Anda di halaman 1dari 10

PENDAHULUAN

Sebagai bangsa yang besar dengan jumlah penduduk sekitar 220 juta jiwa,
Indonesia menghadapi masalah energi yang cukup mendasar. Sumber energi yang
tidak terbarukan (non-renewable) tingkat ketersediaannya semakin berkurang.
Sebagai contoh, produksi minyak bumi Indonesia yang telah mencapai puncaknya
pada tahun 1977 yaitu sebesar 1.7 juta barel per hari terus menurun hingga tinggal
1.125 juta barel per hari tahun 2004. Di sisi lain konsumsi minyak bumi terus
meningkat dan tercatat 0.95 juta barel per hari tahun 2000, menjadi 1.05 juta barel
per hari tahun 2003 dan sedikit menurun menjadi 1.04 juta barel per hari tahun
2004 (Tabel 1).
Tabel 1. Produksi dan Konsumsi Minyak Bumi Indonesia
Tahun
2000
2001
2002
2003
2004

Produksi (juta barel/hari)


1.4
1.3
1.2
1.1
1.125

Konsumsi (juta barel/hari)


0.9446
0.9632
0.9959
1.0516
1.0362

Sumber: Media Indonesia, 8 September 2004 dan Kompas, 27 Mei 2004.


Indonesia yang semula adalah tergolong net-exporter di bidang bahan bakar
minyak (BBM), sejak tahun 2000 telah menjadi net importer jika produksi minyak
mentah Indonesia dikurangi dengan bagian kontraktor asing sebesar 35% produksi.
Pada tahun 2003, impor bersih BBM Indonesia mencapai 0.336 juta barel per hari
atau sedikit lebih kecil dari produksi bagian kontraktor asing. Impor bersih ini
diperkirakan akan terus meningkat dengan semakin menurunnya produksi ladangladang minyak Indonesia dan meningkatnya konsumsi minyak
penduduk Indonesia.Dalam upaya mengatasi masalah defisit energi tersebut,
pengembangan sumber energi terbarukan merupakan suatu keharusan. Terhadap
tuntutan ini, industri kelapa sawit mempunyai potensi kontribusi yang sangat besar.
Produk utama kelapa sawit yaitu minyak sawit (CPO) kini sudah mulai
dikembangkan sebagai sumber energi terbarukan dengan memprosesnya menjadi
biodiesel, seperti yang sudah dikembangkan di Malaysia. Produk samping kelapa
sawit seperti cangkang dan limbah pabrik CPO juga potensial sebagai sumber
biomassa yang dapat dikonversi menjadi energi terbarukan. Alternatif ini memiliki
beberapa kelebihan. Pertama, sumber energi tersebut merupakan sumber energi
yang bersifat renewable sehingga bisa menjamin kesinambungan produksi. Kedua,
Indonesia merupakan produsen utama minyak sawit sehingga ketersediaan bahan
baku akan terjamin dan industri ini berbasis produksi dalam negeri. Ketiga,
pengembangan alternatif tersebut merupakan proses produksi yang ramah
lingkungan. Keempat, upaya tersebut juga merupakan salah satu bentuk optimasi

pemanfaatan sumberdaya untuk meningkatkan nilai tambah.Sejalan dengan hal


tersebut, maka dalam tulisan ini akan dibahas mengenai pemanfaatan produk
samping sawit (PSS) sebagai sumber energi terbarukan. Pembahasan difokuskan
pada potensi secara empiris produk samping kelapa sawit sebagai sumber energi
terbarukan. Di samping itu, teknologi yang sudah berkembang serta status
penguasaan teknologi Indonesia dalam hal produk samping kelapa sawit sebagai
sumber energi dibahas secara ringkas di bagian akhir tulisan ini.
PRODUK SAMPING KELAPA SAWIT SEBAGAI SUMBER ENERGI
TERBARUKAN
Potensi Produk Samping Sawit sebagai Sumber Energi Terbarukan
Kebun dan pabrik kelapa sawit menghasilkan limbah padat dan cair dalam jumlah
besar yang belum dimanfaatkan secara optimal. Serat dan sebagian cangkang sawit
biasanya terpakai untuk bahan bakar boiler di pabrik, sedangkan tandan kosong
kelapa sawit (TKKS) yang jumlahnya sekitar 23% dari tandan buah segar yang
diolah, biasanya hanya dimanfaatkan sebagai mulsa atau kompos untuk tanaman
kelapa sawit (Goenadi et al., 1998). Pemanfaatan dengan cara tersebut hanya
menghasilkan nilai tambah yang terendah di dalam rangkaian proses
pemanfaatannya.

