PEDAGOGI
Tentang
“Kecerdasan IQ, EQ dan SQ”
Dosen Pengampu:
Dr. Irdamurni, M.Pd
OLEH
KELOMPOK 5
1. Cindy Fadilla 18022158
2. Isra Revenia 18022016
3. Regina Aprillya S 18022077
4. Vivin Nurcahyati 18022141
Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya kepada kita semua, sehingga kelompok 5 dapat menyelesaikan makalah ini dengan
lancar dan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya penulis tidak akan sanggup
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan
kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya
di akhirat nanti.
Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu
berupa sehat fisik maupun akal pikiran. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua
pihak khususnya kepada dosen yang mengampu mata kuliah ini Ibu Dr. Irdamurni, M.Pd yang
telah membimbing kami sehingga dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Kecerdasan IQ,
EQ dan SQ”.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu kami mengharapkan kritik
serta saran dari pembaca untuk makalah ini agar nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik
lagi. Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk kita semua. Terimakasih.
Kelompok 5
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................................ii
A. Kesimpulan ...................................................................................................................19
B. Saran .............................................................................................................................19
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya manusia memiliki tiga potensi yang harus dikembangkan dalam
menjalankan eksistensi kehidupanya di muka bumi. Ketiga potensi tersebut adalah kecerdasan
intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ) , dan kecerdasan spiritual (SQ).
Pada awal abad kedua puluh, IQ digunakan untuk memecahkan masalah logika maupun
strategis, sehingga para psikolog berupaya menyusun berbagai tes untuk mengukur kemampuan
seseorang. Menurut teori ini, semakin tinggi IQ seseorang maka semakin tinggi pula
kecerdasanya. IQ pada saat itu sangatlah diagungkan keberadaanya sebagai kunci sukses
kehidupan seseorang. Akan tetapi IQ terbukti tidak selalu menjamin kesuksesan seseorang.
Dalam EQ terdapat seperangkat kecakapan khusus yang berupa empati, disiplin diri, dan
inisiatif, akan membedakan antara mereka yang sukses sebagai bintang kinerja dengan hanya
sebatas bertahan di lapangan pekerjaan. (McCleland, 1973: 5)
Untuk mensinergikan EQ, diperlukan keseimbangan dalam menjalankanya yang
dilandasi oleh kecerdasan spiritual. Danah Zohar dan Ian Marshall mendefinisikan kecerdasan
spiritual sebagai kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna dan nilai (value), yaitu
kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas
dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna
dibandingkan dengan yang lain ( Zohar, 2000: 4).
Kecerdasan Spiritual (SQ) adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan
kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) secara efektif. Sedang ESQ,
kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna spiritual terhadap
pemikiran,perilaku dan kegiatan, serta mampu menyinergikan IQ, EQ, dan SQ secara
komprehensif. Dengan mensinergikan antara rasionalitas dunia dengan kepentingan spiritual,
maka kebahagiaan dan kedamaian akan tercapai secara maksimal serta menjadi asset di dunia
maupun di akhirat.
1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian masing-masing kecerdasan?
2. Bagaimana karakteristik anak didik yang memiliki masing- masing kecerdasan?
3. Bagaimana peranan pendidik dalam membantu perkembangan masing-masing
kecerdasan?
4. Bagaimana kecerdsan multiple Inteliqence atau kecerdasan beragam?
5. Bagaimana hubungan antara ketiga kecerdasan IQ, EQ dan SQ?
6. Bagaimana mengaktifkan radar kecerdasan spritual anak didik?
C. Tujuan
1. Dapat mengetahui dan memahami bagaimana pengertian masing-masing kecerdasan.
2. Dapat mengetahui dan memahami bagaimana karakteristik anak didik yang memiliki
masing- masing kecerdasan.
3. Dapat mengetahui dan memahami bagaimana peranan pendidik dalam membantu
perkembangan masing-masing kecerdasan.
4. Dapat mengetahui dan memahami bagaimana kecerdsan multiple Inteliqence atau
kecerdasan beragam.
5. Dapat mengetahui dan memahami bagaimana hubungan antara ketiga kecerdasan IQ,
EQ dan SQ.
6. Dapat mengetahui dan memahami bagaimana mengaktifkan radar kecerdasan spritual
anak didik.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
dari seratus miliar sel aktif dan sembilan ratus miliar sel pendukung yang kesemuanya
berkumpul di otak. Kecerdasan intelektual (inteligensi) merupakan aspek psikologis yang
dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas seseorang dalam perolehan pembelajaran.
