Mu’tah yang terletak di Syam, maka orang-orang muslim menemuinya

danmengucapkan selamat tinggal. Diapun menangis. Lalu mereka bertanya:

“Apa yang membuatmu menangis?”

Dia menjawab: “Demi Allah, di dalam diriku tidak terbersit kecintaan

kepada dunia dan kerinduan kepadamu sekalian. Tetapi aku pernah mendengar

Rasulullah saw. membaca ayat ini ‘ dan tidak ada seorangpun darimu,

melainkan akan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu

ketetapan yang sudah pasti.” Lalu kukatakan: “Sesungguhnya aku juga akan

mendatangi neraka dan aku tidak tahu bagaimana caranya berbalik lagi.

244
‘Abd al-Rahmân al-Sinjari et.al., Menangis karena takut pada Allah, h. 89-90

178
Tatkala pasukan muslimin sudah bersiap-siap ke Mu’tah, ‘Urwah ibn

Zubair berkata: “Semoga Allah menyertaimu dan melindungimu.”245

g. ‘Abdullâh ibn ‘Umar

Seorang mantan budak Ibn ‘Umar, yaitu Nâfi’pernah berkata: ”Setiap kali

Ibn ‘Umar membaca dua ayat terakhir dari surat al-Baqarah, maka dia

menangis. Lalu Ibn ‘Umar berkata; “Sesungguhnya perhitungan itu amat

keras.”

Al-Hafiz Ibn Hajar berkata: telah diriwayatkan darinya dengan sanad yang

sahih bahwa setiap kali Ibn ‘Umar r.a. membaca firman Allah “Belumkah

datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk menundukkan hati

mereka mengingat Allah.” tentu dia menangis dan tidak mampu untuk

menahan air matanya.246

Menangis karena takut kepada Allah ini tidak hanya merupakan sifat

sebagian sahabat, namun semua sahabat memiliki sifat ini. Hal ini terjadi

karena mereka memang betul-betul memasrahkan diri mereka kepada Allah.

Secara total mereka mematuhi apapun yang diperintahkan oleh Rasulullah.

Oleh karena itu, tempaan dan binaan yang mereka terima dari Rasulullah saw.

mampu menembus kalbu dan jiwa mereka yang pada akhirnya melahirkan

keimanan dan keyakinan yang luiar biasa. Besarnya keimanan mereka kepada

Allah inilah yang berimplikasi kepada ketakutan mereka mendapatkan azab

Allah, baik di dunia maupun di akhirat. Untuk melepaskan dan membebaskan

245
Ibid, h. 78-79
246
Ibid, h. 82

179
diri dari azab Allah, mau tidak mau mereka harus melaksanakan perintah dan

meninggalkan larangan-Nya.

h. Fuzail ibn ‘Iyadh

Beliau lahir di Khurasan. Pada masa remajanya beliau adalah seorang

penyamun. Setelah bertaubat Fuzail pergi ke Kufah, dan kemudian ke Mekah

hingga wafat pada tahun 187 H./803 M.

Suatu malam ketika ia sedang memanjat rumah kekasihnya, lewatlah

sebuah kafilah. Di antara mereka ada yang sedang membaca ayat al-Qur’an:

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk

menundukkan hati mereka mengingat Allah.”

Ayat ini bagaikan anak panah yang menmbus jantung Fuzail, seolah-olah

ada sebuah tantangan yang berseru: “Wahai Fuzail, berapa lama lagikah

engkau akan membegal para kafilah? Telah tiba saatnya kami akan

membegalmu”

Fuzail terjatuh dan berseru: “Memang telah tiba saatnya, bahkan hamper

terlambat.” Fuzail merasa bingung dan malu. Ia berlari kea rah sebuah puing.

Ternyata di situ sedang berkemah sebuah kafilah. Mereka berkata: ”Marilah

kita melanjutkan perjalanan.” Tetapi salah seorang di antara mereka berkata:

“Tidak mungkin, Fuzail sedang menghadang dan menanti kita.”

Mendengar pembicaraan mereka, Fuzail berseru: “Berita gembira! Fuzail

telah bertobat.”

180
Setelah itu, iapun pergi. Sepanjang hari ia berjalan sambil menangis. Hal

ini sangat menggembirakan orang-orang yang membencinya . kepada setiap

sahabat yang ditemuinya, ia meminta agar janji setia di antara mereka

dihapuskan.247

i. Ja’far ibn Hirb

Ja’far ibn Harb (w.236 H.) adalah seorang aparat kesultanan dengan

pendapatan yang tinggi hampir menyamai pendapatan seorang menteri, di

samping memiliki tempat tinggal yang megah dan indah. Suatu ketika dia

mendengar seorang laki-laki yang membacakan ayat: “Belumkah datang

waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk menundukkan hati mereka

mengingat Allah dan kepada kebenaran yang turun (kepada mereka).” (QS.

Al-Hadîd:16)

Mendengar ayat tersebut, Ja’far menjerit: “Ya Allah, ini memang benar!”

diualanginya kata-kata tersebut sambil meneteskan air mata.lalu Ja’far turun

dari kendaraannya dan menanggalkan seluruh pakaiannya, lalu berendam di

sungai dajlah. Ia enggan beranjak dari sungai itu sebelum semua harta

miliknya dibagikan demi menebus kezaliman yang pernah dilakukannya.

Sedangkan sisanya dipergunakan untuk sedekah.pada suatu hari, lewatlah

seorang lelaki yang juga telah mendengar perihal yang terjadi dengan diri

247
Farîduddîn al-Attâr, Warisan Para Awliya, Penerjemah Anas Mahyudin (Bandung:
Penerbit Pustaka, 1983), h. 65-69

181
Ja’far. Lalu lelaki itu memberikan sebuah gamis dan sarung kepadanya. Dan

selanjutnya, ja’far menghabiskan sisa hidupnya untuk ilmu dan ibadah.248

j. ‘Abdullâh ibn ‘Abbâs

Ibn Abî Mulaikah mengatakan: “Ibn ‘Abbâs biasa bangun tengah malam

lalu membaca al-Qur’an huruf demi huruf. Ketika ia membaca ayat ‘Wa jâ’at

kullu nafsin ma’ahâ sâ’iqun wa syahîd’ (Dan datanglah tiap-tiap diri bersama

dengan dia seorang malaikat penggiring dan seorang malaikat penyaksi –

QS.Qâf/50:21) Lalu, beliaupun menangis sampai terdengar tangisannya.249

Demikianlah tetesan air mata yang keluar dari kelopak mata orang-orang

salih yang pernah hidup di atas bumi Allah. Tangisan-tangisan tersebut adalah

buah dari rasa takut manakala mereka membaca ayat-ayat suci al-Qur’an

yang menjelaskan peringatan atau azab Allah. Meski mereka diakui sebagai

generasi terbaik umat Islam dengan segudang kebajikan yang telah mereka

persembahkan di hadapan Allah, namun rasa takut (khauf) akan mendapatkan

azab Allah baik di dunia ataupun di akhirat tetap terpatri dalam kalbu mereka.

Mereka belum merasa aman dan tenang, sebelum diri mereka benar-benar

terbebas dari murka Allah dan api neraka. Menangis, sebagaimana yang

dikatakan oleh Syaikh ‘Abd al-Qâdir Jailani, adalah ibadah dan merupakan

248
Ibn Qudâmah al-Maqdisi, Mereka yang Kembali, Penerjemah Abu Ahmad Najieh
(Surabaya: Risalah Gusti, 2000), h. 214-215
249
Khumais al-Sa’id, Menangislah sebagaimana Rasulullah saw. dan Para sahabat
Menangis, h. 54

182
puncak ibadah.250 Sehingga menurut Abû ‘Abdurrahman, menangis adalah di

antara akhlak para nabi dan para pengikutnya.

Tangisan yang terjadi pada diri orang-orang salih bukanlah sebuah

aktivitas yang terhenti pada tetesan air mata yang jatuh di atas pipi mereka.

Namun, tangisan mereka mampu mempengaruhi kuatnya keinginan untuk

memperbaiki kualitas hidup dan bertaqarrub kepada Allah swt. Oleh karena

itu, dapatlah dinyatakan bahwa tangisan yang benar dapat menghantarkan

pelakunya kepada kebaikan.

Tentang tradisi menangis di kalangan para sahabat Rasulullah saw., Imam

‘Ali k.w. berkata: “ Demi Allah, telah kulihat para sahabat Rasulullah saw.

Pada saat ini tidak kulihat sesuatu yang menyerupai mereka. Mereka adalah

orang-orang yang kusut dan berdebu. Di antara mata mereka seakan-akan ada

iring-iringan orang yang mengantar jenazah. Mereka senantiasa sujud dan

berdiri kepada Allah, membata Kitabullah, pergi dengan berjalan kaki dan

juga mengingat Allah. Mereka tampak seperti pohon yang condong dan

bergoyang-goyang pada saat angina berhembus kencang. Mereka selalu

menangis hingga kain mereka basah. Demi Allah, sepertinya orang-orang saat

ini sudah lalai.”251

2. Beriman kepada Allah dan hari akhir

Iman adalah unsur asasi manusia yang harus dimiliki oleh seorang muslim

dalam beramal. Tanpa iman, sebuah amal yang terlihat “salih” dalam pandangan

250
Syaikh ‘Abd al-Qâdir Jailani, Percikan Cahaya Ilahi, Penerjemah Arief B. Iskandar
(Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), h. 117
251
Ibn Qudâmah al-Maqdisi, Mereka yang Kembali, h. 401

183
manusia menjadi sia-sia belaka tanpa makna di hadapan Allah. Sekian banyak

ayat al-Qur’an menyebutkan secara bersamaan antara iman dan amal saleh. Lihat

dalam ayat berikut ini:

‫ﷲ‬
ِ ‫ﻦ ﺑِﺎ‬ َ ‫ﻦ ءَا َﻣ‬
ْ ‫ﻦ َﻣ‬َ ‫ﻦ ءَاﻣَﻨُﻮا وَاﱠﻟﺬِﻳﻦَ هَﺎدُوا وَاﻟﱠﻨﺼَﺎرَى وَاﻟﺼﱠﺎ ِﺑﺌِﻴ‬ َ ‫ن اﱠﻟﺬِﻳ‬ ‫ِإ ﱠ‬
‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ْﻢ‬
َ ‫ف‬ ٌ ‫ﻻ ﺧَ ْﻮ‬ َ ‫ﻋ ْﻨ َﺪ َرﱢﺑ ِﻬ ْﻢ َو‬
ِ ‫ﺟ ُﺮ ُه ْﻢ‬
ْ ‫ﻞ ﺻَﺎِﻟﺤًﺎ َﻓَﻠ ُﻬ ْﻢ َأ‬
َ ‫ﻋ ِﻤ‬
َ ‫ﺧ ِﺮ َو‬ِ ‫وَا ْﻟ َﻴ ْﻮ ِم اﻷ‬
‫ن‬ َ ‫ﺤ َﺰﻧُﻮ‬
ْ ‫ﻻ ُه ْﻢ َﻳ‬
َ ‫َو‬
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Nashrani,
dan orang-orang shabi’in, siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah,
hari akhir, serta beramal saleh,mereka akan menerima pahala dari Tuhan
mereka,tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.
(QS.al-Baqarah/2:62)

Lihat pula ayat-ayat berikut ini:QS.al-Baqarah/2:82 & 277; QS.’Ali

Imrân/3:57; dan QS.al-‘Ankabût/29:9.

Iman dan amal salih laksana dua sisi mata uang yang tak terpisahkan.

Berapapun banyaknya kebajikan yang dilakukan seseorang, jika tidak dilandasi

oleh keimanan, ia hanya laksana fatamorgana. Allah menegaskan dalam al-

Qur’an:

‫ﺢ ﻓِﻲ َﻳ ْﻮ ٍم‬ ُ ‫ت ِﺑ ِﻪ اﻟﺮﱢﻳ‬


ْ ‫ﺷ َﺘ ﱠﺪ‬
ْ ‫ﻋﻤَﺎُﻟ ُﻬ ْﻢ َآ َﺮﻣَﺎ ٍد ا‬ْ ‫ﻦ َآ َﻔﺮُوا ِﺑ َﺮ ﱢﺑ ِﻬ ْﻢ َأ‬ َ ‫ﻞ اﱠﻟﺬِﻳ‬
ُ ‫َﻣ َﺜ‬
‫ل ا ْﻟ َﺒﻌِﻴ ُﺪ‬
ُ‫ﻼ‬َ‫ﻀ‬‫ﻚ ُه َﻮ اﻟ ﱠ‬ َ ‫ﻲ ٍء َذِﻟ‬
ْ ‫ﺷ‬ َ ‫ﺴﺒُﻮا ﻋَﻠَﻰ‬ َ ‫ن ِﻣﻤﱠﺎ َآ‬ َ ‫ﻻ َﻳ ْﻘ ِﺪرُو‬
َ ‫ﻒ‬ٍ ‫ﺻ‬ ِ ‫ﻋَﺎ‬

Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah
seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin
kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah
mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang
jauh.(QS.Ibrâhîm/14:18)
Lihat juga dalam QS.al-Nûr/24:39.
Ketika seseorang beramal dengan landasan keimanan, maka itu artinya ia

mengikhlaskan (memurnikan) amalnya semata-mata hanya karena Allah, bukan

karena yang lain. Ia hanya mengharapkan ridha Allah dan ganjaran pahala dari-

184
Nya. Ia sama sekali tidak mengharapkan balasan, pujian, atau sekedar ucapan

terima kasih dari manusia (QS. al-Insân/76:9).

Imam Abû al-Qâsim al-Qusyairî (w.465 H.), sebagaimana dikutip oleh

Imam al-Nawawî (w.675 H.), menjelaskan bahwa ikhlas adalah menunggalkan

Zat Allah Yang Mahahaq dalam ketaatan atau kepatuhan, yaitu ketaataannya

ditujukan hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan karena yang lain

(berbuat karena seseorang, ingin dipuji, dan lain-lain).252

3. Mentaati Allah dan Rasul-Nya

Mentaati Allah dan Rasul-Nya merupakan keniscayaan bagi setiap orang

yang beriman. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan dalam surat al-Nisî/4:59

berikut ini:

‫ﻷ ْﻣ ِﺮ‬ َ ‫ل وَأُوﻟِﻲ ا‬ َ ‫ﷲ َوَأﻃِﻴﻌُﻮا اﻟ ﱠﺮﺳُﻮ‬ َ ‫ﻦ ءَاﻣَﻨُﻮا َأﻃِﻴﻌُﻮا ا‬ َ ‫ﻳَﺎَأ ﱡﻳﻬَﺎ اﱠﻟﺬِﻳ‬


‫ن ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ‬ْ ‫ل ِإ‬
ِ ‫ﷲ وَاﻟ ﱠﺮﺳُﻮ‬ِ ‫ﻲ ٍء َﻓ ُﺮدﱡو ُﻩ إِﻟَﻰ ا‬ ْ ‫ﺷ‬َ ‫ﻋ ُﺘ ْﻢ ﻓِﻲ‬ ْ ‫ن َﺗﻨَﺎ َز‬ ْ ‫ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ َﻓِﺈ‬
‫ﻼ‬ ً ‫ﻦ َﺗ ْﺄوِﻳ‬
ُ‫ﺴ‬
َ‫ﺣ‬ْ ‫ﻚ ﺧَ ْﻴ ٌﺮ َوَأ‬
َ ‫ﺧ ِﺮ َذِﻟ‬
ِ ‫ﷲ وَا ْﻟ َﻴ ْﻮ ِم اﻷ‬
َ ‫ن ﺑِﺎ‬َ ‫ُﺗ ْﺆ ِﻣﻨُﻮ‬
Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian
itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. al-Nisâ/4:59)
Ayat di atas disampaikan dengan redaksi perintah (amr). Dalam kaidah

ushul fiqh, bentuk perintah (sighat amr) menunjukkan hukum wajib. Oleh karena

itu, tunduk dan patuh kepada Allah dan Rasul-Nya, baik secara naqli (teks

agama) ataupun secara aqli (logika) merupakan sesuatu yang tak terbantahkan.

Kepatuhan setulus hati, kesediaan, dan kerelaan menjalankan perintah,

sesungguhnya merupakan buah dari keimanan yang mantap. Atau dengan

252
al-Nawawî, Al-Adzkâr, (Indonesia: Syirkah Nur Asia, t.t), h. 7

185
ungkapan lain, keimanan yang sejati mensyaratkan adanya kepatuhan. Tentang hal

ini Allah menegaskan dalam beberapa ayat berikut ini:253

‫ﺠﺪُوا‬
ِ ‫ﻻ َﻳ‬
َ ‫ﺠ َﺮ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻬ ْﻢ ُﺛﻢﱠ‬
َ‫ﺷ‬
َ ‫ك ﻓِﻴﻤَﺎ‬َ ‫ﺤ ﱢﻜﻤُﻮ‬ َ ‫ﺣﺘﱠﻰ ُﻳ‬
َ ‫ن‬ َ ‫ﻻ ُﻳ ْﺆ ِﻣﻨُﻮ‬
َ ‫ﻚ‬ َ ‫ﻼ َو َر ﱢﺑ‬ َ ‫َﻓ‬
‫ﺴﻠِﻴﻤًﺎ‬
ْ ‫ﺴﻠﱢﻤُﻮا َﺗ‬
َ ‫ﺖ َو ُﻳ‬َ ‫ﻀ ْﻴ‬
َ ‫ﺣ َﺮﺟًﺎ ﻣِﻤﱠﺎ َﻗ‬ َ ‫ﺴ ِﻬ ْﻢ‬
ِ ‫ﻓِﻲ َأ ْﻧ ُﻔ‬
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan
yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS. al-Nisâ/4:65)

‫ن‬
ْ ‫ﺤ ُﻜ َﻢ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻬ ْﻢ َأ‬
ْ ‫ﷲ َو َرﺳُﻮِﻟ ِﻪ ِﻟ َﻴ‬
ِ ‫ل ا ْﻟ ُﻤ ْﺆﻣِﻨِﻴﻦَ إِذَا ُدﻋُﻮا ِإﻟَﻰ ا‬ َ ‫ن َﻗ ْﻮ‬َ ‫إِﻧﱠﻤَﺎ آَﺎ‬
‫ن‬ َ ‫ﻚ ُه ُﻢ ا ْﻟ ُﻤ ْﻔِﻠﺤُﻮ‬
َ ‫ﻃ ْﻌﻨَﺎ َوأُوَﻟ ِﺌ‬
َ ‫ﺳ ِﻤ ْﻌﻨَﺎ َوَأ‬
َ ‫َﻳﻘُﻮﻟُﻮا‬
Sesungguhnya jawaban orang-orang mu'min, bila mereka dipanggil
kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka
ialah ucapan." "Kami mendengar dan kami patuh." Dan mereka itulah orang-
orang yang beruntung. (QS.al-Nûr/24:51)

‫ن‬
َ ‫ن َﻳﻜُﻮ‬
ْ ‫ﷲ َو َرﺳُﻮُﻟ ُﻪ أَ ْﻣﺮًا َأ‬
ُ ‫ﻻ ُﻣ ْﺆ ِﻣ َﻨ ٍﺔ إِذَا َﻗﻀَﻰ ا‬
َ ‫ﻦ َو‬ٍ ‫ن ِﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣ‬
َ ‫وَﻣَﺎ آَﺎ‬
‫ﻻ‬
ً‫ﻼ‬َ‫ﺿ‬َ ‫ﻞ‬ ‫ﺿﱠ‬ َ ‫ﷲ َو َرﺳُﻮَﻟ ُﻪ َﻓ َﻘ ْﺪ‬َ ‫ﺺا‬
ِ ‫ﻦ َﻳ ْﻌ‬ْ ‫ﻦ َأ ْﻣ ِﺮ ِه ْﻢ َو َﻣ‬
ْ ‫ﺨ َﻴ َﺮ ُة ِﻣ‬
ِ ‫َﻟ ُﻬ ُﻢ ا ْﻟ‬
‫ﻣﺒِﻴﻨًﺎ‬ ُ
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan
barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat,
sesat yang nyata. (QS. al-Ahzâb/33:36)
Itulah sebabnya, seorang yang salih akan selalu menunjukkan sikap tunduk

dan patuh kepada seluruh titah Allah dan Rasul-Nya. (QS.al-Baqarah/2:130-131dan

QS.al-Nisâ/4:69)

4. Mengerjakan Berbagai Kebajikan atau Amal Salih

Sâlihîn adalah orang-orang yang mengerjakan amal salih. Oleh karena

itu, secara etimologi dengan mudah dapat dipahami bahwa kesalehan atau

253
Yusuf Qardhawi, Merasakan Kehadiran Tuhan, Penerjemah Jazirotul Islmiyah
(Yogyakarta: Penerbit Mitra Pustaka, 2003), Cet. VII, h. 29-30

186
berbagai kebajikan telah menyatu dengan kepribadian orang-orang saleh. Tentang

hal ini Allah menyatakan:

‫ﻞ َو ُه ْﻢ‬ِ ‫ﷲ ءَاﻧَﺎ َء اﻟﱠﻠ ْﻴ‬


ِ ‫تا‬ ِ ‫ن ءَاﻳَﺎ‬ َ ‫ب ُأ ﱠﻣ ٌﺔ ﻗَﺎ ِﺋ َﻤ ٌﺔ َﻳ ْﺘﻠُﻮ‬ ِ ‫ﻞ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ‬ِ ‫ﻦ َأ ْه‬
ْ ‫ﺳﻮَا ًء ِﻣ‬ َ ‫َﻟ ْﻴﺴُﻮا‬
‫ﻦ‬
ِ‫ﻋ‬ َ ‫ن‬ َ ‫ن ﺑِﺎ ْﻟﻤَ ْﻌﺮُوفِ َو َﻳ ْﻨ َﻬ ْﻮ‬
َ ‫ﺧ ِﺮ َو َﻳ ْﺄ ُﻣﺮُو‬ِ ‫ﷲ وَا ْﻟ َﻴ ْﻮ ِم اﻵ‬ ِ ‫ن ﺑِﺎ‬َ ‫ن ُﻳ ْﺆ ِﻣﻨُﻮ‬ َ ‫ﺠﺪُو‬ ُ‫ﺴ‬ ْ ‫َﻳ‬
ْ ‫ﻦ وَﻣَﺎ َﻳ ْﻔ َﻌﻠُﻮا ِﻣ‬
‫ﻦ‬ َ ‫ﻦ اﻟﺼﱠﺎِﻟﺤِﻴ‬ َ ‫ﻚ ِﻣ‬ َ ‫ن ﻓِﻲ ا ْﻟﺨَ ْﻴﺮَاتِ َوأُوَﻟ ِﺌ‬ َ ‫ا ْﻟ ُﻤ ْﻨ َﻜ ِﺮ َو ُﻳﺴَﺎ ِرﻋُﻮ‬
‫ﻦ‬ َ ‫ﷲ ﻋَﻠِﻴ ٌﻢ ﺑِﺎ ْﻟ ُﻤ ﱠﺘﻘِﻴ‬
ُ ‫ﻦ ُﻳ ْﻜ َﻔﺮُو ُﻩ وَا‬
ْ ‫ﺧ ْﻴ ٍﺮ َﻓَﻠ‬
َ
Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku
lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari,
sedang mereka juga bersujud (sembahyang). Mereka beriman kepada Allah dan
hari penghabisan mereka menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang
munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu
termasuk orang-orang yang saleh. Dan apa saja kebajikan yang mereka kerjakan,
maka sekali-kali mereka tidak dihalangi (menerima pahala) nya; dan Allah Maha
Mengetahui orang-orang yang bertakwa. (QS. ‘Ali Imrân/3:113-115)
Lihat juga dalam QS. al-Anbiyâ/21:72-74; QS.al-Naml/27:19; QS.al-

Ankabût/29:9.

Amal salih yang dikerjakan para salihin, tentunya memenuhi dua sisi. Sisi

pertama adalah wujud amal. Dalam hal ini orang dapat memberikan penilaian sesuai

dengan kenyataan yang dilihatnya. Penilaian baik diberikan ketika kenyataan yang

dilihatnya itu menghasilkan manfaat dan menolak mudharat. Sedangkan sisi yang

kedua adalah motif yang melandasi pekerjaan. Tentang hal ini, Rasulullah saw.

bersabda:

‫ﻋ ْﻨ ُﻪ‬
َ ‫ﷲ‬
ُ ‫ﻲا‬َ‫ﺿ‬ ِ ‫ﻦ ا ْﻟﺨَﻄﱠﺎبِ َر‬ ِ ‫ﻋ َﻤ َﺮ ْﺑ‬ُ ‫ﺺ‬ ٍ ‫ﺣ ْﻔ‬ َ ‫ﻲ‬ْ ‫ﻦ َأ ِﺑ‬
َ ‫ﻦ َأ ِﻣ ْﻴ ِﺮ ا ْﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣ ِﻨ ْﻴ‬
ْ‫ﻋ‬َ
‫ئ‬
ٍ ‫ل ﺑِﺎﻟ ﱢﻨ ﱠﻴ ِﺔ َوِإ ﱠﻧﻤَﺎ ﻻ ْﻣ ِﺮ‬
ُ ‫ﻋﻤَﺎ‬ْ‫ﻻ‬ ُ ‫ َﻳ ُﻘ ْﻮ‬ρ ‫ﷲ‬
َ ‫ل إِ ﱠﻧﻤَﺎ ْا‬ ِ ‫لا‬ َ ‫ﺳ ْﻮ‬ ُ ‫ﺖ َر‬ ُ ‫ﺳ ِﻤ ْﻌ‬ َ ‫ل‬ َ ‫ﻗَﺎ‬
‫ﷲ‬
ِ ‫ﺠ َﺮ ُﺗ ُﻪ إِﻟَﻰ ا‬ْ ‫ﺳ ْﻮِﻟ ِﻪ َﻓ ِﻬ‬ُ ‫ﷲ َو َر‬ ِ ‫ﺠ َﺮ ُﺗ ُﻪ إِﻟَﻰ ا‬ ْ ‫ﺖ ِه‬ ْ ‫ﻦ آَﺎ َﻧ‬ ْ ‫ﻣَﺎ َﻧﻮَى َﻓ َﻤ‬

187
‫ﺟﻬَﺎ‬
ُ ‫ﺠ َﺮ ُﺗ ُﻪ إِﻟَﻰ ِ ُد ْﻧﻴَﺎ ُﻳﺼِ ْﻴ ُﺒﻬَﺎ َأ ِو ا ْﻣ َﺮ َء ٍة ﻳَﺘَﺰَوﱠ‬ْ ‫ﺖ ِه‬ ْ ‫ﻦ آَﺎ َﻧ‬
ْ ‫ﺳ ْﻮِﻟ ِﻪ َو َﻣ‬
ُ ‫َو َر‬
254
‫ﺟ َﺮ ِإَﻟ ْﻴ ِﻪ‬
َ ‫ﺠ َﺮ ُﺗ ُﻪ ِإﻟَﻰ ﻣَﺎ هَﺎ‬
ْ ‫َﻓ ِﻬ‬
Dari Amîril Mu’minîn Abî Hafs ‘Umar ibn al-Khattab r.a. ia berkata: Saya
mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya setiap pekerjaan itu
ditentukan nilainya oleh niat, dan setiap orang memperoleh imbalan sesuai dengan
niatnya. Maka barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka
hijrahnya itu akan sampai kepada Allah dan Rasulnya. Dan barangsiapa yang
berhijrah karena (materi) dunia yang ingin diraihnya atau karena perempuan yang
ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu (hanya) akan sampai kepada yang
ditujunya” (H.R. al-Bukhârî dan Muslim)
Lebih jauh dapat dikatakan bahwa nilai suatu amal bukan semata-mata

dari wujud lahiriah, tetapi yang lebih penting adalah niat pelakunya.255

Di sinilah diperlukannya keikhlasan dalam beraktivitas sebagai upaya

untuk menghindari diri dari sikap riya dan sum’ah. Ikhlas, sebagaimana yang

dikatakan oleh al-Muhâsibî dalam kitab “al-Ri’âyah” adalah berkehendak untuk

ta’at dan patuh kepada Allah, tidak kepada yang lain.256

5. Menyembah Allah dan Tidak Menyekutukan-Nya

Keimanan seorang hamba kepada Allah harus dibuktikan dengan

pengabdian secara nyata sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Tanpa

pembuktian, kualitas iman seseorang menjadi diragukan. Itulah sebabnya, dalam

surat al-Fatihah ayat kelima ditegaskan:


254
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 1, Kitâb al-Wahy Bâb Kaif Kâna Bad’i al-Wahy ilâ
Rasûl al-Lâh saw., h. 2 dan kitâb al-Îmân Bâb Mâ Jâ’a inna al-A’mâl bi al-Niyyah, h. 20; Juz 4,
Kitâb al-Manâqib Bâb Hijrah al-Nabî wa Ashâbih ilâ al-Madînah, h. 252; Juz 6, Kitâb al-Nikâh
Bâb Man Hajara au ‘Amila Khairan li Tazwîj Mar’ah falahu Mâ Nawâ, h. 118 dan Kitâb al-Talâq
fî al-Ighlâq wa al-Mukrah wa al-Sakrân wa al-Majnûn, h. 168; Juz 7, Kitâb al-Aimân wa al-
Nudzûr Bâb al-Niyyah fî al-Aimân, h. 231; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 2, Kitâb al-Imârah Bâb
Qaulih saw. Innamâ al-A’mâl bi al-Niyyah, (Indonesia: Dâr Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t.), h.
157-158; al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 3, Abwâb al-Jihâd Bâb Mâ Jâ’a Man Yuqâtilu
Riyâ’an wa li al-Dunyâ, no. Hadis 1698, h. 100; Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 2, Kitâb al-
Talâq Bâb fî Mâ ‘Uniya bih al-Talâq wa al-Niyyât, no. Hadis 2201, (Jakarta: Dâr al-Hikmah,
tth.)., h. 262; al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb al-Tahârah Bâb al-Niyyah fî al-Wudû, no. Hadis
75, (Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), Cet.I, h. 20 & Kitâb al-Talâq Bâb al-Kalâm idzâ
Qusida bih fîmâ Yahtamilu Ma’nâh, no. Hadis 3434, h. 560; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2,
Kitâb al-Zuhd Bâb al-Niyyah, no. Hadis 4227, h. 1413; Ahmad, al-Musnad, (Beirût: Dâr al-Fikr,
t.t.), Juz 1, h. 25, Juz 3, h. 60
255
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, h.754
256
al-Nawawî, Syarh al-Arba’în al-Nawawiyah, (Surabaya: Maktabah Ahmad bin Sa’ad
bin Nabhân wa Aulâdih, tth), h.7

188
“Hanya kepada-Mu-lah kami mengabdi dan hanya kepada-Mu-lah kami
mohon pertolongan.”
Ayat yang selalu dibaca berulang-ulang dalam shalat tersebut

sesungguhnya merupakan suatu upaya mengingatkan dan memperbaharui tauhid

seorang mukmin.

Dalam akidah Islam, tidak mengabdi kepada Allah dan berbuat syirik

kepada-Nya dianggap sebagai dosa terbesar yang tidak akan diampuni oleh Allah,

jika yang bersangkutan tidak bertaubat sampai ajal menjemput.

Dengan begitu, dapatlah dipahami jika para shalihin mengejawantahkan

tauhid rubûbiyyah ke dalam tauhid ulûhiyyah/ubûdiyyah dengan menyembah

hanya kepada Allah dan meninggalkan jauh-jauh segala bentuk kesyirikan. (Lihat

surat al-Anbiyâ/21:72-72 dan al-Ankabût/29:9 sebagaimana yang telah

dicantumkan pada poin ketiga!)

6. Menegakkan Salat dan Menunaikan Zakat

Salat adalah kewajiban yang tidak bisa ditunda-tunda dan ditawar-tawar.

Ia masuk dalam rangkaian rukun Islam urutan yang kedua setelah mengucapkan

syahadatain. Salat adalah salah satu ukuran atau indikasi lahiriah kesalehan

seorang hamba. Itulah sebabnya, dalam salah satu sabdanya Rasulullah saw.

menyatakan:

‫ﻦ‬
َ ‫ن َﺑ ْﻴ‬ ُ ‫ َﻳ ُﻘ ْﻮ‬ρ ‫ﷲ‬
‫ل ِإ ﱠ‬ ِ ‫ﻲا‬
‫ﺖ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱠ‬ ُ ‫ﺳ ِﻤ ْﻌ‬
َ ‫ل‬َ ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ َﻳ ُﻘ ْﻮ‬
َ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﻲا‬ َ‫ﺿ‬ِ ‫ﻦ ﺟَﺎ ِﺑ ٍﺮ َر‬ ْ‫ﻋ‬ َ
257
‫ﻼ ِة‬
َ‫ﺼ‬‫ك اﻟ ﱠ‬ ُ ‫ك وَا ْﻟ ُﻜ ْﻔ ِﺮ َﺗ ْﺮ‬
ِ ‫ﺸ ْﺮ‬
‫ﻦ اﻟ ﱢ‬
َ ‫ﻞ َو َﺑ ْﻴ‬
ِ‫ﺟ‬ُ ‫اﻟ ﱠﺮ‬
Dari Jâbir r.a. ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda:
“Sesungguhnya pembatas/pembeda antara seseorang dengan kesyirikan dan
kekufuran adalah meninggalkan salat.” (H.R. Muslim dan al-Tirmidzî)

257
Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Îmân Bâb Bayân Itlâq Ism al-Kufr ‘alâ Man
Taraka al-Salâh, h. 49; al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 4, Abwâb al-Îmân Bâb Mâ Jâ’a fî Tark
al-Salâh, no. Hadis 2752, h. 125; al-Nawawî, Riyâd al-Sâlihîn, (Kairo: Matba’ah al-Istiqâmah,
1939), h. 410

189
Tidak setiap orang dapat menegakkan salat dengan baik dan khusyu.

Karena salat merupakan sesuatu yang amat berat kecuali bagi mereka yang

khusyu (QS.2:45). Menegakkan salat yang baik adalah salah satu karakteristik

orang-orang salih. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan Allah dalam surat al-

Anbiyâ ayat 72-74 berikut ini terjemahannya:

Dan Kami telah memberikan kepadanya (Ibrâhîm) Ishâq dan Ya`qûb,


sebagai suatu anugerah (daripada Kami). Dan masing-masing Kami jadikan
orang-orang yang salih. Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-
pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami
wahyukan kepada mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang,
menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah, dan
kepada Lût, Kami telah berikan hikmah dan ilmu, dan telah Kami selamatkan dia
dari (azab yang telah menimpa penduduk) kota yang mengerjakan perbuatan keji.
Sesungguhnya mereka adalah kaum yang jahat lagi fasik, (QS. al-Anbiyâ/21:72-
74)

7. Melaksanakan Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar

Imam al-Ghâzalî (w.505 H.) menyatakan bahwa amar ma’ruf nahi munkar

adalah suatu hal yang amat penting dalam beragama. Seandainya tidak ada amar

ma’ruf nahi munkar, tentu misi kenabian menjadi terlantar, agama lenyap, masa

fatrah (vacuum) akan merata, kesesatan merajalela, kebodohan berkembang,

kerusakan ada di mana-mana, negara akan hancur, dan hamba-hamba akan binasa.

Oleh karena itu, berdasarkan teks-teks keagamaan dan rasio sehat, amar ma’ruf

nahi munkar merupakan kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar.258

Pengejawantahan kewajiban inilah yang menjadi salah satu kriteria umat

Islam menjadi umat terbaik (khair ummah) di antara umat-umat yang lain. Hal ini

sebagaimana yang disebutkan dalam surat Ali ‘Imrân ayat 110 berikut ini:

258
al-Ghazâlî, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, (Indonesia: Dâr Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiyyah, tth), Juz
2, h. 302-303

190
‫ﻦ‬
ِ‫ﻋ‬ َ ‫ن‬ َ ‫ن ﺑِﺎ ْﻟﻤَ ْﻌﺮُوفِ َو َﺗ ْﻨ َﻬ ْﻮ‬
َ ‫س َﺗ ْﺄ ُﻣﺮُو‬ِ ‫ﺖ ﻟِﻠﻨﱠﺎ‬ ْ ‫ﺟ‬ َ ‫ﺧ ِﺮ‬ ْ ‫ﺧ ْﻴ َﺮ ُأ ﱠﻣ ٍﺔ ُأ‬ َ ‫ُآ ْﻨُﺘ ْﻢ‬
‫ن ﺧَ ْﻴﺮًا َﻟ ُﻬ ْﻢ ِﻣ ْﻨ ُﻬ ُﻢ‬َ ‫ب َﻟﻜَﺎ‬
ِ ‫ﻞ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ‬
ُ ‫ﻦ َأ ْه‬
َ ‫ﷲ َوَﻟ ْﻮ ءَا َﻣ‬ِ ‫ا ْﻟ ُﻤ ْﻨ َﻜ ِﺮ وَُﺗ ْﺆﻣِﻨُﻮنَ ﺑِﺎ‬
‫ن‬ َ ‫ﺳﻘُﻮ‬ ِ ‫ن َوَأ ْآ َﺜ ُﺮ ُه ُﻢ ا ْﻟﻔَﺎ‬
َ ‫ا ْﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣﻨُﻮ‬
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara
mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang
fasik.(QS.Ali ‘Imrân/3:110)
Dan sebagai kewajiban, sudah pasti hal ini akan diupayakan oleh hamba-

hamba Allah yang salih. Perhatikanlah ayat berikut ini:

‫ﻞ َو ُه ْﻢ‬ِ ‫ت اﻟﱠﻠ ِﻪ ءَاﻧَﺎ َء اﻟﱠﻠ ْﻴ‬


ِ ‫ن ءَاﻳَﺎ‬ َ ‫ب ُأ ﱠﻣ ٌﺔ ﻗَﺎ ِﺋ َﻤ ٌﺔ َﻳ ْﺘﻠُﻮ‬
ِ ‫ﻞ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ‬
ِ ‫ﻦ َأ ْه‬ْ ‫ﺳﻮَا ًء ِﻣ‬َ ‫َﻟ ْﻴﺴُﻮا‬
‫ن‬
َ ‫ف َو َﻳ ْﻨ َﻬ ْﻮ‬ِ ‫ﺧ ِﺮ وَﻳَ ْﺄ ُﻣﺮُونَ ﺑِﺎ ْﻟ َﻤ ْﻌﺮُو‬ ِ ‫ن ُﻳ ْﺆﻣِﻨُﻮنَ ﺑِﺎﻟﱠﻠ ِﻪ وَا ْﻟ َﻴ ْﻮ ِم اﻵ‬ َ ‫ﺠﺪُو‬
ُ‫ﺴ‬ ْ ‫َﻳ‬
‫ﻦ َوﻣَﺎ‬ َ ‫ﻦ اﻟﺼﱠﺎِﻟﺤِﻴ‬ َ ‫ﻚ ِﻣ‬َ ‫ن ﻓِﻲ ا ْﻟﺨَ ْﻴﺮَاتِ َوأُوَﻟ ِﺌ‬ َ ‫ﻦ ا ْﻟ ُﻤ ْﻨ َﻜ ِﺮ َو ُﻳﺴَﺎ ِرﻋُﻮ‬
ِ‫ﻋ‬ َ
‫ﻦ‬ َ ‫ﻦ ُﻳ ْﻜ َﻔﺮُو ُﻩ وَاﻟﱠﻠ ُﻪ ﻋَﻠِﻴ ٌﻢ ﺑِﺎ ْﻟ ُﻤ ﱠﺘﻘِﻴ‬
ْ ‫ﺧ ْﻴ ٍﺮ َﻓَﻠ‬
َ ‫ﻦ‬
ْ ‫َﻳ ْﻔ َﻌﻠُﻮا ِﻣ‬
Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku
lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari,
sedang mereka juga bersujud (sembahyang). Mereka beriman kepada Allah dan
hari penghabisan mereka menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang
munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu
termasuk orang-orang yang salih. Dan apa saja kebajikan yang mereka kerjakan,
maka sekali-kali mereka tidak dihalangi (menerima pahala) nya; dan Allah Maha
Mengetahui orang-orang yang bertakwa. (QS. Ali ‘Imrân/3:113-115)
8. Mensyukuri Nikmat Allah

Bersyukur atas segala nikmat dan anugerah Allah merupakan kewajiban

setiap hamba (QS.31:12; 27:40; 14:7). Bersyukur atas segala karunia Allah

mencakup tiga sisi, yaitu: bersyukur dengan hati, bersyukur dengan lisan, dan

bersyukur dengan amal perbuatan.259

Bagi orang-orang saleh, bersyukur sebagaimana halnya bersabar atas

segala musibah merupakan bagian yang telah menyatu dalam kehidupannya.

