Anda di halaman 1dari 37

PENGARUH ADVERSITY QUOTIENT DAN EMOSIONAL QUOTIENT

TERHADAP PEMBELAJARAN AL-QUR’AN


DI PESANTREN TAHFIDZ QUR’AN FAJRUSSALAM

DISUSUN OLEH:

NAMA : DARA APRILIANA CHAN


SEMESTER/UNIT :2/1
PRODI : PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
DOSEN PENGAMPU : DR. NURMAWATI, M.Pd

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) LANGSA


2022 M / 1443 H
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Orangtua semakin banyak yang menginginkan buah hatinya untuk menjadi


seorang penghafal Al-Qur’an. Sejak usia dini, anak-anak sudah dikenalkan dengan
Al-Qur’an. Tentu saja menghafal Al-Qur’an memiliki keutamaan-keutamaan yang
manfaatnya dapat dirasakan di dunia maupun di akhirat. Penghafal Al-Qur’an juga di
elu-elukan di tengah masyarakat. Maka tidaklah heran jika orangtua berlomba-lomba
untuk menjadikan anaknya penghafal Al-Qur’an. Di Indonesia terdapat beberapa
lembaga yang menjadi wadah untuk menghafalkan Al-Qur’an, salah satunya di
pesantren. Di pesantren, santri yang akan menghafalkan Al-Qur’an dibekali ilmu
yang berkaitan dengan adab seorang penghafal Al-Qur’an kemudian santri diajarkan
ilmu-ilmu dasar agama Islam. Tujuannya agar santri memiliki kecerdasan berpikir
(IQ), kecerdasan menanggulangi masalah (AQ) kecerdasan emosional (EQ) dan
memiliki kecerdasan Spiritual (SQ) untuk bekal hidup menuju kesuksesan dunia dan
akhirat. Selaras dengan tujuan tersebut, kegiatan menghafal Al-Qur’an memang dapat
membawa perubahan positif pada diri santri, terlihat dari perbuatan yang
ditampakkan dalam keseharian santri penghafal Al-Qur’an. Namun pada
kenyataannya, tidak semua santri penghafal Al-Qur’an memiliki kecerdasan
menanggulangi masalah (AQ) dan kecerdasan emosional (EQ) yang baik. Terdapat
santri yang tidak dapat menanggulangi masalah, selalu menyalahkan dirinya sendiri
atas masalah yang terjadi, berputus asa dan masih terdapat santri yang tidak dapat
mengendalikan emosinya, sehingga menjadi mudah marah dan berujung kepada
perkelahian antar teman. Lalu terdapat pula santri yang malas dalam beribadah dan
enggan untuk mematuhi perintah atau aturan yang telah ditetapkan di pesantren,
bahkan terdapat santri yang bolos dengan bermacam alasan.

Seseorang yang menghafal Al-Qur’an memiliki cita-cita yang mulia, menghafal


Al-Qur’an sangat mudah jika para calon penghafal mempersiapkan diri sebelum
memulai menghafal Al-Qur’an. Menghafal Al-Qur’an juga akan menjadi lebih
mudah jika penghafal memiliki hubungan yang baik kepada Allah Swt, dan menjaga
hubungan kepada Allah Swt itu dengan meningkatkan ibadah, berakhlak yang baik,
suka tolong-menolong antar sesama. Orang yang menghafal Al-Qur’an sangat
membutuhkan ketenangan jiwa, baik dari segi pikiran maupun hati. Karena, bila
banyak yang dipikirkan atau dirisaukan oleh penghafal Al-Qur’an maka proses
menghafal akan terganggu, akibatnya akan banyak ayat yang sulit untuk dihafal.
Ketika hal itu terjadi maka disarankan bagi penghafal Al-Qur’an untuk
memperbanyak berdzikir dan beristighfar kepada Allah Swt. Orang yang menghafal
Al-Qur’an pasti sangat membutuhkan motivasi dari orang-orang terdekat, kedua
orang tua, keluarga, dan sanak kerabat. Dengan adanya motivasi ia akan lebih
bersemangat dalam menghafal Al-Qur’an. Kurangnya motivasi dari orang-orang
terdekat atau dari keluarga akan menjadi salah satu faktor penghambat bagi penghafal
itu sendiri.1

Dalam Pendidikan Tahfiz Al-Qur’an yang lebih banyak melakukan interaksi


kecerdasan yang sangat penting adalah kecerdasan emosional karena betapa banyak
dijumpai seseorang yang berprestasi tetapi dalam berinteraksi ia kurang karena ia
mudah marah, bersikap angkuh dan sombong hal itu disebabkan ketidakmampuan
seseorang dalam mengelola emosinya. Kecerdasan menanggulangi masalah dan
kecerdasan emosional sangat penting dimiliki seseorang agar mampu mengontrol
tingkah lakunya dalam berinteraksi dengan orang lain maupun bertindak di dalam
kehidupan. Kecerdasan emosional merupakan kemampuan seseorang mengatur
kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional ufe with
intelligence), menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness
of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri,
empati dan keterampilan sosial. Pelaksanaan hubungan sosial dengan sesama oleh
santri sebenarnya dilandasi oleh aspek emosi. Oleh karena itu diperlukan kemampuan
mengenali emosi, kemampuan mengelola emosi, kemampuan memotivasi diri sendiri,
kemampuan mengenali emosi orang lain dan kemampuan membina hubungan dengan

1
Marliza Oktapiani, “Tingkat Kecerdasan Spiritual Dan Kemampuan Menghafal Al-Qur’an,”
Tahdzib Al-Akhlaq: Jurnal Pendidikan Islam 3, no. 1 (2020): 95–108.
orang lain, sehingga akan terjalin hubungan yang positif. 2 Dengan demikian,
kecerdasan emosional menjadi sesuatu yang penting untuk dimiliki seseorang sebagai
pengendalian diri dalam menjaga keselarasan emosi. Ketika santri mempunyai
kecerdasan emosional yang baik (positif), maka akan berpengaruh baik pula pada
kemampuan menghafal Al-Qur’an santri. Kemudian faktor yang erat kaitannya
dengan proses Tahfiz Al-Qur’an ialah Kecerdasan Spiritual. Kecerdasan Spiritual
secara eksplisit memiliki korelasi terhadap Pendidikan Tahfiz Al-Qur’an. Fungsi
edukasi yang dimiliki oleh pesantren berkaitan erat dengan kecerdasan menanggulangi
masalah (AQ) dan kecerdasan emosi (EQ) yang dimiliki oleh santri.

Maka dari uraian di atas mengenai kecerdasan menanggulangi masalah (AQ) dan
kecerdasan emosi (EQ) yang dimiliki oleh santri Penghafal Al-Qur’an, peneliti tertarik
meneliti tentang Pengaruh Adversity Quotient dan Emosional Quotient terhadap
Pembelajaran Al-Qur’an di Pesantren Tahfidz Qur’an Fajrussalam. Peneliti
ingin melihat bagaimana pengaruh Pengaruh Adversity Quotient dan Emosional
Quotient terhadap santri Penghafal Al-Qur’an.

2
Zamzami Sabiq, “Kecerderdasan Emosi, Kecerdasan Spiritual Dan Perilaku Prososial Santri
Pondok Pesantren Nasyrul Ulum Pamekasan,” Persona:Jurnal Psikologi Indonesia 1, no. 2 (2012).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh Adversity Quotient terhadap Pembelajaran Al-Qur’an
di pesantren tahfidz Qur’an Fajrussalam ?
2. Bagaimana pengaruh Emosional Quotient terhadap Pembelajaran Al-Qur’an
di pesantren tahfidz Qur’an Fajrussalam?
3. Bagaimana pengaruh Adversity Quotient dan Emosional Quotient terhadap
Penghafal Al-Qur’an ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengukur pengaruh Adversity Quotient terhadap Pembelajaran Al-
Qur’an di pesantren tahfidz Qur’an Fajrussalam.
2. Untuk mengukur pengaruh Emosional Quotient terhadap Pembelajaran Al-
Qur’an di pesantren tahfidz Qur’an Fajrussalam.
3. Untuk mengukur pengaruh Adversity Quotient dan Emosional Quotient
terhadap Pembelajaran Al-Qur’an di pesantren tahfidz Qur’an Fajrussalam.
D. Defenisi Operasional
1. Kecerdasan Menanggulangi Masalah (Adversity Quotient)
Menurut Stoltz, adversity quotient merupakan kemampuan yang dimiliki
seseorang dalam mengalami kesulitan dan mengolah kesulitan tersebut dengan
kecerdasan yang dimiliki sehingga menjadi sebuah tantangan untuk diselesaikan.
Adversity quotient memberi tahu seberapa jauh anda mampu bertahan untuk
menghadapi kesulitan, meramalkan siapa yang mampu mengatasi kesulitan,
meramalkan siapa yang akan melampaui potensi kinerjanya, dan meramalkan
siapa yang akan menyerah dan siapa yang bertahan.3 Adversity quotient terdiri
atas empat aspek; control, origin-ownership, reach dan endurance (CO2RE).4
Dari beberapa uraian tentang aspek-aspek adversity quotient di atas, dapat
disimpulkan bahwa setiap manusia tidak akan terlepas dari beragam macam
kesulitan dalam kehidupan, tentunya diperlukan niat yang kuat, optimis dan
tanggung jawab untuk mengatasi setiap kesulitan yang ada. Dengan demikian,

3
Paul G. Stoltz, “Adversity Quotient; Mengubah Hambatan Menjadi Peluang”, terj. T.
Hermaya, judul asli Adversity Quotient; Turning Obstacles into Opportunities,cet ke 7 (Jakarta: PT
Grasindo, 2007), 7.
4
Ibid., 140.
betapa besarnya kesulitan dan permasalahan dalam hidup, tidak akan menjadikan
hal tersebut sebagai penghalang untuk meraih kesuksesan dalam hidup,
kesuksesan dunia dan akhirat.

