Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

POTENSI DAN PERBEDAAN KARAKTERISTIK DALAM BELAJAR


Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Pendidikan

Dosen Pengampu :
Dra. Sorta Simanjuntak, MS

Disusun oleh :
Kelompok 3 (PGSD – G 23)

1. SHYAILLAH FADILLAH (1231111092)


2. NURHKOLIZAH (1233111035)
3. CINDY F.S SITUMORANG (1233111029)
4. SERI WAHYUNI (1233111026)
5. REGINA YOLANDA NAIBAHO (1233111178)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur Kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas Rahmat
Nya sehingga penyusunan dan penulisan makalah ini dapat selesai dengan lancar
dan tepat waktu.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih yang sebesar besarnya
kepada Ibu Dra. Sorta Simanjuntak, MS selaku dosen pengampu Mata Kuliah
Psikologi Pendidikan yang telah memberikan tugas kepada kami.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
rutin pada mata kuliah Psikologi Pendidikan. Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca. Karena keterbatasan pengetahuan maupun
pengalaman kami. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritik
yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Demikian penulis sampaikan dan semoga makalah ini bermanfaat bagi
pihak yang membacanya.

Medan, 10 Maret 2024

Kelompok 03

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ i
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 1
1.3 Tujuan ...................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................... 3
2.1 Intelegensi ................................................................................................ 3
2.2 Multikecerdasan ....................................................................................... 3
2.3 Minat........................................................................................................ 5
2.4 Bakat ........................................................................................................ 5
2.5 Gaya Belajar............................................................................................. 6
2.6 Gaya Berpikir ........................................................................................... 8
2.7 Keterampilan Belajar ................................................................................ 9
2.8 Perbedaan Gender .................................................................................. 12
2.9 Perbedaan Agama ................................................................................... 16
2.10 Perbedaan Kultur .................................................................................. 20
BAB III PENUTUP ........................................................................................... 24
3.1 Kesimpulan ............................................................................................ 24
3.2 Saran ...................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 26

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Belajar adalah proses memperoleh berbagai kecakapan, keterampilan dan sikap.
Kemampuan orang untuk belajar ialah ciri penting yang membedakan dari jenis-
jenis makhluk lain, itu memberikan manfaat bagi individu dan juga masyarakat.
Bagi individu dalam kebudayaan kita, kemampuan untuk belajar secara terus
menerus memberikan sumbangan bagi pengembangan berbagai ragam gaya hidup.
Bagi masyarakat, belajar memainkan peranan penting dalam penerusan kebudayaan
berupa kumpulan pengetahuan ke generasi baru. Hal ini memungkinkan temuan-
temuan baru berdasarkan perkembangan di waktu sebelumnya. Umumnya, orang
tidak tahu teknik mana yang harus digunakan untuk memunculkan ide baru, atau
cara mengembangkan bakat yang alami. Mereka belum pernah menjalani pelatihan,
atau tidak punya latar belakang kreativitas apapun.
Karakteristik anak masing-masing berbeda-beda, guru perlu memahami
karakteristik awal anak didik sehingga ia dapat dengan mudah untuk mengelola
segala sesuatu yang berkaitan dengan pembelajaran termasuk juga pemilihan
strategi pengelolaan, yang berkaitan dengan bagaimana menata pengajaran,
Kemampuan yang dimiliki mereka sehingga komponen pengajaran dapat sesuai
dengan karakteristik dari siswa yang akhirnya pembelajaran tersebut dapat lebih
bermakna. Berdasarkan pada kemampuan ini dapat ditentukan dari mana
pengajaran harus dimulai dan di batas mana pengajaran tersebut dapat di akhiri.
Jadi, pengajaran berlangsung dari kemampuan awal sampai ke kemampuan akhir
(tujuan akhir) itulah yang menjadi tanggung jawab pengajar Guru harus mengenal
karakteristik peserta didik, karena dengan mengenal karakteristik peserta didik
membantu guru dalam mengantarkan mereka untuk mengejar cita-cita yang
diinginkan.
Dalam proses pembelajaran guru harus mengenali dan memahami karakterstik
peserta didik. Salah satu manfaat memahami karakteristik peserta didik adalah
proses belajar mengajar yang berlangsung dengan lebih baik, sehingga tujuan
pembelajaran dapat tercapai.
1.2 Rumusan Masalah

1
1. Apa Pengertian dari intelegensi?
2. Apa yang dimaksud dengan Multi kecerdasan?
3. Apa Pengertian dari minat?
4. Apa Pengertian bakat dan Karakteristik anak berbakat?
5. Apa pengertian dan macam macam Gaya Belajar?
6. Apa yang dimaksud dengan Gaya berpikir?
7. Apa saja aspek dan jenis keterampilan belajar?
8. Apakah ada dampak khusus terhadap perbedaan gender?
9. Bagaimana fase perkembangan agama pada anak?
10. Apa saja faktor faktor yang mempengaruhi perbedaan kultur?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari intelegensi
2. Mengetahui maksud dari multi kecerdasan
3. Mengetahui pengertian dari minat
4. Mengetahui pengertian dari bakat dan karakteristik anak berbakat
5. Mengetahui pengertian dan macam – macam gaya belajar
6. Mengetahui maksud dari gaya berpikir
7. Mengetahui apa saja aspek dan jenis keterampilan belajar
8. Mengetahui Apakah ada dampak khusus terhadap perbedaan gender
9. Mengetahui fase perkembangan agama pada anak
10. Mengetahui apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan kultur

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Intelegensi
Intelegensi adalah kemampuan kecerdasan seseorang yang melibatkan proses
berpikir secara rasional dan efektigf untuk memahami, beradaptasi,dan merespon
lingkungan serta situasi yang di hadapi.
Inteligensi berasal dari bahasa Inggris "intelligence" yang juga berasal dari
bahasa Latin yaitu "intellectus dan "intelligentia".Intelegensi. Inteligensi
merupakan faktor yang terpenting. Kecerdasan yang tinggi disertai oleh
perkembangan yang cepat, sebaliknya jika kecerdasan rendah, maka anak akan
terbelakang dalam pertumbuhan dan perkembangan.
Faktor inteligensi ini sangat mempengaruhi prestasi belajar seorang siswa,
biasanya anak yang memiliki inteligensi yang tinggi dia akan memiliki prestasi
yang membanggakan di kelasnya, dan dengan prestasi yang dimilikinya ia akan
lebih mudah meraih keberhasilan. Sebaliknya, siswa yang memiliki inteligensi yang
rendah biasanya memiliki prestasi belajar yang rendah.
Inteligensi kemampuan seseorang untuk memikirkan sesuatu permasalahan
yang dihadapi, kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungannya dengan baik,
kemampuan untuk mengambil keputusan. Santrock (2011: 218) mengemukakan
bahwa ada beberapa teori yang menganggap pentingnya memahami perkembangan
kognitif dalam belajar seperti teori sosial kognitif (social cognitive), proses
informasi (information processing), kognitif konstruktivistik (cognitive
constructivitist), sosial konstruktivistik (social constructivist). Teori-teori tersebut
dikemukakan oleh beberapa ahli yang dimuat dalam bukunya Santrock, (2011)
seperti Bandura menyatakan bahwa interaksi antara lingkungan, pribadi (kognitif),
dan perilaku merupakan faktor yang berpengaruh dalam belajar. Halford
menyatakan tentang teori konstruktivistik bahwa anak mengkonstruksi pe-
ngetahuan dan pemahamannya melalui proses kognitif. Holz- man menjelaskan
tentang teori sosial konstruktivistik bahwa kolaborasi dengan orang lain akan
menghasilkan pengetahuan dan pemahaman seseorang tentang sesuatu hal.
2.2 Multi Kecerdasan

