DISUSUN OLEH:
PROGRAM PASCASARJANA
1
Marliza Oktapiani, “Tingkat Kecerdasan Spiritual Dan Kemampuan Menghafal Al-Qur’an,”
Tahdzib Al-Akhlaq: Jurnal Pendidikan Islam 3, no. 1 (2020): 95–108.
orang lain, sehingga akan terjalin hubungan yang positif. 2 Dengan demikian,
kecerdasan emosional menjadi sesuatu yang penting untuk dimiliki seseorang sebagai
pengendalian diri dalam menjaga keselarasan emosi. Ketika santri mempunyai
kecerdasan emosional yang baik (positif), maka akan berpengaruh baik pula pada
kemampuan menghafal Al-Qur’an santri. Kemudian faktor yang erat kaitannya
dengan proses Tahfiz Al-Qur’an ialah Kecerdasan Spiritual. Kecerdasan Spiritual
secara eksplisit memiliki korelasi terhadap Pendidikan Tahfiz Al-Qur’an. Fungsi
edukasi yang dimiliki oleh pesantren berkaitan erat dengan kecerdasan menanggulangi
masalah (AQ) dan kecerdasan emosi (EQ) yang dimiliki oleh santri.
Maka dari uraian di atas mengenai kecerdasan menanggulangi masalah (AQ) dan
kecerdasan emosi (EQ) yang dimiliki oleh santri Penghafal Al-Qur’an, peneliti tertarik
meneliti tentang Pengaruh Adversity Quotient dan Emosional Quotient terhadap
Pembelajaran Al-Qur’an di Pesantren Tahfidz Qur’an Fajrussalam. Peneliti
ingin melihat bagaimana pengaruh Pengaruh Adversity Quotient dan Emosional
Quotient terhadap santri Penghafal Al-Qur’an.
2
Zamzami Sabiq, “Kecerderdasan Emosi, Kecerdasan Spiritual Dan Perilaku Prososial Santri
Pondok Pesantren Nasyrul Ulum Pamekasan,” Persona:Jurnal Psikologi Indonesia 1, no. 2 (2012).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh Adversity Quotient terhadap Pembelajaran Al-Qur’an
di pesantren tahfidz Qur’an Fajrussalam ?
2. Bagaimana pengaruh Emosional Quotient terhadap Pembelajaran Al-Qur’an
di pesantren tahfidz Qur’an Fajrussalam?
3. Bagaimana pengaruh Adversity Quotient dan Emosional Quotient terhadap
Penghafal Al-Qur’an ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengukur pengaruh Adversity Quotient terhadap Pembelajaran Al-
Qur’an di pesantren tahfidz Qur’an Fajrussalam.
2. Untuk mengukur pengaruh Emosional Quotient terhadap Pembelajaran Al-
Qur’an di pesantren tahfidz Qur’an Fajrussalam.
3. Untuk mengukur pengaruh Adversity Quotient dan Emosional Quotient
terhadap Pembelajaran Al-Qur’an di pesantren tahfidz Qur’an Fajrussalam.
D. Defenisi Operasional
1. Kecerdasan Menanggulangi Masalah (Adversity Quotient)
Menurut Stoltz, adversity quotient merupakan kemampuan yang dimiliki
seseorang dalam mengalami kesulitan dan mengolah kesulitan tersebut dengan
kecerdasan yang dimiliki sehingga menjadi sebuah tantangan untuk diselesaikan.
Adversity quotient memberi tahu seberapa jauh anda mampu bertahan untuk
menghadapi kesulitan, meramalkan siapa yang mampu mengatasi kesulitan,
meramalkan siapa yang akan melampaui potensi kinerjanya, dan meramalkan
siapa yang akan menyerah dan siapa yang bertahan.3 Adversity quotient terdiri
atas empat aspek; control, origin-ownership, reach dan endurance (CO2RE).4
Dari beberapa uraian tentang aspek-aspek adversity quotient di atas, dapat
disimpulkan bahwa setiap manusia tidak akan terlepas dari beragam macam
kesulitan dalam kehidupan, tentunya diperlukan niat yang kuat, optimis dan
tanggung jawab untuk mengatasi setiap kesulitan yang ada. Dengan demikian,
3
Paul G. Stoltz, “Adversity Quotient; Mengubah Hambatan Menjadi Peluang”, terj. T.
Hermaya, judul asli Adversity Quotient; Turning Obstacles into Opportunities,cet ke 7 (Jakarta: PT
Grasindo, 2007), 7.
4
Ibid., 140.
betapa besarnya kesulitan dan permasalahan dalam hidup, tidak akan menjadikan
hal tersebut sebagai penghalang untuk meraih kesuksesan dalam hidup,
kesuksesan dunia dan akhirat.
3. Pembelajaran Al-Qur’an
5
Daniel Goleman, Working With Emotional Intelligence, terj., Alex Tri Kantjono Widodo,
(Jakarta: Gramedia utama, 2005) cet vi, 512.