2. Kecerdasan Emosional (Emosional Quotient)

Goleman mengatakan bahwa kecerdasan emosional merujuk pada kemampuan


mengenali perasaan diri sendiri dan orang lain, kemampuan mengelola emosi
dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. 5 Secara
garis besar dimensi-dimensi kecerdasan emosional tersebut adalah, pertama;
kemampuan mengenali emosi diri, kedua; kemampuan mengelola emosi diri,
ketiga; kemampuan memotivasi diri ketika menghadapi kegagalan atau
rintangan dalam mencapai keinginan, keempat; kemampuan mengenali emosi
orang lain, dan kelima: kemampuan membina hubungan dengan sosialnya.

3. Pembelajaran Al-Qur’an

Menurut Sayyid Mukhtar Abu Syadi Pembelajaran Al-Qur’an adalah suatu


proses untuk memperoleh pengetahuan tentang segala sesuatu yang ada di dalam
Al-Qur’an sehingga mampu menguasai segala hukum-hukum yang terdapat
dalam Al-Qur’an serta senantiasa menjadikan hukum tersebut sebagai landasan
hidup sehari-hari.6

5
Daniel Goleman, Working With Emotional Intelligence, terj., Alex Tri Kantjono Widodo,
(Jakarta: Gramedia utama, 2005) cet vi, 512.
6
Sayyid Mukhtar Abu Syadi, Adab-Adab Halaqah Al-Qur’an, (Solo: Aqwam, 2015), 56.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pembelajaran Al-Qur’an
1. Pengertian Pembelajaran Al-Qur’an

Pembelajaran berasal dari kata “belajar” yang mendapat awalan “pe” dan
akhiran “an”. Imbuhan “pe” dan “an” ter masuk konfiks nominal yang bertalian
dengan perfiks verbal “me” yang mempunyai arti proses. 1

Belajar adalah suatu aktivitas yang dilakukan seseorang dengan sengaja dalam
keadaan sadar untuk memperoleh suatu konsep, pemahaman, atau pengetahuan
baru sehingga memungkinkan seseorang terjadinya perubahan perilaku yang
relative tetap baik dalam berfikir, merasa, maupun dalam bertindak.2

Belajar adalah suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman,
maka keberhasilan belajar terletak pada adanya perubahan. Dari definisi diatas
dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri belajar sebagai berikut:

a. Belajar adalah aktivitas yang menghasilkan perubahan pada diri


individu yang belajar, baik aktual maupun potensial.

b. Perubahan tersebut pada pokoknya berupa perubahan kemampuan


baru yang berlaku dalam waktu yang relative lama.

c. Perubahan tersebut terjadi karena adanya usaha.

Pembelajaran adalah suatu kegiatan atau proses mengelola kondisikondisi


lingkungan secara sistematik sehingga orang yang belajar dapat mencapai tingkat
kemampuan tertentu.3 Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik
agar terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan, kemahiran,
dan tabiat, serta pembentukan sikap dan keyakinan pada peserta didik. Dengan kata

1
DEPDIKBUD RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2016). hal.
664
2
Ahmad Susanto. Teori Belajar dan Pembelajaran Di Sekolah Dasar. (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2016). hal. 4
3
Dina Gasong. Belajar dan Pembelajaran.(Yogyakarta: CV. Budi Utama, 2018). hal. 67
lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar
dengan baik.4

Al-Qur’an merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang diperuntukkan


bagi manusia, mengimaninya adalah bagian dari rukun iman, disampaikan kepada
Nabi Muhammad SAW melalui perantara Malaikat Jibril a.s dan wahyu pertama
yang diterima oleh Rasulullah SAW adalah surah Al-‘Alaq ayat 1-5. Allah SWT
menurunkan Al-Qur’an untuk menjadi undang-undang bagi umat manusia, menjadi
petunjuk, sebagai tanda atas kebesaran Rasulullah, serta penjelasan atas kenabian
dan kerasulannya. Serta sebagai dalil yang kuat di hari kemudian dimana akan
dikatakan bahwa Al-Qur’an itu benar-benar diturunkan dari Dzat Yang Maha
Bijaksana lagi Terpuji.5

Jadi dari kedua pengertian diatas, maka yang dimaksud dengan pembelajaran
Al-Qur’an adalah suatu proses untuk memperoleh pengetahuan tentang segala
sesuatu yang ada di dalam Al-Qur’an sehingga mampu menguasai segala hukum-
hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an serta senantiasa menjadikan hukum tersebut
sebagai landasan hidup sehari-hari.

2. Tahap-tahap dalam Pembelajaran Tahfidz Qur’an

Ada beberapa tahap yang dapat diterapkan untuk menghafal Al-Qur’an agar
hafalan mudah lengket dan tidak muda lupa yaitu:6

1. Memperhatikan Etika Terhadap Al-Qur’an

Tidak bisa dipungkiri, bila kita ingin dimuliakan oleh Allah dengan Al-Qur'an,
kita juga harus memuliakan Al-Qur’an. Karena Al-Qur’an menjadi ukuran bagi
Allah untuk memuliakan atau merendahkan seseorang atau suatu kaum. Bentuk
memuliakan Al-Qur’an di antaranya adalah dengan memperhatikan adab-adab
terhadap Al-Qur’an. Di sisi lain, dengan kita memperhatikan adab-adab tersebut,

4
Ahmad Susanto. Teori Belajar dan Pembelajaran…... hal 19
5
Abdul Hamid. Pengantar Studi Al-Qur’an….. hal. 29
6
Arham bin Ahmad Yasin, Agar Sehafal Al-Fatihah Trik dan Tips Jitu Menghafal
AlQur’an Sekuat Hafalan Al-Fatihah (Bogor: Hilal Media, 2014), hal. 51-56
kita akan mudah mendapatkan keberkahan dalam aktivitas menghafal Al-Qur’an.
Adapun adab-adab berinteraksi dengan Al-Qur’an antara lain sebagai berikut:7

a. Menjaga kesucian dan kebersihan.

b. Membaca ta’awud saat memulai membaca.

c. Membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar.

d. Membaca dengan memahami maknanya.

2. Menghafal Persurat atau Perhalaman

Maksudnya adalah target sekali menambah hafalan, upayakanlah satu surat


sekaligus untuk surat-surat pendek dan satu halaman atau minimal setengah
halaman untuk surat-surat yang panjang. Bagi orang yang banyak memilki
aktivitas, target satu surat atau halaman dalam sepekan, umumnya lebih realistis
dan efektif hasilnya. Yakni, kita menetapkan waktu khusus untuk menghafal satu
surat atau halaman tersebut sekaligus, kemudian kita muraja’ah saja selama satu
pekan.8

3. Membaca Dengan Tartil

Ummu Salamah (rodhiallah hu ‘an) ketika menjelaskan bacaan Rasulullah,


bahwasanya bacaan beliau jelas, huruf per huruf. (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i, dan
At-Tirmidzi).

Secara umum tingkat kecepatan membaca Al-Qur’an dibagi tiga:

a. (Al Hadr) :Membaca dengan cepat dengan tetap memper-hatikan hukum


tajwid.

b. (At Tadwir) : Membaca dengan kecepatan sedang tidak cepat dan tidak
lambat/antara hadr dan tahqiq.

7
Iwan Agus Supriono, Implementasi Kegiatan Menghafal Al-Qur’an, h. 76.
8
Arham bin Ahmad Yasin, Agar Sehafal Al-Fatihah, h. 75.
c. (At Tahqiq) : Membaca dengan lambat.9

4. Menghafal dengan Suara yang Lantang

Jika tidak khawatir riya’ dengan mengeraskan dan meninggikan suara, maka
mengeraskan dan meninggikan suara lebih utama. Karena amal didalamnya lebih
banyak, dan karena manfaatnya juga berdampak kepada orang lain. Manfaat yang
juga berdampak kepada orang lain lebih utama daripada hanya untuk dirinya. 10

5. Menghafal Ayat Per Ayat Halaman atau Surat Yang Hendak Dihafal

Misalnya anda mau menghafal setengah halaman pertama dari Surat An-Naba’
(ayat 1 sampai 15). Setelah anda baca berulang-ulang secara utuh dari ayat pertama
sampai terakhir (dengan ketentuan yang sudah diterangkan pada poin-poin
sebelumnya), Anda boleh mulai menghafal ayat pertama: Serelah lancar tanpa
melihat tulisan, maka lanjut menghafal ayat ke-2, setelah ayat ke-2 lancar, maka
kita sambung dengan ayat pertama (tanpa melihat tulisan), baru kita lanjut
menghafal ayat ke-3, setelah ayaat ke-3 lancar, maka kita sambung ayat pertama
dan ke-2, kemudian kita lanjutkan menghafal ayat ke-4, setelah ayat ke4 lancar
maka kita sambung dengan ayat pertama, ke-2 dan ke-3, demikian seterusnya.