3
Multi Kecerdasan (Multiple Intelligences) merupakan sebuah teori tentang
kecerdasan yang artinya “kecerdasan ganda” atau “kecerdasan majemuk”. Teori ini
ditemukan dan dikembangkan oleh Horwad Gardner, seorang ahli psikologi
perkembangan dan profesor pendidikan dari Graduate School of Education,
Harvard University, Amerika Serikat. Horwad Gardner adalah Direktur Proyek
Zero di Harvard University yang dengannya dia mengembangkan teori
multiple intellegensi (MI) dan mengaplikasikannya dalam dunia pendidikan.
Secara tradisional kecerdasan diartikan sebagai istilah yang digunakan untuk
menjelaskan sifat pikiran yang mencakup sejumlah kemampuan, seperti
kemampuan merencanakan, menalar, memecahkan masalah, berpikir abstrak,
memahami gagasan, menggunakan bahasa, dan belajar.
Sebagaimana yang telah dimaksudkan oleh Gardner pada awal kajiannya
mengelompokkan kemampuan manusia yang sesuai dengan kecerdasannya
dalam tujuh kelompok kecerdasan diantaranya yakni Kecerdasan Linguistik,
Kecerdasan LogisMatematik, Kecerdasan Visual Spasial, Kecerdasan Kinestetik,
Kecerdasan Musik, Kecerdasan Interpersonal, Kecerdasan Intrapersonal. Pada
buku Intelligence reframed Gardner menambahkan dua kecerdasan baru yakni:
Kecerdasan Naturalis dan Kecerdasan Eksistensial. Menurut Gadner, kecerdasan
seseorang dapat dilihat dari dua aspek, yakni kemampuan menyelesaikan
masalah (problem solving) dan kreativitas (creativity) atau kemampuan
menciptakan produk yang bernilai budaya. Kedua hal ini didapatkan seseorang
dari perkembangan dan pengalamannya bukan karena faktor kelahiran atau genetik
atau bawaan semata.Definisi kecerdasan menurut Gardner diatas menekankan
pada kemampuanmemecahkan persoalan yang nyata, karena seseorang yang
memiliki inteligensi yang tinggi bila ia dapat menyelesaikan persoalan hidup
yang nyata, bukan hanya teori. Semakin seseorang terampil dan mampu
menyelesaikan persoalan kehidupan yang situasinya bermacam-macam dan
kompleks semakin tinggi intelegensinya Teori kecerdasan Gardner ini
menemukan bahwa kecerdasan manusia tidak terbatas hanya pada satu atau dua
jenis-jenis kecerdasan, tetapi multiple atau beragam, Multiple Intelligences. Riset
yang dilakukan Gardner menemukan paling sedikit ada sembilan jenis kecerdasan
pada manusia, yakni kecerdasan linguistik, kecerdasan logis-matematis, kecerdasan

4
visual-spasial, kecerdasan musik, kecerdasan gerak-badani/kinestetik, kecerdasan
interpersonal, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan naturalis atau lingkungan dan
kecerdasan eksistensial.
2.3 Minat
Minat adalah dorongan yang kuat bagi seseorang untuk melakukan segala
sesuatu yang menjadi keinginannya. Minat merupakan faktor yang dapat
mengarahkan bakat dan keberadaannya merupakan faktor utama dalam
pengembangan bakat. Kata minat lebih menggambarkan motivasi, yang
mempengaruhi perhatian, berpikir dan berprestasi.
Minat dapat dibedakan menjadi dua yaitu minat pribadi (personal interest) dan
minat situasional. Minat pribadi (personal interest), yaitu ciri pribadi individu yang
relatif stabil. Minat pribadi ditujukan pada suatu kegiatan atau topik yang spesifik
(misalnya minat pada olah raga, ilmu pengetahuan, musik, tarian, komputer, dan
lain-lain). Sedangkan minat situasional, yaitu minat yang ditumbuhkan oleh kondisi
atau faktor lingkungan, misalnya peran pendidikan formal, informasi yang
diperoleh melalui buku, internet atau televisi.
2.4 Bakat
Bakat merupakan talenta untuk membangun kekuatan pribadi anak dimasa
mendatang. Seseorang dikatakan mempunyai bakat terhadap kegiatan tertentu
ketika ia merasakan kelegaan dan kenikmatan serta apabila gembira
mengerjakannya dan membicarakannya, juga ketika ia berusaha atas dasar
keinginannya untuk menampakkan seluruh tenaganya guna mencapai hal itu.
Pengalaman menyinari bakat dan bakat didapat melalui belajar, baik berhubungan
dengan mapel, permainan, pikiran dalam menjawab teka-teki. Keberbakatan adalah
suatu konsep yang berakar biologis, suatu nama dari inteligensia taraf tinggi sebagai
hasil dari integrasi yang maju cepat dari fungsi-fungsi dalam otak, meliputi
pengindraan (physical sensing), emosi, kognisi, dan intuisi. fungsi yang maju dan
cepat tersebut mungkin diekspresikan dalam bentuk kemampuan-kemampuan yang
melibatkan kognisi, kreativitas, kecakapan akademik, kepemimpinan atau seni rupa
dan seni pectunjukan. Oleh karena kemajuan dan percepatan perkembangan
tersebut, individu memertukan pelayanan dan aktivitas khusus yang disediakan oleh
sekotah agar kemampuan mereka berkembang secara optimal.

5
Seorang anak berbakat biasanya dapat diidentifikasi secara umum melalui
karakteristik sebagai berikut:
1. Anak akan dengan mudah melakukan/mempelajari hal yang menjadi
bakatnya tanpa ada campur tangan orang lain.
2. Anak akan senang/tak merasa terbebani untuk berlatih atau mencoba
berkreasi dengan lebih chal-lenging. Bila bermain piano maka ia akan
menyukai improvisasi. Senang melakukan eksperimen dengan
menggabung-gabungkan sendiri, misalnya untuk lagu-lagu klasik bila
dimainkan menggunakan beat pop/jazz.
3. Anak menyukai kreasi dan memiliki apresiasi (pemahaman dan
penghargaan) yang tinggi terhadap hal yang menjadi bakat dan minatnya.
Apabila ia menyukai aktivitas bermain piano, maka ia juga menyukai
kegiatan mendengarkan orang lain bermain piano. Ia dapat pula
melihat/menganalisa secara detail teknik bermain piano yang dilakukan
orang lain maupun lagunya.
4. Anak tidak pernah merasa bosan dan selalu “mencari” kegiatan yang
berhubungan dengan keberbakatannya.Ia memiliki motivasi internal yang
sangat kuat.
5. Anak biasanya mempunyai kemampuan pada bidang tersebut yang amat
menonjol sekali dibanding dengan kemampuan lainnya.
6. Tanpa digali kemampuannya sudah muncul sendiri.
Cara menemukan bakat menurut menurut Renzulli ( Gunarsa & Gunarsa, 1991)
yaitu :
1. Pendekatan psikometri : yaitu tehknik pendekatan yang untuk
melakukan penilaian dan pengukuran aspek psikis
2. Hal –hal yang terlibat dalam perkembangan
3. Penampilan yang meliputi prestasi dan perilaku
4. Pendekatan sosiometri melalui cara tidak formal oleh lingkungan sosial.
2.5 Gaya Belajar
Gaya belajar merupakan proses internal yang berlangsung pada diri individu
sebagai hasil proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran setiap siswa pasti
memiliki gaya belajar yang berbeda beda . Dalam konteks belajar ,setiap orang yang