6
Sayyid Mukhtar Abu Syadi, Adab-Adab Halaqah Al-Qur’an, (Solo: Aqwam, 2015), 56.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pembelajaran Al-Qur’an
1. Pengertian Pembelajaran Al-Qur’an
Pembelajaran berasal dari kata “belajar” yang mendapat awalan “pe” dan
akhiran “an”. Imbuhan “pe” dan “an” ter masuk konfiks nominal yang bertalian
dengan perfiks verbal “me” yang mempunyai arti proses. 1
Belajar adalah suatu aktivitas yang dilakukan seseorang dengan sengaja dalam
keadaan sadar untuk memperoleh suatu konsep, pemahaman, atau pengetahuan
baru sehingga memungkinkan seseorang terjadinya perubahan perilaku yang
relative tetap baik dalam berfikir, merasa, maupun dalam bertindak.2
Belajar adalah suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman,
maka keberhasilan belajar terletak pada adanya perubahan. Dari definisi diatas
dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri belajar sebagai berikut:
1
DEPDIKBUD RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2016). hal.
664
2
Ahmad Susanto. Teori Belajar dan Pembelajaran Di Sekolah Dasar. (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2016). hal. 4
3
Dina Gasong. Belajar dan Pembelajaran.(Yogyakarta: CV. Budi Utama, 2018). hal. 67
lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar
dengan baik.4
Jadi dari kedua pengertian diatas, maka yang dimaksud dengan pembelajaran
Al-Qur’an adalah suatu proses untuk memperoleh pengetahuan tentang segala
sesuatu yang ada di dalam Al-Qur’an sehingga mampu menguasai segala hukum-
hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an serta senantiasa menjadikan hukum tersebut
sebagai landasan hidup sehari-hari.
Ada beberapa tahap yang dapat diterapkan untuk menghafal Al-Qur’an agar
hafalan mudah lengket dan tidak muda lupa yaitu:6
Tidak bisa dipungkiri, bila kita ingin dimuliakan oleh Allah dengan Al-Qur'an,
kita juga harus memuliakan Al-Qur’an. Karena Al-Qur’an menjadi ukuran bagi
Allah untuk memuliakan atau merendahkan seseorang atau suatu kaum. Bentuk
memuliakan Al-Qur’an di antaranya adalah dengan memperhatikan adab-adab
terhadap Al-Qur’an. Di sisi lain, dengan kita memperhatikan adab-adab tersebut,
4
Ahmad Susanto. Teori Belajar dan Pembelajaran…... hal 19
5
Abdul Hamid. Pengantar Studi Al-Qur’an….. hal. 29
6
Arham bin Ahmad Yasin, Agar Sehafal Al-Fatihah Trik dan Tips Jitu Menghafal
AlQur’an Sekuat Hafalan Al-Fatihah (Bogor: Hilal Media, 2014), hal. 51-56
kita akan mudah mendapatkan keberkahan dalam aktivitas menghafal Al-Qur’an.
Adapun adab-adab berinteraksi dengan Al-Qur’an antara lain sebagai berikut:7
b. (At Tadwir) : Membaca dengan kecepatan sedang tidak cepat dan tidak
lambat/antara hadr dan tahqiq.
7
Iwan Agus Supriono, Implementasi Kegiatan Menghafal Al-Qur’an, h. 76.
8
Arham bin Ahmad Yasin, Agar Sehafal Al-Fatihah, h. 75.
c. (At Tahqiq) : Membaca dengan lambat.9
Jika tidak khawatir riya’ dengan mengeraskan dan meninggikan suara, maka
mengeraskan dan meninggikan suara lebih utama. Karena amal didalamnya lebih
banyak, dan karena manfaatnya juga berdampak kepada orang lain. Manfaat yang
juga berdampak kepada orang lain lebih utama daripada hanya untuk dirinya. 10
5. Menghafal Ayat Per Ayat Halaman atau Surat Yang Hendak Dihafal
Misalnya anda mau menghafal setengah halaman pertama dari Surat An-Naba’
(ayat 1 sampai 15). Setelah anda baca berulang-ulang secara utuh dari ayat pertama
sampai terakhir (dengan ketentuan yang sudah diterangkan pada poin-poin
sebelumnya), Anda boleh mulai menghafal ayat pertama: Serelah lancar tanpa
melihat tulisan, maka lanjut menghafal ayat ke-2, setelah ayat ke-2 lancar, maka
kita sambung dengan ayat pertama (tanpa melihat tulisan), baru kita lanjut
menghafal ayat ke-3, setelah ayaat ke-3 lancar, maka kita sambung ayat pertama
dan ke-2, kemudian kita lanjutkan menghafal ayat ke-4, setelah ayat ke4 lancar
maka kita sambung dengan ayat pertama, ke-2 dan ke-3, demikian seterusnya.