6. Mengulang Hafalan Hingga Kuat Dalam Waktu yang Berdekatan

Hafalan baru harus menjadi hafalan yang benar-benar kuat, tidak boleh ada
kesalahan sedikit pun, tidak ada keraguan, tidak terbata-bata dan tidak tersendat-
sendat. Untuk itu, setelah kita selesai menghafal satu halaman atau satu surat
sebagaimana diterangkan pada poin sebelumnya, hafalan tersebut segera kita “ikat”
sebaik-baiknya dengan segera kita ulang terus-menerus hingga kuat. Sebab, jika
hafalan baru kita biarkan dalam kondisi yang tidak kuat, ibarat buruan yang belum
jinak, keamanannya belum terjamin. Idealnya ketika baru selesai menghafal sesuai
target, ia harus segerah diulang minimal 5 kali atau lebih saat itu juga. Mengulang-

9
Abdul Aziz Abdul Rauf, Kiat Sukses Menjadi Hafizh Al_Qur’an Da’iyah, (Bandung: PT.
Syamil Cipta Media, 2004), h. 49
10
Moh. Khoeron, Pola Belajar dan Mengajar Para Penghafal Al-Qur’an Huffaz, Widyariset,
Vol. 15 No.1, (April 2012), h. 191.
ulang hafalan yang pernah disetorkan kepada guu saat proses pembelajaran,
Kemudian diulang-ulang lagi dalam beberapa waktu yang berdekatan secara merata
dihari tersebut.11

7. Memperdengarakan Hafalan Kepada Orang Lain

Memperdengarkan (tasmi’) hafalan merupakan hal yang mutlak yang harus


dilakukan oleh para penghafal Al-Qur’an. Proses ini bertujuan untuk memastikan
benarnya hafalan kita. Sebab jika seseorang telah menghafal ayat atau surat, ketika
terjadi kesalahan, jika ia mencoba mengecek sendiri ke mushaf, umumnya
kesalahan tersebut tidak akan terdeteksi. Karena pikirannya selalu lebih dominan
daripada memusatkan pandangan. Hal ini karena ia sudah hafal bacaan tersebut dan
telah ia baca berulang-ulang walaupun ada kesalahan didalamnya. Usahakanlah
yang menyimak hafalan kita minimal adalah orang yang memiliki kemampuan
membaca Al-Qur’an dengan baik dan mengerti tajwid.12

8. Memperbanyak Muraja’ah

Mengulang atau muraja’ah hafalan adalah hal yang sangat penting dalam
menjaga hafalan. ia menjadi senjata atau benteng untuk mempertahankan hafalan.
Muraja’ah adalah proses yang wajib dilakukan oleh setiap penghafal Al-Qur’an.
Tanpa muraja’ah, hafalan mudah lepas atau bahkan hilang dari ingatan. Idealnya,
hafalan yang baru diulang secara keseluruhan beberapa kali pada hari itu juga.
Yakni ketika kita menghafalkannya, hafalan tersebut selalu diulang-ulang sampai
beberapa kali setiap harinya.13

9. Menggunakan Satu Mushaf Standar

Untuk keperluan menghafal, idealnya menggunakan model mushaf

11
Fithriani Gade, Implementasi Metode Takrar Dalam Pembelajaran Menghafal Al-Qur’an,
Jurnal Ilmiah Vol. 14 No. 2, (Februari 2014), h. 421.
12
Supriono, Implementasi Kegiatan Menghafal Al-Qur’an Siswa di LPTQ Kabupaten Siak,
Jurnal Isema Vol. 4, No. 1, (Juni 2019): h. 61.
13
Arham bin Ahmad Yasin, Agar Sehafal Al-Fatihah, h. 121.
satu halaman terdiri dari 15 baris dan satu juz terdiri dari 10 lembar atau (20
halaman). Mayoritas penghafaal menggunakan model ini, sehingga bila anda
berbeda sendiri kadang kala akan menyulitkan saat berinteraksi dengan yang lain.
Misalnya saat setoran hafalan, sima’an, muraja’ah bersama dan lainnya. Mushaf
model ini juga akan memudahkan kita dalam menentukan atau merinci target
hafalan dan muraja’ah, dengan menetapkan satu mushaf standar Al-Qur’an dapat
memudahkan kita untuk mengingat bacaan pojok kiri kanan atasnya 14

10. Memanfaatkan Setiap Kesempatan Dengan Baik dan Tidak Kalah Dengan
Rasa Jenuh

Tidak bisa dipungkiri, kadang kala muncul rasa jenuh atau bosan, terutama bagi
yang menghafal Al-Qur’an secara mandiri, Jika ada rasa jenuh, biasanya pikiran
suka buntu atau mentok. Dalam hal ini janganlah kita kalah dengan rasa jenuh dan
bosan tersebut. Mungkin saja, ini adalah godaan setan untuk melemahkan semangat
kita dan kalau sudah terhenti akan berat untuk memulai kembali. Untuk itu kita
berusaha meman-faatkan waktu-waktu kosong untuk membaca hafalan yang telah
kita hafal. Misalnya, waktu antara azan dan iqamah, menunggu khatib naik ke atas
mimbar, menunggu kendaraan, naik kendaraan, menunggu acara atau janji yang
molor waktunya, atau menunggu antrean. Lebih utama lagi momen-momen
istimewah, seperti selama bulan ramadhan, menunggu waktu subuh setelah sahur,
menunggu buka puasa dan lain-lain.

11. Menjauhi Segal Hal-hal yang Sia-sia Apalagi Haram

Salah satu kriteria seorang muslim yang baik menurut Allah dan Rasul-nya
adalah meninggalkan hal-hal yang sia-sia, apalagi yang dimakruhkan, lebih-lebih
yang diharamkan. Bagi para penghafal Al-Qur’an, banyak melakukan hal yang sia-
sia akan memnyebabkan hati dan pikiran menjadi lembek dan manja, serta sulit
untuk berkonsentrasi. Akhirnya menghafal Al-Qur’an pun teras berat. Padahal
menghafal perlu perhatian khusus. Seperti, banyak melamun, bengong, suka

14
Ahmad Baduwailan, Menjadi Hafizh Tips dan Motivasi Menghafal Al-Qur’an, (Solo:
Media Profetika), 2016, h. 42.
bergurau, banyak tidur, nganggur, atau banyak melakukan hal sia-sia lainnya.Kalau
perbuatan yang sia-sia atau tidak berfaedah saja begitu besar pengaruhnya, apalagi
perbuatan yang dilarang, Disamping jelas akan mendapatkan dosa, dan perbuatan
maksiat bisa menjadi penghalang hati untuk menghafal Al-Qur’an.

12. Senantiasa Berdo’a Agar Dimudahkan Menghafal Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah kalamullah, Allah pula yang berkuasa untuk menjadikan Al-
Qur’an ada di dada kita. Jangan lupa berdo’a kepada Allah agar dimudah untuk
menghafal/membaca Al-Qur’an.15

3. Metode dalam Pembelajaran Al-Qur’an

a. Metode Wahdah

Metode Wahdah adalah suatu siswanya yang menghadap satu persatu ayat
demi ayat yang hendak dihafalnya. Untuk mencapai hafalan awal, setiap ayat bisa
dibaca sebanyak sepuluh kali, atau dua puluh kali, atau lebih sehingga proses ini
mampu membentuk pola dalam bayangannya. Dengan demikian penghafal akan
mampu menkondisikan ayat-ayat yang dihafalkannya bukan saja dalam
bayangannya, akan tetapi hingga benar-benar membentuk gerak refleks pada
lisannya. Setelah benar-benar hafal barulah dilanjutkan pada ayat-ayat berikutnya
dengan cara yang sama, demikian seterusnya hingga mencapai satu muka.16

b. Metode Sima’i

Metode Sima’i adalah mendengar. Yang dimaksud dengan metode ini ialah
mendengarkan sesuatu bacaan untuk dihafalkannya. 17 Metode ini sangat efektif
bagi penghafal yang punya daya ingat ekstra, terutama bagi penghafal tunanetra,

15
Wiwin Awaliayah Wahid, Cara Cepat Bisa Menghafal Al-Qur’an, (Jogjakarta: Diva
Press, 2012), h. 41.
16
Fatimah Rahma, Metode Tahfidzul Al-Qur’an di Rumah Tahfiz Miftahul Jannah, Medan:
Restekdik, Jurnal Bimbingan dan Konseling, Vol 4, No.1, 2019, h.15.
17
Muthoifin, Metode Pembelajaran Tahfiz Al-Qur’an di Madrasah Aliyah Tahfiz Nurul
Iman Karanganyar dan Madrasah Aliyah Al-Kahfi Surakarta, Jurnal Studi Islam Vol. 17, No. 2,
(Desember 2016): h. 34.
atau anak-anak yang masih dibawah umur yang belum mengenal tulis baca Al-
Qur’an. Metode ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu:

1) Mendengar dari guru pembimbingnya, terutama bagi penghafal tunanetra,


atau anak-anak.