259
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), Cet. I,
h.217

191
Sesungguhnya Ibrâhîm adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan
lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-
orang yang mempersekutukan (Tuhan), (lagi) yang mensyukuri ni`mat-ni`mat
Allah, Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus. Dan
Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia. Dan sesungguhnya dia di akhirat
benar-benar termasuk orang-orang yang saleh. Kemudian Kami wahyukan
kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrâhîm seorang yang hanif." dan
bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.
Sesungguhnya diwajibkan (menghormati) hari Sabtu atas orang-orang (Yahudi)
yang berselisih padanya. Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar akan memberi
putusan di antara mereka di hari kiamat terhadap apa yang telah mereka
perselisihkan itu. (QS. al-Nahl:120-124)

‫ﻚ اﱠﻟﺘِﻲ‬َ ‫ﺷ ُﻜ َﺮ ِﻧ ْﻌ َﻤَﺘ‬
ْ ‫ن َأ‬
ْ ‫ﻋﻨِﻲ َأ‬
ْ ِ‫ب أَ ْوز‬‫ل َر ﱢ‬ َ ‫ﻦ َﻗ ْﻮِﻟﻬَﺎ َوﻗَﺎ‬
ْ ‫ﺣﻜًﺎ ِﻣ‬ ِ ‫ﺴ َﻢ ﺿَﺎ‬ ‫َﻓَﺘَﺒ ﱠ‬
‫ﺧْﻠﻨِﻲ‬
ِ ‫ﻞ ﺻَﺎِﻟﺤًﺎ َﺗ ْﺮﺿَﺎ ُﻩ َوَأ ْد‬ َ ‫ﻋ َﻤ‬
ْ ‫ن َأ‬ْ ‫ي َوَأ‬ ‫ﻲ وَﻋَﻠَﻰ وَاِﻟ َﺪ ﱠ‬ ‫ﻋَﻠ ﱠ‬
َ ‫ﺖ‬َ ‫َأ ْﻧ َﻌ ْﻤ‬
َ‫ك اﻟﺼﱠﺎﻟِﺤِﻴﻦ‬ َ ‫ﻋﺒَﺎ ِد‬
ِ ‫ﻚ ﻓِﻲ‬َ ‫ﺣ َﻤِﺘ‬
ْ ‫ِﺑ َﺮ‬
Maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut
itu. Dan dia berdo`a: "Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri
ni`mat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu
bapakku dan untuk mengerjakan amal salih yang Engkau ridhai; dan masukkanlah
aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh".
(QS.al-Naml/27:19)

9. Berbakti kepada Kedua Orang Tua

Sekian banyak teks keagamaan menegaskan tentang kewajiban berbakti

kepada kedua orang tua, setelah sebelumnya Allah memerintahkan manusia untuk

beribadah (bertauhid) hanya kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya (Lihat

QS.4:36; 17:23; dan 31:13-14).

Dalam sebuah Hadis juga disebutkan:

‫ل‬
َ ‫ﷲ ﻗَﺎ‬
ِ ‫ﺐ إِﻟَﻰ ا‬ ‫ﺣ ﱡ‬ َ ‫ل َأ‬ ِ ‫ﻋﻤَﺎ‬ ْ‫ﻷ‬َ ‫ي ْا‬ ‫ َأ ﱡ‬ρ ‫ﻲ‬ ‫ﺖ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱠ‬
ُ ‫ﺳَﺄ ْﻟ‬
َ ‫ل‬ َ ‫ﷲ ﻗَﺎ‬ ِ ‫ﻋ ْﺒ ِﺪ ا‬
َ ‫ﻦ‬ْ‫ﻋ‬َ
‫ل‬
َ ‫ي ﻗَﺎ‬
‫ﺖ ُﺛﻢﱠ َأ ﱞ‬
ُ ‫ﻦ َﻗ ْﻠ‬ِ ‫ل ُﺛﻢﱠ ِﺑ ﱡﺮ ا ْﻟﻮَاِﻟ َﺪ ْﻳ‬ َ ‫ي ﻗَﺎ‬
‫ﺖ ُﺛﻢﱠ َأ ﱞ‬ُ ‫ﻼ ُة ﻋَﻠَﻰ َو ْﻗ ِﺘﻬَﺎ ُﻗ ْﻠ‬َ‫ﺼ‬‫اﻟ ﱠ‬
260
‫ﺳ َﺘ َﺰ ْد ُﺗ ُﻪ َﻟﺰَا َدﻧِﻲ‬
ْ ‫ﻦ َوَﻟ ْﻮ ا‬‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨِﻲ ِﺑ ِﻬ ﱠ‬
َ ‫ل‬
َ ‫ﷲ ﻗَﺎ‬ ِ ‫ﺠﻬَﺎ ُد ﻓِﻲ ﺳَﺒِﻴﻞِ ا‬ ِ ‫ا ْﻟ‬

260
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 1, Kitâb Mawâqît al-Salâh Bâb Fadl al-Salâh li
Waqtihâ, h. 134; Juz 3, Kitâb al-Jihâd wa al-Siyar Bâb Fadl al-Jihâd wa al-Siyar, h. 200; Muslim,
Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Îmân Bâb Bayân Kaun al-Îmân bi al-Lâh Ta’âlâ Afdal al-A’mâl, h.
50; al-Nawawî, Riyâd al-Sâlihîn, Bâb Birr al-Wâlidain wa Silah al-Arhâm, h. 151; Ibnul Jauzi,
Birrul Walidain, Penerjemah K.H. Mahrous Ali (Surabaya: Pustaka Progressif, 1993), Cet.I, h.19-
20;

192
Dari Abdullâh bin Mas’ûd r.a. ia berkata: Saya bertanya kepada Nabi saw.:
“Perbuatan apakah yang paling dicintai oleh Allah?” Beliau menjawab: “Salat
pada waktunya.” Saya bertanya lagi: “Lalu apa lagi?” Beliau menjawab: “Berbakti
kepada kedua orang tua.” Saya bertanya lagi: “Lalu apa lagi?” Beliau menjawab:
“Berjihad di jalan Allah.” (Muttafaq ‘alaih)
Keingkaran dan kedurhakaan kepada orang tua merupakan keingkaran dan

kedurhakaan kepada Allah. Oleh karena itu, sepanjang sejarah kehidupan manusia

orang-orang salih tidak akan pernah melalaikan kewajiban mulia ini. Hal ini

sebagaimana yang ditegaskan dalam firman Allah berikut ini:

‫ﺲ‬
َ ‫ك ﺑِﻲ ﻣَﺎ َﻟ ْﻴ‬ َ ‫ﺸ ِﺮ‬ ْ ‫ك ِﻟ ُﺘ‬
َ ‫ن ﺟَﺎ َهﺪَا‬ ْ ‫ﺴﻨًﺎ َوِإ‬ ْ‫ﺣ‬ُ ‫ن ِﺑﻮَاِﻟ َﺪ ْﻳ ِﻪ‬َ ‫ﻹ ْﻧﺴَﺎ‬
ِ ‫ﺻ ْﻴﻨَﺎ ا‬
‫وَوَ ﱠ‬
‫ن‬ َ ‫ﺟ ُﻌ ُﻜ ْﻢ ﻓَُﺄﻧَﺒﱢ ُﺌ ُﻜ ْﻢ ِﺑﻤَﺎ ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ َﺗ ْﻌ َﻤﻠُﻮ‬ِ ‫ﻲ َﻣ ْﺮ‬
‫ﻄ ْﻌ ُﻬﻤَﺎ ِإَﻟ ﱠ‬ ِ ‫ﻼ ُﺗ‬
َ ‫ﻚ ِﺑ ِﻪ ﻋِ ْﻠ ٌﻢ َﻓ‬
َ ‫َﻟ‬
‫ﻦ‬ َ ‫ﺧَﻠ ﱠﻨ ُﻬ ْﻢ ﻓِﻲ اﻟﺼﱠﺎِﻟﺤِﻴ‬ ِ ‫ت َﻟ ُﻨ ْﺪ‬
ِ ‫ﻋ ِﻤﻠُﻮا اﻟﺼﱠﺎِﻟﺤَﺎ‬ َ ‫ﻦ ءَا َﻣﻨُﻮا َو‬َ ‫وَاﱠﻟﺬِﻳ‬
Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-
bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan
sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu
mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan
kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Dan orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal salih benar-benar akan Kami masukkan mereka ke dalam
(golongan) orang-orang yang salih. (QS. al-Ankabût:8-9)

‫ﺣﻠِﻴ ٍﻢ َﻓَﻠﻤﱠﺎ َﺑَﻠ َﻎ‬َ ‫ﻼ ٍم‬ َ ‫ﺸ ْﺮﻧَﺎ ُﻩ ِﺑ ُﻐ‬ ‫ﻦ اﻟﺼﱠﺎﻟِﺤِﻴﻦَ َﻓ َﺒ ﱠ‬ َ ‫ﺐ ﻟِﻲ ِﻣ‬ ْ ‫ب َه‬ ‫َر ﱢ‬
‫ﻈ ْﺮ ﻣَﺎذَا‬ُ ‫ﻚ ﻓَﺎ ْﻧ‬
َ‫ﺤ‬
ُ ‫ل ﻳَﺎ ُﺑ َﻨﻲﱠ إِﻧﱢﻲ أَرَى ﻓِﻲ ا ْﻟ َﻤﻨَﺎ ِم َأﻧﱢﻲ َأ ْذ َﺑ‬
َ ‫ﻲ ﻗَﺎ‬ َ ‫ﺴ ْﻌ‬
‫َﻣ َﻌ ُﻪ اﻟ ﱠ‬
‫ﻦ‬
َ ‫ن ﺷَﺎ َء اﻟﻠﱠ ُﻪ ِﻣ‬ ْ ‫ﺠ ُﺪﻧِﻲ ِإ‬ ِ ‫ﺳ َﺘ‬َ ‫ﻞ ﻣَﺎ ُﺗ ْﺆ َﻣ ُﺮ‬ ْ ‫ﺖ ا ْﻓ َﻌ‬ ِ ‫ل ﻳَﺎَأ َﺑ‬َ ‫ﺗَﺮَى ﻗَﺎ‬
‫ﻦ‬ َ ‫اﻟﺼﱠﺎ ِﺑﺮِﻳ‬
"Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk
orang-orang yang salih. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak
yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha
bersama-sama Ibrâhim, Ibrâhîm berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat
dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!" Ia
menjawab: "Hai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya
Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". (QS.al-
Saffât/37:100-102)
10. Membaca al-Qur’an dalam Salat di Malam Hari

Dalam rangkaian surat Ali ‘Imrân ayat 113-115, Allah menegaskan adanya

sekelompok para pendeta ahli kitab yang beriman. Di antara mereka adalah

193
Abdullâh bin Sallâm (w.43 H.), Asad bin ‘Ubaid, Tsa’labah bin Syu’bah, dan

lain-lain.261

Oleh Allah, mereka dikategorikan sebagai orang-orang salih. Dan salah

satu karakteristik atau kebiasaan baik mereka adalah membaca al-Qur’an dalam

salat di malam hari. Mereka bangun malam, memperbanyak tahajud, serta

menyenandungkan ayat-ayat al-Qur’an dalam shalat mereka. Tentang hal ini

Allah berfirman:

‫ﻞ‬
ِ ‫ﷲ ءَاﻧَﺎ َء اﻟﱠﻠ ْﻴ‬ ِ ‫تا‬ِ ‫ن ءَاﻳَﺎ‬ َ ‫ب ُأ ﱠﻣ ٌﺔ ﻗَﺎ ِﺋ َﻤ ٌﺔ َﻳ ْﺘﻠُﻮ‬
ِ ‫ﻞ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ‬
ِ ‫ﻦ َأ ْه‬
ْ ‫ﺳﻮَا ًء ِﻣ‬
َ ‫َﻟ ْﻴﺴُﻮا‬
‫ف‬
ِ ‫ن ﺑِﺎ ْﻟ َﻤ ْﻌﺮُو‬ َ ‫ﺧ ِﺮ َو َﻳ ْﺄ ُﻣﺮُو‬ ِ ‫ﷲ وَا ْﻟ َﻴ ْﻮ ِم اﻵ‬ ِ ‫ن ﺑِﺎ‬َ ‫ن ُﻳ ْﺆ ِﻣﻨُﻮ‬ َ ‫ﺠﺪُو‬ ُ‫ﺴ‬ْ ‫َو ُه ْﻢ َﻳ‬
‫ﻦ‬
َ ‫ﻚ ِﻣ‬ َ ‫ت َوأُوَﻟ ِﺌ‬ ِ ‫ﺨ ْﻴﺮَا‬ َ ‫ن ﻓِﻲ ا ْﻟ‬ َ ‫ﻦ ا ْﻟ ُﻤ ْﻨ َﻜ ِﺮ َو ُﻳﺴَﺎ ِرﻋُﻮ‬ ِ‫ﻋ‬َ ‫ن‬ َ ‫َو َﻳ ْﻨ َﻬ ْﻮ‬
‫ﷲ ﻋَﻠِﻴ ٌﻢ‬ ُ ‫ﻦ ُﻳ ْﻜ َﻔﺮُو ُﻩ وَا‬ ْ ‫ﺧ ْﻴ ٍﺮ َﻓَﻠ‬ َ ‫ﻦ‬ ْ ‫اﻟﺼﱠﺎﻟِﺤِﻴﻦَ وَﻣَﺎ َﻳ ْﻔ َﻌﻠُﻮا ِﻣ‬
‫ﻦ‬ َ ‫ﺑِﺎ ْﻟ ُﻤ ﱠﺘﻘِﻴ‬
Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku
lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari,
sedang mereka juga bersujud (sembahyang). Mereka beriman kepada Allah dan
hari penghabisan mereka menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang
munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu
termasuk orang-orang yang saleh. Dan apa saja kebajikan yang mereka kerjakan,
maka sekali-kali mereka tidak dihalangi (menerima pahala) nya; dan Allah Maha
Mengetahui orang-orang yang bertakwa. (QS. Ali ‘Imrân/3:113-115)
11. Bersikap Sabar (QS.37:100-102)

Ketika Nabi Ibrâhîm berdoa: “Ya Tuhanku, anugerahkanlah aku (anak)

yang termasuk orang-orang salih.”(QS.37/100), maka Allahpun

memperkenankannya dengan menganugerahkan seorang anak yang sangat sabar

(halîm), yaitu Ismâ’îl a.s. Hal ini dibuktikan saat nabi Ibrâhîm mendapatkan

perintah Allah untuk menyemblih putranya tersebut. Dengan penuh kesantunan


261
Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, (Semarang: Toha Putra, tth), Juz I, h. 397;
Wahbah Zuhaili dan Imam al-Qurtubî menyebutkan mereka adalah: Abdullâh bin
Sallâm,Tsa’labah bin Sa’nah (atau Sa’yah), Asid bin Sa’nah (atau Sa’yah), dan Asad bin ‘Ubaid.
Lihat: Wahbah Zuhaili, al-Tafsir al-Munîr, Jilid IV, h. 47; al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-
Qur’ân, Jilid IV, h. 175

194
Ismâ’îl a.s. mempersilakan Ayahnya untuk merealisasikan wahyu atau perintah

Allah yang diterima melalui mimpi tersebut, dan berharap dirinya termasuk orang-

orang yang sabar. Berikut ini ayat yang mengisahkan hal di atas:

‫ﺣﻠِﻴ ٍﻢ َﻓَﻠﻤﱠﺎ َﺑَﻠ َﻎ‬َ ‫ﻼ ٍم‬ َ ‫ﺸ ْﺮﻧَﺎ ُﻩ ِﺑ ُﻐ‬ ‫ﻦ اﻟﺼﱠﺎﻟِﺤِﻴﻦَ َﻓ َﺒ ﱠ‬ َ ‫ﺐ ﻟِﻲ ِﻣ‬ ْ ‫ب َه‬ ‫َر ﱢ‬
‫ﻈ ْﺮ ﻣَﺎذَا‬ ُ ‫ﻚ ﻓَﺎ ْﻧ‬
َ‫ﺤ‬
ُ ‫ل ﻳَﺎ ُﺑ َﻨﻲﱠ إِﻧﱢﻲ أَرَى ﻓِﻲ ا ْﻟ َﻤﻨَﺎ ِم َأﻧﱢﻲ َأ ْذ َﺑ‬
َ ‫ﻲ ﻗَﺎ‬ َ ‫ﺴ ْﻌ‬
‫َﻣ َﻌ ُﻪ اﻟ ﱠ‬
‫ﻦ‬
َ ‫ﷲ ِﻣ‬ ُ ‫ن ﺷَﺎ َء ا‬ ْ ‫ﺠ ُﺪﻧِﻲ ِإ‬ ِ ‫ﺳ َﺘ‬َ ‫ﻞ ﻣَﺎ ُﺗ ْﺆ َﻣ ُﺮ‬ ْ ‫ﺖ ا ْﻓ َﻌ‬ ِ ‫ل ﻳَﺎَأ َﺑ‬َ ‫ﺗَﺮَى ﻗَﺎ‬
‫ﻦ‬ َ ‫اﻟﺼﱠﺎ ِﺑﺮِﻳ‬
"Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk
orang-orang yang salih. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak
yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha
bersama-sama Ibrâhîm, Ibrâhîm berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat
dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia
menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah
kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". (QS. al-Saffât/37:100-
102)

12. Tidak Terpedaya oleh Harta dan Anak

Pada dasarnya cinta kepada harta benda dan anak-anak, bahkan terhadap

wanita merupakan kodrat alami manusia dan menjadi perhiasan kehidupan di

dunia (QS.3:14). Semua perhiasan dunia tersebut dapat dijadikan sebagai media

untuk mendekatkan diri kepada Allah, tetapi juga dapat menjerembabkan manusia

ke dalam murka Allah. Orang-orang saleh berupaya untuk mempergunakan harta

benda serta menyikapi anak secara proporsional sesuai dengan tuntunan Allah dan

Rasul-Nya. Mereka berusaha agar keberadaan harta benda dan anak-anak tidak

melalaikan mereka dari zikir dan ibadah kepada Allah. Hal ini sesuai dengan

peringatan Allah dalam surat al-Munâfiqûn ayat 9-10 berikut ini:

ِ‫ﻦ ِذ ْآ ِﺮ اﻟﱠﻠﻪ‬ْ‫ﻋ‬ َ ‫ﻻ ُد ُآ ْﻢ‬


َ ‫ﻻ َأ ْو‬َ ‫ﻻ ُﺗ ْﻠ ِﻬ ُﻜ ْﻢ َأ ْﻣﻮَاُﻟ ُﻜ ْﻢ َو‬ َ ‫ﻦ ءَاﻣَﻨُﻮا‬ َ ‫ﻳَﺎَأ ﱡﻳﻬَﺎ اﱠﻟﺬِﻳ‬
‫ﻦ ﻣَﺎ‬ ْ ‫ن و ََأ ْﻧ ِﻔﻘُﻮا ِﻣ‬ َ ‫ﺳﺮُو‬ ِ ‫ﻚ ُه ُﻢ ا ْﻟﺨَﺎ‬ َ ‫ﻚ َﻓﺄُوَﻟ ِﺌ‬َ ‫ﻞ َذِﻟ‬ ْ ‫ﻦ َﻳ ْﻔ َﻌ‬ ْ ‫َو َﻣ‬
‫ﺧ ْﺮ َﺗﻨِﻲ‬
‫ﻻ َأ ﱠ‬َ ‫ب َﻟ ْﻮ‬‫ل َر ﱢ‬ َ ‫ت َﻓ َﻴﻘُﻮ‬ُ ‫ﺣ َﺪ ُآ ُﻢ ا ْﻟ َﻤ ْﻮ‬
َ ‫ﻲ َأ‬ َ ‫ن َﻳ ْﺄ ِﺗ‬
ْ ‫ﻞ َأ‬
ِ ‫ﻦ َﻗ ْﺒ‬
ْ ‫َر َز ْﻗﻨَﺎ ُآ ْﻢ ِﻣ‬
‫ﻦ‬ َ ‫ﻦ اﻟﺼﱠﺎِﻟﺤِﻴ‬ َ ‫ﻦ ِﻣ‬ ْ ‫ق َوَأ ُآ‬َ ‫ﺻ ﱠﺪ‬ ‫ﺐ َﻓَﺄ ﱠ‬ٍ ‫ﻞ َﻗﺮِﻳ‬ ٍ‫ﺟ‬ َ ‫إِﻟَﻰ َأ‬
195
Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu
melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian
maka mereka itulah orang-orang yang rugi. Dan belanjakanlah sebagian dari apa
yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah
seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak
menangguhkan (kematian) ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku
dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?"
Menurut Syaikh ‘Ali al-Sâbûnî, ayat di atas merupakan larangan Allah

agar orang-orang mukmin tidak bersikap sama dengan orang-orang munafik yang

terpedaya oleh harta dan anak sehingga melalaikan mereka dari taat dan ibadah

kepada Allah, meninggalkan kewajiban salat, zakat, dan haji.262

Bagi orang-orang salih, apa yang ada di sisi Allah jauh lebih berharga dan

tiada bandingannya. Allah berfirman:

‫ﻋ ْﻨ َﺪ‬
ِ ‫ت ﺧَ ْﻴ ٌﺮ‬
ُ ‫ت اﻟﺼﱠﺎﻟِﺤَﺎ‬
ُ ‫ﺤﻴَﺎ ِة اﻟ ﱡﺪ ْﻧﻴَﺎ وَا ْﻟﺒَﺎ ِﻗﻴَﺎ‬
َ ‫ن زِﻳ َﻨ ُﺔ ا ْﻟ‬ َ ‫ل وَا ْﻟ َﺒﻨُﻮ‬
ُ ‫ا ْﻟﻤَﺎ‬
‫ﻼ‬ ً ‫ﺧ ْﻴ ٌﺮ َأ َﻣ‬
َ ‫ﻚ َﺛﻮَاﺑًﺎ َو‬َ ‫َر ﱢﺑ‬
Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-
amalan yang kekal lagi salih adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta
lebih baik untuk menjadi harapan. (QS. al-Kahfi/18:46)

13. Gemar Berinfak/Sedekah

Sebagai tindak lanjut dari poin di atas, orang-orang salehpun

membuktikannya dengan gemar berinfak dan bersedekah kepada orang-orang

yang membutuhkan. Harta benda sebagai anugerah Allah adalah titipan dan

amanah yang harus dimanfaatkan untuk kepentingan agama dan masyarakat

umum.

Nabi Muhammad saw. adalah teladan yang luar biasa dalam masalah ini.

Ia pernah memberikan ratusan ekor unta kepada beberapa orang. Seusai perang

Hunain, ia melimpahkan kemurahannya yang luar biasa. Ia memberikan untuk

262
Ali al-Sâbûnî, Safwah al-Tafâsîr, Jilid 3, h. 387

196
Abû Sufyân bin Harb (w.33 H.) 40 kati perak dan 100 ekor unta, demikian pula

untuk Yazîd dan Mu’âwiyah. Kepada Hâkim bin Hizâm (w.54 H.) diberikannya

sebanyak 200 ekor unta. Selanjutnya beliau memberikan untuk Nazar bin Harits

100 ekor unta. Demikian pula halnya kepada Usaid bin Jâriyah, Hârits bin

Hisyâm, Safwân bin Umayyah (w.42 H.), Qais bin ‘Adi, Suhail bin ‘Amr (w. 37

H.), dan lain-lain.263

Kedermawanan ini juga ditunjukkan oleh istri beliau, ‘Aisyah r.a. (w.57

H.) Suatu ketika, Mu’âwiyah ibn Abî Sufyân mengirimkan uang kepada ‘Aisyah

r.a. sebanyak 80.000 dirham. Kala itu ‘Aisyah r.a. sedang berpuasa dan

mengenakan pakaian yang sudah usang. Ketika menerima uang tersebut, dia

segera memberikannya kepada fakir miskin tanpa sisa sedikitpun. Melihat

kenyataan ini, pembantunya mengomentari, “Ya Ummul Mukminin, kenapa kita

tidak menyisakan uang tadi barang satu dirham untuk membeli daging yang bisa

kita gunakan untuk berbuka?” ‘Aisyah r.a. menjawab, “Wahai Anakku!

Seandainya dari tadi engkau mengingatkan, maka hal itu akan saya lakukan.”264

Dan masih banyak lagi contoh-contoh seperti ini yang ditunjukkan oleh

orang-orang salih dari kalangan sahabat, tabiin, tabiit tabiin, dan yang lainnya.

14. Teladan Umat yang Patuh pada Allah dan Bersikap Hanif

Ketika Allah menegaskan bahwa nabi Ibrâhîm adalah termasuk orang

yang salih (QS.16:122), pada ayat sebelumnya (QS.16:120), Allah menegaskan

bahwa beliau adalah seorang imam yang dapat dijadikan sebagai teladan yang

263
Idrus Shahab, Sesungguhnya Dialah Muhammad, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2004),
Cet.III, h. 238-239
264
Yusuf Qardhawi, Merasakan Kehadiran Tuhan, Penerjemah Jazirotul Islamiyah
(Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), Cet.VII, h. 243

197
patuh kepada Allah dan hanif (selalu berpegang teguh kepada kebenaran dan tidak

pernah meninggalkannya).

‫ﻦ ﺷَﺎآِﺮًا‬ َ ‫ﺸ ِﺮآِﻴ‬ ْ ‫ﻦ ا ْﻟ ُﻤ‬


َ ‫ﻚ ِﻣ‬
ُ ‫ﺣﻨِﻴﻔًﺎ َوَﻟ ْﻢ َﻳ‬ َ ‫ن ُأ ﱠﻣ ًﺔ ﻗَﺎ ِﻧﺘًﺎ ِﻟﱠﻠ ِﻪ‬
َ ‫ن ِإ ْﺑﺮَاهِﻴ َﻢ آَﺎ‬
‫ِإ ﱠ‬
‫ﺴ َﺘﻘِﻴ ٍﻢ َوءَا َﺗ ْﻴﻨَﺎ ُﻩ ﻓِﻲ اﻟ ﱡﺪ ْﻧﻴَﺎ‬ ْ ‫ط ُﻣ‬ ٍ ‫ﺻﺮَا‬ ِ ‫ﺟ َﺘﺒَﺎ ُﻩ َو َهﺪَا ُﻩ إِﻟَﻰ‬ ْ ‫ﻷ ْﻧ ُﻌ ِﻤ ِﻪ ا‬
َ
‫ن ا ﱠﺗ ِﺒ ْﻊ‬
ِ ‫ﻚ َأ‬ َ ‫ﻦ اﻟﺼﱠﺎﻟِﺤِﻴﻦَ ُﺛﻢﱠ َأ ْو‬
َ ‫ﺣ ْﻴﻨَﺎ ِإَﻟ ْﻴ‬ َ ‫ﺧ َﺮ ِة َﻟ ِﻤ‬
ِ ‫ﺴ َﻨ ًﺔ َوِإ ﱠﻧ ُﻪ ﻓِﻲ اﻵ‬ َ‫ﺣ‬ َ
‫ﻋﻠَﻰ‬ َ ‫ﺖ‬ ُ ‫ﺴ ْﺒ‬
‫ﻞ اﻟ ﱠ‬ ُ ‫ﻦ إِ ﱠﻧﻤَﺎ‬
َ ‫ﺟ ِﻌ‬ َ ‫ﺸ ِﺮآِﻴ‬ ْ ‫ﻦ ا ْﻟ ُﻤ‬
َ ‫ن ِﻣ‬ َ ‫ﺣﻨِﻴﻔًﺎ َوﻣَﺎ آَﺎ‬ َ ‫ِﻣﱠﻠ َﺔ ِإ ْﺑﺮَاهِﻴ َﻢ‬
‫ﺤ ُﻜ ُﻢ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻬ ْﻢ َﻳ ْﻮ َم ا ْﻟ ِﻘﻴَﺎ َﻣ ِﺔ ﻓِﻴﻤَﺎ آَﺎﻧُﻮا ﻓِﻴ ِﻪ‬
ْ ‫ﻚ َﻟ َﻴ‬
َ ‫ن َر ﱠﺑ‬ ‫ﺧ َﺘَﻠﻔُﻮا ﻓِﻴ ِﻪ َوِإ ﱠ‬
ْ‫ﻦا‬ َ ‫اﱠﻟﺬِﻳ‬
‫ن‬ َ ‫ﺨ َﺘِﻠﻔُﻮ‬
ْ ‫َﻳ‬
Sesungguhnya Ibrâhîm adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan
lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-
orang yang mempersekutukan (Tuhan), (lagi) yang mensyukuri ni`mat-ni`mat Allah,
Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus. Dan Kami
berikan kepadanya kebaikan di dunia. Dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar
termasuk orang-orang yang saleh. Kemudian Kami wahyukan kepadamu
(Muhammad): "Ikutilah agama Ibrâhîm seorang yang hanif." dan bukanlah dia
termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. Sesungguhnya diwajibkan
(menghormati) hari Sabtu atas orang-orang (Yahudi) yang berselisih padanya. Dan
sesungguhnya Tuhanmu benar-benar akan memberi putusan di antara mereka di hari
kiamat terhadap apa yang telah mereka perselisihkan itu. (QS. al-Nahl:120-124)
Menurut Imam Ibn Katsîr (w.774 H.), kata “ummah” pada ayat di atas

bermakna “imam yang diikuti”. Atau menurut Syaikh ‘Alî al-Sâbûnî adalah imam

yang menjadi teladan (qudwah) yang menghimpun berbagai kebaikan. Sedang

kata “qanit’ artinya “khusyu dan patuh kepada Allah serta melaksanakan segala

perintah-Nya”. Adapun “hanif” bermakna “berpaling dari syirik untuk bertauhid

kepada Allah”. Atau “meninggalkan segala bentuk agama batil dan cenderung

kepada agama yang hak, yaitu Islam.265

Pada ayat lain, ketika Allah menyatakan bahwa nabi Ibrâhîm a.s., Ishâq

a.s., dan Ya’qûb a.s. adalah orang-orang salih, Allah menegaskan bahwa mereka

adalah pemimpin-pemimpin (a’immah) yang memberikan petunjuk:

265
Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz 2, h.590; ‘Ali al-Sâbûnî, Safwah al-Tafâsîr,
Jilid 2, h. 148

198
Dan Kami telah memberikan kepadanya (Ibrâhîm) Ishâq dan Ya`qûb,
sebagai suatu anugerah (daripada Kami). Dan masing-masing Kami jadikan
orang-orang yang salih. Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-
pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami
wahyukan kepada mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang,
menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah, dan
kepada Lut, Kami telah berikan hikmah dan ilmu, dan telah Kami selamatkan dia
dari (azab yang telah menimpa penduduk) kota yang mengerjakan perbuatan keji.
Sesungguhnya mereka adalah kaum yang jahat lagi fasik, (QS. al-Anbiyâ/21:72-
74)
Menurut Imam al-Tabarsî (w.548 H.), mereka adalah pemimpin-pemimpin

yang diikuti dalam perbuatan dan perkataan mereka, serta menunjukkan manusia

ke jalan yang benar dan agama yang lurus.266

Orang-orang salih adalah teladan dan pelopor kebaikan di tengah

masyarakat. Sebagai pelanjut dari risalah kenabian, orang-orang saleh harus

menunjukkan bahwa Islam adalah “rahmah li al-‘âlamîn”. Segala perkataan,

perbuatan, dan tindak-tanduknya mencerminkan jati diri muslim sejati sehingga

layak untuk diteladani.

Dalam realitas hidup, kebutuhan masyarakat terhadap figur seorang teladan

merupakan keniscayaan. Ketika tidak ditemukan figur teladan dalam kehidupan

karena tidak seiramanya antara ucapan dengan perbuatan seseorang, betapapun

masyarakat menjadi kehilangan pegangan. Sebab, al-Qur’an akan menjadi hidup dan

bermakna jika ada orang-orang yang mengamalkan atau mengimplementasikan ayat-

ayatnya dalam kehidupan. Jika demikian, maka kehidupan akan menjadi carut-marut

dan tidak tentu arah. Di sinilah arti penting keberadaan orang-orang saleh yang dapat

membimbing dan mengarahkan manusia menuju jalan kebenaran yang diridhai oleh

Allah swt.

B. Menyucikan Hati sebagai Upaya Membiasakan Menangis

266
al-Tabarsî, Majma’ al-Bayân, Juz 8, h. 88

199
Setelah diketahui bahwa menangis merupakan salah satu karakteristik atau

bahkan akhlak orang-orang salih, maka yang menjadi persoalan selanjutnya adalah

bagaimanakah caranya agar tradisi menangis ini dapat menyatu dan menghiasi hari-

hari keberagamaan umat Islam?

Maka jawabnya adalah hati atau jiwa yang bersih. Hati adalah mahkota

manusia. Suasana hatilah yang akan menggerakan segenap indera manusia untuk

melakukan berbagai aktivitas. Hati akan menjadi komando bagi setiap anggota tubuh

untuk berbuat dan bertindak. Kebeningan hati akan memudahkan setiap orang untuk

berada dalam suasana khusyu saat ayat-ayat al-Qur’an dilantunkan. Kebersihan hati

akan menyebabkan seseorang patuh dan pasrah secara total saat mendapatkan nasehat

keagamaan. Kesucian hati akan menghantarkan seseorang untuk selalu berempati saat

melihat penderitaan saudaranya.

Allah menegaskan dalam surat al-A’lâ:

‫ﻦ َﺗ َﺰ ﱠآﻰ‬
ْ ‫ﺢ َﻣ‬
َ ‫َﻗ ْﺪ َا ْﻓَﻠ‬
Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan
beriman). (QS.al-‘A’lâ/87:14)267
Menurut Hadis yang sahih, Nabi Muhammad saw. senantiasa membaca surat

al-A’lâ pada raka’at pertama shalat ‘idain.268 Demikian pula halnya yang dilakukan

Imam ‘Ali, sehingga ada orang munafik yang menuduh beliau tidak pandai membaca

al-Qur’an. Menjawab hal ini Imam ‘Ali r.a. (w.40 H.) berkata: “Seandainya orang

tahu apa yang terdapat dalam surat a-A’lâ, niscaya ia akan membacanya dua puluh

kali sehari.”269

Hati atau jiwa mempunyai fitrah untuk menjadi kotor apabila manusianya

melakukan kejahatan. Namun, jiwa atau hati juga siap membawa manusia untuk
267
Lihat pula dalam surat al-Syams/91:7-10
268
al-Nawawî, Al-Adzkâr, hal.46
269
Jalaluddin Rakhmat, Meraih Cinta Ilahi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003),
Cet.III, hal.153

200
bertakwa dan menjadi manusia shalih. Dalam sebuah Hadis sahih, Rasulullah

menyatakan bahwa dalam jasad manusia terdapat segumpal daging. Jika segumpal

daging itu baik, maka baiklah seluruh jasadnya. Dan jika ia buruk maka buruk

pula seluruh jasadnya. Segumpal daging itu adalah qalb (hati).270

Hati adalah sebuah kuil yang ditempatkan Allah dalam diri setiap

manusia, sebuah kuil untuk menampung percikan cahaya Ilahi. Hati juga bagaikan

sebuah cermin mengkilap yang dapat memantulkan rahasia-rahasia Ilahi.