Hafalan baru harus menjadi hafalan yang benar-benar kuat, tidak boleh ada
kesalahan sedikit pun, tidak ada keraguan, tidak terbata-bata dan tidak tersendat-
sendat. Untuk itu, setelah kita selesai menghafal satu halaman atau satu surat
sebagaimana diterangkan pada poin sebelumnya, hafalan tersebut segera kita “ikat”
sebaik-baiknya dengan segera kita ulang terus-menerus hingga kuat. Sebab, jika
hafalan baru kita biarkan dalam kondisi yang tidak kuat, ibarat buruan yang belum
jinak, keamanannya belum terjamin. Idealnya ketika baru selesai menghafal sesuai
target, ia harus segerah diulang minimal 5 kali atau lebih saat itu juga. Mengulang-
9
Abdul Aziz Abdul Rauf, Kiat Sukses Menjadi Hafizh Al_Qur’an Da’iyah, (Bandung: PT.
Syamil Cipta Media, 2004), h. 49
10
Moh. Khoeron, Pola Belajar dan Mengajar Para Penghafal Al-Qur’an Huffaz, Widyariset,
Vol. 15 No.1, (April 2012), h. 191.
ulang hafalan yang pernah disetorkan kepada guu saat proses pembelajaran,
Kemudian diulang-ulang lagi dalam beberapa waktu yang berdekatan secara merata
dihari tersebut.11
8. Memperbanyak Muraja’ah
Mengulang atau muraja’ah hafalan adalah hal yang sangat penting dalam
menjaga hafalan. ia menjadi senjata atau benteng untuk mempertahankan hafalan.
Muraja’ah adalah proses yang wajib dilakukan oleh setiap penghafal Al-Qur’an.
Tanpa muraja’ah, hafalan mudah lepas atau bahkan hilang dari ingatan. Idealnya,
hafalan yang baru diulang secara keseluruhan beberapa kali pada hari itu juga.
Yakni ketika kita menghafalkannya, hafalan tersebut selalu diulang-ulang sampai
beberapa kali setiap harinya.13
11
Fithriani Gade, Implementasi Metode Takrar Dalam Pembelajaran Menghafal Al-Qur’an,
Jurnal Ilmiah Vol. 14 No. 2, (Februari 2014), h. 421.
12
Supriono, Implementasi Kegiatan Menghafal Al-Qur’an Siswa di LPTQ Kabupaten Siak,
Jurnal Isema Vol. 4, No. 1, (Juni 2019): h. 61.
13
Arham bin Ahmad Yasin, Agar Sehafal Al-Fatihah, h. 121.
satu halaman terdiri dari 15 baris dan satu juz terdiri dari 10 lembar atau (20
halaman). Mayoritas penghafaal menggunakan model ini, sehingga bila anda
berbeda sendiri kadang kala akan menyulitkan saat berinteraksi dengan yang lain.
Misalnya saat setoran hafalan, sima’an, muraja’ah bersama dan lainnya. Mushaf
model ini juga akan memudahkan kita dalam menentukan atau merinci target
hafalan dan muraja’ah, dengan menetapkan satu mushaf standar Al-Qur’an dapat
memudahkan kita untuk mengingat bacaan pojok kiri kanan atasnya 14
10. Memanfaatkan Setiap Kesempatan Dengan Baik dan Tidak Kalah Dengan
Rasa Jenuh
Tidak bisa dipungkiri, kadang kala muncul rasa jenuh atau bosan, terutama bagi
yang menghafal Al-Qur’an secara mandiri, Jika ada rasa jenuh, biasanya pikiran
suka buntu atau mentok. Dalam hal ini janganlah kita kalah dengan rasa jenuh dan
bosan tersebut. Mungkin saja, ini adalah godaan setan untuk melemahkan semangat
kita dan kalau sudah terhenti akan berat untuk memulai kembali. Untuk itu kita
berusaha meman-faatkan waktu-waktu kosong untuk membaca hafalan yang telah
kita hafal. Misalnya, waktu antara azan dan iqamah, menunggu khatib naik ke atas
mimbar, menunggu kendaraan, naik kendaraan, menunggu acara atau janji yang
molor waktunya, atau menunggu antrean. Lebih utama lagi momen-momen
istimewah, seperti selama bulan ramadhan, menunggu waktu subuh setelah sahur,
menunggu buka puasa dan lain-lain.
Salah satu kriteria seorang muslim yang baik menurut Allah dan Rasul-nya
adalah meninggalkan hal-hal yang sia-sia, apalagi yang dimakruhkan, lebih-lebih
yang diharamkan. Bagi para penghafal Al-Qur’an, banyak melakukan hal yang sia-
sia akan memnyebabkan hati dan pikiran menjadi lembek dan manja, serta sulit
untuk berkonsentrasi. Akhirnya menghafal Al-Qur’an pun teras berat. Padahal
menghafal perlu perhatian khusus. Seperti, banyak melamun, bengong, suka
14
Ahmad Baduwailan, Menjadi Hafizh Tips dan Motivasi Menghafal Al-Qur’an, (Solo:
Media Profetika), 2016, h. 42.
bergurau, banyak tidur, nganggur, atau banyak melakukan hal sia-sia lainnya.Kalau
perbuatan yang sia-sia atau tidak berfaedah saja begitu besar pengaruhnya, apalagi
perbuatan yang dilarang, Disamping jelas akan mendapatkan dosa, dan perbuatan
maksiat bisa menjadi penghalang hati untuk menghafal Al-Qur’an.