Gambar 1. Kesetaraan biomassa dan energi dalam proses pengolahan sawit di


pabrik kelapa sawit
Proses pengolahan Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit menjadi Crude Palm
Oil (CPO) secara sederhana dapat dilihat pada Gambar 1. Dari 1 ton TBS yang
diolah dapat diperoleh CPO sebanyak 140 220 kg. Proses ini membutuhkan
energi sebanyak 2025 kWh/t dan 0.73 ton steam (uap panas). Proses pengolahan
ini akan menghasilkan limbah padat, limbah cair dan gas. Limbah cair yang
dihasilkan sebanyak 600700 kg POME (Palm Oil Mill Effluent). Limbah padat
yang dihasilkan adalah serat dan cangkang sebanyak 190 kg dan 230 kg TKKS

segar (kadar air 65%). Selain itu juga dihasilkan limbah emisi gas dari boiler dan
incenerator (Lacrosse, 2004).
Potensi energi yang dapat dihasilkan dari produk samping sawit dapat dilihat dari
nilai energi panas (calorific value). Nilai energi panas (calorific value) dari
beberapa produk samping sawit ditunjukkan pada Tabel 2. Produk samping yang
memiliki nilai energi panas tinggi adalah cangkang dan serat. Cangkang dan serat
(fibre) dimanfaatkan sebagian besar atau seluruhnya sebagai bahan bakar boiler
PKS. Produk samping yang lain belum banyak dimanfaatkan sebagai sumber
energi. TKKS yang juga memiliki nilai energi panas cukup tinggi saat ini banyak
dimanfaatkan sebagai mulsa atau diolah menjadi kompos. Sebagian PKS masih
membakar TKKS dalam incinerator untuk mengurangi volume limbah TKKS,
walaupun sudah dilarang sejak tahun 1996.
Tabel 2. Nilai energi panas (calorific value) dari beberapa produk samping sawit
(berdasarkan berat kering).
TKKS
Serat
Cangkang
Batang
Pelepah

Rata-rata calorific value (kJ/kg)


18 795
19 055
20 093
17 471
15 719

Kisaran (kJ/kg)
18 000 19 920
18 800 19 580
19 500 20 750
17 000 17 800
15 400 15 680

Sumber: Ma et.al. (2004)


TKKS adalah limbah biomassa yang potensial sebagai sumber energi terbarukan.
TKKS dapat digunakan sebagai bahan bakar generator listrik. Sebuah PKS dengan
kapasitas pengolahan 200_000 ton TBS/tahun akan menghasilkan seba-nyak
44_000 ton TKKS (kadar air 65%)/tahun. Nilai kalor (heating value) TKKS kering
adalah 18.8 MJ/kg, dengan efisiensi konversi energi sebesar 25%, dari energi
tersebut ekuivalen dengan 2.3 MWe (megawatt-electric). TKKS dapat juga
dimanfaatkan untuk menghasilkan biogas walaupun proses pengolahannya lebih
sulit daripada biogas dari limbah cair.
Di samping itu, limbah padat dapat juga diproses menjadi briket arang sebagai
sumber energi terbarukan. Dengan teknologi yang relatif sederhana, pemanfaatan
limbah padat menjadi briket arang merupakan suatu pilihan yang sangat realistis
dan prospektif.
Menurut Loebis dan Tobing (1989), limbah cair PKS berasal dari air kondensat
rebusan (150175 kg/ton TBS), air drab (lumpur) klarifikasi (350450 kg/ton TBS)
dan air hidroksiklon (100-150 kg/ton TBS). PKS dengan kapasitas olah 30 ton
TBS/jam menghasilkan limbah cair sebanyak 360480 m3 per hari dengan
konsentrasi BOD rata-rata sebesar 25_000 mg/l. Limbah cair tidak dapat dibuang