4
kepekaan dalam melihat makna yang ada di balik sebuah kenyataan. Kecerdasan ini
pertama kali digagas oelh Danah Zohar dan Ian Marshall. Kecerdasan spiritual bukan saja
mengatahui nilai-nilai yang ada tetapi juga secara kreatif menemukan nilai-nilai baru.
Dalam perkembangan seseorang, tidak hanya dibutuhkan kepandaian, namun kreatifitas
juga sangat dibutuhkan.
Di samping itu kecerdasan spiritual (SQ) tidak bergantung pada budaya atau nilai.
Maksud dari pernyataan tersebut adalah bahwa kecerdasan spiritual tidak mengikuti nilai-
nilai yang ada, tetapi menciptakan kemungkinan untuk memiliki nilai-nilai itu sendiri.
Kecerdasan spiritual berasal dari dalam hati, menjadikan seseorang kreatif ketika
dihadapkan pada masalah pribadi, mencoba melihat makna yang terkandung di dalamnya,
serta menyelesaikannya dengan baik agar memperoleh ketenangan dan kedamaian hati.
Dengan belajar untuk memaknai setiap peristiwa yang terjadi maka seseorang dapat
meningkatkan perkembangan spiritualnya. Selain itu kecerdasan spiritual membuat
individu mampu memaknai setiap kegiatannya sebagai ibadah, demi kepentingan umat
manusia dan Tuhan yang sangat dicintainya.
Kecerdasan spiritual disini bermakna bahwa seseorang individu yang memiliki
rasa tanggung jawab kepada sang pencipta serta kemampuan mengkhayati nilai- nilai
agama. Keridlaan dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk menerima dengan
hati yang rela dengan peraturan-peraturan yang telah digariskan oleh agama. Tanggung
jawab kepada sang pencipta dapat membantu seseorang untuk terus belajar dan bekerja
keras tanpa rasa jenuh. Allah membimbing siapa saja yang ridla kepada-Nya melalui
jalan-jalan keselamatan dan membawa mereka dengan izin-Nya keluar dari kegelapan
menuju cahaya.
Dengan bermodalkan SQ, manusia mengabdi kepada Allah untuk mengelola bumi
sebagai khalifah. Target utamanya semata mencari keridhaan Allah. Keridlaan dapat
diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk menerima dengan hati yang rela dengan
peraturan-peraturan yang telah digariskan oleh agama. Tanggung jawab kepada sang
pencipta dapat membantu seseorang untuk terus belajar dan bekerja keras tanpa rasa
jenuh. Kecerdasan spiritual (SQ) yang memadukan antara kecerdasan intelektual dan
emosional menjadi syarat penting agar manusia dapat lebih memaknai hidup dan
5
menjalani hidup penuh berkah. Terutama pada masa sekarang, dimana manusia modern
terkadang melupakan mata hati dalam melihat segala sesuatu.
Menurut Indragiri A. Dalam bukunya Ciri-ciri anak yang memiliki kecerdasan spiritual
adalah sebagai berikut:
6
1) Anak mengetahui dan menyadari keberadaan sang pencipta
2) Anak rajin beribadah tanpa harus disuruh-suruh atau dipaksa
3) Anak menyukai kegiatan menambah ilmu yang bermanfaat
4) Anak senang melakukan perbatan baik
5) Anak bersifat jujur
6) Anak dapat mengambil hikmah dari suatu kejadian
7) Anak mudah memaafkan orang lain
8) Anak memiliki selera humor yang baik dan mampu menikmati humor dalam berbagai
situasi
9) Anak pandai bersabar dan bersyukur, batinnya tetap bahagia adalah keadaan apapun
10) Anak dapat menjadi teladan yang baik bagi orang lain dan
11) Anak biasanya memahami makna hidup sehingga ia selalu mengambil jalan yang
lurus.
7
meninggalkan salat berarti telah menzalimi diri sendiri. Puasa dapat
mengantarkan manusia kepada puncak prestasi, yaitu takwa. Takwa hanya dapat
di raih dengan prestasi ibadah, dan kedekatan diri kepada Allah swt.
Salah satu ciri takwa (orang muttaqin), Syahrin Harahap mengutip pendapat
Abdullah Yusuf Ali, takwa dapat dilihat dalam empat bentuk, yaitu:
Kearifan prediktif, yaitu pemilikan visi yang jauh ke depan mengenai
kehidupan yang hendak dibangunnya. (Q.S. al- Hasyr/59: 18).
