Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH IESQ

“SEJARAH BERKEMBANGNYA KECERDASAN IESQ”

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah IESQ Kelas BPI B
Semester 4 Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Alauddin
Makassar

Dosen Pengampu:
Dr. Meisil B. Wulur, S.Kom, M. Sos

Disusun Oleh:
Ahmad Ridha Lukman
50200122054

JURUSAN BIMBINGAN DAN PENULUHAN ISLAM


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
banyak nikmatnya kepada penulis sehingga atas berkat dan rahmat serta karunia-
Nyalah penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Sejarah
Berkembangnya Kecerdasan IESQ ini sesuai dengan waktu yang penulis
rencanakan.
Terima kasih penulis sampaikan juga kepada dosen pengajar Psikoterapi
Islam, Dr. Meisil B. Wulur, S.Kom, M. Sos. Yang telah memberikan kesempatan
bagi penulis untuk mengerjakan tugas ini, sehingga penulis menjadi lebih mengerti
dan memahami tentang gangguan perilaku abnormal, tak lupa penulis juga
mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada seluruh pihak yang baik
secara langsung maupun tidak langsung telah membantu dalam upaya penyelesaian
makalah ini baik mendukung secara moril maupun materil.
Walaupun penulis telah berusaha semaksimal mungkin, akan tetapi penulis
menyadari bahwa masih banyak terdapat kesalahan, kekurangan dan kehilapan
dalam penulisan makalah ini. Untuk itu, saran dan kritik tetap penulis harapkan
demi perbaikan makalah ini ke depan. Akhir kata penulis berharap makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita semua.

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

A. Latar Belakang ..................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 3

A. Sejarah Kecerdasan Intelektual ............................................................ 5


B. Sejarah Kecerdasan Emosional ............................................................ 9
C. Sejarah Kecerdasan Spiritual ............................................................... 11

BAB III KESIMPULAN ................................................................................ 12

LAMPIRAN .................................................................................................... 13

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Otak manusia memiliki lapisan yang disebut neo-cortex. Otak neo-cortex
manusia mampu berhitung, belajar aljabar, mengoperasikan komputer, belajar
bahasa inggris, dan lainnya. Melalui penggunaan otak neo-cortex maka lahirlah
konsep IQ (kecerdasan intelektual). Kecerdasan intelektual (IQ) yang selama ini
dibangga-banggakan, akhirnya runtuh dengan temuan tentang kecerdasan
emosional (EQ). Kecerdasan intelektual hanya menyumbang tidak lebih dari 20%
terhadap keberhasilan seseorang, sisanya yakni 80% justru ditentukan oleh faktor
lain, termasuk kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Temuan Howard
Gardner tentang multiple intellegensi yang meyakini bahwa individu memiliki
banyak kecerdasan bukan hanya kecerdasan intelektual telah membuka cakrawala
baru tentang potensi manusia yang belum dieksplorasi untuk mendorong
keberhasilan hidup. Riset di bidang psikologi terus berkembang sampai akhirnya
Solovery dan Mayer (1996) menemukan kecerdasan emosional sebagai salah satu
faktor penting bagi kesuksesan hidup manusia.1
Berdasarkan sejumlah riset dapat diketahui keunggulan kecerdasan emosi
yang ternyata bisa demikian jauh mendahulu kecerdasan otak (IQ) dalam
berkompetensi. Antara teori IQ dan EQ tersebut hanya menekankan atau
berorientasi pada kebendaan dan hubungan manusia semata yang bersifat
sementara. Oleh sebab itu, orang mengakui adanya Tuhan atau kekuatan yang luar
biasa selain manusia akan mencari tujuan yang abadi, jangka panjang, dan mutlak.
Teori yang mencapai kesemuanya itu adalah kecerdasan spiritual (SI/SQ). Individu
yang cerdas secara spiritual bukan hanya mampu memecahkan persoalan hidup
secara rasional atau emosi saja, namun ia menghubungkannya dengan makna
kehidupan secara spiritual.