2) Merekam terlebih dahulu ayat-ayat yang akan dihafalkannya kedalam pita


kaset sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. kemudian kaset
diputar dan didengar secara seksama sambil mengikuti secara perlahan.

c. Metode Kitabah

Metode Kitabah adalah dengan cara menulis. Pada metode ini penulis terlebih
dahulu menulis ayat-ayat yang akan dihafalnya pada secarik kertas yang telah
disediakan untuknya. Kemudian ayat-ayat tersebut dibacanya hingga lancar dan
benar bacaannya, lalu dihafalkannya.

d. Metode Gabungan

Metode ini merupakan metode gabungan antara metode wahdah dan metode
kitabah. Hanya saja kitabah (menulis) disini lebih memiliki fungsional sebagain uji
coba ayat-ayat yang telah dihafalnya.

e. Metode Jama’

Metode Jama’ adalah cara menghafal yang dilakukan secara seksama yakni
ayat-ayat yang dihafal dibaca secara kolektif, atau bersama-sama, dipimpin oleh
seorang instruktur. Instruktur membacakan satu ayat atau beberapa ayat dan santri
menirukan secara bersama-sama. Setelah ayat-ayat itu dapat mereka baca dengan
baik dan benar, selanjutnya mereka mengikuti bacaan dengan sedikit demi sedikit
mencoba melepaskan mushaf (tanpa melihat mushaf).18

f. Metode Talaqqi

18
Ahsin Sakho Muhammad, Bimbingan Praktis Menghafal Al-Qur’an, (Jakarta: Qaf Media
Ktrativa, 2017), h. 20-21.
Metode Talaqqi berasal dari kalimat “laqia” yang berarti berjumpa, yang
dimaksud berjumpa adalah bertemu antara murid dengan guru. Talaqqi adalah salah
satu metode pengajaran peninggalan Rasullah SAW. dilihat dari sistem
mengajarnya, terdapat dua macam kategori mengajar dengan metode talaqqi.
Pertama, seorang guru membaca atau menyampaikan ilmunya didepan muridnya
sedangkan para murid menyimaknya, yang mungkin di akhiri dengan pertanyaan.
Kedua, murid membaca didepan guru lalu guru membenarkan jika terdapat
kesalahan.19

Berdasarkan beberapa pengertian metode diatas dapat dsimpulkan bahwa


metode pembelajaran Al-Qur’an adalah cara atau jalan yang harus dilalui dalam
proses belajar mengajar Al-Qur’an dengan tujuan agar dapat membaca, menghapal
dan mempelajari Al-Qur’an dengan baik dan benar sesuai dengan kaidah tajwid.

B. Adversity Quotient
1. Pengertian Adversity Quotient

Allah memberikan keistimewaan kepada manusia yaitu akal dan pikiran.


Manusia disebut sebagai makhluk sempurna karena memiliki 2 (dua) hal ini. Setiap
akal dan pikiran akan menimbulkan suatu hal yang ajaib dan mengagumkan yang
pernah ada, hal itu adalah sebuah kecerdasan.20

Kecerdasan diartikan sebagai kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri


terhadap situasi baru secara cepat dan efektif, kemampuan menggunakan konsep
abstrak secara efektif, kemampuan memahami pertalian-pertalian dan belajar
dengan cepat sekali.21 Menurut Mubarok, kecerdasan merupakan ke- unggulan
manusia dibandingkan dengan makhluk lain, dengan kecerdasan tersebut manusia
bisa memahami dan mengantisipasi segala sesuatu dengan baik. 22 Pada mulanya
kecerdasan hanya berkaitan dengan akal atau bersentuhan dengan kognitif saja

19
Rima Nurkarima, Analisis pengelolaan pembelajaran tahsin dan Tahfiz Al-Qur’an dengan
Metode Talaqqi di Kelas VIII SMPIT Qordova Rancaekek Bandung, h. 166.
20
Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, (Bandung: Alfabeta, 2005), cet.I, hal.12
21
J.P Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, terj. Kartini Kartono, judul asli, Dictionary of
Psychology (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hal. 253
22
Achmad Mubarok, Psikologi Qur’ani (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), hal. 71
seperti ungkapan beberapa psikolog “Human differences have enormous social and
political implications, intelligence is one of the most important human differences,
and tests reveal them”,23 namun pada perkembangannya kecerdasan mendapatkan
tempat tersendiri pada aspek emosional, spiritual dan agama karena kehidupan
manusia tidak hanya bertumpu pada struktur akal saja.

Setiap manusia tentu memiliki permasalahan dalam hidupnya, baik itu masalah
yang bersifat internal maupun eksternal. Kesulitan yang datang cenderung
memberikan rasa pahit, emosi yang cenderung labil dan lain sebagainya. Menurut
Stoltz, adversity quotient memberi tahu seberapa jauh anda mampu bertahan untuk
menghadapi kesulitan, meramalkan siapa yang mampu mengatasi kesulitan,
meramalkan siapa yang akan melampaui potensi kinerjanya, dan meramalkan siapa
yang akan menyerah dan siapa yang bertahan. Menurut Ancok, adversity quotient
menjelaskan tentang kemampuan seseorang untuk bertahan dalam
kesulitan.24Sementara Venkatesh menyatakan, adversity quotientis a new
conceptual framework for understanding and enhancing all facets of success.25

Adversity adalah, kesulitan yang muncul dari beragam aspek kehidupan


seseorang atau masyarakat. Dalam kaitannya dengan ketahanan dalam mengatasi
kesulitan, peran pengalaman emosi yang positif akan meningkatkan kesehatan fisik
dan psikis serta kesejahteraan.26 Hal ini senada dengan Anthony dan rekan-
rekannya, bahwa emosi yang positif adalah indikasi dari ketahanan psikologis yang
akan bermanfaat dalam kehidupan. Dengan demikian, adversity quotient adalah
salah satu bentuk kecerdasan manusia yang mampu memberikan pengaruh positif

23
Stephen Murdoch, IQ: A Smart History of a Failed Idea (Canada: John Wiley & Sons, Inc,
2007), hal. 171

24
Musthofa dan Djamaludin Ancok, “The Correlation Between Decision Bias with Adversity
Quotient and Anchor in Decision Making,” Sosiosains Vol. 18 No. 2 (2005), 180.
25
J. Venkateshand others, eds. “Adversity Quotient and Resilient HR Culture: A Succes
Strategy for Organizations,” Intenationl Journal of Scientific Research and Management (IJSRM)
Vol. 2 Issue. 8 (2014),1237.
26
Michele M. Tugadeand others, eds. “Psychological Resilience and Positive Emotional
Granularity: Examining the Benefits of Positive Emotions on Coping and Health,” Journal of
Personality Vol. 72 No. 6 (2004), 1161-1190.
dalam hal menyikapi dan mengatasi pelbagai ujian, kesulitan dan cobaan dalam
hidup.

Setiap manusia pasti mempunyai permasalahan dan kesulitan tersendiri dalam


hidup, baik itu masalah yang menyangkut ekonomi, rumah tangga, sosial, dari skala
kecil hingga skala besar. Sehingga tidak bisa dipungkiri, ada individu yang sanggup
mengatasi semua permasalahan dan ada juga individu yang gagal. Kesanggupan
manusia dalam mengatasi pelbagai kesulitan dan permasalahan dalam hidup
mengindikasi- kan bahwa pelbagai potensi yang telah Tuhan berikan dioptimal- kan
dengan maksimal, sehingga mampu menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan
akhirat. Demikianpun sebaliknya, kegagal- an manusia dalam mengatasi pelbagai
persoalan dalam hidup dikarenakan kurangnya keseimbangan dalam
menyelaraskan kehidupan dunia dan akhirat. Hal inilah yang diisyaratkan dalam al-
Qur’an bahwa perlunya keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat.

Individu yang mampu mengatasi kesulitan adalah individu yang memiliki


adversity quotient yang tinggi, dalam arti kemampuan individu untuk bertahan
dalam menghadapi setiap permasalahan dan kesulitan hidup. Islam sebagai agama
yang universal telah mengajarkan kepada pemeluknya untuk tangguh, kuat, sabar
dan optimis dalam menghadapai pelbagai kesulitan, ujian dan cobaan dalam hidup,
termasuk ujian kesengsaraan maupun kesenangan. Sebagaima Rasulullah bersabda:

Artinya:“…Bersemangatlah terhadap sesuatu yang memberikan manfaat


kepadamu, dan berlindunglah kepada Tuhan dan janganlah kamu merasa
lemah….”.

Ada dua isyarat yang disampaikan oleh Rasulullah berkenaan hadist di atas,
pertama, memohon perlindungan, meminta bantuan dan berniat hanya karena
Tuhan setiap akan melaksanakan aktivitas sehari-hari. Isyarat kedua, jangan merasa
lemah dengan keadaan yang mendatangkan kesulitan, karena sesungguhnya setiap
ada kesulitan pasti ada atau disertai dengan kemudahan dan jangan bersedih hati
disaat kesulitan terus datang menerpa serta juga jangan lemah karena Tuhan sangat
dekat dengan manusia. Dengan demikian, antara faktor kebebasan “the freedom of
will” dan faktor yang bersifat transendental mesti sejalan atau seimbang. Hal inilah
yang menghantarkan setiap individu untuk tetap menjaga niat karena Tuhan,
bermujahadah, sabar, ikhlas dan berdo’a setiap melakukan aktivitas.