Kearifan equilibrium, yaitu kearifan untuk menciptakan keseimbangan
dalam dirinya dan kehidupannya (Q.S. al- Qasas/28: 77).
Kearifan pluralitas, yaitu suatu kearifan untuk mengahadapi pluralitas
kehidupan, pluralitas visi, dan bahkan pluralitas metodologis untuk
mencapai kemajuan Islam.
Kearifan horizontal, yakni kepedulian terhadap mereka orang miskin dan
kekurangan, tidak memetingkan diri sendiri, melainkan santun terhadap
masyarakat yang masih tertinggal, sebagai pelaksanaan dari tanggung
jawabnya sebagai khalifah Tuhan (Syahrin Harahap, 1999: 172).
Aktivitas puasa dalam perspektif Islam terdiri dari jasmani dan ruhani, namum
nilai-nilai hidup dan kemanusiaan lebih banyak dikontribusi oleh ruhani
ketimbang jasmani, seperti nilai kejujuran, tanggung jawab, istiqāmah pada
kebenaran, sifat adil. Inilah sebenarnya esensi manusia, sebab apabila ruhanianya
tidak berkembang, maka nilai-nilai kemanusiaanya tidak terealisasi. Itulah
sebabnya dalam puasa ramadhan diupayakan melalui proses amaliah ramadhan,
manusia akan mampu mengembangkan unsur ruhanianya itu.
8
tersebut dengan melakukan tafakur, tażakur, dan tadabur. Serta membiasakan
mujāhadah, dalam arti bersungguh- sungguh. Menurut Toto Tasmara, riyādah
yang bersifat ruhiyah adalah pelatihan yang mampu menyentuh nilai-nilai yang
dibisikkan hati nurani. Seluruh potensi kecerdasan harus tunduk pada nilai-nilai
luhur ini, yaitu kebenaran Ilahiyah yang dipancarkan ruh kebenaran (Toto
Tasmara, 2001: 71).
Pendidik mendorong dan memotivasi peserta didik untuk terlatih berpikir
(tafakur), dan merenungkan dimensi serta aspek-aspek detail tentang dirinya dan
alam sekitarnya, memikirkan masalah-masalah umum, serta mengurutkan
hipotesa-hipotesa. Kebiasaan berpikir deduktif ke induktif dan analogi akan
melahirkan kemampuan daya berpikir dalam berargumentasi serta menarik
kesimpulan dari sumber hukum Islam (al-Qur’an dan hadis).
c) Melatih Peserta Didik Memiliki Sifat Sabar, Syukur, dan Ikhlas (Asma’ul Husna)
Al-Gazālī, mengatakan sesungguhnya hakikat kesabaran itu terdiri dari
pengetahuan, keadaan, dan amal. Sehingga akan melahirkan kekuatan (power)
yang memotivasi untuk mengerjakan amal, termasuk mendorong diri dalam
melakukan ibadah atau mengekang bisikan nafsu (Abû Hāmid Muhammad al-
Gazālī, 1421: 355), dalam pandangan pendidikan, inilah dilakukan Luqmān dalam
mendidik anaknya untuk bersifat dan bersikap sabar, kisah nabi Musa dan Khidir.
Hal tersebut mengindikasikan kepada pendidik, agar mengupayakan peserta
didiknya memiliki sifat sabar, dengan berbagai metode dan pendekatan dalam
pendidikan Islam, yaitu pendekatan emosional dengan metode kisah dalam al-
Qur’an. bahwa sabar berbanding lurus dengan pelaksanaan salat dan mengerjakan
amal shaleh serta usaha manusia mencegah dari perbuatan munkar. Sehingga
terpatri sebuah harapan yang kuat untuk menggapai cita- cita. Dalam hal ini, al-
Gazālī mengutip pendapat Ibnu Abbar, ra, bahwa hakikat kesabaran dalam al-
Qur’an ada tiga macam, yaitu pertama, sabar dalam melaksanakan kewajiban-
kewajiban karena mengharapkan keridaan Allah swt. Kedua, sabar untuk
meninggalkan larangan- larangan Allah swt. Ketiga, sabar dalam menghadapi
9
musibah pada saat musibah datang pertama kali (Abû Hāmid Muhammad al-
Gazālī, 1421: 355).
2. Pendidikan Pembiasaan
Dalam konteks Islam, kebiasaan didefinisikan sebagai pengulangan sesuatu secaa
terus-menerus atau dalam sebagaian besar waktu dengan cara yang sama dan tanpa
hubungan akal, atau dia adalah sesutau yang tertanam di dalam jiwa dari hal-hal yang
berulang kali terjadi di terima sebagai tabiat (M. Sayid Muhammad al-Za’balawi, 2007:
347).
