Anda di halaman 1dari 7

Analisa Teknis dan Ekonomis Dalam Penggunaan Bahan Baku Limbah Sawit

Abstrak:

Manajemen PLTU sedang mempertimbangkan untuk mengganti/menyampur Sebagian Bahan Bakar


Batubara dengan bahan limbah Pohon sawit dan turunannya. Untuk mengambil keputusan apakah
mereka akan mengganti/mencampur bahan bakar, perlu dilakukan Analisa secara teknis dan
ekonomis dengan menghitung kebutuhan kalor boiler, konsekwensi batubara, kayu dan cangkang
kelapa sawit yang diperlukan boiler, menghitung biaya system pembangkit, biaya energi per KWH
dan penghematan biaya bahan bakar. Analisa teknis menunjukkan kebutuhan kalor boiler dengan
kapasitas …ton/jam adalah …….kCal/jam, dan jumlah cangkang lebih sedikit yang dibutuhkan
daripada kayu dan batubara, yaitu …t/jam atau ……t/tahun. Penggunaan cangkang sebagai bahan
bakar menghasilkan factor kapasitas pembangkit sebesar ….% dan factor utilitas sebesar …%.
Analisis Ekonomi menunjukkan biaya system pembangkit (Cost of Overall System) dengan bahan
bakar batubara adalah Rp…../Tahun, serta limbah padat kelapa sawit (Cangkang) Rp……/Tahun.
Namun demikian penggunaan kayu membutuhkan proses lebih lama untuk dapat digunakan sebagai
bahan bakar, karena dalam kondisi lembab atau basah memerlukan waktu ….hari untuk
mengeringkannya baru dapat dibakar. Artinya adalah dari sisi effisiensi waktu kayu tidak praktris
dapat langsung diggunakan, akibatknya akan timbul biaya tambahan untuk mengatasinya.

PENDAHULUAN:

Penggunaan bahan bakar yang masih bersumber dari hasil alam bukan merupakan pilihan yang baik
bagi perusahaan, karena bertentangan dengan program konservasi hutan dan lingkungan yang giat
dilakukan oleh pemerintah pusat. Saat ini memang PT…..memegang Hak PEngusaha Hutan (HPH)
terbesar di Kabupaten…., namun suatu waktu pemerintah pusat menghentikan izin penguasaan
hutan tersebut yang berakibat PLTU akan kehilangan salah satu sumber bahan bakarnya. Demikian
halnya dengan penggunaan batubara, selain tingkat polusi yang tinggi dari gas hasil pembakaran,
harga beli batubara relative tinggibahkan cenderung naik setiap tahun..Ini tentu berdampak pada
pendapatan PLTU, dimanapun pendapatan bersih (Net benefit) tetap setiap tahun sedangkan
pengeluaran untuk biaya bahan bakar cenderung bergerak naik dari tahun ke tahun.

Di Kabupaten …terdapat …Pabrik Kelapa Saawit (PKS) yang sudah beroperasi, dengan potensi
limbah………Ton/hari…..mengemukanan bahwa saat menggunakan bahan bakar cangkang PLTU…
MW menghasilkan Output rata rata sebesar…MW/Jam dan dalam 1 MW output membutuhkan …ton
cangkang dan pada saat menggunakan bahan akar fiber PLTU menghasilkan output rata rata
…MW/Jam, dalam 1 MW output membutuhkan 1,83 ton fiber. Dapat diasumsikan dari….
Ton/Month limbah padat dan …% atau 90,09 Ton adalah cangkang sawit, maka energi listrik yang
dihasilkan adalah cangkang, maka energi yang dihasilkan adalah sebesar ….MW/Jam. Dengan kata
lain PLTU PT….yang berkapasitas ….MW hanya membutuhkan ….ton/jam cangkanang. Namun
demikian dalam peneliitian ini kebutuhan cangkang akan dihitung berdasarkan kebutuhan
cangkanang akan dihitung berdasarkan kebutuhan kaloar yang diperlukan oleh Boiler.