6
memiliki kecenderung untuk lebih sensitif pada salah satu indranya.Misalnya ,ada
orang yang lebih mudah menerima sesuatu dari penglihatan dibandingkan
perasaannya .
Gaya belajar merupakan cara termudah yang dimiliki oleh individu dalam
menyerap, mengatur, dan mengolah informasi yang diterima. Gaya belajar yang
sesuai adalah kunci keberhasilan siswa dalam belajar. Dengan menyadari hal ini,
siswa mampu menyerap dan mengolah informasi dan menjadikan belajar lebih
mudah dengan gaya belajar siswa sendiri. Penggunaan gaya belajar yang dibatasi
hanya dalam satu bentuk, terutama yang bersifat verbal atau dengan jalur auditorial,
tentunya dapat menyebabkan adanya ketimpangan dalam menyerap informasi. Oleh
karena itu, dalam kegiatan belajar, siswa perlu dibantu dan diarahkan untuk
mengenali gaya belajar yang sesuai dengan dirinya sehingga tujuan pembelajaran
dapat dicapai secara efektif.
Kolb (1984) mengatakan bahwa gaya belajar di bagi 4 bagian yaitu: (a) Diverger
(perasaan dan pengamatan) Tipe ini perpaduan antara Concrete Experience (CE)
dan Reflective Observation (RO), atau dengan kata lain kombinasi dari perasaan
(feeling) dan pengamatan (watching). Siswa dengan tipe Diverger memiliki
keunggulan dalam kemampuan imajinasi dan melihat situasi kongkret dari banyak
sudut pandang yang berbeda, kemudian menghubungkannya menjadi sesuatu yang
bulat dan utuh, (b) Assimilator (pemikiran dan pengamatan) Tipe kedua ini
perpaduan antara Abstract Conceptualization (AC) dan Reflective Observation
(RO) atau dengan kata lain kombinasi dari pemikiran (thinking) dan pengamatan.
(watching). Siswa dengan tipe Assimilator memiliki dalam memahami dan
merespons berbagai sajian informasi serta mengorganisasikan merangkumkannya
dalam suatu format yang logis, singkat, dan jelas, (c) Converger (berpikir dan
berbuut) Tipe ini perpaduan antara Abstract Conceptualization (AC) dan Reflective
Observation (RO) atau dengan kata lain kombinasi dari berfikir (thinking) dan
berbuat (doing). Siswa mampu merespons terhadap berbagai peluang dan mampu
bekerja secara aktif dalam setiap tugas yang terdefinisikan secara baik. Siswa gemar
belajar bila menghadapi soal dengan jawaban yang pasti, dan segera berusaha
mencari jawaban yang tepat, (d) Accomodator (perasaan dan berbuat) Tipe ini
perpaduan antara Concrete Experience (CE) dan Active Experimentation (AE) atau

7
dengan kata lain kombinasi antara merasakan (feeling) dengan berbuat (doing).
Siswa tipe ini senang mengaplikasikan materi pelajaran dalam berbagai situasi baru
untuk memecahkan berbagai masalah nyata yang dihadapinya. Kelebihan siswa tipe
ini memiliki kemampuan belajar yang baik dari hasil pengalaman nyata yang
dilakukannya sendiri.
Ada tiga gaya belajar yang umum dikenal, yaitu gaya belajar visual, auditori,
dan kinestetik
1. Gaya belajar visual: Orang dengan gaya belajar visual lebih banyak
menggunakan penglihatan
2. Gaya belajar auditori: Orang dengan gaya belajar auditori lebih
menggunakan pendengaran.
3. Gaya belajar kinestetik: Orang dengan gaya belajar kinestetik lebih
menggunakan interaksi dan pengalaman di sekitarnya
2.6 Gaya Berpikir
Gaya berpikir dapat digolongkan atas gaya impulsif, reflektif, mendalam dan
dangkal. Gaya yang reflektif dan impulsif disebut sebagai tempo konseptual
Maksudnya, kecenderungan individu untuk bereaksi dalam waktu tertentu dalam
memberi respon dan merenungkan akurasi jawaban. Gaya impulsif cenderung
spontan, cepat dan menggunakan kebih banyak waktu untuk merespon dan
mengakurasi suatu jawaban. Sedangkan individu yang reflektif lebih
memungkinkan mengingat informasi yang terstruktur, membaca dengan memahami
dan menginterpretasi teks dan memecahkan problema dan membuat keputusan.
Individu yang reflektif lebih mungkin menentukan sendiri tujuan belajar dan
berkonsentrasi pada informasi yang relevan standar kinerja tinggi dan cenderung
lebih berhasil daripada yang impulsif. Seorang yang impulsif perlu
mengembangkan kemampuannya untuk berpikir dulu sebelum memberi respon,
memahami terlebih dahulu informasi yang diterimanya dan menyusun rencana
untuk mengendalikan impulsivitasnya
Gaya mendalam dan dangkal berhubungan dengan kemampuan dan kemauan
individu mempelajari materi pelajaran dengan suatu cara yang membantu mereka
memahami makna materi (gaya mendalam) atau sekadar mencari apa-apa yang
perlu dipelajari (gaya dangkal). Individu yang belajar dengan menggunakan gaya

8
dangkal cenderung mengalami kesulitan mengaitkan apa-apa yang mereka pelajari
dengan kerangka konseptual yang lebih luas. Cenderung belajar pasif, seringkali
hanya mengingat informasi. Berbeda dengan gaya berpikir mendalam, lebih
memungkinkan untuk secara aktif memahami apa- apa yang mereka pelajari dan
memberi makna pada apa yang perlu untuk diingat. Dari kedua gaya mendalam dan
dangkal, tampaknya gaya dangkal yang berpeluang besar mengalami hambatan
dalam belajar. Oleh karena itu, individu yang memiliki gaya berpikir dangkal perlu
mengembangkan diri agar dapat memahami bahwa belajar bukan hanya mengingat
materi akan tetapi yang lebih penting adalah menghubungkan apa yang mereka
pelajari sekarang dengan apa yang pernah mereka pelajari di masa lalu,
memikirkannya secara mendalam dan meluas.
Individu yang memiliki gaya berpikir reflektif cenderung mengingat informasi
yang terstruktur. Membaca dengan memahami dan menginterprentasi teks.
Memacahkan problem dan membuat keputusan. Lebih memungkinkan untuk
berkonsentrasi dan menentukan tujuan. Standar kinerja individu yang reflektif
biasanya lebih tinggi. Kadang-kadang individu yang bergaya berpikir reflektif
terkesan impusif
2.7 Keterampilan Belajar
Keterampilan merupakan kemampuan dasar yang harus dilatih, diasah, dan
dikembangkan secara terus menerus (berkelanjutan) sehingga menjadi potensial
dalam melakukan sesuatu. Untuk mengembangkan keterampilan diperlukan proses
pengasahan akal atau pemikiran, sehingga mendorong timbulnya keterampilan
khusus pada diri manusia. Keterampilan juga dapat mengikuti zaman yang ada,
dimana keterampilan ini dapat beradaptasi sesuai perkembangan pikiran dan
masalah-masalah yang sedang dialami. Keterampilan juga berkaitan dengan
karakter moral anak yang sudah diajarkan dalam pendidikan keluarga pada saat
dini.
Keterampilan juga merupakan kecakapan melakukan suatu tugas tertentu yang
diperoleh dengan cara berlatih terus menerus, karena keterampilan tidak datang
sendiri secara otomatis melainkan secara sengaja diprogramkan melalui latihan
terus menerus. Jika dikaitkan dengan makna belajar di atas, keterampilan belajar
adalah keahlian yang didapatkan (acquired skill) oleh seorang individu melalui