1
Muhammad Syarif, Perkembangan Kecerdasan Intelektual, Emosional Dan Spiritual
Anak (Jurnal Pendidikan dan Pengajaran: Vol 2 No 1, 2023) h 34

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual diketahui di
masyarakat?
2. Apa yang melatarbelakangi munculnya istilah kecerdasan intelektual,
emosional dan spiritual?

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Sejarah Kecerdasan Intelektual
Konsep ini diciptakan dan terpikirkan pertama kali oleh Francis
Galton (sepupu Charles Darwin sang Bapak Evolusi). Galton mengambil landasan
dari teori Darwin mengenai konsep survival individu dalam suatu spesies.
Sederhananya, yaitu teori mengenai cara bertahan hidup masing-masing orang,
karena keunggulan dari sifat-sifat tertentu yang dimilikinya dan merupakan turunan
dari orang tua mereka. 2
Galton pun menyusun sebuah tes yang mengukur intelegensi manusia dari
aspek kegesitan dan refleks otot-ototnya. Baru lah di awal abad ke-20, Alfred Binet,
seorang psikolog dari Perancis, mengembangkan alat ukur intelegensi manusia
yang sekarang telah dipakai oleh banyak orang. Di tahun 1983, penelitian mengenai
konsep tes intelegensi manusia ini pun berlanjut oleh psikolog Harvard, Howard
Gardner. Ia menyebutkan, bahwa kecerdasan manusia bukan merupakan sebuah
konsep tunggal atau bersifat umum. Menurutnya, kecerdasan tersebut merupakan
beberapa set kemampuan yang spesifik dan berjumlah lebih dari satu. Semua itu
merupakan fungsi dari bagian-bagian dari otak yang terpisah, serta merupakan hasil
dari evolusi manusia selama jutaan tahun.
Seiring perkembangan zaman, orang-orang mulai sadar akan pentingnya
intelegensi dan pengetesannya. Banyak para ahli psikologi yang mulai meneliti dan
membuat berbagai hipotesis tentang kecerdasan. Muncullah perbedaan pendapat
dengan masing-masing bukti yang dianggap kuat oleh masing-masing pihak.
Ada yang menganggap bahwa, kecerdasan adalah konsep tunggal yang
dinamakan Faktor G (General Intelligence). Ada juga yang menganggap
kecerdasan itu pada intinya terbagi jadi dua macam set kemampuan, yaitu fluid (Gf)
dan crystallized (Gc). Oleh sebab itu, sepanjang abad ke-20, berbagai macam

2
Sevilia Nauval, Pengertian IQ, EQ, dan TQ beserta Sejarahnya, https://www.gramedia.c
om/literasi/pengertian-iq-eq-tq/ diakses pada tanggal 23 Maret 2024, pukul 08.01 wita.

3
pengetesan kecerdasan pun akhirnya banyak yang berpatokan ke pandangan-
pandangan itu.
Faktor lain yang turut andil dan memiliki peran besar dalam membentuk
kecerdasan seseorang, yakni faktor genetik. Ini lah teori yang dimaksud oleh
Galton. Maka, umumnya tingkat IQ seseorang tidak jauh berbeda dengan saat
mereka masih kecil hingga dewasa. Namun, tidak menutup kemungkinan adanya
hal-hal lain yang mempengaruhi tingkat kecerdasan intelektual seseorang.
Misalnya, seperti lingkungan dan ilmu pengetahuan yang didapat selama proses
akademik.
Intelligence Quotient atau yang biasa disebut dengan IQ merupakan istilah
dari pengelompokan kecerdasan manusia yang pertama kali diperkenalkan oleh
Alferd Binet, ahli psikologi dari Perancis pada awal abad ke20. Kemudian Lewis
Ternman dari Universitas Stanford berusaha membakukan test IQ yang
dikembangkan oleh Binet dengan mengembangkan norma populasi, sehingga
selanjutnya test IQ tersebut dikenal sebagai test Stanford-Binet. Pada masanya
kecerdasan intelektual (IQ) merupakan kecerdasan tunggal dari setiap individu
yang pada dasarnya hanya bertautan dengan aspek kognitif dari setiap masing-
masing individu tersebut. Kecerdasan intelektual (IQ) diyakini menjadi sebuah
ukuran standar kecerdasan selama bertahun-tahun. Bahkan hingga hari ini pun
masih banyak orangtua yang mengharapkan anak-anaknya pintar, terlahir dengan
IQ (intelligence quotient) di atas level normal (lebih dari 100).3
Dalam paradigma IQ dikenal kategori hampir atau genius kalau seseorang
punya IQ, Albert Einstein adalah ilmuwan yang IQ-nya disebut-sebut lebih dari
160. Namun, dalam perjalanan berikutnya orang mengamati, dan pengalaman
memperlihatkan, tidak sedikit orang dengan IQ tinggi, yang sukses dalam studi,
tetapi kurang berhasil dalam karier dan pekerjaan. Dari realitas itu, lalu ada yang
menyimpulkan, IQ penting untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi kemudian jadi
kurang penting untuk menapak tangga karier. Untuk menapak tangga karier, ada
sejumlah unsur lain yang lebih berperan. Misalnya saja yang mewujud dalam