Dalam penelitiannya Pane dkk (2016) menyimpulkan bahwa PKS yang berkapasitas produksi 60 ton
TBS/Jam dapat membangkitkan daya listrik sekitar 3,61 MW dari limbah padat sedangkan limbah
cair PKS menghasilkan biogas yang berpotensi menghasilkan/membangkitkan energi daya listrik
sekitar 1,45 MW. Biaya pembangkitan energi listrik berbahan bakar limbah padat PKS adalah sekitar
Rp. 714,64/kWh dan biaya pembangkitan energi listrik berbahan bakaar biogas limbah cair PKS
adalah sekitar Rp. 1.06,64 /kWh. Biaya pembangkitan energi listrik setiap PLTU relative tergantung
dari biaya pembelian bahan bakar dan biaya tetap lainnya.

Bahan Bakar alternatif yang bersumber dari limbah kelapa sawit dikenal dengan bahan bakar
biomass atau disebut juga sebagai “fitomassa” dan seringkali diterjemahkan sebagai bioresource
atau sumber daya yang diperoleh dari hayati. Menurut kamus Bahasa Inggris Oxford, istilah
“biomassa” pertamakali muncul dalam literatur pada tahun 1934 di dalam journal of marine Biology
Association oleh Ilmuwan Rusia Bernama Bogorov yang menggunakan biomassa sebagai tatanama.
Terdapat beberapa teknologi untuk mengkonversikan biomassa menjadi bahan bakar seperti yang
dijelaskan pada gambar dibawah ini:

Teknologi konversi biomassa limbah kelapa sawit adalah pengeloahan sisa tanaman kelapa sawit
yang tidak termasuk dalam produk utama atau hasil ikutan dari pengolahan kelapa sawit menjadi
bahan bakar. Gambar 2 dibawah ini memperlihatkan produk utama dan produk sampingan yang
dihasilkan dari pengolahan kelapa sawit:

Luas perkebunan kelapa sawit yang tersebar di 12 (dua belas) kabupaten dan 1 (satu) kota
di Kalimantan Barat hingga tahun 2016 telah mencapai lebih dari 1,4 juta hektar. Selain
menghasilkan produk utama CPO, industri perkebunan kelapa sawit juga menghasilkan limbah
biomassa yang jika tidak dikelola dengan baik akan berdampak buruk bagi lingkungan. Limbah padat
dari pengolahan tandan buah segar dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar boiler penggerak
pembangkit listrik turbin uap. Limbah cair dapat diolah menjadi biogas untuk bahan bakar mesin gas
atau turbin gas. Sedangkan limbah padat dari batang dan kulit pohon kelapa sawit dapat diolah
menjadi bioetanol. Limbah padat dari pabrik pengolahan kelapa sawit yang belum dimanfaatkan
secara optimal berupa tandan kosong yang volumenya mencapai lebih dari 1.077.087 ton/tahun dan
cangkang 301.584 ton/tahun. Dari kedua limbah padat tersebut berpotensi menghasilkan energi
sebesar 21,826 TJ/tahun. Sedangkan limbah cair berpotensi menghasilkan gas metana sebesar
66,779 on/tahun dengan nilai kalor 3,606 TJ/tahun. Total energi yang dihasilkan oleh limbah padat
dan cair adalah 25,432 TJ/tahun. Jika digunakan sebagai bahan bakar boiler atau mesin gas dengan
nilai perpindahan panas menjadi energi (efisiensi) sebesar 21,5%, akan dihasilkan energi listrik
sebesar 1.466.159 MWh/tahun atau setara dengan pembangkit listrik berkapasitas lebih dari 167
MW yang beroperasi sepanjang tahun. . Dari pengolahan batang dan batang tanaman kelapa sawit
jika setiap tahun penanaman kembali 4% dari luas tanaman (48.344 ha), berpotensi menghasilkan
bioetanol 698,861 kL/tahun. Dari pemanfaatan limbah pengolahan kelapa sawit sebagai bahan baku
energi pengganti bahan bakar fosil akan berdampak positif bagi lingkungan dan berpotensi
menurunkan emisi CO2 hingga 3.047.808 t-CO2/tahun. Pemanfaatan limbah perkebunan kelapa
sawit menjadi energi akan memberikan keuntungan finansial dan perbaikan lingkungan. Kata kunci-
kelapa sawit, limbah biomassa, energi, lingkungan
Abstrak:

Pengetesan Co-Firing Wood Pellet yang dilaksanakan pada Pulverized Coal


Boiler dengan pembakaran tangensial Kapasitas 315 Mwe untuk mengetahui
determinasi performance, yang berpengaruh pada emissi udara, karakteristik
parameter operasional Boiler seperti Mill Outlet temperature (MOT) dan
Furnace Exit Gas Temperatur (FEGT). Bahan Bakar dicampur di Stock
Piledengan campuran komposisi bahan bakar 5% Wood Pellet dan 95% Batubara.
Bahan bakar tersebut secara inisial masing masing dicampur pada empat buah
bunker pada setiap Mill yang beroperasi. Pengetesan Co Firing berlangsung
selama 6 jam dan data dikumpulkan empat jam setelah waktu stabil
operasional. Untuk mengobservasi impact yang didapat pada performance,
emissi dan karakteristik Operasional, dua Bahan Baku yang berbeda (100%
Batubara dan 5% Wood Pellet+95% BB) yang disetup langsung di Boiler.
Hasilnya menunjukkan bahwa Co Firing 5% wood pellet menyumbangkan
penurunan FEGT 15 derajat Celcius dari 1192 deragat Celcius menjadi 1177
derajat Celsius hamper sama dengan penurunan 1,27% kondisi eksisting.
Untuk MOT (Mill Outlet temperature) secara relative Suhu outlet pabrik
relatif sama untuk dua jenis bahan bakar dengan arus gilingan sedikit
meningkat sebesar 0,70 Ampere. Emisi Sox meningkat dari 8,22% menjadi
20,51%. Kandungan NOx pada Flue Gas pada Air Heater Inlet Side Sebagian
besar adalah sama 310 mg/Nm3 dan hanya ada kenaikan 3,62% pada sisi outlet
air heater. Pengetesan ini berpengaruh [ada Spesifi Fuel Consumption (SFC)
yang meningkat 4,40% dari 0,556 kg/KwH menjadi 0,580 kg/KwH.

1. Pendahuluan:
Sesuai dengan Kebijaksanaan Pemerintah terkait dengan kebuthan listrik dan
perubahan iklim, Pembangkit Energi di Indonesia diarahkan menuju Energi
Baru Terbarukan (Renewable Energi/RE). Untuk meningkatkan energi bersih
lingkungan, Pemerintah dan PLN menargetkan 23% semua Power Plant pada tahun
2025 menerapkan Renewable Energi (RE). Meski masih banyak tantangan dan
kendala yang harus dihadapi, peluang untuk berkembang EBT masih terbuka
lebar, terutama di daerah dengan potensi EBT yang cukup besar.
Pemanfaatan Renewable Energi yang berkelanjutan akan ditingkatkan melalui
Kementrian ESDM (Energi Sumber Daya mineral). Salah satunya didorong pada
RUKN (Rencana Umum Kelistrikan Nasional) 2019-2038 menggunakan metode
Cofiring pada Steam Power Plant yang memanfaatkan biomass sebagai pengganti
Batubara. Dua Raw material yang digunakan pada metode Co-Firing, Waste
Pellet dan Wood Pellet dengan Ration dari 1% sampai 5%. Produksi kayu
tanaman hutan bila dissamakan dengan nilai listrik yang dihasilkan,
apotensi total kayu untuk dijadikan wood pellet adalah 1335 Mwe (Megawatt
Electrical). Potensi tersebut terbafi dari Sumatera (1.212 Mwe),
Kalimantan (44 Mwe), Java, Madura Bali (14 Mwe), West Nusatenggara and East
nusatenggara (19 Mwe), Sulawesi (21 Mwe), Maluku (4 Mwe) and Papua (21 Mwe)
dengan nilai kalori antara 3300 sampai 4400 kCal/kg (Agung P 2020 Terapkan
Metode Co-Firing di PLTU, ini potensi Biomassa untuk Substitusi Batubara
(Jakarta Kementerian ESDM Siaran Pers:092 Pers/04/SJI/2020 tanggal 27
Februari 2020).