2. Aspek-aspek Adversity Quotient

Adversity quotient terdiri atas empat aspek; control, origin-ownership, reach


dan endurance (CO2RE). Control atau kendali mempertanyakan berapa banyak
kendali yang dirasakan terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan.
Senada dengan Venkatesh, bahwa control atau kendali adalah the perception of the
degree of control one has over an adverse event. Control begins with the perception
that something, anything can be done. Dengan demikian, individu yang memiliki
kendali yang baik terhadap kesulitan, akan berdampak positif bagi kehidupannya.
Demikian pun sebaliknya, individu yang cenderung kurang memiliki kendali yang
baik akan berdampak negatif bagi kehidupannya dan tentu berpengaruh pada setiap
aspek kehidupan.

Kemudian aspek origin-ownership atau asal usul dan pengakuan. O2


mempertanyakan dua hal; apa yang menjadi asal usul kesulitan? dan sampai sejauh
mana pengakuan terhadap akibat kesulitan tersebut?. Menurut Ying Shen, makna
dari asal usul dan pengakuan adalah Cause and responsibility of adversity; to
undertake the responsibility of adversity instead of blaming oneself. Kemudian
menurut Le Thi, aspek pengakuan menjelaskan peran tanggungjawab seseorang
atas kesulitan yang datang. Kemudian aspek reach atau jangkauan. Menurut Stoltz,
aspek ini mempertanyakan sejauh mana kesulitan akan menjangkau bagian lain dari
kehidupan. Hal ini senada dengan Venkatesh, bahwa aspek jangkauan ini
mengevaluasi seberapa jauh kesulitan masuk dalam bagian kehidupan yang lain.
Dengan demikian, individu yang memiliki kecerdasan mengatasi masalah yang
tinggi akan lebih bijak dalam mengendalikan dan mengatasi kesulitan yang ada.
Begitupun sebaliknya, individu yang cenderung memiliki kecerdasan mengatasi
masalah yang rendah akan berpengaruh negatif dalam menyikapinya dan tentunya
akan menjangkau kedalam aspek hidup yang lainnya. Aspek yang terakhir adalah
endurance atau daya tahan. Aspek ini mempertanyakan dua hal yang saling
berkaitan, berapa lama kesulitan akan berlangsung dan berapa lama penyebab
kesulitan itu akan berlangsung. Dari beberapa uraian tentang aspek-aspek adversity
quotient di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap manusia tidak akan terlepas dari
beragam macam kesulitan dalam kehidupan, tentunya diperlukan niat yang kuat,
optimis dan tanggung jawab untuk mengatasi setiap kesulitan yang ada. Dengan
demikian, betapa besarnya kesulitan dan permasalahan dalam hidup, tidak akan
menjadikan hal tersebut sebagai penghalang untuk meraih kesuksesan dalam hidup,
kesuksesan dunia dan akhirat.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adversity Quotient

Faktor-faktor yang mempengaruhi adversity quotient menurut Stoltz meliputi


kinerja, bakat dan kemauan, kecerdasan, kesehatan, karakter, genetika, pendidikan
dan keyakinan. Jika semua faktor ini ada pada diri manusia, ketika ada badai
kesulitan yang menerpa, maka semua faktor ini tidak akan menjamin seseorang
untuk tetap tegak ketika badai kesulitan datang. Beberapa faktor yang
mempengaruhi adversity quotient dapat diilustrasikan dengan sebuah pohon.

Dapat dideskripsikan sebagai berikut:

Tanah : Manusia (sebagai zat hara sebagai faktor kunci)

Akar : Genetika, Pendidikan dan Keyakinan

Batang : Kecerdasan, Kesehatan dan Karakter

Cabang : Bakat dan Kemauan

Daun : Kinerja

Hal yang harus dicermati dalam perumpamaan ini adalah faktor kunci bagi
kesuksesan dalam mengatasi pelbagai kesulitan, ujian dan cobaan dalam hidup
yaitu manusia. Menurut penulis, pelbagai faktor yang diilustrasikan oleh Stoltz
ekuivalen dengan Psikologi Humanistik yang optimistik-kreatif-aktif. Hal ini
selaras dengan Baharuddin, bahwa menjadi persoalan jika manusia menjadi satu-
satunya dimensi yang menentukan sikap manusia. Karena, ada dimensi lain yang
berperan dalam menentukan sikap manusia, dimensi ruh dan fitrah. Oleh karena itu,
pelbagai faktor tersebut idealnya yang menjadi zat hara adalah keimanan. Dengan
iman yang kuat, tulus, totalitas dan sadar manusia mampu mengoptimalkan
pelbagai potensi yang telah Tuhan anugerahkan, hal ini mengindikasikan adanya
hubungan yang sangat erat sekali antara Tuhan dengan manusia.

Kemudian, diketahui bahwa faktor genetik mempunyai peran atau


mempengaruhi kecerdasan intelektual seseorang dan antara satu pribadi dengan
pribadi lain berbeda karena ada pengaruh dari faktor genetik. Menurut Bouchard,
bahwa kecerdasan seseorang dipengaruhi oleh faktor genetik. Dengan demikian,
faktor genetik memberikan andil yang cukup signifik- an dalam mempengaruhi
kecerdasan seseorang. Begitupun juga dengan pendidikan, menurut Tripathi bahwa
faktor pendidikan dapat mempengaruhi kecerdasan seseorang. Dengan demikian,
seluruh faktor yang mempengaruhi adversity quotient bersumber pada manusia itu
sendiri, yang diilustrasikan sebagai tanah (zat hara).

Dari beberapa faktor yang mempengaruhi adversity quotient di atas, maka


penulis menyimpulkan bahwa kecerdasan mengatasi masalah tidak hanya
dipengaruhi oleh satu faktor saja, namun dipengaruhi oleh pelbagai faktor. Dengan
demikian, integrasi antara satu faktor dengan faktor lain akan memberikan satu
kesatuan yang komprehensif pada manusia untuk mengatasi setiap kesulitan yang
ada. Kemudian, dari beberapa faktor yang mempengaruhi adversity quotient yang
telah dipaparkan di atas, maka dalam penelitian ini penulis hanya menekankan pada
faktor keimanan. Karena dalam pandangan Stoltz, faktor keimanan tidak menjamin
seseorang untuk berdiri tegak ketika badai kesulitan datang. Dengan demikian,
secara tidak langsung Stoltz mengenyampingkan faktor yang seharusnya menjadi
dasar dari semuanya. Faktor-faktor yang mempengaruhi adversity quotient
memang sangat memberikan kontribusi yang baik, namun menurut penulis, jika
keimanan tidak dijadikan sebagai dasar dari faktor-faktor yang mempengaruhi
adversity quotient maka cenderung membuat manusia jauh dari Tuhan.

Faktor keimanan (religiusitas dan spiritualitas) akan membuat individu merasa


hidup lebih bermakna, hidup yang memuaskan, bertujuan dan mampu menghadapi
permasalahan yang buruk dalam kehidupan. Masalah keimanan, tidak lepas dari
identitas agama seseorang, selama manusia hidup maka agama tidak akan pernah
hilang. Dengan demikian, keimanan yang dimanifestasikan dalam bentuk perilaku
keagamaan yang disadari akan memberikan efek yang positif, kehidupan yang
bermakna dan mampu untuk menghadapi setiap permasalahan dalam setiap waktu.
Karena agama adalah fitrah, sebagai fitrah dari manusia, maka fitrah tersebut
dijalankan dengan kesadaran dan diimani dengan kuat akan membawa kesehatan
dalam kehidupan seseorang. Oleh karena itulah, keimanan seseorang akan sangat
mempengaruhi jasmani, rohani dan juga dalam menghadapi segala permasalahan
dan kesulitan hidup.

Menurut Azad yang dikutip oleh Mohsen dan rekan- rekannya, bahwa
kurangnya keyakinan terhadap agama dan keimanan akan menyebabkan atau
mendukung permasalahan, kesulitan, kecemasan dan ketidakbahagiaan pada
manusia.

Dengan demikian, penulis dapat menyimpulkan bahwa faktor keimanan sangat


vital peranannya dalam mengarungi kehidupan. Dengan keimanan seseorang akan
mampu menjaga eksistensinya, optimis dalam menjalankan kehidupan, sabar ketika
pelbagai cobaan dan musibah datang, menjalin hubungan yang baik dengan Tuhan,
sesama manusia, binatang, alam semesta dan secara terus-menerus memperbaiki
kualitas pribadi secara holistik.

C. Kecerdasan Emosional
1. Pengertian Kecerdasan Emosional
Kecerdasan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata cerdas
yang ditambah imbuhan di awal ke- dan imbuhan di akhir -an. Sehingga kecerdasan
adalah perbuatan yang mencerdaskan; kesempurnaan perkembangan akal budi
(seperti kepandaian dan ketajaman pikiran). Sedangkan menurut Binet kecerdasan
adalah kemampuan untuk menetapkan dan mempertahankan suatu tujuan, untuk
mengada- kan penyesuaian dalam rangka mencapai tujuan itu dan untuk bersikap
kritis terhadap diri sendiri. Kecerdasan merupakan bakat tunggal yang
dipergunakan dalam situasi menyelesaikan masalah apa pun. Seseorang yang tidak
bisa memecahkan masalah atau persoalan semudah-mudahnya juga memiliki
inteligensi hanya tarafnya yang rendah. Oleh karena itu, kecerdasan pada
hakikatnya merupakan suatu kemampuan dasar yang bersifat umum untuk
memperoleh suatu kecakapan yang mengandung berbagai komponen.27

Menurut Sudarsono emosi adalah suatu keadaan yang komplek dari organism
seperti tergugahnya perasaan yang disertai dengan perubahanperubahan dalam
organ tubuh yang sifatnya luas, biasanya ditambahi dengan perasaan yang kuat
yang mengarah kesuatu bentuk tingkah laku atau perilaku tertentu. Erat
hubungannya dengan kondisi tubuh, denyut jantung, sirkulasi darah, pernafasan,
dapat diekspresikan seperti tersenyum, tertawa, menangis, dan dapat merasakan
sesuatu seperti merasa senang, merasa kecewa.