3
Ifa Hanifah Misbach, Antara IQ, EQ, Dan SQ, (Universitas Pendidikan Indonesia,
2008) h 2-3

4
seberapa jauh seseorang bisa bekerja dalam tim, seberapa bisa ia menenggang
perbedaan, dan seberapa luwes ia berkomunikasi dan menangkap bahasa tubuh
orang lain. Unsur tersebut memang tidak termasuk dalam tes kemampuan (aptitude
test) yang ia peroleh saat mencari pekerjaan. Pertanyaan sekitar hal ini kemudian
terjawab ketika Daniel Goleman menerbitkan buku Emotional Intelligence: Why It
Can Matter More Than IQ (1995). Sebelumnya, para ahli juga telah memahami
bahwa kecerdasan tidak semata-mata ada pada kemampuan dalam menjawab soal
matematika atau fisika. Kecerdasan bisa ditemukan ketika seseorang mudah sekali
mempelajari musik dan alat-alatnya, bahkan juga pada seseorang yang pintar sekali
memainkan raket atau menendang bola. Ada juga yang berpendapat kecerdasan
adalah kemampuan menyesuaikan diri terhadap lingkungan, dan lainnya
beranggapan kecerdasan adalah kemampuan untuk berpikir secara abstrak dan
seterusnya.4

B. Kecerdasan Emosional
Konsep Emotional Quotient pertama kali diciptakan oleh Keith
Beasley yang dimuat dalam tulisannya di artikel Mensa pada tahun 1987. Akan
tetapi, istilah EQ ciptaanya baru mendunia (dan berubah menjadi EI) setelah Daniel
Goleman menerbitkan bukunya pada tahun 1995 yang berjudul “Emotional
Intelligence – Why it can matter more than IQ”. Walaupun buku Goleman dianggap
bukan sebagai buku akademik, tapi konsep EI yang disusun olehnya membuat para
ahli psikologi lagi-lagi berlomba-lomba membuat penelitian tentang hal ini.5
Alasan Goleman mengubah istilah EQ menjadi EI karena lebih tepat
penggunaannya untuk menjelaskan konsep kecerdasan emosional yang dimaksud.
Dari situ lah, akhirnya para ahli juga lebih milih istilah Emotional Intelligence (EI).
Namun, walau konsep EI ini sudah diterima di kalangan umum. Masih banyak
ilmuwan dan praktisi psikologis yang tetap skeptis dengan konsep kecerdasan

4
Ifa Hanifah Misbach, Antara IQ, EQ, Dan SQ
5
Sevilia Nauval, Pengertian IQ, EQ, dan TQ beserta Sejarahnya, https://www.gramedia.c
om/literasi/pengertian-iq-eq-tq/ diakses pada tanggal 23 Maret 2024, pukul 08.36 wita.