Pengelompokan metode Co-firing Biomass ada 3: Direct Co-firing, Indirect Co-firing, dan parallel co-
firing. Di antara ketiga tersebut, salah satunya bisa diimplementasikan secara cepat dan tidak
memerlukan banyak investasi yaitu metode co firing Direct Co-firing. Dengan demikian, opsi Co
firing Direct bisa diaplikasikan menjadi bimass dengan limit yang terbatas dan biomass yang sangat
rendah rasio batubara dengan co firing yang menyebabkan resiko yang lebih tinggi pada unit boiler
seperti penurunan panas permukaan yang disebabkan lapisan alkali atau agglomeration
lainnya/Korosi yang disebabkan oleh agents pada biomass. Lebih lagi, perbedaan karakter
pembakaran combustion dari batubara dan biomass bisa menyebabkan pengaruh pada karakter
kestabilan dan heat transfer pada penyalaan (P Basu, J. Butler and M A Leo 2011 biomass co_frigin
optionsa on the emissions reduction and electricity gerantion costs in coal fire power plants
Renewable energy Vo. 36 (Canada:Elsevier) p 282-288). Perbandingan optimal antara co-firing
biomass dan batubara harus ditentuka dengan pertimbangan Cost dan performance dari Power
Plants. Namun, Sebagian besar level co-firing yang digunakan secara komersial di atas 5% sampai
10% (sebagai kandungan energi): Issabllea Suarez Ruiz, Maria Antonia Diez and Fernando Rubiera,
2019. New trend in coal conversion.

Untuk menemukan impact co-firing pada PC Boiler (Pulverized Coal Boiler) pada study percobaan
yang dilakukan secara pengetesan 5% wood pellet pada boiler dengan kapasitas 315 Mwe. Study ini
bertujuan mengetahui secara pasti pengaruh pada performace, emisi, dan karakteriserik operasional
boiler seperti SFC, emisi Sox dan NOx, Mill Outlet Temperature (MOT) dan Furnace Exit Gas
Temperature (FEGT).

2. Metode Percobaan:
2.1 Karaktristik Boiler dan Bahan Bakar.

Pulverized Coal Boiler adalah type Sub-Critical DG 1025/17.4-II13, Steam Drum dengan natural
circulation, single furnace, firing four-corner tangensial, single-rehat, dan balance draft. Boiler
juga didukung oleh PA heater (PAH) dan Secondary Air Heater (SAH) seperti terlihat pada
gambar 1. Bottom Ash dikeluarkan dari tungku melewati Submerged Scrapper Conveyour (SSC)
dan Fly Ash ditangkap oleh Electro Precioitator (ESP). Bahan bakar diumpankan pada coal
bunker melalui stacker reclaimer dan menuju ke furnace menggunakan 5 buah Coal Feeder.

Wood Pellet biasanya berbentuk silindris yang dibuat dari kayu bahan bakar menggunakan
industry pengolahan kayu bekas secara mekanis. Material dasarnya Sebagian besar dari saw dust
kering, grinsing dust, dan cacahan kayu, sementara pellet dan briket bisa dikompress dari
biomash segar tetapi material dasar tersebut juga harus diproses permesinan dan dikeringkan
sebelum pembentukan pellet. Diameter pellet biasanya 8 mm. Moisture content lebih rendah
7-12%. Kandungan Ash/abu sekitar 0,5%. Berat Bulk Density dari pellet sekitar 650-700 kg/m2.
Nilai calorimeter bersih (Net Caloric value) sekitar 4.7-5.0 kWh/kg (4039-4302 kCal/kg).
Kandungan Karbon tetap pada batubara secara significan lebih tinggi dibandingkan dengan
bahan bakar biomass. Secara conversi, konsentreasi volatile meter untuk bahan bakar biomass
adalah lebih besar. Konsetrasi sulfur untuk bahan bakar wood pellet juga terlihat lebih rendah.
Dengan demikian, secara co firing wood pellet dengan batubara, emisi Sox secara permanen
terlihat penurunan. Analisa Spesifikasi Bahan Bakar (SFC) dari Air Dried Base (ADB Basis) terlihat
pada Tabel 1.
Tabel 1: Analisa Bahan bakar selama Test Co-firing. Test menggunakan 2 macam bahan bakar
yang berbeda, Coal Fuel (100C) yang dipakai teset pertama sementara kandungan bahan bakar
pada wood pellet dan batubara dengan komposisi ratio 5% wood pellet dan 95% batubara
(5WP95C).