langsung ke perairan, karena akan sangat berbahaya bagi lingkungan. Saat ini
umumnya PKS menampung limbah cair tersebut di dalam kolam-kolam terbuka
(lagoon) dalam beberapa tahap sebelum dibuang ke perairan. Secara alami limbah
cair di dalam kolam akan melepaskan emisi gas rumah kaca yang berbahaya bagi
lingkungan. Gas-gas tersebut antara lain adalah campuran dari gas methan (CH4)
dan karbon dioksida (CO2). Kedua gas ini sebenarnya adalah biogas yang dapat
dimanfaatkan sebagai sumber energi. Potensi biogas yang dapat dihasilkan dari
600700 kg POME kurang lebih mencapai 20 m3 biogas (Lacrosse, 2004).
Penelitian pemaanfaatan POME untuk menghasilkan biogas saat ini menjadi
perhatian banyak pihak. Selain sebagai sumber energi, teknologi biogas ini juga
dapat mengurangi dampak emisi gas rumah kaca yang berbahaya bagi lingkungan.
Potensi Indonesia untuk Memanfaatkan Produk Samping Sawit untuk Energi
Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dalam memanfaatkan produk
samping sawit sebagai sumber energi. Seperti diketahui, kelapa sawit Indonesia
merupakan salah satu komoditi yang mengalami perkembangan yang terpesat.
Pada era tahun 1980-an sampai dengan pertengahan tahun 1990-an, industri kelapa
sawit berkembang sangat pesat. Pada periode tersebut, areal meningkat dengan laju
sekitar 11% per tahun. Sejalan dengan perluasan areal, produksi juga meningkat
dengan laju 9.4% per tahun. Konsumsi domestik dan ekspor juga meningkat pesat
dengan laju masing-masing 10% dan 13% per tahun. Pada awal tahun 20012004,
luas areal kelapa sawit dan produksi masing-masing tumbuh dengan laju 3.97%
dan 7.25% per tahun, sedangkan ekspor meningkat 13.05% per tahun (Direktorat
Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2005). Sampai dengan tahun 2020, industri
kelapa sawit Indonesia diperkirakan akan terus tumbuh, walau dengan laju
pertumbuhan yang lebih rendah apabila dibandingkan dengan periode sebelum
tahun 2000. Sampai dengan tahun 2010, produksi CPO diperkirakan akan
meningkat antara 5%6%, sedangkan untuk periode 20102020, pertumbuhan
produksi diperkirakan berkisar antara 2%4% (Susila, 2004).
Pertumbuhan produksi CPO berarti pula peningkatan ketersediaan produk samping
sawit yang antara lain bersumber dari TBS. Seperti terlihat pada Gambar 2,
produksi TBS diperkirakan akan terus meningkat dan mencapai sekitar 83 juta ton
pada tahun 2020, sehingga dapat dihasilkan 17 ton CPO. Volume tersebut
merupakan sumber produk samping yang sangat besar untuk menghasilkan energi.

Gambar 2. Grafik Perkembangan dan Proyeksi Produksi CPO Indonesia


2000/2010.
Volume produksi CPO tersebut dihasilkan dari 205 pabrik kelapa sawit yang
sebagian besar berlokasi di Sumatera (177 pabrik), dan lainnya di Kalimantan,
Sulawesi dan Jawa. Sebagai ilustrasi, produksi TBS Indonesia pada tahun 2004
diperkirakan sebesar 53_762 juta ton TBS. Produksi ini akan terus meningkat dan
pada tahun 2010 diperkirakan mencapai 64_000 juta ton TBS. Dari produksi TBS
tahun 2004 dapat diperkirakan produksi POME sebanyak 32_257 37_633 juta
ton dan TKKS sebanyak 12_365 juta ton. Jumlah ini sangat melimpah dan
berpotensi besar sebagai sumber energi terbarukan.
Potensi produksi biogas dari seluruh limbah cair tersebut kurang lebih adalah
sebesar 1075 juta m3. Nilai kalor (heating value) biogas rata-rata berkisar antara
47006000 kkal/m3 (2024 MJ/m3) (CTL, 2004). Dengan nilai kalor tersebut
1075 juta m3 biogas akan setara dengan 516_000 ton gas LPG, 559 juta liter solar,
666.5 juta liter minyak tanah, dan 5052.5 MWh listrik. TKKS juga memiliki
potensi energi yang besar sebagai bahan bakar generator listrik. TKKS sebanyak
12_365 juta ton berpotensi menghasilkan energi sebesar 23_463.5 juta MWe.
Alternatif lain pemanfaatan limbah padat kelapa sawit yang paling sederhana untuk
Indonesia adalah menjadikannya briket arang. Hal ini dapat dilakukan dengan
memperbaiki sifat tersebut dengan cara pemadatan melalui pembriketan,
pengeringan dan pengarangan. Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) telah
merancang bangun paket teknologi untuk produksi briket arang dari limbah sawit,
baik tandan kosong maupun cangkang sawit.
Pada dasarnya ada dua metode pembuatan briket arang, yaitu (i) bahan bakupenggilingan-pengayakan-pembriketan-pengarangan, dan (ii) bahan bakupengarangan-penggilingan-pengayakan-pembriketan. Untuk limbah sawit ternyata
metode kedua lebih sesuai untuk menghasilkan briket arang yang bermutu tinggi.
TKKS dan cangkang sawit memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga untuk
proses pengarangannya juga memerlukan tungku yang berbeda. Untuk TKKS,