5
emosional. Mereka sering sekali mengkritik cara pengetesannya. Pasalnya ilmuwan
harus bekerja berdasarkan bukti. Jika seorang ilmuwan di bidang apapun membuat
suatu hipotesis, maka harus didukung dengan pengukuran yang akurat.
Istilah kecerdasan emosi sebetulnya diciptakan oleh Peter Salovey dan John
D. Mayer sebagai tantangan terhadap keyakinan bahwa inteligensi tidak didasari
oleh informasi yang berasal dari proses emosi. Mereka memberikan batasan
kecerdasan emosi sebagai kemampuan untuk mengerti emosi, menggunakan dan
memanfaatkan emosi untuk membantu pikiran, mengenal emosi dan pengetahuan
emosi, dan mengarahkan emosi secara reflektif sehingga menuju pada
pengembangan emosi dan intelek. Di bukunya, Goleman menguraikan tentang ciri-
ciri kecerdasan emosi yang dikutip dari Salovey tentang lima wilayah terutama
kecerdasan emosi Pertama adalah mengenali emosi diri. Kedua mengelola emosi.
Ketiga memotivası diri sendiri. Keempat mengenali emosi orang lain. Kelima
membina hubungan.6 Kecerdasan emosional mempunyai komponen yang berbeda
engan kecerdasan intelektual, tapi komponen tersebut saling melengkapi agar
seseorang mampu mencapai kesuksesan dalam belajar.7
Tulisan Salovey yang dikaji dalam buku Goleman telah banyak direvisi.
Pada awalnya Salovey memang memberikan definisi kecerdasan emosi seperti yang
dikutip oleh Goleman (1996) tersebut, tetapi di bukunya yang baru Mayer &
Salovey (1997) memperbaharui konsepnya tentang itu. Mereka mengemukakan 4
tahapan dalam kecerdasan emosi yang ditulis dalam diagram- dan diterangkan lebih
detil di bab satu dalam bukunya itu. Dalam diagram terdapat empat tahapan dan
masing-masing tahapan terdiri atas empat hal. Di bawah sendiri ditulis persepsi,
penilaian, dan ekspresi emosi. Dalam tahapan ini dibutuhkan empat kemampuan.
Yang pertama yaitu kemampuan untuk mengenal emosi secara fisik, rasa, dan pikir,
Kedua perlu ada kemampuan untuk mengenal emosi pada orang lain, desain, karya
seni. Melalui bahasa, bunyi, penampilan, dan perilaku. Ketiga yaitu kemampuan
untuk mengungkapkan emosi secara tepat, dan mengungkapkan kebutuhan

6
Johana E. Prawitasari, Kecerdasan Emosi (Bulletin Psikologi: No 1, 1998) h 22-25.
7
Muhammad Syarif, Perkembangan Kecerdasan Intelektual, Emosional Dan Spiritual Anak
(Jurnal Pendidikan dan Pengajaran: Vol 2 No 1, 2023) h 34

