Anda di halaman 1dari 10

EMOTIONAL SPIRITUAL QUOTIENT DAN FAKIR

MAKALAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Emotional Spiritual Quotient (ESQ)

Dosen Pengampu : Miftahul Ula, M.Ag

Disusun Oleh:

1. Zulia Alfi Syahrina (3318017)


2. Najma Nuro Mahdiya (3318018)

PROGRAM STUDI TASAWUF DAN PSIKOTERAPI


FAKULTAS USHULUDIN ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PEKALONGAN
TAHUN AJARAN 2020
A. PENDAHULUAN
Kesuksesan seseorang tidak hanya dilihat dengan kecerdasan akademis
saja, tetapi juga harus dibarengi dengan kecerdasan emosi dan spiritual.
Dengan adanya perkembangan teknologi saat ini dan di zaman serba modern
sekarang ini, manusia harus memiliki pengetahuan yang lebih untuk bekal
hidup mereka. Terkadang ada orang yang gagal dalam bidang akademis tapi
justru sukses dalam bidang karier, namun ada juga orang yang gagal dalam
bidang karier namun justru sukses dalam bidang akademis. Ada beberapa
faktor yang mempengaruhi kesuksesan orang lain.
Manusia memiliki tiga jenis kecerdasan. Ada kecerdasan intelektual atau
intellectual Quotient (IQ), ada kecerdasan emosi atau Emotional Quotient
(EQ), dan ada kecerdasan spiritual atau Spiritual Quotient (SQ). Ketiga
kecerdasan ini harus saling berhubungan atau berkaitan satu sama lain. Karena
ketiga jenis ini tidak dapat dipisahkan. Pada masyarakat secara umum istilah
fakir itu adalah orang yang meminta-minta atau miskin bahkan ada yang
berjalan-jalan meminta sumbangan dengan mengatasnamakan masjid atau
mushalla. Ini sebuah pola pikir yang riskan. Dalam kehidupan modern, dapat
diwujudkan dalam pengertian kita tidak meminta sesuatu yang diluar apa yang
kita lakukan. Kita harus menyadari bahwa setiap sesuatu ada batasnya, dengan
demikian kita tidak memaksa diri untuk melakukan diluar kesanggupan kita.
B. PEMBAHASAN
1. Emotional Spiritual Quotient
a) Pengertian Emotional Spiritual Quotient (ESQ)
Ary Ginanjar Agustian mendefinisikan emotional spiritual
quotient (ESQ) sebagai sebuah kecerdasaan yang meliputi emosi dan
spiritual dengan konsep universal yang mampu menghantarkan pada
predikat memuaskan bagi dirinya dan orang lain, serta dapat

1
menghambat segala hal yang kontraduktif terhadap kemajuan umat
manusia.1
Secara sederhana Ary Ginanjar Agustian menggambarkan
konvergensi bentuk kecerdasan tersebut sebagai berikut :

Tuhan Tuhan

EQ SQ
ESQ
Manusia Manusia

Tuhan Manusia Manusia

Hal yang mendasari pemikiran ini adalah nilai-nilai ihsan, rukun


iman dan rukun islam. Disamping sebagai petunjuk ibadah bagi umat
islam, ternyata pokok pikiran dalam nilai-nilai ihsan, rukun iman dan
rukun islam tersebut juga memberikan bimbingan untuk mengenali
dan memahami perasaan kita sendiri, dan juga perasaan orang lain,
memotivasi diri, mengelola emlosi dalam berhubungan dengan orang
lain. Suatu metode membangun emotional quotient (EQ) yang didasari
dengan hubungan antara manusia dengan Tuhannya.2
b) Karakteristik Emotional Spiritual Quotient (ESQ)
Menurut Daniel Golmen, seorang pakar kecerdasan emosi
berpendapat bahwa peningkatan kualitas kecerdasan emosi sangat
berbeda dengan kecerdasan intelektual (IQ). Jika kemampuan IQ
relative tidak berubah, maka kecakapan emosi dapat dipelajari dan
ditingkatkan decara signifikan. Dengan motivasi dan usaha yang benar,
maka kecakapan emosi dapat dipelajari dan dikuasai. Golmen merinci
kecerdasan emosional ke dalam lima unsur yaitu: (1). Kesadaran diri
(self awareness) (2). Pengendalian diri (self regulation) (3). Motivasi