Menurut Ary Ginanjar Agustian, kecerdasan emosional adalah sebuah


kemampuan untuk mendengarkan bisikan emosi dan menjadikannya sebagai
sumber informasi maha penting untuk memahami diri sendiri dan orang lain demi
mencapai sebuah tujuan. Cooper dan Sawaf mendefinisikan kecerdasan emosional
merupakan ke- mampuan merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan
daya dan kepekaan emosi sebagai sum- ber energi, informasi, koneksi dan pengaruh
yang manusiawi.28

Sedangkan Dalam bukunya yang lain yaitu “Emotional Intelligence (


kecerdasan emosional, Mengapa EI lebih penting daripada EQ )” Goleman
mengatakan bahwa kecerdasan emosional merujuk pada kemampuan mengenali
perasaan diri sendiri dan orang lain, kemampuan mengelola emosi dengan baik
pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.29 Secara garis besar
dimensi-dimensi kecerdasan emosional tersebut adalah, pertama; kemampuan

27
Firdaus Daud, Pengaruh Kecerdasan Emosional Dan Kegiatan Belajar Terhadap Hasil
Belajar Biologi Siswa SMA N 3 Kota Palopo. (Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Vol 19, No
2, Oktober 2012)
28
Firdaus Daud, Pengaruh Kecerdasan Emosional Dan Kegiatan Belajar Terhadap Hasil
Belajar Biologi Siswa SMA N 3 Kota Palopo. (Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Vol 19, No 2,
Oktober 2012), 247.
29
Daniel Goleman, Working With Emotional Intelligence, terj,Alex Tri kKantjono
Widodo, (Jakarta: Gramedia utama, 2005) cet vi, 512.
mengenali emosi diri, kedua; kemampuan mengelola emosi diri, ketiga;
kemampuan memotivasi diri ketika menghadapi kegagalan atau rintangan dalam
mencapai keinginan, keempat; kemampuan mengenali emosi orang lain, dan
kelima: kemampuan membina hubungan dengan sosialnya.

Berdasarkan pengertian menurut beberapa ahli diatas dapat disimpulkan bahwa


kecerdasan emosional adalah usaha untuk dapat mengelolah dan mengendalikan
diri dari berbagai aspek emosi.

2. Indikator Kecerdasan Emosional

Goleman mengatakan indikator kecerdasan emosi adalah sebagai

berikut :

a. Mengenali emosi diri

Kemampuan untuk memahami perasaan dari waktu ke waktu merupakan hal


penting bagi pemahaman diri seseorang. Mengenali diri merupakan inti dari
kecerdasan emosional, yaitu kesadaran akan perasaan diri sendiri sewaktu perasaan
timbul. Mengenali emosi diri sangat erat kaitannya dengan kesadaran diri atau
kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu timbul.

b. Mengelola emosi dalam diri

Kemampuan mengelola emosi diri akan berdampak positif terhadap


pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan
sebelum tercapainya suatu sasaran, serta mampu memulihkan kembali
tekanan dari emosi. Kemampuan mengelola emosi meliputi kecakapan untuk tetap
tenang, menghilangkan kegelisahan, kesedihan, atau sesuatu yang
menjengkelkan. Seseorang yang memiliki kemampuan mengelola emosi dengan
baik akan mampu menyikapi rintangan-rintangan hidup dengan baik. Namun
sebaliknya seseorang yang tidak memiliki kemampuan untuk mengelola emosi akan
terus-menerus melawan perasaan- perasaan gelisan dan penyesalan. Orang yang
seringkali merasakan dikuasai emosi dan tak berdaya untuk melepaskan diri,
mereka mudah marah dan tidak peka terhadap perasaannya. Sehingga ia larut dalam
perasaan- perasaan itu. Akibatnya, mereka kurang berupaya melepaskan diri dari
suasana hati yang jelek, merasa tidak mempunyai kendali atas kehidupan
emosional.

c. Motivasi Diri

Motivasi merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam aspek
kehidupan manusia, demikian juga para peserta didik mau melakukan sesuatu
bilamana berguna bagi mereka untuk melakukan tugas-tugas pekerjaan sekolah.

d. Mengenali Emosi Orang lain (Empati)


Empati ialah reaksi terhadap perasaan orang lain dengan respon emosional yang
sama dengan orang tersebut. Empati menekankan pentingnya mengindera perasaan
dan perspektif orang lain sebagai dasar untuk membangun hubungan interpersonal
yang sehat.
Sedangkan ciri-ciri empati adalah sebagai berikut :
a. Ikut Merasakan, yaitu kemampuan untuk mengetahui bagaimana
perasaan orang lain.
b. Dibangun berdasarkan kesadaran diri sendiri, semakin kita
mengetahui emosi diri sendiri maka semakin terampil kita
membaca emosi orang lain.
c. Peka terhadap bahasa isyarat, karena emosi lebih sering
diungkapkan melalui bahasa isyarat.
d. Mengambil pesan yaitu adanya perilaku kontent.
e. Kontrol emosi yaitu menyadari dirinya sedang berempati
sehingga tidak larut.
e. Membina Hubungan Dengan Orang lain
Keterampilan sosial adalah kemampuan untuk menangani emosi dengan baik
ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dalam
jaringan sosial, berinteraksi dengan lancar. Keterampilan ini digunakan untuk
mempengaruhi serta memimpin, musyawarah dan menjelaskan perselisihan serta
untuk bekerjasama tim. Dalam rangka membangun hubungan sosial yang harmomis
terdapat dua hal yang harus diperhatikan terlebih dahulu, yaitu : citra diri dan
kemampuan berkomunikasi. Citra diri sebagai kapasitas diri yang benar-benar siap
untuk membangun hubungan sosial. Citra diri dimulai dari diri masing-masing,
kemudian melangkah keluar sebagaimana ia mempersepsi orang lain. Sedangkan
kemampuan komunikasi merupakan kemampuan dalam mengungkapkan
kalimat-kalimat yang tepat.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional sebagai sebuah kemampuan yang dimiliki
seseorang tentunya tidak dimiliki begitu saja, tetapi juga tidak dimiliki karena hasil
pemberian orang lain semata. Kemampuan ini sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor
sebagai berikut :
Pertama, faktor pembawaan atau bakat. Sejak lahir manusia sudah membawa
bakat atau potensi-potensi yang akan mempengaruhi perkembangannya. Bakat
inilah yang menentukan apakah seseorang bermata biru atau coklat,berkulit putih
atau hitam dan menjadi dokter atau pengemis. Dalam wacana Islam, potensi atau
bawaan yang dibawa oleh manusia sejak lahirnya disebut fitrah. Dalam hal ini
fitrah manusia adalah segala yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan
dengan jasmani dan rohani.30
Kedua, faktor lingkungan, pengalaman dan lingkungan sangat berpengaruh
terhadap perkembangan seseorang. Menurut John Lock dengan teori
”tabularasa”bahwa akan menjadi apakah seseorang kelak, sepenuhnya tergantung
pada pengalaman-pengalaman orang tersebut. Menurut Sartan yang dikutip oleh
Ngalim Purwanto, lingkungan adalah semua kondisi dalam dunia ini yang
dengan cara-cara tertentu mempengaruhi tingkah laku seseorang,
pertumbuhan, perkembangan life process seseorang kecuali gen- gen.31
Adapun Lingkungan ini terdiri :

30
Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar Umum Psikologi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996),
cet vii, 77.
31
M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis Praktis, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2000), cet, xii, 72.
a. Lingkungan fisik, yaitu meliputi segala sesuatu dari molekul yang
ada di sekitar janin sebelum sampai kepada rancangan arsitektur rumah,
seperti rumah tumbuh-tumbuhan air, iklim dan hewan.
b. Lingkungan sosial, yaitu meliputi seluruh manusia secara potensial
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh individu. Lingkungan sosial
ini dibagi menjadi tiga macam:
i. Lingkungan keluarga
Dalam arti luas, keluarga meliputi semua pihak yang ada hubungan
darah atau keturunan yang dapat dibandingkan dengan marga. Keluarga sangat
berperan dalam upaya mengembangkan pribadi anak. Kasih sayang dan
pendidikan agama maupun sosial budaya dari orang tua merupakan faktor
esensial dalam mempersiapkan anak menjadi pribadi sehat.
Keluarga yang bahagia merupakan suatu hal yang sangat penting bagi
perkembangan emosi para anggotanya (terutama anak). Kebahagiaan ini
diperoleh apabila keluarga dapat memerankan fungsi edukatifnya secara baik.
Fungsi dasar keluarga adalah memberikan rasa memiliki, rasa aman, kasih
sayang dan mengembangkan hubungan yang baik diantara anggota keluarga.
Keluarga merupakan faktor penentu (determinant faktor) yang sangat
mempengaruhi kualitas generasi yang akan datang. Keluarga yang berpegang
pada nilai-nilai yang luhur akan menghasilkan generasi yang sehat. Hal ini
disebabkan oleh keluarga terutama orang tua merupakan model pertama dan
terdepan bagi anak dan merupakan pola bagi way of life anak.32
ii. Lingkungan sekolah
Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang membantu siswa agar
mampu mengembangkan potensinya baik yang menyangkut aspek moral, spiritual,
intelektual, emosional, maupun sosial. Cara seorang guru menangani kelasnya
sudah bisa merupakan contoh keterampilan emosional, sebagai contoh di sekolah
New Haven untuk mengajarkan kecerdasan emosional guru menggunakan teknik