9
proses latihan yang kontinyu dan mencakup aspek optimalisasi cara-cara belajar
baik dalam domain kognitif, afektif ataupun psikomotor (Budiardjo, 2007:19).
Menjalani proses belajar merupakan bagian yang amat penting dalam kegiatan
belajar di sekolah. Melalui kegiatan belajar materi pokok yang harus dikuasai siswa
akan dibahas oleh guru bersama siswa, melatihkan bermacam-macam
keterampilan, mengerjakan berbagai tugas sehingga siswa melakukan kegiatan
belajar dalam rangka memahami dan menguasai materi pokok yang dimaksudkan.
Surya (1992:28) mengungkapkan bahwa keterampilan merupakan kegiatan-
kegiatan yang bersifat Neoromuscular, artinya menuntut kesadaran yang tinggi.
Dibandingkan dengan kebiasaan, keterampilan merupakan kegiatan yang lebih
membutuhkan perhatian serta kemampuan intelektual, selalu berubah dan sangat
disadari oleh individu. Dalam proses menjadi (on becoming process), dimana siswa
memerlukan empat pilar yakni pengetahuan, keterampilan, kemandirian dan
kemampuan untuk menyesuaikan diri dan bekerjasama. Dengan kata lain,
keterampilan belajar merupakan suatu keahlian tertentu yang dimiliki oleh siswa,
jika keahlian tersebut dilatihkan terus-menerus akan menjadi suatu kebiasaan yang
baik bagi siswa dalam belajar.
Keterampilan belajar adalah suatu sistem, metode dan teknik yang baik dikuasai
oleh siswa tentang materi pengetahuan atau materi belajar yang disampaikan oleh
guru secara tangkas, efektif dan efisien, yang tentunya keterampilan belajar tersebut
harus dilatihkan sehingga siswa menjadi terampil dalam menjalani pembelajaran di
sekolah. Hal ini dapat dilaksanakan oleh guru BK melalui layanan penguasaan
konten. Seperti yang diungkapkan oleh Prayitno (2004: 3) bahwa layanan
penguasaan konten dapat membantu siswa untuk menguasai kemampuan-
kemampuan atau kompetensi melalui kegiatan belajar.
Keterampilan belajar juga merupakan kemampuan yang digunakan untuk
mengoperasikan pekerjaan secara mudah dan cermat. Melalui keterampilan,
seseorang dapat mengerjakan atau membuat sesuatu dengan mudah, seperti pada
keterampilan pemrograman komputer, bermain sepak bola, menulis, dan lain
sebagainya.
Menyikapi kebiasaan-kebiasaan belajar siswa ini, ada sejumlah pedoman yang
dapat dijadikan panduan dalam setiap kali mengikuti kegiatan belajar sebagaimana

10
yang terdapat dalam seri latihan keterampilan belajar oleh Satgasus 3SCPD
(1997:18) yaitu: (1) memilih tempat duduk dalam ruang kelas, (2) mencatat materi
pelajaran, (3) bertanya dan menjawab, (4) mengemukakan pendapat dan (5)
berupaya menghindarkan diri dari berbagai pengaruh yang mengganggu
konsentrasi belajar.
Berikut beberapa aspek dan jenis keterampilan belajar:
1. Keterampilan Membaca: Kemampuan memahami teks dan mengambil
informasi dari bahan bacaan.
2. Keterampilan Menulis: Kemampuan menyusun tulisan dengan baik dan
benar.
3. Keterampilan Membuat Catatan: Kemampuan mencatat informasi penting
selama proses belajar.
4. Keterampilan Bertanya dan Menjawab: Kemampuan mengajukan
pertanyaan dan memberikan jawaban dengan baik.
5. Keterampilan Berdiskusi: Kemampuan berpartisipasi dalam diskusi dan
berbicara dengan efektif.
6. Keterampilan Belajar Berkelompok: Kemampuan bekerja sama dengan
orang lain dalam proses belajar.
7. Keterampilan Memperbaiki Barang Elektronik: Contoh keterampilan
jasmaniah yang memerlukan latihan intensif dan teratur.
Prayitno (1997:59) mengatakan bahwa yang menjadi dasar perlunya
keterampilan belajar bagi siswa dalam rangka memperoleh prestasi yang
lebih baik adalah sebagai berikut:
1) Keterampilan belajar merupakan suatu hal yang menjadi dasar bagi
kesuksesan siswa dalam sekolah atau kehidupan mereka selanjutnya.
2) Keterampilan belajar sangat mendorong siswa apabila dilaksanakan lebih
awal.
3) Guru BK dapat memberikan materi keterampilan belajar untuk semua siswa
sesuai dengan kebutuhannya.
4) Melalui program keterampilan belajar guru pembimbing dapat menggali
permasalahan siswa atau membina hubungan konseling yang lebih
mendalam.

11
Keterampilan belajar kemampuan untuk berbuat fokus dan terarah dalam
menyusun kerangka berfikir, sikap dan keterampilan untuk melakukan sebuah
proses kegiatan. Berdasarkan hal tersebut peran guru dalam proses pembelajaran
yaitu mennuntun atau memfasilitasi siswa untuk memunculkan atau
mengembangkan keterampilan belajar siswa. Dengan memahami dirinya
khususnya dalam prestasi belajar, siswa dapat memperbaiki cara belajar yang
efektif khususnya keterampilan belajar. Dengan penguasaan materi pelajaran yang
baik maka secara langsung prestasi belajar akan meningkat. Hal ini dapat dilakukan
oleh siswa dalam kegiatan belajar di sekolah maupun di rumah.
2.8 Perbedaan Gender
Pendidikan merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi setiap insan
manusia. Pendidikan menjadi kebutuhan utama bagi kaum laki-laki dan perempuan
untuk mempersiapkan dirinya terjun ke dalam masyarakat. Konsep gender terlihat
cukup dominan dalam dunia pendidikan dan salah satunya yaitu pada pendidikan
di sekolah dasar. Pada masa Kartini terdapat perbedaan pendidikan antara laki-laki
dan perempuan. Sebagai contoh bahwa masyarakat kita masih menganggap bahwa
anak perempuan lebih sesuai memilih jurusan bahasa, pendidikan atau pendidikan
rumah tangga, sebaliknya anak laki-laki lebih sesuai untuk jurusan teknik.
Perempuan dianggap lemah dibidang matematika, sebaliknya laki-laki dianggap
lemah dalam bidang bahasa. Pada keluarga yang kondisi ekonominya terbatas
banyak dijumpai bahwa pendidikan lebih diutamakan laki-laki meskipun anak
perempuannya jauh lebih pandai, keadaan ini menyebabkan lebih sedikitnya jumlah
perempuan yang berpendidikan (Suhapti, 1995).
Kesetaraan gender sendiri merupakan kondisi perempuan dan laki-laki
menikmati status yang setara dan memiliki kondisi yang sama untuk mewujudkan
secara penuh hak-hak asasi dan potensinya bagi pembangunan di segala bidang
kehidupan. Definisi dari USAID menyebutkan bahwa “Gender Equality permits
women and men equal enjoyment of human rights, socially valued goods,
opportunities, resources and the benefits from development results”, yang artinya
kesetaraan gender memberi kesempatan baik pada perempuan maupun laki-laki
untuk secara setara/sama/sebanding menikmati hak-haknya sebagai manusia,

12
secara sosial mempunyai benda-benda, kesempatan, sumberdaya dan menikmati
manfaat dari hasil pembangunan.
Penelitian Biologi yang diterbitkan di penerbitan terkenal yang dilakukan oleh
Legato (2005), ditemukan bahwa adanya perbedaan hormon antara otak perempuan
dan lelaki. Otak perempuan memiliki lebih banyak sel syaraf dibagian kiri otak (left
hemisphere) dimana pusat untuk pengendalian bahasa ada di otak sisi kiri dan
ditemukan lebih banyak syaraf penghubung antara kedua belah sisi otak baik sisi
kiri dan sisi kanan (left hemisphere and right hemisphere).