Dari definisi tersebut, dapat dipahami bahwa kebiasaan adalah keadaan jiwa yang
menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan muda tanpa perlu berpikir dan menimbang.
Kalau keadaan itu menimbulkan perbuatan baik dan terpuji menurut syariat dan akal,
disebut akhlak yang baik. Kalau yang muncul adalah perbuatan buruk dinamakan akhlak
buruk. Jadi kebiasaan memainkan peran penting dalam kehidupan peserta didik. Kalau
kebiasaan- kebiasaan berperilaku baik, itu menunjukkan tingkat adaptasi dan kesehatan
mental peserta didik. Kebiasaan baik membuka peluang bagi peserta didik untuk
mendapatkan kedudukan sosial yang memberinya perasaan akan harga dirinya. Dari sini,
tampak urgensi pendidikan kebiasaan-kebiasaan yang baik pada peserta didik, agar hal ini
membantu peserta didik menyempurnakan proses pembangunan kebiasaan-kebiasaan
yang baik yang sesuai dengan prinsip-prinsip agama Islam.
Bahasan yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa mempelajari dan
mengaktualisasi kebiasaan-kebiasaan baik dan akhlak mulia akan mengakselerasi peserta
didik meraih kesuksesan. Karena kebiasaan belajar dan kerja keras berarti telah
membiasakan diri peserta didik dengan kepribadian dan kecerdasan yang menjadikan
kesuksesan sebagai konsekuensi pasti bagi hidup peserta didik. Peserta didik yang
memiliki kebiasaan- kebiasaan baik pasti sukses dalam batas-batas kecerdasannya.
Kebiasaan-kebiasaan menjalankan perintah Allah swt, dan memiliki kepribadian akhlak
mulia, secara siginifikan membangun kecerdasan kalbu, dan kecerdasan ruhiyah peserta
didik.
10
3. Mujāhadah
Mujāhadah, berarti berjuang. Suatu istilah tasawuf yang berarti perjuangan yang
dilakukan dengan penuh kesungguhan dalam melawan, menahan, dan menundukkan
hawa nafsu (Dewan Redaksi Ensiklopedi, Jilid III: 287). Al-Gazālī, mengemukakan
mujāhadah yaitu bersungguh-sungguh melaksanakan ibadah. Hamka mengatakan
mujāhadah dilakukan dengan berbagai cara, seperti tafakur, bermenung, dengan
memincingkan mata serta menaikkan lidah ke langit-langit, lalu melakukan zikir atau
mengingat dan menyebut nama Allah swt (Dewan Redaksi Ensiklopedi, Jilid IV: 167).
M Quraish Shihab berkata, mujāhadah adalah menggunakan seluruh kemampuan
secara bersungguh-sungguh untuk melawan musuh, yang dalam konteks pembinaan
ruhani adalah musuh yang terdekat pada diri manusia, yaitu nafsunya yang selalu
mendorong kepada kerendahan dan keburukan (M. Quraish Shihab, 2005: 162).
Paparan di atas, mengindikasikan bahwa mujāhadah adalah bersungguh- sungguh
melatih (riyādah) jiwa dan hawa nafsu untuk taat kepada Allah swt. Perbedaan antara
mujāhadah dan riyādah adalah pada penekanannya. Mujāhadah perjuangan melawan
hawa nafsu, sedangkan riyādah adalah latihan-latihan spiritual guna mengendalikan
nafsu. Latihan tentu memerlukan perjuangan, sebaliknya perjuangan juga dibarengi dan
dikukuhkan dengan latihan-latihan spiritual, karena itu pada akhirnya keduanya bertujuan
sama.
Apabila mujāhadah dikonversi dalam konteks pendidikan saat ini, berarti upaya
pendidik mengaktualisasi konsep dan nilai-nilai tasawuf dalam kehidupan peserta didik.
Signifikansi nilai-nilai tasawuf dalam pendidikan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dengan situasi yang terjadi dalam sistem pendidikan Nasional. Secara faktual
sistem pendidikan saat ini belum menyentuh sisi terdalam dari manusia (ruhaniah), salah
satu yang harus mendapat pendidikan adalah hawa nafsu, yaitu usaha pendidik dengan
otoritasnya untuk mengendalikan, membina, membimbing dan mengarahkan peserta
didiknya bermujāhadah dalam arti mendidik dengan sekuat tenaga untuk menghindari
hawa nafsu yang rendah dan tak terkendali.