32
Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung :Remaja
Rosdakarya, 2000), cet.1, 34-47.
juru damai yang dikirimkan untuk menjadi penengah diantara murid-murid yang
berkelahi.
Keberhasilan guru mengembangkan kemampuan peserta didik mengendalikan
emosi akan menghasilkan perilaku yang baik.
Terdapat dua keuntungan kalau sekolah berhasil mengembangkan kemampuan
siswa dalam mengendalikan emosi. Pertama, emosi yang terkendali akan
memberikan dasar bagi otak untuk dapat berfungsi secara optimal. Kedua,
emosi yang terkendali akan menghasilkan perilaku yang baik.
iii. Teman sebaya
Teman sebaya sebagai lingkungan sosial bagi remaja mempunyai peranan yang
cukup penting bagi perkembangan kepribadiannya. Dari kelompok teman sebaya,
remaja belajar tentang:
1) Bagaimana berinteraksi dengan orang lain.
2) Mengontrol tingkah laku sosial.
3) Mengembangkan keterampilan dan minat yang relevan
dengan usianya.
4) Saling bertukar perasaan dan masalah.
4. Unsur-unsur dalam Kecerdasan Emosi
Kecerdasan emosional terdiri dari lima unsur yaitu,sebagai berikut:
a. Kesadaran diri (self awarrnness)
Kesadaran diri emosional merupakan pondasi semua unsur kecerdasan
emosional, langkah awal yang penting untuk memahami diri sendiri dan untuk
berubah, sudah jelas bahwa seseorang tidak mungkin bisa mengendalikan sesuatu
yang tidak ia kenal.33 Ada tiga kemampuan yang merupakan ciri kesadaran diri
yaitu:
1) Kesadaran emosi, yaitu mengenali emosi diri sendiri dan
mengetahui bagaimana pengaruh emosi tersebut terhadap
kinerjanya.

33
Steven J.stein and Howard E.Book, Ledakan EQ:15 Prinsip Dasar kecerdasn
Emosional Meraih Sukses,terj.Trinanda Rainy Januarsari dan Yudhi Murtanto, (Bandung: Kaifa,
2003). Cet IV, 75.
2) Penilaian diri secara teliti, yaitu mengetahui kekuatan dan
batasbatas diri sendiri, memiliki visi yang jelas tentang mana
yang perlu diperbaiki dan kemampuan untuk belajar dari
pengalaman.
3) Percaya diri yaitu keberanian yang datang dari keyakinan
terhadap harga diri kemampuan sendiri.
b. Pengaturan diri (self regulation)
Pengaturan diri adalah kemampuan mengelola kondisi, impuls (dorongan hati) dan
sumber daya sendiri. Tujuannya adalah keseimbangan emosi bukan menekan dan
menyembunyikan gejolak perasaan dan bukan pula langsung
mengungkapkannya.34
Ada lima kemampuan utama pengaturan diri yang merupakan indikator
cerdas emosi, yaitu:
1) Kendali diri yaitu menjaga agar emosi dan impuls yang
merusak tetap terkendali. Dapat dipercaya, yaitu menunjukkan
kejujuran dan integritas.
2) Kewaspadaan yaitu dapat diandalkan dan bertanggung
jawab dalam memenuhi kewajiban .
3) Adaptabilitas, yaitu keluwasan dalam menghadapi
perubahan dan tantangan .
4) Inovasi, yaitu bersikap terbuka terhadap gagasan-gagasan,
pendekatan- pendekatan dan informasi baru.
c. Motivasi (Motivation)
Motivasi adalah kecendrungan emosi yang mengantar atau memudahkan peraihan
sasaran. Ada empat kecakapan utama dalam memotivasi diri yaitu:
1) Dorongan berprestasi, yaitu dorongan untuk menjadi lebih
baik atau memenuhi standar keberhasilan.
2) Komitmen, yaitu menyelaraskan diri dengan sasaran
kelompok atau lembaga.

34
Harry Alder,Boost Your intelligence :Pacu EQ dan IQ and, terj. Christina Prianingsih
,(Jakarta: Erlangga, 2001), 125.
3) Inisiatif, yaitu kesiapan untuk memanfaatkan kesempatan.
4) Optimis, yaitu kegigihan dalam memperjuangkan sasaran
kendali ada halangan dan kegagalan.
a. Empati (Emphaty)
Empati dapat dipahami sebagai kemampuan mengindra perasaan dan perspektif
orang lain. Menurut Goleman, kemampuan berempati dapat dicirikan antara lain:
1) Memahami orang lain, yaitu mengindra perasaan dan
perspektif orang lain dan menunjukkan minat aktif terhadap
kepentingan mereka.
2) Orientasi pelayanan, yaitu mengantisipasi, mengenali, dan
berusaha memenuhi kebutuhan orang lain.
3) Mengembangkan orang lain, yaitu merasakan kebutuhan
orang lain untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan
mereka.
4) Mengatasi keragaman, yaitu menumbuhkan kesempatan
melalui pergaulan dengan banyak orang.
5) Kesadaran politis, yaitu mampu membaca arus-arus
emosi sebuah kelompok dan hubungannya dengan kekuasaan.
b. Keterampilan Sosial (Sosial Skill)
Keterampilan sosial dapat dipahami sebagai kemampuan untuk mengelola
emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain, orang dengan
kecakapan ini pandai menggugah tanggapan dari orang lain seperti yang
dikehendakinya. Tanpa ini, orang akan dianggap angkuh, mengganggu tidak
berperasaan yang akhirnya akan dijauhi orang lain.
Ada lima kecakapan utama yang menjadi indikator
keterampilan sosial, yaitu:
1) Pengaruh, yaitu terampil menggunakan perangka
persuasi secara efektif.
2) Komunikasi, yaitu mendengar secara terbuka dan
mengirim pesan secara meyakinkan.
3) Manajemen konflik, yaitu merundingkan dan
menyelesaikan ketidak sepakatan.
4) Kepemimpinan, yaitu mengilhami dan membimbing
individu atau kelompok.
5) Katalisator perubahan yaitu mengawasi dan
mengelola perubahan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional dapat ditingkatkan dengan
mengoptimalkan kelima unsur-unsur diatas yang telah diuraikan. Sehingga ada
integrasi unsur-unsur yang terkandung dalam kecerdasan emosional yang dimilki
oleh seseorang yang menimbulkan sikap dan perilaku yang baik dalam diri maupun
dalam bersosialisasi karena kepekaan yang kuat dalam segi emosional.
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif, yaitu menjelaskan hubungan


antara variabel dengan menganalisis data numerik (angka) menggunakan metode
statistik melalui pengujian hipotesa. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif
yang bertujuan untuk menjelaskan serta meringkaskan berbagai kondisi, situasi,
atau berbagai variabel yang timbul di masyarakat yang menjadi objek penelitian
itu berdasarkan apa yang terjadi.

B. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain korelasional yaitu hubungan antara variabel


bebas X1, X2 terhadap variabel terikat Y. Terdapat variabel bebas (independent)
yaitu Adversity Quotient (XI), Emosional Quotient (X2). Sedangkan variabel
terikat (dependent) yaitu Pembelajaran Al-Qur’an (Y).

C. Populasi dan Sampel

Populasi pada penelitian ini adalah santri penghafal Al-Qur’an di Pesantren


Tahfidz Qur’an Fajrussalam Aceh Tamiang. Sampel dalam penelitian ini adalah
semua santri di Pesantren Tahfidz Qur’an Fajrussalam di Aceh Tamiang. Teknik
pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik nonprobability sampling,
dengan jenis metode yang digunakan adalah sampling jenuh. Sampling jenuh
adalah teknik penetuan sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai
sampel. Alasan mengambil sampling jenuh karena jumlah populasi yang kurang
dari 100 maka semua populasi dijadikan sampel penelitian.

D. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu:

1. Kuesioner (Angket)
Menurut Sugiyono (2016:199) kuesioner merupakan teknik pengumpulan data
yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan
tertulis kepada responden untuk dijawabnya. Kuesioner merupakan teknik
pengumpulan data yang efisien bila peneliti tahu dengan pasti variabel yang akan
diukur dan tahu apa yang bisa diharapkan dari responden. Alat ukur yang
digunakan dalam penelitian ini dibuat dalam bentuk skala Likert yang mana
memiliki empat pilihan jawaban untuk skala Pembelajaran Al-Qur’an, adversity
quotient, dan emosional quotient yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju
(TS), dan sangat tidak setuju (STS). Subjek diminta untuk memilih salah satu dari
pilihan jawaban yang masing-masing jawaban menunjukkan kesesuaian dengan
pernyataan yang diberikan dalam keadaan yang dirasakan oleh subjek. Model
skala Likert ini terdiri dari pernyataan positif (favorable) dan pernyataan negatif
(unfavorable) dengan perhitungan skor sebagai berikut.