Penemuan ini diperjelas lagi dengan penelitian yang dilakukan oleh Tyre
(2005). Di mana dipenelitian ini Tyre mendapatkan bahwa perempuan
menggunakan otak sisi kirinya untuk mendengarkan dan berbicara dimana kegiatan
komunikasi terjadi lebih banyak menggunakan otak sisi kiri. Sehingga, otak kiri
bermain sebagai peran utama dalam penguasaan bahasa oleh para perempuan. Dari
penelitian ini, khusus untuk para pendidik khususnya pendidik di bidang bahasa
untuk mengetahui psikologi perbedaan penguasaan bahasa pada gender yang
berbeda laki-laki dan perempuan.
Penelitian psikologi oleh Legato (2005), mendapati bahwa faktor pembeda
untuk perbedaan kedua gender terdapat pada bahasa dan skill lain. Orang tua lebih
senang berkomunikasi kepada anak perempuan daripada anak laki-laki, sehingga
penguasaan kosakata anak perempuan diperkirakan lebih banyak dibanding dengan
anak laki-laki. Perbandingan kedua gender ini membuat perempuan kelihatan lebih
aktif berbicara dibanding dengan gender laki-laki.

13
Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh para psikologi pada tahun 2005 di
Institut Psikologi di London, Universitas Oxford dan Universitas Missouri-
Columbia di Amerika Serikat, yang menemukan bahwa anak laki-laki dan anak
perempuan sangat berbeda dalam menguasai keterampilan berbahasa. Di temukan
fakta bahwa
anak perempuan lebih dulu berbicara dibandingkan anak laki-laki dan lebih
cepat dan lebih banyak dalam penguasaan kosakata, penelitian ini diterbitkan di
Website daerah Michigan. Anak perempuan bisa menguasai ungkapan lebih dari
dua suku kata dibandingkan anak laki-laki. Alasan ini dikarenakan adanya
perubahan kognitif anak perempuan terjadi diantara umur 14 hingga 20 bulan,
sementara anak laki-laki terjadi perubahan kognitif diumur 20 dan 24 bulan. Dari
penelitian ini menunjukkan bahwa anak perempuan lebih unggul dalam penguasaan
bahasa dibandingkan anak laki-laki. Pengaruh perubahan kognitif anak perempuan
yang lebih cepat membuat penguasaan kosakata lebih banyak.
Pendidikan yang pertama kali diterima seorang anak bermula dirumah.
Orangtua mengarahkan, membimbing, dan memberikan contoh untuk
perkembangan anak. Begitu juga contoh yang diberikan keluarga, peran ibu yang
selalu kelihatan lebih cerewet karena begitu peduli dengan anak-anaknya dibanding
ayah yang lebih banyak diam bila ada masalah dengan anak- anaknya. Sebagai
contoh, sang anak yang sering bermain dengan anak tetangga, selalu ibunya yang
akan sibuk memanggil nama anak untuk keperluan tertentu, sementara sang ayah
hanya melihat anak dari kejauhan tanpa memanggil nama anaknya. Dari contoh
diatas dapat dilihat bahwa ibu sebagai gender perempuan dalam rumah tangga lebih
banyak berkomunikasi dibanding sang ayah, sehingga konsep pembentukan bahasa
gender perempuan dengan melihat contoh ibunya yang lebih banyak berkomunikasi
dibandingkan ayah.
Pemberian mainan antara anak laki-laki dan perempuan juga berbeda, anak laki-
laki diberikan mainan yang identik dengan mainan untuk gender laki-laki seperti
mobil-mobilan, robot yang menujukkan kegiatan yang banyak dilakukan diluar
rumah. Anak perempuan diberikan mainan berupa boneka, alat-alat dapur / masak
yang diidentikkan dengan tugas sebagai seorang gender perempuan merawat anak
dan pekerjaan rumah. Pola perlakuan yang dibedakan antara kedua gender laki-laki

14
dan perempuan yang dibentuk dan rumahlah sebagai pola cetakan pertama yang
diterima anak laki-laki dan anak perempuan, sehingga dari hal tersebut membuat
kedua gender menguasai pola bahasa yang berbeda.
Pendidikan merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi setiap insan manusia.
Pendidikan menjadi kebutuhan utama bagi kaum laki-laki dan perempuan untuk
mempersiapkan dirinya terjun ke dalam masyarakat. Konsep gender terlihat cukup
dominan dalam dunia pendidikan dan salah satunya yaitu pada pendidikan di
sekolah dasar. Pada masa Kartini terdapat perbedaan pendidikan antara laki-laki
dan perempuan.
Sebagai contoh bahwa masyarakat kita masih menganggap bahwa anak
perempuan lebih sesuai memilih jurusan bahasa, pendidikan atau pendidikan rumah
tangga, sebaliknya anak laki-laki lebih sesuai untuk jurusan teknik. Perempuan
dianggap lemah dibidang matematika, sebaliknya laki-laki dianggap lemah dalam
bidang bahasa. Pada keluarga yang kondisi ekonominya terbatas banyak dijumpai
bahwa pendidikan lebih diutamakan laki-laki meskipun anak perempuannya jauh
lebih pandai, keadaan ini menyebabkan lebih sedikitnya jumlah perempuan yang
berpendidikan (Suhapti, 1995).
Pendidikan di sekolah dasar merupakan pendidikan yang dapat membentuk
pondasi karakter siswa, sehingga guru harus mendidik siswa dengan benar.
Terutama mengenai konsep gender, guru perlu menanamkan kepada siswa sejak
dini agar tidak terjadi kesalahpahaman mengenai kesetaraan gender. Salah satu cara
yang dapat dilakukan oleh guru untuk menanamkan konsep gender dengan benar
yaitu melalui pembelajaran di kelas.
Bisa gender disosialisasikan melalui pembelajaran di dalam kelas seperti
penggunaan buku ajar yang ada di sekolah dasar. Buku ajar yang digunakan oleh
guru saat ini masih banyak ditemukan gambar maupun rumusan kalimat yang tidak
mencerminkan.
kesetaraan gender , Pada pelaksanaan upacara bendera misalnya yang kita lihat
saat ini pembawa bendera atau bakiak kebanyakan adalah siswa perempuan yang
dikawal oleh dua siswa laki-laki. Hal ini dapat menanamkan pemikiran kepada
siswa bahwa pada umumnya suatu pekerjaan yang sifatnya mendidik, mengasuh,
tugas-tugas ringan seperti membawa bendera merupakan tugas yang dapat

15
dilakukan perempuan, sedangkan tugas yang berat, mandiri, dan butuh kekuatan
merupakan pekerjaan yang dapat dilakukan oleh laki-laki saja.
2.9 Pandangan Agama
Sulit untuk menggambarkan variasi tingkat perkembangan keagamaan anak
dalam suatu rangkaian kronologis secara tepat. Hal ini di sebabkan pertumbuhan
kesadaran anak tetang dirinya sebagai satu kesatuan yang berbeda dari keluarganya
dan keingintahuan tentang bagaimana dan mengapa dari kehidupan ini sangat cepat
dan semuanya muncul hampir secara simultan.
Pada umumnya para ahli psikologi agama dalam membicarakan tingkat
perkembangan keagamaan anak dimulai dengan satu pertanyaan kapan munculnya
ide (konsep) anak tentang Tuhan? Jawaban yang diberikan terhadap pertanyaan ini
hampir sama yaitu dimulai ketika anak berusia tiga tahun. Usia tiga tahun dikenal
sebagai the age of questioning (Stephens Spinks, 1967: 105). Pada usia ini anak
mulai gemar mengemukakan pertanyaan-pertanyaan, yang ada hubungannya
dengan agama misalnya, siapa Tuhan? Dia tinggal di mana? Dimana Surga? dan
lain-lain. Masa bertanya ini menunjukkan cara paling awal anak mempunyai minat
pada agama. Masalahnya apakah anak pada usia tiga atau empat tahun dapat
memiliki pengalaman keagamaan? Tentu saja jawabnya adalah tergantung pada
seluruh kondisi anak. Bila anak sejak kecil telah di perkenalkan tentang kebesaran
Tuhan yang menjaganya, yang memberinya pahala atau yang menghukum bagi
yang melanggar, kemudian di ikuti sikap kepada Tuhan yang membentuk
perilakunya, yang ini adalah hal essensial dalam pengalaman agama. Dalam
pengertian ini, agama sebagai suatu pengalaman individual bagi anak dapat terjadi.
Salah satu studi empirik tentang tingkat perkembangan agama anak pernah
dilakukan oleh Erness Harms (WH. Clark, 1969 : 93) dengan menggunakan metode
variasi dari teknik proyektip yang terdiri dari beberapa ribu anak dari usia tiga
sampai lima belas tahun. Mereka di minta untuk menggambarkan bagaimana Tuhan
melihat dan memberikan statement dari apa yang telah di gambar.
Analisa dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perkembangan agama
anak melalui tiga tingkatan :
1. Fairy Tale Stage
2. Realistic Stage