Salah satu peran pendidik yang dapat diimplementasikan dalam kerangka untuk
membantu proses penangnan kegoncangan hidup manusia (peserta didik) akibat
penerapan teknologi dan modernisasi adalah melalui penggunaan sarana mujāhadah.
11
Mujāhadah di sisni dimaksudkan sebagai salah satu sarana untuk terapi terhadap berbagai
kondisi kehidupan peserta didik yang mengalami kogoncangan hidupnya, frustasi, stres,
marah, emosi, benci, dengki, sombong, angkuh dan bangga terhadap diri sendiri, dan
sebagainya.
12
3. Kecerdasan logis matematis. Kecerdasan yang mendasarkan diri pada kemampuan
penggunaan penalaran, logika dan angka-angka matematis. Pola pikir yang
berkembang melalui kecerdasan ini adalah kemampuan konseptual dalam kerangka
logika dan angka yang digunakan untuk membuat hubungan antara berbagai
informasi, secara bermakna. (ahli matematika, pemrogram komputer, analis
keuangan, akuntan, insinyur dan ilmuwan dan menciptakan hipotesis).
4. Kecerdasan jasmani kinestetik. Kemampuan untuk mengendalikan gerakan tubuh dan
memainkan benda-benda secara canggih, merupakan bentuk nyata dari kecerdasan
tersebut. Kecenderungannya yaitu dengan mengekspresikan diri melalui gerakan
tubuh, individu dapat berinteraksi dengan lingkungan sekelilingnya, mengingat dan
memproses setiap informasi yang diterimanya. (koreografer, penari, pemanjat tebing,
penari, atlet, pengrajin dan montir).
5. Kecerdasan musikal. Kecerdasan yang dimiliki oleh orang yang peka nada serta
memungkinkan individu menciptakan, mengkomunikasikan dan memahami makna
yang dihasilkan oleh suara. Komponen inti dalam pemrosesan informasi meliputi
pitch, ritme dan timbre. Terlihat pada komposer, konduktor, teknisi audio, mereka
yang kompeten pada musik instrumentalia dan akustik.
6. Kecerdasan interpersonal, merupakan kecerdasan dalam berhubungan dan memahami
orang lain di luar dirinya. Kecerdasan tersebut menuntun individu untuk melihat
berbagai fenomena dari sudut pandang orang lain, agar dapat memahami bagaimana
mereka melihat dan merasakan. Sehingga terbentuk kemampuan yang bagus dalam
mengorganisasikan orang, menjalin kerjasama dengan orang lain ataupun menjaga
kesatuan suatu kelompok. Kemampuan tersebut ditunjang dengan bahasa verbal dan
non-verbal untuk membuka saluran komunikasi dengan orang lain.
7. Kecerdasan intrapersonal, tergantung pada proses dasar yang memungkinkan individu
untuk mengklasifikasikan dengan tepat perasaan-perasaan mereka, misalnya
membedakan sakit dan senang dan bertingkah laku tepat sesuai pembedaan tersebut.
Kecerdasan ini memungkinkan individu untuk membangun model mental mereka
yang akurat, dan menggambarkan beberapa model untuk membuat keputusan yang
baik dalam hidup mereka.(konselor, ahli teologi, dan wirausahawan).
13
E. Hubungan Antara Ketiga Kecerdasan IQ, EQ dan SQ
Menurut Sukardi yang dikutip Baharina (2002) menyatakan ada beberapa pengertian IQ
atau Inteligence Quotient, antara lain: yang disampaikan Wechsler bahwa inteligensi adalah
kemampuan bertindak dengan menetapkan suatu tujuan, untuk berfikir secara rasional dan untuk
berhubungan dengan lingkungan sekitarnya secara memuaskan. Sedang Stern mengartikan
inteligensi sebagai kemampuan untuk mengetahui problem serta kondisi baru, kemampuan
berpikir abstrak, kemampuan bekerja, kemampuan menguasai tingkah laku instingtif, serta
kemampuan menerima hubungan yang kompleks. Arti inteligensi secara cukup sederhana yaitu
kemampuan berpikir abstrak.
Pengertian emotional intelligence atau kecerdasan emosi diartikan oleh beberapa pakar
antara lain menurut Goleman (1999) yang mengatakan bahwa kecerdasan emosi adalah
kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi
diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam
berhubungan dengan orang lain. Sedangkan menurut Cooper dan Sawaf (1998) kecerdasan emosi
adalah kemampuan merasakan, memahami dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan
emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi dan pengaruh yang manusiawi.