Al-Qur’an adalah kalamullah, Allah pula yang berkuasa untuk menjadikan Al-
Qur’an ada di dada kita. Jangan lupa berdo’a kepada Allah agar dimudah untuk
menghafal/membaca Al-Qur’an.15
a. Metode Wahdah
Metode Wahdah adalah suatu siswanya yang menghadap satu persatu ayat
demi ayat yang hendak dihafalnya. Untuk mencapai hafalan awal, setiap ayat bisa
dibaca sebanyak sepuluh kali, atau dua puluh kali, atau lebih sehingga proses ini
mampu membentuk pola dalam bayangannya. Dengan demikian penghafal akan
mampu menkondisikan ayat-ayat yang dihafalkannya bukan saja dalam
bayangannya, akan tetapi hingga benar-benar membentuk gerak refleks pada
lisannya. Setelah benar-benar hafal barulah dilanjutkan pada ayat-ayat berikutnya
dengan cara yang sama, demikian seterusnya hingga mencapai satu muka.16
b. Metode Sima’i
Metode Sima’i adalah mendengar. Yang dimaksud dengan metode ini ialah
mendengarkan sesuatu bacaan untuk dihafalkannya. 17 Metode ini sangat efektif
bagi penghafal yang punya daya ingat ekstra, terutama bagi penghafal tunanetra,
15
Wiwin Awaliayah Wahid, Cara Cepat Bisa Menghafal Al-Qur’an, (Jogjakarta: Diva
Press, 2012), h. 41.
16
Fatimah Rahma, Metode Tahfidzul Al-Qur’an di Rumah Tahfiz Miftahul Jannah, Medan:
Restekdik, Jurnal Bimbingan dan Konseling, Vol 4, No.1, 2019, h.15.
17
Muthoifin, Metode Pembelajaran Tahfiz Al-Qur’an di Madrasah Aliyah Tahfiz Nurul
Iman Karanganyar dan Madrasah Aliyah Al-Kahfi Surakarta, Jurnal Studi Islam Vol. 17, No. 2,
(Desember 2016): h. 34.
atau anak-anak yang masih dibawah umur yang belum mengenal tulis baca Al-
Qur’an. Metode ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu:
c. Metode Kitabah
Metode Kitabah adalah dengan cara menulis. Pada metode ini penulis terlebih
dahulu menulis ayat-ayat yang akan dihafalnya pada secarik kertas yang telah
disediakan untuknya. Kemudian ayat-ayat tersebut dibacanya hingga lancar dan
benar bacaannya, lalu dihafalkannya.
d. Metode Gabungan
Metode ini merupakan metode gabungan antara metode wahdah dan metode
kitabah. Hanya saja kitabah (menulis) disini lebih memiliki fungsional sebagain uji
coba ayat-ayat yang telah dihafalnya.
e. Metode Jama’
Metode Jama’ adalah cara menghafal yang dilakukan secara seksama yakni
ayat-ayat yang dihafal dibaca secara kolektif, atau bersama-sama, dipimpin oleh
seorang instruktur. Instruktur membacakan satu ayat atau beberapa ayat dan santri
menirukan secara bersama-sama. Setelah ayat-ayat itu dapat mereka baca dengan
baik dan benar, selanjutnya mereka mengikuti bacaan dengan sedikit demi sedikit
mencoba melepaskan mushaf (tanpa melihat mushaf).18
f. Metode Talaqqi
18
Ahsin Sakho Muhammad, Bimbingan Praktis Menghafal Al-Qur’an, (Jakarta: Qaf Media
Ktrativa, 2017), h. 20-21.
Metode Talaqqi berasal dari kalimat “laqia” yang berarti berjumpa, yang
dimaksud berjumpa adalah bertemu antara murid dengan guru. Talaqqi adalah salah
satu metode pengajaran peninggalan Rasullah SAW. dilihat dari sistem
mengajarnya, terdapat dua macam kategori mengajar dengan metode talaqqi.
Pertama, seorang guru membaca atau menyampaikan ilmunya didepan muridnya
sedangkan para murid menyimaknya, yang mungkin di akhiri dengan pertanyaan.
Kedua, murid membaca didepan guru lalu guru membenarkan jika terdapat
kesalahan.19
B. Adversity Quotient
1. Pengertian Adversity Quotient
19
Rima Nurkarima, Analisis pengelolaan pembelajaran tahsin dan Tahfiz Al-Qur’an dengan
Metode Talaqqi di Kelas VIII SMPIT Qordova Rancaekek Bandung, h. 166.
20
Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, (Bandung: Alfabeta, 2005), cet.I, hal.12
21
J.P Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, terj. Kartini Kartono, judul asli, Dictionary of
Psychology (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hal. 253
22
Achmad Mubarok, Psikologi Qur’ani (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), hal. 71
seperti ungkapan beberapa psikolog “Human differences have enormous social and
political implications, intelligence is one of the most important human differences,
and tests reveal them”,23 namun pada perkembangannya kecerdasan mendapatkan
tempat tersendiri pada aspek emosional, spiritual dan agama karena kehidupan
manusia tidak hanya bertumpu pada struktur akal saja.