16
3. Individual Stage
Untuk individual stage yang terjadi + usia 13 – 15 tahun sengaja tidak dibahas
dalam bagian ini agar sinkron dengan judul bahasan, karena usia 3 – 15 tahun sudah
masuk ke dalam kategori usia remaja pertama.
Fairy Tale Stage (Tingkatan Dongeng)
Menurut Harm’s dari usia tiga sampai enam tahun konsep anak tentang Tuhan
lebih banyak di pengaruhi oleh khayal dan emosional dari pada pemikiran rasional.
Pada usia ini dalam psikologi perkembangan anak memang dikenal sebagai “usia
perkembangan fantasi anak” (Muh. Kasiran, 1983 : 67). Oleh karenanya, maka anak
kecil lebih banyak mengekspresikan fantasi di dalam agamanya. Misalnya Tuhan
di gambarkan sebagai seorang laki-laki yang sangat kuat dengan rambut kelam dan
berjenggot yang adakalanya berjalan di bumi untuk mengawasi pelaku dosa, meski
lebih banyak tinggal di sorga (WH. Clark, 1969 : 100).
Pada tingkatan ini, menurut Zakiyah Daradjat (1976 : 60-62) pikiran si anak
tentang Tuhan sebagai sebab belum ada. Dia menyangka bahwa segala sesuatu
terjadi karena kemauannya sendiri akan tetapi setelah dia mulai sibuk dengan dunia
luar, ia mulai melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi tidak tergantung kepada
kemauan seseorang, maka dia mulai mencari sebab yang lain, tetapi setelah ia tidak
mampu menemukan sebab musabab itu ia kembali kepada Tuhan. Karenanya ide
tentang Tuhan pada permulaan timbulnya memiliki sifat pokok yaitu kuasa atas
segala sesuatu yang tidak terikat oleh peraturan dan tunduk kepada sesuatu.
Realistic Stage (Tingkatan Realistik)
Tingkatan ini terjadi pada anak usia sekolah tujuh sampai dua belas tahun. Pada
tingkatan ini ide anak tentang Tuhan merefleksikan konsep yang lebih realistik
konsep tersebut datang melalui institusi-institusi keagamaan dan ajaran-ajaran dari
orang tua atau orang yang lebih tua. Tuhan oleh anak pada tingkatan ini
digambarkan sebagai seorang pendeta atau ulama dengan banyak menggunakan
simbol agama secara konfensional misalnya, gambar salib, tasbih dan lain-lain.
Pada tingkatan ini menurut Harm’s emosi anakanak menghasilkan kemampuan
ekspresi formalistik (misalnya wiridan harus pakai tasbih, sholat harus pakai
sajadah dan lain-lain). Hal ini disebabkan karena emosi keagamaan anak belum bisa
diekspresikan secara intelektual oleh karena itu anak interes pada simbolisme. Pada

17
tingkatan ini masih menurut Harm’s anak juga menerima insitusi dengan bentuk-
bentuk konvensi (perkumpulannya) secara serius, karena dia melihat orang, yang
lebih tua mengerjakannya juga. Hal ini seperti juga dikatakan oleh Spink (G.S.
Spink, 1967 : 107), bahwa pada usia enam sampai tujuh tahun anak sampai pada
tingkat realisme dimana dia merasa membutuhkan kepada lingkungan yang lebih
luas dan bervariasi lebih dari keluarga terdekatnya. Oleh karenanya ketika anak
memasuki usia sepuluh tahun agama di samping mempunyai fungsi moral juga
mempunyai fungsi sosial (Zakiyah Daradjat, 1967 : 52)
Secara umum sifat-sifat anak pada masa seperti itu :
1. Egosentris, artinya segala sesuatu ingin dipusatkan kepadanya, dan demi
kepentingannya. Ia menuntut agar seluruh lingkungan berada di bawah
kekuasaannya.
2. Selalu menentang, membantah segala perintah, suruhan, larangan, anjuran,
keharusan dan sebagainya yang datang dari siapapun juga.
3. Ia selalu berusaha menarik perhatian. Semua orang yang ada di sekitarnya
harus memperhatikannya.
4. Dia selalu meminta untuk dihargai, dipuji dan tidak mau dicela,
dipersalahkan atau dianggap tidak mampu.
5. Ia selalu menuntut adanya kebebasan.
6. Keberaniannya bertambah dan rasa takutnya mulai berkurang.
Bagaimana orang tua harus menghadapi dan menanamkan agama pada anak
semacam itu ? Dalam hal ini, tentu saja orang tua harus mampu membatasi diri.
Tidak banyak memerintah, melarang, menyuruh atau campur tangan terhadap
apapun yang dilakukannya. Kalau si anak harus melakukan sesuatu, orang tua harus
membujuknya dengan kata-kata yang enak dengan santai dan senda gurau, tidak
formal dan tidak tegang ataupun bernada keras. Setiap tindakan keras akan
dibawanya dengan apa yang ada pada dirinya. Paksaan akan dijawab dengan
tantangan. Pendidikan dan pembinaan agama pada masa anak di tahun-tahun
pertama ini terjadi secara formal, yaitu pendidikan agama dalam keluarga, dalam
arti pembinaan kepribadian anak. Pendidikan agama pada umur ini melalui semua
pengalaman anak, baik melalui ucapan yang didengarnya, tindakan, perbuatan dan
sikap yang dilihatnya, maupun perlakuan yang dirasakannya. Oleh karena itu

18
keadaan orang tua dalam kehidupan mereka sehari-hari mempunyai pengaruh yang
sangat besar dalam pembinaan kepribadian anak. Arthur T. Jersild, mengatakan
bahwa ide dan gambaran anak tentang agama sangat dipengaruhi oleh pengalaman
hidupnya sehari-hari, terutama oleh orang tuanya yang berusaha membinanya.
Menurut Paul E. Johnson, ketika Tuhan diterima oleh orang tua sebagai sesuatu
yang hadir di dalam rumah, di segenap keluarga, maka si anak akan merasakannya
sebagaimana yang ia alami di rumahnya itu. Tegasnya, menurut L.W.Grensted,
D.D., perkembangan jiwa seorang anak tidak bisa dipisahkan dengan
perkembangan yang terjadi di dalam keluarga. Di samping pengaruh keluarga, jika
si anak berkesempatan taman kanak-kanak (TK) sebelum ia masuk Sekolah Dasar
(SD), maka guru TK itulah orang pertama di luar keluarga yang ikut membina
kepribadian anak. Jiwa agama yang sudah mulai tumbuh dalam keluarga akan
bertambah subur jika guru TK mempunyai sikap yang positif terhadap agama dan
sebaliknya jiwa agama akan menjadi lemah jika gurunya tidak percaya kepada
agama atau mempunyai sikap yang negatif atau berlawanan dengan sikap dan
kepercayaan orang tuanya. Masa Anak Usia Sekolah (6 – 12 Tahun). Masa ini
disebut sebagai masa anak untuk masuk Sekolah Dasar (SD), masa matang untuk
belajar atau masa matang untuk sekolah. Disebut juga disebut masa anak karena
anak tersebut tidak mau lagi dianggap atau diperlakukan sebagai kanak-kanak atau
anak kecil. Pada masa anak usia sekolah ini sikap anak yang egosentris diganti
dengan sikap objektif dan empiris berdasarkan pengalaman. Dan kelak pada usia
13 – 14 tahun, sikap tersebut berkembang jadi logis rasional. Emosionalitas anak
jadi semakin berkurang, sedang unsur intelek dan akal budi jadi semakin menonjol.
Perlu pula diperhatikan bahwa ketika si anak masuk SD, dalam jiwanya, ia telah
membawa bekal rasa agama yang terdapat dalam kepribadiannya, dari orang tuanya
dan dari gurunya di TK. Andai kata didikan agama yang diterimanya dari orang
tuanya di rumah sejalan dan serasi dengan apa yang diterimanya dari gurunya di
TK, maka ketika masuk SD telah membawa dasar agama yang bulat (serasi). Akan
tetapi jika berlainan, maka yang dibawanya adalah keragu-raguan, ia belum dapat
memikirkan mana yang benar, apakah agama orang tuanya atau agama gurunya,
yang ia rasakan ialah adanya perbedaan. Perlu juga diingat bahwa kepercayaan anak
kepada Tuhan pada umur permulaan masa sekolah itu bukanlah berupa keyakinan