Dari beberapa pengertian diatas dapat diartikan bahwa kecerdasan emosi adalah suatu
kemampuan seseorang dalam mengelola emosi dan perasaannya secara tepat dan efektif untuk
berhubungan atau bekerjasama dengan orang lain, untuk mencapai suatu tujuan. Seseorang yang
EQ nya rendah biasanya dicirikan, pertama, jika bicara cenderung menyakitkan dan
menyalahkan pihak lain sehingga persoalan pokok bergeser oleh pertengkaran ego pribadi, dan
kemudian persoalan tidak selesai bahkan bertambah. Kedua, rendahnya motivasi kinerja anak
buah untuk meraih prestasi karena tidak mendapat dorongan dan apresiasi dari atasan.
Spiritual Intelligence atau kecerdasan spiritual banyak diartikan oleh berbagai penulis,
diantaranya menurut Zohar dan Marshal (2001) yang mengartikan SQ adalah kecerdasan yang
bertumpu pada bagian dalam diri yang berhubungan dengan kearifan di luar ego atau jiwa sadar.
Ini adalah kecerdasan yang digunakan bukan hanya untuk mengetahui nilai-nilai yang ada,
melainkan juga untuk secara kreatif menemukan nilai-nilai baru. Sedangkan menurut Marsha
Sinetar yang dikutip Baharina (2002), SQ adalah kecerdasan yang mendapat inspirasi, dorongan
dan efektivitas yang terinspirasi, theis-ness atau penghayatan ketuhanan yang di dalamnya kita
14
semua menjadi bagian. Lain lagi yang disampaikan Khalil Khawari yang dikutip Nggermanto
(2002) bahwa SQ adalah bagian dari dimensi non-material kita, roh manusia.
Menurut Goleman kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang 20% bagi kesuksesan,
sedangkan 80% adalah sumbangan faktor kekuatan-kekuatan lain, diantaranya adalah kecerdasan
emosional atau Emotional Quotient (EQ) yakni kemampuan memotivasi diri sendiri, mengatasi
frustasi, mengontrol desakan hati, mengatur suasana hati (mood), berempati serta kemampuan
bekerja sama.
Dalam proses belajar siswa, kedua inteligensi itu sangat diperlukan. IQ tidak dapat
berfungsi dengan baik tanpa partisipasi penghayatan emosional terhadap mata pelajaran yang
disampaikan di sekolah. Namun biasanya kedua inteligensi itu saling melengkapi. Keseimbangan
antara IQ dan EQ merupakan kunci keberhasilan belajar siswa di sekolah. Pendidikan di sekolah
bukan hanya perlu mengembangkan rational intelligence yaitu model pemahaman yang lazimnya
dipahami siswa saja, melainkan juga perlu mengembangkan emotional intelligence siswa.
Selain IQ dan EQ, SQ memiliki peran yang penting dalam kehidupan manusia.
Sebagaimana halnya EQ, SQ juga merupakan hasil kerja elaboratif temuan-temuan bidang
neurologi dan psikologi. Freud membagi proses psikologis menjadi 2 (dua) yaitu proses primer
dan proses sekunder. Proses primer diasosiasikan dengan EQ dan proses sekunder diasosiasikan
dengan IQ. EQ mencermikan jaringan asosiatif syaraf otak dan IQ mencerminkan jaringan serial
syaraf otak. Proses primer dan sekunder saling berebut kendali dan ekspresi, oleh karenanya
terjadi persaingan antara keduanya.
Sedangkan SQ ditengarai sebagai proses psikologi yang ketiga dan didasarkan pada
sistem syaraf otak ketiga, yakni osilasi-syaraf sinkron yang menyatukan data di seluruh bagian
otak. SQ memfasilitasi dialog antara IQ dan EQ sebagaimana yang disebutkan oleh Zohar dan
Marshall bahwa SQ merupakan kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan
makna dan nilai hidup, menempatkan perilaku dalam konteks makna secara lebih luas dan kaya.
15
44-47) memberikan saran kepada orang tua dan guru dengan memberikan sepuluh kiat
mengembangkan kecerdasan spiritual anak sebagai berikut:
1. Menjadi contoh tauladan yang baik untuk anak. Anak adalah atau peniru yang baik.
Apapun yang dilihat dan di derdengar oleh anak dari orang tuanya dengan sendirinya
anak akan dengan mudah menirukan. Dalam hal ini penting bagi orang tua atau
pendidik selalu memberikan contoh yang baik bagi anak. Seperti halnya melatih anak
untuk berdoa dan pembiasan ritual keagaman akan bisa memperluas perasaan dan
mencerdaskan spiritual anak.