Setiap manusia tentu memiliki permasalahan dalam hidupnya, baik itu masalah
yang bersifat internal maupun eksternal. Kesulitan yang datang cenderung
memberikan rasa pahit, emosi yang cenderung labil dan lain sebagainya. Menurut
Stoltz, adversity quotient memberi tahu seberapa jauh anda mampu bertahan untuk
menghadapi kesulitan, meramalkan siapa yang mampu mengatasi kesulitan,
meramalkan siapa yang akan melampaui potensi kinerjanya, dan meramalkan siapa
yang akan menyerah dan siapa yang bertahan. Menurut Ancok, adversity quotient
menjelaskan tentang kemampuan seseorang untuk bertahan dalam
kesulitan.24Sementara Venkatesh menyatakan, adversity quotientis a new
conceptual framework for understanding and enhancing all facets of success.25
23
Stephen Murdoch, IQ: A Smart History of a Failed Idea (Canada: John Wiley & Sons, Inc,
2007), hal. 171
24
Musthofa dan Djamaludin Ancok, “The Correlation Between Decision Bias with Adversity
Quotient and Anchor in Decision Making,” Sosiosains Vol. 18 No. 2 (2005), 180.
25
J. Venkateshand others, eds. “Adversity Quotient and Resilient HR Culture: A Succes
Strategy for Organizations,” Intenationl Journal of Scientific Research and Management (IJSRM)
Vol. 2 Issue. 8 (2014),1237.
26
Michele M. Tugadeand others, eds. “Psychological Resilience and Positive Emotional
Granularity: Examining the Benefits of Positive Emotions on Coping and Health,” Journal of
Personality Vol. 72 No. 6 (2004), 1161-1190.
dalam hal menyikapi dan mengatasi pelbagai ujian, kesulitan dan cobaan dalam
hidup.
Ada dua isyarat yang disampaikan oleh Rasulullah berkenaan hadist di atas,
pertama, memohon perlindungan, meminta bantuan dan berniat hanya karena
Tuhan setiap akan melaksanakan aktivitas sehari-hari. Isyarat kedua, jangan merasa
lemah dengan keadaan yang mendatangkan kesulitan, karena sesungguhnya setiap
ada kesulitan pasti ada atau disertai dengan kemudahan dan jangan bersedih hati
disaat kesulitan terus datang menerpa serta juga jangan lemah karena Tuhan sangat
dekat dengan manusia. Dengan demikian, antara faktor kebebasan “the freedom of
will” dan faktor yang bersifat transendental mesti sejalan atau seimbang. Hal inilah
yang menghantarkan setiap individu untuk tetap menjaga niat karena Tuhan,
bermujahadah, sabar, ikhlas dan berdo’a setiap melakukan aktivitas.
Daun : Kinerja
Hal yang harus dicermati dalam perumpamaan ini adalah faktor kunci bagi
kesuksesan dalam mengatasi pelbagai kesulitan, ujian dan cobaan dalam hidup
yaitu manusia. Menurut penulis, pelbagai faktor yang diilustrasikan oleh Stoltz
ekuivalen dengan Psikologi Humanistik yang optimistik-kreatif-aktif. Hal ini
selaras dengan Baharuddin, bahwa menjadi persoalan jika manusia menjadi satu-
satunya dimensi yang menentukan sikap manusia. Karena, ada dimensi lain yang
berperan dalam menentukan sikap manusia, dimensi ruh dan fitrah. Oleh karena itu,
pelbagai faktor tersebut idealnya yang menjadi zat hara adalah keimanan. Dengan
iman yang kuat, tulus, totalitas dan sadar manusia mampu mengoptimalkan
pelbagai potensi yang telah Tuhan anugerahkan, hal ini mengindikasikan adanya
hubungan yang sangat erat sekali antara Tuhan dengan manusia.
Menurut Azad yang dikutip oleh Mohsen dan rekan- rekannya, bahwa
kurangnya keyakinan terhadap agama dan keimanan akan menyebabkan atau
mendukung permasalahan, kesulitan, kecemasan dan ketidakbahagiaan pada
manusia.