Kebersihan dan kebeningan hati akan memancarkan dan mewujudkan amaliah

yang menyejukkan dan menentramkan manusia. Namun sebaliknya, kekotoran

hati akan menimbulkan perilaku-perilaku sesat yang meresahkan masyarakat.

Semuanya sangat tergantung dari penataan dan pemeliharaan yang dilakukan oleh

setiap individu.

Ketika seorang individu melakukan satu kemaksiatan, maka menurut

Rasulullah saw., ia telah menciptakan satu titik hitam dalam hatinya. Jika ia tidak

bertaubat dan perbuatan dosa semakin banyak dilakukan, maka titik-titik hitam itu

akan menutupi kesucian hati yang pada akhirnya ia tidak lagi dapat membedakan

antara yang hak dan yang batil, yang baik dan yang buruk.

Jika ia seorang penguasa, maka dengan kekuasaaannya, ia tidak segan-

segan melakukan tindakan represif, zalim, dan tiranik demi mempertahankan

kekuasaannya. Jika ia seorang yang berharta, maka ia tidak segan-segan

mengeluarkannya untuk beragam kemaksiatan, berzina, berjudi, berfoya-foya dan

lain-lain, serta menumpuk-numpuk dengan cara batil dan menghitungnya laksana

Qarun yang rakus. Jika ia sebagai orang yang kuat, iapun tidak merasa risih untuk

270
Hadis diriwayatkan oleh Imam al-Bukhârî & Imam Muslim. Lihat al-Nawawî, Matan
al-Arba’în al-Nawawiyyah, (Surabaya: Bungkul Indah, t.t.), hal.19-20

201
menekan dan menindas kaum dhu’afa yang tertindas tanpa belas kasihan laksana

binatang buas.

Dekadensi akhlak akibat kekeruhan dan kekotoran hati sehingga tidak

mampu menangkap pesan-pesan moral al-Qur’an telah menciptakan tatanan

kehidupan yang rusak dan amburadul. Penipuan, penyuapan, kecurangan,

kelaliman, perzinaan, pergaulan bebas, dan berbagai kemaksiatan masyarakat

menjadi pemandangan rutin sehari-hari. Semua orang tidak peduli dan tidak

menghiraukan dengan situasi yang terjadi. Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar tidak

lagi menjadi pilar hidup bermasyarakat. Situasi ini teramat menyesakkan

pandangan mata dan hati. Tidak ada lagi keadilan yang diharapkan. Tidak ada lagi

penghormatan terhadap orang-orang tua dan jompo. Tidak ada lagi kepedulian

sosial terhadap orang lemah di masyarakat.271

Di sinilah peranan al-Qur’an menjadi amat dibutuhkan. Karena di antara

dimensi pokok risalah Nabi Muhammad saw. adalah membersihkan hati dan jiwa

manusia yang menjadi sumber kekuatan moral. Perhatikanlah ayat di bawah ini:

“Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan
mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan
mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah (al-Sunah) serta
menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.”(QS.al-Baqarah/2:129)272
Oleh karena itu, tugas Nabi saw. terhadap bangsa Arab ketika itu ada dua,

yaitu;

1. Membersihkan akal mereka dari kemusyrikan dan kebatilan, membersihkan

hati mereka dari kekerasan jahiliyah, membersihkan keinginan mereka dari

syahwat binatang, dan membersihkan perilaku mereka dari perbuatan-

perbuatan kotor.

271
Harun Yahya, Moralitas Al-Qur’an, (Jakarta: Robbani Press, 2002), hal.35
272
Lihat juga dalam QS.2/al-Baqarah:151; QS.3/Ali ‘Imrân:164; dan QS.al-Jumu’ah;2)

202
2. Mengembangkan akal mereka dengan ilmu pengetahuan dan hati mereka

dengan keimanan sehingga kehendak hati mereka mengarah kepada amal

saleh, kebaikan, dan akhlak karimah.273

Orang-orang yang suci hatinya adalah orang-orang yang hanya mengabdi

kepada Allah. Mereka senantiasa mensucikan dan mengagungkan-Nya seraya

berusaha untuk mencontoh sifat-sifat yang Allah miliki. Orang-orang yang suci

hatinya adalah orang-orang yang mengenal hak-hak orang lain. Mereka akan

selalu berusaha bersikap adil kepada siapapun, karena adil adalah sifat Tuhan

yang dijadikan sebagai idea moral dalam al-Qur’an.274 Orang-orang yang suci

hatinya adalah orang-orang yang mencintai Allah dan mencintai makhluk-Nya.

Singkatnya, Orang-orang yang suci hatinya adalah orang-orang salih yang

senantiasa memenuhi hak-hak Allah dan hak-hak manusia. Mereka memiliki

hubungan yang baik dengan Allah (silah billâh) dan juga baik dengan sesama

(silah bi al-nâs).

Dalam pandangan al-Qur’an dan Hadis, ada beberapa hal yang menjadi

sarana penyucian hati, yaitu:

1. Menegakkan salat dengan khusyu secara disiplin.

Manusia diperintahkan untuk teguh melaksanakan salat dan berdiri di

hadapan Tuhan dengan khusyu

‫ﻦ‬
َ ‫ﻗَﺎ ِﻧﺘِﻴ‬ ‫ﷲ‬
ِ ‫ﺳﻄَﻰ وَﻗُﻮﻣُﻮا‬
ْ ‫ﺼﻼَ ِة ا ْﻟ ُﻮ‬
‫ﺣَﺎ ِﻓﻈُﻮا ﻋَﻠَﻰ اﻟﺼﱠﻠَﻮَاتِ وَاﻟ ﱠ‬
Peliharalah segala salat (mu), dan (peliharalah) salat wustâ. Berdirilah
karena Allah (dalam salatmu) dengan khusyu`. (QS.al-Baqarah/2:238)

273
Yusuf Qaradhawi, Interaksi dengan Al-Qur’an, (Jakarta: Gema insani Press, 1999),
cet.I, hal. 139-140
274
M.M.Syarif,M.A., Advent of Islam, Fundamental Teaching of The Qur’an (terj.),
(Bandung: Penerbit Mizan, 1997), cet.VIII, hal.42

203
Menurut al-Syaikh ‘Alî al-Sâbûnî, makna “waqûmû lillâhi qânitîn” adalah

langgengkanlah ibadah dan ketaatan yaitu shalat dengan khusyu dan tunduk.275

Khusyu dalam salat, ditegaskan oleh Allah sebagai salah satu karakteristik orang-

orang yang beruntung.

‫ن‬
َ ‫ﺷﻌُﻮ‬
ِ ‫ﺧَﺎ‬ ‫ﻼ ِﺗ ِﻬ ْﻢ‬
َ‫ﺻ‬
َ ‫ﻦ ُه ْﻢ ﻓِﻲ‬
َ ‫ن اﱠﻟﺬِﻳ‬
َ ‫ﺢ ا ْﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣﻨُﻮ‬
َ ‫َﻗ ْﺪ َأ ْﻓَﻠ‬
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-
orang yang khusyu` dalam salatnya, (QS. al-Mu’minûn/23:1-2)
Salat merupakan sarana terbesar dalam tazkiyah al-nafs. Ia adalah sarana

dan sekaligus tujuan. Ia mempertajam makna-makna ubudiyah, tauhid, dan

syukur. Ia adalah zikir, gerakan berdiri, ruku, sujud, dan duduk. Penegakannya

dapat memusnahkan bibit-bibit kesombongan dan pembangkangan kepada Allah,

di samping merupakan pengakuan terhadap rububiyah dan hak pengaturan.

Penegakkannya secara sempurna juga akan dapat memusnahkan bibit-bibit ujub

dan ghurur, bahkan semua bentuk kemungkaran dan kekejian.276

‫ﻦ‬
ِ‫ﻋ‬
َ ‫ﺼَﻠﻮ َة َﺗ ْﻨﻬَﻰ‬
‫ن اﻟ ﱠ‬‫ﺼَﻠﻮ َة ِإ ﱠ‬‫ب َوَأ ِﻗ ِﻢ اﻟ ﱠ‬ِ ‫ﻦ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ‬
َ ‫ﻚ ِﻣ‬ َ ‫ﻲ ِإَﻟ ْﻴ‬
َ‫ﺣ‬ ِ ‫ﻞ ﻣَﺎ أُو‬ُ ‫ا ْﺗ‬
‫ن‬ َ ‫ﺼ َﻨﻌُﻮ‬
ْ ‫ﷲ َﻳ ْﻌَﻠ ُﻢ ﻣَﺎ َﺗ‬
ُ ‫ﷲ َأ ْآ َﺒ ُﺮ وَا‬
ِ ‫ﺤﺸَﺎءِ وَا ْﻟ ُﻤ ْﻨ َﻜ ِﺮ َوَﻟ ِﺬ ْآ ُﺮ ا‬
ْ َ‫ا ْﻟﻔ‬
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab (al-Qur’an)
dan dirikanlah salat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-
perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah
lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui
apa yang kamu kerjakan. (QS. al-‘Ankabût/29:45)
Salat yang berfungsi sebagai sarana tazkiyah al-nafs adalah salat yang

ditegakkan dengan kekhusyuan, yaitu yang dilaksanakan dengan kesadaran dan

kehadiran hati (hudûr al-qalb). Rasulullah saw. menegaskan:

‫ﻻ‬
‫ﷲ ِإ ﱠ‬
ِ ‫ﻦ ا‬
َ ‫ﺤﺸَﺎ ِء وَا ْﻟ ُﻤ ْﻨ َﻜ ِﺮ َﻟ ْﻢ َﻳ ْﺰ َد ْد ِﻣ‬
ْ ‫ﻦ ا ْﻟ َﻔ‬
ِ‫ﻋ‬َ ‫ﻼ ُﺗ ُﻪ‬
َ ‫ﺻ‬
َ ‫ﻦ َﻟ ْﻢ َﺗ ْﻨ َﻬ ُﻪ‬
ْ ‫َﻣ‬
‫ﻌﺪًا‬ ْ ‫ُﺑ‬
275
‘Alî al-Sâbûnî, Safwah al-Tafâsîr, Jilid I, h. 154
276
Sa’id Hawwa, Mensucikan Jiwa, (Jakarta: Robbani Press, 2003), Cet.ke-3, h. 33

204
“Siapa yang salatnya tidak dapat mencegah dari perbuatan keji dan
munkar, hal itu hanya menambah jauh dirinya dari Allah.”277
Imam al-Ghazâlî (w. 505 H.) menegaskan bahwa salat orang yang lalai

(al-ghâfil) tidak dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar.

Berikut ini beberapa sabda Rasulullah saw. yang menyebutkan berbagai

keistimewaan salat, yaitu:

ُ ‫ َﻳ ُﻘ ْﻮ‬ρ ‫ﷲ‬
‫ل‬ ِ ‫لا‬َ ‫ﺳ ْﻮ‬
ُ ‫ﺖ َر‬ ُ ‫ﺳ ِﻤ ْﻌ‬
َ ‫ل‬ َ ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ‬
َ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﻲا‬ َ‫ﺿ‬ِ ‫ﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة َر‬ ْ ‫ﻦ َأ ِﺑ‬ ْ‫ﻋ‬ َ
‫ﻞ‬
ْ ‫ت َه‬ ٍ ‫ﺲ َﻣﺮﱠا‬ َ ‫ﺧ ْﻤ‬َ ‫ﻞ ِﻣ ْﻨ ُﻪ ُآﻞﱠ َﻳ ْﻮ ٍم‬
ُ‫ﺴ‬ِ ‫ﺣ ِﺪ ُآ ْﻢ َﻳ ْﻐ َﺘ‬
َ ‫ب َأ‬
ِ ‫ن ﻧَ ْﻬﺮًا ِﺑﺒَﺎ‬
‫َأ َرَأ ْﻳ ُﺘ ْﻢ َﻟ ْﻮَأ ﱠ‬
‫ﻞ‬
ُ ‫ﻚ َﻣ َﺜ‬ َ ‫ل َﻓ َﺬِﻟ‬َ ‫ﻦ َد َر ِﻧ ِﻪ ﻗَﺎ‬ ْ ‫ﻲ ٌء ﻗَﺎُﻟﻮْا ﻻَﻳَ ْﺒﻘَﻰ ِﻣ‬ ْ َ‫ﻦ َد َر ِﻧ ِﻪ ﺷ‬ ْ ‫ُهﻦﱠ ِﻣ‬
278
.‫ﺨﻄَﺎﻳَﺎ‬ َ ‫ﻦ ا ْﻟ‬‫ﷲ ِﺑ ِﻬ ﱠ‬ ُ ‫ﺲ َﻳ ْﻤﺤُﻮ ا‬ ُ ‫ﺨ ْﻤ‬َ ‫ت ا ْﻟ‬
ُ ‫ﺼَﻠﻮَا‬ ‫اﻟ ﱠ‬
Dari Abû Hurairah ra. Ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw.
bersabda: “Bagaimana pendapatmu seandainya seseorang mandi setiap hari lima
kali di sungai yang terletak di depan rumahnya. Apakah pada tubuhnya tersisa
kotoran?” Mereka menjawab: “Tidak tersisa di tubuhnya sedikitpun kotoran.”
Lalu beliau bersabda: “Itulah perumpamaan salat lima waktu. Dengan salat
tersebut Allah menghapuskan segala kesalahan seseorang.” (H.R. al- Bukhârî,
Muslim, al-Tirmidzî, al-Nasâ’î, Ibn Mâjah, Ahmad, dan al-Dârimî)

َ ‫ ﻗﺎل اَﻟﺼﱠ‬ρ ‫ﷲ‬


‫ﻼ ُة‬ ِ ‫ل ا‬ َ ‫ﺳ ْﻮ‬
ُ ‫ن َر‬ ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ َأ ﱠ‬
َ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﻲ ا‬ َ‫ﺿ‬ ِ ‫ﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة َر‬ ْ ‫ﻦ َأ ِﺑ‬
ْ‫ﻋ‬َ
279
‫ﺶ ا ْﻟ َﻜﺒَﺎ ِﺋ ُﺮ‬
َ ‫ﺠ ُﻤ َﻌ ِﺔ آَﻔﱠﺎرَ ٌة ﻟِﻤَﺎ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻬﻤَﺎ ﻣَﺎَﻟ ْﻢ ُﺗ ْﻐ‬
ُ ‫ﺠ ُﻤ َﻌ ُﺔ ِإﻟَﻰ ا ْﻟ‬
ُ ‫ﺲ وَا ْﻟ‬
ُ ‫ﺨ ْﻤ‬ َ ‫ا ْﻟ‬
Dari Abû Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Salat lima waktu
dan satu Jumat ke Jumat yang lain dapat menghapuskan dosa yang terjadi di
antaranya selama tidak melakukan dosa besar.” (H.R. Muslim)

‫ل ﻣَﺎ‬ُ ‫ َﻳُﻘ ْﻮ‬ρ ‫ﷲ‬ ِ ‫لا‬ َ ‫ﺳ ْﻮ‬ُ ‫ﺖ َر‬ ُ ‫ﺳ ِﻤ ْﻌ‬


َ ‫ل‬ َ ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ‬َ ‫ﷲ‬ُ ‫ﻲا‬ َ‫ﺿ‬ ِ ‫ن َر‬ َ ‫ﻋﻔﱠﺎ‬
َ ‫ﻦ‬ َ ‫ن ْﺑ‬
َ ‫ﻋ ْﺜﻤَﺎ‬ ُ ‫ﻦ‬ ْ‫ﻋ‬ َ
‫ﻋﻬَﺎ‬
َ ‫ﺸ ْﻮ‬ُ‫ﺧ‬ ُ ‫ﺿ ْﻮ َءهَﺎ َو‬ ُ ‫ﻦ ُو‬ ُ‫ﺴ‬ِ‫ﺤ‬ْ ‫ﻼٌة َﻣ ْﻜُﺘ ْﻮَﺑ ٌﺔ َﻓُﻴ‬
َ‫ﺻ‬َ ‫ﻀ ُﺮ ُﻩ‬ ُ ‫ﺤ‬ ْ ‫ﺴِﻠ ٍﻢ َﺗ‬
ْ ‫ئ ُﻣ‬ٍ ‫ﻦ ا ْﻣ ِﺮ‬ ِ ‫ِﻣ‬
‫ﻚ‬
َ ‫ت َآِﺒ ْﻴ َﺮٌة َو َذِﻟ‬َ ‫ب ﻣَﺎَﻟ ْﻢ ُﻳ ْﺆ‬
ِ ‫ﻦ اﻟ ﱡﺬُﻧ ْﻮ‬
َ ‫ﺖ آَﻔﱠﺎرٌَة ﻟِﻤَﺎ َﻗ ْﺒَﻠﻬَﺎ ِﻣ‬
ْ ‫ﻻ آَﺎَﻧ‬ ‫ﻋﻬَﺎ ِإ ﱠ‬ َ ‫َو ُر ُآ ْﻮ‬
‫اﻟﺪﱠ ْه ُﺮ ُآﻠﱡ ُﻪ‬

277
al-Ghazâlî, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, Juz 1, h. 159
278
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 1, Kitâb Mawâqît al-Salâh Bâb al-Salawât al-Khams
Kaffârah, h. 134; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Masâjid wa Mawâdi’ al-Salâh, h. 268; al-
Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 4, Abwâb al-Amtsâl, no. Hadis 3028, h. 228; al-Nasâ’î, Sunan al-
Nasâ’î, Kitâb al-Salâh Bâb Fadl al-Salawât al-Khams, no. Hadis 460, h. 83; Ibn Mâjah, Sunan Ibn
Mâjah, Juz 1, Kitâb Iqâmah al-Salâh wa al-Sunnah fîhâ, no. Hadis 1397, h. 447; Ahmad, al-
Musnad, Juz 1, h. 72; al-Dârimî, Sunan al-Dârimî, Juz 1, Kitâb al-Salâh Bâb fî Fadl al-Salawât,
no. Hadis 1183, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 2000), Cet.ke-1., h. 265
279
Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Tahârah Bâb al-Salawât al-Khams wa al-
Jumu’ah ilâ al-Jumu’ah wa Ramadân ilâ Ramadân Mukaffirât limâ Bainahunn mâ Ujtunibat al-
Kabâ’ir, h. 117; Ahmad Farîd, Az-Zuhd wa al-Raq’iq, (Kairo: Dâr al-‘Aqîdah, 2004), h. 466

205
Dari ‘Usmân bin ‘Affân r.a. ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw.
bersabda: “Setiap muslim yang telah datang waktu salat kepadanya, lalu ia
membaguskan wudunya, khusyunya, dan rukunya, niscaya itu semua dapat
menghapuskan dosa-dosa sebelumnya selama tidak melakukan dosa besar. Dan
itu terjadi sepanjang waktu.” (H.R. Muslim)280
Ritual salat memiliki pengaruh yang sangat luar biasa untuk terapi rasa

galau dan gundah dalam diri manusia. Dengan menegakkan salat secara khusyu,

yaitu dengan niat menghadap dan berserah diri secara total kepada Allah, serta

meninggalkan semua kesibukan maupun problematika kehidupan, maka seseorang

akan merasa tenang, tentram, dan damai. Rasa gundah dan stress yang senantiasa

menekan kehidupannya akan segera sirna. Rasulullah saw. senantiasa

menegakkan salat ketika sedang tertimpa masalah yang membuat beliau merasa

tegang. Seorang sahabat, Hudzaifah r.a. berkata:

281
َ ‫ ِإذَا‬ρ ‫ﻲ‬
‫ﺣ ِﺰَﺑ ُﻪ أَ ْﻣ ٌﺮ ﺻَﻠﱠﻰ‬ ‫ن اﻟﱠﻨِﺒ ﱡ‬
َ ‫ل آَﺎ‬
َ ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ‬
َ ‫ﷲ‬
ُ ‫ﻲا‬
َ‫ﺿ‬
ِ ‫ﺣ َﺬ ْﻳَﻔ َﺔ َر‬
ُ ‫ﻦ‬
ْ‫ﻋ‬
َ
Dari Hudzaifah ia berkata: “Jika Nabi saw. merasa gundah karena sebuah
perkara, maka beliau akan segera menunaikan salat.” (H.R. Abû Dâwûd dan
Ahmad)
Disebutkan pula bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda kepada Bilal

ketika waktu salat tiba:

‫ﻋ َﺔ‬
َ ‫ﺧﺰَا‬
َ ‫ﻦ‬
ْ ‫ﺴ َﻌ ٌﺮ َأرَا ُﻩ ِﻣ‬
ْ ‫ل ِﻣ‬ َ ‫ﻞ ﻗَﺎ‬
ٌ‫ﺟ‬ ُ َ‫ل ر‬
َ ‫ل ﻗَﺎ‬ َ ‫ﺠ ْﻌ ِﺪ ﻗَﺎ‬
َ ‫ﻦ َأﺑِﻰ ا ْﻟ‬
ِ ‫ﻦ ﺳَﺎِﻟ ِﻢ ْﺑ‬ْ‫ﻋ‬ َ
‫ﺖ‬
ُ ‫ﺳ ِﻤ ْﻌ‬
َ ‫ل‬َ ‫ َﻓﻘَﺎ‬.‫ﻚ‬ َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َذِﻟ‬
َ ‫ﺖ َﻓ َﻜَﺄ ﱠﻧ ُﻪ ﻋَﺎ ُﺑﻮْا‬ُ ‫ﺣ‬ ْ ‫ﺖ ﻓَﺎﺳْﺒﺮ‬ ُ ‫ﺻﻠﱠ ْﻴ‬
َ ‫ﻲ‬ ْ ‫َﻟ ْﻴ َﺘ ِﻨ‬
282
‫ﻼ ِة‬
َ‫ﺼ‬ ‫ﺣﻨَﺎ ﺑِﺎﻟ ﱠ‬ ْ ِ‫ل أَر‬ ُ‫ﻼ‬َ ‫ ﻳَﺎ ِﺑ‬ρ ‫ﷲ‬ ِ ‫لا‬ َ ‫ﺳ ْﻮ‬
ُ ‫َر‬
“Wahai Bilal, istirahatkanlah diri kita dengan salat.” (H.R. Abû Dâwûd
dan Ahmad)
Hadis-hadis di atas mengisyaratkan tentang pentingnya ritual salat untuk

menciptakan rasa tenang dan damai dalam jiwa seseorang. Salat mampu

280
Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Tahârah Bâb Fadl al-Wudû wa al-Salâh al-
‘Aqibah, h. 116; al-Nawawî, Riyâd al-Sâlihîn, Bâb Fadl al-Salawâth.401-402
281
Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 2, Kitâb al-Salâh Bâb Waqt Qiyâm al-Nabî saw.
Min al-Lail, no. Hadis 1318, h. 35; Ahmad, al-Musnad, Juz 5, h. 388
282
Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 4, Kitâb al-Adab Bâb fî Salâh al-‘Atamah, no.
Hadis 4985, h. 296; Ahmad, al-Musnad, Juz 5, h. 364, 371

206
memberikan terapi jiwa yang sedemikian berarti untuk menghilangkan

kegundahan dan kegalauan yang dihadapi seseorang. Allah swt. telah

memerintahkan kita untuk meminta pertolongan melalui shalat dan kesabaran.

‫ﻦ‬
َ ‫ﺷﻌِﻴ‬
ِ ‫ا ْﻟﺨَﺎ‬ ‫ﻋﻠَﻰ‬
َ ‫ﻻ‬
‫ﺼﻠَﻮ ِة وَإِ ﱠﻧﻬَﺎ ﻟَﻜَﺒِﻴﺮَ ٌة ِإ ﱠ‬
‫ﺼ ْﺒ ِﺮ وَاﻟ ﱠ‬
‫ﺳ َﺘﻌِﻴﻨُﻮا ﺑِﺎﻟ ﱠ‬
ْ ‫وَا‬
Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan)
salat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-
orang yang khusyu`, (QS. al-Baqarah/2:45)
Hubungan seseorang dengan Sang Khalik ketika salat akan menghasilkan

kekuatan mental spiritual sangat besar yang memberikan pengaruh pada

perubahan penting dalam fisik dan psikisnya. Kekuatan mental spiritual ini sering

kali menghilangkan stress, menyingkirkan kelemahan, dan menyembuhkan

berbagai penyakit. Para dokter menyebutkan adanya penyembuhan yang begitu

cepat untuk beberapa jenis penyakit ketika penderitanya berada di lokasi ibadah

haji maupun lokasi ibadah lainnya. Abu Hurairah pernah berkata bahwa dia

mengeluihkan sakit perut yang dia derita. Maka Rasulullah saw. menoleh ke

arahnya seraya bersabda:

‫ﺖ‬
ُ ‫ﺴ‬ ْ ‫ﺟَﻠ‬
َ ‫ﺖ ُﺛﻢﱠ‬
ُ ‫ﺼﱠﻠ ْﻴ‬
َ ‫ت َﻓ‬ ُ ‫ﺠ ْﺮ‬ َ ‫ َﻓ َﻬ‬ρ ‫ﻲ‬ ‫ﺠ َﺮ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ‬ َ ‫ل َه‬ َ ‫ﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة ﻗَﺎ‬ْ ‫ﻦ َأ ِﺑ‬
ْ‫ﻋ‬ َ
‫ل ُﻗ ْﻢ‬َ ‫ﷲ ﻗَﺎ‬
ِ ‫لا‬َ ‫ﺳ ْﻮ‬ُ ‫ﺖ َﻧ َﻌ ْﻢ ﻳَﺎ َر‬
ُ ‫ﺖ َدرْد؟ ُﻗ ْﻠ‬ ْ ‫ﺷ َﻜ َﻤ‬ ِ ‫ َا‬ρ ‫ﻲ‬ ‫ﺖ إِﻟَﻰ اﻟ ﱠﻨِﺒ ﱢ‬ ُ ‫ﻓَﺎ ْﻟ َﺘ ْﻔ‬
283
‫ﺷﻔَﺎ ًء‬ِ ‫ﻼ ِة‬
َ‫ﺼ‬ ‫ن ﻓِﻰ اﻟ ﱠ‬ ‫ﻞ َﻓِﺈ ﱠ‬
‫ﺼﱢ‬ َ ‫َﻓ‬
Dari Abû Hurairah ia berkata: Nabi saw. berhijrah, akupun berhijrah. Aku
salat, lalu duduk, dan kemudian menoleh ke Nabi saw. beliaupun bersabda: “Apakah
kamu menderita sakit perut?” Aku berkata: “Benar, wahai Rasulullah.” Beliau
bersabda: “Berdirilah! Lantas tegakkanlah salat! Karena seseungguhnya di dalam
ritual salat terdapat kesembuhan (untuk berbagai penyakit).” (H.R. Ibn Mâjah)
Kekuatan mental spiritual yang dilahirkan lewat ritual salat juga dapat

mempengaruhi kondisi jiwa seseorang. Kekuatan tersebut mampu membangkitkan

harapan, memantapkan niat, memperkokoh semangat, dan memunculkan kekuatan

283
Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah., Juz 2, Kitâb al-Tibb Bâb al-Salâh Syifâ, no. Hadis
3458, h. 1144

207
besar yang membuatnya siap menerima ilmu pengetahuan dan hikmah, serta lebih

memiliki jiwa patriotisme yang begitu kuat.

Ritual salat memiliki pengaruh sangat penting dalam terapi perasaan

bersalah atau berdosa yang menyebabkan rasa gundah dan menjadi penyebab

utama penyakit jiwa. Hal ini bisa terjadi karena ritual salat bisa mengampuni dosa

seseorang, membersihkan jiwa dari noda-noda kesalahan sebagaimana yang

dijelaskan oleh Hadis di atas, serta menimbulkan harapan mendapatkan

maghfirah dan ridha Allah.284

Untuk memperkuat pemahaman di atas, Ibn Qayyim al-Jauziyyah (w. 751

H.) berkata:

Ritual salat bisa membuat hati menjadi bahagia dan tegar. Bahkan
ritual salat juga bias membuat hati terasa lapang, bahagian, dan tentram.
Dalam ritual salat terdapat interaksi hati maupun ruh dengan Allah. Hati
dan ruh menjadi dekat dengan Allah ketika seseorang menegakkan salat.
Dia akan merasakan nikmatnya berzikir, merasa nyaman bermunajat
kepada Allah, dan merasa nikmat berada di hadapan-Nya. Dia akan
menggunakan semua organ tubuhnya dan kekuatan yang dimilikinya untuk
beribadah. Dia tidak akan larut dalam kesibukan dengan makhluk. Dia
hanya akan memfokuskan kekuatan hatinya untuk menjalin hubungan
dengan Tuhan yang telah menciptakannya. Dia akan terbebas dari
bayangan musuhnya ketika sedang salat. Semua itu akan menjadi obat,
jalan keluar, dan menu makanan yang sehat bagi hatinya. Tentu saja
kondisi semacam itu hanya dialami oleh hati yang sehat. Adapun hati yang
sakit, maka dia ibarat jasad yang sakit. Dia sama sekali tidak identik
dengan hal-hal yang baik. Ibadah salat termasuk aktivitas yang paling
berpotensi mendatangkan kemaslahatan dunia akhirat dan menolak
kemudharatan dunia akhirat. Salat akan mencegah pelakunya dari
perbuatan dosa, mendatangkan obat untuk hati, menghindarkan dari
berbagai penyakit fisik, menyinari hati, menjernihkan muka, membuat
organ tubuh menjadi semangat, mendatangkan rezki, menjauhkan
perbuatan aniaya, akan mendorong pelakunya menolong orang yang
teraniaya, berpotensi untuk meredam gejolak nafsu, memelihara
kenikmatan, menjauhkan siksa, mendatangkan rahmat, dan menghilangkan
kegundahan.”285

2. Menunaikan Zakat dan Gemar Bersedekah

284
M. Utsman Najati, Psikologi dalam Tinjauan Hadist Nabi saw., (Jakarta: Mustaqim,
2003), Cet. I, h. 403-404
285
Ibid, h. 408-409

208
Cinta terhadap harta benda sebagaimana yang disebutkan dalam surat Ali

‘Imrân ayat 14 merupakan fitrah asasi manusia. Jika naluri alamiah ini diiringi

dengan pendidikan yang keliru, maka akan menumbuhkan penyakit hati yang

tercela seperti bakhil atau kikir, mencemaskan masa depan, merasa kekurangan,

ingin mencelakai orang lain, cinta kepada kekuasaan dan penguasa, dan sebagian

penyakit seksual. Penyakit-penyakit ini terkadang berubah kea rah kebalikannya,

seperti penyakit suka berlebih-lebihan atau boros.286 Apalagi sifat kikir ini

merupakan tabiat manusia sebagaimana firman Allah:

‫ﺢ‬
‫ﺸﱠ‬‫اﻟ ﱡ‬ ‫ﺲ‬
ُ ‫ﻷ ْﻧ ُﻔ‬
َ ‫تا‬
ِ ‫ﻀ َﺮ‬
ِ ‫ﺣ‬
ْ ‫َوُأ‬
Manusia itu menurut tabiatnya kikir. (QS. al-Nisâ/4:128)
Dalam berbagai teks keagamaan (al-Qur’an dan Hadis) ditemukan

pernyataan-pernyataan yang mengecam dan mencela kekikiran ini dan sebaliknya

memuji kedermawanan. Beberapa teks tersebut adalah:

‫ﺴﺮَى‬
ْ ‫ﻟِ ْﻠُﻴ‬ ‫ﺴﻨَﻰ ﻓَﺴَُﻨﻴَﺴﱢ ُﺮ ُﻩ‬ ْ‫ﺤ‬
ُ ‫ق ﺑِﺎ ْﻟ‬
َ ‫ﺻ ﱠﺪ‬
َ ‫ﻋﻄَﻰ وَاﺗﱠﻘَﻰ َو‬ ْ ‫ﻦ َأ‬ْ ‫َﻓَﺄﻣﱠﺎ َﻣ‬
‫ﺴﺮَى‬
ْ ‫ِﻟ ْﻠ ُﻌ‬ ‫ﺴﻨَﻰ ﻓَﺴَُﻨﻴَﺴﱢ ُﺮ ُﻩ‬
ْ‫ﺤ‬ َ ‫ﺳﺘَ ْﻐﻨَﻰ َو َآ ﱠﺬ‬
ُ ‫ب ﺑِﺎ ْﻟ‬ ْ ‫ﻞ وَا‬ َ‫ﺨ‬ ِ ‫ﻦ َﺑ‬ْ ‫َوَأﻣﱠﺎ َﻣ‬
‫ﺮدﱠى‬ َ ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻣَﺎُﻟ ُﻪ ِإذَا َﺗ‬
َ ‫وَﻣَﺎ ُﻳ ْﻐﻨِﻲ‬
Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan
bertakwa,dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak
akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang
bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka
kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar. Dan hartanya tidak
bermanfaat baginya apabila ia telah binasa. (QS. al-Lail/92:5-11)

‫ﺴ ُﻜ ْﻢ‬
ِ ‫ﻷ ْﻧ ُﻔ‬
َ ‫ﺳﻤَﻌُﻮا َوَأﻃِﻴﻌُﻮا َوَأ ْﻧ ِﻔﻘُﻮا ﺧَ ْﻴﺮًا‬ ْ ‫ﻄ ْﻌ ُﺘ ْﻢ وَا‬
َ ‫ﺳ َﺘ‬
ْ ‫ﷲ ﻣَﺎ ا‬ َ ‫ﻓَﺎ ﱠﺗﻘُﻮا ا‬
‫ن‬ َ ‫ﻚ ُه ُﻢ ا ْﻟ ُﻤ ْﻔِﻠﺤُﻮ‬َ ‫ﺴ ِﻪ َﻓﺄُوَﻟ ِﺌ‬
ِ ‫ﺷﺢﱠ َﻧ ْﻔ‬
ُ ‫ق‬
َ ‫ﻦ ﻳُﻮ‬
ْ ‫َو َﻣ‬
Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan
dengarlah serta ta`atlah; dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan
barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya maka mereka itulah orang-
orang yang beruntung. (QS. al-Taghâbun/64:16)

286
Adnan Syarif, Psikologi Qurani, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), Cet.I, ., h. 122

209
‫ﻈ ْﻠ َﻢ‬
‫ن اﻟ ﱡ‬ ‫ﻈ ْﻠ َﻢ َﻓِﺈ ﱠ‬
‫ل ا ﱠﺗﻘُﻮا اﻟ ﱡ‬ َ ‫ ﻗَﺎ‬ρ ‫ﷲ‬ ِ ‫لا‬ َ ‫ن َرﺳُﻮ‬ ‫ﷲ َأ ﱠ‬
ِ ‫ﻋ ْﺒ ِﺪ ا‬
َ ‫ﻦ‬ ِ ‫ﻦ ﺟَﺎ ِﺑ ِﺮ ْﺑ‬ ْ‫ﻋ‬ َ
‫ن َﻗ ْﺒَﻠ ُﻜ ْﻢ‬
َ ‫ﻦ آَﺎ‬ ْ ‫ﻚ َﻣ‬ َ ‫ﺢ َأ ْهَﻠ‬ ‫ﺸﱠ‬‫ن اﻟ ﱡ‬
‫ﺢ َﻓِﺈ ﱠ‬ ‫ﺸﱠ‬‫ت َﻳ ْﻮ َم ا ْﻟ ِﻘﻴَﺎ َﻣ ِﺔ وَا ﱠﺗﻘُﻮا اﻟ ﱡ‬ٌ ‫ﻇُﻠﻤَﺎ‬ ُ
287
‫ﺤﻠﱡﻮا َﻣﺤَﺎ ِر َﻣ ُﻬ ْﻢ‬
َ ‫ﺳ َﺘ‬
ْ ‫ﺳ َﻔﻜُﻮا ِدﻣَﺎ َء ُه ْﻢ وَا‬
َ ‫ن‬ ْ ‫ﻋﻠَﻰ َأ‬ َ ‫ﺣ َﻤَﻠ ُﻬ ْﻢ‬
َ
Dari Jâbir r.a. sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: “Takutlah kalian
dengan kezaliman. Karena sesungguhnya kezaliman itu akan melahirkan
kegelapan pada hari kiamat. Bertakwalah (kepada Allah dengan menjauhi) kikir.
Karena sesungguhnya kikir itu telah menghancurkan orang-orang sebelum kalian
(yaitu) mereka menumpahkan darah-darah mereka dan menghalalkan yang
diharamkan.” (H.R. Muslim)

‫ل‬
َ ‫ﺳَﺄ‬
َ ‫ﻼ‬ً‫ﺟ‬ ُ ‫ن َر‬ ‫ﻋ ْﻨ ُﻬﻤَﺎ َأ ﱠ‬
َ ‫ﷲ‬
ُ ‫ﻲا‬ َ‫ﺿ‬ ِ ‫ص َر‬ ِ ‫ﻦ ا ْﻟﻌَﺎ‬ِ ‫ﻦ ﻋَ ْﻤﺮٍو ْﺑ‬ ِ ‫ﷲ ْﺑ‬
ِ ‫ﻋ ْﺒ ِﺪ ا‬
َ ‫ﻦ‬ ْ‫ﻋ‬َ
‫ﻼ َم‬
َ‫ﺴ‬ ‫ﻄﻌَﺎ َم َو َﺗ ْﻘ َﺮُأ اﻟ ﱠ‬
‫ﻄ ِﻌ ُﻢ اﻟ ﱠ‬
ْ ‫ل ُﺗ‬
َ ‫ﻼ ِم ﺧَ ْﻴﺮٌ؟ ﻗَﺎ‬
َ‫ﺳ‬ ْ‫ﻻ‬ ِ ‫ي ْا‬ ‫ َأ ﱡ‬ρ ‫ﷲ‬ ِ ‫لا‬ َ ‫ﺳ ْﻮ‬
ُ ‫َر‬
288
‫ف‬
ْ ‫ﻦ َﻟ ْﻢ َﺗ ْﻌ ِﺮ‬ْ ‫ﺖ َو َﻣ‬َ ‫ﻋ َﺮ ْﻓ‬
َ ‫ﻦ‬ْ ‫ﻋَﻠَﻰ َﻣ‬
Dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘As r.a. (Ia berkata): Sesungguhnya
seseorang bertanya kepada Rasulullah saw.: “Ajaran Islam manakah yang paling
baik?” Rasul menjawab: “Engkau memberikan makan dan engkau ucapkan salam
kepada orang yang engkau kenal dan yang belum engkau kenal.” (H.R. al-
Bukhârî, Muslim, Abû Dâwûd al-Nasâ’î dan Ibn Mâjah )

