Disusun Oleh:
SURAKARTA
2022
KATA PENGANTAR
1. Ibu Dr. Upik Elok Endang Rasmani, M.Pd, selaku dosen pembimbing mata
kuliah Pengembangan Kecerdasan Majemuk Anak Usia Dini.
2. Teman-teman kelas 5B Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Semua pihak terutama anggota kelompok 8 yang turut andil dalam
penyelesaian makalah ini.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
COVER ............................................................................................................................... i
C. Tujuan....................................................................................................................... 2
A. Kesimpulan............................................................................................................. 13
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
intelligence), kecerdasan musikal (musical intelligence), kecerdasan
interpersonal (interpersonal intelligence), kecerdasan intrapersonal
(intrapersonal intelligence), kecerdasan lingkungan/ naturalis (naturalist
intelligence), dan kecerdasan eksistensial (exixtential intelligence) atau
kecerdasan spiritual. Dari Sembilan kecerdasan, akan ada beberapa atau satu
kecerdasan yang nantinya dimiliki oleh setiap manusia (anak) , dan cara untuk
menentukan kecerdasan apa yang terlihat pada setiap anak akan memiliki
kriteria atau konteks sendiri – sendiri yang menonjol. Selanjutnya, pada
makalah ini kecerdasan yang akan dibahas oleh penulis adalah mengenai
Kecerdasan Eksistensial (Kecerdasan Spiritual) yang dimiliki oleh anak usia
dini.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah yaitu:
1. Apa Pengertian Dari Kecerdasan Eksistensial (Kecerdasan Spiritual)?
2. Apa Saja Karakteristik Kecerdasan Eksistensial (Kecerdasan Spiritual)
Pada Anak Usia Dini?
3. Apa Aja Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Eksistensial
(Kecerdasan Spiritual) Pada Anak Usia Dini?
4. Bagaimana Strategi Untuk Mengembangkan Kecerdasan Eksistensial
(Kecerdasan Spiritual) Pada Anak Usia Dini?
5. Bagaimana peran Guru dan Orang Tua Dalam Mengembangkan
Kecerdasan Eksistensial (Kecerdasan Spiritual ) Pada Anak Usia Dini?
C. Tujuan
Tujuan yang ada dalam makalah ini, yaitu:
1. Untuk Mengetahui Mengenai Pengertian Dari Kecerdasan Eksistensial
(Kecerdasan Spiritual).
2. Untuk Mengetahui Karakteristik Kecerdasan Eksistensial (Kecerdasan
Spiritual).
3. Untuk Mengetahui Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kecerdasan
Eksistensial (Kecerdasan Spiritual).
2
4. Untuk Mengetahui Strategi Untuk Mengembangkan Kecerdasan
Eksistensial (Kecerdasan Spiritual) Pada Anak Usia Dini.
5. Untuk Mengetahui Peran Guru dan Orang Tua Dalam Mengembangkan
Kecerdasan Eksistensial ( Kecerdasan Spiritual ) Pada Anak Usia Dini.
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
intelektual dan kecerdasan emosional dan dianggap sebagai kecerdasan
tertinggi
Selanjutnya, Kecerdasan Eksistensial (Kecerdasan Spiritual) ini dapat
dilihat sejak anak kecil karena anak-anak belum memiliki penyaring
kebudayaan sehingga mereka dapat selalu menerima rahasia-rahasia kehidupan
melalui pengajuan pertanyaan-pertanyaan yang sulit dijawab oleh orang
dewasa. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila pada masa kanak-kanak,
anak banyak mengajukan berbagai pertanyaan tentang berbagai hal yang
bahkan terkadang tidak pernah terpikirkan oleh anak lain seusianya. Pertanyaan
ini dapat dibuktikan dengan adanya pertanyaan seperti “kenapa kita harus
sembayang, kenapa ada orang baik dan orang jahat, kenapa meninggal” yang
sering diajukan oleh anak-anak (Syarifah, 2019).
5
diyakininya. Sederhananya, anak tertarik dengan film-film yang
bertema spiritualisme atau rohani. Anak terbiasa mengagumi ciptaan
Allah, Bulan, Bintang, maupun makhluk hidup yang lain, cepat dalam
mempelajari kitab suci dan tekun dalam melaksanakan ibadah
agamanya.
3. Anak-anak dengan kecerdasan eksistensial dapat merasakan,
membayangkan, menjelaskan dan membuat rencana-rencana besar
dalam kehidupan.