proses pengarangan lebih sesuai dilakukan dalam tungku vertikal, sedangkan untuk
cangkang sawit lebih baik dilakukan proses pengarangan pada tungku horisontal.
Rendemen yang dihasilkan dari proses pengarangan tersebut adalah 2530%.
Proses pembriketan limbah sawit dapat dilakukan dengan mesin pembriket tipe ulir
dengan kapasitas 1 ton per hari. Mesin ini menghasilkan briket arang berbentuk
silinder dengan diameter 5 cm dan panjang 1030 cm. ukuran ini sesuai dengan
briket arang komersial yang dibuat dari serbuk gergaji. Briket arang sawit memiliki
keunggulan yaitu permukaannya halus dan tidak meninggalkan warna hitam
apabila dipegang.
Karakteristik briket arang yang terbuat dari TKKS dan cangkang sawit sangat
berbeda, seperti yang terlihat pada Tabel 3. Briket arang TKKS memiliki kadar abu
yang lebih tinggi, sedangkan kadar kalor dan karbon terikatnya lebih rendah.
Ditinjau dari segi kalor, kedua briket arang tersebut telah memenuhi Standar
Nasional Indonesia (SNI) untuk briket arang kayu yaitu minimal 5000 kalori/gram.
Tabel 3. Karakteristik Briket Arang dari TKKS dan Cangkang Sawit
No Karakteristik
1 Kadar air, %
2 Kadar abu, %
Kadar zat terbang, %
3
(volatile matter)
Kadar karbon terikat,
4 %
(fixed carbon)
Keteguhan tekan,
5
kg/cm2
6 Nilai kalor, kal/g

Briket arang tandan kosong


sawit
9.77
17.15

Briket arang cangkang


sawit
8.47
9.65

29.03

21.10

53.82

69.25

2.10

7.82

5_578.00

6_600.00

Perkembangan Teknologi Energi Terbarukan dari Produk Samping Sawit


Potensi biomassa dari produk samping sawit sebagai sumber energi terbarukan
mulai dikembangkan di beberapa negera produsen sawit utama. Malaysia sebagai
salah satu negera produsen CPO utama telah mengembangkan teknologi produksi
biogas dari POME. Dari sisi teknologi Malaysia lebih maju daripada Indonesia
dalam mengembangkan teknologi ini. Sejak tahun 2001 Malaysia melaksanakan
program pengembangan energi terbarukan yang disebut dengan Small Renewable
Energy Programe (SREP) (Yeoh, 2004). Salah satu energi terbarukan yang
dikembangkan dalam program ini adalah pengembangan biogas dari POME (Ma et
al, 2003). Saat ini mereka telah berhasil mengembangkan bioreaktor untuk
produksi biogas dari POME. Bumibiopower (Pantai Remis) Sdn. Bhd. adalah salah