6
sehubungan dengan rasa-rasa tersebut perlu ada pada tahap ini. Yang keempat
adalah kemampuan untuk membedakan ungkapan rasa antara tepat dan taktepat,
jujur versus takjujur.8
Di atasnya yaitu pada tahapan kedua berisi fasilitasi emosi untuk berpikir
yang juga terdiri atas empat hal. Pertama, emosi memberikan prioritas pada pikiran
dengan mengarahkan perhatian pada infomasi penting. Kedua, emosi cukup
gamblang dan tersedia sehingga emosi tersebut dapat digunakan sebagai bantuan
untuk menilai dan ingatan yang berhubungan dengan rasa. Perubahan emosi
mengubah perspektif individu dari optimis menjadi pesimis, mendorong untuk
mempertimbangkan berbagai pandangan. Keadaan emosi mendorong adanya
pembedaan pendekatan khusus dalam pemecahan masalah, misalnya ketika
kebahagiaan memberikan fasilitas untuk penalaran induktif dan kreativitas.9
Tahapan ketiga adalah pengertian dan penguraian emosi, penggunaan
pengetahuan emosi. Di sini ada empat kemampuan. Yang pertama adalah
kemampuan untuk memberikan label emosi dan mengenal hubungan antara
berbagai kata dan emosi itu sendiri, misainya hubungan antara suka menyukai dan
mencintai. Kedua adalah kemampuan untuk mengartikan arti bahwa emosi
berkaitan dengan hubungan, misalnya kesedihan sering menyertai kehilangan.
Ketiga yaitu kemampuan untuk mengerti rasa yang kompleks: rasa cinta bersamaan
dengan benci, atau campuran seperti takjub adalah kombinasi takut dan terkejut.
Keempat adalah kemampuan untuk mengenai adanya perpindahan di antara emosi,
seperti adanya perpindahan dari marah ke puas atau marah ke malu.10
Kecerdasan otak (IQ) barulah sebatas syarat minimal meraih keberhasilan,
namun kecerdasan emosilah yang sesungguhnya (hampir seluruhnya terbukti)
mengantarkan seseorang menuju puncak prestasi. Terbukti banyak orang-orang
yang memiliki kecerdasan intelektual tinggi, terpuruk di tengah persaingan.
Sebaliknya banyak orang yang kecerdasan intelektualnya biasa-biasa saja, justru
sukses menjadi bintang-bintang kinerja, pegusaha-pengusaha sukses, dan

8
Johana E. Prawitasari, Kecerdasan Emosi
9
Johana E. Prawitasari, Kecerdasan Emosi
10
Johana E. Prawitasari, Kecerdasan Emosi

7
pemimpin-pemimpin di berbagai kelompok. Di sinilah kecerdasan emosi atau
emotional quotient (EQ) membuktikan eksistensinya. EQ adalah istilah baru yang
dipopulerkan oleh Daniel Goleman. Berdasarkan hasil penelitian para neurolog dan
psikolog, Goleman (1995) berkesimpulan bahwa setiap manusia memiliki dua
potensi pikiran, yaitu pikiran rasional dan pikiran emosional. Pikiran rasional
digerakkan oleh kemampuan intelektual atau yang popular dengan sebutan
“Intelligence Quotient” (IQ), sedangkan pikiran emosional degerakan oleh emosi.11
EQ merupakan serangkaian kemampuan mengontrol dan menggunakan
emosi, serta mengendalikan diri, semangat, motivasi, empati, kecakapan sosial,
kerja sama, dan menyesuaikan diri dengan lingkungan. Dengan berkembangnya
teknologi pencritaan otak (brain-imaging), yaitu sebuah teknologi yang kini
membantu para ilmuwan dalam memetakan hati manusia, semakin memperkuat
keyakinan kita bawa otak memiliki bagian rasional dan emosional yang saling
bergantung.12
Menurut Binet dan Simon, kecerdasan adalah kemampuan untuk
memberikan arah kepada pikiran dan tindakan seseorang; namun, jika tindakan
tersebut dilakukan dengan kemampuan untuk evaluasi diri sendiri, maka
kemampuan tersebut dapat mengubah arah tindakan tersebut. Salah satu jenis
kecerdasan manusia adalah kecerdasan emosional. Ini adalah kemampuan manusia
untuk memahami, menggunakan, dan mengelola emosi mereka dengan cara yang
bermanfaat untuk mengurangi stres, berkomunikasi secara efektif, berempati
dengan orang lain, mengatasi kesulitan, dan menyelesaikan konflik. Kecerdasan
emosional adalah kemampuan untuk memahami, menggunakan, dan mengelola
emosi seseorang dengan cara yang positif. Ini bermanfaat untuk mengurangi stres,
berkomunikasi secara efektif, berempati dengan orang lain, mengatasi tantangan,
dan menyelesaikan konflik.13
Menurut Goleman, kecerdasan mengelola emosi mengacu pada kemampuan
mengidentifikasi emosi pada diri sendiri dan orang lain, memotivasi diri secara

11
Johana E. Prawitasari, Kecerdasan Emosi
12
Ifa Hanifah Misbach, Antara IQ, EQ, Dan SQ
13
Johana E. Prawitasari, Kecerdasan Emosi