‫ﻦ َﻳ ْﻮ ٍم‬ ْ ‫ ﻣَﺎ ِﻣ‬ρ ‫ﷲ‬ ِ ‫لا‬ ُ ‫ﺳ ْﻮ‬ُ ‫ل َر‬َ ‫ل ﻗَﺎ‬ َ ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ‬


َ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﻲا‬ َ‫ﺿ‬ ِ ‫ﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة َر‬ ْ ‫ﻦ َأ ِﺑ‬ْ‫ﻋ‬ َ
‫ﻂ ُﻣ ْﻨ ِﻔﻘًﺎ‬ِ‫ﻋ‬ْ ‫ﺣ ُﺪ ُهﻤَﺎ اَﻟﻠّ ُﻬﻢﱠ َأ‬
َ ‫ل َأ‬
ُ ‫ن َﻓ َﻴ ُﻘ ْﻮ‬ِ‫ﻻ‬ َ ‫ن َﻳ ْﻨ ِﺰ‬
ِ ‫ﻻ َﻣَﻠﻜَﺎ‬ ‫ﺢ ا ْﻟ ِﻌﺒَﺎ ُد ِﻓ ْﻴ ِﻪ ِإ ﱠ‬ُ ‫ﺼ ِﺒ‬
ْ ‫ُﻳ‬
289
‫ﺴﻜًﺎ َﺗَﻠ ًﻔﺎ‬ ِ ‫ﻂ ُﻣ ْﻤ‬ ِ‫ﻋ‬ ْ ‫ﺧ ُﺮ اَﻟﻠّ ُﻬﻢﱠ َأ‬
َ ‫ل اْﻻ‬ ُ ‫ﺧَﻠَﻔًﺎ َو َﻳ ُﻘ ْﻮ‬
Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Tidaklah
hamba-hamba berada di pagi hari melainkan akan tutun dua malaikat. Salah satu
malaikat berdoa, ‘Ya Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfak.’ Dan
malaikat yang lain berdo’a, ‘Ya Allah, berikanlah kehancuran kepada orang yang
tidak berinfak.’” (Muttafaq ‘alaih)

‫ﻦ‬
َ ‫ﺐ ِﻣ‬ ٌ ‫ﻲ َﻗ ِﺮ ْﻳ‬ ‫ﺨﱡ‬ ِ‫ﺴ‬
‫ل اَﻟ ﱠ‬ َ ‫ ﻗَﺎ‬ρ ‫ﻲ‬ ‫ﻦ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ‬ ِ‫ﻋ‬ َ ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ‬
َ ‫ﷲ‬ُ ‫ﻲا‬ َ‫ﺿ‬ ِ ‫ﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة َر‬
ْ ‫ﻦ َأ ِﺑ‬ْ‫ﻋ‬َ
‫ﻞ َﺑ ِﻌ ْﻴ ٌﺪ‬
ُ ‫ﺨ ْﻴ‬ِ ‫ وَا ْﻟ َﺒ‬.‫ﻦ اﻟ ﱠﻨﺎ ِر‬
َ ‫ﺠ ﱠﻨ ِﺔ َﺑ ِﻌ ْﻴ ٌﺪ ِﻣ‬
َ ‫ﻦ ا ْﻟ‬
َ ‫ﺐ ِﻣ‬
ٌ ‫س َﻗ ِﺮ ْﻳ‬ِ ‫ﻦ اﻟﻨﱠﺎ‬َ ‫ﺐ ِﻣ‬ ٌ ‫ﷲ َﻗ ِﺮ ْﻳ‬
ِ ‫ا‬

287
Muslim, Sahîh Muslim, Juz 2, Kitâb al-Birr wa al-Silah wa al-Âdâb Bâb Tahrîm al-
Zulm, h. 430
288
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 1, Kitâb al-Îmân Bâb It’âm al-Ta’âm min al-Islâm,
h. 9 & Juz 7, Kitâb al-Isti’dzân Bâb al-Salâm li al-Ma’rifah wa Ghair al-Ma’rifah, h. 128; Muslim,
Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Îmân Bâb Bayân Tafâdul al-Islâm wa Ayy Umûrih Afdal, h. 37;
Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 4, Kitâb al-Âdâb Bâb Ifsyâ al-Salâm, no. Hadis 5194, h. 350;
al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb al-Îmân wa Syarâ’i’ih Bâb Ayy al-Islâm Khair, no. Hadis 5010,
h. h. 801; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-At’imah Bâb It’âm al-Ta’âm, no. Hadis
3253, h. 1083
289
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 2, Kitâb al-Zakâh âb Wujûb al-Zakâh, h. 120;
Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitrâb al-Zakâh Bâb fî al-Munfiq wa al-Mumsik, h. 404; al-
Nawawî, Riyâd al-Sâlihîn, Bâb al-karam wa al-Jûd wa al-Infâq fî Wujûh al-Khair Tsiqah bi al-
Lâh, h. 245-251

210
‫ﻞ‬
ُ ‫ وَا ْﻟﺠَﺎ ِه‬.‫ﻦ اﻟﻨﱠﺎ ِر‬
َ ‫ﺐ ِﻣ‬
ٌ ‫ﺠ ﱠﻨ ِﺔ َﻗ ِﺮ ْﻳ‬
َ ‫ﻦ ا ْﻟ‬َ ‫س َﺑ ِﻌ ْﻴ ٌﺪ ِﻣ‬
ِ ‫ﻦ اﻟﻨﱠﺎ‬
َ ‫ﷲ َﺑ ِﻌ ْﻴ ٌﺪ ِﻣ‬
ِ ‫ﻦا‬
َ ‫ِﻣ‬
290
‫ﻞ‬
ٍ ‫ﺨ ْﻴ‬
ِ ‫ﻦ ﻋَﺎ ِﺑ ٍﺪ َﺑ‬ ْ ‫ﷲ ِﻣ‬
ِ ‫ﺐ إِﻟَﻰ ا‬
‫ﺣ ﱡ‬ َ ‫ﻲ َأ‬
‫ﺨﱡ‬ِ‫ﺴ‬
‫اﻟ ﱠ‬
Dari Abû Hurairah r.a. dari Nabi saw. bersabda: Orang yang pemurah itu
dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dekat dengan surga, jauh dari neraka.
Sedangkan orang yang kikir itu jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari
surga, dan dekat dengan neraka. Orang jahil yang pemurah lebih dicintai oleh
Allah ketimbang ahli ibadah yang kikir. (H.R. al-Tirmidzî)
Kekikiran merupakan indikasi cinta dunia, sementara orang yang cinta

dunia sehingga melupakan akhirat amat tercela dalam pandangan Allah dan

Rasulullah. Yahyâ bin Mu’âdz pernah menyatakan:

‫اﻟﺪﻧﻴﺎ ﺧﻤﺮ اﻟﺸﻴﻄﺎن ﻣﻦ ﺳﻜﺮ ﻣﻨﻬﺎ ﻓﻼ ﻳﻔﻴﻖ إﻻ ﻓﻰ ﻋﺴﻜﺮ اﻟﻤﻮﺗﻰ‬


‫ وأﻗﻞ ﻣﺎ ﻓﻴﻬﺎ أﻧﻪ ﻳﻠﻬﻰ ﻋﻦ ﺣﺐ اﷲ وذآﺮﻩ‬,‫ﻧﺎدﻣﺎ ﺑﻴﻦ اﻟﺨﺎﺳﺮﻳﻦ‬
‫ وإذا ﻟﻬﻲ اﻟﻘﻠﺐ ﻋﻦ ذآﺮ اﷲ‬.‫وﻣﻦ أﻟﻬﺎﻩ ﻣﺎﻟﻪ ﻓﻬﻮ ﻣﻦ اﻟﺨﺎﺳﺮﻳﻦ‬
‫ وﻣﻦ ﻓﻘﻬﻪ ﻓﻰ اﻟﺸﺮ اﻧﻪ‬.‫ﺳﻜﻨﻪ اﻟﺸﻴﻄﺎن وﺻﺮﻓﻪ ﺣﻴﺚ أراد‬
291
.‫ﻳﺮﺿﻴﻪ ﺑﺒﻌﺾ أﻋﻤﺎل اﻟﺨﻴﺮ ﻟﻴﺮﻳﻪ اﻧﻪ ﻳﻔﻌﻞ اﻟﺨﻴﺮ‬
Dunia adalah khamarnya setan. Siapa yang mabuk atau terbuai dengannya,
maka dia tidak akan sadar kecuali saat kematian dating menjemput sambil
menyesali dirinya di antara orang-orang yang merugi. Batas minimal keadaan
orang cinta dunia adalah dia akan dilalaikan dari cinta kepada Allah dan
mengingat-Nya. Siapa yang dilalaikan oleh hartanya maka dia termasuk kelompok
orang yang merugi. Jika kalbu lalai dari mengingat Allah, maka setan akan
bersemayam dan mengarahkan orang tersebut sekehendak setan.Dan di antara
kecerdikan/kelicikan setan dalam kejahatan adalah bahwa dia membiarkan
seseorang melakukan sebagian perbuatan baik untuk menumbuhkan sifat riya
(bangga) pada orang itu bahwa ia mampu melakukan kebaikan itu.
Di sinilah urgensi zakat dan infak atau sedekah memainkan peranannya

dalam tazkiyatun nafs. Ia membersihkan jiwa dan hati manusia dari kekikiran dan

kerakusan, serta pada saat yang bersamaan menanamkan cinta dan kasih sayang

terhadap sesama.

290
al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 3, Abwâb al-Birr wa al-Silah Bâb Mâ Jâ’a fî al-
Sakhâ, h. 231; Zain al-Dîn al-Malîbari, Irsyâd al-‘Ibâd ilâ Sabîl al-Rasyâd, (Indonesia: Dâr Ihyâ
al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t), h. 40
291
Ahmad Farîd, al-Bahr al-Râ’iq fi al-Zuhd wa al-Raqâ’iq,(T.tp.: Al-Maktabah at-
Taufîqiyyah, t.t.), h. 198

211
Cinta, kasih sayang, dan ucapan yang baik merupakan perkara yang

penting dan mendasar demi kebaikan pertumbuhan dan perkembangan

kepribadian. Oleh karena itu, Rasulullah saw. telah memberikan keteladanan yang

luhur dalam perilaku kehidupan beliau sehari-hari. Seluruh perilaku beliau

senantiasa dihiasi dengan cinta, kasih sayang, dan sikap welas asih kepada semua

makhluk Allah.

Beliau adalah orang yang teramat penyayang, baik kepada orang yang

dekat maupun yang jauh. Beliau merasa senang bila melihat orang senang dan

bahagia. Dan beliau akan merasa susah bila orang lain mengalami penderitaan dan

kesusahan. Oleh karena itu, beliau akan memberikan bantuan dan pertolongan

kepada orang lain sesuai dengan kondisi orang tersebut.

Pernah suatu ketika beliau mempercepat shalat karena mendengar

tangisan. Beliau tidak ingin memberatkan ibu si bayi yang tengah ikut shalat

bersamanya. Itulah sebabnya, beliau menganjurkan agar seseorang yang menjadi

imam hendaknya meringankan salatnya.292

Kasih sayang Rasulullah saw. salah satunya diwujudkan dalam kemurahan

dan kedermawanan beliau terhadap sesama. Beliau dikenal sebagai makhluk Allah

yang paling mulia dan paling dermawan. Telapaknya bak mendung yang banyak

mengandung kebaikan dan tangannya bak hujan deras yang menurunkan

kemurahannya, bahkan kemurahan beliau lebih cepat daripada angin yang

bertiup.293

3. Banyak Melakukan Ibadah Puasa

292
Aidh al-Qarni, Visualisasi Kepribadian Muhammad saw., (Bandung: Penerbit IBS,
2000), h.76-77
293
Ibid, h. 53

212
Sesungguhnya hal yang sangat berbahaya dan sangat merusak kehidupan

manusia adalah memperturutkan syahwat perut. Tersebab syahwat perutlah nabi

Adam dan Siti Hawa dikeluarkan dari surga. Perut dapat menjadi sumber penyakit

dan kerusakan. Sebab, dari syahwat perut akan muncul syahwat farji (kemaluan)

dan syahwat makanan. Jika seorang hamba menundukkan dirinya dengan cara

berlapar dan mempersempit jalan-jalan setan, niscaya ia akan menjadi ringan

dalam mematuhi Allah dengan melakukan berbagai kebajikan serta tidak akan

melalui jalan kesesatan yang dimurkai-Nya.294

Atas dasar inilah Rasulullah saw. memberikan petunjuk kepada umatnya


bagaimana cara mengkonsumsi makanan dan minuman secara proporsional.

‫ﻦ‬
ُ ‫ﻸ ا ْﺑ‬
َ ‫ل ﻣَﺎ َﻣ‬ ُ ‫ َﻳ ُﻘ ْﻮ‬ρ ‫ﷲ‬ ِ ‫لا‬ َ ‫ﺳ ْﻮ‬ُ ‫ﺖ َر‬ ُ ‫ﺳ ِﻤ ْﻌ‬
َ ‫ل‬ َ ‫ب ﻗَﺎ‬ َ ‫ﻦ َﻣ ْﻌ ِﺪ ْﻳ َﻜ ِﺮ‬
ِ ‫ﻦ ِﻣ ْﻘﺪَا ِم ْﺑ‬ْ‫ﻋ‬ َ
‫ن‬
ْ ‫ َﻓِﺈ‬.‫ﺻ ْﻠ َﺒ ُﻪ‬
ُ ‫ﻦ‬َ ‫ت ُﻳ ِﻘ ْﻤ‬ٌ ‫ﻼ‬ َ ‫ﻦ ا َد َم َأ َآ‬ِ ‫ﺐ ا ْﺑ‬
ِ ‫ﺴ‬ َ‫ﺤ‬ َ ‫ ِﺑ‬,‫ﻦ‬ ٍ‫ﻄ‬ ْ ‫ﻦ َﺑ‬
ْ ‫ﻲ ِوﻋَﺎ ًء ﺷَﺮًّا ِﻣ‬ ‫ا َد ِﻣ ﱟ‬
295
‫ﺴ ِﻪ‬
ِ ‫ﺚ ِﻟ َﻨ َﻔ‬
ٌ ‫ﺸﺮَا ِﺑ ِﻪ َو ُﺛُﻠ‬
َ ‫ﺚ ِﻟ‬ٌ ‫ﻄﻌَﺎ ِﻣ ِﻪ َو ُﺛُﻠ‬
َ ‫ﺚ ِﻟ‬
ٌ ‫ﻻ ُﻣﺤَﺎَﻟ َﺔ َﻓ ُﺜُﻠ‬ َ ‫ن‬ َ ‫آَﺎ‬
Dari Miqdâm bin Ma’dîkarib ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw.
bersabda: “Tidaklah seorang anak Adam memenuhi sebuah wadah yang lebih
buruk daripada memenuhi perutnya. Cukuplah bagi anak Adam itu beberapa suap
makanan yang dapat menegakkan tulang belakangnya. Maka tidak
memungkinkan, maka hendaknya ia gunakan sepertiga untuk makanannya,
sepertiga untuk minumannya, dan sepertiga untuk bernafas.” (H.R. al-Tirmidzî
dan Ibn Mâjah.)
Sesungguhnya Hadis di atas merupakan prinsip umum dalam dunia

kedokteran, sehingga menurut Ahmad Farîd yang mengutip ungkapan seorang

dokter, seandainya manusia merealisasikan kandungan Hadis di atas, niscaya

mereka akan terhindar dari berbagai macam penyakit dan toko-toko obat akan

ditinggalkan. Sebab, sumber segala penyakit adalah banyak makan. Inilah manfaat

294
Ahmad Farîd, Al-Bahr al-Râ’iq fî al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, h. 93-94
295
al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 4, Abwâb al-Zuhd Bâb Mâ Jâ’a fî Karâhiyah
Katsrah al-Akl, no. Hadis 2486, h. 18; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-At’imah Bâb
al-Iqtisâd fî al-Akl wa Karâhah al-Syab’, h. 1111; al-Tirmidzî mengatakan bahwa hadis ini sahih.
al-Dzahabî dan al-Albânî juga mensahihkannya

213
sedikit makan dari sisi kesehatan jasmani. Adapun manfaatnya dari sisi kesehatan

ruhani adalah bahwa sedikit makan akan melahirkan kelembutan hati, kecerdasan,

nafsu terkendali, dan melemahkan amarah.296

Dalam upaya mewujudkan hal di atas, al-Qur’an dan Hadis banyak

mengingatkan keutamaan berlapar dan tercelanya kenyang.

‫ف‬
َ ‫ﺴ ْﻮ‬ َ ‫ت َﻓ‬
ِ ‫ﺸ َﻬﻮَا‬ ‫ﺼَﻠﻮ َة وَاﺗﱠﺒَﻌُﻮا اﻟ ﱠ‬
‫ﻒ َأﺿَﺎﻋُﻮا اﻟ ﱠ‬ ٌ ‫ﻦ َﺑ ْﻌ ِﺪ ِه ْﻢ ﺧَْﻠ‬ْ ‫ﻒ ِﻣ‬َ ‫ﺨَﻠ‬ َ ‫َﻓ‬
‫ﺠﱠﻨ َﺔ‬
َ ‫ن ا ْﻟ‬
َ ‫ﺧﻠُﻮ‬
ُ ‫ﻚ َﻳ ْﺪ‬
َ ‫ﻞ ﺻَﺎِﻟﺤًﺎ َﻓﺄُوَﻟِﺌ‬ َ ‫ﻋ ِﻤ‬
َ ‫ﻦ َو‬
َ ‫ب َوءَا َﻣ‬َ ‫ﻦ ﺗَﺎ‬
ْ ‫ﻻ َﻣ‬ ‫ ِإ ﱠ‬.‫ن ﻏَﻴًّﺎ‬َ ‫َﻳْﻠ َﻘ ْﻮ‬
‫ن ﺷَ ْﻴﺌًﺎ‬ َ ‫ﻈَﻠﻤُﻮ‬
ْ ‫ﻻ ُﻳ‬َ ‫َو‬
Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-
nyiakan salat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan
menemui kesesatan. kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal salih,
maka mereka itu akan masuk surga dan tidak dianiaya (dirugikan)
sedikitpun.(Q.S. Maryam/19:59-60)

‫ﺧ ْﺒ ِﺰ‬ ْ ‫ ِﻣ‬ρ ‫ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ‬


ُ ‫ﻦ‬ َ ‫ل ُﻣ‬
ُ ‫ﺷ ِﺒ َﻊ ا‬
َ ‫ﺖ ﻣَﺎ‬ْ ‫ﷲ ﻋَ ْﻨﻬَﺎ أَ ﱠﻧﻬَﺎ ﻗَﺎَﻟ‬
ُ ‫ﻲا‬ َ‫ﺿ‬ ِ ‫ﺸ َﺔ َر‬ َ ‫ﻦ ﻋَﺎ ِﺋ‬ ْ‫ﻋ‬ َ
297
ρ‫ﷲ‬ ِ ‫لا‬ ُ ‫ﺳ ْﻮ‬
ُ ‫ﺾ َر‬ِ ‫ﺣﺘﱠﻰ ُﻗ ِﺒ‬ َ ‫ﻦ‬
ِ ‫ﻦ ُﻣ َﺘﺘَﺎ ِﺑ َﻌ ْﻴ‬
ِ ‫ﺷ ِﻌ ْﻴ ٍﺮ َﻳ ْﻮ َﻣ ْﻴ‬
َ
Dari ‘Aisyah r.a. sesungguhnya ia berkata: “Tidak pernah keluarga
Muhammad saw. kenyang dengan roti yang terbuat dari gandum selama dua hari
berturut-turut sampai Rasulullah saw. meninggal dunia.” (Muttafaq ‘alaih)

ρ‫ﻲ‬
‫ﻞ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ‬
َ ‫ل ﻣَﺎ َأ َآ‬
َ ‫ﺧﺒﱠﺎ ٌز َﻟ ُﻪ ﻓﻘَﺎ‬
ُ ‫ﻋ ْﻨ َﺪ ُﻩ‬
ِ ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ َو‬
َ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﻲا‬ َ‫ﺿ‬ِ ‫ﺲ َر‬ ٍ ‫ﻦ َأ َﻧ‬
ْ‫ﻋ‬ َ
298
‫ﷲ‬
َ ‫ﻲا‬ َ ‫ﻃ ًﺔ ﺣَﺘﱠﻰ َﻟ ِﻘ‬ َ ‫ﺴ ُﻤ ْﻮ‬
ْ ‫ﻻ ﺷَﺎ ًة َﻣ‬
َ ‫ﺧ ْﺒﺰًا ُﻣﺮَ ﱠﻗﻘًﺎ َو‬
ُ
Dari Anas r.a. ia berkata: Tidak pernah Nabi saw makan roti yang halus
dan juga daging kambing yang telah siap dihidangkan sampai ia meninggal
dunia.” (H.R. al- Bukhârî)

‫ﻸ‬
َ ‫ﻦ َﻣ‬
ْ ‫ت اﻟﺴﱠﻤﻮَاتِ َﻣ‬
َ ‫ﻞ َﻣَﻠ ُﻜ ْﻮ‬
ُ‫ﺧ‬ َ ρ‫ﻲ‬
ُ ‫ﻻ َﻳ ْﺪ‬ ‫ل اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ‬
َ ‫س ﻗَﺎ‬
ٍ ‫ﻋﺒﱠﺎ‬
َ ‫ﻦ‬
ُ ‫ل ا ْﺑ‬ َ ‫ﻗَﺎ‬
299
‫ﻄ َﻨ ُﻪ‬
ْ ‫َﺑ‬
296
Ahmad Farîd, Al-Bahr al-Râ’iq fî al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, h. 93-94
297
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 6, Kitâb al-At’imah Bâb Mâ Kâna al-Nabî saw. wa
Ashâbuh Ya’kulûna, h. 205; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 2, Kitâb al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, h. 588
298
Al-Bukhārī, Sahîh al-Bukhârî, Juz 6, Kitâb al-At’imah Bâb al-Khubâ al-Muraqqaq wa
al-Akl ‘alâ al-Khiwâr wa al-Sufrah, h. 199
299
Al-Ghazālī, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, Juz3, h. 78 lam yujad aslan

214
Ibn ‘Abbâs berkata: Nabi saw. bersabda: “Kerajaan langit tidak dapat
dimasuki oleh orang selalu memenuhi perutnya.”

‫ﻲ‬
َ ‫ﻄﻌَﺎ ِم ِه‬
‫ﻒ ا ْﻟ ِﻌﺒَﺎ َد ِة َو ِﻗﱠﻠ ُﺔ اﻟ ﱠ‬ ْ ‫ َا ْﻟ ِﻔ ْﻜ ُﺮ ِﻧ‬ρ ‫ﻲ‬
ُ ‫ﺼ‬ ‫ل اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ‬
َ ‫ﻦ ﻗَﺎ‬
ُ‫ﺴ‬
َ‫ﺤ‬َ ‫ل ا ْﻟ‬ َ ‫قَا‬
300
‫ا ْﻟ ِﻌﺒَﺎ َد ُة‬
al-Hasan berkata: Nabi saw. bersabda: “Berpikir itu setengah ibadah,
sedang sedikit makan adalah ibadah itu sendiri.”

Para ulama telah menetapkan sepuluh manfaat lapar, di antaranya adalah:

a. Menjernihkan hati, menyalakan kebijakan, dan menajamkan penglihatan hati.

Sementara kenyang dapat menyebabkan hati menjadi buta dan mempertebal

asap dalam otak. Asy-Syibli mengtaakan: “Tidak pernah aku lapar karena

Allah dalam satu hari, kecuali akan aku temukan sebuah pintu dari hikmah

dan pelajaran yang belum pernah aku lihat sama sekali sebelumnya.”

b. Tidak lupa akan cobaan dan azab dari Allah. Sebab, kenyang seringkali

menyebabkan orang tidak jeli melihat dan memahami cobaan dan azab Allah.

Hamba yang cerdas akan selalu ingat terhadap bencana akhirat ketika melihat

kesulitan orang lain, sebuah sikap yang tidak dimiliki oleh orang yang selalu

kenyang.

Inilah salah satu sebab mengapa para nabi dan wali diistimewakan oleh

Allah dengan berbagai cobaan. nabi Yûsuf pernah ditanya: “Mengapa engkau

harus lapar, sedang di tanganmu terdapat simpanan kekayaan bumi?” Nabi

Yusuf menjawab: “Aku khawatir kalau aku kenyang, aku lupa terhadap orang

yang sedang lapar.”

300
Ibid

215
c. Mematahkan keinginan nafsu untuk berbuat berbagai kemaksiatan dan

kejahatan. Karena sesungguhnya sumber kemaksiatan itu adalah nafsu dan

kekuatan, sedang bahan dari kesenangan nafsu dan kekuatan adalah makanan.

Aisyah r.a. berkata: “Bid’ah pertama kali sepeninggal Rasulullah saw.

adalah kenyang. Sesungguhnya manusia itu ketika kenyang perutnya, akan

menjadi liarlah nafsunya dalam menghadapi dunia ini.”

d. Memudahkan untuk tekun beribadah. Orang yang memperturutkan nafsu perut,

tentu akan banyak menyita waktunya untuk makan, dan ini juga akan

menyebabkan dirinya berat jika diajak beribadah.

Diceritakan bahwa Ar-Rasyid pernah mengumpulkan empat orang

dokter, yaitu dokter berkebangsaan Hindi, Romawi, Irak, dan Sawwad. Ar-

Rasyid berkata: “(Aku minta) agar setiap orang dari kalian menerangkan obat

yang tidak mengandung efek samping yang berupa penyakit lain selain

penyakit yang dapat diobati oleh obat tersebut.” Maka dokter yang

berkebangsaan Hindi, Romawi, dan Sawwadpun menyampaikan jenis obat

yang menurut mereka tidak menimbulkan efek samping apa-apa. Namun,

oleh dokter berkebangsaan Sawwad yang paling terkenal dan mahir di antara

mereka, semua jenis obat yang mereka tawarkan ditolak. Dokter-dokter itupun

berkata: “Lalu menurutmu obat apa?” Dia menjawab: “Obat yang tidak

mengandung penyakit lain (efek samping) adalah kalau engkau memakan

sesuatu makanan saat engkau betul-betul menginginkan dan mengangkat

tanganmu dari makanan itu padahal engkau masih menginginkannya.” Dokter-

dokter lain serentak berkata: “Engkau benar.”

216
e. Memungkinkan seseorang mengutamakan orang lain dan bersedekah lebih

kepada anak-anak yatim dan fakir miskin, lalu ia berada di bawah naungan

sedekahnya pada hari kiamat.301

Rasulullah saw. pernah memandang seorang laki-laki yang gendut

perutnya, lalu ditunjuknya perut itu dengan jari tangannya sambil bersabda:

“Seandainya ini tidak berada dalam perut ini, tentu hal itu akan lebih baik

bagimu.” (H.R. Ahmad, al-Hâkim, al-Baihaqî dari Ja’dah al-Habsyi. Sanadnya

jayyid).

Demi melahirkan kesehatan hati dan fisik inilah agama mensyariatkan

puasa (sîyâm) minimal satu bulan dalam satu tahun. Puasa ibarat rem bagi perut

dalam menghadapi kehidupan. Ia mutlak dibutuhkan dalam kehidupan setiap

manusia. Hal ini dapat dipahami dari redaksi yang digunakan dalam surat al-

Baqarah ayat 183 tentang kewajiban puasa. Dalam ayat tersebut Allah tidak

menggunakan kata “kataba” dalam bentuk aktif (binâ fâ’il), melainkan yang

digunakan adalah redaksi “kutiba” dalam bentuk pasif (binâ maf’ûl). Hal ini

memberikan pemahaman bahwa kalaupun Allah tidak mewajibkan, niscaya akal

sehat manusia sendiri yang akan mewajibkannya demi kemaslahatan mereka

sendiri.

Abû Hurairah r.a (w. 57 H.) menyampaikan bahwa Rasulullah saw.

bersabda:

‫ﻋ ﱠﺰ‬َ ‫ﷲ‬ُ ‫لا‬ َ ‫ ﻗَﺎ‬ρ ‫ﷲ‬ ِ ‫لا‬ُ ‫ﺳ ْﻮ‬


ُ ‫ل َر‬ َ ‫ل ﻗَﺎ‬ُ ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ َﻳ ُﻘ ْﻮ‬
َ ‫ﷲ‬
ُ ‫ﻲا‬ َ‫ﺿ‬ِ ‫ﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة َر‬
ْ ‫ﻦ َأ ِﺑ‬
ْ‫ﻋ‬َ
‫ي ِﺑ ِﻪ‬ْ ‫ﺟ ِﺰ‬
ْ ‫ﻲ َوَأﻧَﺎ َأ‬ْ ‫ﺼﻴَﺎ َم َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ ِﻟ‬
‫ﻻ اﻟ ﱢ‬ ‫ﻦ ا َد َم َﻟ ُﻪ ِإ ﱠ‬
ِ ‫ﻞ ا ْﺑ‬
ِ ‫ﻋ َﻤ‬
َ ‫ﻞ ُآﻞﱡ‬ ‫ﺟﱠ‬َ ‫َو‬

301
Rincian yang lebih lengkap dapat dilihat: Ibrahim M. Jamal, Penyakit Hati, (Bandung:
Pustaka Hidayah, 1997), Cet. II, h. 154-164

217
‫ن‬
ْ ‫ﺐ َﻓِﺈ‬
ْ ‫ﺨ‬
َ‫ﺴ‬
ْ ‫ﻻ َﻳ‬
َ ‫ﺚ َﻳ ْﻮ َﻣ ِﺌٍﺬ َو‬
ْ ‫ﻼ َﻳ ْﺮ ُﻓ‬ َ ‫ﺣ ِﺪ ُآ ْﻢ َﻓ‬
َ ‫ن َﻳ ْﻮ ُم َأ‬
َ ‫ﺟ ﱠﻨ ٌﺔ َﻓِﺈذَا آَﺎ‬ ُ ‫ﺼﻴَﺎ ُم‬ ‫وَاﻟ ﱢ‬
302
‫ﻞ إِﻧﱢﻲ ا ْﻣ ُﺮ ٌؤ ﺻَﺎﺋِ ٌﻢ‬ ْ ‫ﺣ ٌﺪ َأ ْو ﻗَﺎ َﺗَﻠ ُﻪ َﻓ ْﻠ َﻴ ُﻘ‬
َ ‫ﺳَﺎﺑﱠ ُﻪ َأ‬
Dari Abû Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Allah azza
wajalla berfirman: ‘Semua amal anak Adam adalah miliknya, kecuali ibadah
puasa. Sesungguhnya ibadah puasa itu adalah milik-Ku dan Aku sendiri yang
akan membalasnya. Puasa adalah perisai. Oleh karena itu, jika salah seorang di
antara kalian sedang berpuasa hendaknya ia tidak berkata kotor dan juga tidak
bertindak bodoh. Apabila ada orang yang mengganggunya, hendaklah ia berkata,
‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa.’” (H.R. al-Bukhârî, Muslim, Abû Dâwûd,
al-Nasâ’î, dan Ibn Mâjah)
Dalam riwayat Imam al-Bukhârî (w. 256 H.) digunakan redaksi sebagai

berikut:

‫ي ِﺑ ِﻪ‬
ْ ‫ﺟ ِﺰ‬
ْ ‫ﻲ َوَأﻧَﺎ َأ‬
ْ ‫ﺼﻴَﺎ ُم ِﻟ‬
‫ﻲ اﻟ ﱢ‬
ْ ‫ﺟِﻠ‬
ْ ‫ﻦ َأ‬
ْ ‫ﺷ ْﻬ َﻮ َﺗ ُﻪ ِﻣ‬
َ ‫ﺷﺮَا َﺑ ُﻪ َو‬َ ‫ﻃﻌَﺎ َﻣ ُﻪ َو‬ َ ‫ك‬ ُ ‫َﻳ ْﺘ ُﺮ‬
303
‫ﺸ ِﺮ َأ ْﻣﺜَﺎِﻟﻬَﺎ‬
ْ ‫ﺴ َﻨ ُﺔ ِﺑ َﻌ‬
َ‫ﺤ‬َ ‫وَا ْﻟ‬
“(Allah berfirman): ‘Dia meninggalkan makanannya, minumannya, dan
syahwatnya karena Aku. Ibadah puasa adalah milik-Ku dan Aku sendiri yang
akan membalasnya. Amal kebaikan itu akan digandakan sebanyak sepuluh kali
lipat.’” (H.R. al-Bukhârî)
Dalam Hadis tersebut dinyatakan bahwa puasa itu adalah ibarat perisai. Ia

dapat berfungsi sebagai pemelihara seseorang dari dorongan syahwatnya. Orang

yang berpuasa akan mampu mengekang nafsunya sehingga diapun memutuskan

untuk tidak makan, tidak minum, tidak melakukan hubungan seksual, dan selalu

berperilaku baik.dia tidak akan berkata kotor, bertindak bodoh, mencela dan

mencaci orang lain, maupuin tindakan-tindakan lain yang dapat menimbulkan

murka Allah. Dalam ibadah puasa terkandung latihan untuk mengendalikan

motivasi dan emosi, serta memperkuat kehendak untuk mengalahkan dorongan

302
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 2, Kitâb al- Saum Bâb Hal Yaqûlu Innî Sâ’im idzâ
Syutima, h. 228; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Siyâm Bâb Fadl al-Siyâm, h. 465; Abû
Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 2, Kitâb al-Saum Bâb al-Ghîbah lî al-Sâ’im, no. Hadis 2363 h.
307; al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb al-Siyâm, Bâb Dzikr al-Ikhtilâf ‘alâ Abî Sâlih fî Hâdzâ al-
Hadîts, no. Hadis 2213, h. 370; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 1, Kitâb al-Siyâm Bâb Mâ Jâ’a fî
al-Ghîbah wa al-Rafats lî al-Sâ’im, no. Hadis 1691, h. 539-540
303
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 2, Kitâb al- Saum Bâb Fadl al-Saum, h. 226

218
hawa nafsu dan syahwat. Rasulullah saw. telah memberikan nasehat kepada para

pemuda yang belum mampu untuk menikah agar mereka berpuasa. Ibadah puasa

dapat membantu mereka meredam dan mengendalikan motivasi seksual yang

tengah menggebu-gebu.

Dalam ibadah puasa terdapat unsur latihan bersabar. Dengan latihan

bersabar, seseorang akan mampu menanggung berbagai beban berat kehidupan.