4. Dapat mengontrol interpersonal dan intrapersonal dengan baik. Dalam
hal ini anak akan memiliki kontrol emosi dalam melihat atau memaknai
suatu peristiwa yang diilami ( anak mampu mengambil hikmah)
6
2. Faktor Lingkungan Keluarga
Lingkungan keluarga sebagai tempat anak untuk berkembang
dan beradaptasi akan membentuk kepribadian anak. Oleh karena itu
kualitas seorang anak yang tumbuh pada keluarga harmonis akan sangat
berbeda dengan anak yang dilahirkan maupun yang dibesarkan dalam
keluarga tidak dan kurang harmonis. Hal ini dikarenakan didalam
keluarga yang kurang atau tidak harmonis seringkali terjadi konflik
dalam keluarga tesebut, anak sering diabaikan pertumbuhan dan
perkembangan maupun kebutuhan tumbuhkembangnya. Sehingga hal
tersebut dapat memberikan dampak yang buruk pada perkembangan
kecerdasan eksitensial atau kecerdasan spiritual anak. Didalam keluarga
yang tidak harmonis anak seringkali mendapat kebisingan berupa
konflik dalam keluarga yang dapat berdampak pada kejiwaan anak.
Anak-anak akan mendapatkan gambaran yang kurang baik dan tidak
mendapatkan teladan kecerdasan eksistensial yang baik oleh anggota
keluarganya sehingga anak akan memiliki perkembangan kecerdasan
eksistensial yang kurang atau tidak maksimal.
Sehingga, faktor keluarga menjadi faktor utama dalam
pembentukan kecerdasan eksistensial karena dari orangtua anak dapat
meneladani nilai-nilai spiritualitas dalam diri orangtuanya. Oleh sebab
itu orangtua hendaknya juga memberikan motivasi kepada anak untuk
selalu melakukan hal-hal baik untuk menjadikannya pribadi yang
disayang Tuhan. Hal ini juga dilakukan agar anak merasakan kasih
sayang dengan perhatian orangtua yang diberikan kepadanya. Saat anak
sudah merasa disayang maka anak akan lebih terbuka kepada
orangtuanya dan secara tidak langsung anak akan terbiasa untuk
bersikap jujur.
3. Faktor Lingkungan Masyarakat
Lingkungan masyarakat juga mempengaruhi perkembangan
kecerdasan eksistensial karena dari lingkungan masyarakatnya anak-
anak akan melakukan berbagai interaksi. Didalam interaksi tersebut
7
anak akan menyerap nilai-nilai yang ada dalam lingkungan
masayaraknya. Apabila anak berada pada lingkungan masyarakat yang
baik tentunya anak akan menyerap nilai-nilai yang baik dan sebaliknya,
saat anak memiliki lingkungan masyarakat yang tidak baik maka anak
akan memiliki nilai-nilai yang tidak baik. Nilai-nilai yang anak dapatkan
dari lingkungan masyarakat ini dapat meresap dalam diri anak dan akan
tertanam didalam dirinya. Oleh sebab itu, mengarahkan dan mengontrol
anak untuk memiliki lingkungan pergaulan yang baik sangat penting
dilakukan oleh orangtua.
8
2. Metode belajar
Dalam memberikan stimulasi, metode yang sering digunakan oleh
guru adalah metode bercerita. Cerita-cerita yang disampaikan dapat berupa
kisah-kisah dunia nyata maupun dongeng untuk mengajarkan nilai-nilai
moral. Pemberian kisah dalam metode bercerita disesuaikan dengan tema
dan usia anak. Kisah-kisah yang disampaikan juga dapat dikaitkan dengan
kehidupan sehari-hari yang dekat dengan anak.
Teknik implementasi stimulai kecerdasan eksistensial dengan
metode bercerita dijelaskan oleh (Nuryanto, 2017) dikelompokkan
menjadi :
a. Perencanaan
Sekolah mengelompokkan apa saja yang akan menjadi tujuan
dalam kecerdasan eksistensial atau spiritual. Tujuan ini dapat merujuk
pada STTPA maupun standar pencapaian perkembangan yang
dikembangkan oleh lembaga pendidikan tersebut. Apabila tujuan
sudah ditetapkan, langkah selanjutnya yaitu mengelompokkan kisah
beserta dengan kisah moral yang relevan dengan tujuan. Perencanaan
ini dibuat untuk satu semester yang berisi tentang judul kisah, tujuan
stimulasi kecerdasan spiritual, media, dan alokasi waktu
pembelajaran.
b. Pelaksanaan
Pada pelaksanaan, guru dapat melakukan apasaja yang sudah
direncanakan dalam RPPH dan berkisah sesuai yang ada di RPPH.
Alokasi waktu penyampaian kisahnya selama 10 menit karena ini
adalah waktu yang ideal bagi anak untuk berkonsentrasi. Selanjutnya,
guru maupun orantua dapat memberikan kegiatan tindak lanjut dari
pesan moral yang disampaikan melalui pemberian teladan dan
pembiasaan.
c. Evaluasi
Pada tahap evaluasi, guru maupun orangtua dapat melakukan
pengecekan tentang implementasi nilai yang anak terima sudah
9
tertanam dengan baik atau belum. Penilaian dilakukan melalui
pengamatan dan cek list. Pengamatan tersebut dapat dilakukan dengan
mengamati tingkah laku anak, pengamalan nilai yang sudah diajarkan,
dan cek list dilakukan dengan memberikan tanda ceklist pada indicator
yang sudah ditetapkan oleh lembaga.