1
Amal Al Ahyadi, “Emotional Spiritual Quotient (ESQ) Menurut Ary Ginanjar Agustian
Relevansiannya Dengan Pengembangan Kompetensi Spiritual Dan Kompetensi Sosial Kurikulum
2013”(UIN Walisongo: 2015), hal 40-41
2
Ibid, hal 41

2
diri (self motivation) (4). Empati (Empathy) (5). Kecakapan Sosial
(social skill).3
Menurut Robert A. Emmons, ada beberapa karakteristik orang
yang cerdas secara spiritual yaitu kemampuan untuk mengalam tingkat
kesadaran yang memuncak, kemampuan untuk mensakralkan
pengalaman sehari-hari, kemampuan untuk menggunakan sumber-
sumber spiritual buat menyelesaikan masalah dan kemampuan untuk
berbuat baik.
Menurut Dimitri Mahyana, ciri-ciri orang yang memiliki SQ
tinggi yaitu memiliki prinsip dan visi yang kuat (prinsip kebenaran,
keadilan, dan kebaikan), mampu melihat kesatuan dalam
keanekaragaman, mampu memaknai setiap sisi kehidupan, mampu
mengelola dan bertahan dalam keulitan dan penderitaan.4
Dari semua pendapat mengenai EQ dan SQ di atas, dapat
disimpulkan bahwa karakteristik ESQ yaitu kemampuan dalam
kesadaran diri yang memuncak, dapat mengendalikan diri dalam
mensakralkan pengalaman sehari-hari, dapat memotivasi diri walau
dalam kesulitan dengan mengunakan sumber-sumber spiritual untuk
menyelesikan kesulitan tersebut.
2. Fakir
a. Pengertian Fakir
Secara etimologi kata faqr berarti kesusahan, kesedihan,
kemiskinan, yaitu orang yang tidak memiliki apa-apa pada

3
Herwati, Tesis: “Emotional Spiritual Quotient (ESQ) dan Relevansinya Terhadap
Pendidikan Agama Islam (Telaah Pemikiran Ary Ganjar Agustina dan Pemikiran Muhammad Utsman
An-Najati” (Malang: UIN Maulana Malik Ibrahim, 2016) Hal. 35.
4
Herwati, Tesis: “Emotional Spiritual Quotient (ESQ) dan Relevansinya Terhadap
Pendidikan Agama Islam (Telaah Pemikiran Ary Ganjar Agustina dan Pemikiran Muhammad Utsman
An-Najati” (Malang: UIN Maulana Malik Ibrahim, 2016) Hal. 46-47.

3
dirinya5. Menurut terminologi faqr berasal dari bahasa arab yaitu
faquro – yafquru – faqran yang arti miskin, istilah fakir bermakna
kemiskinan, sedangkan dalam bahasa Indonesia faqir berarti orang
yang sangat kekurangan, yang terlalu miskin atau orang yang
dengan sengaja membuat dirinya menderita kekurangan untuk
mencapai kesempurnaan6. Faqr secara harfiah biasanya di artikan
sebagai orang yang berhajat, memerlukan sesuatu atau orang
miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi, faqr adalah tidak
meminta lebig dari apanyang telah ada pada diri kita.
Menurut Abu Hafs Umar al-Suhrawardi, Fakir terkadang
merupakan nama, kebiasaan dan kebenaran. Sebagai nama fakir
berarti tidak mengumpulkan harta meski sangat menginginkannya.
Sebagai kebiasaan yaitu tidak memiliki harta meski bersikap
zuhud. Sedang sebagai kebenaran adalah kemustahilan memiliki
harta. Pada masyarakat secara umum istilah fakir itu adalah orang
yang meminta-minta atau miskin bahkan ada yang berjalan-jalan
meminta sumbangan dengan mengatasnamakan masjid atau
mushalla. Ini sebuah pola pikir yang riskan. Al-Syibli memberikan
pengertian faqr dengan “tidak adanya rasa butuh kecuali kepada
Allah.7” Padahal yang dimaksud dengan fakir yaitu bukan hanya
meminta-minta, miskin tetapi miskin untuk berbuat maksiat. Faqr
dibangun atas kema’rifatan akan kelemahan dan kehinaan diri
sehingga butuh kepada Allah yang maha segalanya. Maqam faqr
juga akan menimbulkan semangat mencari kebenaran dan