Manakala seseorang yang menunaikan ibadah puasa merasa terhalangi untuk

makan dan minum, maka akan tumbuh dalam dirinya rasa empati, ikut merasakan

penderitaan kaum papa. Sebagai biasnya dia akan mengasihani dan membantu

saudaranya yang bernasib kurang beruntung secara ekonomi. Dia akan selalu

membantu orang-orang yang membutuhkan bantuannya. Dia akan selalu peka

dengan segala perkembangan yang terjadi di tengah masyarakatnya sehingga

tumbuh rasa tanggung jawab sosial. Hal ini tentunya akan menciptakan hubungan

sosial yang baik antara dirinya dengan orang-orang lain. Hubungan sosial yang

baik dengan lingkungan sekitarnya akan melahirkan kedamaian dan ketentraman

dalam hatinya.304

Rasulullah saw. senantiasa memotivasi umatnya untuk menunaikan ibadah

puasa yang sangat bermanfaat ini melalui sabda-sabdanya:

‫ﻦ ﺻَﺎ َم‬ َ ‫ ﻗَﺎ‬ρ ‫ﷲ‬


ْ ‫ل َو َﻣ‬ ِ ‫لا‬ َ ‫ﺳ ْﻮ‬
ُ ‫ن َر‬ ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ َأ ﱠ‬
َ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﻲا‬ َ‫ﺿ‬ ِ ‫ﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة َر‬ ْ ‫ﻦ َأ ِﺑ‬
ْ‫ﻋ‬
َ
` ‫ﻪ‬ ِ ‫ﻦ َذ ْﻧ ِﺒ‬
ْ ‫ﻏ ِﻔ َﺮ َﻟ ُﻪ ﻣَﺎ َﺗ َﻘ ﱠﺪ َم ِﻣ‬
ُ ‫ﺣ ِﺘﺴَﺎﺑًﺎ‬
ْ ‫ن ِإ ْﻳﻤَﺎﻧًﺎ وَا‬
َ ‫َر َﻣﻀَﺎ‬
305

Dari Abû Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Siapa yang
menunaikan puasa Ramadhan dengan dilandasi iman dan keikhlasan, maka dosa-

304
M. Usman Najati, Psikologi dalam Tinjauan Hadist Nabi saw., h. 410
305
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 2, Kitâb al- Saum Bâb Sâma Ramadân Îmânan wa
Ihtisâban wa Niyyatan, h. 228

219
dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (H.R. al-Bukhârî, Muslim, Abû Dâwûd,
al-Tirmidzî, al-Nasâ’î, dan Ahmad)

‫ﻦ‬ َ ‫ ﻗَﺎ‬ρ ‫ﷲ‬


ْ ‫ل ﻣَﺎ ِﻣ‬ ِ ‫لا‬ َ ‫ﺳ ْﻮ‬
ُ ‫ن َر‬ ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ َأ ﱠ‬
َ ‫ﷲ‬
ُ ‫ﻲا‬ َ‫ﺿ‬ِ ‫ﺨ ْﺪرِي َر‬ ُ ‫ﺳ ِﻌ ْﻴ ٍﺪ ا ْﻟ‬
َ ‫ﻲ‬ ْ ‫ﻦ َأ ِﺑ‬
ْ‫ﻋ‬َ
‫ﻦ‬
ِ‫ﻋ‬ َ ‫ﺟ َﻬ ُﻪ‬
ْ ‫ﻚ ا ْﻟ َﻴ ْﻮ ِم َو‬َ ‫ﷲ ِﺑ َﺬِﻟ‬
ُ ‫ﻋ َﺪ ا‬
َ ‫ﻻ ﺑَﺎ‬‫ﷲ ِإ ﱠ‬
ِ ‫ﻞا‬
ِ ‫ﺳ ِﺒ ْﻴ‬
َ ‫ﻲ‬ْ ‫ﺼ ْﻮ ُم َﻳ ْﻮﻣًﺎ ِﻓ‬ ُ ‫ﻋ ْﺒ ٍﺪ َﻳ‬َ
306
‫ﺧ ِﺮ ْﻳﻔًﺎ‬
َ ‫ﻦ‬ َ ‫ﺳ ْﺒ ِﻌ ْﻴ‬
َ ‫اﻟﻨﱠﺎ ِر‬
Dari Abû Sa’îd al-Khudrî r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Tidak
seorang hambapun yang menunaikan ibadah puasa satu hari saja di jalan Allah,
melainkan Allah akan menjauhkannya dari neraka (sejauh jarak perjalanan) tujuh
puluh tahun lantaran ibadah puasa tersebut.” (H.R. al-Bukhârî , Muslim, al-Nasâ’î,
dan Ibn Mâjah)

‫ك َو َﺗﻌَﺎﻟَﻰ‬ َ ‫ﷲ َﺗﺒَﺎ َر‬


َ ‫نا‬ ‫ ِإ ﱠ‬ρ ‫ﷲ‬ ِ ‫لا‬ ُ ‫ﺳ ْﻮ‬ُ ‫ل َر‬ َ ‫ل ﻗَﺎ‬ َ ‫ﻦ َأ ِﺑ ْﻴ ِﻪ ﻗَﺎ‬
ْ‫ﻋ‬َ ‫ﺳَﻠ َﻤ َﺔ‬
َ ‫ﻲ‬ْ ‫ﻦ َأ ِﺑ‬
ْ‫ﻋ‬َ
‫ﻦ ﺻَﺎ َﻣ ُﻪ َوﻗَﺎ َﻣ ُﻪ‬ ْ ‫ﺖ َﻟ ُﻜ ْﻢ ِﻗﻴَﺎ َﻣ ُﻪ َﻓ َﻤ‬ ُ ‫ﺳ َﻨ ْﻨ‬َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ َو‬َ ‫ن‬ َ ‫ﺻﻴَﺎ َم َر َﻣﻀَﺎ‬ ِ ‫ض‬ َ ‫َﻓ َﺮ‬
307
‫ﻦ ُذ ُﻧ ْﻮ ِﺑ ِﻪ َآ َﻴ ْﻮ ِم َوَﻟ َﺪ ْﺗ ُﻪ ُأﻣﱡ ُﻪ‬
ْ ‫ج ِﻣ‬ َ ‫ﺧ َﺮ‬ َ ‫ﺣ ِﺘﺴَﺎﺑًﺎ‬ ْ ‫ِإ ْﻳﻤَﺎﻧًﺎ وَا‬
Sesungguhnya Allah tabaraka wa ta’ala mewajibkan puasa Ramadhan
kepada kalian. Dan aku telah menyunnahkan salat pada malam harinya untuk
kalian. Maka siapa saja yang berpuasa Ramadhan dan melakukan shalat pada
malam harinya dengan didasari keimanan dan keikhlasan, maka dia akan keluar
dari dosa-dosanya seperti pada hari dia baru dilahirkan oleh ibunya.” (H.R. An-
Nasā’ī)
Menurut Imam al-Ghazâlî (w.505 H.), ada enam hal yang harus

diperhatikan dalam upaya menyempurnakan ibadah Puasa, yaitu:308

a. Menundukkan pandangan dan menahannya dari memandang segala hal yang

dibenci dan dicela. Rasulullah saw. bersabda:

‫ﻦ ﺗَﺮَآَﻬَﺎ‬ْ ‫ﷲ_ َﻓ َﻤ‬ ُ ‫ﺲ _َﻟ َﻌ َﻨ ُﻪ ا‬ َ ‫ﺳﻬَﺎ ِم ِإ ْﺑِﻠ ْﻴ‬ِ ‫ﻦ‬ ْ ‫ﺴ ُﻤ ْﻮ ٌم ِﻣ‬


ْ ‫ﻈ َﺮ ُة ﺳَ ْﻬ ٌﻢ َﻣ‬
ْ ‫اَﻟﻨﱠ‬
‫ﻲ َﻗ ْﻠ ِﺒ ِﻪ‬
ْ ‫ﻼ َو َﺗ ُﻪ ِﻓ‬
َ ‫ﺣ‬
َ ‫ﺠ ُﺪ‬
ِ ‫ﻞ ِإ ْﻳﻤَﺎﻧًﺎ َﻳ‬‫ﺟﱠ‬ َ ‫ﻋ ﱠﺰ َو‬َ ‫ﷲ‬ُ ‫ﷲ اﺗَﺎ ُﻩ ا‬
ِ ‫ﻦا‬ َ ‫ﺧ ْﻮﻓًﺎ ِﻣ‬
َ

306
Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Siyâm Bâb Fadl al-Siyâm fî Sabîl al-Lâh liman
yutîquh bilâ Darar walâ Tafwît Haqq h. 466; al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb al-Siyâm Bâb Tsawâb
Man Sâma Yauman fî Sabîl al-Lâh ‘Azza wa Jalla wa Dzikr Ikhtilâf ‘alâ Suhail ibn Abî Sâlih, no.
Hadis 2242, h. 373; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 1, Kitâb al-Siyâm Bâb fî Siyâm Yaum fî Sabîl
al-Lâh, no. Hadis 1717, h. 547-548
307
al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb Siyâm Bâb Dzikr Ikhtilâf Yahyâ ibn Abî Katsîr wa
al-Nadr ibn Syaibân fîh, no. hadis 2207, h. 369
308
al-Ghazâlî, Ihyâ ‘ulûm al-Dîn, Juz 1, h. 235-237

220
“Memandang adalah salah satu anak panah iblis. Siapa yang
meninggalkannya karena takut kepada Allah, niscaya Allah ‘azza wa jalla
akan menganugerahkan kepadanya keimanan yang ia dapat rasakan manisnya
di kalbunya.” (H.R. al-Hâkim)309

b. Menjaga lisan dari bualan, dusta, ghibah, gunjingan, kekejian, perkataan kasar,

pertengkaran, dan perdebatannya, mengendalikannya dengan diam, sibuk

dengan zikrullah dan tilawah al-Qur’an. Nabi saw. bersabda:

‫ﺟﱠﻨ ٌﺔ‬ َ ‫ ﻗَﺎ‬ρ ‫ﷲ‬


ُ ‫ل اﻟﺼﱢﻴَﺎ ُم‬ ِ ‫لا‬ َ ‫ﺳ ْﻮ‬
ُ ‫ن َر‬ ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ َأ ﱠ‬
َ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﻲا‬ َ‫ﺿ‬ ِ ‫ﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة َر‬ْ ‫ﻦ َأِﺑ‬ ْ‫ﻋ‬َ
‫ﻲ‬
ْ ‫ﻲ ﺻَﺎﺋِ ٌﻢ ِإﱢﻧ‬
ْ ‫ﻞ ِإﱢﻧ‬
ْ ‫ن ا ْﻣ ُﺮ ٌؤ ﻗَﺎَﺗَﻠ ُﻪ َأ ْوﺷَﺎَﺗ َﻤ ُﻪ َﻓْﻠَﻴ ُﻘ‬
ِ ‫ﻞ َوِإ‬ْ ‫ﺠ َﻬ‬
ْ ‫ﻻ َﻳ‬
َ ‫ﺚ َو‬ ْ ‫ﻼ َﻳ ْﺮ ُﻓ‬ َ ‫َﻓ‬
310
‫ﺻَﺎﺋِ ٌﻢ‬
Dari Abû Hurairah r.a. sesungguhnya Rasulullah saw.
bersabda:“Sesungguhnya puasa itu merupakan perisai. Oleh karena itu, (jika
salah seorang di antara kalian berpuasa), maka hendaklah ia tidak berkata kotor
dan bertindak bodoh. Jika seseorang menyerangnya atau mencaci makinya,
maka katakanlah, ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa, sesungguhnya aku
sedang berpuasa.’” (H.R. al-Bukhârî, Muslim, Abû Dâwûd, al-Nasâ’î, dan Ibn
Mâjah)

c. Menahan pendengaran dari hal-hal yang dibenci.

d. Menahan anggota badan lainnya dari berbagai dosa, seperti menahan kaki dan

tangan dari hal-hal yang dibenci dan menahan perut dari hal-hal yang syubhat.

e. Tidak memperbanyak makan makanan yang halal pada saat berbuka, karena

tidak ada yang paling dibenci oleh Allah selain perut yang penuh dengan

makanan halal.

f. Hendaknya setelah iftar, hatinya senantiasa berada dalam kondisi cemas

(khauf) dan harap (rajâ), sebab ia tidak tahu apakah puasanya diterima

309
al-Hâkim mensahihkan sanadnya
310
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 2, Kitâb al-Saum Bâb Fadl al-Saum, h. 226;
Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Siyâm, Bâb Fadl al-Siyâm, h. 465; Abû Dâwûd, Sunan Abî
Dâwûd, Juz 2, Kitâb al-Saum Bâb al-Ghîbah lî al-Sâ’im, no. Hadis 2363, h. 307; al-Nasâ’î, Sunan
al-Nasâ’î, Kitâb al-Siyâm Bâb Dzikr al-Ikhtilâf ‘alâ Abî Sâlih fî Hâdzâ al-Hadîts, no. Hadis
2214, h. 370; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 1, Kitâb al-Siyâm Bâb Mâ Jâ’a fî al-Ghîbah wa al-
Rafats lî al-Sâ’im, no. Hadis 1691, h. 539-540

221
sehingga termasuk ke dalam golongan muqarrabîn atau ditolak dan masuk ke

dalam golongan yang dimurkai? Diriwayatkan bahwa suatu ketika al-Hasan

bin Abû al-Hasan al-Basrî melewati suatu kaum yang sedang tertawa.

Beliaupun kemudian berkata: “Sesungguhnya Allah menjadikan bulan

Ramadhan sebagai arena perlombaan melakukan ketaatan bagi makhluk-Nya.

Kemudian ada orang-orang yang berlomba hingga menang dan ada pula

orang-orang yang tertinggal lalu kecewa. Tetapi yang sangat mengherankan

adalah pemain yang tertawa-tawa di saat orang-orang lain berpacu meraih

kemenangan.”

4. Menunaikan Ibadah Haji

Ritual haji mengajarkan bagaimana menanggung beban berat, melatih diri

untuk memerangi hawa nafsu, dan mengendalikan dorongan serta gejolak

syahwat. Sebab, dalam menunaikan ibadah haji seseorang tidak boleh melakukan

hubungan intim, tidak boleh cekcok, mencaci, menyakiti orang lain, atau

melakukan hal-hal yang dimurkai Allah. Ritual haji mampu meredam rasa

sombong, congkak, angkuh, dan merasa lebih baik ketimbang orang lain. Semua

orang memiliki kedudukan yang sama ketika menunaikan ibadah haji. Mereka

mengenakan busana yang sama tanpa perbedaan antara yang kaya dan yang

miskin atau antara atasan dengan bawahan. Semua merasa berada dalam posisi

yang sejajar, beribadah di Baitul Haram dengan khusyu, tunduk, mengakui

kelemahan dan keterbatasannya, serta hanya mengabdi kepada Allah demi

mengharapkan maghfirah dan ridha-Nya. Di tempat yang dipenuhi dengan spirit

ruhaniah, hubungan seseorang dengan Tuhannya akan semakin bertambah dekat

222
dan kuat. Seseorang akan merasakan kejernihan hati, ketenangan jiwa, dan

mengalami kondisi spiritual yang dipenuhi dengan rasa cinta dan bahagia.311

Dalam ritual haji, seseorang juga akan membersihkan dirinya dari

perasaan dengki, hasud, dan benci kepada pihak lain. Sebaliknya, rasa cinta, kasih

sayang dan persaudaraannya dengan sesama akan lebih kental dan melekat dalam

hatinya.

Oleh karena itu, ibadah haji dapat menjadi salah satu terapi menawarkan

dan menyehatkan jiwa. Pada saat itu seseorang akan terasa mudah mengakui

segala tindakan dosa yang telah dilakukannya selama ini. Dan ia sadar bahwa

Rasulullah saw. menjanjikan pahala berupa ampunan dosa bagi orang yang

hajinya berpredikat haji mabrur. Ada sebuah riwayat berikut ini:

َ ‫ ﻗَﺎ‬ρ ‫ﷲ‬
‫ل َا ْﻟ ُﻌ ْﻤ َﺮ ُة إِﻟَﻰ‬ ِ ‫لا‬ َ ‫ﺳ ْﻮ‬
ُ ‫ن َر‬ ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ َأ ﱠ‬ َ ‫ﷲ‬ُ ‫ﻲا‬ َ‫ﺿ‬ِ ‫ﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة َر‬ ْ ‫ﻦ َأ ِﺑ‬ ْ‫ﻋ‬ َ
312
‫ﺠ ﱠﻨ َﺔ‬
َ ‫ﻻ ا ْﻟ‬ ‫ﺲ َﻟ ُﻪ ﺟَﺰَا ٌء ِإ ﱠ‬
َ ‫ﺞ ا ْﻟ َﻤ ْﺒ ُﺮ ْو ُر َﻟ ْﻴ‬
‫ﺤﱡ‬
َ ‫ا ْﻟ ُﻌ ْﻤ َﺮ ِة ُﺗ َﻜﻔﱢ ُﺮ ﻣَﺎ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻬﻤَﺎ وَا ْﻟ‬
Dari Abû Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “(Antara) umrah
sampai umrah berikutnya dapat melebur dosa-dosa yang ada di anatara keduanya.
Dan ibadah haji yang mabrur itu tidak lain balasannya adalah surga. (H.R. al-
Bukhârî,, Muslim, al-Tirmidzî, dan al-Nasâ’î)

‫ﻦ‬ ُ ‫ َﻳ ُﻘ ْﻮ‬ρ ‫ﷲ‬


ْ ‫ل َﻣ‬ ِ ‫لا‬
َ ‫ﺳ ْﻮ‬
ُ ‫ﺖ َر‬
ُ ‫ﺳ ِﻤ ْﻌ‬َ ‫ل‬ َ ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ‬ َ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﻲا‬ َ‫ﺿ‬ ِ ‫ﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة َر‬ْ ‫ﻦ َأ ِﺑ‬
ْ‫ﻋ‬
َ
313
‫ﺟ َﻊ َآ َﻴ ْﻮ ِم َوَﻟ َﺪ ْﺗ ُﻪ ُأﻣﱡ ُﻪ‬
َ ‫ﺚ َر‬
ْ ‫ﻼ َﻳ ْﺮ ُﻓ‬ َ ‫ﷲ َﻓ‬
ِ ِ‫ﺞ‬ ‫ﺣﱠ‬
َ
Dari Abû Hurairah r.a. ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw.
bersabda: “Barangsiapa yang menunaikan ibadah haji ikhlas karena Allah
sehingga dia tisdak melakukan hubungan intim dan tidak melakukan perbuatan
311
M. Usman Najati, Psikologi dalam Tinjauan Hadist Nabi saw., h. 412
312
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 2, Kitâb al-Hajj Bâb al-‘Umrah, h. 198; Muslim,
Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Hajj Bâb Fî Fadl al-Hajj wa al-‘Umrah wa Yaum ‘Arafah, 566; al-
Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 2, Abwâb al-Hajj Bâb Mâ Jâ’a fî Dzikr Fadl al-‘Umrah, no.
Hadis 937, h. 206; al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb Manâsik al-Hajj Bâb Fadl al-Hajj al-Mabrûr,
no. Hadis 2619, h. 432-433
313
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 2, Kitâb al-Hajj Bâb Fadl al-Hajj al-Mabrûr, h. 141;
Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Hajj Bâb Fî Fadl al-Hajj wa al-‘Umrah wa Yaum ‘Arafah,
h. 566; al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzi, Juz 2, Abwâb al-Hajj Bâb Mâ Jâ’a fî Tsawâb al-Hajj wa al-
‘Umrah , no. Hadis 808, h. 153; al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb Manâsik al-Hajj Bâb Fadl al-
Hajj, no. Hadis 2624, h. 433; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Hajj Bâb Fadl al-Hajj
wa al-‘Umrah, no. Hadis 2889, h. 964-965

223
dosa besar, maka dia akan pulang seperti pada hari dia baru dilahirkan oleh
ibunya.” (H.R. al-Bukhârî, Muslim, al-Tirmidzî, dan al-Nasâ’î)

ρ ‫ﷲ‬ ِ ‫لا‬ ُ ‫ﺳ ْﻮ‬ُ ‫ل َر‬ َ ‫ل ﻗَﺎ‬


َ ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ‬
َ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﻲا‬ َ‫ﺿ‬ ِ ‫ﺴ ُﻌ ْﻮ ٍد َر‬ ْ ‫ﻦ َﻣ‬ ِ ‫ﷲ ْﺑ‬ ِ ‫ﻋ ْﺒ ِﺪ ا‬َ ‫ﻦ‬ ْ‫ﻋ‬َ
‫ن ا ْﻟ َﻔ ْﻘ َﺮ وَاﻟ ﱡﺬ ُﻧ ْﻮبَ َآﻤَﺎ ﻳَ ْﻨﻔِﻰ‬ ِ ‫ﺞ وَا ْﻟ ُﻌ ْﻤ َﺮ ِة َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻬﻤَﺎ َﻳ ْﻨ ِﻔﻴَﺎ‬
‫ﺤﱢ‬ َ ‫ﻦ ا ْﻟ‬
َ ‫ﺗَﺎﺑِ ُﻌﻮْا َﺑ ْﻴ‬
‫ب‬
ٌ ‫ﺠ ِﺔ ا ْﻟ َﻤ ْﺒ ُﺮ ْو َر ِة ﺛَﻮَا‬
‫ﺤﱠ‬َ ‫ﺲ ِﻟ ْﻠ‬
َ ‫ﻀ ِﺔ َوَﻟ ْﻴ‬ ‫ﺐ وَا ْﻟ ِﻔ ﱠ‬ ِ ‫ﺤ ِﺪ ْﻳ َﺪ وَاﻟ ﱠﺬ َه‬
َ ‫ﺚ ا ْﻟ‬
َ ‫ﺧ َﺒ‬َ ‫ا ْﻟ ِﻜ ْﻴ ُﺮ‬
314
‫ﺠ ﱠﻨ َﺔ‬
َ ‫ﻻ ا ْﻟ‬
‫ِإ ﱠ‬
Dari Abdullâh bin Mas’ûd r.a. ia berkata:Rasulullah saw. bersabda:
“Kerjakanlah ibadah haji dan umrah secara berturut-turut! Karena sesungguhnya
kedua ibadah tersebut bias menghilangkan kefakiran dan dosa-dosa sebagaimana
tungku api mampu menghilangkan kotoran besi, emas, dan perak (yang sedang
ditempa). Tidak ada ganjaran untuk haji yang mabrur kecuali hanya surga.” (H.R.
al-Tirmidzî, al-Nasâ’î, dan Ibn Mâjah)
Orang yang menunaikan ibadah haji akan mengharapkan Allah swt.

menerima ibadahnya, mengabulkan doanya, dan mengampuni dosanya. Oleh

karena itu, dia akan kembali dari hajinya dalam keadaan bebas dari perasaan

berdosa, jauh dari gundah. Dan pada saat yang bersamaan akan merasuk ke dalam

kalbunya perasaan tenang, tentram, rasa bahagia, dan suka cita.

Agar ibadah haji dapat terlaksana dengan baik, maka selain ada adab-adab

lahir yang harus diperhatikan, menurut Imam al-Ghazâlî (w.505 H.) ada pula

beberapa adab batin yang layak untuk dicermati, yaitu:315

a. Hendaklah ia berhaji dengan harta yang halal;

b. Hendaknya ia berusaha untuk tidak menyerahkan dirinya diperas orang-orang

yang mengganggu jamaah haji;

c. Hendaknya ia tidak memboroskan bekalnya untuk makan dan minum yang

mewah atau membeli kelezatan-kelezatan selama di perjalanan;

314
al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 2, Abwâb Bâb Mâ Jâ’a fî Tsawâb al-Hajj wa al-
‘Umrah , no. Hadis 807, h. 153; al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb Manâsik al-Hajj Bâb Fadl al-
Hajj, no. Hadis 2628, h. 433; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Hajj Bâb Fadl al-Hajj
wa al-‘Umrah, no. Hadis 2887, h. 964
315
al-Ghazâlî, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, Jilid I, h. 263-267

224
d. Hendaknya ia meninggalkan segala macam akhlak tercela;

e. Diutamakan memperbanyak berjalan;

f. Hendaknya ia berpakaian sederhana dan meninggalkan tanda-tanda

kesombongan dan kemewahan;

g. Hendaknya ia bersabar menerima musibah yang menimpa badannya atau bila

ia kehilangan harta.

5. Tilawah al-Qur’an sambil Merenungi Kandungannya

Sejak manusia mengenal baca tulis al-Qur’an sekitar lima ribu tahun yang

lampau, tiada satu bacaanpun yang dapat menandingi al-Qur’an. Yang dipelajari

dari al-Qur’an tidak hanya susunan redaksi dan pemilihan kosa katanya,

melainkan juga kandungannya yang tersurat, tersirat bahkan kesan yang

ditimbulkannya. Semua dituangkan dalam jutaan jilid buku, generasi demi

generasi, dan dari sudut pandang yang berbeda-beda sesuai dengan kemampuan

dan kecenderungan mereka. al-Qur’an laksana permata yang memancarkan

cahaya yang berbeda-beda sesuai sudut pandang orang yang memandangnya.

Ditemukan banyak tek-teks keagamaan yang menyatakan keagungan Al-

Quran sehingga memotivasi umat untuk membaca, memahami, dan mengamalkan

kandungannya.

‫ﺼﺪُو ِر‬
‫ﻦ َر ﱢﺑ ُﻜ ْﻢ وَﺷِﻔَﺎ ٌء ِﻟﻤَﺎ ﻓِﻲ اﻟ ﱡ‬
ْ ‫ﻈ ٌﺔ ِﻣ‬
َ‫ﻋ‬ِ ‫س َﻗ ْﺪ ﺟَﺎ َء ْﺗ ُﻜ ْﻢ َﻣ ْﻮ‬ ُ ‫ﻳَﺎَأ ﱡﻳﻬَﺎ اﻟﻨﱠﺎ‬
‫ﻣﻨِﻴﻦ‬ ِ ‫ﺣ َﻤ ٌﺔ ِﻟ ْﻠ ُﻤ ْﺆ‬
ْ ‫وَ ُهﺪًى َو َر‬
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari
Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan
petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. (QS. Yûnus/10:57)

‫ﻻ َﻳﺰِﻳ ُﺪ‬
َ ‫ﺣ َﻤ ٌﺔ ﻟِ ْﻠ ُﻤ ْﺆﻣِﻨِﻴﻦَ َو‬
ْ ‫ن ﻣَﺎ ُه َﻮ ﺷِﻔَﺎ ٌء َو َر‬
ِ ‫ﻦ ا ْﻟ ُﻘ ْﺮءَا‬
َ ‫ل ِﻣ‬ ُ ‫َوُﻧ َﻨﺰﱢ‬
‫ﺧﺴَﺎرًا‬ َ ‫ﻻ‬ ‫ﻦ ِإ ﱠ‬
َ ‫اﻟﻈﱠﺎِﻟﻤِﻴ‬

225
Dan Kami turunkan dari al-Qur'an suatu yang menjadi penawar dan
rahmat bagi orang-orang yang beriman dan al-Qur'an itu tidaklah menambah
kepada orang-orang yang zalim selain kerugian. (QS. al-Isrâ/17:82)

‫ﻲ‬
‫ﺠ ِﻤ ﱞ‬
َ‫ﻋ‬ْ ‫ﺖ ءَاﻳَﺎ ُﺗ ُﻪ َءَأ‬ ْ ‫ﺼَﻠ‬ ‫ﻻ ُﻓ ﱢ‬ َ ‫ﺠﻤِﻴًّﺎ َﻟﻘَﺎﻟُﻮا َﻟ ْﻮ‬
َ‫ﻋ‬ ْ ‫ﺟ َﻌ ْﻠﻨَﺎ ُﻩ ُﻗ ْﺮءَاﻧًﺎ َأ‬ َ ‫َوَﻟ ْﻮ‬
‫ن ﻓِﻲ‬َ ‫ﻻ ُﻳ ْﺆ ِﻣﻨُﻮ‬َ ‫ﻦ‬ َ ‫ﻦ ءَا َﻣﻨُﻮا ُهﺪًى وَﺷِﻔَﺎ ٌء وَاﱠﻟﺬِﻳ‬ َ ‫ﻞ ُه َﻮ ِﻟﱠﻠﺬِﻳ‬ ْ ‫ﻲ ُﻗ‬‫ﻋ َﺮ ِﺑ ﱞ‬ َ ‫َو‬
‫ن َﺑﻌِﻴ ٍﺪ‬ ٍ ‫ﻦ َﻣﻜَﺎ‬ ْ ‫ن ِﻣ‬َ ‫ﻚ ُﻳﻨَﺎ َد ْو‬
َ ‫ﻋﻤًﻰ أُوَﻟ ِﺌ‬
َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ْﻢ‬
َ ‫ءَاذَا ِﻧ ِﻬ ْﻢ وَ ْﻗ ٌﺮ َو ُه َﻮ‬
Dan jikalau Kami jadikan al-Qur’an itu suatu bacaan dalam selain bahasa
Arab tentulah mereka mengatakan: "Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?".
Apakah (patut al-Qur’an) dalam bahasa asing, sedang (rasul adalah orang) Arab?
Katakanlah: " al-Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang
beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan,
sedang al-Qur’an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti)
orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh". (QS. Fussilat/40:44)

ْ ‫ َوﻣَﺎا‬ρ ‫ﷲ‬
‫ﺟ َﺘ َﻤ َﻊ ﻗَ ْﻮ ٌم‬ ِ ‫لا‬ ُ ‫ﺳ ْﻮ‬ُ ‫ل َر‬ َ ‫ل ﻗَﺎ‬ َ ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ‬
َ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﻲا‬ َ‫ﺿ‬ ِ ‫ﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة َر‬ ْ ‫ﻦ َأ ِﺑ‬ ْ‫ﻋ‬ َ
‫ﺖ‬
ْ ‫ﻻ َﻧ َﺰَﻟ‬ ‫ﺳ ْﻮ َﻧ ُﻪ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻬ ْﻢ ِإ ﱠ‬
ُ ‫ﷲ َو َﻳ َﺘﺪَا َر‬ِ ‫با‬ َ ‫ن ِآﺘَﺎ‬ َ ‫ﷲ َﻳ ْﺘُﻠ ْﻮ‬
ِ ‫تا‬ ِ ‫ﻦ ُﺑُﻴ ْﻮ‬ْ ‫ﺖ ِﻣ‬ ٍ ‫ﻲ َﺑ ْﻴ‬ ْ ‫ِﻓ‬
‫ﻦ‬
ْ ‫ﷲ ِﻓ ْﻴ َﻤ‬ُ ‫ﻼ ِﺋ َﻜ ُﺔ َو َذ َآ َﺮ ُه ُﻢ ا‬ َ ‫ﺣﻔﱠ ْﺘ ُﻬ ُﻢ ا ْﻟ َﻤ‬
َ ‫ﺣ َﻤ ُﺔ َو‬ْ ‫ﺸ َﻴ ْﺘ ُﻬ ُﻢ اﻟ ﱠﺮ‬
ِ‫ﻏ‬َ ‫ﺴ ِﻜ ْﻴ َﻨ ُﺔ َو‬
‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ُﻢ اﻟ ﱠ‬ َ
316
‫ﻋ ْﻨ َﺪ ُﻩ‬
ِ
Dari Abû Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Tidaklah
sebuah kaum berkumpul di salah satu rumah Allah untuk melantunkan (bacaan)
kitab Allah dan saling mempelajarinya, kecuali ketentraman akan turun dalam
kalbu mereka, rahmat akan menyelimuti mereka, mereka akan dikelilingi oleh
para malaikat, dan Allah akan menyebut-nyebut mereka di hadapan makhluk
yang ada di sisi-Nya.” (H.R. Muslim, Abû Dâwûd, dan Ibn Mâjah)

ِ ‫ﺳ ْﻮ َل اﷲ‬ُ ‫ﺖ َر‬
ُ ‫ﺳ ِﻤ ْﻌ‬
َ ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ َل‬
َ ‫ﷲ‬
ُ ‫ﻲا‬
َ‫ﺿ‬
ِ ‫ﻲ ُأﻣَﺎ َﻣ َﺔ َر‬
ْ ‫ﻦ َأ ِﺑ‬َ ρ ‫ﻲ َﻳ ْﻮ َم ا ْﻟ ِﻘﻴَﺎ َﻣ ِﺔ‬
ْ‫ﻋ‬ ْ ‫ن َﻓ ِﺈ ﱠﻧ ُﻪ َﻳ ْﺄ ِﺗ‬
َ ‫َﻳ ُﻘ ْﻮ ُل ِإ ْﻗ َﺮؤُا ا ْﻟ ُﻘﺮْا‬
317
‫ﺻﺤَﺎ ِﺑ ِﻪ‬ْ ‫ﺷ ِﻔ ْﻴﻌًﺎ َﻻ‬
َ
Dari Abû Umâmah r.a. dia berkata: Aku telah mendengar Rasulullah saw.
bersabda: “Bacalah al-Qur’an, karena sesungguhnya ia akan datang pada hari
kiamat sebagai pemberi syafaat (pertolongan) bagi orang-orang yang membaca
dan mengamalkan kandungannya.” (H.R. Muslim)

‫ َا ْﻟﻤَﺎ ِه ُﺮ‬ρ ‫ﷲ‬ ِ ‫ل ا‬ ُ ‫ﺳ ْﻮ‬ ُ ‫ل َر‬ َ ‫ﺖ ﻗَﺎ‬ ْ ‫ﷲ ﻋَ ْﻨﻬَﺎ ﻗَﺎَﻟ‬ ُ ‫ﻲ ا‬ َ‫ﺿ‬ ِ ‫ﺸ َﺔ َر‬ َ ‫ﻦ ﻋَﺎ ِﺋ‬ ْ‫ﻋ‬ َ
‫ن َو َﻳ َﺘ َﺘ ْﻌ َﺘ ُﻊ ِﻓ ْﻴ ِﻪ‬َ ‫ي َﻳ ْﻘ َﺮُأ ا ْﻟ ُﻘﺮْا‬ْ ‫ﺴ َﻔ َﺮ ِة ا ْﻟﻜِﺮَامِ ا ْﻟ َﺒ َﺮ َر ِة وَاﱠﻟ ِﺬ‬
‫ن َﻣ َﻊ اﻟ ﱠ‬ِ ‫ﺑِﺎا ْﻟ ُﻘﺮْا‬
318
‫ن‬
ِ ‫ﺟﺮَا‬ ْ ‫ق َﻟ ُﻪ َأ‬‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ ﺷَﺎ ﱞ‬
َ ‫َو ُه َﻮ‬
316
Muslim, Sahîh Muslim, Juz 2, Kitâb al-Dzikr wa al-Du’â wa al-Taubah wa al-Istighfâr
Bâb Fadl al-Ijtimâ’ ‘alâ Tilâwah al-Qur’ân wa ‘alâ al-Dzikr, h. 473-474; Abû Dâwûd, Sunan Abî
Dâwûd, Juz 2, Kitâb al-Salâh Bâb Fî Tsawâb Qirâ’ah al-Qur’ân, no. Hadis 1455, h. 71; Ibn Mâjah,
Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Âdâb Bâb Fadl al-Dzikr, no. Hadis 3791, h. 1245
317
Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Masâjid wa Mawâdi’ al-Salâh Bâb Fadl
Qirâ’ah al-Qur’ân wa Sûrah al-Baqarah, , h. 321

226
Dari ‘Aisyah r.a. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Orang yang mahir
membaca al-Qur’an, maka kelak (dia di surga) bersama para malaikat yang mulia
dan baik. Sedangkan orang yang membaca al-Qur’an dengan terbata-bata dan dia
merasa berat, maka baginya dua pahala.” (al-Bukhârî, Muslim, al-Tirmidzî, Abû
Dâwûd, dan Ibn Mâjah)

‫ﺳ َﺪ‬
ُ ‫ﻻ ﺗَﺤَﺎ‬ َ ρ‫ﷲ‬ ِ ‫لا‬ َ ‫ﺳ ْﻮ‬ ُ ‫ل َر‬ َ ‫ل ﻗَﺎ‬ َ ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ‬ َ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﻲا‬ َ‫ﺿ‬ ِ ‫ﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة َر‬ ْ ‫ﻦ َأ ِﺑ‬ْ‫ﻋ‬ َ
‫ﻞ َو اﻟ ﱠﻨﻬَﺎ ِر‬ ِ ‫ن َﻓ ُﻬ َﻮ َﻳ ْﺘُﻠ ْﻮ ُﻩ اﻧَﺎ َء اﻟﱠﻠ ْﻴ‬ َ ‫ﷲ ا ْﻟ ُﻘﺮْا‬ ُ ‫ﻞ اﺗَﺎ ُﻩ ا‬ ٌ‫ﺟ‬ ُ َ‫ﻦ ر‬ِ ‫ﻻ ﻓِﻰ ا ْﺛ َﻨ َﺘ ْﻴ‬ ‫ِإ ﱠ‬
‫ﷲ‬
ُ ‫ﻞ اﺗَﺎ ُﻩ ا‬ ٌ‫ﺟ‬ ُ ‫ﻞ َو َر‬ ُ ‫ﺖ َآﻤَﺎ َﻳ ْﻔ َﻌ‬ ُ ‫ﻲ هَﺬَا َﻟ َﻔ َﻌ ْﻠ‬ َ ‫ﻞ ﻣَﺎ ُأ ْو ِﺗ‬ َ ‫ﺖ ِﻣ ْﺜ‬
ُ ‫ل َﻟ ْﻮ ُأ ْو ِﺗ ْﻴ‬ُ ‫َﻳ ُﻘ ْﻮ‬
‫ﺖ َآﻤَﺎ‬ ُ ‫ﻲ هَﺬَا َﻟ َﻔ َﻌ ْﻠ‬ َ ‫ﻞ ﻣَﺎ ُأ ْو ِﺗ‬ َ ‫ﺖ ِﻣ ْﺜ‬ ُ ‫ل َﻟ ْﻮ ُأ ْو ِﺗ ْﻴ‬ُ ‫ﺣ ﱢﻘ ِﻪ َﻳ ُﻘ ْﻮ‬
َ ‫ﻲ‬
ْ ‫ﻻ ُﻳ ْﻨ ِﻔ ُﻘ ُﻪ ِﻓ‬ً ‫ﻣَﺎ‬
319
‫ﻞ‬
ُ ‫َﻳ ْﻔ َﻌ‬
Dari Abû Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah saw., beliau bersabda:
“Tidak diperkenankan bersikap dengaki kecuali dalam dua hal, yaitu: (Pertama)
Terhadap orang yang dianugerahkan al-Qur’an oleh Allah lalu dia membacanya
sepanjang siang dan malam, lalu ia (yang dengki) berkata, ‘Seandainya aku
diberikan seperti yang diberikan kepadanya, niscaya aku akan melakukan seperti
yang dilakukannya’. Dan (Kedua) terhadap orang yang dianugerahkan harta oleh
Allah lalu dia menafkahkannya (di jalan Allah) sesuai dengan peruntukkannya,
lalu ia (yang dengki) berkata, ‘Seandainya aku diberikan seperti yang diberikan
kepadanya, niscaya aku akan melakukan seperti yang dilakukannya’.” (H.R. al-
Bukhârî dan Ahmad)

‫ﺣ ْﺮﻓًﺎ‬
َ ‫ﻦ َﻗ َﺮَأ‬ ْ ‫ ﻗﺎل َﻣ‬ρ ‫ﷲ‬ ِ ‫لا‬ َ ‫ﺳ ْﻮ‬ُ ‫ن َر‬ ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ َأ ﱠ‬
َ ‫ﷲ‬ُ ‫ﻲا‬ َ‫ﺿ‬ ِ ‫ﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة َر‬ ْ ‫ﻦ َأ ِﺑ‬
ْ‫ﻋ‬َ
‫ل اﻟﻢ‬ ُ ‫ﻻ َأ ُﻗ ْﻮ‬
َ ‫ﺸ ِﺮ َأ ْﻣﺜَﺎِﻟﻬَﺎ‬
ْ ‫ﺴ َﻨ ُﺔ ِﺑ َﻌ‬
َ‫ﺤ‬َ ‫ﺴ َﻨ ٌﺔ َو ا ْﻟ‬
َ‫ﺣ‬َ ‫ﷲ َﻓَﻠ ُﻪ ِﺑ ِﻪ‬
ِ ‫با‬ ِ ‫ﻦ ِآﺘَﺎ‬ ْ ‫ِﻣ‬
320
‫ف‬
ٌ ‫ف َو ِﻣ ْﻴ ٌﻢ ﺣَ ْﺮ‬ ٌ ‫ﻻ ٌم ﺣَ ْﺮ‬ َ ‫ف َو‬ٌ ‫ﻒ ﺣَ ْﺮ‬ٌ ‫ﻦ َاِﻟ‬ْ ‫ف َوَﻟ ِﻜ‬ٌ ‫ﺣَ ْﺮ‬
Dari Abdullâh bin Mas’ûd r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Siapa
yang membaca satu huruf Kitabullah, maka dia akan mendapatkan satu kabaikan,
dan satu kebaikan itu akan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat. Aku tidak
mengatakan bahwa alif laam miim itu satu huruf. Akan tetapi (ia terdiri dari) alif
satu huruf, laam satu huruf, dan miim satu huruf.” (H.R. al-Tirmidzî)