2. Membantu anak untuk merumuskan “misi” hidupnya, Misi yang utama untuk anak
adalah menjadi anak yang saleh, saleh dalam arti yang sesungguhnya. Menurut Dr.
M. Quraish Shihab dalam kuniasih (2010: 45) yang dimaksud saleh adalah menjadi
yang sesuai dengan tujuan penciptaannya yaitu untuk mengabdikan diri,
menghambakan diri kepada Allah Swt dan menjadi khalifah di muka bumi yang
membawa risalah kebenaran yang sesuai amar ma’ruf nahi munkar.
3. Membaca kitab suci bersama-sama dan jelaskan maknanya dalam kehidupan.
4. Menceritakan kisah-kisah agung tokoh-tokoh spiritual. Dalam hal ini orang tua atau
guru dapat memceritakan kisah-kisah semangat dan inspiratif para pahlawan agama,
seperti kisah para Rasul dan sahabat-Nya.
5. Mendiskusikan berbagai persoalan dari segala perspektif. Mengajak anak untuk
berdiskusi dari dini merupakan langkah awal yang baik untuk merangsang pola pikir
anak. Mereka akan terbiasa dengan segala persoalan dan bagaimana akan terbiasa
dengan segala persoalan dan bagaimana cara pemecahannya.
6. Melibatkan anak dalam kegiatan-kegiatan keagamaan. Kegiatan keagamaan adalah
rangkaian yang harus diperkenalkan oleh orang tua atau pendidik kepada anak, seperti
contoh pemberian bimbingan pelatihan shalat dan membiasakn membaca do’a
sebelum melakukan kegiatan.
7. Membaca puisi-puisi atau lagu-lagu yang bertemakan keagamaan. Membaca puisi
dan memperdengarkan lagu kepada anak tidak hanya untuk melengkapi pengetahuan-
pengetahuan mereka tapi juga akan mengasah bakat-bakat seni yang mereka miliki.
8. Membawa anak untuk menikmati keindahan alam. Menikmati keindahan alam adalah
salah satu sarana untuk pengenalan benda, warna, dan seni kepada anak, dan tidak
16
kalah pentingnya adalah memperkenalkan kebesaran Tuhan akan keindahan
ciptaannya.
9. Membawa anak ketempat-tempat orang yang menderitaIni adalah salah satu cara
untuk mengajarkan kepada anak untuk bersyukur atas nikmat dan kesempurnaan yang
telah diterimanya. Seperti contoh mengucapkan “Alhamdulillah” setelah melakukan
berbagai kegiatan (Kurniasih, 2010: 46).
10. Mengikut sertakan anak dalam kegiatan sosial, dalam hal ini anak diajarkan
bersyukur dan memupuk semangat kebersamaan anak dengan nilai-nilai sosial,
seperti anak terbiasa berbagi dengan sesama, mempunyai sifat peduli dengan orang
lain dan lingkungan disekitarnya. Kiat-kiat diatas dapat diaplikasikan umtuk mengsisi
berbagai aktivitas dalam proses pendampingan anak dengan menanamkan nilai-nilai
keagamaan secara terus meneru.
17
pemecahan masalah yang terbaik. Setiap konflik atau masalah yang muncul harus dapat
dijadikan momentum oleh guru bagi seluruh peserta didik untuk pengembangan
kecerdasan spiritual mereka.
3. Melalui pengetahuan
Pendidikan perlu mengembangkan pelajaran dan kurikulum sekolah yang mampu
mengembangkan realisasi diri peserta didik seperti kurikulum yang dapat melatih
kepekaan siswa terhadap berbagai masalah aktual. Peserta didik diajak berefleksi tentang
makna, bagaimana dia dapat ikut serta memecahkan masalah tersebut. Peristiwa seperti
bencana alam, banjir dan tanah longsor dapat dijadikan bahan belajar melatih kepekaan
terhadap nilai dan makna kemanusiaan sehingga mereka dapat diajak berefleksi,
menyadari dan ikut merasakan bagaimana berada seperti orang lain.