C. Kecerdasan Emosional
1. Pengertian Kecerdasan Emosional
Kecerdasan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata cerdas
yang ditambah imbuhan di awal ke- dan imbuhan di akhir -an. Sehingga kecerdasan
adalah perbuatan yang mencerdaskan; kesempurnaan perkembangan akal budi
(seperti kepandaian dan ketajaman pikiran). Sedangkan menurut Binet kecerdasan
adalah kemampuan untuk menetapkan dan mempertahankan suatu tujuan, untuk
mengada- kan penyesuaian dalam rangka mencapai tujuan itu dan untuk bersikap
kritis terhadap diri sendiri. Kecerdasan merupakan bakat tunggal yang
dipergunakan dalam situasi menyelesaikan masalah apa pun. Seseorang yang tidak
bisa memecahkan masalah atau persoalan semudah-mudahnya juga memiliki
inteligensi hanya tarafnya yang rendah. Oleh karena itu, kecerdasan pada
hakikatnya merupakan suatu kemampuan dasar yang bersifat umum untuk
memperoleh suatu kecakapan yang mengandung berbagai komponen.27
Menurut Sudarsono emosi adalah suatu keadaan yang komplek dari organism
seperti tergugahnya perasaan yang disertai dengan perubahanperubahan dalam
organ tubuh yang sifatnya luas, biasanya ditambahi dengan perasaan yang kuat
yang mengarah kesuatu bentuk tingkah laku atau perilaku tertentu. Erat
hubungannya dengan kondisi tubuh, denyut jantung, sirkulasi darah, pernafasan,
dapat diekspresikan seperti tersenyum, tertawa, menangis, dan dapat merasakan
sesuatu seperti merasa senang, merasa kecewa.
27
Firdaus Daud, Pengaruh Kecerdasan Emosional Dan Kegiatan Belajar Terhadap Hasil
Belajar Biologi Siswa SMA N 3 Kota Palopo. (Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Vol 19, No
2, Oktober 2012)
28
Firdaus Daud, Pengaruh Kecerdasan Emosional Dan Kegiatan Belajar Terhadap Hasil
Belajar Biologi Siswa SMA N 3 Kota Palopo. (Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Vol 19, No 2,
Oktober 2012), 247.
29
Daniel Goleman, Working With Emotional Intelligence, terj,Alex Tri kKantjono
Widodo, (Jakarta: Gramedia utama, 2005) cet vi, 512.
mengenali emosi diri, kedua; kemampuan mengelola emosi diri, ketiga;
kemampuan memotivasi diri ketika menghadapi kegagalan atau rintangan dalam
mencapai keinginan, keempat; kemampuan mengenali emosi orang lain, dan
kelima: kemampuan membina hubungan dengan sosialnya.
berikut :
c. Motivasi Diri
Motivasi merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam aspek
kehidupan manusia, demikian juga para peserta didik mau melakukan sesuatu
bilamana berguna bagi mereka untuk melakukan tugas-tugas pekerjaan sekolah.
30
Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar Umum Psikologi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996),
cet vii, 77.
31
M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis Praktis, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2000), cet, xii, 72.
a. Lingkungan fisik, yaitu meliputi segala sesuatu dari molekul yang
ada di sekitar janin sebelum sampai kepada rancangan arsitektur rumah,
seperti rumah tumbuh-tumbuhan air, iklim dan hewan.
b. Lingkungan sosial, yaitu meliputi seluruh manusia secara potensial
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh individu. Lingkungan sosial
ini dibagi menjadi tiga macam:
i. Lingkungan keluarga
Dalam arti luas, keluarga meliputi semua pihak yang ada hubungan
darah atau keturunan yang dapat dibandingkan dengan marga. Keluarga sangat
berperan dalam upaya mengembangkan pribadi anak. Kasih sayang dan
pendidikan agama maupun sosial budaya dari orang tua merupakan faktor
esensial dalam mempersiapkan anak menjadi pribadi sehat.
Keluarga yang bahagia merupakan suatu hal yang sangat penting bagi
perkembangan emosi para anggotanya (terutama anak). Kebahagiaan ini
diperoleh apabila keluarga dapat memerankan fungsi edukatifnya secara baik.
Fungsi dasar keluarga adalah memberikan rasa memiliki, rasa aman, kasih
sayang dan mengembangkan hubungan yang baik diantara anggota keluarga.
Keluarga merupakan faktor penentu (determinant faktor) yang sangat
mempengaruhi kualitas generasi yang akan datang. Keluarga yang berpegang
pada nilai-nilai yang luhur akan menghasilkan generasi yang sehat. Hal ini
disebabkan oleh keluarga terutama orang tua merupakan model pertama dan
terdepan bagi anak dan merupakan pola bagi way of life anak.32
ii. Lingkungan sekolah
Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang membantu siswa agar
mampu mengembangkan potensinya baik yang menyangkut aspek moral, spiritual,
intelektual, emosional, maupun sosial. Cara seorang guru menangani kelasnya
sudah bisa merupakan contoh keterampilan emosional, sebagai contoh di sekolah
New Haven untuk mengajarkan kecerdasan emosional guru menggunakan teknik
32
Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung :Remaja
Rosdakarya, 2000), cet.1, 34-47.
juru damai yang dikirimkan untuk menjadi penengah diantara murid-murid yang
berkelahi.
Keberhasilan guru mengembangkan kemampuan peserta didik mengendalikan
emosi akan menghasilkan perilaku yang baik.