5
M. Noor Fuady, “Faqr: La Yamliku Syai’an Wala Yamliku Syai’un,” Al-Banjari, Vol. 6, No. 12,
Juli - Desember 2007, hal 33
6
Abdul Aziz Ajhari, dkk, Jalan menggapai Ridho Ilahi, (Bandung: Bahasa dan Sastra Arab,
2019), hal 38
7
Ach. Maimun, “Mahabbah Dalam Tasawuf Rabi’ah Al-Adawiyah: Apresiasi atas Rintisan
Mistik Sejati dalam Islam”, Millah Vol. III, No. 2, Januari 2004, hal 179

4
petunjuk dari Allah SWT,. Sifat faqr merupakan salah satu
penjernihan jiwa manusia. Jiwa mesti ditata dalam proses
penjernihan jiwa yang akan menimbulkan atau menumbuhkan
maqam faqr. Untuk mensucikan jiwa adalah dengan mengikuti
sifat-sifat Allah swt dan akhlak Nabi Muhammad Saw, dengan
keistiqomahan berdzikir kepada-Nya dan bershalawat kepada
Rasul-Nya.
Orang yang faqr bukan berarti tidak memiliki apa-apa, namun
orang faqr adalah orang yang kaya akan dengan Allah semata,
orang yang hanya memperkaya rohaninya dengan Allah.
b. Tingkatan-tingkatan Faqr
Faqr dalam buku Ihya Ulumuddin untuk orang modern,
tingkatan-tingkatan faqr, yaitu sebagai berikut8.
• Orang faqr yang memang tidak suka dengan harta yang
dimilikinya. Dia selalu menjaga diri darinya. Orang faqir
semacam ini adalah orang yang zuhud
• Orang faqir yang tidak mejaga diri darinya dan tidak pula
menyukainya. Jika harta itu ada padanya, dia tidak
membencinya. Dia adalah orang faqir yang ridha dengan
nasibnya.
• Orang faqir yang lebih menyukai adanya harta dari pada
ketiadaannya. Dia tidak ngotot mencari harta. Hanya saja,
jika harta itu datang dengan mudah dia akan senang.
• Orang faqir yang membutuhkan dan menyukai harta, tetapi
dia tidak dapat mencarinya karena tidak ada kemampuan
dalam dirinya.

8
Fauzan Azima Syafiuddin Skripsi, “Konsep Faqir Dalam Tafsir Ruh Al-Ma’ani Karya Al-Alusi”,
(UIN SUSKA Riau,2019), hal 14-15

5
• Orang faqir yang ketiadaan harta padanya dapat
menyebabkan suatu kemudharatan, seperti orang lapar
yang tidak memiliki makanan, orang telanjang yang tidak
memiliki pakaian, baik bagi dirinya atau bagu anak-
anaknya. Orang dalam kondisi demikian, jika tidak
memiliki keinginan pada harta, maka dia termasuk orang
yang jarang. Dia adalah orang yang benar-benar zuhud.

3. Persamaan Karakter Fakir dan ESQ


Dalam karakter yang telah dijelaskan diatas, antara Fakir dan
ESQ memiliki beberapa persamaan. Seperti pada karakteristik ESQ
dijelaskan bahwa seseorang yang telah mencapai kecerdasan emosi
spiritual akan mampu memotivasi diri walau dalam kesulitan dengan
menggunakan sumber-sumber spiritual untuk menyelesaikan kesulitan
tersebut.
Sedangkan di dalam tingkatan fakir terdapat Orang faqir yang
tidak mejaga diri darinya dan tidak pula menyukainya. Jika harta itu
ada padanya, dia tidak membencinya. Dia adalah orang faqir yang
ridha dengan nasibnya.
Keduanya memiliki persamaan agar selalu menerima apapun
keadaanya. Sehingga dapat kita ketahui bahwa dengan selalu
bersyukur, kita dapat mencapai kebahagiaan yang haqiqi.