19
hasil pemikiran, akan tetapi merupakan sikap emosi yang membutuhkan pelindung.
Hubungannya dengan Tuhan bersifat individual dan emosional. Karena itu, yang
ditonjolkan sifat pengasih dan penyayang Tuhan kepada si anak, bukan sifat
sebalikny (Zakiah Daradjat, 1984: 113).
Semakin besar si anak semakin bertambah fungsi agama baginya. Misalnya
pada umur 10 tahun keatas agama mempunyai fungsi moral dan sosial bagi anak.
Ia mulai dapat menerima bahwa nilai-nilai agama lebih tinggi dari nilai-nilai pribadi
atau nilai-nilai keluarga, si anak mulai mengerti bahwa bukan kepercayaan pribadi
atau keluarga, akan tetapi kepercayaan masyarakat.
2.10 Perbedaan Kultur
a. Pengertian kultur atau budaya
Secara etimologis kata “budaya” atau “culture” dalam bahasa Inggris berasal
dari bahasa Latin “colere” yang berarti “mengolah” atau “mengerjakan” sesuatu
yang berkaitan dengan alam (cultivation). Dalam Bahasa Indonesia, kata budaya
(nominalisasi: kebudayaan) berasal dari Bahasa Sanskerta “buddhayah” yaitu
bentuk jamak dari kata buddhi (budi atau akal). Penjelasan lain tentang etimologi
kata “budaya” yakni sebagai perkembangan dari kata majemuk “budi daya” yang
berarti pemberdayaan perkembangan dari kata majemuk “budi daya” yang berarti
pemberdayaan budi yang berwujud cipta, karya dan karsa.
Dalam perspektif yang lain, Dewantara (Arief, 2015) menjelaskan bahwa
“budaya” atau “kebudayaan (bahasa jawa: kabudayan)” mempunyai persamaan
terminologi dengan kata “kultur” (dari bahasa Jerman), “cultuur” dari bahasa
Belanda), dan “culture” (dari bahasa Inggris) yang ke semuanya mempunyai arti
hasil/buah dari peradaban manusia. Kata “kultur” tersebut diiadopsi secara utuh
dalam bahasa Indonesia) berakar dari bahasa Latin “cultura”, perubahan dari
“colere” yang berarti usaha untuk memelihara dan memajukan budi/akal/jiwa.
Secara asosiatif dapat dikemukakan bahwa kata “budaya” atau “kultur”
mempunyai pengertian dasar usaha budi/akal dalam rangka memperbaiki kualitas
dan kuantitas (peradaban) hidup manusia. Usaha ini terwujud dalam tiga sistem
dasar, meliputi (1) kompleksitas gagasan, konsep, dan pikiran manusia atau yang
biasa disebut sistem budaya, (2) kompleksitas aktivitas interaksional dan
transaksional atau yang biasa disebut sistem sosial, dan (3) kompleksitas kebendaan

20
sebagai sarana/alat memenuhi kebutuhan atau yang biasa disebut sistem
instrumental.
Budaya merupakan suatu kebiasaan atau pola perilaku dan pengetahuan atau
keterampilan yang diwariskan secara turun temurun dan dimiliki oleh sekelompok
masyarakat tertentu. Budaya dapat berbeda antara yang satu dan lainnya. Perbedaan
atau keragaman budaya ini sebabkan oleh banyak faktor.Indonesia adalah negara
yang kaya akan keragaman budaya. Hal ini terlihat dengan banyaknya bahasa
daerah dan kesenian adat yang berbeda-beda dan memiliki keunikan tersendiri.
Luas wilayah yang membentang dari Sabang sampai Merauke menjadi alasan
mengapa Indonesia memiliki keragaman budaya yang luar biasa.
Secara umum, persebaran keragaman budaya tersebut dapat dibagi berdasarkan
wilayahnya. Dimana, masing-masing wilayah memiliki keunikan dan karakteristik
sendiri yang membedakan dengan wilayah lain. Ada beberapa suku dan kebudayaan
yang besar di Indonesia, antara lain suku Jawa, suku Sunda, suku Bali, suku Batak,
suku Minang, suku Nias, suku Bugis, maupun suku Papua.
Dapat disimpulkan pengertian perbedaan kebudayaan adalah perbedaan yang
timbul dari suatu tradisi yang telah dilakukan secara turun temurun sehingga dapat
menjadi ciri khas dari suatu daerah atau negara.Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Perbedaan Budaya: Perbedaan budaya di masyarakat Indonesia dapat dikenali
melalui bentuk-bentuk seperti pakaian tradisional, tarian daerah, dan rumah adat.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan budaya antara lain lokasi geografis
dan keyakinan.
b. Faktor-faktor perbedaan kultur
Keragaman budaya yang ada di Indonesia tidak serta merta lahir, ada beberapa
faktor yang memengaruhi perbedaan tersebut antara daerah yang satu dan lainnya,
diantaranya:
1. Perbedaan lokasi dan kondisi alam
Masyarakat akan menciptakan budaya berdasarkan kebutuhannya. Contohnya
masyarakat pedesaan dengan kondisi alam sawah yang luas, disini mereka akan
menciptakan alat untuk membajak sawah, mengadakan acara syukuran dan lain
sebagainya. Perbedaan budaya bisa disebabkan oleh perbedaan kandungan sumber
daya alam di tiap daerah. Daerah dengan kandungan sumber daya alam cukup

21
tinggi, akan dapat memproduksi barang-barang tertentu dengan biaya relatif murah
dibandingkan dengan daerah lain yang memiliki kandungan sumber daya alam
lebih rendah. Kondisi ini mendorong pertambahan ekonomi daerah bersangkutan
menjadi lebih cepat.
2. Perbedaan Kondisi Demografis
Perbedaan budaya bisa disebabkan perbedaan kondisi demografis pada tingkat
pertumbuhan dan stuktur kependudukan, perbedaan tingkat pendidikan dan
kesehatan, perbedaan kondisi ketenagakerjaan, dan perbedaan dalam tingkah laku
dan kebiasaan, serta etos kerja yang dimiliki masyarakat daerah bersangkutan.
Kondisi demografis ini dapat memengaruhi ketimpangan pembangunan antar
wilayah karena hal ini akan berpengaruh terhadap produktivitas kerja masyarakat
pada daerah bersangkutan. Daerah dengan kondisi demografis yang baik, akan
cenderung memiliki produktivitas kerja yang lebih tinggi. Sebaliknya, bila suatu
daerah yang kondisi demografisnya kurang baik maka dapat menyebabkan
rendahnya. Produktivitas kerja masyarakat setempat.
3. Perbedaan agama keyakinan
Agama yang dianut oleh masyarakat memengaruhi kebudayaan masyarakat.
Contohnya umat Islam mendapat warisan kebudayaan seperti seni kaligrafi,
petunjukan wayang dan lain sebagainya.
4. Adat istiadat dan tradisi yang berlalu secara turun temurun di wilayah
tertentu
Adat istiadat merupakan norma dan nilai sosial masyarakat setempat.
Sedangkan tradisi adalah kegiatan turun temurun atau diwariskan dari masa lampau.
Adat istiadat dan tradisi antar daerah berbeda tergantung dengan warisan nenek
moyang di wilayah tersebut. Contohnya budaya masyarakat Bugis berbeda dengan
busaya masyarakat Jawa.
5. Kebiasaan masyarakat setempat
Kebiasaan adalah tindakan atau aktivitas yang dilakukan secara terulang-
ulang. Sebagai contoh, masyarakat Jawa menggunakan transportasi darat
sedangkan masyarakat Kalimantan terbiasa menggunakan transportasi laut. Hal ini
dipengaruhi pula oleh kondisi alam diwilayah tersebut.
c. Contoh Perbedaan Budaya Indonesia