Terdapat dua keuntungan kalau sekolah berhasil mengembangkan kemampuan
siswa dalam mengendalikan emosi. Pertama, emosi yang terkendali akan
memberikan dasar bagi otak untuk dapat berfungsi secara optimal. Kedua,
emosi yang terkendali akan menghasilkan perilaku yang baik.
iii. Teman sebaya
Teman sebaya sebagai lingkungan sosial bagi remaja mempunyai peranan yang
cukup penting bagi perkembangan kepribadiannya. Dari kelompok teman sebaya,
remaja belajar tentang:
1) Bagaimana berinteraksi dengan orang lain.
2) Mengontrol tingkah laku sosial.
3) Mengembangkan keterampilan dan minat yang relevan
dengan usianya.
4) Saling bertukar perasaan dan masalah.
4. Unsur-unsur dalam Kecerdasan Emosi
Kecerdasan emosional terdiri dari lima unsur yaitu,sebagai berikut:
a. Kesadaran diri (self awarrnness)
Kesadaran diri emosional merupakan pondasi semua unsur kecerdasan
emosional, langkah awal yang penting untuk memahami diri sendiri dan untuk
berubah, sudah jelas bahwa seseorang tidak mungkin bisa mengendalikan sesuatu
yang tidak ia kenal.33 Ada tiga kemampuan yang merupakan ciri kesadaran diri
yaitu:
1) Kesadaran emosi, yaitu mengenali emosi diri sendiri dan
mengetahui bagaimana pengaruh emosi tersebut terhadap
kinerjanya.
33
Steven J.stein and Howard E.Book, Ledakan EQ:15 Prinsip Dasar kecerdasn
Emosional Meraih Sukses,terj.Trinanda Rainy Januarsari dan Yudhi Murtanto, (Bandung: Kaifa,
2003). Cet IV, 75.
2) Penilaian diri secara teliti, yaitu mengetahui kekuatan dan
batasbatas diri sendiri, memiliki visi yang jelas tentang mana
yang perlu diperbaiki dan kemampuan untuk belajar dari
pengalaman.
3) Percaya diri yaitu keberanian yang datang dari keyakinan
terhadap harga diri kemampuan sendiri.
b. Pengaturan diri (self regulation)
Pengaturan diri adalah kemampuan mengelola kondisi, impuls (dorongan hati) dan
sumber daya sendiri. Tujuannya adalah keseimbangan emosi bukan menekan dan
menyembunyikan gejolak perasaan dan bukan pula langsung
mengungkapkannya.34
Ada lima kemampuan utama pengaturan diri yang merupakan indikator
cerdas emosi, yaitu:
1) Kendali diri yaitu menjaga agar emosi dan impuls yang
merusak tetap terkendali. Dapat dipercaya, yaitu menunjukkan
kejujuran dan integritas.
2) Kewaspadaan yaitu dapat diandalkan dan bertanggung
jawab dalam memenuhi kewajiban .
3) Adaptabilitas, yaitu keluwasan dalam menghadapi
perubahan dan tantangan .
4) Inovasi, yaitu bersikap terbuka terhadap gagasan-gagasan,
pendekatan- pendekatan dan informasi baru.
c. Motivasi (Motivation)
Motivasi adalah kecendrungan emosi yang mengantar atau memudahkan peraihan
sasaran. Ada empat kecakapan utama dalam memotivasi diri yaitu:
1) Dorongan berprestasi, yaitu dorongan untuk menjadi lebih
baik atau memenuhi standar keberhasilan.
2) Komitmen, yaitu menyelaraskan diri dengan sasaran
kelompok atau lembaga.
34
Harry Alder,Boost Your intelligence :Pacu EQ dan IQ and, terj. Christina Prianingsih
,(Jakarta: Erlangga, 2001), 125.
3) Inisiatif, yaitu kesiapan untuk memanfaatkan kesempatan.
4) Optimis, yaitu kegigihan dalam memperjuangkan sasaran
kendali ada halangan dan kegagalan.
a. Empati (Emphaty)
Empati dapat dipahami sebagai kemampuan mengindra perasaan dan perspektif
orang lain. Menurut Goleman, kemampuan berempati dapat dicirikan antara lain:
1) Memahami orang lain, yaitu mengindra perasaan dan
perspektif orang lain dan menunjukkan minat aktif terhadap
kepentingan mereka.
2) Orientasi pelayanan, yaitu mengantisipasi, mengenali, dan
berusaha memenuhi kebutuhan orang lain.
3) Mengembangkan orang lain, yaitu merasakan kebutuhan
orang lain untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan
mereka.
4) Mengatasi keragaman, yaitu menumbuhkan kesempatan
melalui pergaulan dengan banyak orang.
5) Kesadaran politis, yaitu mampu membaca arus-arus
emosi sebuah kelompok dan hubungannya dengan kekuasaan.
b. Keterampilan Sosial (Sosial Skill)
Keterampilan sosial dapat dipahami sebagai kemampuan untuk mengelola
emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain, orang dengan
kecakapan ini pandai menggugah tanggapan dari orang lain seperti yang
dikehendakinya. Tanpa ini, orang akan dianggap angkuh, mengganggu tidak
berperasaan yang akhirnya akan dijauhi orang lain.