8
internal, serta mengelola emosi baik pada diri sendiri maupun orang lain dengan
efektivitas. Gardner mempertimbangkan kecerdasan emosional dalam konteks
perbedaan jenis kelamin, yaitu: a. Seorang pria dengan EQ (Emotional Intelligence)
yang tinggi akan stabil secara sosial, mudah bergaul, jenaka, tidak muda menjadi
takut atau sering gugup. Mereka memiliki kemampuan yang hebat untuk berurusan
dengan orang atau masalah, bertanggung jawab dan memiliki moral, dan mereka
simpatik dan hangat. b. Seorang Wanita dengan EQ (Emotional Intelligence) tinggi
cenderung bersikap tegas dan mengungkapkan perasaan mereka, melihat diri
sendiri dengan secara positif, hidup memberi mereka makna. Mereka mudah
bergaul, ramah, ekspresif perasaan mereka masuk akal, mereka jarang merasa
cemas, bersalah, malu atau mudah marah.14

C. Sejarah Kecerdasan Spiritual


Setelah itu, ketika seseorang dengan kemampuan EQ dan IQ-nya berhasil
meraih prestasi dan kesuksesan, acapkali rang tersebut disergap oleh perasaan
“kosong” dan hampa dalam celah batin kehidupanya. Setelah prestasi puncak telah
dipijak, ketika semua pemuasan kebedaan telah diraihnya, setelah uang hasil jeri
payah berada dalam genggaman, ia tak tahu lagi ke mana harus melangkah. Di
sinilah kecerdasan spiritual atau yang biasa disebut SQ muncul untuk melengkapi
IQ dan EQ yang ada di diri setiap orang. Danah Zohar da Ian Marshall
mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk menghadapi
persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan
hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk
menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan
dengan yang lain. Spiritual Quotient (SQ) adalah kecerdasan yang berperan sebagai
landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan
SQ merupakan kecerdasan tertinggi dalam diri kita. Dari pernyataan tersebut, jelas
SQ saja tidak dapat menyelesaikan permasalahan yang telah dibahas sebelumnya,

14
Yohannes Don Bosco Dohon, Kecerdasan Emosional (Bandung: Widina Media Utama,
2020) h 32

9
karena diperlukan keseimbangan pula dari kecerdasan emosi dan intelektualnya.15
Jadi seharusnya IQ, EQ dan SQ pada diri setiap orang mampu secara proporsional
bersinergi, menghasilkan kekuatan jiwa-raga yang penuh keseimbangan. 16
Pada awalnya, Freud menetapkan dua proses psikologis, primer dan
sekunder. Proses primer diasosiasikan dengan id, insting, tubuh, emosi, dan bawah
sadar. Proses sekunder diasosiasikan dengan ego, kesadaran, dan pikiran rasional.
Bagi Freud, proses sekunder lebih tinggi dan unggul: "Ketika id berada, di situlah
ego." Para psikolog lain setelahnya kadang- kadang lebih menekankan pentingnya
proses primer. Namun, semua aliran psikologi selanjutnya, termasuk ilmu
pengetahuan kognitif, tetap memegang struktur dua proses ini. Proses primer dapat
disebut EQ (berdasarkan "jaringan saraf asosiatif di otak") dan proses sekunder
dapat disebut IQ (berdasarkan "jaringan saraf serial di otak"). Karena berdasar pada
dua proses tersebut, psikologi Barat secara efektif menempatkan sebuah cuping
pada pusat jiwa. Proses primer dan sekunder bersaing merebut kendali dan ekspresi.
Namun, baik nalar maupun emosi tidak dapat berhubungan dengan sesuatu di luar
diri mereka sendiri. Mereka tidak memiliki sumber bersama yang dapat
menyatukan dan mengubah mereka. Mereka tidak memiliki dimensi transpersonal.
Konsep "diri" dan "fungsi transendental" Jung merupakan suatu usaha untuk
menjembatani perpecahan itu, namun sayangnya, neurologi belum cukup
berkembang di masa hidup Jung (dia meninggal pada 1961) untuk memberikan
dasar ilmiah bagi perkembangan psikologinya lebih lanjut.17
SQ (berdasarkan sistem saraf otak ketiga, yakni osilasi-saraf sinkron yang
menyatukan data di seluruh bagian otak) untuk pertama kalinya menawarkan
kepada kita proses ketiga yang aktif. Proses ini menyatukan, mengintegrasikan, dan
berpotensi mengubah materi yang timbul dari dua proses lainnya. SQ memfasilitasi
suatu dialog antara akal dan emosi, antara pikiran dan tubuh. SQ menyediakan titik
tumpu bagi pertumbuhan dan perubahan. SQ juga menyediakan pusat pemberi
makna yang aktif dan menyatu bagi diri.18