satu perusahaan di Malaysia yang melaksanakan proyek untuk mengembangkan


pabrik produksi biogas dari POME (Mitsubishi Securities, 2004). Pabrik ini
direncanakan akan mengolah POME dari salah satu pabrik kelapa sawit yaitu
Pantai Remis Paml Oil Mill. Biogas yang dihasilkan juga akan digunakan untuk
generator listrik dengan kapasitas 1 MW 1.5 MW.
COGEN bekerjasama dengan ASEAN melaksanakan proyek pengembangan energi
terbarukan dari limbah biomassa sebanyak 8 proyek ( 3 proyek di Thailand, 3
proyek di Malaysia, dan 2 proyek di Singapura). Proyek ini memanfaatkan limbah
biomassa, salah satunya adalah TKKS, sebagai bahan bakar generator listrik.
Proyek pemanfaatan TKKS sebagai bahan bakar listrik dilaksanakan oleh TSH Bio
Energy Sdn Bhn di Sabah, Malaysia. Kapasitas listrik yang dihasilkan adalah
sebesar 14 MW (Lacrosse, 2004).
Pengembangan produk samping sawit sebagai sumber energi terbarukan masih
tertinggal dibandingkan negera-negara lain. Menurut Abdullah (2004) dari total
potensi biomassa (TKKS termasuk di dalamnya) sebesar 178 MWe baru sekitar
0.36% yang dimanfaatkan. Melalui Kep.Men. No. 1122 K/30/MEM/2002 tentang
Distribusi Pembangkit Listrik Skala Kecil, Indonesia mulai mengembangkan
energi terbarukan. Tahun 2005 Indonesia mendapatkan bantuan sebesar $ US
500.000 dollar dari ADB (Bank Pembangunan Asia) untuk mengembangkan energi
terbarukan dari limbah cair kelapa sawit (Kompas, 27 Desember 2004).
PENUTUP
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Indonesia diperkirakan akan mengalami
defisit energi dengan volume defisit semakin meningkat. Hal ini terjadi karena
sementara konsumsi energi terus meningkat, sumber energi, khususnya yang tidak
terbarukan, semakin menurun. Untuk mengatasi hal ini, pengembangan sumber
energi yang terbarukan merupakan pilihan yang strategis. Dalam konteks ini,
pemanfaatan produk samping sawit dan limbahnya mempunyai potensi besar untuk
dimanfaatkan. Produk samping sawit dan limbahnya mempunyai potensi besar
sebagai sumber energi yang terbarukan. Dengan perkembangan industri kelapa
sawit yang masih relatif pesat, upaya untuk mewujudkan hal tersebut perlu
mendapat prioritas. Indonesia perlu segera memacu diri untuk mewujudkan hal
tersebut sehingga ketertinggalan dengan negara lain dalam hal teknologi dan
implementasi dapat terus diperkecil. Hal ini memerlukan dukungan semua pihak,
khususnya pelaku bisnis, lembaga riset, dan pemerintah. Kebijakan Pemerintah
perlu diarahkan pada pemberian insentif finansial kepada industri yang merintis
kegiatan pengembangan energi terbarukan seperti ini, misalnya dengan
memanfaatkan sebagian dana kompensasi pencabutan subsidi BBM.

Cangkang Sawit sebagai Upaya Pemanfaatan Sumber


Daya Energi Terbarukan

Riau juga dikenal sebagai salah satu penghasil minyak kelapa sawit terbesar di Indonesia. Diklaim
laju peningkatan produksi perkebunan kelapa sawitnya diklaim mencapai 12,3 % pertahun (Bagus,
2011). Seperti salah satu kebun kelapa sawit milik PT Salim Ivomas Pratama yang terletak di Rokan
Hilir. Kebun milik perusahaan yang tengah menuju Roundable On Sustainable Palm Oil (RSPO),
memproduksi Crude Palm Oil (CPO) di pabriknya dengan kapasitas 60 ton Tandon Buah Segar (TBS)
perjam. Dalam setiap ton TBS tersebut dihasilkan 21-23% minyak CPO dan 5% kernel atau cangkang
sawit (Indoagri Riau, 2011).
Produk samping dari pengolahan kelapa sawit adalah cangkang sawit yang asalnya dari tempurung
kelapa sawit. Cangkang sawit merupakan bagian paling keras pada komponen yang terdapat pada
kelapa sawit. Dalam hasil penelitian, besar kalori cangkang kelapa sawit mencapai 20000 KJ/Kg (Ma
et.al., 2004). Saat ini pemanfaatan cangkang sawit di berbagai industri pengolahan minyak CPO
masih belum dipergunakan sepenuhnya, sehingga masih meninggalkan residu, yang akhirnya
cangkang ini dijual mentah ke pasaran. Dengan harga tidak sampai Rp 800 / kg, cangkang kelapa
sawit ini berpotensi untuk dijadikan bahan bakar bagi keperluan rumah tangga. Tidak perlu jauh-jauh,
yaitu untuk masyarakat di sekitar perkebunan itu sendiri.