318
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 6, Kitâb Tafsîr al-Qur’ân Bâb Sûrah ‘Abasa, h. 80;
Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Masâjid wa Mawâdi’ al-Salâh Bâb Fadl al-Mâhir bi al-
Qur’ân wa al-Ladzî Yatata’ta’u fîh, h. 319; al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 4, Abwâb Fadâ’il
al-Qur’ân Bâb Mâ Jâ’a fî Fadl Qâri’ al-Qur’ân, no. Hadis 3068, h. 244; Abû Dâwûd, Sunan Abî
Dâwûd, Juz 2, Kitâb al-Salâh Bâb fî Tsawâb Qirâ’ah al-Qur’ân, no. Hadis 1454, h. 70-71; Ibn
Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Âdâb Bâb Tsawâb al-Qur’ân, no. Hadis 3779, h. 1242
319
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 8, Kitâb al-Tamanni Bâb Tamannî al-Qur’ân wa al-
‘Ilm, h. 129, dan Bâb Qaul al-Nabî saw. Rajul Âtâh al-Lâh al-Qur’ân, h. 209; Ahmad, al-Musnad,
Juz 2, h. 9, 36; al-Nawawî, Riyâd al- Sâlihîn, h. 388
320
al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 4, Abwâb Fadâ’il al-Qur’ân Bâb Mâ Jâ’a fî Man
Qara’a Harfan min al-Qur’ân falah min al-Ajr, no. Hadis 3075, h. 248

227
‫ﻦ َﻗ َﺮَأ ُآﻞﱠ َﻳ ْﻮ ٍم‬
ْ ‫ل َﻣ‬ َ ‫ ﻗَﺎ‬ρ ‫ﷲ‬ ِ ‫لا‬ َ ‫ﺳ ْﻮ‬
ُ ‫ن َر‬ ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ َأ ﱠ‬
َ ‫ﷲ‬ُ ‫ﻲا‬ َ‫ﺿ‬ِ ‫ﺲ َر‬ ٍ ‫ﻦ أَﻧ‬ ْ‫ﻋ‬ َ
‫ن‬
ْ ‫ﻻ َأ‬ ‫ﺳ َﻨ ًﺔ ِإ ﱠ‬
َ ‫ﻦ‬
َ ‫ﺴ ْﻴ‬
ِ ‫ﺧ ْﻤ‬َ ‫ب‬ ُ ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ ُذ ُﻧ ْﻮ‬
َ ‫ﻲ‬ َ‫ﺤ‬ ِ ‫ﺣ ٌﺪ ُﻣ‬َ ‫ﷲ َأ‬ ُ ‫ﻞ ُه َﻮ ا‬ْ ‫ﻲ َﻣ ﱠﺮ ٍة ُﻗ‬ ْ ‫ﻣِﺎ َﺋ َﺘ‬
321
‫ﻦ‬
ٌ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ دَ ْﻳ‬
َ ‫ن‬َ ‫َﻳ ُﻜ ْﻮ‬
Dari Anas r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa membaca
qul huwallâhu ahad sebanyak dua ratus kali setiap hari, maka dosa-dosanya
selama lima puluh tahun akan diampuni kecuali kalau dia memiliki tanggungan
hutang.” (H.R. al-Tirmidzî)
Keagungan yang dimiliki al-Qur’an sebagaimana yang tergambar dalam

teks-teks di atas inilah salah satu hal yang menyebabkan bahwa tilawah al-Qur’an

dipandang sebagai dzikir paling utama (afdal al-dzikr), terlebih jika diringi

dengan merenungi (tadabbur) maknanya. Apalagi salah satu tujuan diturunkannya

al-Qur’an adalah membersihkan akal dan menyucikan jiwa dari segala bentuk

syirik serta memantapkan keyakinan tentang keesaan yang sempurna bagi

Tuhan.322

Tilawah al-Qur’an sebagaimana ditegaskan oleh Sa’id Hawa, dapat

menghaluskan jiwa, menerangi hati, menyempurnakan fungsi salat, zakat, puasa,

dan haji dalam mencapai maqam ubudiyah kepada Allah swt.323

Tilawah al-Qur’an adalah obat yang cukup manjur untuk menghilangkan

rasa gundah yang timbul karena perasaan berdosa. Bahkan ia mampu mengobati

semua ketidakstabilan jiwa dan kegoncangan psikis maupun mental. Rasulullah

saw. sendiri pernah mengobati penyakit gila melalui al-Qur’an sebagaimana

riwayat berikut ini:

‫ َﻓﺠَﺎ َء‬ρ ‫ﻲ‬ ‫ﻋ ْﻨ َﺪ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ‬


ِ ‫ﺖ‬ ُ ‫ل ُآ ْﻨ‬ َ ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ‬
َ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﻲا‬ َ‫ﺿ‬ ِ ‫ﺐ َر‬ٍ ‫ﻦ َآ ْﻌ‬ ِ ‫ﻦ ُأ َﺑﻲﱢ ْﺑ‬ْ‫ﻋ‬َ
‫ل ِﺑ ِﻪ‬
َ ‫ﺟ ُﻌ ُﻪ ﻗَﺎ‬
َ ‫ل وَﻣَﺎ َو‬ َ ‫ﺟ ٌﻊ ﻗَﺎ‬
َ ‫ﻲ َأﺧًﺎ َو ِﺑ ِﻪ َو‬
ْ ‫ن ِﻟ‬
‫ﷲ ِإ ﱠ‬
ِ ‫ﻲا‬‫ل ﻳَﺎ َﻧ ِﺒ ﱠ‬
َ ‫ﻲ َﻓﻘَﺎ‬
‫ﻋﺮَا ِﺑ ﱞ‬
ْ ‫َأ‬
321
Ibid, Juz 4, Abwâb Fadâ’il al-Qur’ân Bâb Mâ Jâ’a fî Sûrah al-Ikhlâs, no. Hadis 3062,
h. 241-242
322
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, h. 12
323
Sa’id Hawa, Mensucikan Jiwa, h. 86

228
‫ب‬
ِ ‫ﺤ ِﺔ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ‬َ ‫ ِﺑﻔَﺎ ِﺗ‬ρ ‫ﻲ‬ ‫ﻦ َﻳ َﺪ ْﻳ ِﻪ َﻓ َﻌ ﱠﻮ َذ ُﻩ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ‬
َ ‫ﺿ َﻌ ُﻪ َﺑ ْﻴ‬
َ ‫ﻲ ِﺑ ِﻪ َﻓ َﻮ‬ ْ ‫ل َﻓ ْﺄ ِﺗ ِﻨ‬َ ‫َﻟ َﻤ ٌﻢ ﻗَﺎ‬
‫ﻦ ) َوإِﻟ ُﻬ ُﻜ ْﻢ إِﻟ ٌﻪ‬ ِ ‫ﻦ اﻻ َﻳ َﺘ ْﻴ‬ ِ ‫ﺳ ْﻮ َر ِة ا ْﻟ َﺒ َﻘ َﺮ ِة َوهَﺎ َﺗ ْﻴ‬ُ ‫ل‬ ِ ‫ﻦ َأ ﱠو‬ ْ ‫ت ِﻣ‬ ٍ ‫َوَأ ْر َﺑ ِﻊ اﻳَﺎ‬
‫ﻦ‬
ْ ‫ﺳ ْﻮ َر ِة ا ْﻟ َﺒ َﻘ َﺮ ِة وَا َﻳ ٍﺔ ِﻣ‬ ُ ‫ﺧ ِﺮ‬ ِ‫ﻦا‬ ْ ‫ت ِﻣ‬ ٍ ‫ث اﻳَﺎ‬ َ ‫ﻼ‬ َ ‫ﻲ َو َﺛ‬ ‫ﺳﱢ‬ ِ ‫وﱠاﺣِ ٌﺪ( وَا َﻳ ُﺔ ا ْﻟ ُﻜ ْﺮ‬
‫ن َرﺑﱠ ُﻜ ُﻢ‬ ‫ف )ِإ ﱠ‬ ِ ‫ﻋﺮَا‬ ْ‫ﻷ‬ َ ‫ﻻ ُه َﻮ( وَا َﻳ ُﺔ ا‬ ‫ﻻاِﻟ َﻪ ِإ ﱠ‬ َ ‫ﷲ َأﻧﱠ ُﻪ‬ ُ ‫ﺷ ِﻬ َﺪ ا‬ َ)‫ن‬ َ ‫ﻋ ْﻤﺮَا‬ ِ ‫ل‬ ِ‫ا‬
‫ﻦ ) َﻓ َﺘﻌَﺎﻟَﻰ‬َ ‫ﺳ ْﻮ َر ِة ا ْﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣ ِﻨ ْﻴ‬ ُ ‫ﺧ ِﺮ‬ ِ ‫ض( وَا‬ َ ‫ﻷ ْر‬ َ ‫ت وَا‬ ِ ‫ﻖ اﻟﺴﱠﻤﻮَا‬ َ ‫ﺧَﻠ‬ َ ‫ي‬ ْ ‫ﷲ اﱠﻟ ِﺬ‬ ُ ‫ا‬
‫ﺸ ِﺮ‬
ْ‫ﻋ‬ َ ‫ﺟ ﱡﺪ رَﺑﱢﻨَﺎ( َو‬ َ ‫ﻦ) َوَأ ﱠﻧ ُﻪ َﺗﻌَﺎﻟَﻰ‬ ‫ﺠﱢ‬ ِ ‫ﺳ ْﻮ َر ِة ا ْﻟ‬ ُ ‫ﻦ‬ ْ ‫ﻖ( وَا َﻳ ٍﺔ ِﻣ‬ ‫ﺤﱡ‬ َ ‫ﻚ ا ْﻟ‬ ُ ‫ﷲ ا ْﻟ َﻤِﻠ‬
ُ ‫ا‬
‫ﻞ‬ْ ‫ﺸ ِﺮ َو ُﻗ‬ْ‫ﺤ‬ َ ‫ﺳ ْﻮ َر ِة ا ْﻟ‬ ُ ‫ﺧ ِﺮ‬ ِ‫ﻦا‬ ْ ‫ت ِﻣ‬ ٍ ‫ث اﻳَﺎ‬ ِ ‫ﻼ‬
َ ‫ت َو َﺛ‬ ِ ‫ل اﻟﺼﱠﺎﻓﱠﺎ‬ ِ ‫ﻦ َأ ﱠو‬ ْ ‫ت ِﻣ‬ ٍ ‫اﻳَﺎ‬
324
.‫ﻂ‬ ‫ﻚ َﻗ ﱡ‬ ِ ‫ﺸ َﺘ‬
ْ ‫ﻞ َآَﺄ ﱠﻧ ُﻪ َﻟ ْﻢ َﻳ‬ ُ‫ﺟ‬ ُ ‫ﻦ َﻓﻘَﺎ َم اﻟﺮﱠ‬ ِ ‫ﺣ ٌﺪ وَا ْﻟ ُﻤ َﻌ ﱢﻮ َذ َﺗ ْﻴ‬ َ ‫ﷲ َأ‬ ُ ‫ُه َﻮ ا‬
Dari Ubay bin Ka’ab r.a. dia berkata: “Aku pernah berada di sisi Nabi
saw.. lantas ada seorang badui seraya berkata: ‘Wahai Nabi Allah, sesungguhnya
aku mempunyai seorang saudara yang sedang sakit..’ Rasulullah bertanya, ‘Apa
sakit yang dideritanya?’ Orang badui itu menjawab, “Dia itu gila.’Rasulullah
bersabda, ‘Bawalah dia kepadaku!’ Maka orang badui itu membawa saudaranya
ke hadapan Rasulullah. Lalu Nabi saw. membacakan (doa) perlindungan untuknya
dengan surat al-Fatihah, empat ayat awal surat al-Baqarah, dua ayat: wa ilâhukum
ilahuw wâhid (Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Mahaesa. QS.2:163) dan ayat
kursi, tiga ayat terakhir dari surat al-Baqarah, sebuah ayat pada surat Ali ‘Imrân:
Syahidallâhu annahû lâ ilâha illâ huw (Allah menyatakan bahwa sesungguhnya
tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Dia. QS.3:18), sebuah ayat dari
surat al-A’râf: inna rabbakumul ladzî khalaqa al-samâwâti wa al-ard
(Sesungguhnya Tuhan kamu adalah yang menciptakan langit dan bumi. QS.7:54),
akhir surat al-Mu’minûn (Fata’âlallâh al-malik al-haq: Maka Mahatinggi Allah
Raja yang sebenar-benarnya.), satu ayat dari surat al-Jinn (wa annahû ta’âla jaddu
rabbinâ; Bahwasanya Mahatinggi kebesaran Tuhan kami. QS.72:3), sepuluh ayat
awal surat al-Saffât, tiga ayat akhir surat al-Hasyr, al-Ikhlash dan al-
Mu’awwidzatain.’ Lantas lelaki gila itu berdiri seperti tidak pernah mengeluhkan
apapun sebelumnya.” (H.R. Ibn Mâjah)325

Oleh karena itu, tepatlah ketika As-Sayyid Ibrahim Al-Khawwash r.a.

berkata:

.‫ﻦ‬
َ ‫ﺤ ْﻴ‬
ِ ‫ﺴ ُﺔ اﻟﺼﱠﺎِﻟ‬
َ ‫ﺤ ِﺮ َو ُﻣﺠَﺎَﻟ‬
َ‫ﺴ‬
‫ﻋ ْﻨ َﺪ اﻟ ﱠ‬
ِ ‫ع‬
ُ ‫ﻞ وَاﻟﺘﱠﻀَﺮﱡ‬
ِ ‫ﻦ َو ِﻗﻴَﺎ ُم اﻟﱠﻠ ْﻴ‬
ِ‫ﻄ‬
ْ ‫ﻼ ُء اْﻟَﺒ‬
َ‫ﺧ‬
َ ‫ن ﺑِﺎﻟﱠﺘ َﺪﱡﺑ ِﺮ َو‬
ِ ‫ﺷﻴَﺎ َء ِﻗﺮَا َء ُة اْﻟُﻘﺮْا‬
ْ ‫ﺴ ُﺔ َأ‬
َ ‫ﺧ ْﻤ‬
َ ‫ﺐ‬
ٍ ‫َدوَا ُء َﻗْﻠ‬

Obat hati itu ada lima macam, yaitu: (1) Membaca al-Qur’an sambil
merenungi kandungannya, (2) perut yang kosong, (3) Qiyamullail atau shalat

324
Ibn Mājah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Tibb Bâb al-Faza’ wa al-‘Araq wa mâ
Yuta’awwadzdzu minh, no. Hadis 3549, h. 1175;
325
Menurut M. Usman Najati, hadis ini juga diriwayatkan oleh Al-Hakim dan Abdullah
bin Imam Ahmad dalam al-Zawâ’id dengan kualitas hasan. Lihat M. Usman najati, op.cit., h. 426

229
malam, (4) Berdoa atau bermunajat pada dini hari, dan (5) Bergaul dengan orang-
orang yang salih.326

Selain itu, al-Qur’an dapat pula digunakan untuk pengobatan fisik

sebagaimana Hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Abî Syaibah berikut ini:

ρ‫ﷲ‬ ِ ‫لا‬ ُ ‫ﺳ ْﻮ‬


ُ ‫ل َﺑ ْﻴ َﻨﻤَﺎ َر‬ َ ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ‬َ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﻲا‬ َ‫ﺿ‬ ِ ‫ﺴ ُﻌ ْﻮ ٍد َر‬ ْ ‫ﻦ َﻣ‬ ِ ‫ﷲ ْﺑ‬ ِ ‫ﻋ ْﺒ ِﺪ ا‬ َ ‫ﻦ‬ ْ‫ﻋ‬ َ
‫ع ﻧَﺒِﻴًّﺎ‬
ُ ‫ب ﻣَﺎ َﺗ َﺪ‬ َ ‫ﷲ ا ْﻟ َﻌ ْﻘ َﺮ‬ ُ ‫ﻦا‬ َ ‫ل َﻟ َﻌ‬
َ ‫ب َوﻗَﺎ‬ ٌ ‫ﻋ ْﻘ َﺮ‬ َ ‫ﻏ ْﺘ ُﻪ‬َ ‫ﺠ َﺪ َﻓَﻠ َﺪ‬َ‫ﺳ‬ َ ‫ﻲ ِإ ْذ‬ ْ ‫ﺼﱢﻠ‬
َ ‫ُﻳ‬
‫ﺿ َﻊ‬ ِ ‫ﻀ ُﻊ َﻣ ْﻮ‬ َ ‫ﻞ َﻳ‬ َ ‫ﺠ َﻌ‬ َ ‫ﺢ َﻓ‬ ٌ ‫ل ُﺛﻢﱠ َدﻋَﺎ ِﺑِﺈﻧَﺎ ٍء ِﻓ ْﻴ ِﻪ ﻣَﺎ ٌء َو ِﻣ ْﻠ‬ َ ‫ﻏ ْﻴ َﺮ ُﻩ ﻗَﺎ‬
َ ‫ﻻ‬ َ ‫َو‬
‫ﻦ‬
ِ ‫ﺣ ٌﺪ وَا ْﻟ ُﻤ َﻌ ﱢﻮ َذ َﺗ ْﻴ‬
َ ‫ﷲ َأ‬ ُ ‫ﻞ ُه َﻮ ا‬ْ ‫ﺢ َو َﻳ ْﻘ َﺮُأ ُﻗ‬
ِ ‫ﻏ ِﺔ ﻓِﻰ ا ْﻟﻤَﺎ ِء وَا ْﻟ ِﻤ ْﻠ‬ َ ‫اﻟﱠﻠ ْﺪ‬
Dari Abdullâh bin Mas’ûd r.a. dia berkata: “Ketika Rasulullah saw. sedang
salat, tepatnya ketika sujud, ada seekor kalajengking yang menyengat beliau.
Beliaupun bersabda, ‘Semoga Allah melaknat kalajengking. Bahkan dia tidak
membiarkan seorang nabi maupun orang lain (untuk disengatnya).’ Kemudian
beliau minta diambilkan sebuah wadah yang berisi air dan garam. Beliau
meletakkan anggota tubuh yang terkena sengatan ke dalam larutan air dan garam
tersebut, dan beliau membaca qul huwallâh ahad dan al-Mu’awwidzatain.” (H.R.
Ibn Abî Syaibah)327
Ada pula Hadis yang benar-benar mengisyaratkan bahwa al-Qur’an dapat

digunakan sebagai obat untuk berbagai penyakit, baik penyakit fisik maupun penyakit

psikis.

َ ρ‫ﷲ‬
‫ﺧ ْﻴ ُﺮ اﻟ ﱠﺪوَا ِء‬ ِ ‫لا‬
َ ‫ﺳ ْﻮ‬
ُ ‫ل َر‬
َ ‫ل ﻗَﺎ‬
َ ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ‬
َ ‫ﷲ‬
ُ ‫ﻲا‬
َ‫ﺿ‬
ِ ‫ﻲ َر‬
‫ﻋِﻠ ﱟ‬
َ ‫ﻦ‬ ْ‫ﻋ‬ َ
328
‫ن‬
ُ ‫ا ْﻟ ُﻘﺮْا‬
Dari Ali r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Obat yang paling baik
adalah al-Qur’an.” (H.R. Ibn Mâjah)
Menurut Imam al-Ghazâlî (w.505 H.), ada sepuluh adab atau amalan batin

yang harus diperhatikan dalam tilawah al-Qur’an, yaitu:329

326
al-Nawawî, al-Adzkâr, h. 100
327
M. Usman Najati, Psikologi dalam Tinjauan Hadist Nabi saw., h. 427-428
328
Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Tibb Bâb al-Istisyfâ bi al-Qur’ân, no.
Hadis 3501, h. 1158
329
Al-Ghazâlî, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, Juz 1, h. 281-289

230
a. Memahami kandungan dan ketinggian firman, karunia, dan kasih saying-Nya

kepada makhluk-Nya dalam menurunkan al-Qur’an dari ‘arsy kemuliaan-Nya

ke derajat pemahaman makhluk-Nya;

b. Mengagungkan Mutakallim (Allah);

c. Menghadirkan hati dan meninggalkan bisikan jiwa;

d. Mentadabburinya. Imam Ali berkata:

‫ﻻ َﺗ َﺪ ﱡﺑ َﺮ ﻓِ ْﻴﻬَﺎ‬
َ ‫ﻲ ِﻗﺮَا َء ٍة‬
ْ ‫ﻻ ِﻓ‬
َ ‫ﻻ ِﻓ ْﻘ َﻪ ﻓِ ْﻴﻬَﺎ َو‬
َ ‫ﻋﺒَﺎ َد ٍة‬
ِ ‫ﻲ‬
ْ ‫ﺧ ْﻴ َﺮ ِﻓ‬
َ ‫ﻻ‬
َ
“Tidak ada kebaikan ibadah yang tidak didasarkan kepada pemahaman dan
membaca (al-Qur’an) yang tidak ditadabburi kandungannya.”
e. Tafahum (memahami secara mendalam), yaitu mencari kejelasan dari setiap

ayat secara tepat;

f. Meninggalkan hal-hal yang dapat menghalangi pemahaman;

g. Takhsis yaitu menyadari bahwa dirinya merupakan sasaran yang dituju

oleh setiap khitab (nas) yang ada dalam al-Qur’an

h. Ta’atstsur (mengimbas ke dalam hati), yaitu hatinya terimbas dengan berbagai

pengaruh yang berbeda sesuai dengan beragamnya ayat yang dihayati;

i. Taraqqi, yaitu meningkatkan penghayatan sampai ke tingkat mendengarkan

kalam dari Allah bukan dari dirinya sendiri; dan

j. Tabarri, yaitu melepaskan diri dari daya dan kekuatannya, dan memandang

kepada dirinya dengan pandangan ri‫ي‬ha dan tazkiyah.

6. Zikir

Sebagai Pencipta, Allah-lah satu-satunya Zat Yang Maha Mengetahui

segala yang dibutuhkan umat manusia, baik kebutuhan jasmani maupun

kebutuhan ruhani. Petunjuk yang diberikan Allah untuk memenuhi dua macam

231
kebutuhan tersebut merupakan upaya terbaik dalam membentuk insan paripurna

sehingga dapat merasakan kesejahteraan dan kebahagiaan dalam hidup.

Salah satu petunjuk atau terapi batiniah yang Allah berikan adalah dengan

cara beribadah kepada Allah secara kontinu, berzikir kepada-Nya setiap waktu,

memohon ampun, dan selalu memanjatkan doa. Semua itu merupakan media yang

diberikan kepada hamba untuk mendekatkan dirinya kepada Sang Khalik

sehingga hidupnya bermakna karena senantiasa berada dalam perlindungan dan

pemeliharaan Allah swt.

Perhatikanlah beberapa ayat dan Hadis berikut ini!

‫ن‬
ِ ‫َﺗ ْﻜ ُﻔﺮُو‬ ‫ﻻ‬
َ ‫ﺷ ُﻜﺮُوا ﻟِﻲ َو‬
ْ ‫ﻓَﺎ ْذ ُآﺮُوﻧِﻲ َأ ْذ ُآ ْﺮ ُآ ْﻢ وَا‬
Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu,
dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (ni`mat) -Ku.
(QS.al-Baqarah/2:152)

‫ﻦ‬
‫ﻄ َﻤ ِﺌ ﱡ‬
ْ ‫ﷲ َﺗ‬
ِ ‫ﻻ ِﺑ ِﺬ ْآ ِﺮ ا‬
َ ‫ﷲ َأ‬
ِ ‫ﻦ ُﻗﻠُﻮ ُﺑ ُﻬ ْﻢ ِﺑ ِﺬ ْآ ِﺮ ا‬
‫ﻄ َﻤ ِﺌ ﱡ‬
ْ ‫ﻦ ءَاﻣَﻨُﻮا َو َﺗ‬َ ‫اﱠﻟﺬِﻳ‬
‫ب‬ ُ ‫ا ْﻟ ُﻘﻠُﻮ‬
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram
dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati
menjadi tenteram. (QS.al-Ra’d/13:28)

‫ﷲ‬
ِ ‫ﻞا‬
ِ‫ﻀ‬ْ ‫ﻦ َﻓ‬
ْ ‫ض وَا ْﺑﺘَﻐُﻮا ِﻣ‬
ِ ‫ﻷ ْر‬
َ ‫ﺸﺮُوا ﻓِﻲ ا‬ِ ‫ﺼَﻠﻮ ُة ﻓَﺎ ْﻧ َﺘ‬ ‫ﺖ اﻟ ﱠ‬ ِ ‫ﻀ َﻴ‬
ِ ‫َﻓِﺈذَا ُﻗ‬
‫ن‬َ ‫ﷲ َآﺜِﻴﺮًا َﻟ َﻌﱠﻠ ُﻜ ْﻢ ُﺗ ْﻔِﻠﺤُﻮ‬
َ ‫وَا ْذ ُآﺮُوا ا‬
Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka
bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu
beruntung.(QS.al-Jumu’ah/62:10)

232
‫ن‬
‫ﷲ ِإ ﱠ‬ِ ‫لا‬ َ ‫ﺳ ْﻮ‬ُ ‫ل ﻳَﺎ َر‬ َ ‫ﻼ ﻗَﺎ‬ً‫ﺟ‬ُ ‫ن َر‬‫ﻋ ْﻨ ُﻪ َأ ﱠ‬َ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﻲا‬ َ‫ﺿ‬ِ ‫ﺴ ٍﺮ َر‬ ْ ‫ﻦ ُﺑ‬ِ ‫ﷲ ْﺑ‬
ِ ‫ﻋ ْﺒ ِﺪ ا‬
َ ‫ﻦ‬ ْ‫ﻋ‬َ
‫ﻻ‬
َ ‫ل‬ َ ‫ﺖ ِﺑ ِﻪ َﻓﻘَﺎ‬ُ ‫ﻲ ٍء َأ َﺗ َﺜ ﱠﺒ‬ْ ‫ﺸ‬
َ ‫ﻲ ِﺑ‬ْ ‫ﺧ ِﺒ ْﺮ ِﻧ‬
ْ ‫ﻲ َﻓَﺄ‬
‫ﻋَﻠ ﱠ‬
َ ‫ت‬ْ ‫ﻼ ِم َﻗ ْﺪ َآ ُﺜ َﺮ‬
َ‫ﺳ‬ْ‫ﻻ‬ِ ‫ﺷﺮَا ِﺋ َﻊ ْا‬
َ
330
‫ﷲ َﺗﻌَﺎﻟَﻰ‬ ِ ‫ﻦ ِذ ْآ ِﺮ ا‬
ْ ‫ﻃﺒًﺎ ِﻣ‬ْ ‫ﻚ َر‬َ ‫ل ِﻟﺴَﺎ ُﻧ‬
ُ ‫َﻳﺰَا‬
Dari Abdullâh bin Busr r.a. ia berkata: Sesungguhnya seorang lelaki
berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya sudah banyak tentang syari’at Islam yang
saya ketahui, maka beritahukanlah kepadaku tentang sesuatu yang dapat saya
teguhkan (pelaksanaannya)!” Maka Nabi bersabda: “Hendaknya lisanmu selalu
basah karena zikir kepada Allah ta’âlâ.” (H.R. al-Tirmidzî dan Ibn Mâjah)
Ada satu hal yang mesti ditegaskan di sini bahwa fadilah zikir tidak

terbatas pada ucapan tasbih, tahlil, tahmid, takbir, atau yang semacamnya.

Menurut Imam Sa’îd bin Jubair r.a. (w.95 H.) dan sebagian ulama, bahwa setiap

orang yang melakukan berbagai ketaatan demi mengharap ridha Allah, maka dia

dapat dinilai sebagai orang yang berzikir kepada Allah.331

Menurut Imam Ibn al-Qayyim al-Jauzi (w.751 H.), zikir dapat

memberikan banyak manfaat, di antaranya:332

a. Zikir dapat mengusir dan menumpas setan, melahirkan ridha Allah,

menghilangkan kegundahan dan kesedihan, serta menimbulkan kedamaian

dan ketentraman bagi kalbu;

b. Zikir dapat menguatkan dan menyinari kalbu dan badan, serta memudahkan

rizki;

c. Orang yang berdzikir akan memiliki kemuliaan dan kewibawaan serta

melahirkan sifat mahabbah (kasih sayang) yang merupakan ruh Islam dan

pusat kebahagiaan dan keselamatan;

330
al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 5, Abwâb al-Da’awât Bâb Mâ Jâ’a fî Fadl al-
Dzikr, no. Hadis 3435, h. 126-127; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Âdâb Bâb
Tsawâb al-Qur’ân, no. Hadis 3793, h. 1246; Ahmad Farîd, al-Bahr al-Râ’iq fî al-Zuhd wa al-
Raqâ’iq, h. 479. Nilai hadis ini adalah hasan
331
al-Nawawî, al-Adzkâr, h. 9
332
Ahmad Farîd, al-Bahr al-Râ’iq fî al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, h. 100-105

233
d. Zikir dapat menimbulkan kedekatan seorang hamba dengan Allah

(muraqabah) sehingga ia beribadah seakan-akan melihatnya (ihsân);

e. Orang yang berzikir (mengingat) kepada Allah, niscaya Allah akan ingat

kepadanya (QS.2:152);

f. Zikir menjadi sebab diturunkannya rahmat Allah;

g. Kesibukan berzikir dapat membuat orang meninggalkan perbuatan ghibah,

namimah, dusta, kekejian, dan kebatilan-kebatilan lainnya;

h. Zikir dapat menjadi tanaman di surga;

i. Zikir dapat mejadi wasilah Allah memberikan karunia yang tidak diberikan

kepada yang lain;

j. Senantiasa berzikir menyebabkan Allah tidak akan melupakannya kelak di

akhirat (QS.al-Hasyr:19);

k. Orang yang berzikir akan mendapatkan salawat dari Allah dan para malaikat

(QS.al-Ahzâb/33:41-43);

l. Allah akan membanggakan orang-orang yang berzikir di hadapan para malaikat-

Nya;

m. Kelanggengan berzikir dapat menggantikan bentuk-bentuk ketaatan lainnya;

n. Banyak berzikir menjadi sebab selamatnya seseorang dari sifat munafik

(QS.An-Nisa/4:142);

o. Kelanggengan berzikir dapat menjadi saksi seorang hamba di hari kiamat;

p. Zikir lebih utama daripada doa. Jadi, doa yang diawali dengan zikir lebih

utama dan lebih memungkinkan untuk diijabah ketimbang doa semata.

7. Mentafakuri Ciptaan Allah

Ketika Allah swt. menurunkan surat Ali ‘Imrân ayat 190:

234
‫ت‬
ٍ ‫ف اﻟﱠﻠ ْﻴﻞِ وَاﻟﱠﻨﻬَﺎ ِر ﻵﻳَﺎ‬
ِ ‫ﻼ‬
َ ‫ﺧ ِﺘ‬
ْ ‫ض وَا‬
ِ ‫ﻷ ْر‬
َ ‫ت وَا‬
ِ ‫ﺴ َﻤﻮَا‬
‫ﻖ اﻟ ﱠ‬
ِ ‫ﺧ ْﻠ‬
َ ‫ن ﻓِﻲ‬ ‫ِإ ﱠ‬
‫ب‬ ِ ‫ﻷوﻟِﻲ اﻷ ْﻟﺒَﺎ‬ُ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya
malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (QS.Ali
‘Imrân/3:190)
Rasulullah menitikkan air mata dan selanjutnya berkomentar kepada Bilâl bin

Rabah:

‫ﻦ َﻗﺮَأهَﺎ وَﻟ َﻢ ْ َﻳ َﺘ َﻔ ﱠﻜ ْﺮ ِﻓ ْﻴﻬَﺎ‬


ْ ‫وَ ْﻳ ٌﻞ ِﻟ َﻤ‬
“Celakalah orang yang membacanya, namun tidak memikirkan
kandungannya.”333
Dalam ayat-ayat yang lain juga ditemukan pernyataan-pernyataan berikut

ini:

‫ﻦ‬ْ ‫ﷲ ِﻣ‬ ُ ‫ﻖ ا‬
َ ‫ﺧَﻠ‬
َ ‫ض وَﻣَﺎ‬ ِ ‫ﻷ ْر‬ َ ‫ت وَا‬ِ ‫ﺴ َﻤﻮَا‬ ‫ت اﻟ ﱠ‬
ِ ‫ﻈﺮُوا ﻓِﻲ َﻣَﻠﻜُﻮ‬ُ ‫َأ َوَﻟ ْﻢ َﻳ ْﻨ‬
‫ﺚ َﺑ ْﻌ َﺪ ُﻩ‬
ٍ ‫ﺣﺪِﻳ‬
َ ‫ي‬ ‫ﺟُﻠ ُﻬ ْﻢ َﻓ ِﺒَﺄ ﱢ‬
َ ‫ب َأ‬َ ‫ن َﻗ ِﺪ ا ْﻗ َﺘ َﺮ‬َ ‫ن َﻳﻜُﻮ‬
ْ ‫ن ﻋَﺴَﻰ َأ‬ْ ‫ﻲ ٍء َوَأ‬ْ ‫ﺷ‬ َ
‫ن‬ َ ‫ُﻳ ْﺆ ِﻣﻨُﻮ‬
Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan
segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya
kebinasaan mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman
selain kepada al-Qur'an itu?(QS. al-A’râf/7:185)

‫ت‬
ُ ‫ض َوﻣَﺎ ُﺗ ْﻐﻨِﻲ اﻵﻳَﺎ‬
ِ ‫ﻷ ْر‬
َ ‫ت وَا‬
ِ ‫ﺴ َﻤﻮَا‬
‫ﻈﺮُوا ﻣَﺎذَا ﻓِﻲ اﻟ ﱠ‬ ُ ‫ﻞ ا ْﻧ‬ ِ ‫ُﻗ‬
‫ن‬ َ ‫ﻻ ُﻳ ْﺆ ِﻣﻨُﻮ‬
َ ‫ﻦ َﻗ ْﻮ ٍم‬
ْ‫ﻋ‬
َ ‫وَاﻟﻨﱡ ُﺬ ُر‬
Katakanlah: "Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah
bermanfa`at tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi
orang-orang yang tidak beriman".(QS.Yûnus/10:101)

‫ﻞ ا ْﻟ ُﻘﺮَى َأ َﻓَﻠ ْﻢ‬


ِ ‫ﻦ َأ ْه‬
ْ ‫ﻻ ﻧُﻮﺣِﻲ ِإَﻟ ْﻴ ِﻬ ْﻢ ِﻣ‬ ً ‫ﻻ ِرﺟَﺎ‬ ‫ﻚ ِإ ﱠ‬ َ ‫ﻦ َﻗ ْﺒِﻠ‬ْ ‫ﺳ ْﻠﻨَﺎ ِﻣ‬
َ ‫وَﻣَﺎ َأ ْر‬
‫ﻦ َﻗ ْﺒِﻠ ِﻬ ْﻢ‬
ْ ‫ﻦ ِﻣ‬ َ ‫ن ﻋَﺎ ِﻗ َﺒ ُﺔ اﱠﻟﺬِﻳ‬
َ ‫ﻒ آَﺎ‬ َ ‫ﻈﺮُوا َآ ْﻴ‬ ُ ‫ض َﻓ َﻴ ْﻨ‬
ِ ‫ﻷ ْر‬ َ ‫ﻳَﺴِﻴﺮُوا ﻓِﻲ ْا‬
‫ﻌ ِﻘﻠُﻮن‬ ْ ‫ﻼ َﺗ‬
َ ‫ﻦ ا ﱠﺗ َﻘﻮْا َأ َﻓ‬
َ ‫ﺧ َﺮ ِة ﺧَ ْﻴ ٌﺮ ِﻟﱠﻠﺬِﻳ‬
ِ ‫َوَﻟﺪَا ُر اﻵ‬
Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang
Kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri. Maka tidakkah
mereka bepergian di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang

333
Ibn Katsîr. Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz1, h. 440

235
sebelum mereka (yang mendustakan rasul) dan sesungguhnya kampung akhirat
adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu
memikirkannya? (QS.Yûsuf/12:109)

‫ﺖ‬
ْ ‫ُر ِﻓ َﻌ‬ ‫ﻒ‬
َ ‫ﺴﻤَﺎ ِء َآ ْﻴ‬
‫ﺖ وَإِﻟَﻰ اﻟ ﱠ‬ ْ ‫ﺧِﻠ َﻘ‬
ُ ‫ﻒ‬
َ ‫ﻞ َآ ْﻴ‬
ِ ‫ن إِﻟَﻰ اﻹ ِﺑ‬َ ‫ﻈﺮُو‬ ُ ‫ﻼ َﻳ ْﻨ‬
َ ‫َأ َﻓ‬
‫ﺖ َﻓ َﺬ ﱢآ ْﺮ‬
ْ ‫ﺤ‬
َ‫ﻄ‬ ِ‫ﺳ‬ ُ ‫ﻒ‬ َ ‫ض َآ ْﻴ‬
ِ ‫ﻷ ْر‬ َ ‫ﺖ وَإِﻟَﻰ ا‬ ْ ‫ﺼ َﺒ‬
ِ ‫ﻒ ُﻧ‬ َ ‫ل َآ ْﻴ‬ِ ‫ﺠﺒَﺎ‬ِ ‫وَإِﻟَﻰ ا ْﻟ‬
‫ﺮ‬ ٌ ‫ﺖ ُﻣﺬَ ﱢآ‬َ ‫إِﻧﱠﻤَﺎ َأ ْﻧ‬
Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan,
Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia
ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan? Maka berilah peringatan,
karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. (QS.al-
Ghâsyiyah/88:17-21)
Nas-nas di atas menegaskan bahwa kesempurnaan akal tidak akan tercapai

kecuali dengan bertemunya zikir dan pikir. Ada keterpaduan (integrasi) antara

zikir dan pikir dalam diri seorang muslim, sehingga olah pikirnya yang senantiasa

diiringi dengan zikir (ingat kepada Allah) akan menghantarkan kepada

bertambahnya keyakinan atau iman kepada Allah swt.