15
Danah Kjohar, Kecerdasan Spiritual (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007) h 5-8
16
Danah Kjohar, Kecerdasan Spiritual
17
Danah Kjohar, Kecerdasan Spiritual
18
Danah Kjohar, Kecerdasan Spiritual

10
BAB III
KESIMPULAN
Intelligence Quotient atau yang biasa disebut dengan IQ merupakan istilah
dari pengelompokan kecerdasan manusia yang pertama kali diperkenalkan oleh
Alferd Binet, ahli psikologi dari Perancis pada awal abad ke20. Kemudian Lewis
Ternman dari Universitas Stanford berusaha membakukan test IQ yang
dikembangkan oleh Binet dengan mengembangkan norma populasi, sehingga
selanjutnya test IQ tersebut dikenal sebagai test Stanford-Binet. Pada masanya
kecerdasan intelektual (IQ) merupakan kecerdasan tunggal dari setiap individu
yang pada dasarnya hanya bertautan dengan aspek kognitif dari setiap masing-
masing individu tersebut.
Konsep Emotional Quotient pertama kali diciptakan oleh Keith
Beasley yang dimuat dalam tulisannya di artikel Mensa pada tahun 1987. Akan
tetapi, istilah EQ ciptaanya baru mendunia (dan berubah menjadi EI) setelah Daniel
Goleman menerbitkan bukunya pada tahun 1995 yang berjudul “Emotional
Intelligence – Why it can matter more than IQ”. Walaupun buku Goleman dianggap
bukan sebagai buku akademik, tapi konsep EI yang disusun olehnya membuat para
ahli psikologi lagi-lagi berlomba-lomba membuat penelitian tentang hal ini.
Spiritual Quotient (SQ) adalah kecerdasan yang berperan sebagai landasan yang
diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan
kecerdasan tertinggi dalam diri kita. Dari pernyataan tersebut, jelas SQ saja tidak
dapat menyelesaikan permasalahan yang telah dibahas sebelumnya, karena
diperlukan keseimbangan pula dari kecerdasan emosi dan intelektualnya. Jadi
seharusnya IQ, EQ dan SQ pada diri setiap orang mampu secara proporsional
bersinergi, menghasilkan kekuatan jiwa-raga yang penuh keseimbangan.

11
DAFTAR PUSTAKA

Dohon, Yohannes Don Bosco. Kecerdasan Emosional Bandung: Widina Media


Utama, 2020

Kjohar, Danah. Kecerdasan Spiritual, Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007

Misbach, Ifa Hanifah. Antara IQ, EQ, Dan SQ, Universitas Pendidikan Indonesia,
2008.

Nauval, Sevilia Pengertian IQ, EQ, dan TQ beserta Sejarahnya, https://www.gra


media.com/literasi/pengertian-iq-eq-tq/ diakses pada tanggal 23 Maret
2024, pukul 08.36 wita.

Prawitasari, Johana E. Kecerdasan Emosi Bulletin Psikologi: No 1, 1998

Syarif, Muhammad Perkembangan Kecerdasan Intelektual, Emosional Dan


Spiritual Anak, Jurnal Pendidikan dan Pengajaran: Vol 2 No 1, 2023.

12
LAMPIRAN

13

Anda mungkin juga menyukai