Residu cangkang kelapa sawit

Untuk kompor biomassa yang digunakan, biasanya masyarakat masih menggunakan kompor
konvensional yang ada di pasaran. Jarang sekali mereka yang memperhatikan efisiensi penggunaan
bahan bakar yang digunakan dalam proses memasak. Kebanyakan masyarakat kita hanya
memperhatikan pembakaran pada bahan bakarnya. Padahal dalam pendekatan engineering, tidak
hanya pembakaran yang diperhatikan, tetapi juga bagaimana perpindahan panas/kalor terjadi dari
fuel ke beban thermal atau disebut juga heat exchanger transfer.

Dalam upaya memanfaatkan residu cangkang kelapa sawit sebagai bahan bakar dengan
penggunaannya yang efisien dan efektif, maka perlu dilakukan rancang bangun kompor untuk bahan
bakar cangkang kelapa sawit ini. Selain optimalisasi desain kompornya, juga perlu diperhatikan
kemudahan penggunaannya sehingga pengguna tidak kesulitan dalam kesehariannya.
Karakteristik Cangkang Sawit
Ditinjau dari karakteristik bahan baku, jika dibandingkan dengan tempurung kelapa biasa, cangkang
kelapa sawit memiliki banyak kemiripan. Perbedaan yang mencolok yaitu pada kadar abu yang
biasanya mempengaruhi kualitas produk yang dihasilkan oleh cangkang kelapa sawit.
Tabel 1. Karakteristik cangkang kelapa sawit

Parameter

Hasil ( % )

Kadar air (moisture in analysis)Kadar abu (ash content)

7.8

Kadar yang menguap (volatile matter)

2.2

Karbon aktif murni (fixed carbon)

69.5
20.5

Untuk mengetahui daya panas suatu bahan bakar adalah dengan mengetahui besar kalori yang
dikandungnya. Tabel di bawah ini adalah nilai kalori yang dikandung oleh cangkang sawit.
Tabel 2. Nilai kalori dari beberapa produk samping kelapa sawit (berdasarkan berat kering).

Rata-rata calorific value

Kisaran (kJ/kg)

(kJ/kg)
TKKS

18 795

18 000 19 920

Serat

19 055

18 800 19 580

Cangkang

20 093

19 500 20 750

Batang

17 471

17 000 17 800

Pelepah

15 719

Komentar Dari Kami :


Cangkang Sawit adalah termasuk Biomass dan dapat digunakan sebagai sumber bahan bakar
terbaharukan secara kontinyu. alangkah sayangnya bila pihak Usahawan dan Pemerintah tidak
memperdayakan sumber bahan bakar ini.
kami telah melakukan riset panjang dan telah diujicobakan di industri. Hasilnya sangat Luar Biasa.
Utuk Aplikasi energi pembangkit listrik pun sangat Mumpuni. Kami Mengundang Para Investor untuk
mengaplikasikan teknologi ini agar menjadikan Indonesia yang terdepan dalam pengolahan Energi
Biomass, dan Pembangkit Listrik Tenaga Biomass.

Kami membuat system dimana yang penting Bukan berapa besar panas sumber yang
dihasilkan Namun tungku pamanas harus dapat dipaksakan memenuhi panas yang
diinginkan oleh media yang dipanaskan oleh tungku. Jadi panas yang dihasilkan lebih stabil

bukan pada sumber namun pada tujuan akhir media yang dipanaskan. Oleh karena itu
suplai bahan bakar diatur berdasarkan panas yang diminta oleh media yang dipanaskan.
Bila kurang maka akan secara otomatis menambah suplai bahan bakar sampai terpenuhi,
namun bila sudah cukup maka secara otomatis akam mengurangi suplai bahan bakar.
Inilah yang kami sebut sebagai EFFECTIVE FUEL SUPPLY

Anda mungkin juga menyukai