Dalam pandangan Islam, tafakkur yang dilakukan seorang hamba sehingga

melahirkan serangkaian ilmu pengetahuan diharapkan menjadi penunjuk jalan

kepada keimanan. Darinya muncul keyakinan bahwa di balik alam yang nyata ini

ada kekuatan yang jauh lebih dahsyat, yang mengatur dan menyusunnya,

memelihara segala sesuatu dengan ukuran dan perhitungan yang benar-benar

cermat.334

Di sinilah tafakkur dapat berperan sebagai penyucian hati (tazkiyatun

nafs). Perenungan terhadap alam ciptaan Allah menghantarkan seseorang kepada

pengakuan akan wujud Allah sehingga memunculkan rasa takut (khasy-yah) pada

dirinya. Allah swt. sendiri menegaskan:

334
Yusuf Qardhawi, Merasakan Kehadiran Tuhan, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003),
Cet. VII, h. 355-356

236
‫ﷲ‬
َ ‫ﺨﺸَﻰ ا‬
ْ ‫ﻚ إِﻧﱠﻤَﺎ َﻳ‬
َ ‫ﻒ َأ ْﻟﻮَا ُﻧ ُﻪ َآ َﺬِﻟ‬
ٌ ‫ﺨ َﺘِﻠ‬
ْ ‫ﻷ ْﻧﻌَﺎ ِم ُﻣ‬
َ ‫ب وَا‬
‫س وَاﻟ ﱠﺪوَا ﱢ‬ ِ ‫ﻦ اﻟﻨﱠﺎ‬ َ ‫َو ِﻣ‬
‫ر‬ ٌ ‫ﷲ ﻋَﺰِﻳ ٌﺰ ﻏَﻔُﻮ‬ َ ‫نا‬ ‫ﻋﺒَﺎ ِد ِﻩ ا ْﻟ ُﻌﻠَﻤَﺎ ُء ِإ ﱠ‬
ِ ‫ﻦ‬ْ ‫ِﻣ‬
Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan
binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya).
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah
ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun.
(QS.Fâtir/40:28)
Selain itu, al-Qur’an juga mengajak manusia untuk mentafakkuri dirinya

sendiri. Misalnya dalam ayat:

‫ﻦ‬
ْ ‫ن َو ِﻣ‬ َ ‫ﺸﺮُو‬ِ ‫ﺸ ٌﺮ َﺗ ْﻨ َﺘ‬
َ ‫ب ُﺛﻢﱠ إِذَا َأ ْﻧ ُﺘ ْﻢ َﺑ‬ٍ ‫ﻦ ُﺗﺮَا‬ ْ ‫ﺧَﻠ َﻘ ُﻜ ْﻢ ِﻣ‬
َ ‫ن‬ْ ‫ﻦ ءَاﻳَﺎ ِﺗ ِﻪ َأ‬ْ ‫َو ِﻣ‬
‫ﻞ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻜ ْﻢ‬
َ ‫ﺟ َﻌ‬
َ ‫ﺴ ُﻜﻨُﻮا إِﻟَ ْﻴﻬَﺎ َو‬ْ ‫ﺴ ُﻜ ْﻢ َأ ْزوَاﺟًﺎ ِﻟ َﺘ‬ ِ ‫ﻦ َأ ْﻧ ُﻔ‬
ْ ‫ﻖ َﻟ ُﻜ ْﻢ ِﻣ‬َ ‫ﺧَﻠ‬َ ‫ن‬ ْ ‫ءَاﻳَﺎ ِﺗ ِﻪ َأ‬
‫ن‬ َ ‫ت ِﻟ َﻘ ْﻮ ٍم َﻳ َﺘ َﻔ ﱠﻜﺮُو‬
ٍ ‫ﻚ ﻵﻳَﺎ‬ َ ‫ن ﻓِﻲ َذِﻟ‬ ‫ﺣ َﻤ ًﺔ ِإ ﱠ‬
ْ ‫َﻣ َﻮ ﱠد ًة َو َر‬
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu
dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak.
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-
isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir.(QS.al-Rûm/30:20-21)

‫ن‬
َ ‫ﺼﺮُو‬
ِ ‫ُﺗ ْﺒ‬ ‫ﻼ‬
َ ‫ﺴ ُﻜ ْﻢ َأ َﻓ‬
ِ ‫ﻲ َأ ْﻧ ُﻔ‬
ْ ‫َو ِﻓ‬
dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan?
(QS. al-Dzâriyât/51:21)
Lihat pula ayat-ayat berikut ini: QS.’Abasa:17-22, al-Qiyâmah:37-38, al-

Mursalât:20-22, Yâsîn:77, al-Insân:2, dan al-Mu’minûn:12-14

Semua perenungan yang dilakukan seorang hamba haruslah dilandasi oleh

makna “Iqra bismi rabbik”. Artinya, apapun yang dilakukan harus dengan

mengingat nama Tuhan dan karenanya harus sesuai dengan petunjuk-Nya.

Potongan wahyu pertama ini akan menghantarkan pelakunya untuk tidak

melakukan berbagai aktivitas kecuali hanya karena Allah, serta akan

menghasilkan keabadian.

237
Tak ayal lagi, kegiatan memikirkan ciptaan Allah akan melahirkan

ma’rifah kepada Sang Pencipta, keagungan, kemuliaan, dan kekuasaan-Nya.

Semakin banyak seseorang mengetahui keajaiban ciptaan Allah, maka akan

semakin sempurna pula pengetahuannya tentang kemuliaan dan keagungan-Nya.

Dan pada akhirnya ia akan menyadari akan segala kelemahan dirinya sendiri

sehingga tidak layak untuk bersikap angkuh dan sombong.

8. Mengingat Kematian

Suatu ketika Ibn ‘Umar r.a. (w.73 H.) mendatangi Rasulullah saw.

bersama sepuluh orang sahabat lainnya. Lalu ada seorang sahabat dari kalangan

Ansar yang datang, memberikan salam, dan bertanya:

‫ﻳﺎ رﺳﻮل اﷲ! أي اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ أﻓﻀﻞ؟‬


“Siapakah orang mukmin yang paling utama?”
Nabi menjawab:

‫ﺧُﻠﻘًﺎ‬
ُ ‫ﺴ ُﻨ ُﻬ ْﻢ‬
َ‫ﺣ‬ْ ‫َأ‬
“Yang paling baik akhlaknya.”

Lalu dia bertanya lagi:

‫ﺲ؟‬
ُ ‫ﻦ َأ ْآ َﻴ‬
َ ‫ي ا ْﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣ ِﻨ ْﻴ‬
‫َﻓ َﺄ ﱡ‬
“Siapakah orang mukmin yang paling cerdas?”

Lalu Rasulullah menjawab:

‫ﻚ‬
َ ‫ أُوَﻟ ِﺌ‬.‫ﺳ ِﺘ ْﻌﺪَادًا‬
ْ ‫ﺴ ُﻨ ُﻬ ْﻢ ﻟِﻤَﺎ َﺑ ْﻌ َﺪ ُﻩ ِإ‬
َ‫ﺣ‬ْ ‫ت ذِ ْآﺮًا َوَأ‬
ِ ‫َأ ْآ َﺜ ُﺮ ُه ْﻢ ِﻟ ْﻠ َﻤ ْﻮ‬
335
‫س‬
ُ ‫ﻷ ْآﻴَﺎ‬ َ ‫ْا‬
“(Mukmin yang paling cerdas) adalah mereka yang paling banyak
mengingat kematian dan paling bagus persiapan untuk kehidupan sesudah
kematian. Merekalah orang-orang yang cerdas.” (H.R. Ibn Mâjah)

335
Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitân al-Zuhd Bâb Dzikr al-Maut wa al-Isti’dâd
lah, no. Hadis 4259, h. 1423. Al-‘Iraqi berkata: Selain diriwayatkan oleh Ibn Mâjah, Hadis ini juga
diriwayatkan oleh Ibn Abi ad-Dunyâ dengan sanad yang bagus (jayyid). Hadis ini juga disahihkan
oleh al-Albânî. Lihat Ahmad Farîd, al-Bahr al-Râ’iq fî al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, h. 194

238
Dalam hadis lain redaksinya adalah sebagai berikut:

‫ن‬
َ ‫ﻦ دَا‬ ُ ‫ َا ْﻟ َﻜ ْﻴ‬ρ ‫ﷲ‬
ْ ‫ﺲ َﻣ‬ ِ ‫لا‬
ُ ‫ﺳ ْﻮ‬
ُ ‫ل َر‬
َ ‫ل ﻗَﺎ‬
َ ‫س ﻗَﺎ‬
ٍ ‫ﻦ َأ ْو‬ِ ‫ﺷﺪﱠا ِد ْﺑ‬ َ ‫ﻲ َﻳ ْﻌﻠَﻰ‬ ْ ‫ﻦ َأ ِﺑ‬
ْ‫ﻋ‬َ
336
‫ت‬
ِ ‫ﻞ ﻟِﻤَﺎ َﺑ ْﻌ َﺪ ا ْﻟ َﻤ ْﻮ‬
َ ‫ﻋ ِﻤ‬
َ ‫ﺴ ُﻪ َو‬ُ ‫َﻧ ْﻔ‬
“Orang yang cerdas adalah orang yang dapat mengendalikan nafsunya dan
beramal sebagi persiapan bekal setelah kematian.” (H.R. al-Tirmidzî, Ibn Mâjah,
dan Ahmad)
Dalam realitas sehari-hari diketahui bahwa orang yang tenggelam dalam

dunia, gandrung kepada tipu daya dan syahwatnya dapat dipastikan bahwa hati

orang tersebut lalai dari mengingat kematian. Ia tidak mau mengingatnya,

kalaupun diingatkan ia membencinya dan menghindari. Untuk orang-orang seperti

ini Allah menegaskan:

‫ن إِﻟَﻰ ﻋَﺎِﻟ ِﻢ‬


َ ‫ﻼﻗِﻴ ُﻜ ْﻢ ُﺛﻢﱠ ُﺗ َﺮدﱡو‬
َ ‫ن ِﻣ ْﻨ ُﻪ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ ُﻣ‬ َ ‫ت اﱠﻟﺬِي َﺗ ِﻔﺮﱡو‬ َ ‫ن ا ْﻟ َﻤ ْﻮ‬
‫ﻞ ِإ ﱠ‬ْ ‫ُﻗ‬
‫ن‬ َ ‫ﺸﻬَﺎ َد ِة ﻓَ ُﻴﻨَﺒﱢ ُﺌ ُﻜ ْﻢ ِﺑﻤَﺎ ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ َﺗ ْﻌ َﻤﻠُﻮ‬
‫ﺐ وَاﻟ ﱠ‬ ِ ‫ا ْﻟ َﻐ ْﻴ‬
Katakanlah: "Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka
sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan
dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu
Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan".(QS. al-Jumu’ah/62:8)
Ibn Qudâmah r.h. (w.620 H.) berkata: “Cinta dunia dan memperturutkan

hawa nafsu serta kelezatannya, bila sudah membekas dalam hati, niscaya orang

merasa berat meninggalkan dunia ini dan tak akan berpikir tentang mati.”

Sedangkan orang yang arif senantiasa mengingat kematian karena

kematian adalah janji pertemuannya dengan kekasihnya. Pecinta tidak akan

pernah lupa sama sekali akan janji pertemuan dengan kekasihnya. Jadi, kematian

yang tampaknya adalah kepunahan, pada hakikatnya adalah kelahiran yang kedua.

Dia adalah pintu gerbang menuju kehidupan yang kekal abadi. Tentang hal ini, al-

Râghib al-Isfahânî (w.502 H.) berkata:

336
al-Tirmidzî Sunan al-Tirmidzî, Juz 4, Abwâb Sifah al-Qiyâmah, no. Hadis 2577, h. 54;
Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitân al-Zuhd Bâb Dzikr al-Maut wa al-Isti’dâd lah, no. Hadis
4260, h. 1423.Ahmad, al-Musnad, 4, h. 124; Ahmad Farîd, al-Bahr al-Râ’iq fî al-Zuhd wa al-
Raqâ’iq, h. 150. Nilai Hadis ini hasan

239
“Kematian yang dikenal sebagai berpisahnya ruh dari badan merupakan sebab
yang mengantarkan manusia menuju kenikmatan yang abadi. Kematian adalah
perpindahan dari satu negeri ke negeri yang lain, sebagaimana diriwayatkan bahwa,
‘Sesungguhnya kalian diciptakan untuk hidup abadi, tetapi kalian haruslah berpindah
dari satu negeri ke negeri (lain), sehingga kalian menetap di satu tempat.’337
Untuk kehidupan jangka panjang tersebut, Allah mengingatkan bahwa

kehidupan itu jauh lebih baik daripada kehidupan dunia melalui firman-firman-

Nya berikut ini:

‫ﻼ‬
ً ‫َﻓﺘِﻴ‬ ‫ن‬
َ ‫ﻈَﻠﻤُﻮ‬
ْ ‫ﻻ ُﺗ‬
َ ‫ﻦ ا ﱠﺗﻘَﻰ َو‬
ِ ‫ﺧ َﺮ ُة ﺧَ ْﻴ ٌﺮ ِﻟ َﻤ‬
ِ ‫ﻞ وَاﻵ‬
ٌ ‫ع اﻟ ﱡﺪ ْﻧﻴَﺎ ﻗَﻠِﻴ‬
ُ ‫ﻞ َﻣﺘَﺎ‬
ْ ‫ُﻗ‬
...Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu
lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa dan kamu tidak akan dianiaya
sedikitpun.(QS.al-Nisâ/4:77)

‫ﷲ اﺛﱠﺎ َﻗ ْﻠ ُﺘ ْﻢ‬
ِ ‫ﻞ َﻟ ُﻜ ُﻢ ا ْﻧ ِﻔﺮُوا ﻓِﻲ ﺳَﺒِﻴﻞِ ا‬
َ ‫ﻦ ءَاﻣَﻨُﻮا ﻣَﺎ َﻟ ُﻜ ْﻢ إِذَا ﻗِﻴ‬ َ ‫ﻳَﺎَأ ﱡﻳﻬَﺎ اﱠﻟﺬِﻳ‬
‫ﺤﻴَﺎ ِة‬ َ ‫ع ا ْﻟ‬ ُ ‫ﺧ َﺮ ِة ﻓَﻤَﺎ َﻣﺘَﺎ‬
ِ ‫ﻦ اﻵ‬
َ ‫ﺤﻴَﺎ ِة اﻟ ﱡﺪ ْﻧﻴَﺎ ِﻣ‬
َ ‫ض أَرَﺿِﻴ ُﺘ ْﻢ ﺑِﺎ ْﻟ‬ ِ ‫ﻷ ْر‬ َ ‫إِﻟَﻰ ا‬
‫ﻞ‬ ٌ ‫ﻻ ﻗَﻠِﻴ‬ ‫ﺧ َﺮ ِة ِإ ﱠ‬
ِ ‫اﻟ ﱡﺪ ْﻧﻴَﺎ ﻓِﻲ اﻵ‬
Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada
kamu: "Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah" kamu merasa berat dan
ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai
ganti kehidupan di akhirat? padahal keni`matan hidup di dunia ini (dibandingkan
dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. (QS.al-Taubah/9:38)

‫ﻲ‬
َ ‫ﺧ َﺮ َة َﻟ ِﻬ‬
ِ ‫ن اﻟﺪﱠا َر اﻵ‬
‫ﺐ َوِإ ﱠ‬
ٌ ‫ﻻ ﻟَ ْﻬ ٌﻮ َوَﻟ ِﻌ‬
‫ﺤﻴَﺎ ُة اﻟ ﱡﺪ ْﻧﻴَﺎ ِإ ﱠ‬
َ ‫وَﻣَﺎ َه ِﺬ ِﻩ ا ْﻟ‬
‫ن‬َ ‫ن َﻟ ْﻮ آَﺎﻧُﻮا َﻳ ْﻌَﻠﻤُﻮ‬ ُ ‫ﺤ َﻴﻮَا‬
َ ‫ا ْﻟ‬
Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main.
Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka
mengetahui. (QS. al-Ankabût/29:64)

‫ﻷوﻟَﻰ‬
ُ ‫ﻦا‬
َ ‫ﻚ ِﻣ‬
َ ‫ﺧ َﺮ ُة ﺧَ ْﻴ ٌﺮ َﻟ‬
ِ ‫وَﻟَﻶ‬
dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu dari permulaan. (QS. al-
Duhâ//93:4)

Ayat-ayat tersebut sesungguhnya sekaligus memerintahkan kepada umat

manusia untuk banyak mengingat kematian yang dapat memotivasi seseorang

337
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, h. 73

240
untuk memperbanyak amal saleh. Rasulullah saw. sendiri dalam beberapa

sabdanya mengingatkan:

ِ ‫ َأ ْآ ِﺜﺮُوا ِذ ْآ َﺮ هَﺎ ِذ ِم اﻟﱠﻠﺬﱠا‬ρ ‫ﷲ‬


‫ت‬ ِ ‫لا‬
ُ ‫ل َرﺳُﻮ‬
َ ‫ل ﻗَﺎ‬
َ ‫ﻦ أَﺑِﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة ﻗَﺎ‬ْ‫ﻋ‬ َ
338
‫ت‬
َ ‫َﻳ ْﻌﻨِﻲ ا ْﻟ َﻤ ْﻮ‬
Dari Abû Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda:
“Perbanyaklah untuk mengingat pemutus kenikmatan” yaitu kematian. (H.R. al-
Tirmidzî, al-Nasâ’î, Ibn Mâjah, dan Ahmad)

ْ ‫ ﻗﺎل ُﺗ‬ρ ‫ﻲ‬


‫ﺤ َﻔ ُﺔ‬ ‫ﻦ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ‬
ِ‫ﻋ‬
َ ‫ص‬
ِ ‫ﻦ ا ْﻟﻌَﺎ‬
ِ ‫ﻦ ﻋَ ْﻤﺮِو ْﺑ‬
ِ ‫ﷲ ْﺑ‬ِ ‫ﻋ ْﺒ ِﺪ ا‬ َ ‫ﻦ‬ ْ‫ﻋ‬ َ
339
‫ت‬
ُ ‫ﻦ ا ْﻟ َﻤ ْﻮ‬
ِ ‫ا ْﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣ‬
Dari Abdullâh bin ‘Amr bin al-‘As dari Nabi saw. beliau bersabda:
“Hadiah orang mukmin adalah kematian.” (H.R. Abu ad-Dunyâ, al-Tabarânî, dan
al-Hâkim)

‫ﺴ ِﻠ ٍﻢ‬
ْ ‫ت آَﻔﱠﺎرَ ٌة ِﻟ ُﻜﻞﱢ ُﻣ‬
ُ ‫َا ْﻟ َﻤ ْﻮ‬
Kematian dapat meleburkan (kafarat) dosa bagi setiap muslim.” (H.R. Abū
Nu’aim dalam “al-Hilyah”, al-Baihaqî dalam “al-Syu’ab” dan al-Khatîb dalam
“al-Târîkh” dari Anas r.a.)
Banyak mengingat kematian sebagaimana yang dianjurkan oleh agama

dapat menjadi media penyucian diri. Sebab, ia dapat mendorong seseorang untuk

meningkatkan kualitas pengabdiannya kepada Allah di dunia sebagai bekal di

akhirat kelak. Bukankah Allah juga menyatakan:

‫ﻖ‬
َ ‫ﺧَﻠ‬
َ ‫ﻲ ٍء ﻗَﺪِﻳ ٌﺮ اﱠﻟﺬِي‬ ْ ‫ﺷ‬ َ ‫ﻚ َو ُه َﻮ ﻋَﻠَﻰ ُآﻞﱢ‬ ُ ‫ك اﱠﻟﺬِي ِﺑ َﻴ ِﺪ ِﻩ ا ْﻟ ُﻤ ْﻠ‬ َ ‫َﺗﺒَﺎ َر‬
‫ر‬
ُ ‫ﻼ َو ُه َﻮ ا ْﻟ َﻌﺰِﻳ ُﺰ ا ْﻟ َﻐﻔُﻮ‬
ً ‫ﻋ َﻤ‬
َ ‫ﻦ‬
ُ‫ﺴ‬
َ‫ﺣ‬ْ ‫ﺤﻴَﺎ َة ِﻟ َﻴ ْﺒُﻠ َﻮ ُآ ْﻢ َأ ﱡﻳ ُﻜ ْﻢ َأ‬
َ ‫ت وَا ْﻟ‬
َ ‫ا ْﻟ َﻤ ْﻮ‬
Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha
Kuasa atas segala sesuatu, Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji
kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi
Maha Pengampun.(QS.al-Mulk/67:1-2)

338
Al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 3, Abwâb al-Zuhd Bâb Mâ Jâ fî Dzikr al-Maut,
no. Hadis 2409, h. 378-379; al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb al-Janâ’iz Bâb Katsrah Dzikr al-
Maut, no. Hadis 1821, h. 311-312; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Zuhd Bâb Dzikr
al-Maut wa al-Isti’dâd lah, no. Hadis 4258, h. 1422; Ahmad, al-Musnad, Juz 2, h. 293; al-
Nawawî, Riyâd al- Sâlihîn, Bâb Dzikr al-Maut wa Qasr al-Amal, h. 258-259; Sa’id Hawwa,
Mensucikan Jiwa, h.123; kualitas hadis ini hasan.
339
Ahmad Farid, al-Bahr al-Râ’iq fî al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, h. 331

241
Setiap manusia harus menyadari bahwa kematian adalah misteri. Tidak

ada seorangpun yang tahu kapan dan di bumi belahan mana ia akan meninggalkan

dunia yang fana ini (QS.31:34; 7:34). Itulah sebabnya, orang-orang salih akan

senantiasa mempersiapkan diri dengan selalu berzikir dan beramal salih agar tidak

kaget saat kematian datang menjemput. Dari sini pula menjadi wajar, jika banyak

ditemukan riwayat mengenai orang-orang shalih yang dalam hidupnya banyak

mengingat kematian.

al-Rabi’ bin al-Khaitsam pernah berkata: “Tidak ada hal ghaib yang

dinantikan dan lebih baik bagi orang mukmin selain dari kematian.”340

‘Umar ibn ‘Abd al-‘Azîz (w.101 H.) biasa mengumpulkan para fuqaha

setiap malam untuk mengingatkan kematian, hari kiamat, dan akhirat. Lalu

mereka menangis seolah-olah di hadapan mereka terdapat jenazah.

Pada suatu ketika beliau (‘Umar ibn ‘Abd al-‘Azîz) berkata kepada

sebagian ulama: “Nasehatilah aku!” Ulama itu berkata: “Engkau bukanlah

khalifah yang pertama kali mati.” Beliau berkata lagi: “Tambahlah nasehat lagi!”

Ulama itu berkata: “Dari nenek moyangmu hingga Nabi Adam, tidak ada

seorangpun kecuali merasakan kematian. Sementara itu giliranmupun telah tiba.”

Kemudian, Umarpun menangis mendengar nasehat tersebut. 341

9. Saling menolong dan Saling Menyayangi

Saling menolong dan saling menyayangi, di samping berfungsi sebagai

sarana tazkiyah al-nafs, dia juga menjadi bukti kebeningan hati yang dimiliki oleh

seseorang. Seseorang yang jernih hatinya, dapat dipastikan memiliki kemampuan

interaksi sosial yang baik dengan sesama.


340
Sa’id Hawa, Mensucikan Jiwa, h.124
341
Ibid, h. 125

242
Itulah sebabnya, para psikiater modern memahami tentang pentingnya

hubungan kemanusiaan yang dijalin seseorang dengan kesehatan mental. Mereka

sangat memperhatikan masalah penyakit jiwa atau hati yang menimpa seseorang

di masyarakat. Mereka juga sangat memperhatikan rasa cinta dan kasih sayang di

antara manusia, serta menganjurkan mereka untuk melakukan aktivitas yang

bermanfaat. Semua itu, dalam pandangan mereka, merupakan faktor-faktor

penting untuk melakukan psikoterapi pada diri manusia.342

Dari sini, jelaslah hikmah ajaran Islam yang mengajak manusia untuk

saling menyayangi dan saling menolong. Ternyata keterkaitan seseorang dengan

individu lain dalam ikatan cinta dan kasih sayang bisa memperkokoh

kepribadiannya dan menghilangkan perasaan gelisah yang biasanya muncul akibat

mengisolasi diri.

al-Qur’an al-Karim dan Hadis Nabi saw. banyak mengarahkan kaum

muslimin untuk memupuk rasa cinta dan kasih sayang, menjalin persaudaraan,

dan saling menolong.

‫ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ ِإ ْذ‬
َ ‫ﷲ‬ ِ ‫ﻻ َﺗ َﻔ ﱠﺮﻗُﻮا وَا ْذ ُآﺮُوا ِﻧ ْﻌ َﻤ َﺔ ا‬ َ ‫ﺟﻤِﻴﻌًﺎ َو‬ َ ‫ﷲ‬ ِ ‫ﻞا‬ ِ ‫ﺤ ْﺒ‬
َ ‫ﺼﻤُﻮا ِﺑ‬ ِ ‫ﻋ َﺘ‬ْ ‫وَا‬
‫ﺧﻮَاﻧًﺎ َو ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ ﻋَﻠَﻰ‬ ْ ‫ﺤ ُﺘ ْﻢ ِﺑ ِﻨ ْﻌ َﻤ ِﺘ ِﻪ ِإ‬
ْ ‫ﺻ َﺒ‬
ْ ‫ﻦ ُﻗﻠُﻮ ِﺑ ُﻜ ْﻢ َﻓَﺄ‬ َ ‫ﻒ َﺑ ْﻴ‬
َ ‫ﻋﺪَا ًء َﻓَﺄﱠﻟ‬ ْ ‫ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ َأ‬
‫ﷲ َﻟ ُﻜ ْﻢ ءَاﻳَﺎ ِﺗ ِﻪ َﻟ َﻌﱠﻠ ُﻜ ْﻢ‬ُ ‫ﻦا‬ ُ ‫ﻚ ُﻳ َﺒﻴﱢ‬ َ ‫ﻦ اﻟﻨﱠﺎ ِر َﻓَﺄ ْﻧ َﻘ َﺬ ُآ ْﻢ ﻣِ ْﻨﻬَﺎ َآ َﺬِﻟ‬ َ ‫ﺣ ْﻔ َﺮ ٍة ِﻣ‬
ُ ‫ﺷﻔَﺎ‬ َ
‫ن‬ َ ‫َﺗ ْﻬ َﺘﺪُو‬
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni`mat Allah kepadamu ketika
kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan
hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni`mat Allah orang-orang yang bersaudara;
dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu
daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar
kamu mendapat petunjuk.(QS.Ali ‘Imrân/3:103)

342
M. Usman Najati, Psikologi dalam Tinjauan Hadist Nabi saw., h. 108-109

243
ِ‫ن ﺑِﺎ ْﻟﻤَ ْﻌﺮُوف‬
َ ‫ﺾ َﻳ ْﺄ ُﻣﺮُو‬
ٍ ‫ﻀ ُﻬ ْﻢ َأ ْوِﻟﻴَﺎ ُء َﺑ ْﻌ‬
ُ ‫ت َﺑ ْﻌ‬ ُ ‫وَا ْﻟ ُﻤ ْﺆﻣِﻨُﻮنَ وَا ْﻟ ُﻤ ْﺆﻣِﻨَﺎ‬
‫ن‬
َ ‫ن اﻟ ﱠﺰ َآﻮ َة َو ُﻳﻄِﻴﻌُﻮ‬ َ ‫ﺼَﻠﻮ َة َو ُﻳ ْﺆﺗُﻮ‬
‫ن اﻟ ﱠ‬ َ ‫ﻦ ا ْﻟ ُﻤ ْﻨ َﻜ ِﺮ َو ُﻳﻘِﻴﻤُﻮ‬
ِ‫ﻋ‬َ ‫ن‬َ ‫َو َﻳ ْﻨ َﻬ ْﻮ‬
‫ﻜﻴ ٌﻢ‬ ِ‫ﺣ‬
َ ‫ﷲ ﻋَﺰِﻳ ٌﺰ‬ َ ‫نا‬ ‫ﷲ ِإ ﱠ‬
ُ ‫ﺣ ُﻤ ُﻬ ُﻢ ا‬
َ ‫ﺳ َﻴ ْﺮ‬
َ ‫ﻚ‬
َ ‫اﻟﱠﻠﻪَ َو َرﺳُﻮَﻟ ُﻪ أُوَﻟ ِﺌ‬
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka
(adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh
(mengerjakan) yang ma`ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan
sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya.
Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana. (QS. al-Taubah/9:71)

‫ﷲ َﻟ َﻌﱠﻠ ُﻜ ْﻢ‬
َ ‫ﺧ َﻮ ْﻳ ُﻜ ْﻢ وَا ﱠﺗﻘُﻮا ا‬
َ ‫ﻦ َأ‬
َ ‫ﺻِﻠﺤُﻮا َﺑ ْﻴ‬
ْ ‫ﺧ َﻮ ٌة َﻓَﺄ‬
ْ ‫ن ِإ‬
َ ‫إِ ﱠﻧﻤَﺎ ا ْﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣﻨُﻮ‬
‫ن‬ َ ‫ﺣﻤُﻮ‬ َ ‫ُﺗ ْﺮ‬
Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara karena itu
damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu
mendapat rahmat.(QS. al-Hujurât/49:10)
‫ﻻ‬
َ ‫ﺟ َﺮ ِإَﻟ ْﻴ ِﻬ ْﻢ َو‬َ ‫ﻦ هَﺎ‬ْ ‫ن َﻣ‬ َ ‫ﺤﺒﱡﻮ‬ ِ ‫ﻦ َﻗ ْﺒِﻠ ِﻬ ْﻢ ُﻳ‬
ْ ‫ن ِﻣ‬
َ ‫ﻹ ْﻳﻤَﺎ‬
ِ ‫ﻦ َﺗ َﺒ ﱠﻮءُوا اﻟﺪﱠا َر وَا‬َ ‫وَاﱠﻟﺬِﻳ‬
‫ﺴ ِﻬ ْﻢ َوَﻟ ْﻮ‬
ِ ‫ن ﻋَﻠَﻰ َأ ْﻧ ُﻔ‬ َ ‫ﺟ ًﺔ ﻣِﻤﱠﺎ أُوﺗُﻮا َو ُﻳ ْﺆ ِﺛﺮُو‬ َ ‫ﺻﺪُو ِر ِه ْﻢ ﺣَﺎ‬ُ ‫ن ﻓِﻲ‬ َ ‫ﺠﺪُو‬ ِ ‫َﻳ‬
‫ن‬ َ ‫ﻚ ُه ُﻢ ا ْﻟ ُﻤ ْﻔِﻠﺤُﻮ‬
َ ‫ﺴ ِﻪ َﻓﺄُوَﻟ ِﺌ‬ِ ‫ﺷﺢﱠ َﻧ ْﻔ‬ ُ ‫ق‬َ ‫ﻦ ﻳُﻮ‬ ْ ‫ن ِﺑ ِﻬ ْﻢ ﺧَﺼَﺎﺻَ ٌﺔ َو َﻣ‬ َ ‫آَﺎ‬
Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman
(Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang
berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka
terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka
mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun
mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara
dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.(QS. al-
Hasyr/59:9)

‫ﷲ َﺗﻌَﺎﻟَﻰ‬ َ ‫نا‬‫ ِإ ﱠ‬ρ ‫ﷲ‬ ِ ‫لا‬ ُ ‫ﺳ ْﻮ‬ ُ ‫ل َر‬ َ ‫ل ﻗَﺎ‬


َ ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ‬
َ ‫ﷲ‬ُ ‫ﻲا‬ َ‫ﺿ‬ِ ‫ﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة َر‬ ْ ‫ﻦ َأ ِﺑ‬
ْ‫ﻋ‬ َ
‫ﻲ َﻳ ْﻮ َم‬
ْ ‫ﻇﱢﻠ‬
ِ ‫ﻲ‬
ْ ‫ﻇﻠﱡ ُﻬ ْﻢ ِﻓ‬
ِ ‫ﻲ ا ْﻟ َﻴ ْﻮ َم ُأ‬
ْ ‫ﻼِﻟ‬
َ‫ﺠ‬ َ ‫ن ِﺑ‬
َ ‫ﻦ ا ْﻟ ُﻤ َﺘﺤَﺎ ﱡﺑ ْﻮ‬
َ ‫ل َﻳ ْﻮ َم ا ْﻟ ِﻘﻴَﺎ َﻣ ِﺔ َأ ْﻳ‬ُ ‫َﻳ ُﻘ ْﻮ‬
343
‫ﻲ‬
ْ ‫ﻇﱢﻠ‬ِ ‫ﻻ‬ ‫ﻞ ِإ ﱠ‬ ‫ﻇﱠ‬ ِ ‫ﻻ‬ َ
Dari Abû Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda:
“Sesungguhnya Allah ta’ala berfirman pada hari kiamat kelak, ‘di manakah orang-
orang yang saling mencintai ? Dengan segala keaguangan-Ku, pada hari ini Aku
akan menanungi mereka dalam naungan-Ku pada saat tidak ada naungan selain
naungan-Ku.’” (H.R. Muslim dan al-Tirmidzî)

343
Muslim, Sahîh Muslim, Juz 2, Kitâb al-Birr wa al-Silah Bâb fî Fadl al-Hubb fî al-Lâh, h.
425; al-Tirmizî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 4, Abwâb al-Zuhd bâb Mâ Jâ’a fî al-Hubb fî al-Lâh, no. Hadis
2499, h. 24; Ahmad Farîd, al-Bahr al-Râ’iq fî al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, h. 381

244
ْ ‫ َو اﱠﻟ ِﺬ‬ρ ‫ﷲ‬
‫ي‬ ِ ‫لا‬ ُ ‫ﺳ ْﻮ‬ ُ ‫ل َر‬ َ ‫ل ﻗَﺎ‬ َ ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ‬ َ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﻲا‬ َ‫ﺿ‬ ِ ‫ﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة َر‬ ْ ‫ﻦ َأ ِﺑ‬ ْ‫ﻋ‬ َ
‫ﻻ ُﺗ ْﺆ ِﻣ ُﻨﻮْا ﺣَﺘﱠﻰ َﺗﺤَﺎ ﱡﺑﻮْا‬َ ‫ﺣﺘﱠﻰ ُﺗ ْﺆﻣِ ُﻨﻮْا َو‬ َ ‫ﺠ ﱠﻨ َﺔ‬
َ ‫ﺧﻠُﻮا ا ْﻟ‬
ُ ‫ﻻ َﺗ ْﺪ‬َ ‫ﻲ ِﺑ َﻴ ِﺪ ِﻩ‬
ْ ‫ﺴ‬ ِ ‫َﻧ ْﻔ‬
‫ﻼ َم ﻓِ ْﻴﻤَﺎ‬
َ‫ﺴ‬
‫ﻲ ٍء إِذَا َﻓ َﻌ ْﻠ ُﺘ ُﻤ ْﻮ ُﻩ َﺗﺤَﺎ َﺑ ْﺒ ُﺘﻢْ؟ َأ ْﻓﺸُﻮا اﻟ ﱠ‬ْ ‫ﺷ‬
َ ‫ﻋﻠَﻰ‬ َ ‫ﻻ َأ ُدﻟﱡ ُﻜ ْﻢ‬ َ ‫َأ َو‬
344
‫َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻜ ْﻢ‬
Dan dari Abû Hurairah ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Demi Zat
yang jiwaku berada di tangan-Nya! Tidaklah kalian masuk surga sampai kalian
beriman, dan tidaklah kalian beriman (dengan sempurna) sampai kalian saling
menyayangi. Tidakkah akan aku tunjukkan kepada kalian sesuatu yang jika kalian
kerjakan, niscaya kalian saling menyayangi? Sebarkanlah salam di antara kalian.
(H.R. Muslim, al-Tirmidzî, Abû Dâwûd, dan Ibn Mâjah)
Hadis di atas mengisyaratkan bahwa saling mencintai merupakan syarat

keimanan dan syarat untuk dapat masuk surga. Orang mukmin yang hakiki adalah

orang yang mencintai dan dicintai orang lain. Rasulullah saw. bersabda:

345
‫ﻒ‬
ُ ‫ﻻ ُﻳ ْﺆَﻟ‬
َ ‫ﻒ َو‬
ُ ‫ﻻ َﻳ ْﺄَﻟ‬
َ ‫ﻦ‬
ْ ‫ﺧ ْﻴ َﺮ ِﻓ ْﻴ َﻤ‬
َ ‫ﻻ‬
َ ‫ﻒ َو‬
ٌ َ‫ﻦ ُﻣ ْﺆﻟ‬
ُ ‫َا ْﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣ‬
“Orang mukmin itu dicintai. Dan tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak
mencintai dan dicintai (orang lain).” (H.R. Ahmad)

Rasa cinta di antara orang-orang mukmin harus dilakukan dengan ikhlas

karena Allah, bukan demi manfaat sesaat, keuntungan jangka pendek, kepentingan

pribadi, atau untuk mendapatkan harta, pangkat, dan jabatan.

Rasulullah saw. mengajarkan agar cinta seorang mukmin kepada

saudaranya laksana ia mencintai dirinya sendiri.