2.2 Metode Co-Firing Test

Digunakan Direct Co-Firing untuk percobaan ini. Wood pellet dan batubara deblending pada
coal yard. Setelah mencapai campuran bahan bakar yang seragam, Coal Feeder A, C, D dan E
lalu diisikan bahan bakar tersebut dengan menggunakan stacker reclaimer sedangkan coal
feeder B tidak beroperasi. Sbeleum masuk ke Furnace, sekitar 70% volume bagian dari bahan
bakar yang sudah tercampur tersebut dijaga pada mesh 200 dengan menggunakan sampel finess
pada pipa outlet mill. Maka co-firing sudah terjadi di dalam furnace.

Beban Power Plant dijaga /dikontrol pada kondisi 300 Mwe selama 6 Jam. Data pengoperasian
dilakukan selama 4 jam setelah kondisi stabil, secara otomatis rekapan dilakukan system yang
sudah diakuisisi. Selam pengetesan, FEGT didapat melalui Portable Infrared camera Cyclop type
100L 2F. Data EFGT tersebut diambil 9 kali dalam setiap pengetesan pada 4 pengukuran di
bagian atas sisi selatan Furnace. Setia pada perubahan parameter pengoperasian mill khususnya
outlet temperature mill harus dilakukan observasi lebih lanjut. Sampel bahan bakar didapatkan
dari coal feeder. Disamping itu, emisis flue gas dikuru emnggunakan analyzer type portable
Madu GA-40T plus pada pengambilan atitik sampel seperti pada gamber 2. Detil layout dari co
firing system seperti pada gambar 1
Figure 1. lay Out System Co-Firing. Wood pellet dan batubara dicampur pada coal yard dan
dikirimkan menuju coal bunker menggunakan stacker reclaimer. Bahan Bakar yang diumpankan
ke furnace yang semua menggunakan coal feeder selama pengetesan co-firing.

Figure 2:

Ini titik perpindahan dari pengukuran emisi flue gas


Pada Air Heater. Pada sisi inlet bagian dalam, data di-
Kumpulkan dari pengukuran pada titik point ducting
antara outlet economizer dan air heater. Sementara
itu, data emisi diambil pada titik pengambilan di ducting
antara air heater dan ESP untuk pengukuran outlet
air heater.
3. Kesimpulan dan Diskusi
3.1 Karakteristik Temperatur Furnace

Selama Pengetesan Co-firing, terjadi penurunan FEGT perbandingan antara kondisi eksisting
yang digunakan bahan bakar batubara. Gambar 3 dibawah memperlihatkan bahwa FEGT rata
rata terjadi penurunan sampai 15 derajat Celsius dari 1192 drj Celsius sampai 1177 derajat
Celsius atau 1,27% lebih rendah dari kondisi eksisting. Penurunan yang panjang pada FEGT
tergantung pada nilai pemenasannya, volatile matter dan kandungan ash pada bahan bakar bio
mass. Nilai pemanasan yang lebih rendah pada wood pellet menyediakan penurunan energi
input. Sementara kandungan volatile matter pada wood pellet lebih tinggi dari batubara
sehingga wood pellet cenderung terbakar lebih cepat pada furnace. Kandungan abu yang tinggi
menghasilkan kandungan panas lebih sensitive meninggalkan furnace Bersama dengan solid
waste.

Lebih lagi, berdasaarkan pada AFT (Ash Fusible Temperature),khususnya pada karakteristik
perubahan temperature bahan bakar seperti pada Tabel 1, kedua data actual pengetesan yang
menggunakan batubara full dan co firing 5% biomass menghasilkan FEGT >1150 derajat Celsius.
Itu artinya unit yang beroperasi memiliki potensi untuk agglomeration, slagging dan fouling pada
area convective. Jadi sangat penting untuk melakukan reset pada parameter combustion
sehingga bisa menurunkan FEGT untuk menurunkan dibandingkan AFT dari bahan bakar.

3.2 Temperature Oulet Mill

Rata rata MOT pada kondisi co-firing antara 57 derajat Celsius sampai 58 derajat selsius (Figure
4), perbedaan dibawah 1% dibandingkan batubara yang digunakan untuk operasional. Pada
ilustrasi yang dihasilkan bahwa co-firing 5% wood pellet tidak berdampak pada temperature
yang keluar dari Mill. Lebih lebih lagi, rata rata arus mill agak meningkat sampai 0,70 Ampere.
Saat feed rate biomass lebih rendah 9,68% dari total bahan bakar massa yang diinput dan
dengan primary air rate, arus mill lebih kecil dari pada nilai safety limit yang maksimal.

Anda mungkin juga menyukai