Nilai skor jawaban skala model Likert


Kode Favorable Unfavorable

STS (sangat tidak sesuai) 1 4

TS (tidak sesuai) 2 3

S (setuju) 3 2

SS (sangat setuju) 4 1

2. Wawancara (Interview)
Wawancara digunakan teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin
melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus
diteliti.
3. Observasi

Pada penelitian ini peneliti mengunakan observasi partisipasi pasif


dimana peneliti datang ditempat kegiatan orang yang diamati, tetapi tidak
ikut terlibat dalam kegiatan tersebut.
E. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen baku berupa
skala adversity quotient yaitu AQP (Adversity Quotient Profile) dan AES
(Asssessing Emotion Scale).

1. Skala Adversity quotient

Skala yang digunakan untuk meneliti adversity quotient dalam penelitian ini
adalah AQP (Adversity Quotient Profile) atau ARP (Adversity Response Profile)
yang dikembangkan oleh Paul Stoltz. Peneliti melakukan modifikasi terhadap alat
ukur yakni mengubah item-item agar lebih sesuai dengan situasi-situasi sulit yang
santri penghafal Al-Qur’an alami.

Terdapat 4 dimensi pada skala adversity quotient ini, yaitu kendali (control),
daya tahan (endurance), jangkauan (reach), asal-usul dan pengakuan (origin and
ownership).

Tabel 3.2
Skala Adversity Quotient

No. Dimensi Indikator

1. Kendali - Memiliki ketahanan dalam


(control) mengambil kendali
- Memiliki keuletan dalam
mengendalikan situasi sulit
2. Daya tahan - Memiliki keyakinan situasi sulit
(endurance) hanya bersifat sementara
- Selalu optimis dan bertahan dalam
melihat rintangan
3. Jangkauan - Mampu melokalisir respon terhadap
(reach) masalah
- Tidak membiarkan masalah satu
mempengaruhi hal lainnya
4. Asal-usul dan - Mengetahui asal-usul adanya
pengakuan kesulitan
(origin And - Fokus pada peningkatan tanggung
ownership jawab diri dibandingkan penyesalan
terhadap diri

2. Skala kecerdasan emosi


Skala yang digunakan unutuk mengukur kecerdasan emosi adalah AES
(Asssessing Emotion Scale) yang dikembangkan oleh Schutte, Malouff, dan
Bhullar. Skala iini berdasarkan empat dimensi yaitu persepsi emosi, pengaturan
emosi diri, penanganan emosi orang lain, dan pemanfaatan emosi yang akan
disesuaikan dengan penelitian yang akan dilaksanakan.

Tabel 3.3
Skala Kecerdasan Emosional

No. Dimensi Indikator

1. Persepsi emosi - Kemampuan mengenali emosi diri


- Kemampuan membentuk persepsi
positif
2. Pengaturan - Kemampuan untuk mengatur suasana
emosi diri hati dan emosi dalam diri
- Kemampuan untuk tetap berfikir jenih
di bawah tekanan
3. Penanganan - Kemampuan memahami emosi orang
emosi orang lain
Lain - Kemampuan menanggapi emosi orang
lain secara positif
- Kemampuan memposisikan diri dengan
baik dihadapan orang lain

4. Pemanfaatan - Kemampuan untuk motivasi diri atas


Emosi emosi yang dialami
- Kemampuan untuk memiliki harapan
positif atas emosi yang dialami

F. Uji Coba Instrumen

Menguji instrument penelitian dimulai dengan dengan validitas konstruk dan


dilanjutkan dengan uji coba instrument dengan rumus product moment. Untuk
menguji validitas konstruksi, dapat digunakan pendapat dari ahli (judgment
experts). Dalam hal ini setelah instrumen dikonstruksi tentang aspek-aspek yang
akan diukur dengan berlandaskan teori tertentu, maka selanjutnya dikonsultasikan
dengan ahli. Para ahli diminta pendapatnya tentang instrument yang telah disusun
itu. Mungkin para ahli akan memberi keputusan: instrumen dapat digunakan tanpa
perbaikan, ada perbaikan, dan mungkin dirombak total. Jumlah tenaga ahli yang
digunakan minimal tiga orang dan umumnya mereka yang telah bergelar doktor
sesuai dengan lingkup yang diteliti. Setelah pengujian konstruksi dari ahli dan
berdasarkan pengalaman empiris di lapangan selesai, maka diteruskan dengan uji
coba instrumen. Instrumen tersebut dicobakan pada sampel dari mana populasi
diambil.35 Sebelum melakukan analisis data, peneliti terlebih dahulu melakukan
pengujian terhadap validitas konstruk ketiga instrumen pengukuran yang
digunakan, yaitu Pembelajaran Al-Qur’an, adversity quotient, dan kecerdasan
emosi Untuk menguji validitas konstruk dari instrumen-instrumen pengukuran
tersebut, peneliti menggunakan metode Confirmatory Factor Analysis (CFA). CFA
adalah suatu bagian dari analisis faktor yang digunakan untuk menguji apakah
masing-masing item valid dalam mengukur konstruk yang hendak diukur.
Confirmatory Factor Analysis diuji dengan menggunakan software LISREL 8.7.
Cara pengujian validitas item dengan metode CFA yaitu: Menguji apakah
hanya terdapat satu faktor saja yang menyebabkan item-item saling berkorelasi.
Hipotesis ini diuji dengan chi-square untuk memutuskan ada atau tidak ada
perbedaan antara matriks korelasi yang diperoleh dari data dengan matriks korelasi
yang dihitung menurut teori atau model. Jika nilai chi- square tidak signifikan (p >
0,05), maka item yang diuji mengukur satu faktor saja.
Sedangkan, jika nilai chi-square signifikan (p < 0,05) maka hipotesis nihil
tersebut ditolak yang artinya item-item yang diuji ternyata mengukur lebih dari satu
faktor (multidimensional). Dalam keadaan demikian maka peneliti melakukan
modifikasi terhadap model dengan cara memperbolehkan kesalahan pengukuran
pada item-item saling berkorelasi tetapi dengan tetap menjaga bahwa item hanya
mengukur satu faktor (unidimensional). Jika sudah diperoleh model yang fit (tetapi
tetap unidimensional) maka dilakukan langkah selanjutnya.
1. Menganalisis item mana yang menjadi sumber tidak fit. Beberapa
hal yang perlu diperhatikan untuk mengetahui item mana yang
menjadi sumber tidak fit, yaitu:

35
Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2014),
h.125.
a. Melakukan uji signifikansi terhadap koefisien muatan faktor
dari masing- masing item dengan menggunakan t-test. Jika
nilai t yang diperoleh pada sebuah item tidak signifikan (t <
1,96), maka item tersebut akan di-drop karena dianggap tidak
signifikan sumbangannya terhadap pengukuran yang sedang
dilakukan.
b. Melihat arah dari koefisien muatan faktor (factor loading).
Jika suatu item memiliki muatan faktor negatif, maka item
tersebut dieliminasi karena tidak sesuai dengan pengukuran
c. (berarti semakin tinggi nilai pada item tersebut semakin
rendah nilai pada faktor yang diukur).
d. Sebagai kriteria tambahan (optional) dapat dilihat juga
banyaknya korelasi partial antar kesalahan pengukuran, yaitu
kesalahan pengukuran pada suatu item yang berkorelasi
dengan kesalahan pengukuran pada item lain. Jika pada suatu
item terdapat terlalu banyak korelasi seperti ini (misalnya
lebih dari tiga), maka item tersebut juga akan dieliminasi.
Alasannya adalah karena item yang demikian selain mengukur
apa yang ingin diukur juga mengukur hal lain (multi
dimensional item).
e. Menghitung faktor skor. Jika langkah-langkah di atas telah
dilakukan, maka diperoleh item-item yang valid untuk
mengukur apa yang ingin diukur.
G. Analisis Data

Analisis data digunakan untuk melihat pengaruh Independen Variabel terhadap


Dependen Variabel. Teknik analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah multiple regression analysis atau analisis regresi berganda. Analisis regresi
linier berganda adalah hubungan secara linear antara dua atau lebih variabel
independen (X1, X2,….Xn) dengan variabel dependen (Y). Analisis ini untuk
mengetahui arah hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen
apakah masing-masing variabel independen berhubungan positif atau negatif dan
untuk memprediksi nilai dari variabel dependen apabila nilai variabel independen
mengalami kenaikan atau penurunan. Persamaan regresi linear berganda sebagai
berikut:

Y’ = a + b1X1+b2X2+b3X3+e
Keterangan:
Y’ = Pembelajaran Al-Qur’an
X1 = Adversity Quotient
X2 = Emosional Quotient
a = Intercept atau Konstanta (nilai Y’ apabila X1, X2…..Xn = 0)
b =Koefisien regresi
e = Residu
Dan dalam penelitian ini, untuk memperoleh hasil analisis regresi linier
berganda data diolah melalui program SPSS versi 21.

Anda mungkin juga menyukai