C. KESIMPULAN
• Ary Ginanjar Agustian mendefinisikan emotional spiritual quotient
(ESQ) sebagai sebuah kecerdasaan yang meliputi emosi dan spiritual
dengan konsep universal yang mampu menghantarkan pada predikat

6
memuaskan bagi dirinya dan orang lain, serta dapat menghambat
segala hal yang kontraduktif terhadap kemajuan umat manusia.
• Golmen merinci kecerdasan emosional ke dalam lima unsur yaitu: (1).
Kesadaran diri (self awareness) (2). Pengendalian diri (self regulation)
(3). Motivasi diri (self motivation) (4). Empati (Empathy) (5).
Kecakapan Sosial (social skill).
• Secara etimologi kata faqr berarti kesusahan, kesedihan, kemiskinan,
yaitu orang yang tidak memiliki apa-apa pada dirinya. Menurut
terminologi faqr berasal dari bahasa arab yaitu faquro – yafquru –
faqran yang arti miskin, istilah fakir bermakna kemiskinan, sedangkan
dalam bahasa Indonesia faqir berarti orang yang sangat kekurangan,
yang terlalu miskin atau orang yang dengan sengaja membuat dirinya
menderita kekurangan untuk mencapai kesempurnaan.
• Faqr dalam buku Ihya Ulumuddin untuk orang modern, tingkatan-
tingkatan faqr, yaitu Orang faqr yang memang tidak suka dengan harta
yang dimilikinya. Dia selalu menjaga diri darinya. Orang faqir
semacam ini adalah orang yang zuhud, Orang faqir yang tidak mejaga
diri darinya dan tidak pula menyukainya. Jika harta itu ada padanya,
dia tidak membencinya. Dia adalah orang faqir yang ridha dengan
nasibnya, Orang faqir yang lebih menyukai adanya harta dari pada
ketiadaannya. Dia tidak ngotot mencari harta. Hanya saja, jika harta itu
datang dengan mudah dia akan senang, Orang faqir yang
membutuhkan dan menyukai harta, tetapi dia tidak dapat mencarinya
karena tidak ada kemampuan dalam dirinya, Orang faqir yang
ketiadaan harta padanya dapat menyebabkan suatu kemudharatan,
seperti orang lapar yang tidak memiliki makanan, orang telanjang
yang tidak memiliki pakaian, baik bagi dirinya atau bagu anak-
anaknya. Orang dalam kondisi demikian, jika tidak memiliki

7
keinginan pada harta, maka dia termasuk orang yang jarang. Dia
adalah orang yang benar-benar zuhud.
• Keduanya memiliki persamaan agar selalu menerima apapun
keadaanya. Sehingga dapat kita ketahui bahwa dengan selalu
bersyukur, kita dapat mencapai kebahagiaan yang haqiqi.

8
DAFTAR PUSTAKA

Aziz Ajhari, Abdul, dkk. 2019. Jalan menggapai Ridho Ilahi. Bandung: Bahasa dan
Sastra Arab.
Ach. Maimun. “Mahabbah Dalam Tasawuf Rabi’ah Al-Adawiyah: Apresiasi atas
Rintisan Mistik Sejati dalam Islam”, Millah Vol. III, No. 2, Januari 2004, hal 179
Amal Al Ahyadi, “Emotional Spiritual Quotient (ESQ) Menurut Ary Ginanjar
Agustian Relevansiannya Dengan Pengembangan Kompetensi Spiritual Dan
Kompetensi Sosial Kurikulum 2013”(Semarang: UIN Walisongo: 2015), hal 40-41
Herwati, Tesis: “Emotional Spiritual Quotient (ESQ) dan Relevansinya Terhadap
Pendidikan Agama Islam (Telaah Pemikiran Ary Ganjar Agustina dan Pemikiran
Muhammad Utsman An-Najati” (Malang: UIN Maulana Malik Ibrahim, 2016) Hal.
35.
Herwati, Tesis: “Emotional Spiritual Quotient (ESQ) dan Relevansinya Terhadap
Pendidikan Agama Islam (Telaah Pemikiran Ary Ganjar Agustina dan Pemikiran
Muhammad Utsman An-Najati” (Malang: UIN Maulana Malik Ibrahim, 2016) Hal.
46-47.
M. Noor Fuady. “Faqr: La Yamliku Syai’an Wala Yamliku Syai’un.” Al-Banjari, Vol.
6, No. 12, Juli - Desember 2007. hal 33.
Fauzan Azima Syafiuddin Skripsi. “Konsep Faqir Dalam Tafsir Ruh Al-Ma’ani
Karya Al-Alusi”. (Riau: UIN SUSKA Riau,2019), hal 14-15.

Anda mungkin juga menyukai