Ada lima kecakapan utama yang menjadi indikator
keterampilan sosial, yaitu:
1) Pengaruh, yaitu terampil menggunakan perangka
persuasi secara efektif.
2) Komunikasi, yaitu mendengar secara terbuka dan
mengirim pesan secara meyakinkan.
3) Manajemen konflik, yaitu merundingkan dan
menyelesaikan ketidak sepakatan.
4) Kepemimpinan, yaitu mengilhami dan membimbing
individu atau kelompok.
5) Katalisator perubahan yaitu mengawasi dan
mengelola perubahan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional dapat ditingkatkan dengan
mengoptimalkan kelima unsur-unsur diatas yang telah diuraikan. Sehingga ada
integrasi unsur-unsur yang terkandung dalam kecerdasan emosional yang dimilki
oleh seseorang yang menimbulkan sikap dan perilaku yang baik dalam diri maupun
dalam bersosialisasi karena kepekaan yang kuat dalam segi emosional.
BAB III
METODE PENELITIAN
B. Desain Penelitian
1. Kuesioner (Angket)
Menurut Sugiyono (2016:199) kuesioner merupakan teknik pengumpulan data
yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan
tertulis kepada responden untuk dijawabnya. Kuesioner merupakan teknik
pengumpulan data yang efisien bila peneliti tahu dengan pasti variabel yang akan
diukur dan tahu apa yang bisa diharapkan dari responden. Alat ukur yang
digunakan dalam penelitian ini dibuat dalam bentuk skala Likert yang mana
memiliki empat pilihan jawaban untuk skala Pembelajaran Al-Qur’an, adversity
quotient, dan emosional quotient yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju
(TS), dan sangat tidak setuju (STS). Subjek diminta untuk memilih salah satu dari
pilihan jawaban yang masing-masing jawaban menunjukkan kesesuaian dengan
pernyataan yang diberikan dalam keadaan yang dirasakan oleh subjek. Model
skala Likert ini terdiri dari pernyataan positif (favorable) dan pernyataan negatif
(unfavorable) dengan perhitungan skor sebagai berikut.
TS (tidak sesuai) 2 3
S (setuju) 3 2
SS (sangat setuju) 4 1
2. Wawancara (Interview)
Wawancara digunakan teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin
melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus
diteliti.
3. Observasi
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen baku berupa
skala adversity quotient yaitu AQP (Adversity Quotient Profile) dan AES
(Asssessing Emotion Scale).
Skala yang digunakan untuk meneliti adversity quotient dalam penelitian ini
adalah AQP (Adversity Quotient Profile) atau ARP (Adversity Response Profile)
yang dikembangkan oleh Paul Stoltz. Peneliti melakukan modifikasi terhadap alat
ukur yakni mengubah item-item agar lebih sesuai dengan situasi-situasi sulit yang
santri penghafal Al-Qur’an alami.
Terdapat 4 dimensi pada skala adversity quotient ini, yaitu kendali (control),
daya tahan (endurance), jangkauan (reach), asal-usul dan pengakuan (origin and
ownership).
Tabel 3.2
Skala Adversity Quotient
Tabel 3.3
Skala Kecerdasan Emosional
35
Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2014),
h.125.
a. Melakukan uji signifikansi terhadap koefisien muatan faktor
dari masing- masing item dengan menggunakan t-test. Jika
nilai t yang diperoleh pada sebuah item tidak signifikan (t <
1,96), maka item tersebut akan di-drop karena dianggap tidak
signifikan sumbangannya terhadap pengukuran yang sedang
dilakukan.
b. Melihat arah dari koefisien muatan faktor (factor loading).
Jika suatu item memiliki muatan faktor negatif, maka item
tersebut dieliminasi karena tidak sesuai dengan pengukuran
c. (berarti semakin tinggi nilai pada item tersebut semakin
rendah nilai pada faktor yang diukur).
d. Sebagai kriteria tambahan (optional) dapat dilihat juga
banyaknya korelasi partial antar kesalahan pengukuran, yaitu
kesalahan pengukuran pada suatu item yang berkorelasi
dengan kesalahan pengukuran pada item lain. Jika pada suatu
item terdapat terlalu banyak korelasi seperti ini (misalnya
lebih dari tiga), maka item tersebut juga akan dieliminasi.
Alasannya adalah karena item yang demikian selain mengukur
apa yang ingin diukur juga mengukur hal lain (multi
dimensional item).
e. Menghitung faktor skor. Jika langkah-langkah di atas telah
dilakukan, maka diperoleh item-item yang valid untuk
mengukur apa yang ingin diukur.
G. Analisis Data
Y’ = a + b1X1+b2X2+b3X3+e
Keterangan:
Y’ = Pembelajaran Al-Qur’an
X1 = Adversity Quotient
X2 = Emosional Quotient
a = Intercept atau Konstanta (nilai Y’ apabila X1, X2…..Xn = 0)
b =Koefisien regresi
e = Residu
Dan dalam penelitian ini, untuk memperoleh hasil analisis regresi linier
berganda data diolah melalui program SPSS versi 21.