4. Melalui perubahan pribadi (kreatifitas)
Dalam setiap kegiatan belajar mengajar seharusnya guru merangsang kreatifitas
peserta didiknya. Anak-anak itu sebenarnya memiliki imajinasi dan daya cipta yang
sangat tinggi. Mereka dapat menciptakan peraturan kelas dan peraturan sekolahnya
sendiri dengan baik dan ideal. Guru tinggal menciptakan kondisi dimana daya kreatifitas
yang sudah ada dalam diri mereka itu dapat diekspresikan dengan penuh makna.
5. Melalui Persaudaraan
Hukuman fisik dan olok-olok, perkelahian dan saling mengejek antar murid perlu
dihindari karena dapat menghambat kecerdasan spiritual (SQ). Sebaliknya guru perlu
mendorong setiap peserta didik untuk saling menghargai dan saling memahami pendapat
dan perasaan masing-masing. Bila terjadi konflik, murid perlu diajak berdialog untuk
mencari cara pemecahan konflik yang dapat diterima semua pihak. Setiap koflik
merupakan kesempatan untuk mengembangkan kecerdasan spiritual. Lingkungan seperti
itu membantu peserta didik mengembangkan kemampuan mengelola konfliknya sendiri.
6. Melalui kepemimpinan yang penuh pengabdian
Guru menjadi model pemimpin yang diamati oleh peserta didiknya. Pengalaman
peserta didik bagaimana dilayani dan dipahami sungguh-sungguh oleh gurunya adalah
pengalaman secara tidak langsung mengajarkan kepada peserta didik bagaimana
layaknya perilaku seorang pemimpin. Pemimpin yang efektif itu adalah yang mengerti
dan memahami dan melayani kepentingan bawahannya.
18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara garis besar kecerdasan intelektual adalah kemampuan potensial seseorang untuk
mempelajari sesuatu dengan menggunakan alat–alat berpikir. Kecerdasan ini bisa diukur dari sisi
kekuatan verbal dan logika seseorang. Secara teknis kecerdasan intelektual pertama kali
ditemukan oleh Alfred Binet. Menurut pendapat lain bahwa kecerdasan intelektual/Intelligence
Quotient (IQ) merupakan kecerdasan dasar yang berhubungan dengan proses kognitif,
pembelajaran (kecerdasan intelektual) cenderung menggunakan kemampuan matematis-logis dan
bahasa, pada umumnya hanya mengembangkan kemampuan kognitif (menulis, membaca,
menghafal, menghitung dan menjawab).
EQ merupakan bagian yang lebih dalam dari otak neo-cortex yakni terdapat pada lapisan
lymbic system (lapisan tengah). Pada otak tengah ini terletak pengendali emosi dan perasaan
kita. Dalam kecerdasan emosional setidaknya ada lima komponen pokok yakni kesadaran diri,
manajemen emosi, motivasi, empati, dan mengatur hubungan soial. EQ pertama kali digagas
oleh Daniel Goleman.
Kecerdasan spiritual (SQ) merupakan kecerdasan rohaniah yang menuntun diri kita
memungkinkan kita utuh. Kecerdasan spiritual berada pada bagian yang paling dalam dari diri
kita, terkait dengan kebijaksanaan yang berada di atas ego. Bisa dikatakan bahwa kecerdasan
spiritual merupakan kecerdasan yang memiliki peranan penting dalam meningkatkan karakter
seseorang.
B. Saran
Kami sebagai penulis menyadari bahwa makalah ini belum sempurna, kedepannya
penulis akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber-
sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat dipertanggung jawabkan. Semoga makalah ini
dapat dipergunakan dengan semestinya.
19
DAFTAR PUSTAKA
Agustian, Ary Ginanjar. 2005. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi Dan Spiritual
The ESQ Way 165 1 Ihsan, 6 Rukun Iman Dan 5 Rukun Islam. Jakarta: Arga.
Asraf, Ali. 1989. New Horison in Muslim Education, Horison Baru Pendidikan Islam. ter. Sayid
Jogjakarta: Starbooks
Marshall, Ian & Danah Zohar. 2002. SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual Dalam Berfikir
Integralistik Dan Holistic Untuk Memaknai Kehidupan. Bandung: Mizan Media Utama.
Rakhmat, Jalaluddin Rakhmat. 2007. SQ for Kids Mengembangkan Kecerdasan Spiritual Anak
Shihab, M. Quraish. 2005. Logika Agama; Kedudukan Wahyu dan Batas-batas Akal dalam
20
Tasmara, Toto. 2001. Kecerdasan Ruhaniah (Transcendental Intelligence): Membentuk
Insani Press.
21