10
lingkungan pertama yang memiliki peran penting dalam melindungi
keberadaan sang anak yaitu lingkungan keluarga.
Dengan demikian, keteladanan dari orang tua sangat penting bagi
pertumbuhan kecerdasan spiritual sang anak. Jika sejak usia dini anak sudah
memiliki sebuah pembiasan untuk mensyukuri atas segala karunia dan
nikmat yang Tuhan Maha Esa berikan, maka rasa syukur tersebut akan
selalu tertanam dalam diri anak hingga anak tersebut menjadi dewasa.
2. Orang Tua Sebagai Pendidik
Orang tua menjadi salah satu pihak yang bertanggung jawab atas
perkembangan pendidikan sang anak dan suatu kewajiban yang harus
dilakukan oleh setiap orang tua. Oleh karena itulah, setiap orang tua
seharusnya memfasilitasi anak dalam masa pertumbuhan dan
perkembangan anak yang dalam berupa sebuah kegiatan yang
mengandung pendidikan.
Contohnya, orang tua dapat mendidik sang anak untuk
membiasakan berbagi dengan orang, dengan didasarkan bahwasanya
setiap manusia itu dihadapan Tuhan Yang Maha Esa itu adalah sama.
Dengan begitu, sang anak dapat tahu akan kodrat dirinya sebagai
makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki sebuah
kedudukan yang setara di hadapanNya.
3. Orang Tua Sebagai Pemberi Motivasi
Orang tua yang senantiasa memberikan sebuah dorongan atau
motivasi dalam hal meningkatkan sebuah kecerdasan spiritual anak
sangat kuat berkaitan dengan optimisme masa depan tiap individu.
Contohnya, orang tua dapat memberi sebuah motivasi dengan
memberikan sebuah penghargaan seperti pelukan atau hadiah ketika
sang anak dapat melakukan sesuatu yang berkaitan dengan nilai-nilai
spiritual, misalnya anak yang sudah dapat membaca doa sebelum dan
sesudah kegiatan.
11
4. Orang Tua Sebagai Pemberi Kasih Sayang
Ketika anak yang dibesarkan oleh orang tuanya dengan penuh
kasih sayang, makan anak tersebut akan mempunyai kasih saya juga
kepada orang lain. Dalam kecerdasan spiritual yang ditanamkan kepada
anak dengan sebuah pengasuhan yang penuh kasih sayang akan menjadi
jauh lebih efektif daripada pengasuhan yang ditanamkan dengan sesuatu
aturan-aturan yang terikat terhadap sebuah proses pembinaan
kecerdasan spiritual sang anak.
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kecerdasan Eksistensial merupakan kecerdasan yang dimiliki oleh
setiap individu dengan kemampuannya berfikir dan merenungkan dirinya
secara lebih mendalam dan luas serta berkaitan dengan keyakinan dalam hati
mengenai spiritualnya atau hubungannya dengan Tuhan. Pada kecerdasan ini
individu (anak) akan lebih membahas pada konteks kehidupan, kematian dan
memaknai setiap peristiwa–peristiwa yang terjadi di dalam dirinya.
karakteristik yang mendasari anak atau individu dapat dilihat memiliki
kecerdasan ini diantara lain adalah adanya kesadaran secara kolektif, mampu
mengetahui atau memahami dari sebuah arti ibadah (yakin dan teguh pada
keyakinan dan berani dalam keadilan), memiliki langkah tujuan yang hendak
dicapai (merasakan, membayangkan, menjelaskan dan membuat rencana-
rencana besar dalam kehidupan) , dan memiliki control emosi yang baik.
Faktor – faktor yang dapat mempengaruhi proses kecerdasan
eksistensial ini pada anak usia dini yaitu : Faktor Bawaan, Faktor Lingkungan
Keluarga dan Faktor Lingkungan Masyarakat. Dari faktor – faktor yang ada
maka yang dapat dilakukan guru dan orang tua dalam membantu anak
mengembangkan kecerdasaan eksistensial ini adalah dengan pengajaran dan
metode belajar yang disesuaikan dengan anak, membantu anak secara langsung
melalui keteladhanan dan juga mencurahkan kasih sayang pada anak serta
memberinya motivasi pada setiap langkah – langkah.
13
DAFTAR PUSTAKA
Dini, A. U., & Hotimah, N. (2019). Peran Orang Tua Dalam Meningkatkan
Kecerdasan Spiritual. 1(2), 85–93.
Nuryanto, S. (2017). Stimulasi Kecerdasan Spiritual Pada Anak Usia Dini Melalui
Kisah. JURNAL INDRIA (Jurnal Ilmiah Pendidikan Prasekolah Dan Sekolah
Awal), 2(2), 41–55. https://doi.org/10.24269/jin.v2n2.2017.pp41-55
14