‫ﻰ‬
‫ﺣ ُﺪ ُآ ْﻢ ﺣَﺘ ﱠ‬
َ ‫ﻦ َأ‬
ُ ‫ﻻ ُﻳ ْﺆ ِﻣ‬ َ ‫ ﻗَﺎ‬ρ ‫ﷲ‬
َ ‫ل‬ ِ ‫لا‬
َ ‫ﺳ ْﻮ‬
ُ ‫ن َر‬
‫ﻋ ْﻨ ُﻪ َأ ﱠ‬ َ ‫ﷲ‬ُ ‫ﻲا‬ َ‫ﺿ‬ ِ ‫ﺲ َر‬ ٍ ‫ﻦ َأ َﻧ‬
ْ‫ﻋ‬َ
346
‫ﺴ ِﻪ‬
ِ ‫ﺤﺐﱡ ِﻟ َﻨ ْﻔ‬ِ ‫ﺧ ْﻴ ِﻪ ﻣَﺎ ُﻳ‬
ِ ‫ﻻ‬
َ ِ ‫ﺤﺐﱠ‬ ِ ‫ُﻳ‬
344
Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Îmân Bâb Bayân annah lâ Yadkhulu al-Jannah illâ
al-Mu’minûn wa anna Mahabbah al-Mu’minîn minj al-Îmân wa anna Ifsyâ al-Salâm Sabab li Husûlihâ,
h. 41; al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 4, Abwâb al-Isti’dzân wa al-Âdâb Bâb Mâ Jâ’a fî Ifsyâ
al-Salâm, no. Hadis 2829, h. 156; Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 4, Kitâb al-Âdâb Bâb fî
Ifsyâ al-Salâm, no. Hadis 5193, h. 350; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 1, Kitâb al-Muqaddimah
Bâb fî al-Îmân, no. Hadis 68, h. 26
345
Ahmad, al-Musnad, Juz 5, h. 335
346
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 1, Kitâb al-Îmân bâb min al-Îmân an Yuhibba li
Akhîh mâ Yuhibbu li Nafsih, h. 9; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Îmân Bâb al-dalîl ‘alâ anna

245
Dari Anas r.a. ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: “Tidak
(sempurna) iman salah seorang di antara kalian sehingga ia mencintai untuk
saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri.” (H.R. al-Bukhârî, Muslim,
al-Nasâ’î, dan Ibn Mâjah)
Cinta kasih yang dibangun di atas keikhlasan karena Allah akan

melahirkan keringanan mereka untuk saling menolong kapan dan di mana saja

berada.

ْ ‫ ﻗَﺎل ََا ْﻟ ُﻤ‬ρ ‫ﷲ‬


‫ﺴِﻠ ُﻢ َأﺧُﻮ‬ ِ ‫لا‬ َ ‫ﺳ ْﻮ‬ ُ ‫ن َر‬‫ﻋ ْﻨ ُﻪ َأ ﱠ‬َ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﻲا‬ َ‫ﺿ‬ِ ‫ﻋ َﻤ َﺮ َر‬ ُ ‫ﻦ‬ ِ ‫ﻦ ا ْﺑ‬ ِ‫ﻋ‬ َ
‫ﻲ‬
ْ ‫ﷲ ِﻓ‬
ُ ‫نا‬ َ ‫ﺧ ْﻴ ِﻪ آَﺎ‬ِ ‫ﺟ ِﺔ َأ‬َ ‫ﻲ ﺣَﺎ‬ ْ ‫ن ِﻓ‬ َ ‫ﻦ آَﺎ‬ْ ‫ َو َﻣ‬.‫ﺴِﻠ ُﻤ ُﻪ‬ ْ ‫ﻻ ُﻳ‬
َ ‫ﻈِﻠ ُﻤ ُﻪ َو‬
ْ ‫ﻻ َﻳ‬َ ‫ﺴِﻠ ِﻢ‬ ْ ‫ا ْﻟ ُﻤ‬
‫ب‬
ِ ‫ﻦ ُآ َﺮ‬ْ ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ ِﺑﻬَﺎ ُآ ْﺮ َﺑ ًﺔ ِﻣ‬
َ ‫ﷲ‬ ُ ‫جا‬ َ ‫ﺴِﻠ ٍﻢ ُآ ْﺮ َﺑ ًﺔ َﻓ ﱠﺮ‬
ْ ‫ﻦ ُﻣ‬ ْ‫ﻋ‬َ ‫ج‬ َ ‫ﻦ َﻓ ﱠﺮ‬ْ ‫ﺟ ِﺘ ِﻪ َو َﻣ‬ َ ‫ﺣَﺎ‬
347
‫ﷲ َﻳ ْﻮ َم ا ْﻟ ِﻘﻴَﺎ َﻣ ِﺔ‬
ُ ‫ﺳ َﺘ َﺮ ُﻩ ا‬
َ ‫ﺴِﻠﻤًﺎ‬ ْ ‫ﺳ َﺘ َﺮ ُﻣ‬
َ ‫ﻦ‬
ْ ‫َﻳ ْﻮ ِم ا ْﻟ ِﻘﻴَﺎ َﻣ ِﺔ َو َﻣ‬
Dari Ibn ‘Umar r.a.ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda:
“Orang muslim itu adalah saudara muslim yang lain. Maka hendaknya ia tidak
menzaliminya dan tidak mencelakainya. Barangsiapa yang memenuhi kebutuhan
saudaranya, niscaya Allah akan memenuhi kebutuhan dirinya. Siapa yang
menghilangkan suatu kesulitan dari diri seorang muslim, maka Allah akan
menghilangkan kesulitannya pada hari kiamat. Barangsiapa yang menutupi aib
seorang muslim, niscaya Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat. (H.R.al-
Bukhârî, Muslim, al-Tirmidzî, dan Abû Dâwûd)
Pada masa Rasulullah saw., beliau pernah mempersaudarakan Sa’ad bin

al-Rabî’ al-Ansâri (w.2 H.) dengan Abdurrahmân bin ‘Auf (w.32 H.) radhiyallâhu

‘anhumâ. Lalu Sa’ad berkata kepada Abdurrahmân: “sesungguhnya aku adalah

orang Ansar yang paling kaya. Aku akan membagi hartaku menjadi dua bagian,

untuk diriku dan untuk dirimu. Aku juga memiliki dua orang istri. Maka pilihlah

wanita mana yang paling kamu sukai, lantas sebutkan namanya kepadaku, untuk

kemudian akan aku ceraikan. Jika masa iddahnya sudah habis, akan aku nikahkan

min Khisal al-Îmân an Yuhibba li Akhîh mâ Yuhibbu li Nafsih min al-Khair, h. 38; al-Nasâ’î, Sunan
al-Nasâ’î, Kitâb al-Îmân wa Syarâ’i’ih Bâb ‘Alâmah al-Îmân, no. Hadis 5026, h. 803; Ibn Mâjah,
Sunan Ibn Mâjah, Juz 1, Kitâb al-Muqaddimah Bâb al-Îmân, no. Hadis 66, h. 26; Ahmad Farîd, al-
Bahr al-Râ’iq fî al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, h. 366
347
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 3, Kitâb al-Mazâlim Bâb lâ Yazlimu al-Muslim al-
Muslim walâ Yuslimuh, h. 98; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 2, Kitâb al-Birr wa al-Silah wa al-Âdâb
Bâb Tahrîm al-Zulm, h. 430; al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 2, Abwâb al-Hudûd Bâb Mâ Jâ’a
fî al-Satr ‘alâ al-Muslim, no. Hadis 1449, h. 439; Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 4, Kitâb al-
Âdâb Bâb al-Mu’âkhâh, no. Hadis 4893, h. 273

246
dia denganmu.” Mendapat tawaran seperti itu, Abdurrahmân berkata: “semoga

Allah melimpahkan berkah kepadamu melalui keluarga dan hartamu. Di manakah

letak pasar kalian?” akhirnya, Abdurrahmân datang ke pasar untuk berdagang

hingga pada akhirnya sukses menjadi konglomerat Madinah dan menikah dengan

wanita lain.348

10. Bergaul dengan Orang-orang Salih

Rekan atau sahabat memiliki pengaruh yang sangat besar bagi

pembentukan kepribadian seseorang. Sahabat yang buruk akhlaknya tidak jarang

menularkan hal-hal negatif kepada teman sepergaulannya. Banyak sekali pemuda

yang mengalami penyimpangan perilaku dan terjerumus ke dalam perbuatan hina

maupun tindakan kriminal karena pengaruh temannya. Itulah sebabnya, ada

sebuah pepatah yang menyatakan:

349
‫ي‬
ْ ‫ﻖ ُﻳ ْﻌ ِﺪ‬
ِ ‫ﺨُﻠ‬
ُ ‫ﺳ ْﻮ ُء ا ْﻟ‬
ُ
Akhlak yang buruk itu dapat menular.
Oleh karena itu, memilih teman yang berakhlak mulia merupakan sesuatu

yang sangat urgen. Bukankah jika bergaul dengan pandai besi akan terkena

percikan api sebagaimana bergaul dengan tukang minyak wangi akan terkena

aroma harumnya? Perhatikanlah sabda Rasulullah saw. berikut ini:

‫ﻞ‬ َ ‫ ﻗَﺎ‬ρ ‫ﻲ‬


ُ ‫ل إِ ﱠﻧﻤَﺎ َﻣ َﺜ‬ ‫ن اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱠ‬ ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ َأ ﱠ‬
َ ‫ﷲ‬ُ ‫ﻲا‬ َ‫ﺿ‬ِ ‫ﺷﻌَﺮِي َر‬ ْ َ‫ﻲ ُﻣ ْﻮﺳَﻰ اﻻ‬ْ ‫ﻦ َأ ِﺑ‬
ْ‫ﻋ‬َ
‫ﻚ‬
ِ ‫ﺴ‬ْ ‫ﻞ ا ْﻟ ِﻤ‬
ُ ‫ﺦ ا ْﻟ ِﻜ ْﻴ ِﺮ َﻓﺤَﺎ ِﻣ‬
ِ ‫ﻚ َوﻧَﺎ ِﻓ‬ ِ‫ﺴ‬ْ ‫ﻞ ا ْﻟ ِﻤ‬
ِ ‫ﺴ ْﻮ ِء َآﺤَﺎ ِﻣ‬
‫ﺢ وَاﻟ ﱡ‬
ِ ‫ﺲ اﻟﺼﱠﺎِﻟ‬ِ ‫ﺠِﻠ ْﻴ‬
َ ‫ا ْﻟ‬

348
M. Usman Najati, Psikologi dalam Tinjauan Hadist Nabi saw ., h. 115
349
M. Fadhilah Zaidi, Mahfuzhat: Khazanah Mutiara Hikmah dari Pesantren, (Ciputat:
Penerbit Kalimah, 2000), Cet. I, h. 77

247
‫ﻃ ﱢﻴ َﺒ ًﺔ‬
َ ‫ﺠ َﺪ ِﻣ ْﻨ ُﻪ ِر ْﻳﺤًﺎ‬ ِ ‫ن َﺗ‬ ْ ‫ع ِﻣ ْﻨ ُﻪ َوِإﻣﱠﺎ َأ‬َ ‫ن َﺗ ْﺒﺘَﺎ‬
ْ ‫ﻚ َوِإﻣﱠﺎ َأ‬ َ ‫ﺤ ِﺬ َﻳ‬
ْ ‫ن ُﻳ‬ ْ ‫إِﻣﱠﺎ َأ‬
350
‫ﺠ َﺪ ِﻣ ْﻨ ُﻪ ِر ْﻳﺤًﺎ ُﻣ ْﻨ ِﺘ َﻨ ًﺔ‬
ِ ‫ن َﺗ‬
ْ ‫ﻚ َوِإﻣﱠﺎ َأ‬ َ ‫ق ِﺛﻴَﺎ َﺑ‬
َ ‫ﺤ ِﺮ‬
ْ ‫ن ُﻳ‬
ْ ‫ﺦ ا ْﻟ ِﻜ ْﻴ ِﺮ إِﻣﱠﺎ َأ‬
ُ ‫َوﻧَﺎ ِﻓ‬
Dari Abû Mûsâ al-Asy’arî r.a. sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda:
“Sesungguhnya perumpamaan teman yang shalih dan teman yang buruk itu ibarat
penjual minyak wangi dan pandai besi. Penjual minyak wangi bisa jadi akan
memberimu minyak, atau kamu akan membeli minyak darinya, atau kamu akan
mendapati aroma wangi darinya. Sementara pandai besi, maka bisa jadi dia akan
membakar busanamu (ketika sedang meniup api) atau kamu akan menjumpai
aroma tidak sedap darinya.” (H.R. al-Bukhârî, Muslim, dan Abû Dâwûd)
Pada kesempatan lain beliau juga bersabda:

‫ﻦ‬
ِ ‫ﻋﻠَﻰ ِد ْﻳ‬
َ ‫ﻞ‬
ُ‫ﺟ‬ َ ‫ ﻗَﺎ‬ρ ‫ﻲ‬
ُ ‫ل اَﻟﺮﱠ‬ ‫ن اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱠ‬
‫ﻋ ْﻨ ُﻪ َأ ﱠ‬
َ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﻲا‬ َ‫ﺿ‬ ِ ‫ﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة َر‬ ْ ‫ﻦ َأ ِﺑ‬ ْ‫ﻋ‬ َ
351
‫ﻞ‬
ُ ‫ﻦ ُﻳﺨَﺎِﻟ‬
ْ ‫ﺣ ُﺪ ُآ ْﻢ َﻣ‬
َ ‫ﻈ ْﺮ َأ‬
ُ ‫ﺧِﻠ ْﻴِﻠ ِﻪ َﻓ ْﻠ َﻴ ْﻨ‬
َ
Dari Abû Hurairah r.a. sesungguhnya Nabi saw. bersabda: “(Keyakinan)
seseorang itu sesuai dengan agama temannya. Oleh karena itu, (apabila) salah
seorang di antara kalian (ingin mengetahui lebih dalam mengenai seseorang),
maka hendaklah dia melihat siapa yang menjadi sahabat orang tersebut.” (H.R.
al-Tirmidzî dan Abû Dâwûd)
Sedemikian penting dan besarnya pengaruh teman bagi seseorang, pada

akhirnya Syaikh Ibn ‘Atâ’illâh al-Sakandarî (w.709 H.) menyatakan:

352
‫ﷲ َﻣﻘَﺎُﻟ ُﻪ‬
ِ ‫ﻋﻠَﻰ ا‬
َ ‫ﻚ‬
َ ‫ﻻ َﻳ ُﺪﱡﻟ‬
َ ‫ﻚ ﺣَﺎُﻟ ُﻪ َو‬
َ ‫ﻀ‬
ُ ‫ﻻ َﻳ ْﻨ َﻬ‬
َ ‫ﻦ‬
ْ ‫ﺐ َﻣ‬
ْ ‫ﺤ‬
َ‫ﺼ‬ْ ‫ﻻ َﺗ‬
َ
Janganlah kamu bersahabat dengan seseorang yang keadaannya dan
ucapannya tidak membangkitkan dan tidak menunjukkan dirimu kepada Allah.
Menurut Syaikh Ahmad bin Muhammad bin ‘Ajîbah al-Hasani

menjelaskan bahwa keadaan seseorang dikatakan dapat membangkitkan anda

untuk ingat kepada Allah adalah apabila anda melihatnya, niscaya anda akan

ingat kepada Allah. Jika anda dalam kelalaian lalu melihatnya, niscaya anda akan
350
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 3, Kitâb al-Buyû’ Bâb fî al-‘Attâr wa Bay’ al-Misk,
h. 16 & Juz 6, Kitâb al-Dzabâ’ih wa al-Said wa al-Tasmiyah ‘alâ al-Said Bâb al-Misk, h. 231;
Muslim, Sahîh Muslim, Juz 2, Kitâb al-Birr wa al-Silah wa al-Âdâb Bâb Istihbâb Mujâlasah al-
Sâlihîn wa Mujânabah Quranâ al-Sû, h. 446; Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 4, Kitâb al-Âdâb
Bâb Man Yu’maru an Yujâlasa, no. Hadis 4829, h. 259
351
al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 4, Abwâb al-Zuhd Bâb 32, no. Hadis 2484, h. 17;
Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 4, Kitâb al-Âdâb Bâb Man Yu’maru an Yujâlasa, no. Hadis
4833, h. 259; Imam al-Tirmidzî mengatakan bahwa nilai hadis ini adalah hasan
352
Syaikh Ahmad bin Muhammad bin ‘Ajîbah al-Hasani, Īqâz al-Himam, (Beirut: Dr al-
Fikr, t.t.), h. 74

248
tersadar dari kelalaian. Jika anda dalam keadaan gemar beribadah (raghbah) lalu

anda melihatnya, niscaya anda akan tergerak untuk bersikap zuhud. Jika anda

dalam kemaksiatan lalu melihatnya, niscaya anda akan segera bertaubat. Atau

jika anda tidak mengenal Tuhan lalu melihatnya, niscaya anda akan tergerak

untuk berma’rifah kepada-Nya.353

Sedangkan ucapan seseorang dikatakan dapat menunjukkan kepada Allah

adalah seseorang yang berbicara karena Allah, menunjukkan kepada Allah, dan

tersembunyi baginya segala hal selain Allah. Jika ia berbicara, maka ia akan

menghimpun dan menjinakkan hati-hati. Jika dia diam, maka diamnya akan

menggerakkan anda menuju Zat Yang Maha Mengetahui segala yang ghaib.

Keadaannya membenarkan ucapannya, dan ucapannya sesuai dengan ilmu yang

dimilikinya. Oleh karena itu, bergaul dengan jenis orang seperti ini merupakan

cahaya yang sangat mahal harganya.354

Semakin sering seseorang bergaul dengan orang-orang yang buruk

akhlaknya, maka akan semakin mudah terbentuknya tradisi atau kebiasaan buruk

dalam perilaku sehari-hari, sehingga tatkala dia melakukan tindakan

penyelewengan, maka dia merasa tidak ada yang salah dan perlu dirisaukan.

Padahal setiap kali anak manusia berbuat kesalahan, maka akan tercipta satu titik

hitam dalam kalbunya. Begitu pula sebaliknya, jika ia berbuat kebaikan, niscaya

akan tercipta titik putih dalam kalbunya.

‫ﺷ ِﺮ َﺑﻬَﺎ‬
ْ ‫ﺐ ُأ‬
ٍ ‫ي َﻗ ْﻠ‬ ‫ﻋ ْﻮدًا َﻓَﺄ ﱡ‬ُ ‫ﻋ ْﻮدًا‬ُ ‫ﺼ ْﻴ ِﺮ‬
ِ ‫ﺤ‬ َ ‫ب آَﺎ ْﻟ‬
ِ ‫ﻦ ﻋَﻠَﻰ ا ْﻟ ُﻘُﻠ ْﻮ‬ ُ ‫ض ا ْﻟ ِﻔ َﺘ‬
ُ ‫ُﺗ ْﻌ َﺮ‬
‫ﺣﺘﱠﻰ‬ َ ‫ﺖ ِﻓ ْﻴ ِﻪ ُﻧ ْﻜﺘَ ٌﺔ َﺑ ْﻴﻀَﺎ ُء‬
َ ‫ﺐ أَ ْﻧﻜَﺮَهَﺎ ُﻧ ِﻜ‬
ٍ ‫ي َﻗ ْﻠ‬
‫ﺳ ْﻮدَا ُء َو َأ ﱡ‬ َ ‫ﺖ ِﻓ ْﻴ ِﻪ ُﻧ ْﻜﺘَ ٌﺔ‬ َ ‫ُﻧ ِﻜ‬
‫ﺖ‬
ِ ‫ﻀﺮﱡ ُﻩ ِﻓ ْﺘ َﻨ ٌﺔ ﻣَﺎ دَا َﻣ‬
ُ ‫ﻼ َﺗ‬ َ ‫ﺼﻔَﺎ َﻓ‬
‫ﻞ اﻟ ﱠ‬ ِ ‫ﺾ ِﻣ ْﺜ‬َ ‫ﻦ ﻋَﻠَﻰ َأ ْﺑَﻴ‬ ِ ‫ﻋﻠَﻰ َﻗ ْﻠ َﺒ ْﻴ‬ َ ‫ﺼ ْﻴ َﺮ‬
ِ ‫َﺗ‬
353
Ibid
354
Ibid, h. 74-75

249
‫ف‬
ُ ‫ﻻ َﻳ ْﻌ ِﺮ‬
َ ‫ﺨﻴًﺎ‬
‫ﺠﱢ‬
َ ‫ﺳ َﻮ ُد ُﻣ ْﺮﺑَﺎدًّا آَﺎ ْﻟ ُﻜ ْﻮ ِز ُﻣ‬
ْ ‫ﺧ ُﺮ َأ‬
َ ‫ض َواْﻻ‬ ُ ‫ﻻ ْر‬ َ ‫ت َو ْا‬ ُ ‫اﻟﺴﱠﻤﻮَا‬
355
‫ﻦ َهﻮَا ُﻩ‬
ْ ‫ب ِﻣ‬ َ ‫ﺷ ِﺮ‬ْ ‫ﻻ ﻣَﺎ ُأ‬ ‫ﻻ ُﻳ ْﻨ ِﻜ ُﺮ ُﻣ ْﻨ َﻜ ًﺮا ِإ ﱠ‬
َ ‫َﻣ ْﻌ ُﺮ ْوﻓًﺎ َو‬
Berbagai fitnah akan disodorkan pada hati sebagaimana (proses membuat)
tikar sehelai demi sehelai. Hati manapun yang menyerap fitnah, maka akan
ternoda satu titik hitam. Dan hati manapun yang mengingkarinya, maka akan
tertoreh titik putih sehingga permukaan hati tersebut akan sangat putih mirip
dengan batu besar yang mulus. Satu fitnahpun tidak akan bisa menimbulkan
mudharat pada hati tersebut selama langit dan bumi masih ada. Sedangkan hati
yang satunya lagi akan sangat hitam seperti panci (untuk memasak) yang terbalik.
Dia tidak bisa mengetahui sesuatu yang ma’ruf dan tidak mengingkari sesuatu
yang mungkar. (Dia tidak mengetahui) kecuali hawa nafsu yang meresap (ke
dalam hatinya). (H.R. Muslim dan Ahmad dari Hudzaifah)
Jika keadaannya demikian, maka semuanya akan kembali kepada sikap

setiap orang. Akankah dia memilih orang-orang salih sebagai temannya sehingga

akan ikut memutihkan hatinya dan mendapatkan kedekatan dirinya kepada Sang

Khalik, atau ia akan memilih orang-orang yang buruk akhlaknya sebagai teman

yang pada akhirnya akan menghitamkan hatinya dan menjauhkannya dari Allah?

355
Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Îmân Bâb Bayân anna al-Islâm Bada’a
Gharîban wa Saya’ûdu Gharîban, h. 72; Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, Juz 5, h. 386, 405

250
BAB V

PENUTUP

Ternyata, predikat uswah hasanah yang melekat pada diri Rasulullah saw.

dapat difungsikan dalam seluruh sisi kehidupan manusia, termasuk dalam hal

fenomena psikologis yang terjadi pada diri manusia. Menangis sebagai salah satu

fenomena psikologis manusia yang selama ini dipandangn sebagai sebuah

pengalaman yang biasa, menjadi tidak biasa ketika terjadi pada diri beliau.

Berdasarkan penelitian penulis terhadap Hadis-hadis beliau, dapat

dipastikan bahwa tidak ada tangisan beliau yang bernilai buruk. Saat membaca

dan mendengarkan al-Qur’an, acap kali beliau tak mampu membendung tetesan

air mata. Beliau juga sering kali menganjurkan kepada umatnya untuk banyak

menangis dan sedikit tertawa dengan merenungi arti kehidupan. Beliau juga

memotivasi umatnya untuk menangis saat berzikir dalam kesepian. Tangisan-

tangisan seperti inilah yang sarat makna sehingga dianjurkan untuk ditradisikan

dan dihidupkan oleh setiap muslim dalam menjalani hari-hari yang fana.

Sementara itu, dalam tradisi jahiliyah dikenal sebuah kebiasaan dalam

menyikapi kematian, yaitu dengan meraung-raung atau meratapi si mayit secara

berlebihan yang diiringi dengan kata-kata celaka (wail dan tsubur) serta ucapan-

ucapan batil lainnya. Perilaku yang tidak wajar dan telah membudaya ini menjadi

tercela karena dipandang sebagai sebuah sikap yang menggambarkan kondisi

ketidakrelaan atas kematian yang ditangisi. Ini artinya, orang tersebut tidak ridha

dengan keputusan Allah. Padahal, jika kita beriman dan meyakini Allah sebagai

251
Zat Yang Mahabaik dan bijaksana, tidak sepatutnya perilaku tercela itu dilakukan.

Oleh karena itu, Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya mayit itu akan disiksa

disebabkan tangisan keluarganya kepadanya.” (H.R. al-Bukhari). Siksaan itu

terjadi jika si mayit sebelumnya berwasiat untuk ditangisi atau dia tidak melarang

perilaku keluarganya yang tercela itu.

Namun, jika tangisan itu dilakukan secara wajar, dia boleh-boleh saja.

Sebab, tangisan itu dianggap sebagai wujud kasih sayang sesama manusia.

Sedangkan Allah Yang Maha Penyayang akan melimpahkan kasih sayang-Nya

kepada hamba-hamba yang penyayang. Termasuk juga dalam kategori menangis

yang dibolehkan adalah menangis karena melihat kesulitan dan penderitaan orang

lain. Tangisan empati ini dapat mengasah kalbu manusia sehingga menjadi bersih

dan jernih.

Dengan demikian, menangis tidak bebas nilai. Baik dan buruknya nilai

tangisan sangat ditentukan dari motif yang melatarbelakanginya. Jika motifnya

baik, maka tangisannyapun baik. Dan jika motifnya buruk, maka tangisannyapun

buruk.

Oleh karena itu, penulis kembali menegaskan, bahwa tetesan air mata

yang terjadi pada diri Rasulullah saw. adalah karena kelembutan dan kejernihan

hati beliau, dan karenanya bernilai ibadah di sisi Allah. Tangisan beliau adalah

tangisan hamba yang salih (‘abd sâlih). Dengan demikian, menangis adalah salah

satu karakteristik orang-orang yang salih. Sepanjang sejarah, orang-orang yang

salih senantiasa mencucurkan air mata dalam banyak kesempatan.

252
DAFTAR PUSTAKA

Abâdi, Muh. Syams al-Haqq, ‘Aun al-Ma’bûd Syarh Sunan Abî Dâwûd, Beirût:
Dâr al-Fikr, t.t.

Ahmad, Khalîl, Bazl al-Majhûd, Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.

Ali, Attabik, dan Muhdhor, Ahmad Zuhdi, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia,


Yogyakarta: Penerbit Multi Karya Grafika, 1995, Cet.ke-5.

Al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, Beirût: Dâr al-Fikr, 1994.

Arif, Abul Fida M. Izzat, Air Mata Orang-orang Shalih, Jakarta: Penerbit Pustaka
Tazkia, 2004, Cet. Ke-1.

Al-‘Ainî, Badr al-Dîn, ‘Umdah al-Qâri, Beirût; Dâr al-Fikr, t.t.

Al- ‘Asqalânî, Ibn Hajar, Fath al-Bâri Syarh Sahîh al-Bukhârî, Beirût: Dâr al-
Fikr, 1414/1993.

Al-Attâr, Farîduddîn, Warisan Para Awliya, Penerjemah Anas Mahyudin,


Bandung: Penerbit Pustaka, 1983

Al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl fî al-Tafsîr wa al-Ta’wîl, Beirût: Dâr al-Fikr,


1985.

Al-Bâqi, M. Fu’âd ‘Abd, Mu’jam al-Mufahras li Alfâz al-Qur’ân al-Karîm,


Indonesia: Maktabah Dahlan, t.t.

Al-Barr, Ibn ‘Abd, Jâmi’ Bayân al-‘lm wa Fadlih, Beirût: Dâr al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, t.t.

Bastaman, Hanna Djumhana, Meraih Hidup Bermakna: Kisah Pribadi dengan


Pengalaman Tragis, Jakarta: Paramadina, 1996.

Al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Beirût: Dâr al-Fikr, 1986.

Al-Buruswi, Ismail Haqqi, Tafsir Ruhul Bayan (terj.), Bandung: C.V.


Diponegoro, 1998

Al-Dârimî, Sunan al-Dârimî, Kairo: Dâr al-Hadîts, 2000, Cet.ke-1.

253
Dâwûd, Abû, Sunan Abî Dâwûd, Jakarta: Dâr al-Hikmah, t.t.

Effendi, Djohan, Menemukan Makna Hidup, Jakarta: Mediacita, 2001, Cet. Ke-1.

Farid, Ahmad, Al-Bahr al-Râ’iq fî al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, T.tp.: Al-Maktabah al-


Taufîqiyyah, t.t.

Al-Ghazâlî, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, Indonesia: Dâr Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t

Hart, Michael H., Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah,
Jakarta: Pustaka Jaya, 1991, Cet.ke-13.

Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta: Penerbit Tintamas, 1984, Cet. ke-9.

Hamadah, Abbas Mutawalli, Sunnah Nabi saw.: Kedudukannya Menurut Al-


Quran, bandung: Gema Risalah Press, 1997, Cet. ke-2.

Hamka, Tafsir Al Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985

Hanbal, Ahmad bin, Musnad Ahmad, Beirût: Dâr al-Fikr, t.t.

Al-Hasani, Syaikh Ahmad bin Muhammad bin ‘Ajibah, Îqâz al-Himam, Beirût:
Dâr al-Fikr, t.t

Hawwa, Sa’id, Mensucikan Jiwa, Jakarta: Robbani Press, 2003, Cet.ke-3.

Al-Husaini, HMH. Al-Hamid, Baitun Nubuwwah, Bandung:Pustaka Hidayah,


1997, Cet. Ke-3

Ilyas, Ilyas Anton dan Ilyas, Edwar, Qamus Ilyas al-‘Ashrî Arabi Injilîzî, Beirût;
Dâr al-Halb, 1972

Jamal, Ibrahim M., Penyakit Hati, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997, Cet. Ke-2

Al-Jauzi, Ibn, Birrul Walidain, Penerjemah………..Surabaya: Pustaka Progressif,


1993, Cet.ke-1.

Al-Jauzî, Ibn al-Qayyim, Syarh Sunan Abî Dâwûd, Beirût: Dâr al-Fikr, t.t.

_ _ _ _ , Zâd al-Ma’âd fî Hady Khair al-‘Ibâd, Beirût: Mu’assasah al-Risâlah,


1998.

Al-Kandahlawi, Aujaz al-Masâlik, Beirût: Dâr al-Fikr, t.t.

Katsîr, Ibn, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Semarang: Toha Putra, t.t.

Khalid Muh. Khalid, Karakteristik Perihidup Shahabat Rasulullah, Jakarta:


Pustaka Amani, 1997 Cet.ke-1.

254
_ _ _ _ , Muhammad Rasulullah juga Manusia Biasa, Jakarta: Pustaka Firdaus,
1985, Cet.ke-1.

Khalil, Moenawar, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, Jakarta: PT Bulan


Bintang, 1994.

Al-Khatîb, M. ‘Ajjâj, Usûl al-Hadîts ‘Ulûmuh wa Mustalahuh, Beirût: Dâr al-


Fikr, 1989.

Mâjah, Ibn, Sunan Ibn Mâjah, Indonesia: Maktabah Dahlân, t.t.

Al-Malîbari, Zain al-Dîn, Irsyâd al-‘Ibâd ilâ Sabîl al-Rasyâd, Indonesia: Dâr Ihyâ
al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t.

Mâlik, Al-Muwatta, Kairo: Dâr al-Hadîts, 1993, Cet.I.

Ma’luf, Louis, Al-Munjid fî al-Lughah wa al-A’lâm, Beirût: Dâr al-Masyriq, 2002,


Cet.ke-39.

Manzûr, Ibn, Lisân al-‘Arab, Beirût: Dâr al-Fikr, 1990, Cet. ke-1.

Al-Mubârak, ِAbdullâh ibn, Al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, Kairo: Dâr al-‘Aqîdah, 2004,


Cet. I.

Al-Mubârakfûri , Muh. ‘Abdurrahmân, Tuhfah al-Ahwazî, Beirût: Dâr al-Fikr, t.t.

Mujib, Abdul, Apa Arti Tangisan Anda, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.

Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir, Surabaya: Pustaka Progressif,


1997, Cet. Ke-14.

Muslim, Sahîh Muslim, Indonesia: Dâr Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t.

Najati, M. Utsman Najati, Psikologi dalam Tinjauan Hadist Nabi saw., Jakarta:
Mustaqim, 2003, Cet. Ke-1

Al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002, Cet.ke-1.

Al-Nawawî, Syarh al-Arba’în al-Nawawiyah, Surabaya: Maktabah Ahmad bin


Sa’ad bin Nabhân wa Aulâdih, t.t.

_ _ _ _ , Al-Adzkâr, Indonesia: Syirkah Nur Asia, t.t.

_______ , Sahîh Muslim bi Syarh al-Nawawi, Kairo: Dâr al-Hadîts, 1415/1994.

_ _ _ _ , Riyâd al-Sâlihîn, Kairo: Matba’ah al-Istiqâmah, 1939.

Al-Qadir, Syaikh ‘Abd, Percikan Cahaya Ilahi, Penerjemah Arief B. Iskandar,


Bandung: Pustaka Hidayah, 2001.

255
Qaradawi, Yusuf, Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw., Bandung: Penerbit
Kharisma, 1984, Cet. ke-1.

_ _ _ _ , Berinteraksi dengan Al-Qur’an, Jakarta: Gema insani Press, 1999,


Cet.ke-1.

_ _ _ _ , Merasakan Kehadiran Tuhan, Yogyakarta: Penerbit Mitra Pustaka, 2003,


Cet. Ke-7.

Al-Qarni, Aidh, Visualisasi Kepribadian Muhammad saw., Bandung: Penerbit


IBS, 2006.

Al-Qattân, Mannâ’, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Riyâd: Mansyûrât al-‘Asr al-


Hadîts, 1973.

Qudâmah, Ibn , Minhâj al-Qâsidîn, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1997, Cet. I.

_ _ _ _ , Mereka yang Kembali, Penerjemah Abu Ahmad Najieh, Surabaya:


Risalah Gusti, 2000

Al-Qurtubî, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Beirût: Dâr al-Fikr, 1407/1987, Cet.ke-


1.

Qutaibah, Ibn, Ta’wîl Mukhtalaf al-Hadîts, Beirût: Mu’assasah al-Kutub al-


Tsaqâfiyyah, 1988.

Quthb, sayyid, Fi Zhilalil Qur’an, Penerjemah………….. Jakarta: Gema Insani


Press, 2004, Cet. Ke-1

Rakhmat, Jalaluddin, Reformasi Sufistik, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999,


Cet.ke-2.

_ _ _ _ , Meraih Cinta Ilahi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003, Cet.ke-3.

_ _ _ _ , Renungan-renungan Sufistik, Bandung: Penerbit Mizan, 1999, Cet.ke-9.

Al-Râzî, Fakhr al-Dîn, Mafâtih al-Ghaib, Beirût: Dâr al-Fikr, 1983.

Sabiq, Sayid, Aqidah Islam, Penerjemah................Bandung: CV Diponegoro,


1999.

Al-Sâbûnî, M. Ali, Safwah al-Tafâsîr, Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islamiyyah, 1999,


Cet.ke-1.

Al-Sa’îd, Khumais, Menangislah Sebagaimana Rasulullah saw. dan Para


Sahabat Menangis, Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 1426/2005.

Al-Ta’labi, Qisas al-Anbiyâ, Beirût: Dâr al-Fikr, tth., Cet.ke-4.

Al-Sakhâwi, Al-Maqâsid al-Hasanah, Beirût: Dar al-Hijrah, 1986.

256
Schimmel, Annemarie, Dan Muhammad adalah Utusan Allah, Bandung: Penerbit
Mizan, 2000, Cet. Ke-7.

Shahab, Idrus, Sesungguhnya Dialah Muhammad, Bandung: Pustaka Hidayah,


2004, Cet.ke-3.

Shaleh, Asbabun Nuzul, Bandung: Penerbit C.V. Diponegoro, 1984.

Shihab, M. Quraish, Menyingkap Tabir Ilahi, Ciputat: Penerbit Lentera hati, 2001,
Cet. Ke-4.

_ _ _ _ , Tafsir Al-Mishbah, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 1423/2002

_ _ _ _ , h , Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997, Cet.


Ke-2

_ _ _ _ , Wawasan Al-Quran, Bandung: Penerbit Mizan, 1996, Cet. Ke-1

Al-Sibâ’î, Mustafa, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam,


Penerjemah Dr. Nurcholis Madjid, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1001

Al-Siddîqî, Muhammad bin ‘Allân, Dalîl al-Fâlihîn, Beirût: Dâr al-Fikr, t.t.

As-Sinjari, Abdurrahman, et.al., Menangis karena Takut pada Allah, Jakarta:


Pustaka AL-Kautsar, 2005, Cet. Ke-14.

Al-Suyûti, Syarh Sunan al-Nasâ’î, Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.

Suyuti, Ahmad, Percik-percik Kesucian, Jakarta: Pustaka Amani, 1996.

Syahbah, Muh. Abû, Fî Rihâb al-Sunnah al-Kutub as-Sihhah al-Sittah, Mesir:


Majma’ al-Buhûts al-Islâmiyyah, 1969, Cet.ke-8.

Syarif,M.M., Advent of Islam, Fundamental Teaching of The Qur’an (terj.),


Bandung: Penerbit Mizan, 1997, Cet.ke-8.

Al-Tabarî, Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr, Târîkh al-Umam wa al-Mulûk,


Beirût: Dâr al-Fikr, 1987, Cet.I.

Al-Tabarsî, Majma’ al-Bayân, Beirût: Dâr al-Fikr, 1414/1994.

Al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Indonesia: Maktabah Dahlân, t.t.

Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002,
Cet. Ke-2.

Usman, Muhammad, Al-Quran dan Psikologi, Jakarta: Aras Pustaka, 2001, Cet.
Ke-1.

Al-Wâhidî, Asbâb al-Nuzûl, Beirût: Dâr al-Fikr, 1994.

257
Yahya, Harun, Moralitas Al-Qur’an, Jakarta: Robbani Press, 2002.

Yaqub, Ali Mustafa, Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka firdaus, 1996, Cet. Ke-2.

Zuhaili, Wahbah, Al-Tafsîr al-Munîr , Beirût: Dâr al-Fikr, 1991.

258
259

Anda mungkin juga menyukai