22
1. Upacara Adat
Upacara adat adalah salah satu bentuk adat istiadat atau kebiasaan masyarakat
tradisional yang diduga masih mempunyai nilai-nilai relevan bagi kehidupan dan
kebutuhan masyarakat sekitarnya. Upacara adat dirasa mempunyai nilai filosofis
dan kekuatan tersendiri oleh sebagian masyarakat setempat. Contoh upacara Adat
di Sumatera
2. Pakaian Adat
Pakaian adat adalah salah satu ciri suku tertentu di Indonesia. Umumnya,
pakaian adat dipakai saat berlangsungnya proses upacara adat, misalnya,
pernikahan yang memang menerapkan adat istiadat dari daerah tersebut. Akaian
adat Indonesia memang menjadi simbol di tiap daerahnya. Tentunya masing-masing
provinsi memiliki karakteristik baju tradisional sebagai bentuk keunikan daerah
tersebut. Adapun untuk warna dan corak dari pakaian tradisional di Indonesia
memiliki keberagaman, mulai dari kombinasi. Contoh pakaian adat dari Sumatra
Utara yaitu ulos.
3. Rumah adat tradisional
Contohnya itu rumah adat Sumatera Utara yaitu rumah bolon
4. Alat Musik Tradisional
Alat musik tradisional Indonesia merupakan alat musik yang sudah turun-
temurun dari generasi ke generasi dan berkembang di daerah-daerah tertentu.
Contoh nya gendang dan sebagainya.

23
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa memahami karakteristik anak
sangat diperlukan dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran
yang diinginkan oleh guru. Tujuan yang diinginkan dari memahami karakteristik
awal siswa adalah untuk mengkondisikan apa yang harus diajarkan, bagaimana
mengkondisikan siswa belajar sesuai dengan karakteristiknya masing-masing.
Karakteristik siswa merupakan salah satu variabel dari kondisi pengajaran. Manfaat
pemahaman peserta didik bagi guru mata pelajaran adalah mempermudah sang guru
dalam memberikan materi pembelajaran sehingga dapat diterima dengan mudah
oleh peserta didik dan diharapkan proses pembelajaran itu berhasil.
Kepada para Guru disampaikan untuk senantiasa bersikap terbuka terhadap
inovasi dan merespon secara aktif dan kreatif setiap perkembangan pendidikan,
sehingga apa yang dilakukan terhadap siswa benar-benar dapat berguna, baik bagi
kehidupannya sendiri maupun orang lain, Apabila guru tidak memahami
karakteristik peserta didik maka peserta didik tidak akan mengalami
perkembangan, potensi belajarnya melemah, dan mobilitas perkembangan anak
monoton atau tidak bervariasi. Akhirnya karena potensi peserta didik merupakan
dasar dalam menentukan masa depan maka harus diperhatikan, karena menurut
sebuah penelitian mutakhir menunjukan bahwa otak manusia terdiri atas bermilyar-
milyar sel aktif.

3.2 Saran
 Mengembangkan Strategi Pembelajaran yang Beragam: Pendidik harus
mampu mengidentifikasi dan memanfaatkan potensi dan keanekaragaman
karakteristik peserta didik untuk menciptakan metode pembelajaran yang
beragam dan menarik.
 Meningkatkan Keterampilan Pendidik dalam Mengidentifikasi dan
Mengembangkan Potensi: Pendidik perlu dilatih untuk mengidentifikasi
potensi dan keanekaragaman karakteristik peserta didik, serta

24
mengembangkan keterampilan dalam menggunakan informasi ini untuk
menciptakan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan dan minat setiap
siswa.
 Membangun Lingkungan Belajar yang Mendukung: Lingkungan belajar
yang mendukung dan inklusif dapat membantu peserta didik merasa
dihargai dan termotivasi untuk belajar, memanfaatkan potensi mereka
secara maksimal.

25
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. (2019). Kesadaran Beragama Pada Anak. AL-IRSYAD Jurnal


Bimbingan Konseling Islam, 56-68.
Aciakatura, C. (2020). Analisis Pengembangan Minat dan Bakat Siswa pada Siswa
Sekolah Dasar. Jurnal Ilmiah Indonesia, 1(2), 89-94.
Adiningtyas, S. W. (2016). Meningkatkan Keterampilan Belajar Siswa Melalui
Layanan Penguasaan Konten. Jurnal Dimensi, 5(3).
Anggraini, I. A. (2020). Mengidentifikasi Minat dan Bakat Siswa Sejak Usia Dini
di SD Adiwiyata. Jurnal Keislaman dan Ilmu Pendidikan, 2(1), 161-169.
Anggraini, I. A. (2020). Analisis Minat dan Bakat Peserta didik terhadap
Pembelajaran. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Dasar, 7(1), 2020, 23-
28.
Bire, A. L., Geradus, U., & Bire, J. (n.d.). PENGARUH GAYA BELAJAR VISUAL,
AUDITORIAL, DAN KINESTETIK TERHADAP PRESTASI BELAJAR
SISWA.
Islamiyah, D. (2009). Pendidikan Agama Bagi Anak: Antara Karakteristik dan
Treatment. MUDARRISA, 1-15.
Kusherdyana, R. (2020). Pengertian Budaya, Lintas Budaya, dan Teori yang
Melandasi Lintas Budaya. Pemahaman Lintas Budaya
SPAR4103/MODUL, 1(1), 1-63.
Mardhiyah, R. H., Aldriani, S. N. F., Chitta, F., & Zulfikar, M. R. (2021).
Pentingnya keterampilan belajar di abad 21 sebagai tuntutan dalam
pengembangan sumber daya manusia. Lectura: Jurnal Pendidikan, 12(1),
29-40.
Mudjiran. (2021). PSIKOLOGI PENDIDIKAN. Jakarta: Kencana.
Putra, A. (2018). Kesetaraan Gender Dalam Pembelajaran Di Sekolah Dasar. ELSE
(Elementary School Education Journal), 89-96.
Supit, D., Meiske Maythy Lasut, E., Jerry Tumbel, N., Klabat, U., Airmadidi
Bawah, J., & Utara, S. (2023). Gaya Belajar Visual, Auditori, Kinestetik
terhadap Hasil Belajar Siswa. Journal on Education, 05(03), 6994–7003.
Sri Milfayetty, D. (2024). PSIKOLOGI PENDIDIKAN. MEDAN.

26
Warsah, M. U. (2021). Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: BUDI UTAMA.
Yuliani, S. (2013). Perbedaan Gender Dalam Penguasaan Bahasa di Pandang Dari
Persfektif Psikologi Pendidikan. PEDAGOGI Jurnal Ilmiah Ilmu
Pendidikan, 47-51.

27

Anda mungkin juga menyukai